Anda di halaman 1dari 14

SUATU TINJAUAN TERHADAP KESAKSIAN PALSU YANG DISAMPAIKAN DI

DEPAN SIDANG PENGADILAN SERTA KEWENANGAN HAKIM DALAM PROSES


PERKARA TERHADAPNYA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :
 
RICKY RIVALDY TUMEWU
NIM 18071101589
 

Dosen Pembimbing I : Vecky Y. Gosal, SH, MH


Dosen Pembimbing II : Vonny A. Wongkar, SH,
MH
Dosen Penguji I : Dr. Merry Elisabeth Kalalo, SH, MH
Dosen Penguji II : Feiby Mewengkang, SH, MH
Dosen Penguji III : Toar Neman Palilingan, SH, MH
Pendahuluan

• Sumpah adalah menyertakan nama Tuhan sebagai penjamin kebenaran pernyataan seseorang.
Oleh karenanya, di negara-negara yang penduduknya memiliki kepercayaan terhadap Tuhan
dan agama, sumpah digunakan dalam berbagai peristiwa, terutama untuk memulai suatu
jabatan (sumpah jabatan) dan untuk menjadi saksi di pengadilan.
• Kewajiban saksi di pengadilan untuk mengucapkan sumpah ditentukan dalam Pasal 160 ayat
(3) KUHAP, yaitu, “Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya
• Dalam Pasal ini disebutkan tentang kewajiban mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing. Di sini diberikan alternatif antara sumpah atau janji. Hal ini
berkenaan dengan adanya agama yang tidak membenarkan umatnya untuk mengucapkan
sumpah dalam arti menyertakan nama Tuhan sebagai penjamin kebenaran kata-katanya,
melainkan hanya membolehkan umatnya untuk mengucapkan janji. Janji menurut cara
agama, tetap dengan menyertakan nama Tuhan, tetapi yang dikatakan hanyalah berbentuk
permohonan agar Tuhan menolong agar saksi itu memberikan keterangan yang benar, yaitu
ditutup dengan kata-kata: semoga Tuhan menolong saya.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam sub bab sebelumnya dapat dirumuskan
masalah-masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana cakupan tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242
KUHPidana?
2.Bagaimana wewenang hakim dalam Menghadapi Kesaksian Palsu?

Tujuan Penulisan
1.Adapun hal-hal yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
2.Untuk mengetahui bagaimana cakupan tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242
KUHPidana
3.Untuk mengetahui bagaiaman syarat-syarat untuk diberikannya perintah hakim agar menahan
saksi karena kesaksian palsu dan Bagaimana prosedur penanganan kesaksian palsu di depan
pengadilan
Metode Penelitian

1. Metode yang digunakan :


Metode Penelitian Kepustakaan (library researct method), yakni suatu metode penelitian
yang dilakukan dengan jalan mempelajari buku-buku/literature, perundang-undangan,
dokumen, majalah-majalah maupun diktat-ditat yang berkaitan dengan pnulisan Skripsi
ini serta riset kpustakaan ini digunakan sebagai alat untuk menganalisis karangka
teoritis dari setiap permasalahan yang ditemukan sehingga pengungkapan masalah
berdasarkan karangka teoritis.
Metode pengolahan data penelitian yaitu bahan-bahan yang dikumpulkan kemudian disusun
dalam suatu bentuk karya ilmiah dengan menggunakan metode-metode pembahasan
seperti :
• Deduksi : yaitu suatu teknik pengolahan data yang dibahas yang bertitik tolak dari hal-
hal yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
• Induksi : yaitu suatu teknik pengolahan data yang dibahas yang bertitik tolak dari hal-
hal yang bersifat khusus kmudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
A. Macam-Macam Acara Pemeriksaan

Pada tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, yang disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (Lembaran negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Penjelasan dalam TLN Nomor
3209). Sejak itu KUHAP merupakan kodifikasi hukum acara pidana yang berlaku
untuk pemeriksaan perkara pidana di lingkungan peradilan umum, menggantikan
ketentuan-ketentuan acara pidana dalam Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad
1941 No.44) yang merupakan kodifikasi peninggalan Pemerintah Hindia Belanda.
B. Sistem Pembuktian Dalam KUHAP

