Anda di halaman 1dari 25

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI

PPC
Program Pendidikan dan
Modul Diklat Tahap 2


“HUKUM PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA”
Pelatihan Calon Hakim

TERPADU
PERADILAN UMUM

e-learning.mahkamahagung.go.id 1
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana © 2018
HUKUM PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA

Hukum Pembuktian adalah segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah
dan dilakukan dengan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui
fakta-fakta yuridis di persidangan. Sistem yang dianut dalam pembuktian syarat-syarat
dan tata cara mengggajukan alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima
menolak dan menilai suatu pembuktian.

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang
tidak cukup membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada terdakwa, terdakwa di
bebaskan dari hukuman (pasal 191 (ayat 1 kuhap).

Jika pengadilan berpendapat perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,


tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum (pasal 191 (ayat 2).

Kalau kesalahan terdakwa dapat di buktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam
pasal 184 terdakwa di nyatakan bersalah ,kepadanya akan dijatuhkan hukuman (pasal
193 (ayat 1 kuhap).

Sumber Formal Hukum Pembuktian:


1. Undang-Undang
2. Dokrin atau pendapat para ahli hukum
3. Yurisprudensi atau putusan pengadilan

Yang berhak mengajukan alat bukti:


1. Penuntut Umum dengan tujuan untuk membuktikan dakwaannya
2. Terdakwa atau Penasihat Hukum terdakwa ,jika ada alat bukti yang bersipat
meringankan atau membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum

Pada prinsipnya terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (sesuai dengan azas
praduga tak bersalah (pasal 66 kuhap).

Dasar pemeriksaan persidangan surat dakwaan untuk perkara biasa Atau catatan
dakwaan untuk perkara singkat yang berisi perbuatan-perbuatan yang di lakukan oleh
seorang terdakwa pada haritanggal jam serta tempat sebagaimana di dakwakan.

Tujuan Dan Kegunaan Pembuktian:


1. Bagi penuntut umum usaha untuk meyakinkan hakim agar menyatakan seorang
terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
2. Bagi Penasihat hukum atau terdakwa usaha untuk meyakinkan hakim agar
menyatakan seorang terdakwa di nyatakan dibebaskkan atau di lepaskan dari
tuntutan hukum atau meringankan pidananya

2
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
3. Bagi Hakim dasar untuk membuat putusan.

Arah pemeriksaan persidangan


Majelis Hakim setelah memeriksa dan memperhatikan alat- alat bukti yang ada akan
mempertimbangkan hal- hal sebagai berikut;
1. Perbuatan apa yang telah terbukti dari hasil pemeriksaan persidangan?
2. Apakah terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan tersebut.
3. Kejahatan atau pelanggaran apakah yang telah di lakukan terdakwa?

Pidana apakah yang harus di jatuhkan pada terdakwa?

Teori Sistim Pembuktian:


1. Sistim pembuktian positif
a. Sistim pembuktian Positif(positief wetelijk) adalah sistim pembuktian yang
menyandarkan pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
b. Seorang terdakwa di nyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya di
dasarkan pada alat bukti yang sah.
c. Keyakinan hakim sama sekali di abaikan.
d. Apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara- cara pembuktian dan alat
bukti yang sah yang di tentukan oleh undang- undang maka terdakwa di
nyatakan bersalah dan harus di pidana.
e. Seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang -undang Kebaikan
sistim ini hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tampa di
pengaruhi oleh nuraninya jadi benar-benar obyektif
f. Sistim pembuktian positif yang di cariadalah kebenaran formal.

2. Sistim pembuktian Negatif.


a. Sistim pembuktian Negatif (negatief Wettelijk)sangat mirip dengan sistim
pembuktian conviction in rasione)
b. Hakim saat mengambil putusan tentang salah tidaknya seorang terdakwa
terikat oleh alat bukti yang di tentukan oleh undang- undang dan keyakinan
(nurani) hakim.
c. Jadi dalam sistim negatif ada 2 syarat untuk membuktikan kesalahan
terdakwa yakni:
d. Wettelijk adanya alat bukti yang sah yang telah di tetapkan oleh undang-
undang.
e. Negatief adanya keyakinan (nurani) dari hakim yakni berdasarkan bukti-bukti
hakim meyakini kesalahan terdakwa.
f. Alat bukti yang telah di tentukan oleh undang- undang tidak bisa di tambah
dengan alat bukti lain serta berdasarkan alat bukti yang di ajukan di
persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa
memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan
tindak pidana yang di dakwakan

3
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Dalam Kuhap Sistim Pembuktian diatur dalam pasal 183 yang berbunyi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang- kurangmya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar -benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dari pasal tersebut putusan hakim haruslah di dasarkan pada 2 sarat yaitu:
A. minimum 2 alat bukti dan
B. dari alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana

Jadi meskipun di dalam persidangan telah di ajukan 2 atau lebih alat bukti bila hakim tidak
yakin terdakwa bersalah maka terdakwa tersebut akan di bebaskan.

Jadi kuhap mengandung sistim pembuktian negatief wettelijk.

Macam-macam alat bukti (pasal 184 KUHAP):


a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Pentujuk; dan
e. Keterangan terdakwa

Syarat-syarat menjadi saksi:


a. Pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri
suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana (Pasal 1, butr
26 KUHAP).
b. Agar didalam persidangan bisa didapatkan keterangan saksi, yang sejauh
mungkin objektif, artinya tidak memihak atau merugikan terdakwa.

