Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur proses beracara dalam

hukum pidana atau secara umum dikenal dengan hukum formil. Hukum pidana

formil berisi tentang bagaimana cara negara melaksanakan pemidanaan melalui

alat-alatnya untuk melaksanakan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan

pemidanaan dan menjatuhkan pidana yang bersumber dari Undang-Undang

nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

Secara garis besar Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan tahapan dalam

proses peradilan pidana yang bermula dari tahapan penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan sidang di pengadilan, putusan pengadilan, serta tahapan

upaya hukum terhadap putusan pengadilan. Proses peradilan pidana dengan

berbagai tahapannya ini dimaksudkan agar penegak hukum dapat membuktikan

dan menentukan siapa yang menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana.

Eksistensi dari aturan KUHAP sangat penting bagi penegak hukum yang

menjadi acuan dan pedoman dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana.

Salah satu pengaturan yang terpenting dalam KUHAP terkait dengan penyelesaian

suatu perkara tindak pidana adalah pembuktian. Menurut Yahya Harahap, yang

disebut dengan pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan

dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk


membuktikan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan

boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan1.

Secara universal terdapat 4 macam sistem dan teori mengenai

pembuktian yang dianut oleh beberapa negara di dunia, yaitu sebagai berikut2 :

1. Sistem dan teori pembuktian conviction in time

2. Sistem dan teori pembuktian conviction in raisone

3. Sistem dan teori pembuktian secara positif

4. Sistem dan teori pembuktian secara negatif .

Dari sistem dan teori pembuktian yang dipaparkan diatas tidak ada

satupun dari sistem dan teori pembuktian tersebut yang sempurna, masing-masing

dari sistem dan teori ini memiliki kelemahan. Sebagai contoh dalam teori

conviction in time, keyakinan hakim merupakan hal yang mutlak saat pembuktian

kesalahan terdakwa, sistem dan teori menempatkan hakim sebagai manusia yang

sempurna dan tidak mungkin melakukan kesalahan, teori ini cenderung

menimbulkan kesewenangan dari hakim dalam mengambil putusan. Jika di tinjau

dari sistem teori lain misalnya dalam sistem dan teori pembuktian secara positif

dalam pembutkian kesalahan tedakwa hanya mementingkan terhadap telah

tepenuhinya syarat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan tidak

mempermasalahkan walaupun hal tersebut tidak menimbulkan keyakinan hakim

terhadap kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa . Dari hal-hal tersebut

1
Yahya Harahap,2003,Pembahasan, permasalahan, dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Persidangan Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua ,
Sinar Grafika, Jakarta, , hlm.237.
2
Prof. Dr.Jur. Andi Hamzah,2011,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika,hlm 251
dapat dipahami bahwa setiap sistem dan teori pembuktian tersebut memiliki

kelebihan dan kelemahan dalam proses pembuktian di pengadilan.

Sistem dan teori pembuktian yang digunakan dalam peradilan pidana di

Indonesia adalah sistem dan teori pembuktian secara negatif, dimana Sistem

peradilan di Indonesia sangat mengutamakan adanya bukti dari setiap perkara dan

dari bukti yang telah di hadirkan di pengadilan tersebut menimbulkan keyakinan

untuk hakim terhadap kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa.

Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materil yang berguna bagi

penegak hukum terutama bagi hakim memperoleh alat bukti yang lengkap dan

sah, guna dihadirkan dimuka persidangan untuk memutus suatu perkara tindak

pidana. Pengaturan mengenai pembuktian sendiri dimuat didalam pasal 183

KUHAP yaitu; “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Lebih lanjut dalam aturan pasal 184 KUHAP dicatumkan beberapa alat-

alat bukti yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai

berikut:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.
Jika dilihat dari daftar alat bukti sebagaimana yang diatur dalam pasal

184 KUHAP dapat diketahui bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat

bukti yang sah menurut undang-undang dan dapat dikatakan sebagai alat bukti

yang utama didalam persidangan. Hal ini dikarenakan hampir disetiap

persidangan pidana selalu menghadirkan seorang saksi untuk didengar

keterangannya didalam pengadilan.

Dalam terjadinya suatu tindak pidana, korban adalah pihak yang

dirugikan, oleh karena itu sudah sepatutunya keterangan yang didengar pertama

kali dimuka persidangan adalah keterangan korban. Dalam persidangan, seorang

korban apabila ia masih hidup dan dalam keadaan yang memungkinkan dapat

dihadirkan sebagai saksi. Sesuai dengan aturan pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP

bahwa : “yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi

saksi”.

