PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur proses beracara dalam
hukum pidana atau secara umum dikenal dengan hukum formil. Hukum pidana
(KUHAP).
dan menentukan siapa yang menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana.
Eksistensi dari aturan KUHAP sangat penting bagi penegak hukum yang
menjadi acuan dan pedoman dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana.
Salah satu pengaturan yang terpenting dalam KUHAP terkait dengan penyelesaian
suatu perkara tindak pidana adalah pembuktian. Menurut Yahya Harahap, yang
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan
pembuktian yang dianut oleh beberapa negara di dunia, yaitu sebagai berikut2 :
Dari sistem dan teori pembuktian yang dipaparkan diatas tidak ada
satupun dari sistem dan teori pembuktian tersebut yang sempurna, masing-masing
dari sistem dan teori ini memiliki kelemahan. Sebagai contoh dalam teori
conviction in time, keyakinan hakim merupakan hal yang mutlak saat pembuktian
kesalahan terdakwa, sistem dan teori menempatkan hakim sebagai manusia yang
dari sistem teori lain misalnya dalam sistem dan teori pembuktian secara positif
1
Yahya Harahap,2003,Pembahasan, permasalahan, dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Persidangan Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua ,
Sinar Grafika, Jakarta, , hlm.237.
2
Prof. Dr.Jur. Andi Hamzah,2011,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika,hlm 251
dapat dipahami bahwa setiap sistem dan teori pembuktian tersebut memiliki
Indonesia adalah sistem dan teori pembuktian secara negatif, dimana Sistem
peradilan di Indonesia sangat mengutamakan adanya bukti dari setiap perkara dan
penegak hukum terutama bagi hakim memperoleh alat bukti yang lengkap dan
sah, guna dihadirkan dimuka persidangan untuk memutus suatu perkara tindak
KUHAP yaitu; “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Lebih lanjut dalam aturan pasal 184 KUHAP dicatumkan beberapa alat-
alat bukti yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai
berikut:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Jika dilihat dari daftar alat bukti sebagaimana yang diatur dalam pasal
184 KUHAP dapat diketahui bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat
bukti yang sah menurut undang-undang dan dapat dikatakan sebagai alat bukti
dirugikan, oleh karena itu sudah sepatutunya keterangan yang didengar pertama
korban apabila ia masih hidup dan dalam keadaan yang memungkinkan dapat
dihadirkan sebagai saksi. Sesuai dengan aturan pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP
saksi”.
satu alat bukti yang sah dan berkekuatan hukum dalam proses pengadilan pidana,
karena memiliki peranan yang penting dalam proses persidangan maka keterangan
KUHAP mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi pada intinya
adalah keterangan dari orang yang terhadap suatu tindak pidana ia mendengar
sendiri, melihat sendiri atau mengalami sendiri, hal ini lah yang menjadi dasar
Undang Nomor 13 Tahun 2006 mengenai Saksi Dan Korban, yang dimaksud
sebagai saksi dalam peraturan perundang-undangan ini adalah orang yang dapat
memberikan perluasan makna atau pengertian mengenai saksi, yakni tidak hanya
orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang
yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib
persidangan akan dilakukan dengan mengambil sumpah dari para saksi terlebih
Kesaksian dengan sumpah dalam persidangan ini diatur didalam pasal 160 ayat
3
Universitas Pasundan, Kedudukan Alat Bukti Surat Elektronik (Email) Dihubungkan
Dengan KUHAP Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Tranksaksi
Elektronik, diakses dari http://repository.unpas.ac.id/5159/5/9.%20BAB%20II.pdf pada 24
Agustus 2020 Pukul 15.36 WIB
persidangan sebagai saksi, wajib disumpah atau diangkat janjinya sesuai dengan
Dalam hukum acara pidana telah mengatur mengenai siapa saja yang
tidak dapat didengar keteranganya atau boleh mengundurkan diri sebagai saksi,
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 168 KUHAP adalah sebagai berikut :
orang yang mengalami sakit jiwa ini untuk menyampaikan keterangannya sebagai
keterangan yang diberikan saksi penderita sakit jiwa ini tidak didahului dengan
oleh saksi penderita sakit jiwa dalam persidangan, hal ini diatur pada pasal 171
KUHAP yaitu yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah
adalah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin, serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
tahun dan juga oleh orang yang mengalami sakit jiwa meskipun kadang
ingatannya kembali tidak dapat di angkat sumpahnya karena dianggap tidak dapat
ini hanya dijadikan sebagai bukti petunjuk dalam proses pengadilan meskipun
mereka adalah korban sekalipun. Tidak dapat di jadikannya keterangan oleh orang
sakit jiwa sebagai alat bukti keterangan saksi merupakan suatu hal yang
hukum, karena pada keadaan tertentu keterangan dari orang yang sakit jiwa bisa
jadi merupakan alat bukti yang penting dan dikhawatirkan jika keterangan dari
orang sakit jiwa tidak digunakan sebagai alat butki maka tujuan hukum tidak
tercapai. Defenisi dan pembatasan mengenai kondisi orang yang mengalami sakit
ingatan dan sakit didalam hukum tidak memiliki defenisi yang jelas, sehingga
mental seseorang. Apalagi jika tindak pidana yang dialami oleh korban yang
mengalami gangguan jiwa atau mental ini dilakukan di tempat yang sepi dan tidak
ada saksi lain yang dapat di ambil keterangannya selain dari keterangan yang di
alami oleh korban sendiri dan ternyata juga mengalami sakit jiwa.