Kekecualian untuk menjadi saksi:

GOLONGAN A
Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal
168 KUHAP):
• Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang besama-sama sebagai terdakwa
• Saudara dari terkdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu,
atau saudara bapak juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan
dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
• Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa

4
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
GOLONGAN B.
Saksi yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memebrikan keterangan
(Pasal 170 KUHAP):
• Mereka yang karena pekerjaannya atau karena harkat martabatnya atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, yaitu tentang hal yang dipercayakan
kepadanya dan hal tsb harus diatur oleh peraturan perundang-undangan.
• Agar jika tidak ada ketentuan yang mengatur jabatn atau pekerjaannya, maka
hakim yang menentukan sah atau tidak nya alasan yang dikemukakan untuk
mendapatkan kebebasn tsb
• Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan, misalnya adalah dokter,
apoteker, notaris, atau PPAT
• Orang yang terkena harkat dan martabatnya, misalnya adalah pastor
• Orang yang terkena jabatannya , misalnya adalah banker terhadap keuangan
nasabahnya

GOLONGAN C
Golongan saksi yang boleh diperiksa tanpa sumpah (Pasal 171 KUHAP):
• Anak yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau belum pernah kawin
• Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik
kembali
• Terhadap orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa sangat berbahaya untuk
diperiksa sebagai saksi. Ini karena menurut KUHAP, orang-orang seperti itu tidak
bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Oleh karena itu, sebaiknya
jangan mengajukan saksi orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa
• Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-udang ini
(Pasal 1 butir 29 KUHAP)

TATA CARA MEMERIKSA SAKSI


Dalam hal memeriksa para saksi diperlukan tata cara yang sudah diatur oleh undang-
undang. Berikut tata cara memeriksa saksi.
a. Mencegah jangan sampai saksi berhubungan dengan yang lain sebelum memberi
keterangan di persidangan (Pasal 159 ayat (1) KUHAP). Ketentuan ini bermaksud
agar para saksi tidak mempengaruhi dan saling menyesuaikan di dalam
memberikan keterangan
b. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang, setelah mendengar pendapat
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum (Pasal 160 ayat 1 huruf a
KUHAP). Yang didengar pertama-tama adalah saksi korban (Pasal 160 ayat 1 huruf
b KUHAP)

5
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
c. Hakim ketua menanyakan identitas saksi, yakni nama lengkap, tempat lahir, umum
atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan
ketentuan ini adalah agar saksi tersebut tidak keliru dengan orang lain.
d. Apakah saksi tersebut kenal dengan terdakwa sebelum atau sesudah melakukan
perbuatan yang didkawakan serta apakah berkeluarga sedarah atau semenda dan
sampai derajat ke berapa dengan terdakwa (Pasal 160 ayat 2 KUHAP).
e. Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah untuk mengetahui, apakah saksi
tersebut bisa didengar keterangannya sehubungan dengan ketentuan Pasal 168
dan Pasal 169 KUHAP.
f. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib bersumpah atau berjanji menurut cara
agamanya masing-masing (Pasal 160 ayat 3 KUHAP)
g. Segala kejadian di sidang dicatat dalam berita acara. Berita Acara tersebut memuat
hal-hal yang penting dari keterangan saksi, kecuali oleh Hakim Ketua cukup
menunjuk kepada keterangan pemeriksaan penyidikan.
Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim, ketua
sidang wajib memerintahkan supaya dibuat catatan khusus tentang suatu keadaan
atau keterangan.
Berita Acara tersebut ditandatangani oleh Hakim Ketua sidang dan Panitera (Pasal
202 KUHAP).

SUMPAH SAKSI
Setiap saksi yang dihadirkan dalam persidangan wajib mengucapkan sumpah. Bunyi
sumpah diatur dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP. Yang bunyinya adalah: demi allah saya
bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain
daripada yang sebenarnya. Sumpah bisa diberikan sebelum atau sesudah saksi
memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 3,4 KUHAP).
Bagi seorang yang agamanya tidak memperbolehkan bersumpah, sumpah tersebut
diganti oleh berjanji. Keterangan saksi yang diberikan dibawah sumpah atau janji
merupakan alat bukti sedangkan keterangan saksi yang diberikan tanpa mengucapkan
sumpah atau janji bukan merupakan alat bukti, hanya merupakan keterangan yang
menguatkan keyakinan hakim.

URUTAN-URUTAN YANG MENGAJUKAN PERTANYAAN


Penuntut umum atau penasihat hukum boleh bertanya kepada para saksi dengan
perantaraan hakim ketua sidang.
Hakim ketua sidang bisa menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau
penasihat hukum dengan memberikan alasannya. (Pasal 164 KUHAP),
Dalam praktik, baik penuntut umum atau penasihat hukum boleh bertanya kepada saksi
secara langsung. Apabila pertanyaan tersebut tidak relevan, hakim ketua baru
memperingatkan untuk tidak bertanya seperti itu.
Urutan-urutan yang memberikan pertanyaan adalah hakim ketua sidang dan anggota,
penuntut umum, baru penasihat hukum atau terdakwa. (Pasal 165 KUHAP).

6
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa hakim tidak boleh mengambil alih tugas
dan kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ini karena
dalam KUHAP menganut sistem yang membuat surat dakwaan adalah penuntut umum.
Oleh karena itu, yang harus membuktikan adalah penuntut umum. Dengan begitu, urutan-
urutan yang mengajukan pertanyaan adalah penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum, baru majelis hakim.

PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG DILARANG DIAJUKAN KEPADA SAKSI


Dalam ketentuan Pasal 166 KUHAP, disebutkan bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat
tidak boleh diajukan kepada saksi.
Pertanyaan yang bersifat menjerat adalah pertanyaan mengenai suatu perbuatan atau
tindak pidana dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah dinyatakan.
Ketentuan ini mencerminkan bahwa keterangan saksi harus diberikan secara bebas
dipersidangan di semua tingkat pemeriksaan (Penjelasan Pasal 166 KUHAP).

Contoh pertanyaan yang menjerat kepada saksi:


• Jadi terdakwa ini yang mengambil uang saudara?
Padahal, saksi tidak menyatakan bahwa terdakwa yang mengambil uangnya
karena waktu itu ia sedang bepergian (tidak berada di tempat).