Keterangan yang diberikan oleh saksi dan/atau korban merupakan salah

satu alat bukti yang sah dan berkekuatan hukum dalam proses pengadilan pidana,

karena memiliki peranan yang penting dalam proses persidangan maka keterangan

saksi ini memberikan kekuatan terhadap keyakinan hakim. Pasal 1 butir 26

KUHAP mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi pada intinya

adalah keterangan dari orang yang terhadap suatu tindak pidana ia mendengar

sendiri, melihat sendiri atau mengalami sendiri, hal ini lah yang menjadi dasar

untuk menguatkan kekuatan keterangan saksi dalam pembuktian persidangan.

Sehingga, dikarenakan tindak pidana merupakan kejahatan yang langsung


berkenaan dengan masyarakat , maka tidak ada satupun kasus tindak pidana yang

luput dari keterangan saksi3.

Pengaturan mengenai definisi saksi ini juga diatur di dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 mengenai Saksi Dan Korban, yang dimaksud

sebagai saksi dalam peraturan perundang-undangan ini adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri,ia lihat sendiri, atau ia alami sendiri.

Namun pengertian mengenai pengertian saksi ini telah diperluas,

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, telah

memberikan perluasan makna atau pengertian mengenai saksi, yakni tidak hanya

orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang

yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib

didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang

berhadapan dengan tersangka/terdakwa.

Pada hakikatnya pengambilan keterangan dari saksi dalam proses

persidangan akan dilakukan dengan mengambil sumpah dari para saksi terlebih

dahulu. Pengambilan sumpah terhadap para saksi didalam persidangan

dimaksudkan agar keterangan yang diberikan oleh saksi di persidangan

merupakan keterangan yang benar, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kesaksian dengan sumpah dalam persidangan ini diatur didalam pasal 160 ayat

(3) KUHAP yaitu; “ orang yang akan memberikan kesaksiannya di dalam

3
Universitas Pasundan, Kedudukan Alat Bukti Surat Elektronik (Email) Dihubungkan
Dengan KUHAP Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Tranksaksi
Elektronik, diakses dari http://repository.unpas.ac.id/5159/5/9.%20BAB%20II.pdf pada 24
Agustus 2020 Pukul 15.36 WIB
persidangan sebagai saksi, wajib disumpah atau diangkat janjinya sesuai dengan

agama dan kepercayaannya terlebih dahulu”.

Dalam hukum acara pidana telah mengatur mengenai siapa saja yang

tidak dapat didengar keteranganya atau boleh mengundurkan diri sebagai saksi,

sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 168 KUHAP adalah sebagai berikut :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau

ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-

sama sebagai terdakwa

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang

mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak

saudara sampai derajat ketiga.

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau

yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Di dalam aturan pasal 168 KUHAP tidak terdapat larangan terhadap

orang yang mengalami sakit jiwa ini untuk menyampaikan keterangannya sebagai

saksi di pengadilan. Namun dalam beberapa kasus, pembuktian atau pengambilan

keterangan yang diberikan saksi penderita sakit jiwa ini tidak didahului dengan

pengangkatan sumpah, atau ada pengecualian terhadap pengambilan keterangan

oleh saksi penderita sakit jiwa dalam persidangan, hal ini diatur pada pasal 171

KUHAP yaitu yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah

adalah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah

kawin, serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatannya baik kembali.


Keterangan yang diberikan oleh anak yang berusia di bawah lima belas

tahun dan juga oleh orang yang mengalami sakit jiwa meskipun kadang

ingatannya kembali tidak dapat di angkat sumpahnya karena dianggap tidak dapat

dipertanggung jawabkan kebenarannya didalam persidangan, keterangan mereka

ini hanya dijadikan sebagai bukti petunjuk dalam proses pengadilan meskipun

mereka adalah korban sekalipun. Tidak dapat di jadikannya keterangan oleh orang

sakit jiwa sebagai alat bukti keterangan saksi merupakan suatu hal yang

merugikan dalam proses pembuktian karena dapat menghambat proses penegakan

hukum, karena pada keadaan tertentu keterangan dari orang yang sakit jiwa bisa

jadi merupakan alat bukti yang penting dan dikhawatirkan jika keterangan dari

orang sakit jiwa tidak digunakan sebagai alat butki maka tujuan hukum tidak

tercapai. Defenisi dan pembatasan mengenai kondisi orang yang mengalami sakit

ingatan dan sakit didalam hukum tidak memiliki defenisi yang jelas, sehingga

akan ditemukan kesulitan dalam mendefenisikan kondisi kesehatan jiwa dan

mental seseorang. Apalagi jika tindak pidana yang dialami oleh korban yang

mengalami gangguan jiwa atau mental ini dilakukan di tempat yang sepi dan tidak

ada saksi lain yang dapat di ambil keterangannya selain dari keterangan yang di

alami oleh korban sendiri dan ternyata juga mengalami sakit jiwa.

Dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan jiwa

(UU Kesehatan Jiwa) tidak terdapat penggunaan kata orang sakit ingatan ataupun

sakit jiwa, namun istilah yang digunakan adalah orang dengan gangguan jiwa

(ODGJ). Pada pasal 1 butir 3 UU Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa orang

dengan gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,

prilaku, dan perasaaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala


dan/atau perubahan prilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan

dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.

Dalam pasal 185 ayat (7) KUHAP menyatakan bahwa : “keterangan dari

saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak

merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari

saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang

lain”. Dalam aturan pasal ini kedudukan saksi korban yang mengalami sakit jiwa

menjadi tidak jelas, dimana keterangannya hanya dijadikan sebagai tambahan alat

bukti jika sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah. Tentu aturan dalam

pasal ini akan bertabrakan dengan aturan pasal 171 KUHAP yang menimbulkan

kerancuan terhadap kedudukan keterangan saksi korban yang mengalami sakit

jiwa.

Sebagai contoh dalam putusan pengadilan negeri Oelamasi Nomor

190/Pid.B/2012/PN.Olm seorang korban tindak pidana penderita retardasi mental

yang bernama Asri Delila Uas yang mengalami pencabulan. Didalam pemeriksaan

persidangan korban dengan keadaan yang mengalami keterbelakangan mental

menyebabkan dalam keterangan korban tidak diangkat sumpahnya. Namun, pada

putusan pengadilan Batusangkar Nomor 105/Pid.B/2019/PN.Bsk, seorang korban

tindak pidana penganiyaan bernama Randi Saputra yang juga merupakan

seseorang yang menderita reterdasi mental, tetapi dalam memberikan

keterangannya sebagai saksi korban tetap diangkat sumpahnya. Dari contoh

kedua kasus ini, dengan kondisi saksi korban yang sama-sama mengalami

gangguan mental,namun mendapatkan perlakuan yang berbeda di depan hukum.


Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifht

Edition (DSM-5) yang dimaksud reterdasi mental adalah “a situation where the

general intelligence functions below average, which begins at a time period of

development and experiencing disturbances in misbehavior” yang berarti sebuah

keadaan dimana intelegensi umum berfungsi dibawah rata-rata, yang bermula

sewaktu masa perkembangan dan mengalami gangguan pada tingkah laku keliru 4.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifht Edition

(DSM-5) yang disusun oleh the American Psychiatric Association, yang menjadi

rujukan terhadap sakit jiwa di Amerika Serikat. Tidak hanya di Amerika Serikat

DSM-5 juga menjadi acuan di negara-negara lain termasuk Indonesia. DSM-5

menjadi acuan dalam melakukan diagnosis yang dapat membantu memandu

rekomendasi perawatan, mengidentifikasi kelompok pasien untuk penelitian klinis

dan dasar, dan mendokumentasikan informasi kesehatan masyarakat yang penting

seperti morbiditas dan kematian5.

Jika diteliti dari DSM-5 terdapat beberapa kelompok penyakit kejiwaan

yang tidak mempengaruhi penderitanya untuk berkata jujur dan mengerti atau

paham mengenai apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Pada kelompok

tertentu penderita penyakit kejiwaan masih memiliki kesadaran atas tindakan yang

dia lakukan dan sadar akibat yang ditimbulkan atas perbuatan nya itu. Maka atas

dasar itu dapat menjadi tidak tepat jika semua orang dengan gangguan mental

dan/atau gangguan jiwa tidak diangkat sumpah atas keterangan yang diberikannya

di dalam persidangan.

4
American Psychiatric Association, Diagnostic and Statiscal Manual of Mental
Disorders Fifth Edition, American Psychiatric Association, Washington DC, 2013, page.33.
5
Ibid, page.5.
Dalam perkembangan dunia kesehatan pada saat sekarang telah dikenal

lebih dari 200 macam penyakit jiwa yang masing-masing penyakit jiwa ini

memiliki gejala dan pengaruh yang berbeda terhadap setiap pengidapnya.