(UU Kesehatan Jiwa) tidak terdapat penggunaan kata orang sakit ingatan ataupun
sakit jiwa, namun istilah yang digunakan adalah orang dengan gangguan jiwa
dengan gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
Dalam pasal 185 ayat (7) KUHAP menyatakan bahwa : “keterangan dari
saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang
lain”. Dalam aturan pasal ini kedudukan saksi korban yang mengalami sakit jiwa
menjadi tidak jelas, dimana keterangannya hanya dijadikan sebagai tambahan alat
bukti jika sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah. Tentu aturan dalam
pasal ini akan bertabrakan dengan aturan pasal 171 KUHAP yang menimbulkan
jiwa.
yang bernama Asri Delila Uas yang mengalami pencabulan. Didalam pemeriksaan
kedua kasus ini, dengan kondisi saksi korban yang sama-sama mengalami
Edition (DSM-5) yang dimaksud reterdasi mental adalah “a situation where the
sewaktu masa perkembangan dan mengalami gangguan pada tingkah laku keliru 4.
(DSM-5) yang disusun oleh the American Psychiatric Association, yang menjadi
rujukan terhadap sakit jiwa di Amerika Serikat. Tidak hanya di Amerika Serikat
yang tidak mempengaruhi penderitanya untuk berkata jujur dan mengerti atau
paham mengenai apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Pada kelompok
tertentu penderita penyakit kejiwaan masih memiliki kesadaran atas tindakan yang
dia lakukan dan sadar akibat yang ditimbulkan atas perbuatan nya itu. Maka atas
dasar itu dapat menjadi tidak tepat jika semua orang dengan gangguan mental
dan/atau gangguan jiwa tidak diangkat sumpah atas keterangan yang diberikannya
di dalam persidangan.
4
American Psychiatric Association, Diagnostic and Statiscal Manual of Mental
Disorders Fifth Edition, American Psychiatric Association, Washington DC, 2013, page.33.
5
Ibid, page.5.
Dalam perkembangan dunia kesehatan pada saat sekarang telah dikenal
lebih dari 200 macam penyakit jiwa yang masing-masing penyakit jiwa ini
Penetapan diagnosis terhadap penyakit jiwa ini sangat sulit untuk dilakukan
karena terdapat beberapa penyakit jiwa yang bagi penderitanya hanya kambuh
pada saat tertentu dan dalam menjalani kehidupan sehari-hari orang ini terlihat
normal.
Jika dalam dunia medis kedua jenis sakit jiwa ini dibedakan berdasarkan
treatment yang mereka dapatkan. Berbeda jika di dalam pandangan hukum jenis
orang sakit jiwa ini baik Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) maupun
standar mengenai penyakit jiwa mana yang serta merta membuat pendertitanya
dan bagaimana proses peradilan yang akan dijalani oleh orang sakit jiwa
perlakuan hukum kepada orang sakit jiwa. Tentu saja hal ini akan menjadi suatu
kerugian bagi orang-orang yang menjadi korban dari suatu tindak pidana dengan
kondisi yang mengalami sakit ingatan atau sakit jiwa. Namun dalam dunia hukum
sendiri belum memberikan defenisi khusus terkait dengan kondisi orang sakit
jiwa. oleh karena itu perlu diketahui bagaimana penafsiran hukum terhadap orang
dengan mengalami sakit ingatan atau sakit jiwa ini serta bagaimana proses
atau tidak dan juga apakah sama dengan orang yang tanpa adanya sakit ingatan
mengenai siapa saja yang dapat di katakan sebagai orang dengan gangguan mental
atau gangguan jiwa didalam pasal 171 KUHAP yang dapat mengakibatkan
Atas dasar itu maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul
PENGADILAN”.
B. Rumusan Masalah
berikut :
Negeri Batusangkar ?
Negeri Batusangkar
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis.
perpustakaan.
E. Metode Penelitian
kerja yang sistematis untuk memahmi suatu subjek atau objek penelitian sebagai
berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud dalam buku ini adalah
pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah) , karena hasil dari pencarian
ini akan dipakai untuk menjawab permasalahn tertentu. Dengan kata lain,
sebagai berikut :
2. Sifat Penelitian
6
Amiruddin dan Zainal Asikin , 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm.19
7
Alumni,Bandung & Soetandyo Wignjosoebroto,1980, Hukum dan Metode-Metode
Kajiannya , hlm 4.
penjelasan bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses
a. Data Primer
Batusangkar (responden).
b. Data Sekunder
untuk mendukung penjelasan dari bahan hukum dan data yang ada
8
Amiruddin & Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta , hlm. 134.
9
Soerjono Soekanto,1986,Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas
Indonesia,Jakarta , hlm.12
a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
Penyandang Disabilitas
j) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
undangan seperti:
a. Buku
d. Tulisan lainya
lain-lain.
a. Penelitian Lapangan
responden.
dan dalam tahap ini data akan dianalisis sehingga dapat menjadi
dalam penelitian.
a. Pengolahan Data
b. Analisis Data