Sebenarnya yang seharusnya dilarang tidak hanya pertanyaan yang bersifat menjerat,
tetapi juga pertanyaan-pertanyaan:
• bersifat mengarahkan;
• memberikan alternatif; dan
• menyebut kualifikasi yang didakwakan.

Contoh pertanyaan yang bersifat mengarahkan:


• Yang dilakukan terdakwa kepada saksi B apakah memukul?

Seharusnya bunyi pertanyaannya adalah, apa yang dilakukan terdakwa kepada saksi B?
Contoh pertanyaan yang menyebut kualifikasi:
• Siapakah yang membunuh A?
• Siapakah yang mencuri uang saudara?
Membunuh dan mencuri merupakan hal yang harus dibuktikan. Jadi, pertanyaan
kepada saksi harus mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa sehingga
jawabnya misalnya menikam atau mengambil.

KETERANGAN YANG DIBERIKAN OLEH SAKSI HARUS BERSIFAT BEBAS


Dalam pemeriksaan perkara pidana, R. Soesilo mengatakan bahwa saksi merupakan
kawan penting bagi polisi, jaksa dan hakim. Oleh karena itu, sudah sewajarnya mereka
mendapat perlakuan yang layak, kecuali bila ada alasan-alasan untuk tidak bersikap
demikian. Tiap-tiap saksi mempunyai alasan-alasan sendiri untuk memberi keterangan

7
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
atau tidak. Kepada mereka masing-masing, pemeriksa harus mengambil sikap berlainan
yang setimpal.

Saksi di dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan haruslah bebas (Pasal
153 ayat (2) huruf b KUHAP). Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak
boleh mengadakan tekanan bagaimana pun bentuknya, lebih- lebih di dalam persidangan.
Tekanan tersebut misalnya ancaman dan sebagainya menyebabkan saksi menerangkan
hal yang berlainan daripada hal yang dianggap sebagai pernyataan yang bebas
(penjelasan Pasal 166 KUHAp).

Pemeriksaan oleh penuntut umum sudah tidak dikenal lagi dalam sistem KUHAR. Ini
karena penuntut umum sudah tidak berwenang lagi melakukan penyidikan lanjutan. Dulu
dalam umum bisa melakukan penyidikan lanjutan. Rupanya ketika dibahas di DPR-RI,
penjela: an Pasal 166 KUHAP lupa disesuaikan.

Apabila dirasa saksi memberi keterangan akan merasa tertekan dengan kehadiran saksi
lainnya, maka saksi yang Iain tersebut bisa dikeluarkan dari ruang sidang (pasal 172
KUHAP):

Demikian pula bila saksi merasa tertekan dengan kehadiran terdakwa, maka terdakwa
tersebut dikeluarkan dari ruang sidang. Pemeriksaan tersebut baru boleh dilanjutkan, bila
keterangan saksi tersebut diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 173 KUHAP). Maksud
ketentuan tersebut, agar terdakwa bisa memberikan tanggapan.

HAK TERDAKWA DALAM PEMERIKSAAN SAKSI


Setiap saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada
terdakwa bagaimana pendapatnya (Pasal164 ayat 1 KUHAP).

Tidak ada ketentuan yang mengharuskan terdakwa untuk membenarkan keterangan


saksi. Oleh karena itu, terdakwa boleh membantah.

Bahkan, untuk itu terdakwa berhak mengajukan saksi untuk menguji kebenaran
keterangan mereka (Pasal 165 ayat 4 KUHAP).

Dengan demikian, baik saksi yang meringankan (odecharge) atau yang memberatkan
(acharge) bagi terdakwa, yang mencantumkan dalam surat pelimpahan perkara dan yang
diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atan penuntut umum bisa dihadirkan.
Hakim berkewajiban untuk mendengarkan tersebut (Pasal 160 ayat 1 huruf C KUHAP).

Mengenai pengajuan saksi ada pada SEMA Nomor 2 Tahun 1985 yang menyatakan
Mahkamah Agung berpendapat tanpa mengurangi kewenangan hakim dalam
menentukan jumlah saksi- saksi mana yang dipanggil untuk hadir di sidang pengadilan
juga terdakwa atau penasihat hukum untuk kepentingan pembelaannya, hendaknya

8
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
hakim menyeleksi secara bijaksana terhadap saksi untuk hadir di persidangan. Hal ini
karena tidak ada keharusan hakim untuk memeriksa seluruh saksi yang ada dalam berkas
perkara.

KETERANGAN SAKSI BERBEDA DENGAN BERITA ACARA PENYIDIKAN


Keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik sebagaimana terdapat dalam berita
acara penyidikan (berkas perkara) merupakan pedoman dalam pemeriksaan sidang.
Jika terangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam berkas
perkara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta
keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan
(Pasal 163 KUHAP).

Namun harus diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus disertai alasan
yang bisa diterima. Apabila bisa diterima baru bisa dicatat dalam berita acara
persidangan. Namun apabila tidak bisa diterima akal, tentu saja pencabutan keterangan
saksi tersebut harus ditolak.

SAKSI TIDAK HADIR DALAM SIDANG DENGAN ALASAN YANG SAH


Saksi bisa juga tidak hadir dalam persidangan dengan alasan yang sah.
a. Saksi yang tidak bisa hadir di dalam sidang dengan alasan:
• meninggal dunia
• berhalangan yang sah
• tidak dipanggil karena jauh tempat kediamannya
• tugas negara
Oleh karena itu, keterangan yang telah diberikan di dalam pemeriksaan
penyidikan dibacakan (Pasal 162 ayat 1 KUHAP).
b. Keterangan saksi yang dibacakan tersebut sama nilainya dengan keterangan saksi
yang tidak dibawah sumpah atau janji.
c. Jika keterangan saksi tersebut diberikan di muka penyidik dengan mengucapkan
sumpah ataujanji, maka nilainya sama dengan keterangan saksi dibawah sumpah
yang diberikan dalam sidang (Pasal 162 ayat 2 KUHAP).