Penetapan diagnosis terhadap penyakit jiwa ini sangat sulit untuk dilakukan

karena terdapat beberapa penyakit jiwa yang bagi penderitanya hanya kambuh

pada saat tertentu dan dalam menjalani kehidupan sehari-hari orang ini terlihat

normal.

Jika dalam dunia medis kedua jenis sakit jiwa ini dibedakan berdasarkan

treatment yang mereka dapatkan. Berbeda jika di dalam pandangan hukum jenis

orang sakit jiwa ini baik Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) maupun

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ini disamaratakan. Keduanya di anggap

tidak cakap hukum dan tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya di

dalam hukum pidana. Aturan di Indonesia juga tidak memiliki penyeragaman

standar mengenai penyakit jiwa mana yang serta merta membuat pendertitanya

dianggap tidak cakap mengikuti proses persidangan dipengadilan sebagai saksi

dan bagaimana proses peradilan yang akan dijalani oleh orang sakit jiwa

dipengadilan, tentu hal ini berisiko menimbulkan diskriminasi atau perbedaan

perlakuan hukum kepada orang sakit jiwa. Tentu saja hal ini akan menjadi suatu

kerugian bagi orang-orang yang menjadi korban dari suatu tindak pidana dengan

kondisi yang mengalami sakit ingatan atau sakit jiwa. Namun dalam dunia hukum

sendiri belum memberikan defenisi khusus terkait dengan kondisi orang sakit

jiwa. oleh karena itu perlu diketahui bagaimana penafsiran hukum terhadap orang

dengan mengalami sakit ingatan atau sakit jiwa ini serta bagaimana proses

pengambilan keterangan dan juga bagaimana hakim dalam menetapkan kondisi


kesehatan jiwa seseorang didalam pengadilan apakah diperlukan adanya sumpah

atau tidak dan juga apakah sama dengan orang yang tanpa adanya sakit ingatan

atau sakit jiwa

Dari latar belakang diatas, dapat di ketahui terdapat ketidakjelasan

mengenai siapa saja yang dapat di katakan sebagai orang dengan gangguan mental

atau gangguan jiwa didalam pasal 171 KUHAP yang dapat mengakibatkan

kerugian, seperti terhalangnya proses penegakan hukum didalam persidangan.

Atas dasar itu maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul

“ KETERANGAN SAKSI KORBAN YANG MENGALAMI SAKIT JIWA

DALAM PROSES PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI

PENGADILAN”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, penulis ingin merumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah kebijakan hakim dalam menentukan kecakapan

mental seseorang untuk mengikuti persidangan di Pengadilan

Negeri Batusangkar ?

2. Bagaimanakah kekuatan nilai pembuktian berdasarkan keterangan

yang diberikan oleh orang yang memiliki sakit jiwa terhadap

pertimbangan hakim dalam mejatuhkan putusan di Pengadilan

Negeri Batusangkar

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian bagi penulis adalah untuk mengetahui:


1. Untuk mengetahui kebijakan hakim dalam menentukan

kecakapan mental seseorang untuk mengikuti persidangan di

Pengadilan Negeri Batusangkar.

2. Untuk mengetahui kekuatan nilai pembuktian berdasarkan

keterangan yang diberikan oleh orang yang memiliki sakit jiwa

terhadap pertimbangan hakim dalam mejatuhkan putusan di

Pengadilan Negeri Batusangkar.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis.

a. Hasil penelitian diharap dapat menambah bahan kajian serta

kontribusi keilmuan pada civitas akademik Fakultas Hukum Universitas

Andalas khususnya mengenai jenis-jenis gangguan jiwa yang sesuai

dengan hukum acara pidana yang dapat dihadirkan sebagai saksi.

b. Untuk menambah pengetahuan dan kemampuan penulis dalam

pembuatan penelitian hukum.

c. Agar dapat dipergunakan sebagai referensi bagi pihak-pihak yang akan

membuat suatu karya ilmiah serta dapat menambah literatur di beberapa

perpustakaan.

2. Secara praktis, untuk dapat dipergunakan oleh pihak-pihak terkait dalam

proses pembuktian keterangan saksi.

E. Metode Penelitian

Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara

kerja yang sistematis untuk memahmi suatu subjek atau objek penelitian sebagai

upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara


ilmiah (konkrit) dan termasuk keabsahannya.6 Sedangkan penelitian (research)

berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud dalam buku ini adalah

pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah) , karena hasil dari pencarian

ini akan dipakai untuk menjawab permasalahn tertentu. Dengan kata lain,

penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif.

Metode penelitian diperlukan untuk memberikan pedoman terhadap penelitian

yang dilakukan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan Masalah

Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah metode

yuridis sosiologis (empiris).Pemanfaatan hukum untuk lebih efektif

menyelesaikan masalah-masalah sosial dikembangkan dalam kerangka

ajaran sociological jurisprudence dimana dalam rangka kajian

sociology of law dimanfaatkan untuk menganalisis dan memberikan

jawaban mengefektifkan seluruh struktur institusional hukum. Hukum

tidak lagi dikonsepkan secara filosofis moralitis yaitu ius

constituendum dan tidak pula secara positivistis sebagai ius contitutum,

melainkan secara empiris sebagai ius operatum.7

2. Sifat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini,

maka penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif. Dikatakan

deskriptif, karena penelitian ini diharapkan mampu memberikan

6
Amiruddin dan Zainal Asikin , 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm.19
7
Alumni,Bandung & Soetandyo Wignjosoebroto,1980, Hukum dan Metode-Metode
Kajiannya , hlm 4.
penjelasan bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses

penegakan hukum (law enforcement). Penelitian jenis ini dapat

mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada dibalik

pelaksanaan dan penegakan hukum.8

3. Sumber dan Jenis Data

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui

penelitian.9 Data yang diperoleh dengan mengadakan penelitian

langsung kelapangan melalui wawancara yang dilakukan dengan

dengan pihak-pihak dalam lingkungan pengadilan negeri

Batusangkar (responden).

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan bahan hukum yang bertujuan

untuk mendukung penjelasan dari bahan hukum dan data yang ada

pada studi kepustakaan. Data sekunder terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahan hukum

primer ini dapat berupa ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembuktian

yang dilakukan dalam pengadilan :

8
Amiruddin & Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta , hlm. 134.
9
Soerjono Soekanto,1986,Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas
Indonesia,Jakarta , hlm.12
a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

1965 Tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Mahkamah Agung

c) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 Pasca Amandemen, khususnya Pasal 28D ayat (1),

setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum.

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana

e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indoensia

f) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

77 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan

Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum

g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun

2014 Tentang Kesehatan Jiwa

h) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

220 Tahun 2002 Tentang Pedoman Umum Tim Pembina,

Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat

i) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang

Penyandang Disabilitas
j) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisa dan memahami peraturan perundang-

undangan seperti:

a. Buku

b. Makalah-makalah dan dokumen hukum

c. Hasil karya ilmiah para sarjana hukum dan;

d. Tulisan lainya

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan

lain-lain.

a. Penelitian Lapangan

4. Teknik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara:

a. Wawancara (interview), digunakan sebagai metode pengumpulan

data dengan cara tanya-jawab terhadap kedua belah pihak, yang

dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan kepada tujuan

penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data primer.

Wawancara pada penelitian ini dilakukan secara terstruktur dengan

menggunakan pedoman wawancara (guidance) atau daftar

pertanyaan baik yang bersifat terbuka maupun tertutup, guna


menggali sebanyak-banyaknya informasi dari pihak yang dijadikan

responden.

b. Studi Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data yang dipergunakan

dalam penelitian kepustakaan yaitu dengan mempelajari bahan-

bahan kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan pembuktian

dan perlindungan saksi dan korban.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data yang dicari telah dikumpulkan kemudian akan

dilakukan pengolahan terhadap data yang dijadikan bahan penelitian.

Pengolahan data merupakan bagian dari rangkaian kegiatan penelitian

dan dalam tahap ini data akan dianalisis sehingga dapat menjadi

informasi yang digunakan untuk menjawab dan menyelsaikan masalah

dalam penelitian.

a. Pengolahan Data

Data yang telah didapatkan kemudian akan diolah dengan cara

memilah dan memilih kembali data yang digunakan serta

menyaring data yang mana saja yang akan diperlukan selama

penelitian. Lalu data yang telah di saring dan di saring akan

dikelompokkan sesuai dengan kategori.

b. Analisis Data

Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian

secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu. Data

yang terkumpul dalam penelitian ini baik berupa data kepustakaan

maupun data lapangan akan dianalisis dengan menggunakan


analisis data yuridis kualitatif, yaitu uraian data penelitian

berwujud kata-kata tanpa menggunakan angka-angka dengan

berpangkal pada hukum atau norma yang berlaku

Anda mungkin juga menyukai