Anda di halaman 1dari 6

B.

Sistem Pembuktian Beban Pembuktian Dan Alat Bukti Dalam Hukum

Indonesia

1. Sistem Pembuktian Dan Beban Pembuktian Alat Bukti Dalam KUHP

Masalah pembuktian adalah merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara

pidana. Oleh karena itu tugas utama dari hukum acara pidana adalah untuk mencari

dan menemukan kebenaran material, kebenaran yang sejati. Untuk mencari dan

menemukan kebenaran tersebut, setelah diatur dalam peraturan perundang-undangan

hukum acara pidana yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yang kemudian di kenal dengan sebutan KUHAP. Dalam menemukan

kebenaran tersebut, dititikberatkan pada mencari bukti-bukti, yang melalui tingkatan-

tingkatan sebagi berikut:

a. Tingkat pengusutan (opsporing)

Pada tingkat ini dicari dulu bahan-bahan bukti setelah terkumpul semua

bahan-bahan bukti tadi lalu menuju kepada:

b. Tingkat penuntutan (vervolging) dan seterusnya menungkat kepada:

c. Pemeriksaan di sidang (berechting).1

Pembuktian di sidang pengadilan dalam perkara pidana, untuk dapat menjatuhkan

pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan

hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tinsdak pidana.

Ketentuan tentang pembuktian dalam hukum acara pidana baik KUHAP maupun HIR

terhadap persamaan dalam penggunaan alat-alat bukti yaitu dengan sistem negative

1
R.Atang Ranoemiharjdja; Hukum Acara Pidana; Bandung; Tarsito, 1980; hal 60
menurut Undang-undang (negatief wettelijk) yang terutama dalam pasal 294 (1) HIR

Pasal 194 (1) HIR berbunyi :

“Tidak akan dijatuhkan kepada seorang pun jika hakim tidak mendapat keyakinan

dengan upaya bukti menurut Undang-undang bahwa bener telah terjadi perbuatan

pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu.”2

Pasal 183 KUHAP berbunyi :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apa bila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalahyang bersalah

melakukannya.”

Dengan melihat ketentuan pasal tersebut di atas, terkanding beberapa hal pokok

yaitu :

1. sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut

Undang-undang yang berlaku ;

2. dan atas dasar alat bukti yang sah tersebut hakim berkeyakinan bahwa

tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah.

Pengertian dari kata sekurang-kurangnyan tersebut diatas, kalau dihubungkan dengan

alat bukti yang sah, seperti yang tersebut dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka

perkataan sekurang-kurangnya itu berarti merupakan dua diantara lima alatb bukti,

yakni :

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

2
Karjadi; Reglemen Indonesia yang Dibaharui; Bogor; Politea; 1975; hal 84
c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Sedangkan menurut pasal 195 HIR, kata sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,

yang berarti dua di antara empat alat bukti, yakni ;

“ 1. Kesaksian-kesaksian

2. surat-surat

3. pengakuan

4. isyarat-isyarat.”3

Dengan melihat kedua pasal tersebut di atas, terdapat perbedaan yaitu pasal 195

HIR hanya menyebutkan empat (4) alat bukti yang sah, sedangkan pasal 184 ayat

(1) KUHAP menyebutkan lima (5) alat bukti yang sah, yang berarti bahwa dalam

hukum acara pidana menurut HIR, keterangan ahli bukan alat bukti yang sah.

Menurut ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan tegas menyebutkan

bahwa keterang ahli adalah merupakan alat bukti yang sah. Kalau dibandingkan

lebih jauh lagi bahwa ” terdapat perubahan redaksi satu alat bukti, yaitu ”

pengakuan terdakwa “ dalam HIR, menjadi “keterangan terdakwa” dalam

KUHAP. Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, menurut sistem

pembuktian

Yang di anut oleh Negara Indonesia adalag negatief wettelijk, aka syarat tersebut

baru hanya memenuh wittlijk saja. Sedangkan syarat negatiefnya adalah

keyakinan dari hakim terhadap terdakwa, apakah tindak pidana yang didakwakan

3
Ibid, hlm 84
terhadap terdakwa benar-benar di lakukan oleh terdakwa atau tidak. Jadi untuk

membuktikan tindak pidana di dalam sidang pengadilan, di samping memenuhi

syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut Undang-undang,

harus ada keyakinan dari hakim bahwa terdakwalah yang bersalah telah

melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan. Dengan sistem pembuktian

yang negatief wettelijk, mengharuskan adanya alat-alat bukti seperti yang

tersebut dalam Undang-undang dan tidak mengenal adanya alat bukti yang

tersebut diluar Undang-undang. Di samping sistem pembutian yang di anut

Negara Indonesia (negatief wettelijk), dikenal pula sitem positief wettelijk atau

juga di sebut dengan conviction Raisonee dan Conviction Intime.

Sistem pembuktian positief wettelijk yaitu pembuktian yang hanya didasarkan

semata-mata pada alat-alat butik yang telah ditetapkan oleh Undang-undang

dalam menentukan apakah terdakwah terbukti bersalah melakukan tindak pidana

seperti yang didakwakan kepadanya, tampa memeperhatikan ada atau tidaknya

keyakinan dari hakim. Dengan demikian bahwa terdakwa telah dapat dijatuhi

pidana jika ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut Undang-

undang.

Sistem pembuktian Conviction Raisonee yaitu pembutian yang didasarkan

semata-mata atas keyakinan yang berdasarkan kepada pertimbangan akal dan

hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang ditetapkan dalam Undang-undang.

Dengan demikian hakim dapat mempergunakan alat-alat bukti diluar Undang-

undang.
Sistem pembuktian Conviction Intime yaitu pembuktian yang didasarkan semata-

mata atas keyakinan hakim belaka, tampa terikat kepada aturan-aturan, sehingga

sangat tergantung pada keyakinan subyektif (pribadi hakim) dalam menentukan

terbukti atau tidaknya terdakwa bersalah melakukan tindak pidana seperti yang

didakwakan kepadanya.

Ketiga sistem pembuktian tersebut diatas yaitu sistem Positief wettelijk,

Conciction Raisonee dan sistem conviction intime tidak di anut di Negara

Indonesia.4

2. Sistem Pembuktian Dan Bebean Pembuktian Alat Bukti Dalam UU Nomor

19 Tahun 2016 Tentang Transaksi dan Elektronik

Suatau masalah yang sangat penting dalam Hukum Pembuktian adalah masalah

pembagian beban pembuktian. Sebagaimana sudah diterangkan pembagian beban

pembuktian itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah karena suatu

pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan

pihak yang meneriama beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal

pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal

yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka Pengadilan Kasasi,

yaitu Mahkama Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil

dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau Undang-undang yang merupakan

4
Andi Hamzah; Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara pidana; Mei 1986; Penerbit Ghalia
Indonesia; Hal 88
alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Hakim atau Pengadilan

yang bersangkutan.

Sistem pembuktian dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang

Informasi dan Taransaksi Elektronik pada umumnya sama seperti hukum pidana

umumnya yaitu Sistem atau teori-teori pembuktian Indonesia sama dengan Belanda

dan Negara-negara eropa kontinental yang lain, yaitu menganut bahwa hakimlah yang

menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri bukan juri, seperti di

Amerika Serikat dan negara-negara anglo saxon, juri umumnya terdiri dari orang

awam. Juri-juri tersebutlah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty

seorang terdakwa, sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan

pidana (sentencing)5.

5
http://digilib.unila.ac.id/20228/3/bab%20II%20Leo.pdf ; Rabu/ 23 Mei/ Pukul 09:55

Anda mungkin juga menyukai