KETERANGAN SAKSI PALSU


a. Menurut Pasal 174 KUHAP:
• Apabila keterangan saksi yang diberikan di persidangan disangka palsu, ketua
majelis hakim memperingatkan pada saksi bahwa saksi bisa diancam dengan
Pasal 242 ayat 1 KUHP: barangsiapa daim keadaan dimana undang- undang
menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan
akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberikan
keterangan palsu diatas sumpah, baik dengan lisan maupun tertulis, secara
pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.

9
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
• Apabila saksi tetap dalam keterangannya, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat
memberi perintah supaya saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut
dengan dakwaan saksi palsu.
• Panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat
keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa keterangan
saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim
ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum
untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.
• Jika perlu, hakim ketua sidang bisa menangguhkan persidangan perkara semula
sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
b. Bahwa keterangan saksi yang diberikan tersebut tidak sekadar berbohong, tetapi
keterangan saksi tersebut haruslah justru bertentangan dengan yang diterangkan
mengenai fakta-fakta yang terjadi.
c. Penundaan sidang bisa teriadi apabila saksi yang memberikan kesaksian palsu
adalah saksi kunci. Tentu saja harus diperhatikan masa penahanan terhadap
terdakwa.
d. Sehubungan dengan hal tersebut di atas timbul dua permasalahan yakni:
• Siapakah yang diserahi tugas melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang
disangka telah memberikan keterangan palsu, mengingat perkara tersebut
adalah perkara baru.
• Siapakah yang berwenang untuk melakukan penahanan atas perintah hakim
tersebut,
e. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikemukakan jalan keluar sebagai berikut:
• Saksi yang telah disangka memberikan keterangan palsu sebelumnya sudah
diperiksa oleh penyidik. Jika penuntut umum menganggap perlu dilakukan
pemeriksaan, dapat dilakukan melarui penyidik. Akan tetapi, jika penuntut
umum berpendapat tidak perlu dilakukan pemeriksaan, maka langsung perkara
tersebut diajukan ke sidang pengadilan atas dasar berita acara sidang yang
ditandatangani hakim ketua sidang dan panitera. Perkara tersebut bila diajukan
dengan acara singkat atau acara biasa.
• Sebaiknya yang melakukan penahanan terhadap saksi yang memberikan
keterangan palsu adalah hakim ketua sidang dengan mengeluarkan penetapan
penahanan.

KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI


1. Bunyi Pasal 185 KUHAP
1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan.
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.

10
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila
keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa
sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik
pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi.
5) Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhatikan.
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
6) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain
tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain.

2. Keterangan Saksi sebagai Alat Bukti


Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada permasalahan
yang berhubungan dengan pembuktian. Syarat sahnya keterangan saksi, alat bukti
keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.
Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian atat bukti keterangan saksi.
Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan
keterangan saksi sekurang- kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang
lain, masih selalu dipertukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi,"the
degree of evidence"keterangan saksi, mempunyai nilai kekuatan pembuktian (Pasal
185 ayat 1 KUHAP).
a. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP, maka yang harus
diterangkan dalam sidang adalah:
• apa yang saksi lihat sendiri;
• apa yang saksi dengar sendiri;
• apa yang saksi alami sendiri.
dengan menyebut alasan mengapa saksi dapat melihat, mendengar dan
mengalami hal itu.
b. Keterangan saksi di depan penyidik, bukan keterangan saksi, jadi bukan
merupakan alat bukti. Keterangan saksi di depan penyidik hanya sebagai
pedoman hakim untuk memeriksa perkara dalam sidang.

11
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Apabila berbeda antara keterangan yang diberikan di depan penyidik dengan yang
diberikan di depan sidang, hakim wajib menanyakan dengan sungguh-sungguh dan
dicatat (Pasal 163 KUHAP).

3. Asas Unnus Testis Nullus Testis


Asas unnus testi nullus testis artinya adalah satu saksi bukan merupakan saksi. Di
dalam KUHAP diatur dalam Pasal 185 ayat 2 yang berbunyi: keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan.

Asas unnus testis, nullus testis tersebut dapat disimpangi berdasarkan Pasal185 ayat
3 KUHAP, yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai
dengan satu alat bukti lain yang sah.

Berdasarkan tafsir acontrario, keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan


bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti lain, misalnya:
• satu keterangan saksi ditambah keterangan terdakwa.
• satu keterangan saksi ditambah satu alat bukti surat.

Mengenai ketentuan"satu saksi bukanlah saksi", menurut Mr. Modderman dalam


bukunya De wettelijk bewtjsleer instrafzaken yang dikutip A. Karim Nasution,
mengemukakan bahwa inti sebenarnya dari aturan tersebut bukanlah terletak pada
angkanya.

Ini karena tidaklah ada suatu alasan untuk mengatakan bahwa keterangan seorang
saksi kurang dipercaya kejujurannya, dibandingkan dengan keterangan dua orang
saksi. Namun, alasannya adalah bahwa dengan keterangan seorang saksi saja,
kemungkinan untuk mengadakan pengecekan timbal batik antara alat-alat bukti akan
tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu, untuk pembuktian yang sah diperlukan
sekurang-kurangnya dua kesaksian. Untuk dapat menghukum atas dasar dua
kesaksian, tidaklah diisyaratkan bahwa harus ada persesuaian tertentu antara kedua
kesaksian tersebut, tetapi yang penting terdapat titik pertemuan antara satu sama
lain.

4. Penilaian dari Keterangan Saksi


Penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi adalah bebas.
Artinya, seorang hakim bebas untuk menerima atau menolak isi keterangan seorang
saksi yang diberikan di persidangan.

Keadaan tersebut ada benarnya. Hal ini karena seringkali seorang saksi di dalam
menerangkan dilandasi suatu motivasi tertentu.

12
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Ada ketentuan yang harus diperhatikan oleh hakim di dalam menilai keterangan
seorang saksi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk mengingatkan hakim agar
memperhatikan keterangan saksi secara bebas, jujur, dan objektif.

Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 185 ayat 6 KUHAP. Dalam menilai
kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh
memperhatikan:
a. persetujuan antara keterangan saksi satu dengan yang lain,
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain,
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu, dan
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
memengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

5. Saksi Tanpa Sumpah


Agar keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian, pada prinsipnya harus
memenuhi syarat:
a. saksi hadir dalam persidangan;
b. saksi harus bersumpah; dan
c. saksi tersebut menerangkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang
ia alami dengan menyebutkan dasar pengetahuannya.

Dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP disebutkan, bahwa keterangan dari saksi yang tidak
disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan bukti. Namun,
apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP, dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa keterangan saksi dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Keterangan saksi yang disumpah.
b. Keterangan saksi yang tidak disumpah.

Keterangan saksi, baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila dinyatakan
saksi yang sebelumnya disumpah/berianji atau dikuatkan oleh sumpah/janji.

Keterangan saksi yang tidak disumpah, bisa terjadi karena:


a. Saksi menolak untuk bersumpah atau berjanji dan dalam waktu penyanderaan
telah lampau, saksi tersebut tetap tidak mau bersumpah (Pasal 161 KUHAP).
b. Berita acara pemeriksaan saksi yang dibacakan di sidang karena saksi tersebut
tidak bisa dihadirkan dan waktu pemeriksaan penyidikan tidak disumpah
(Pasal162 KUHAP).
c. Saksi yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan yang memberikan
keterangan tanpa sumpah (Pasal 169 ayat 2 KUHAP).

13
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
d. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin
atau sakitjiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasa] 171
KUHAP).

Keterangan saksi tanpa sumpah tersebut, dapat dipergunakan sebagai:


a. Keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat 2
KUHAP), yaitu dalam hal tenggang waktu penyandraan tersebut telah lampau
dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka
keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim.
b. Dapat dipakai sebagai petunjuk (penjelasan Pasal171 KUHAP), yaitu anak yang
belum cukup umur dan orang yang sakit ingatan.

Bila ketentuan tersebut dikaitkan dengan Pasal 185 ayat 7 KUHAP dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak merupakan alat bukti, meskipun sesuai satu dengan yang lain;
2. Jika keterangan tersebut sesuai dengan keterangan saksi yang
disumpah,"dapat” dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang
sudah ada, yakni:
• menguatkan keyakinan hakim;
• dapat dipakai sebagai petunjuk.

Karena kata"dapat", maka hakim tidak terikat untuk mempergunakannya. Jadi,


sifatnya bisa dipakai atau dikesampingkan jika bertentangan dengan keyakinan
hakim.

JENIS-JENIS SAKSI
Saksi-saksi dalam persidangan dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk. Berikut
bentuk-bentuk saksi tersebut :
1. Saksi Adercharge
Saksi yang memberikan keterangan menguatkan pada pihak terdakwa atau
melemahkan dakwaan penuntut umum.
2. Saksi Acharge
Saksi-saksi yang memberikan keterangan yang menguatkan pihak jaksa atau
melemahkan pihak terdakwa.
3. Saksi Mahkota
Dimana salah seorang di antara terdakwa dapat menjadi saksi kehormatan berupa
perlakuan istimewa, yaitu tidak dituntut atas tindak pidana dimana ia sebenarnya
merupakan salah satu pelakunya atau ia dapat dimanfaatkan atas kesalahannya.

Dalam praktik, antara seorang terdakwa dan terdakwa lain yang bersama-sama
melakukan tindakan pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain. Saksi
yang diajukan seperti tersebut di atas, disebut saksi mahkota (kmongetuige), pada saat
yang lain ia dijadikan terdakwa.

14
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Berkas pemeriksaan terhadap para tersangka dipisah, atau disebut pemisahan berkas
perkara (splitsing). Splitsing dilakukan karena kurangnya saksi untuk menguatkan
dakwaan penuntut umum sehingga ditempuh cara mengajukan sesama tersangka sebagai
saksi atas tersangka yang lain.

Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan
Keputusan Nomor 66 K/Kr/1967, tanggal 25 oktober 1967. Namun demikian, kelemahan
dari pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu
sehingga ada kemungkinan saksi tersebut diancam atau dikenakan Pasal 224 KUHP.

Kemungkinan yang timbul, para terdakwa yang diperiksa Seperti ini akan saling
memberatkan atau saling meringankan. Salah satu penyebab bebasnya para terdakwa
dalam kasus Marsinah yang menggemparkan adalah praktik splitsing. Doktrin hukum
yang menyatakan prinsip saksi mahkota itu tidak boleh digunakan karena melanggar hak
asasi manusia. Terdakwa tidak bisa menggunakan hak mungkir karena terikat
sumpahnya ketika menjadi saksi. Penggunaan saksi mahkota ial Pengadilan menurut Adi
Andojo Soetjipto sudah salah kaprah.

Mahkamah Agung bermaksud meluruskan hal ini. Di dalarn putusan Mahkamah Agung
Nomor 1174K/Pid/1994 tanggal 29 Apri11995 dengan terdakwa Ny. Mutiari, SH., dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1952 K/pid/1994 tanggal 29 April 199s dengan
terdakwa Bambang Wuryangtoyo, Widayat dan Ahmad Sutiyono Prayogi dengan ketua
Majelis Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto, SH., telah memberi pertimbangan sebagai
berikut:

"Oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian, dimana saksi
adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah
adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung hak asasi manusia,
lagipula para terdakwa telah mencabut keterangannya didepan penyidik dan pencabutan
tersebut beralasan karena adanya tekanan fisik maupun psikis dapat dibuktikan secara
nyata, disamping itu keterangan saksi-saksi lain yang diajukan ada persesuaian satu sama
lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka terdakwa dibebaskan”.

Dengan adanya yurisprudensi Nomor 1174 K/pid/1994 dan Nomor 1592 K/Pid/1994
tersebut, praktik saksi mahkota seharusnya diakhiri. Menurut penulis, seharusnya
penyidik sebelum melakukan penyidikan hendaknya memfungsikan secara maksimal
penyidikan sehingga mendapatkan saksi yang cukup dan tidak perlu menggunakan saksi
mahkota. Saksi korban/saksi utama yang melapor atau yang mengadu, yaitu antara
seorang terdakwa dan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindakan pidana,
bisa dijadikan saksi antara yang satu dan yang lain.

15
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
1. Saksi Relatif Enbevoegd
Saksi relatif enbevoegd adalah mereka yang tidak mampu secara nisbi/relatif.
Mereka ini didengac tetapi tidak sebagai saksi. Misalnya, anak yang belum
mencapai lima belas tahun, orang gila.
2. Saksi Absolut Anbevoegd
Hakim dilarang untuk mendenar mereka sebagai saksi karena ada hubungan
keluarga sedarah, semenda, suami/istri salah satu pihak (Pasal 186 KUHAP).
3. Saksi de Auditu (Testimonium de Auditu)
Saksi yang tidak perlu didengar kesaksiannya karena mendengar dari pihak ketiga.
4. Saksi Verbalisan (Penyidik)
Apabila dalam persidangan, terdakwa mencabut keterangannya pada waktu
pemeriksaan penyidikan (berita acara penyidikan) atau mungkin seringkali
penyidik yang memeriksa perkara tersebut dipanggil jadi saksi.

Alasan yang paling sering dipergunakan adalah terdakwa ketika diperiksa dalam
penyidikan ditekan atau dipaksa atau diancam atau dipukul atau disiksa. Jika alasan yang
dipergunakan dipukul atau disiksa, seringkali hakim bertanya mana bekas pukulan atau
siksaan penyidik? Tentu saja pertanyaan seperti ini sangat Iucu. Ini karena pukulan atau
siksaan kadang-kadang sudah hilang, kecuali jika berkas perkara tersebut cepat-cepat
dilimpahkan atau siksaan tersebut mengakibatkan luka.

KETERANGAN AHLI
Definisi AHLI menurut:
1. Pasal 120 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian khusus;
2. Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan
tulisan palsu;
3. Pasal 133 KUHAP , adalah ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya;

Dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas tidak disebutkan secara jelas syarat-syarat
tentang ahli, kecuali untuk dokter ahli kehakiman atau dokter, dengan demikian terbuka
kemungkinan seorang ahli dari kalangan tidak terdidik secara formal, dimana orang
tersebut mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal,
atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang itu, misalnya tukang
kayu, seorang pemburu, seseorang yang menguasai hukum adat tertententu.

-Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan ( Pasal 1 butir 28 KUHAP )

-Untuk membuat jelas dan terang suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa,
maka keterangan ahli dapat disampaikan secara lisan dan langsung dicatat dalam berita
acara sidang oleh Panitera, dengan diucapkan di atas sumpah atau janji, dan keterangan
ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang;

16
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
PEMANGGILAN AHLI
Dasar hukum pemanggilan seorang ahli sama dengan dasar hukum pemanggilan seorang
saksi, yaitu Pasal 146 ayat (2) dan Pasal 227 KUHAP. Pemanggilan terhadap ahli dilakukan
oleh Penuntut Umum yang memuat secara jelas tanggal, hari dan jam sidang serta untuk
perkara apa ia dipanggil.

Menjadi ahli pada dasarnya sama dengan menjadi saksi, adalah merupakan kewajiban
hukum; Menolak panggilan tersebut dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 159 ayat
(2) KUHAP. sedangkan ancaman menolak kewajiban sebagai ahli terdapat dalam Pasal
224 KUHP.

TATA CARA PEMERIKSAAN AHLI;


1. Ketua Majelis Hakim menanyakan identitas ahli
2. Sebelum memberikan keterangan berdasarkan keahliannya, ahli wajib bersumpah
atau berjanji menurut cara agama masing-masing (Pasal 179 ayat 2 KUHAP).
3. Keterangan ahli yang diberikan di persidangan dicatat dalam berita acara sidang
(penjelasan Pasal 186 KUHAP).

SUMPAH AHLI
-Bunyi sumpah seorang ahli: “ Bahwa selaku ahli akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya”

-Apabila Ahli menolak untuk bersumpah atau berjanji, maka:


1. Terhadap ahli yang tidak mau bersumpah atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan
tetap dilaksanakan;
2. Terhadap ahli tersebut dikenakan penyanderaan di dalam rutan paling lama 14
(empat belas) hari berdasarkan penetapan hakim ketua sidang;
3. Apabila waktu 14 hari tersebut dilampaui, keterangan yang diberikan merupakan
keterangan saja yang menguatkan keyakinan hakim;

AHLI TIDAK HADIR DI PERSIDANGAN


1. Keterangan ahli yang tidak hadir dalam sidang dengan alasan yang sah, keterangan
tersebut dibacakan
2. Jika keterangan ahli tersebut sebelum diberikan di depan Penyidik sudah
mengucapkan sumpah atau janji, nilainya sama dengan keterangan ahli yang
dinyatakan dalam sidang;
3. Jika keterangan ahli diberikan di depan Penyidik tidak mengucapkan sumpah atau
janji, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan saja yang
menguatkan keyakinan

17
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
-Kekuatan alat bukti keterangan ahli:
1. Apabila ahli tersebut mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu sebelum
memberikan keterangan;
2. Jika ahli tidak dapat hadir di persidangan dengan alasan yang sah dan sebelumnya
sudah disumpah dimuka Penyidik, nilainya sama dengan keterangan ahli yang
diucapkan dimuka sidang;

-Keterangan ahli hanya bersifat menguatkan keyakinan Hakim, apabila:


1. Ahli tidak hadir di persidangan, sedangkan yang bersangkutan belum disumpah
dimuka Penyidik;
2. Keterangan ahli diberikan tanpa disumpah lebih dahulu;

ALAT BUKTI SURAT


Pengertian surat menurut hukum acara pidana tidak secara definitif diatur dalam satu
pasal khusus, namun dari beberapa pasal dalam KUHAP tetang alat bukti surat, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat adalah) alat bukti tertulis yang harus
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
Jenis surat dalam hukum acara pidana, tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, sebagai
berikut:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat / dialami sendiri disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu, contoh: Akta Notaris, Akta jual
beli oleh PPAT dan Berita acara lelang;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan, contoh; BAP, paspor, kartu tanda penduduk dll.
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi darinya,
contoh ; visum et repertum. Walaupun sering dikategorikan sebagai keterang ahli,
namun visum et repertum juga dapat merupakan alat bukti surat, hal ini oleh yahya
harahap disebut sifat dualisme alat bukti keterangan ahli), Walaupun banyak
perbedaan pendapat mengenai visum et repertum ini, namun tidak mempengaruhi
nilai dan kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti sah di pengadilan, baik
sebagai alat bukti surat maupun keterangan ahli, akan tetapi visum et repertum
tidak dapat dikualifikasi sebagai dua alat bukti.
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain, contoh ; surat-surat dibawah tangan.

Selain jenis surat sebagaimana ketentuan Pasal 187 KUHAP, dikenal 3 (tiga) macam surat,
sebagai berikut:

18
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
1. Akta otentik, adalah suatu akta yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu dan
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya di
wilayah yang bersangkutan;
2. Akta dibawah tangan, yakni akta yang tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat
umum tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti;
3. Surat biasa, yakni surat yang dibuat bukan untuk dijadikan alat bukti.

NILAI PEMBUKTIAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT


Surat resmi/surat otentik yang diajukan dan dibacakan di sidang pengadilan merupakan
alat bukti surat, sedangkan surat biasa mempunyai nilai pembuktian alat bukti petunjuk
jika isi surat tersebut bersesuaian dengan alat bukti sah. Alat bukti surat resmi/otentik
dalam perkara pidana berbeda dengan perdata. Memang isi surat resmi bila diperhatikan
dari segi materilnya berkekuatan sempurna, namun pada prakteknya terdakwa dapat
mengajukan bukti sangkalan terhadap akta otentik tersebut. Kekuatan pembuktian dari
alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan pembuktian
alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat alat bukti surat tersebut
berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun tidak. Walaupun begitu bukan
berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudah terbukti
kebenarannya dan bersesuaian dengan alat-alat bukti lainnya.

visum et repertum, walaupun sering dikategorikan sebagai keterangan ahli, namun visum
et repertum juga dapat merupakan alat bukti surat, namun tidak mempengaruhi nilai dan
kekuatan pembuktiannya sebagai alat bukti sah di pengadilan, baik ia sebagai alat bukti
surat maupun keterangan ahli, akan tetapi visum et repertum tidak dapat dikualifikasi
sebagai dua alat bukti.

ALAT BUKTI PETUNJUK


Dalam KUHAP pengaturan alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188 yang
berbunyi:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya
baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, hanya dapat
diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana. Setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nurani.

19
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa alat bukti petunjuk adalah
merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan
tentang pembuktian haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya
dan memilih yang ada persesuaiannya.

Kekuatan alat bukti petunjuk, serupa sifat dan kekuatanya dengan alat bukti lain, hanya
mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang “bebas”, yang artinya, a) hakim tidak terikat
dengan kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim
bebas menilainya dan menggunakan sebagai upaya pembuktian, dan b) petunjuk sebagai
alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, alat bukti petunjuk
tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk
dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain

KETERANGAN TERDAKWA
Adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia
lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Pasal 189 ayat 1 KUHAP). Dari uraian
Pasal tersebut masih menyimpan sejumlah kesulitan. Tidak ada perbedaan atau
penjelasan apakahpengakuan dapat dikategorikan sebagai keterangan terdakwa, untuk
itu Andi Hamzah mengemukakan bahwa keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan
pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat diantaranya:
1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.
2. Mengaku ia bersalah.

Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, keterangan terdakwa harus ditafsirkan bahwa
keterangan yang bernilai sebagai pengakuan maupun penyangkalan dapat dijadikan
sebagai alat bukti. Yang penting keterangan tersebut dinyatakan di sidang pengadilan,
mengenai perbuatan yang dilakukan, diketahui atau dialami sendiri, keterangan tersebut
hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, harus disertai atau ditunjang dengan
alat bukti yang lain (Pasal 189 KUHAP).

Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan


terdakwa saja tidak dapat untuk membuktikan perbuatan pidana yang dilakukannya
namun haruslah dilengkapi dengan alat bukti yang lain.

Mencabut BAP di persidangan itu boleh. BAP tersangka yang dibuat di bawah tekanan
atau kekerasan adalah tidak sah. Apalagi secara hukum, yang menjadi fakta hukum adalah
apa yang disampaikan di persidangan, BUKAN yang disampaikan di BAP.
Penyiksaan dan/atau tekanan dari penegak hukum saat memeriksa tersangka/terdakwa
adalah tidak dibenarkan hukum. Sebab selain merupakan bentuk tindak pidana
penganiayaan juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. (Segera
laporkan oknum tersebut ke propam untuk pelanggaran etiknya da/atau ke polisi untuk
tindak pidananya).

20
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Menurut hukum, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik atau hakim. Dasar Hukumnya, Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi: “Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan
secara bebas kepada penyidik atau hakim”.

Prinsipnya, agar pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada
yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh
karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa
(lihat penjelasan Pasal 52 KUHAP).

Apabila saat diperiksa polisi (di BAP) tersangka mengalami penyiksaan atau tekanan
sehingga dengan terpaksa memberikan keterangan yang tidak benar di dalam BAP, maka
tersangka/terdakwa bisa mencabut (menyatakan tidak benar) keterangan dalam BAP
tersebut di persidangan dengan menyampaikan alasan disiksa dan ditekan tadi. Sebab
menurut KUHAP, yang menjadi fakta hukum adalah yang disampaikan di persidangan
BUKAN di BAP. Jadi tidak usah terpaku dengan BAP.

Prinsipnya kalau isi BAP itu benar maka akui, tapi jika tidak benar sampaikan tidak benar.
Dasar hukumnya, Pasal 189 ayat 1 KUHAP, berbunyi : “Keterangan terdakwa ialah apa
yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri”.

Berdasarkan uraian di atas, maka bisa disimpulkan mencabut BAP yang diperoleh dari
penyiksaan atau tekanan itu boleh. Apalagi secara hukum, yang menjadi fakta hukum
adalah apa yang disampaikan di persidangan, BUKAN yang disampaikan di BA.

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP (PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (hal.
320-321), sudah barang tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti
yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan
berpijak, antara lain:

1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan


Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah,
keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan berupa
penjelasan “yang diutarakan sendiri” oleh terdakwa, maupun pernyataan yang
berupa “penjelasan” atau “jawaban” terdakwa atas pertanyaan yang diajukan
kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum, atau penasihat
hukum.

21
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri. Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti,
keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan:
a. Tentang perbuatan yang dilakukan terdaka, Pernyataan perbuatan dapat
dinilai sebagai alat bukti ialah penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan
terdakwa sendiri.
b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwaa. Arti yang terdakwa
ketahui sendiri adalah pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana
yang didakwakan kepadanya. Bukan “pendapat atau rekaan” terhadap
peristiwa pidana tersebut, tapi semata-mata pengetahuan langsung yang
timbul dari peristiwa tindak pidana itu.
c. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. Pernyataan terdakwa tentang apa
yang dialami baru dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti jika
pernyataan pengalaman itu mengenai “pengalamannya sendiri”. Tapi yang
dialami sendiri ini pun bukan sembarang pengalaman, tapi harus berupa
pengalaman yang “langsung berhubungan” dengan peristiwa pidana yang
bersangkutan.
d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan
dalam kedudukannya sebagai terdakwa hanya dapat dipergunakan sebagai
alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa
terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa
hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B,
demikian sebaliknya.

Keterangan Terdakwa di Luar Persidangan


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu penilaian yang menentukan
sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah keterangan terdakwa
harus dinyatakan di sidang pengadilan. Tetapi, apakah pernyataan terdakwa di luar
sidang pengadilan tidak dapat digunakan sama sekali dalam upaya pembuktian? Untuk
menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 189 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : “Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya”.

Keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
Oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Akan tetapi, dapat
dipergunakan “membantu” menemukan bukti di sidang pengadilan. Dengan catatan,
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang ada hubungannya mengenai hal yang
didakwakan kepadanya.

22
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Kalau keterangan di luar sidang tidak didukung oleh salah satu alat bukti yang sah,
keterangan itu tidak berfungsi sebagai alat pembantu menemukan bukti di sidang. Akan
tetapi, sekiranya keterangan di luar sidang didukung oleh salah satu alat bukti yang sah,
fungsi dan nilainya tetap sebagai “alat pembantu” menemukan bukti di persidangan.

Jadi, keterangan terdakwa di luar sidang pengadilan tidak dapat dikatakan sebagai alat
bukti karena keterangan terdakwa harus dinyatakan di sidang pengadilan. Akan tetapi,
keterangan terdakwa di luar persidangan dapat dipergunakan “membantu” menemukan
bukti di sidang pengadilan. Dengan catatan, keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti
yang ada hubungannya mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Menurut Yahya Harahap , apa yang tersirat pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP mempunyai
makna bahwa pengakuan menurut KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang “sempurna” atau bukan volledig bewijs kracht, juga tidak memiliki
kekuatan pembuktian yang “menentukan” atau bukan beslissende bewijs kracht. Oleh
karena pengakuan atau keterangan terdakwa bukan alat bukti yang memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna dan menentukan, penuntut umum dan persidangan tetap
mempunyai kewajiban berdaya upaya membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat
bukti yang lain. KUHAP tidak mengenal keterangan atau “pengakuan yang bulat” dan
“murni”. Ada atau tidak pengakuan terdakwa, pemeriksaan pembuktian kesalahan
terdakwa tetap merupakan kewajiban dalam persidangan.

Selain itu, masih berkaitan dengan pembuktian perkara pidana, KUHAP menganut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hal ini terdapat dalam Pasal 183
KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”

Terkait dengan hal ini, Yahya Harahap menjelaskan bahwa dari bunyi pasal tersebut,
KUHAP menganut sistem “pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Dalam
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, seorang terdakwa baru dapat
dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan
dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus
keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.

Jadi, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan
pidana kepadanya harus :
• kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
• dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

23
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Lebih lanjut dijelaskan Yahya Harahap, bahwa tujuan pembuat undang-undang
merumuskan pasal tersebut adalah seminimal mungkin menjamin tegaknya kebenaran
materiil serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang juga disebut
dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP. Dari rumusan pasal di atas dapat kita tarik
kesimpulan pula bahwa pengakuan terdakwa tentu tidak cukup dijadikan bukti untuk
memperoleh kebenaran materiil, namun harus dikuatkan dengan alat bukti lainnya dan
keyakinan hakim.

III. Sumber Referensi

• Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;


• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
• Alfitra, SH.MH, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana , Perdata dan
Korupsi Di Indonesia, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2012;
• M.Yahya Harahap, SH, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Jakarta, Sinar Grafika, 2000;
• Hannah Andi., KUHP & KUHAP Cetakan ke 17, Rineka Cipta, Jakarta, 2011.
Hiariej Eddy, 0.S.,
• Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Yogyakarta, 2012 Samosir C.
Djisman.,
• Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013.
• Sofyan Andi & Abd. Asis, H., Hukum Acara Pidana, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2014. Sudarsono.,

24
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana
25
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana

Anda mungkin juga menyukai