Dalam sejarah hukum acara pidana dikenal adanya empat macam sistem pembuktian.
Keempat macam sistem pembuktian tersebut adalah:
• Sistem keyakinan belaka;
• Sistem keyakinan berdasarkan alasan yang rasional;
• Sistem menurut undang-undang belaka; dan,
• Sistem menurut undang-undang sampai suatu batas.
Keempat macam sistem pembuktian tersebut, akan diuraikan secara singkat berikut ini.
Sistem keyakinan belaka.
Wirjono Prodjodikoro memberikan keterangan tentang sistem ini sebagai berikut,
Ada aliran, sangat sederhana, yang sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang
pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu kepada kebijaksanaan dan kesan Hakim, yang
bersifat perseorangan (subjectief). Menurut aliran ini dianggap cukuplah bahwa Hakim
mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh
suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam sistem ini
Hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apa suatu keadaan harus
dianggap telah terbukti.
C. Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa alat bukti yang sah ialah :
•keterangan saksi;
•keterangan ahli;
•Surat;
•Petunjuk;
•Keterangan Terdakwa
Dari segi urutan alat bukti, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama. Ini
menunjukkan bahwa keterangan saksi merupakan alat bukti paling penting dalam hukum
acara pidana.
PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana Sumpah Palsu Dalam Pasal 242 KUHPidana
Buku II Bab IX KUHPidana yang berjudul “Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu” atau
“Keterangan palsu di bawah sumpah dan keterangan palsu”, semula terdiri dari dua
pasal, yaitu Pasal 242 dan Pasal 243. Tetapi dengan Staatsblad 1931 No. 240, Pasal 243
KUHPidana ditiadakan. Dengan demikian yang masih berlaku tinggal Pasal 242
KUHPidana saja. Pasal ini menjadi satu-satunya pasal dalam Buku I Bab IX tersebut
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm.99.
P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,
1983, hlm.103.
B. Wewenang Hakim Dalam Menghadapi Kesaksian Palsu

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Bab II sub A skripsi ini, kesaksian palsu di
sidang pengadilan hanya mungkin terjadi dalam hal suatu perkara diperiksa dengan
menggunakan:
• Acara pemeriksaan biasa;
• Acara pemeriksaan singkat;
• Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, tetapi hanya apabila Hakim memerintahkan
saksi yang bersangkutan untuk disumpah, karena saksi dalam acara pemeriksaan ini
umumnya tidak disumpah.
Dasar penahanan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar obyektif,maka tindakan
penahan terhadap tersangka/terdawa juga didasarkan pada kepentingan perluasan
keperluan untuk kepentingan penyidikan
Kesimpulan

Kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan


dalam bab sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Cakupan tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana adalah
perbuatan dengan unsur-unsur:
•Dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas
sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian.
•Dengan sengaja, yang mencakup tiga macam kesengajaan, yaitu: sengaja sebagai maksud,
sengaja dengan kesadaran tentang keharusan, dan sengaja dengan kesadaran tentang
kemungkinan.
•Memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi
maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, di mana telah merupakan
yurisprudensi tetap bahwa:
 jika sebagian atau beberapa bagian dari keterangan yang diberikan itu tidak benar,
sekalipun bagian yang tidak benar itu tidak begitu penting, perbuatan itu tetap
merupakan sumpah palsu; dan,
 Tindak pidana sumpah palsu terjadi hanyalah apabila pemeriksaan terhadap saksi itu
telah selesai.
2. Hakim memiliki wewenang memerintahkan penahanan saksi yang diduga memberikan

keterangan palsu, tetapi dengan memperhatikan syarat-syarat:


a. Keterangan saksi disangka palsu berdasarkan alasan yang kuat, antara lain jika keterangan
saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara (Pasal 163
KUHAP);
b. Hakim telah memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi itu supaya
memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat
dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu, yaitu Hakim harus:
• memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi itu supaya memberikan
keterangan yang sebenarnya; dan,
• mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu, dalam hal ini ancaman pidana dalam Pasal 242
KUHPidana.
C. Saksi yang bersangkutan telah selesai diperiksa, yaitu karena menurut yurisprudensi,
tindak pidana sumpah palsu nanti terjadi apabila pemeriksaan terhadap saksi telah
selesai.
D. Hakim karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa, sudah
cukup yakin bahwa saksi memberikan keterangan palsu.
Prosedur penanganan kesaksian palsu di sidang pengadilan adalah sebagai berikut:
• Hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau
terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
• Panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi
dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan
berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera.
• Berita acara itu segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut
ketentuan undang-undang ini.
Apabila Hakim telah memberikan perintah penahanan untuk dituntut terhadap saksi yang
diduga memberikan kesaksian palsu, Polisi tidak lagi memiliki peran dalam perkara itu.
Tetapi apabila Hakim tidak memberikan perinta seperti itu, Polisi tetap memiliki
kewenangan melakukan penyidikan atas dugaan tindak pidana Pasal 242 KUHPidana
Saran
Saran-saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
Dalam rumusan Pasal 242 ayat (1) KUHPidana perlu ditambahkan unsur “baik di depan
sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan” untuk mempertegas cakupan
tempat di mana pelaku melakukan perbuatan.
Pasal 174 ayat (1) KUHAP perlu dipertegas dengan mewajibkan Hakim membacakan
pasal dalam KUHPidana yang dapat dijadikan dasar penuntutan (Pasal 242 KUHPidana)
dan ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam pasal tersebut.
Pasal 174 KUHAP perlu ditambahkan ayat yang menegaskan tentang kedudukan pasal tersebut
sebagai ketentuan khusus terhadap ketentuan tentang penyidikan pada umumnya.
Pasal 174 KUHAP perlu juga ditambahkan ayat bahwa dalam hal Hakim tidak memberikan
perintah penahanan, tidak menutup kemungkinan bagi Polisi untuk melakukan penyidikan
terhadap dugaan tindak pidana Pasal 242 KUHPidana.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai