Anda di halaman 1dari 62

i

KONSEP DAN
MEKANISME
PEMBUKTIAN HAKIM
DALAM HUKUM ACARA
PIDANA

RIZAL DWI NOVIANTO


TALITHA AISYAH OKSAHADDINI
DEDI MARTUA SIREGAR

UNIVERITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA


ii
Daftar Isi
BAB 1 PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Pengertiam Pembuktian ........................................................................................................... 1
Prinsip Pembuktian .................................................................................................................. 3
Tahap Pemeriksaan Pada Pembuktian ................................................................................... 7
Tujuan Fungsi Pembuktian ..................................................................................................... 11
Sumber Pembuktian ................................................................................................................ 12
Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Petunjuk ........................................................................... 13
BAB II SISTEM PEMBUKTIAN
Macam - Macam Sistem Pembuktian ..................................................................................... 17
Metode Penemuan Dalam Pembuktian .................................................................................. 20
Penerapan Keyakinan Hakim Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ......................... 23
Perbedaan Sistem Pembuktian Pidana dan Perdata ............................................................ 32
BAB III MACAM-MACAM ALAT BUKTI
Sistem pembuktian dalam putusan pengadilan pidana Indonesia ...................................... 37
Keterangan Saksi …………………............................................................................................ 40
Keterangan ahli ………………………………………………………………………………………... 42
Surat …………………………………………………………………………………………………… . 45
Petunjuk ………………………………………………………………………………………………… 47
Keterangan Terdakwa ………………………………………………………………………………… 49
Peran penting proses pembuktian ........................................................................................... 52

iii
KATA PENGANTAR
Buku saku ini akan menjelaskan topik-topik umum dalam hukum pembuktian yang
membahas tentang masalah-masalah konsep dan mekanisme pembuktian hakim dalam hukum
acara pidana yang tentunya kiranya agar dapat membantu dosen dalam merancang dan
melaksanakan perkuliahan Hukum Pembuktian.
Topik yang akan dibahas dalam buku saku ini merupakan tema utama, yakni diantaranya
adalah pembuktian dalam hukum acara pidana, sistem pembuktian dan macam – macam alat
bukti.
Harapannya semoga Buku saku ini bisa memberikan manfaat kepada semua pihak
khususnya Program Studi Ilmu Hukum, dalam meningkatkan kwalitas pembelajaran Hukum
Pembuktian Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Surabaya, 25-06-2021

Penulis

iv
v
1. Pengertian pembuktian dalam Hukum Acara Pidana
Di dalam hukum acara pidana, pembuktian diartikan bagian yang sangat esensial, untuk
menetapkan serta membuktikan kesalahan dari seorang terdakwa. Benar atau bersalahnya
seorang terdakwa, seperti yang didakwakan di surat dakwaan, ditetapkan pada proses
pembuktiannya. Inilah yang menjadi suatu upaya dalam membuktikan benarnya dari isi surat
dakwaan yang tersampaikan oleh jaksa penuntut umum. Guna untuk mendapatkan kebenaran
materil. Pembuktian ini menjadi bagian hukum acara pidana yang aturannya mengenai alat-alat
yang sah menurut hukum, sistem ini merupakat syarat – syarat serta tata cara dalam pengajuan
bukti serta kewenangan hakim dalam menerima, menilai serta menolak di dalam pembuktian
yang berdasarkan di dalam pasal 183 sampai 189 UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara
pidana (KUHAP). di pasal 183 KUHAP memiliki pernyataan yang dimana “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal ini jelas apabila alat bukti ialah faktor yang
utama dalam menentukan seorang terdakwa menyatakan salah oleh hakim di dalam sebuah
perkara pidana. Di dalam pasal 184 KUHAP di atur mengenai alat bukti yang sah yang dimana
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Alat bukti
tersebut, hukum yang membatasi yaitu stelsel negatif wettelijk.
Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif atau bisa disebut dengan istilah
pembuktian negatif wettelijk bewijstheorie ialah pembuktian yang menggunakan alat bukti yang
mencantumkan di dalam undang – undang yang menggunakan keyakinan hakim. Keyakinan ini
terbatas di dalam alat – alat bukti yang berdasarkan undang –undang. Sistem ini
menggabungkan sistem pembuktian menurut undang – undang secara positif seta sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, sehingga disini di dalam sistem pembuktian dalam
berganda stelsel atau teori negatif wettelijk dikenal dengan teori pembuktian undang – undang
secara negatif. Alat bukti yang digunakan tentunya harus berdasarkan hirarki dari alat bukti yang
memiliki arti kekuatan pembuktiannya berdasarkan pada urutan yang artinya alat bukti yang
pertama kali disebutkan ialah alat bukti yang utama dan sempurna. Alat bukti ini merupakan yang
terkuat dan dipergunakan dalam membuktikan kesalahan bagi terdakwa yang meyakini hakim
dalam menilai yang berkaitan antara alat – alat bukti satu dan lainnya yang terdapat di dalam
KUHAP.
Di dalam perkara pidana di dalam kebenaran materil yang dicari sudah menempatkan saksi
alat bukti yang utama di dalam pasal 1 angka 27 KUHAP yang mendefinisikan bahwa
“keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Definisi ini diperkuat oleh M. Yahya
Harahap yang memberikan pernyataan bahwa hampir semua di dalam pembuktian perkara
pidana akan selalu bersandar dalam pemeriksaan keterangan saksi. R. Soesilo juga
memberikan pendapat bahwa kesaksian itu merupakan suatu keterangan di muka hakim dengan
sumpah, megenai hal – hal kejadian tertentu yang di dengar, di lihat dan yang di alami,
selanjutnya sudikno juga berpendapat bahwa kesaksian ialah suatu kepastian yang memberikan
kepada hakim di dalam peridangan mengenai peristiwa dalam pemeritahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang tidak dilarang atau diperbolehkan oleh undang – undang yang di panggil
ke pengadilan.
Di dalam KUHAP pasal 1 angka 26, saksi merupakan orang yang memberikan suatu
keterangan untuk tercapainya suatu penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di
dalam sidang pengadilan mengenai suatu perkara pidana yang di dengar sendiri, dilihat serta di
alami sendiri, dengan kata lain saksi ialah orang yang mengerti atas kejadian yang terjadi dalan
1
2

tindak pidana. Di dalam pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan mengenai keterangan saksi yang
nilai sebagai alat bukti merupakan keterangan yang jelas yaitu saksi yang melihat sendiri, di
alami sendiri dan alasan yang dia ketahui, dari penegasan di daam pasal 1 angka 27 KUHAP
dihubungkan atas bunyi penjelasan pasal 185 yat 1 KUHAP yang berisi keterangan saksi yang
termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain. Tertimonium de auditu ialah kesaksian atau
biasa disebut dengan keterangan atas pendengaran dari orang lain. Di dalam pengaturan ini
tidak diakui atas saksi de auditu dan kriteria orang yang di dapat dalam memberikan suatu saksi
yang menimbulkan di dalam maslaah dikarenakan ketidak jelasan dalam peraturan de auditu di
dalam KUHAP. dalam prosesnya, apabila pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP berhubungan denga
pasal 65 Jo pasal 116 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP yang bertolak belakang satu sama lain. Di
dalam pasal 65 KUHAP menjelaskan bahwa “Tersangka atau terdakwa berhak untuk
mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna
memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”
A. PEMBUKTIAN
Undang – undang hukum acara pidana sendiri tidak memberikan batasan serta pengertian
tentang pembuktian, pembuktian berasal dari kata membuktikan, secara etimologi,
membuktikan sendiri berasal dari kata bukti yang artinya suatu yang menyatakan suatu
kebenaran peristiwa. Membuktikan yang berarti meyakinkan serta memastikan suatu yang
benar. Di dalam hukum acara sendiri, pembuktian di definisikan atas usaha dalam memberi
kepastian kepada hakim, oleh karenanya di dalam pembuktian hukum menjadi proses di
dalam persidangan yang bukan diluar peradilan. Menurut M. Yahya Harahap sendiri di dalam
bukunya mengenai pembahasan permaslaahan dan penerapan KUHAP Jilid II, pembuktian
merupakan ketentuan – ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman mengenai cara
yang mempergunakan undang – undang yang membuktikan kesalahan yang didakwa.
Pembuktian juga didifinisikan ketentuan yang aturan alat – alat bukti yang memberikan
undang – undang yang digunakan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

Pembuktian tersebut memiliki pengertian yang beragam, setiap ahli hukum tentunya
memiliki definisi yang masing – masing mengenai pembuktian. Sangat banyak para ahli
hukum dalam mendefinisikan pembuktian yang berupa makna kata membuktikan,
membuktikan menurut sudikno mertokusumo sendiri menyebutkan arti yuridis ini memberikan
dasar – dasr yang cukup terhadap hakim yang pemeriksaanya perkaranya bersangkutan
dalam memberi suatu kepastian dalam pembenaran suatu peristiwa yang telah terajukan.
Dalam hal lain dengan definisi yang telah membuktikan yang terungkap oleh subekti. Subekti
dalam pernyataannya membuktikan ialah meyakinkan hakim mengenai kebenaran dalil yang
terkemukakan pada suatu persengketaan. Definisi para ahli hukum ini membuktikan dalam
pernyataan sebagai proses yang mengartikan suatu kedudukan hukum tiap pihak yang
kebenarannya didasarkan terhadap dalil yang dikemukakan oleh para pihak, sehingga
akhirnya hakim disini mengambil inti siapa yang salah dan siapa yang benar.

Proses di dalam pembuktian untuk membuktikan dalam mengandung dalam maksud


dalam menyatakan suatu kebenaran atas suatu peristiwa, yang diterima akal kepada
kebenaran peristiwa sendiri, pembuktian tersebut memiliki arti bahwa kebenaran di dalam
suatu peristiwa pidana yang menjadi terdakwa yang salah dalam hal perlakuannya, sehingga
menanggung pembuktian yang berketentuan yang memiliki isi suatu penggagrisan dalam
pedoman megenai cara – cara yang dibenarkan di dalam undang – undang yang di dalam
pembuktiannya atas kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa. Pembuktian ini
berketentuan dalam mengatur alat – alat bukti yang kebenarannya di dalam undang – undang
boleh digunakan hakim dalam pembuktian atas kesalahan yang didakwakan. Hukum
pembuktian ini sebagian dari hukum acara pidana yang aturannya mengatur jenis –jenis alat
bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut di dalam pembuktian, syarat – syarat
3

serta tata cara di dalam pengajuan bukti di dalam kewanangan hakim yang menerima,
menolah serta menilai suatu pembuktian. KUHAP sendiri tidak memberikan suatu penjelasan
terhadap pengertian pembuktian. KUHAP hanya memiliki peran pembuktian di dalam pasal
183 bahwa disini hakim tidak dapat atau tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang - kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh
atas keyakinan dalam suatu tindak pidana benar –benar terjadi bahwa terdakwa yang
memiliki kesalahan atas perlakukan yang diperbuat, dan jenis – jenis alat bukti yang sah
menurut hukum, yang tertuang di dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP yaitu :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Untuk memahami sebuah pengertian di dalam pembuktian diperlukan definisi sebagai
batasan, yaitu, pembuktian adalah rangkaian kewenangan penegak hukum dalam
memperoleh suatu bukti yang sah menurut undang – undang dan dengan bukti yang
membuat terang suatu tindak pidana dalam menemukan suatu tersangka pada hakim dalam
mendapatkan alat bukti yang digunakan dalam memperoleh keyakinan terdakwa dalam
melakukan tindak pidana yang telah didakwakan.
Tujuan sistem pembuktian hukum acara pidana dalam menilai alat bukti di dalam suatu
perkara yang di periksa. Pembuktian ialah ketentuan yang berisikan pedoman tata cara yang
pembenaran undang – undang dalam membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian disini bagian penting didalam sidang pengadilan diakrenakan atas
pembuktian tampak apakah terdakwa tidak bersalah ataupun bersalah. Apabila dalam
proses pembuktian dengan alat bukti di dalam undang – undang tidak kuat, maka dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Serta
sebaliknya apabila kesalahan terdakwa benar benar dinyatakan bersalah makan akan
dijatuhi hukuman. Hukum di indonesia menganut sistem pembuktian negatif yang
mengganbungkan suatu unsur kepercayaan hakim dengan unsur pembuktian menurut
undang – undang. Kedua unsur ini terpenuhi apabila hakim menjatuhkan putusan bebas
ataupun bersalah. Yang tercantum di dalam pasal 183 KUHAP :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
B. PRINSIP - PRINSIP PEMBUKTIAN
Prinsip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan azas (kebenaran yang
menjadi pokok dasar berfikir,bertindak, dan sebagainya), dengan demikian prinsip dengan
azas merupakan istilah yang memiliki arti yang sama, menurut Eddy O.S. Hiariej azas yang
terkait dalam pembuktian antara lain adalah
1) Due Process of law
Due proces of law memiliki arti seperangkat prosedur yang bersyarat oleh hukum
yang memiliki standar acara yang universal. Due proces lahir di amandemen ke-5 dan 14
konstitusi amerika dalam menidak penghilangan dari kehidupan, kebebasan serta hak
milik oleh negara tanpa adanya proses hukum. Due proces yang memiliki prosedur serta
substansi dalam perlindungan individu. Setiap prosedur due proces dalam pengujian dua
hal, yaitu :
a. apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik
tersangka tanpa prosedur.
4

b. jika mengunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan
due process. Due process of law memiliki hubungan yang erat dengan masalah
bewijsvoering, yaitu cara memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti
sampai ke pengadilan. Amerika sebagai suatu negara yang menjunjung tinggi due
process of law seorang tersangka yang ketika ditangkap tidak disebutkan hak-
haknya oleh penyidik dapat mengakibatkan tersangka tersebut dapat dibebaskan.
2) Presumption of Innocent
Presumption of innocent memiliki arti bahwa asas praduga tidak bersalah memiliki
definisi bahwa individu dianggap tak bersalah sebelum adanya suatu keputusan dari
pengadilan yang menyatakan bersalah dan telah memiliki kekuatan hukum. Asas ini
mengarah terhadap aparat penegak hukum mengenai bagaimana mereka harus
melakukan tindakan lebih lanjut atas pengesampingan dari asas praduga tidak bersalah.
3) Legalitas
Nullum delictum nulla poena sine pravia lege poenali memiliki arti bahwa tidak
ada perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa undang – undang pidana yang
sebelumnya yang dikenal di dalam hukum pidana yang disebut asa legalitas. Asas ini
adalah aliran klaris di dalam hukum pidana yang memiliki tujuan untuk melindungi suatu
keperluan individu dari kewenangan negara dan bukan untuk melindungi masyarakat
dan negara dari kejahatan yang sebagaimana tujuan hukum pidana modern.
4) Adversary System
Adversary system memiliki arti atas system peradilan dalam pihak yang memiliki
bersebrangan yang mengajukan dalam bukti – bukti yang berlawanan di dalam
usahanya dalam memenangkan suatu putusan yang menguntungkan dalam pihaknya.
Amerika serikat, persidangan di definisikan proses adversial karena pengacara berusaha
untuk memenangkan suatu putusan yang memiliki keuntungan bagi pihak terkait. Advery
system bertalian dengan beban pembagian pembuktian, di dalam suatu persidangan
pidana baik jaksa penuntut umum maupun terdakwa yang dimana dapat mengajkan
bukti dalam rangka untuk memberatkan ataupun meringankan dakwaan.
5) Beyond a Resonable Doubt
Beyond a resonable doubt ialah standard di dalam pembuktian yang berguna
untuk pengadilan pidana. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah,
hakim disini harus meyakini terhadap terdakwa bahwa ia bersalah dalam tindak
kejahatan yang di tuduhkan padanya. Disini jaksa penuntut umum harus membuktikan
tanpa keraguan yang masuk akal terhadap hakim atas kesalahan terdakwa, dengan
begitu beban dalam pembuktian berada di tangan jaksa penuntut umum.
6) Actori Incumbit Onus Probandi
Asas actori incumbit onus probandi memiliki arti, yang menuntut merupakan
yang wajib dalam membuktikan. Hukum acara pidana memberikan kewenangan untuk
jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan atas jaksa penuntut umumlah yang
berkewajiban dalam membuktikan suatu kesalahan terdakwa.
7) Actus Dei Nemini Facit Injuriam
Asas actus nemini facit injuriam berarti individu tidak dapat bertanggung jawab
atas kerugian akibat kecelakaan yang tidak dapat dihindari. Asas ini tidak berkaitan
langsung atas hukum pembuktian apabila suatu kerugian yang menimbulkan atas
kecelakaan yang dihindari dengan bencana alam seperti banjir, gempa bumi, gunung
meletus yang tidak perlu untuk dibuktikan.
8) Negativa Non Sunt Probanda
Asas negativa non sunt probanda diartikan sebagai membuktikan sesuatu yang
negatif sangatlah sulit, asas ini berkaitan dengan beban pembuktian. Misalnya, ketika si
A dituduh melakukan suatu kejahatan yang membuktikan adalah jaksa penuntut umum,
tidak sebaliknya si A yang harus membuktikan bahwa dia tidak melakukan kejahatan
5

yang dituduh, hal ini dianggap lebih sulit kerena si A harus membuktikan sesuatu yang
negatif, dalam pengertian sesuatu yang tidak dilakukannya.
9) Unus Testis Nullus Testis
Asas unus testis nullus testis secara harifiah berarti seorang saksi bukanlah
saksi, jelasnya untuk membuktikan suatu perbuatan pidana dibutuhkan minimal dua
orang saksi didasarkan pada Pasal 185 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya”. KUHAP menjelaskan bahwa membuktikan
kesalahan terdakwa dibutuhkan minimal dua orang saksi.
10) Unlawful Legal Evidance
Unlawful legal evidance secara harifiah berarti perolehan bukti yang tidak sah.
Konsekuensi lebih lanjut adalah bila bukti diperoleh dengan jalan yang tidak sah, hal
tersebut akan menggugurkan perkara. Unlawful legal evidence ini sangat berkaitan erat
dengan parameter pembuktian, terutama perihal cara memperoleh serta menyampaikan
bukti di depan persidangan.
Menurut Yahya Harahap terdapat juga asas yang yang terkait dalam pembuktian
dan juga tidak disebutkan oleh Eddy O.S. Hiariej yaitu asas minimum pembuktian. Asas
minimum pembuktian sendiri memiliki pengertian yaitu suatu prinsip yang harus
dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau
tidaknya terdakwa. Artinya sampai “batas minimum pembuktian” mana yang dapat dinilai
cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Prinsip-prinsip pembuktian antara lain:
1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan
istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut
memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu
misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa
misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
b) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan
demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah
termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang
mabuk.
2) Menjadi saksi adalah kewajiban
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP
yang menyebutkan:
“Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk
memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana
berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”
3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi
pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai
berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat
bukti yang sah”.
Menurut M. Yahya Harahap: “Ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu
surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai
6

alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.” Pengakuan terdakwa tidak
menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini
merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP:
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan
alat bukti lain”.
4) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa
hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.
Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan
diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.
M. Yahya Harahap berendapat bahwa:
“Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang
berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap
dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-
masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada
dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B,
demikian sebaliknya.”
Mengingat banyaknya prinsip yang ada di ruang lingkup peradilan, baik di dalam hukum
pidana, perdata, dan TUN maka cara pembuktian yang diselenggarakan prinsip pun juga
banyak.
1. Prinsip pembuktian dalam hukum pidana
Penjelasan tentang prinsip pembuktian yang ada di dalam hukum acara pidana mengacu
pada prinsip yang berlaku di dalam sidang peradilan pidana. Diantaranya prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prinsip kebenaran materiil
Prinsip kebenaran materiil menyatakan bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana lebih
mementingkan kepada penemuan materiil (materiale warhead). Aspek materiilnya yaitu
suatu kebenaran yang sungguh-sungguh sesuai dengan kenyataan. Prinsip ini terlihat
dalam proses persidangan bahwa meskipun terdakwa telah mengakui kesalahannya
belum cukup dijadikan alasan untuk menjatuhkan putusan, masih diperlukan beberapa
bukti lain untuk mendukung pengakuan terdakwa tersebut.
b. Prinsip praduga tak bersalah
Prinsip ini harus ada sebelum adanya pembuktian yang terelebih dahulu. Prinsip
praduga tak bersalah atau juga disebut Presumption Of Innocence merupakan suatu
prinsip yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus
dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan peradilan yang menyatakan
kesalahannya. Prinsip ini tampak beroprasi di dalam sidang pengadilan terlihat dari
adanya suasana sidang yang masih menghargai terdakwa. Misalnya saja ketika masuk
dalam sidang tidak diborgol dan terikat, begitu juga pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya
menjerat tidak diperkenankan.
c. Prinsip accusatoir
Prinsip ini menunjukkan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam persidangan
bukan lagi sebagai objek pemeriksaan tetapi sebagai subjek. Terdakwa mempunyai hak
yang sama nilainya dengan penuntut umum sehingga hakim berada di antara kedua
belah pihak. Sebagai realisasi prinsip accusatoir di peradilan dapat terlihat misalnya,
terdakwa bebas membuktikan, berkata, bersikap, sepanjang untuk membela diri dan
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa tinggal diam tanpa
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari hakim, ada penasihat hukum yang membela hak-
haknya.
7

d. Prinsip sidang terbuka


Yang dimaksud prinsip ini adalah setiap sidang yang dilaksanakan harus dapat
disaksikan oleh umum. Terkait dengan pembuktian pun juga harus bisa disaksikan untuk
umum. Pengunjung bebas melihat dan mendengar langsung jalannya persidangan
sepanjang tidak mengganggu jalannya persidangan.
e. Prinsip pemeriksaan langsung
Prinsip ini menghendaki agar pemeriksaan itu harus menghadapkan terdakwa di depan
sidang pengadilan, termasuk pula menghadapkan seluruh saksi yang ditunjuk.
Langsung, artinya hakim dan terdakwa ataupun para saksi berada dalam satu sidang
tidak dibatasi tabir apa pun.

C. HUKUM PEMBUKTIAN PADA SEMUA TAHAP PEMERIKSAAN


Hukum pembuktian mempunyai peranan yang sangat penting dan merupakan titik
sentral hukum acara pidana, hal ini dapat dilihat sejak dimulainya tindakan penyelidikan,
penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pemeriksaan disidang
pengadilan, putusan pengadilan dan upaya hukum yang dipermasalahkan adalah masalah
pembuktian. Hal ini dapat dilihat pada semua tahap pemeriksaan sebagai berikut.
1. Tahap Penyelidikan
Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang yang diatur pada Pasal 5
KUHAP:
a. Mencari keterangan dan barang bukti.
b. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
identitasnya.
c. Atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan, penggeledahan dan
penyitaan.
d. Mengambil sidik jari dan memotret orang.
Kewenangan ini dimaksudkan untuk mencari bukti permulaan, dan dengan bukti permulaan
tersebut menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan karena telah diperoleh dugaan
terjadi tindak pidana.
2. Tahap Penyidikan
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menurut Pasal 7 ayat (1):
a. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi, guna memperoleh
bukti keterangan saksi.
b. Mendatangkan seorang ahli untuk didengar keterangannya sebagai ahli, guna
memperoleh bukti keterangan ahli.
c. Memeriksa dan menyita surat, guna memperoleh bukti surat.
d. Menyita barang bukti guna memperoleh bukti dari barang bukti.
e. Memanggil dan memeriksa tersangka untuk memperoleh bukti keterangan
tersangka.
Tujuannya untuk mendapatkan sekurang-kurangnya dua bukti yang saling bersesuaian
guna membikin terang suatu perkara pidana dan menemukan tersangkanya.
3. Tahap Prapenuntuan
Penuntut umum setelah menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari kelengkapan berkas perkara yang meliputi kelengkapan formil dan
kelengkapan materiil. Kelengkapan formil meliputi apakah berita acara pemeriksaan
saksi, ahli dan tersangka sudah memenuhi syarat sah suatu berita acara, apakah berita
acara penyitaan surat dan barang bukti sudah sah dengan sudah ada izin/penetapan
ketua pengadilan negeri setempat.
8

Kelengkapan materiil apakah bukti-bukti keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan


tersangka, surat diperoleh secara sah dan apakah telah diperoleh minimal dua bukti
yang saling bersesuaian yang dari persesuaiannya membuktikan unsur-usur tindak
pidana yang disangkakan dan tersangka pelakunya.
4. Tahap Pemeriksaan Tambahan
Dalam hal penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum, Penuntut umum
dapat mengambil alih untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan
tambahan baik memeriksa saksi, ahli, menyita surat dan barang bukti, yang tidak boleh
adalah memeriksa tersangka. Hal ini dilakukan Penuntut umum untuk melengkapi
buktibukti sebelum dilimpahkan ke Pengadilan. Pemeriksaan tambahan hanya dilakukan
terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan atau yang dapat meresahkan
masyarakat, dan atau dapat membahayakan keselamatan Negara. Harus dapat
diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan Pasal
138 (2) KUHAP. Batas waktu 14 hari dihitung sejak saat pemeriksaan secara fisik
dimulai.
5. Tahap Penuntutan
Penuntut umum setelah menerima atau menerima kembali berkas perkara yang sudah
lengkap atau setelah dilakukan pemeriksaan tambahan menentukan apakah berkas
perkara tersebut memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke Pengadilan. Kalau semua fakta
yang mendukung unsur-unsur delik diperoleh dari bukti-bukti yang sah ia segera
menyusun surat dakwaan. Akan tetapi apabila ia berpendapat perkara tidak cukup bukti
maka perkara dihentikan penuntutannya
6. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Puncak proses pembuktian terjadi pada saat pemeriksaan di sidang Pengadilan, karena
semua saksi, ahli, surat, tersangka dan barang bukti yang diajukan Penuntut umum
diperiksa kembali atau yang diajukan terdakwa untuk memperoleh alat-alat bukti yang
sah. Semua proses pemeriksaan di sidang pengadilan pada hakekatnya mencari alat
bukti, karena hanya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang saling
bersesuaian Penuntut umum dan hakim boleh yakin bahwa tindak pidana yang
didakwakan benarbenar terbukti dan terdakwa bersalah melakukannya.
7. Putusan Pengadilan
Keyakinan hakim tentang terbukti tidaknya tindak pidana yang didakwakan terpulang
kepada kemampuan Penuntut umum mengajukan alat-alat bukti yang sah dan dari alat
bukti yang sah Penuntut umum memperoleh fakta hukum yang mendukung unsur delik
tindak pidana yang didakwakan. Dalam hal pengadilan berpendapat terdakwa terbukti
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana. Dalam hal pengadilan berpendapat bahwa tindak pidana yang
didakwakan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi terdakwa
tidak bisa dipertanggungjawabkan maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.
8. Tahap Upaya Hukum
Menurut Dr. Andi Hamzah dalam bukunya “Hukum Acara Pidana Indonesia, 1993 yang
mengutip pendapat van Bemmelen, pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu
penilaian baru (judicium novum), jadi dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli dan surat-
surat. Dalam tahap peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, salah satu syarat permohonan PK adalah karena
diperoleh/terdapat keadaan baru (novum).
Dari semua tahapan-tahapan hukum acara pidana sejak tahap penyidikan sampai dengan tahap
upaya hukum dapat disimpulkan bahwa “Pembuktian merupakan titik sentral hukum acara
pidana”. Peranan dan hakekat hukum pembuktian memegang peranan penting dalam proses
9

hukum acara pidana oleh sebab itu mutlak harus dikuasai oleh pejabat pada semua tingkat
pemeriksaan khususnya Penuntut umum yang berwenang menuntut dan dibebani kewajiban
membuktikan tindak pidana yang didakwakan. Menurut Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor
16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia “Demi keadilan dan kebenaran
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan
berdasarkan alat bukti yang sah. Sementara hakim menurut Pasal 197 ayat (1) huruf a KUHAP,
Hakim hanya memutus demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya terikat pada ketentuan dan penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Penuntut umum, hakim juga terdakwa dan penasihat
hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan selera sendiri dalam menggunakan dan menilai
alat bukti di luar dari apa yang di tentukan undangundang.
D. HAL-HAL YANG PERLU DIBUKTIKAN DAN TIDAK DIBUKTIKAN
Hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan, yaitu segala
apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau dibantah oleh pihak lain. Hal-hal
yang diajukan oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan karena
tentang itu tidak ada perselisihan. Begitu pun tidak usah dibuktikan hal-hal yang dijukan oleh
satu pihak dan meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh yang lain tetapi tidak disangkal.
Dalam hukum acara perdata sikap tidakmenyangkal dipersamakan dengan mengakui.
Berhubung dengan apa yang diterangkan di atas tadi, maka dalam tiap-tiap putusan hakim
perdata kita dapat melihat, bahwa hakim itu dalam pertimbangan-pertimbanganya tentang
duduknya perkara, mulai dengan memperinci atau meneliti hal-hal manakah diantara para
pihak yang berperkara itu tidak menjadi perselisihan dan kesemuanya dapat ditetapkan
sebagai benar, dan hal-hal manakah yang disangkal atau dibantah dan karenanya harus
dibuktikan. Kemudian dalam putusan itu diuraikan bukti-bukti apakah yang sudah diajukan
oleh masing-maisng pihak guna menguatkan dalil-dalilnya dan akhirnya diadakan penelitian
tentang hasilnya pembuktian pada masing-masing pihak untuk menetapkan apakah yang
dianggap terbukti dan apa yang tidak terbukti. Karena pembuktian itu adalah meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara, maka dengan
sendirinya dengan apa yang dilihat sendiri oleh hakim di muka sidangtidak perlu untuk
dibuktikan. Peristiwa yang dianggap tidak perlu diketahui oleh hakim atau dianggap tidak
mungkin diketahui oleh hakim, misalnya:
a. Dalam putusan verstek.
Dalam hal dijatuhkan putusan verstekdengan tidak hadirnya Tergugat setelah dipanggil
secara patut, maka segala peristiwa yang telah didalilkan oleh Penggugat harus
dianggap benar. Dalam hal ini hakim cukup meneliti apakah panggilan telah
dilaksanakan secara resmi dan patut, jika telah dilaksanakan secara resmi dan patut ,
maka dapat dijatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat, dan dalil gugat penggugat
tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam perkakara perceraian, sebaiknya tetap dilaksanakan
pembuktian tentang kebenaran dalil gugat Penggugat, dan perlu dipanggil pihak
keluarga masing-masing pihak atau orang dekat dengan Penggugat atau Tergugat guna
didengar keteranganya dalam rangka usaha perdamaian secara maksimal (pejelasan
Pasal 127 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
b. Dalam hal mengakui gugatan Pengugat.
Jika Tergugat mengakui dalil gugat dari Penggugat, maka gugatan Penggugat itu tidak
perlu dibuktikan lagi. Segala gugatan Penggugat dianggap telah terbukti, jadi tidak perlu
dibuktikan lagi kebenaran dalil gugat Penggugat lebih lanjut.
c. Telah dilaksanakan sumpah decissier.
Sumpah decissoir adalah sumpah yang menentukan, oleh karena itu juka sumpah
decissoir telah dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara, maka pembuktian
lebih lanjut tidak diperlukan lagi. Segala peristiwa dan kejadian yang menjadi pokok
sengketa dianggap telah terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut. Sumpah
10

decissoir ini bertujuan untuk menyelesaikan perkara yang sedang diperiksa, oleh karena
itu sumpah decissoir ini harus bersifat litis decissoir yaitu bersifat memutus dan
menyelesaikan perkara. Dalam hal ini hakim harus mempertimbangkan dengan betul,
apakah sumpah yang diminta itu bersifat litis dicissoiratau tidak. Jika bersifat litis
decissoirDirmaka hakim baru memerintahkan untuk dilaksanakan sumpah
decissoirtersebut.
d. Dalam hal Tergugat reperte.
Jika Tergugat tidak mengakui dan juga tidak membantah dalil gugat Penggugat atau
mengakui tidak, menyangga juga tidak, segala gugatan Penggugat diserahkan
sepenuhnya kepada hakim secara bongkooan dengan mengatakan “terserah kepada
Bapak hakim sajalah”, maka dalam hal seperti ini tidak diadakan pembuktian lagi.
11

2. Apa tujuan dan fungsi dari pembuktian dalam hukum acara pidana
Tujuan peradilan pidana merupakan untuk memutuskan dalam perkara pidana, apakah
seseorang yang berhadapan dimuka peradilan telah terbukti atas bersalah atau tidak. Proses
peradilan pidana ini dilakukan atas proses yang dengan aturan hukum yang berlaku terutama
tentang hukum pembuktian, yang terdiri atas batas – batas konstisional hukum acara. Syarat
serta tujuan di dalam peradilan yang fair dalam oenerapan asas praduga tidak bersalah
dengan benar, pada saat individu yang telah tertuduh dalam menjalani suatu pemeriksaan di
pengadilan yang dilakukan dengan sungguh – sungguh, ketidak puraan, kepalsuan terencana
dan bebas dari paksaan yang mulai dari penangkapan hingga dalam penjatuhan pidana.
Hakim sebagai yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan di dalam penjatuhan
putusan kepada perkara yang ditanganinya yang berlandaskan aturan yang berlaku di dalam
undang – undang dan memakai suatu pertimbangan yang berdasarkan data – data autentik
serta dengan saksi yang di percaya. Tugas seorang hakim di dalam menimbang dalam
penjatuhan suatu putusan yang dapat dilihat pada pasal 191 ayat 1 KUHAP yang menyatakan
: “jika pengadilan bar pendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas. Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
tentang Kekuasaan Kehakiman,merumuskan “tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap bertanggungjawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
Asas pokok dalam pasal tersebut di atas mendapat perluasan di dalam Pasal 183
KUHAP, merumuskan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Makna
Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, menunjukan bahwa yang dianut dalam sistem pembuktian
ialah sistem negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk). Pembuktian dalam perkara
pidana memiliki peran penting terkait, terutama dengan kemampuan hakim untuk
merekontruksi peristiwa atau kejadian masa lalu sebagai suatu kebenaran. Tujuan
pembuktian ialah untuk mencari suatu kebenaran secara materiil atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran yang selengkap-lengkapnya. Hukum acara pidana menentukan dan
membatasi mengenai cara bagaimana penegak hukum, menerapkan pidana dan supaya
putusannya dapat dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana.
Proses mencari kebenaran materiil dalam hukum acara pidana bukan sesuatu yang mudah
karena sangat tergantung dengan alat-alat bukti yang menurut perundang-undangan di
sahkan sebagai alat bukti. Proses persidangan adalah suatu cara untuk mencari kebenaran
materiil dan kebenaran yang selengkaplengkapnya serta keadilan dan sejauh mana Jaksa
Penuntut Umum dapat membuktikan dakwaannya. Penuntut umum harus mampu
membuktikan kebenaran atas dakwaannya, dengan cara mencari tentang perbuatan
terdakwa, kejadian/keadaan yang ada persesuaiannya, baik antara yang satu dengan lainnya.
Pasal 188 Ayat (1) KUHAP, terdapat rumusan kata “persesuaian baik antara yang satu
dengan yang lain”, persesuaian tersebut hanya dapat diperoleh secara terbatas dari:
a. keterangan saksi.
b. Surat.
c. keterangan terdakwa.
12

3. Sumber Hukum Pembuktian dalam hukum acara pidana


Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:
1) Undang-undang
Undang-Undang/Perundang-undangan (UU) adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan
bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat
untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam
rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. Undang-undang dapat pula dikatakan
sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat,
dan hubungan di antara keduanya.
2) Doktrin atau ajaran
Doktrin adalah sebuah ajaran pada suatu aliran politik dan keagamaan serta pendirian
segolongan ahli ilmu pengetahuan, keagamaan, ketatanegaraan secara bersistem,
khususnya dalam penyusunan kebijakan negara. Secara singkat, doktrin ialah ajaran
yang bersifat mendorong sesuatu seperti memobilisasinya.
Doktrin dalam hukum disebut juga pendapat sarjana hukum. Doktrin mempunyai
kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan hakim. Biasanya, dalam
penetapan apa yang akan diputuskannya, seorang hakim mengutip atau menyebut
pendapat sarjana hukum mengenai hal yang harus diselesaikannya. Karena sangat
berpengaruhnya pendapat sarjana hukum ini, dijadikan dasar saat pengambilan
keputusan.
3) Yurispruidensi
Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi
suatu perkara yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para
hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.
13

4. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Petunjuk Dalam Peradilan Pidana

1) Tahapan Proses Persidangan


Hakim pada saat sebelum mengambil keputusan dalam setiap perkara pidana yang
ditanganinya, harus melalui pemeriksaan persidangan yang dimana dalam tahap
pemeriksaan, tanpa melalui suatu proses pemeriksaan persidangan yang dimana hakim
tidak dapat memutuskan di dalam perkara pidana yang telah ditangani, diakrenakan
melalui proses ini akan mendapatkan peristiwa yang konkrit yang dilakukan oleh
terdakwa. Melalui proses persidangan ini semua pihak sperti jaksa penuntut umum serta
terdakwa hukum yang diberi suatu kesempatan dalam mengemukakan pendapatnya
dalam menilai dalam pemeriksaan persidangan menurut padandangan masing – masing.
Yang pada akhir prose pemeriksaan persidangan hakim yang mengambil keputusan.
Proses persidangan ini adalah suatu aspek yuridis formil yang melakukan hakim dalam
mengambil suatu putusan di dalam perkara pidana. Pada garis besarnya proses
persidangan pidana pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri untuk
memeriksa perkara biasa terdiri dari 4 (empat) tahap.
a. Sidang Pembacaan Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Sela.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim/majelis hakim, sidang
pemeriksaan perkara pidana oleh ketua majelis hakim dibuka dan dinyatakan terbuka
untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kasulilaan atau terdakwanya anak-
anak. Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang
dimengerti oleh terdakwa dan saksi-saksi. Kalau kedua ketentuan tersebut tidak
dipenuhi, maka mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Pada tahap ini
penuntut umum sebagai pihak yang diberi wewenang melakukan penuntutan, diberi
kesempatan oleh hakim ketua sidang untuk membacakan surat dakwaan. Apabila
pihak terdakwa tidak mengerti tentang isi surat dakwaan yang diajukan kepadanya,
penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang
diperlukan. Terdakwa atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan
(eksepsi) terhadap surat dakwaan penuntut umum.
Keberatan (eksepsi) terdakwa dan penasehat hukum itu meliputi:
a) pengadilan tidak berwenang mengadili (berkaitan dengan kompetensi absolut /
relatif).
b) dakwaan tidak dapat diterima (karena dakwaaan dinilai kabur (obscuur libel)).
c) dakwaan harus dibatalkan (karena keliru, kadaluarsa atau nebis in idem).

b. Sidang Pembuktian.
Apabila hakim/majelis hakim menetapkan dalam putusan sela sidang pemeriksaan
perkara harus dilanjutkan, maka acara persidangan memasuki tahap
pembuktian,yaitu pemeriksaan terhadap alat-alat dan barang bukti yang diajukan.
Dari keseluruhanan proses peradilan pidana tahap pembuktian ini sangat penting,
karena dari hasil pembuktian ini nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan bagi
hakim untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam putusan.
Bagaimana pentingnya tahap sidang pembuktian ini, digariskan dalam pasal 183
KUHAP, merumuskan, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya. Pengajuan alat bukti oleh penuntut umum ini
dimaksudkan untuk meneguhkan ataumembuktikan dakwaannya. Sebaliknya
terdakwa atau penasehat hukum diberi kesempatan pula untuk mengajukan alat-alat
bukti yang sama untuk melemahkan dakwaan penuntut umum terhadap dirinya.

2) Kekuatan pembuktian Terhadap Alat-Alat Bukti dan barang bukti


14

Kekuatan pembuktian alat bukti dan barang bukti dalam sidang acara pidana harus
memenuhi syarat berdasarkan ketentuan KUHAP, sehingga dapat meyakinkan hakim
dalam persidangan. Barang bukti memiliki nilai pembuktian apabila terdapat kesesuaian
dengan fakta-fakta dipersidangan, Contoh: barang bukti pisau dalam kasus pembunuhan
Pasal 181 Ayat (1) KUHAP menentukan majelis hakim wajib memperlihatkan kepada
terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang
bukti terebut, jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut.
Barang bukti tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apabila tidak ada saksi,
ahli, atau surat atau keterangan tersangka yang menerangkan tentang “barang bukti”
tersebut. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah menentukan lima alat bukti yang sah dalam
undang-undang, diluar alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Alat bukti tersebut memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, kelima alat bukti tersebut akan diuraiakan yaitu:
1) kekuatan pembuktian keterangan saksi.
a. keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, kecuali disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (Pasal 185
Ayat (2) dan (3) KUHAP).
b. keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (Pasal 185 Ayat (4)
KUHAP).
c. keterangan saksi dapat dinilai kebenarannya, hakim harus memperhatikan (Pasal
185 Ayat (6) KUHAP) :
- persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.
- persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
- alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu.
- cara hidup dan berkesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
d. Keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain,
tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain (Pasal 185 Ayat (7) KUHAP).
2) kekuatan pembuktian keterangan ahli, berpijak pada pasal 179 Ayat (1) KUHAP dapat
dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya. Syarat
sahnya keterangan ahli yaitu :
a. keterangan diberikan oleh seorang ahli (keahlian ini harus dibuktikan dengan gelar
kesarjanaan, sertifikat/ijazah, dan jabatan-jabatan tertentu).
b. memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.
c. menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
d. diberikan dibawah sumpah/ janji (Pasal 160 Ayat (4) KUHAP).
e. keterangan ahli dinyatakan di sidang pengadilan disebut sebagai keterangan ahli
(Pasal 184 Ayat (1) Huruf b jo Pasal 186 KUHAP).
f. keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan dikualifikasikan
sebagai alat bukti surat (Pasal 184 Ayat (1) Huruf c jo Pasal 187 Huruf c KUHAP).
Alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat
dan menentukan. Kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan
yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan
pembuktian bebas atau vrijn bewijskracht. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat
15

kepadanya, namun penilaian hakim ini harus benar-benar bertanggung jawab atas
landasan moril demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta
kepastian hukum.
3) kekuatan pembuktian surat, surat untuk pembuktian yaitu surat keterangan dari
seorang ahli memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau
suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya dibuat atas sumpah jabatan,
atau dikuatkan dengan sumpah Contoh : Visum et Repertum yaitu suatu laporan
tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan
barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan
tersebut guna kepentingan peradilan. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat
adalah bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mengikat atau
menentukan penilaian sepenuhnya pada keyakinan hakim. Alasan kekuatan
pembuktian mencari kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim
ataupun dan sudut minimum pembuktian.

4) kekuatan pembuktian petunjuk, serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain,
sebagaimana yang sudah diuraikan mengenai kekuatan pembuktian keterangan
saksi, keterangan ahli, dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan
pembuktian “yang bebas”.

a. hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh
karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya
pembuktian.
b. sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia
terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan
sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. Petunjuk merupakan alat bukti yang
dikenal dalam KUHAP terdapat 1 (satu) alat bukti yang tidak bersifat langsung dan
konkret sehingga dalam pelaksanaannya sering menyulitkan penerapannya secara
teknis pembuktian.

5) kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, terdakwa memberikan pernyataan


pengakuan sebagai pelaku dan yang bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, pengakuan itu tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat
bukti yang sempurna , menentukan dan mengikat. Pasal 189 Ayat (3) dan (4) KUHAP
dapatlah dijadikan dasar yaitu :
a. Pasal 189 Ayat (3) KUHAP: keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri.
b. Pasal 189 Ayat (4) KUHAP: keterangan terdakwa hanya tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat-alat bukti yang lain.

E. PEMBUKTIAN DALAM KUHAP


Pembuktian menurut Eddy O.S. Hiariej adalah suatu ketentuan yang dimana pembuktian
meliputi suatu alat bukti, cara mengumpulkan serta memperoleh bukti sampai dengan
penyampaian bukti ke pengadilan serta kekuatan di dalam pembuktian dan juga beban
pembuktian. Pembuktian ini merupakan suatu upaya yang mendapatkan keterangan melalui
alat bukti dan juga barang bukti guna mendapatkan keyakinan atas benar tidaknya suatu
perbuatan pidana yang didakwakan dalam mengetahui ada tidaknya suatu kesalahan pada
terdakwa. Pembuktian yang mana kah yang dianut oleh KUHAP, maka dapat ditinjau pada
Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
16

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.” Pasal 183 KUHAP memperlihatkan bahwa dalam pembuktian di
perlukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kedua syarat
ini harus ada dalam setiap pembuktian dan dengan terpenuhinya kedua syarat tersebut,
memungkinkan hakim menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, sebaliknya jika kedua
hal itu tidak terpenuhi, berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.

Penjelasan tersebut dapat dinyatakan bahwa sistem pembuktian yang dianut KUHAP
adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative (Negatief wettelijk
bewijstheorie), karena kedua syarat yang harus dipenuhi dalam system pembuktian ini telah
tercermin dalam Pasal 183 KUHAP dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yang
menyebutkan alat-alat bukti yang sah. KUHAP menganut sistem pembuktian Negatief
wettelijk bewijstheorie yang terlihat dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan
bahwa pembuat undang-undang telah menentukan pilihan, yaitu sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negative, demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.
Menurut Rusli Muhammad Pembuktian yang dianut KUHAP yaitu:
a. disebut wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undang-
undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada.
b. disebut negatief karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan putusan
pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum
dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar
telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
BAB II
SISTEM PEMBUKTIAN

16
17

1. Macam – Macam Sistem Pembuktian


Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana memiliki peran yang sangat besar dalam
proses pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan. Pembuktian ini bertujuan agar
memberikan gambaran mengenai kebenaran atas sebuah peristiwa, sehingga dari peristiwa
ini dapat diperoleh kebenaran yang objektif dan dapat diterima oleh akal. Nasib seseorang
sangat ditentukan oleh proses pembuktian ini, karena dengan bukti-bukti yang ada dapat
dijadikan dasar seseorang akan dijatuhkan vonis bersalah atau tidak. Pembuktian ini memiliki
arti bahwa benar sebuah peristiwa pidana telah terjadi, dan terdakwa bersalah sehingga
harus mempertanggungjawabkannya. Artinya pembuktian ini merupakan sebuah proses
untuk mencari tahu apa peristiwa yang terjadi, apakah seseorang yang dituduh ini benar-
benar bersalah dan harus mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak. Pembuktian
adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara yang dibenarkan
Undang-Undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat bukti yang dibenarkan Undang-
Undang dan oleh dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Terdapat beberapa sistem pembuktian yang sering digunakan dalam sistem pengadilan,
yaitu :
a. Conviction In Time atau Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakina Hakim Semata
Sistem ini menganut bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa sepenuhnya bergantung
pada apa yang diyakini hakim. Jadi dipidana atau tidaknya terdakwa sepenuhnya
bergantung pada keyakinan hakim. Apa yang diyakini oleh hakim juga tidak harus
didasarkan pada bukti yang ada. Meskipun alat bukti sudah cukup namun hakim tidak
yakin, maka hakim berhak untuk tidak menjatuhkan pidana, ataupun sebaliknya jika alat
bukti yang ada hanya 1 namun jika sudah cukup meyakinkan hakim maka hakim berkak
menyatakan terdakwa bersalah. Menggunakan sistem ini menjadikan peran hakim dalam
memutuskan perkara sangat subjektif sekali. Sehingga, kelemahan dalam sistem ini
adalah sulitnya melakukan pengawasan. Sistem ini digunakan dalam Peradilan Perancis.
b. Conviction In Raisone atau Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas
Alasan yang Rasional.
Sistem ini juga menganut keyakinan bahwa hakim merupakan satu-satunya alasan untuk
menghukum terdakwa, sehingga hakim disini juga memiliki peran besar dalam
menentukan seorang terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak. Namun, keyakinan hakim
disini harus disertai dengan alasan yang nyata dan logis atau objektif. Keyakinan hakim
juga tidak perlu didukung degan alat bukti, sehingga meskupun alat bukti sudah
ditetapkan dalam Undang-Undang tetapi hakim tetap bisa menggunakan alat bukti diluar
ketentuan Undang-Undang. Dalam sistem ini yang perlu mendapatkan penjelasan
adalah keyakinan hakim tersebut, sehingga keyakinan hakim harus dilandasi dengan
reasoning atau alasan dan alasan ini harus objektif dan mampu diterima oleh nalar atau
akal. Sistem ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c. Positif Wettelijks theore atau Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang
Positif.
Sistem ini manganut ajaran bahwa bersalah atau tidaknya seorang terdakwa didasarkan
pada ada atau tidaknya alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, dimana alat
bukti inilah yang menjadi penentu bersalah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini sangat
mengabaikan atau tidak memperdulikan apa yang diyakini oleh hakim. Sehingga
meskipun hakim yakin dengan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa namun tidak
terdapat alat bukti yang sah yang dikumpulkan dalam proses pemeriksaan persidangan
maka terdakwa tetap harus dibebaskan.
Dalam sistem ini kebaikan yang dimunculkan adalah hakim akan berusaha dengan
keras untuk membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya,
sehingga apa yang dibuktikan oleh hakim ini bersifat objektif karena telah dilakukan
sesuai dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sedangkan untuk
18

kelemahannya adalah sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada apa yang
diyakini oleh hakim. Dalam sistem ini yang dicari adalah kebenaran formal, sehingga
sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata.Namun di benua Eropa
sistem ini digunakan dalam hukum acara pidana yang bersifat inquisitor (pemeriksaan
yang dilakukan dengan cara rahasia dan tertutup. Dalam hal ini menempatkan tersangka
sebagai objek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali, dan hakim hanya
merupakan alat perlengkapan saja.
d. Negative Wettelijk atau Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Negatif.
Dalam sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan pidana atau menyatakan bahwa
terdakwa bersalah apabila mendapatkan sedikit-dikitnya alat bukti yang ditentukan di
dalam Undang-Undang, ditambah juga keyakinan hakim yang diperoleh dari bukti-bukti
yang telah ada tersebut. Di dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
memang bersalah melakukannya.
Dalam konteks Pasal 183 KUHAP ini maka dapat disumpulkan bahwa Indonesia
menggunakan sistem pembuktian yang bersifat negative wettwlijk. Sistem ini dapat
ditemukan dalam praktik beracara yang terjadi di pengadilan Indonenesia. Dalam praktik
di pengadilan upaya pembuktian dilakukan oleh masing-masing pihak dengan
menggunakan berbagai macam bukti beserta keyakinan hakim terhadap suatu
kesalahan berdasarkan bukti tersebut. Dalam sistem ini walaupun dalam suatu perkara
terdapat cukup bukti yang sesuai dengan Undang-Undang, maka disini hakum tetap
tidak boleh memerikan penjatuhan hukuman sebelum hakim memperoleh keyakinan
tentang kesalahan terdakwa.
Sistem menurut Undang-Undang secara negatif yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP
memiliki pokok-pokok, yaitu :
1. Tujuan akhir pembuktian adalah untuk memutus perkara pidana, jika memenuhi
syarat pembuktian maka terdakwa dapat dijatuhkan pidana. Dengan kata lain
maka pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana , dan bukan hanya
untuk menjatuhkan pidana saja.
2. Syarat mengenai hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana ada dua syarat yang
saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu :
A. Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
B. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk memperoleh
keyakinan hakim.

Berkaitan dengan keyakinan hakim dalam proses pembuktian, haruslah dibentuk dengan
dasar fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Adapun
keyakinan hakim harus didapatkan untuk menjatuhkan pidana, yaitu:

1. Keyakinan bahwa benar terjadi tindak pidana seperti apa yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Hal ini berarti bahwa keyakinan dibentuk berdasarkan pada alat bukti
yang ada secara sah dan meyakinan. Secara sah maksudnya bukti yang ada harus
memenuhi syarat minimal. Namun, keyakinan hakim sebagaimana didakwakan Jaksa
Penuntut Umum tidak cukup untuk membuat hakim dapat menjatuhkan pidana,
diperlukan dua keyakinan lainnya.
2. Keyakinan bahwa terdakwa yang memang melakukan tindak pidana, Keyakinan ini juga
merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Sehingga keyakinan hakim yang
bersifat sujektif ini didapatkan atas sesuai yang objektif.
19

3. Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal melakukan tindak pidana. Hal ini bisa
terjadi didasarkan pada dua unsur. Yang pertama hal yang bersifat objektif, keyakinan ini
didapatkan ketika hakim merasa tidak ada lagi alasan pembenar terdakwa melakukan
tindak pidana, dengan tidak adanya alasan pembenar ini maka hakim bisa yakin
terhadap kesalahan terdakwa. Yang kedua adalah hal yang bersifat subjektif, dalam hal
ini adalah keyakinan hakim mengenai kesalahan terdakwa yang terbentuk atas dasar
hal-hal mengenai terdakwa.

Kelebihan dari sistem pembuktian negatif yang dianut Indonesia ini adalah dalam hal
memuktikan kesalahan terdakwa hakim tidak sepenuhnya bergantung pada alat-alat bukti
saja, namun juga harus disertai keyakinan dari hakim bahwa terdakwa memang bersalah
dan melakukan tindak pidana. Keyakinan ini juga harus berdasarkan pada fakta dan bukti
yang telah ditentukan di dalam Undang-Undang.Sehingga dalam sistem ini, pembuktian
benar-benar mencari kebenaran yang objektif dan sedikit kemungkinan terjadinya salah
putusan atau penerapan hukum yang digunakan.

Sedangkan untuk kekurangan dalam sistem pembuktian yang dianut Indonesia ini
adalah hakim yang hanya boleh menjatuhkan pidana apabila ada terdapat minimal 2 alat
bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang, hal ini membuat proses pembuktian menjadi
lambat karena proses pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi hal ini menjadikan
kebenaran yang didapatkan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro
sistem pembuktian secara negatif ini sebaiknya dipertahankan, karena ada dua alasan :

a. Memang selayaknya harus ada keyakinan mengenai kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan hukuman pidana, janganlah hakim tidak akan terpaksa memidana orang
padahal hakim sendiri tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b. Jika terdapat aturan yang mengikat hakim dalam membentuk keyakinannya, membuat
hakim memilki patokan yang harus diikuti dalam melakukan peradilan.
20

2.Metode Penemuan Dalam Pembuktian


1. Metode Penemuan Fakta Secara Aquisatoir dan Inquisatoir
Dalam proses menggali dan menemukan fakta pada sebuah peristiwa maka dilakukan
dengan menggunakan dua metode yaitu Aquisatoir dan Inquisatoir. Hal ini merupakan cara
tersendiri dalam proses menggali dan menemukan fakta yang akan berakhir pada
ditemukannya sebuah peristiwa pidana. Setiap negara memiliki cara yang berbeda ketika
berbicara mengenai kedua metode ini. Termasuk juga negara yang menggunakan sistem
Anglo Saxon dan Eropa Continental. Pendekatan ini sesungguhnya dapat memberikan
kejelasan sebuah fakta sekalipun memiliki perbedaan antara metode yang satu dengan
metode yang lainnya.

Keduanya tentu memiliki kelebihan serta kekurangan, sehingga dengan pembahasan ini
diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai pengertian dari masing-masing metode
penemuan sehingga dapat memberikan gambaran dan penjelasan mengenai pelaksanaan dan
makna dari dua metode tersebut. Inquisatoir menganggap bahwa tersangka merupakan objek
yang harus diperiksa berhubung dengan suatu pendakwaan. Sehingga pemeriksaan ini
merupakan pendengaran si tersangka tentang dirinya. Aquisatoir merupakan bentuk
pemeriksaan di dalam persidangan yang memberikan kebebasan dalam memberikan pendapat
serta mendapatkan penasihat hukum. Hal ini menunjukkan bahwa seorang tersangka dipandang
sebagai sebuah subjek dan berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan
sebuah pembelaan. Asas Inquisatoir merupakan asas persidangan pidana yang non adversial,
dimana dalam hal ini hakim yang akan memimpin sidang akan mencari kebenaran dengan
merumuskan beberapa pertanyaan dan menanyai terdakwa termasuk juga para saksinya. Sistem
ini banyak digunakan di sebagian besar Negara Eropa, di beberapa Negara Asia termasuk
Indonesia juga menggunakan, beberapa Negara Afrika , dan di Amerika Tengah atau Amerika
Selatan.
Asas Aquisatoir merupakan proses pidana yang adversial atau yang berlawaan,
bertarung, serta bertanding seperti yang berlaku di hukum Amerika Inggris, dimana dalam
metode ini ada dua pihak yang berperkara yaitu :
1. Jaksa Penuntut Umum di satu pihak dengan terdakwa
2. Pembela atau penasehat hukumnya dilain pihak bertindak aktif di depan hakim yang
pasif.

Dalam metode ini kedua belah pihak saling memberikan argumen, beradu argumen, dan saling
mematahkan alat bukti untuk bisa memenangkan perkara.Sesuai dengan Hak Asasi Manusia,
baik di dalam tataran secara nasional maupun internasional metode Inquisatoir ini sudah mulai
sedikit ditinggalkan oleh beberapa Negara, hal ini mempengaruhi sistem pembuktian pula. Di
Indonesia misalnya, pengakuan dari terdakwa sudah tidak lagi dijadikan sebagai alat bukti,
karena pengakuan sudah diganti menjadi keterangan terdakwa. Di dalam negara bersistem
Inquisatoir di masa lalu sering sekali untuk memperoleh pengakuan harus melalui proses
penyiksaan. Maka dengan fakta itu, pada masa banyak penalis dan proceduralis dari sisten
Aquisatoir yang beranggapan bahwa sistem Inquisatoir selalu terdapat lembaga penyiksaan.
Kedua model ini sebenarnya memiliki persamaan, yaitu terletak pada tujuan yang
mendasar untuk menemukan kebenaran. Siapa yang bersalah harus dihukum, dan yang tidak
bersalah harus dibebaskan. Sedangkan untuk perbedaan mendasar dari kedua model ini adalah
proses persidangan untuk menemukan kebenaran dari suatu peristiwa. Selain itu juga dalam
pemeriksaan Inquisatoir perbedaannya terletak pada tempat pemeriksaan. Inquisatoir diperiksa
ditingkat penyidikan, tersangka dijadikan sebagai objek, sedangkan Penasihat Hukumnya hanya
bersifat pasif. Saksi tidak disumpah, sehingga sumpah bukan merupakan alat bukti yang sah
21

kecuali dalam Pasal 116 Ayat (1) KUHP. Sedangkan untuk Aquasatoir pemeriksaan dilakukan
ditingkat pengadilan, terdakwa dijadikan sebagai subjek, penasihat hukum bersifat pasif, sanksi
disumpah, sehingga sumpah merupakan alat ukti yang sah, hal ini sesuai dengan Pasal 160 Ayat
(3) KUHP.
Metode Inquisatoir dianut di dalam Pasal 164 HIR diantaranya adalah :
a. Bukti surat.
Bukti ini dalam pembuktiannya harus memiliki hubungan dengan suatu peristiwa,
sehingga alat bukti surat ini kemudian akan dijadikan kekuatan dalam proses pembuktian.
Dan yang paling utama atau penting di dalam pembuktian adalah alat bukti berupa surat ini,
surat yang akan dijadikan sebagai alat bukti harus memiliki keabsahan, dan dalam konteks
kasus pidana bisa berupa surat dari keterangan seorang ahli dalam bidang tertentu. Sehingga
jika surat yang digunakan tidak mengandung sebuah pemikiran maka tidak dapat termasuk
dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.
b. Bukti Sanksi.
Alat bukti berupa keterangan saksi ini memiliki kekuatan dalam pembuktian ketika saksi
ini memnuhi syarat sahnya seorang saksi yang diatur di dalam KUHAP. Di dalam KUHAP
saksi harus mendengar, melihat, dan mengalami kejadian secara langsung, harus yang dia
alami sendiri bukan dari pernyataan orang lain. Ketentuan ini kemudian menjadi dasar utama
seorang saksi bisa dipertanggungjawabkan keteranggannya ketika disampaikan di dalam
persidangan di depan Majelis Hakim. Di dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP memberikan
ketentuan seorang saksi, yaitu ia adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan mengenai suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiir, dan ia alami sendiri. Ini yang merupakan prinsip dasar
ketentuan alat bukti sehubungan dengan saksi.
c. Sangkaan.
Persangkaan yang ada pada intinya merupakan bentuk kesimpulan yang oleh Undang-
Undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum kearah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum. Namun banyak para ahli hukum yang tidak puas
dengan ketentuan tersebut, misalnya saja Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S. H. Karena ia
menganggap bahwa persangkaan adalah kesimpulan belaka, maka hakikatnya yang
dijadikan sebagai alat bukti sebenarnya bukanlah persangkaan itu, melainkan bukti-bukti
lainnya.
d. Pengakuan.
Pengakuan merupakan alat bukti yang dalam ketentuannya diatur di dalam Pasal 1923
KUHPerdata, dan Pasal 174 HIR. Pada prinsipnya pengakuan merupakan bentuk pernyataan
atau keterangan yang disampaikan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses
pemeriksaan suatu perkara. Pernyataan atau keterangan ini dilakukan di muka hakim atau
dalam sidang pengadilan.
e. Sumpah.
Memahami alat bukti sumpah ini juga menjadi bagian yang tidak kalah penting dalam
konsep pembuktian, karena hal ini menyangkut kejuuran dan pertanggungjawaban seseorang
dalam kesaksiannya membawa nama Tuhan.Sumpah merupakan alat bukti atau keterangan
yang dikuatkan atas nama Tuhan untuk tujuan agar yang bersumpah memberikan pernyataan
yang benar adanya atas dasar takut murka Tuhan ketika ia berbohong. Rasa takut ini
merupakan pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya terjadi.
S. Tarif memberikan pendapat mengenai metode Inquisatoir, ia menyampaikan bahwa tersangka
sebagai objek yang harus diperiksa Pemeriksaan disini berupa pendengaran, keterangan
tersangka tentang dirinya, dan biasanya pemeriksa sudah memiliki keyakinan bahwa memang
tersagkalah yang melakukan, Sehingga sering terjadi paksaan pada tersagka untuk mengakui
kesalahannya, bahkan sampai melakukan penganiayaan. Sedangkan menurut pendapat
22

Abdurrahman S.H. ia mengatakan bahwa sistem Inquisatoir merupakan sistem pemeriksaan


yang memandang seseorang tertuduh sebagai subjek dalam pemeriksaan yang berhadapan
dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang
dilakukan secara tertutup. Pihak yang terlibat dalam metode Inquisatoir adalah tersangka,
penasihat hukum, dan polisi, Sedangkan untuk piihak yang ada di dalam metode Aquisatoir
adalah terdakwa, penasihat hukum hakim, panitera dan jaksa. Hal ini memberikan gambaran
yang jelas bahwa keterlibatan seorang terdakwa sangat penting. Sehingga jika terdakwa tidak
dapat hadir dalam proses pemeriksaan, maka proses pemeriksaan tidak boleh dilakukan. Hal ini
dilakukan karena mengingat bahwa kasus pidana hakikatnya adalah mencari kebenaran ateriil
sehingga ketika terdakwa tidak bisa hadir maka tidak boleh dilanjutkan persidangannya.
Van Apeldoorn memberikan pendapat mengenai metode Aquisatoir yaitu sifat Aquisatoir
dari acara pidana yang dimaksud adalah prisip dalam acara pidana, pendakwa, dan terdakwa
berhadapan sebagai pihak yang memiliki hak yang sama sebagai pihak yang melakukan
pertarungan hukum dimuka hakim yang hendak memihak.
Maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dalam sistem Inquisatoir tersangka memiliki kedudukan yang sangat lemah dan tidak
menguntungkan karena dalam sistem ini seorang tersangka akan dianggap sebagai
barang atau objek yang harus diperiksa. Para petugas pemeriksaan juga biasanya
memaksa tersangka untuk mau mengakui kesalahanyya dengan cara pemaksaan atau
penganiayaan. Maka pernyataan tersangka dalam proses ini bisa dianggap tidak jujur,
bisa saja apa yang disampaikan tersangka tidak sebenarnya terjadi atau menyampaikan
sesuatu yang tidak ia lakukan hanya karena takut dianiaya atau menyegerakan proses
yang menyengsarakan ini segera selesai.
2. Aquisatoir menempatkan tersangka pada posisi yang lebih manusiawi, karena tersangka
memiliki peran penting yaitu memberukan pengakuan yang nantinya akan dijadikan
sebagai alat bukti. Dan sistem ini jauh lebih manusiawi dan memberikan perlindungan
pada tersangka sebagai manusia, karena pada prosesnya jarang dilakukan dengan
kekerasan.

Maka sistem Inquisatoir hari ini sudah ditingalkan oleh banyak negara. Dengan realitas
ini maka banyak perubahan pula pada sistem pembuktiannya. Untuk mengimbangi perubahan
sistem pemeriksaan dan pembuktan, maka penegak hukum semakin dituntut untuk dapat
menguasasi segi teknis hukum dan imu pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik,
kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lain-lain.
23

3. Penerapan Keyakinan Hakim Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia


Melihat fakta bahwa Indonesia menggunakan sistem pembuktian negatif yang tetap
memerlukan keyakinan hakim selama proses pembuktian sebelum hakim memberikan putusan,
maka penting untuk membahas bagaimana penerapakan keyakinan hakim dalam sistem
peradilan pidana, agar mengetahui bagaimanakah proses terbentuknya keyakinan hakim di
dalam suatu sidang peradilan pidana.
Kedudukan hakim di Indonesia dijamin berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
dan kedudukan hakim juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman atau UU Kehakiman.
Hakim merupakan bentuk nyata dari pemegang kekuasaan kehakiman dalam
menjalankan tugas serta fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan, maksudnya bahwa di
dalam peradilan tidak boleh ada pengaruh atau campur tangan dari pihak manapun, agar
lembaga peradilan dapat dinilai bersih serta berwibawa. Selain itu juga bahwa seorag hakim
harus bertindak secara hati-hati dan penuh dengan keyakinan dalam menjatuhkan sebuah
putusan, baik itu putusan pemidanaan, lepas dari segala tuntutuan hukum, maupun juga putusan
bebas kepada seorang terdakwa. Keyakinan hakim dalam memberikan penjatuhan pidana
kepada seorang terdakwa merupakan konsekuensi logis dari sebuah teori sistem pembuktian.
Berdasarkan pada teori sistem pembuktian maka Hukum Acara Pidana di Indonesia menganut
sistem pembuktian menurut undang-Undang secara negatif yang memberikan ketentuan bahwa
hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila memang alat bukti
sebagaimana yang diatur Undang-Undang telah ada dan didukung juga dengan adanya
keyakinan dari hakim terhadap alat-alat bukti tersebut. Teori ini juga telah diimplementasikan
dalam Undang-Undang di Indonesia yaitu pada Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak
dipebolehkan untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali jika memiliki minimal 2 (dua)
alat bukti yang sah dan alat bukti ini bisa memperoleh keyakinan hakim bahwa tindak pidana
tersebut benar-benar terjai dan terdakwalah yang memang melakukan tindak pidana tersebut.
Hal yang harus diperhatikan oleh seorang hakim ketika akan menentukan seseorang
bersalah atau tidak maka harus memperhatikan yang pertama adalah bahwa perbuatan
terdakwa harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sah disini
maksudnya adalah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang, dan dari alat
bukti yang sah ini hakim harus memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan memang terdakwalah yang melakukan tindak pidana ini. Proses dalam pemeriksaan di
persidangan hanyalah salah satu tahap yang ada di dalam proses Hukum Acara Pidana. Namun
di dalam tahap pembuktian di persidanganlah yang memeran peran sangat penting dalam
mengungkap suatu perkara pidana guna menemukan kebenaran materiil. Tentu dalam sistem
pembuktian di peradilan ini hakim memegang peranan yang sangat penting untuk menemukan
kebenaran materiil.
Kebenaran materiil yang dimaksud disini adalah kebenaran yang diperoleh dengan cara
mencari, menguji, dan mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap di persidangan serta
dengan itu mampu menambah keyakinan hakim. Hal ini berbeda dengan kebenaran formil yang
menentukan kebenaran dari proses mengambil kesimpulan berdasarkan fakta yang terungkap
dalam persidangan.
A. Ukuran Keyakinan Hakim Terhadap Proses Pembuktian di Persidangan Dalam Menemukan
Kebenaran Materiil.
Kekuasaan kehakiman memegang peranan yang sangat penting di dalam proses
penegakan hukum perkara pidana. Persidangan merupakan tahap atau proses yang sangat
24

krusial di dalam pembuktian suatu perkara. Dalam tahapan ini penting sekali untuk
membuktikan sebuah perkara pidana melalui proses pembuktian di persidangan. Persidangan
ini merupakan salah satu proses dalam sistem peradilan pidana, dimana Indonesia menganut
sistem peradilan pidana terpadu atau Integrated Criminal Justice System. Hal ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Mardjono Raksodiputro, ia mengatakan bahwa sistem
peradikan pidana adalah sistem mengendalikan kejahatan yang didalamnya terdiri dari
lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Di dalam pandangan lain Remington dan Ohlin memberikan pendapat bahwa sistem
peradilan pidana adalah pemakaian pendekaan sistem terhadap mekanisme administradi
peradilan pidana, dan peradilan pidana ini merupakakan suatu sistem hasil dari interaksi
antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial.
Menurut Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana merupakan salah satu bentuk
penegakan hukum, sehingga di dalamnya mengandung aspek hukum yang menitikberatkan
pada peraturan perundang-undangan dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan dan
bertujuan agar mampu mencapai kepastian hukum. Apabila sistem peradilan pidana
dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defence dimana peradilan dilakukan
dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka di dalam sistem peradilan
pidana akan terkandung aspek sosial yang menitikberatkan pada kegunaan (expendiency).
Doktrin lain juga diberikan oleh Herbert L Packer membagi dua (2) model dalam sistem
peradilan pidana, yaitu Crime Control Model dan juga Due Process Model). Di dalam Crime
Control Model difokuskan pada pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan
penggunaan kekuasaan pada setiap kejahatan dari pelaku kejahatan dan karena itu
pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah atau Polisi, Jaksa, dan
Hakim harus benar-benar maksimal meskipun di dalam prosesnya haus mengorbankan Hak
Asasi Manusia. Sedangan untuk Due Process Model ditekankan pada Persumption Of
Innocence, Due Processs Model merupakan reaksi terhadap Crime Control Model yang
mendasarkan pada Persumption Of Innocence yang menitikberatkan pada hak setiap individu
dengan berusaha melakukan pembatasan pada wewenang penguasa, hal ini dapat diartikan
bahwa proses pidana tidak boleh menghilangkan hak asasi manusia, proses pidana ini harus
diawasi atau dikendalikan oleh hak asasi manusia, dan tidak hanya difokuskan pada efisiensi
belaka namun ditekankan pada prosedur penyelesaian perkaranya.
Setiap aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya untuk menegakan hukum
harus berdasar pada peraturan perundang-undangan dan berdasar pada perlindungan Hak
Asasi Manusia, hal ini sebagaimana konsep Due Process Model, tentunya hal ini berdasarkan
Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-Undangan lain, termasuk di dalamnya juga
ketika hakim menjalankan tugas dan fungsinya dl dalam persidangan perkara pidana. Hakim
harus memastikan bahwa segala proses persidangan sudah berjalan sebagaimana yang
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, maupun yang diatur di dalam perundang-undangan diluar KUHP yang
memberikan pengaturan mengenai Hukum Acara Pidana.
Pengadilan dalam hal ini memiliki peran penting sebagai pintu gerbang bagi setiap orang
yang berpekara agar mendapatkan keadilan, termasuk juga dalam perkara pidana. Segala
macam jenis perkara pidana dari mulai kejahatan sampai dengan pelanggaran akan masuk
ke Pengadilan untuk diminta diputus yang diajukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum).
Pengadilan dalam hal ini harus membantu para pencari keadilan agar memperoleh keadilan
sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 mengenai Kekuasaan Kehakiman. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk
mendapatkan kebenaran metriil. Kebenaran materiil ini secara yuridis berdasarkan pada
Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kebenaran materiil juga
merupakan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana dengan jujur dan tepat, dengan tujuan agar
25

mencari siapa pelaku yang didakwakan yang melanggar hukum, dan kemudian akan meminta
melakukan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan untuk menemukan apakah memang
terbukti bahwa suatu tindak pidana tersebut telah dilakukan, dan apakah yang didakwa itu
dapat dikatakan bersalah. Di dalam prakitknya sulit dalam mencari dan menemukan apa
hakikat dari kebenaran materiil, karena penafsiran terkait dengan hal itu sangat bergantung
pada berbagai aspek dan dimensi. Seperti apa yang dikatakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro
yang mengatakan bahwa kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan yang tertentu yang
sudah lampau. Semakin lama waktu lampau itu, maka akan semakin sulit bagi hakim untuk
menyatakan atas keadaan-keadaan itu. Maka dari itu roda pengalaman di dunia tidak
mungkin di putar balikkan lagi akan kepastian menjadi 100% bahwa apa yang diyakini Hakim
mengenai suatu keadaan memang betul sesuai dengan kebenarannya tidak mungkin dicapai.
Sehingga acara pidana hanya dapat menunjukkan jalan untuk mendekati sebanyak mungkin
kesesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Maka, untuk mendapatkan
keyakinan ini, hakim membutuhkan alat-alat yang mampu menggambarkan keadaan yang
sudah lampau itu.
Dalam perkara pidana yang dijadikan tujuan adalah memeperoleh kebenaran materiil,
hal ini terkait dengan proses sistem pembutkian. Untuk sistem pembuktian yang digunakan di
Indonesia adalah sistem pembuktian negatf. Proses pembuktian ini diatur di dalam Pasal 183
KUHAP, dimana ini sejalan dengan teori sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara
negatif dimana teori ini menentukan bahwa hakim hanya diperbolehkan menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa atau orang yang disangka apabila memang alat bukti ini sesuai dengan
apa yang ditentukan Undang-Undang dan didukung dengan keyakinan hakim terhadap
eksistensi alat bukti tersebut.
Proses pembentukan keyakinan hakim pada hakikatnya akan dikembalikan pada hak
subjektif seorang hakim, sedangkan untuk sifat objektifnya berdasarkan pada alat bukti.
Mengenai bagaimana cara pembentukan keyakinan itu akan dikembalikan kepada alat bukti
berdasarkan apa yang tertulis di dala KUHAP, serta fakta-fakta yang akan di tampilkan dalam
persidangan hingga akhirnya penjatuhn hukuman. Di dalam keyakinan hakim tentunya
menjadi subjektif mengenai apa yang ada di dalam pribadi hakim. Dari sisi dasar hukum,
kemampuan apa yang membentuk hakim ini dilihat berdasarkan ilmu pengetahuan di bidang
hukum, misalnya mengenai kemampuan memahami mengenai percobaan, permulaan
pelaksanaan, pemufakatan jahat dan sebagainya. Proses psikologis yang membentuk pribadi
hakim adalah moralitas dan spiritualitas seorang hakim, karena hal inilah yang pada akhirnya
akan membentuk keyakinan hakim. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembentukan
keyakikan hakim merupakan proses psikologis yang tidaklah diperoleh secara instan atau
langsung. Jadi pembentukan keyakinan hakim ini diperoleh berdasarkan dengan hal yang
objektif yang dibentuk berdasarkan padaa Undang-Undang dan dia memeriksa berkas
persidangan.
Keyakinan bisa dikatakan bersifat subjektif, karena akan kembali pada fakta apa yang
akan muncul di dalam persidangan sebagai cara untuk mengurangi subjektifitas. Proses
pembentukan keyakinan hakim ini tidaklah terlepas dari apa yang menjadi tujuan hukum
acara pidana yaitu dalam rangka untuk mencari kebenaran materiil dari suatu tindak pidana,
yaitu pembentukan hakim yang didasarkan pada alat bukti sesuai dengan apa yang diatur di
dalam Undang-Undang, juga disertai dengan adanya keyakinam hakim. Namun di dalam
realitasnya tidak seluruh keadaan disertai dengan adanya alr bukti yang cukup, tidak semua
kasus mendukung hal itu, misalnya saja untuk kasus kesusilaan. Contoh kasus misalnya
dalam konteks kasus kesusilaan, dimana dalam peristiwa asusila hanya ada korban dan juga
pelaku dan mengakibatkan minimnya alat bukti. Namun dalam praktiknya, hakim yang
berpengalaman dan sudah lama berpraktik akan melihat wajah atau mimik muka yang akan
ditampilkan oleh terdakwa dalam persidangan, maka keyakinan hakim dilihat dari proses di
dalam persidangan dan hal itulah yang mampu membentuk keyakinan hakim.
26

Misalnya di dalam jurnal hukum yang kami temukan dengan judul Pembentukan
Keyakinan Hakim Dalam Perkara Pidana di Lingkungan Peradilan Jawa BaratPenulis jurnal
ini melakukan wawancara dengan Bapak Wasdi dimana beliau mengatakan bahwa keyakinan
hakim akan terbentuk setelah mendapatkan fakta di persidangan, nantinya dari fakta tersebut
akan timbul dua kemungkinan, yaitu :
1. Secara Yuridis
2. Keyakinan Hakim itu sendiri

Secara yuridis bisa dilihat bagaimana keterangan saksi di dalam persidangan yang mengatakan
bahwa terdakwalah yang bersalah, kemudian dari bukti yang diajukan pun demikian, tetapi
keyakinan hakim mengatakan bahwa bukan tersanga pelakunya karena dianggap ada
kemungkinan bisa saja saksi ini dibayar. Di dalam jurnal yang sama dalam wawancara dengan
Bapak Happy, beliau mengatakan bahwa untuk menerima kriteria dan ukuran tersebut harus
diluhat dulu jenis perkaranya. apakah hakimnya tunggal seperti yang ada di perkara anak atau
terdiri dari 3 majelis hakim, dan keyakinan ini pada dasarnya bermula dari proses penyidikan
yang dilakukan oleh aparatt kepolisian dalam mencari dan mengumpulkan alat bukti.

Hal yang mempengaruhi keyakinan seorang hakim dalam perkara pidana adalah apakah
perbuatan itu benar-benar terjadi, apakah pasal yang didakwakan selaras dengan perbuatan
yang dilakukan, dan kemudian bagaimana penjatuhan sanksi di dalam penuntutan. Selain itu
dalam persidangan yang hakimnya hanya 1 atau tunggal, maka hal yang turut mempengaruhi
keyakinan hakim adalah apakah ada alasan pembenar dan pemaaf. Berkenaan dengan
keyakinan hakim, maka hal ini juga didasarkan pada pengalaman dari masing-masing hakim
namun tetap berpatokan pada Pasal 183 KUHAP. Hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan
hukuman pada terdakwa tanpa memiliki keyakinan, dan hal ini tidak cukup hanya dengan bukti-
bukti saja.

Keyakinan seorang hakim akan mudah terbentuk apabila di dalam proses pemuktian di
persidangan ditemukan alar bukti yang sah yang mendukung dakwaan, dan semakin mudah
apabila terdakwa tidak menyangkal keterangan saksi di persidangan. Terkait dengan saksi
tentunya tidak hanya satu, karena hakim nantinya akan mencoba merangkai antara keterangan
saksi yang satu dengan saksi yang lainnya, apakah saksi ini memiliki keterangan yang saling
berkaitan atau tidak.Sebelum hakim mendengarkan keterangan dari saksi, maka saksi tersebut
harus disumpah terlebih dahulu dan diingatkan bahwa sumpah ini dilakukan berdasarkan agama
dan keyakinan masing-masing saksi, dimana nantinya saksi akan menyampaikan keterangan
yang benar sesuai dengan apa yang dilihat, apa yang didengar, dialami dan diketahuinya.
Apabila saksi disini memberikan keterangan yang mengarang atau mengada-ada maka ia bisa
dikenakan pasal memberikan keterangan palsu.
Keterangan saksi ini kemudian akan digabungkan dengan keterangan terdakwa, apakah
keterangannya saling terkait atau tidak, hal ini tetap dilakukan meskipun dalam prosesnya
terdakwa menyangkal. Terutama dalam kasus kesusilaan dalam tindak pidana pemerkosaan
yang ini sangat jarang terdakwa menyangkat atau apa yang diperbuat dengan dalih dilakukan
suka-sama suka. Ada kalanya korban menyimpan rasa takut kepada terdakwa, maka
diperkenankan sesuai apa yang tertulis di dalam undang-undang bahwa terdakwa boleh
dikeluarkan terlebih dahulu dari ruangan persidangan. Dalam membentuk keyakinan hakim ini
maka hakim akan melihat kesesuaian antara keterangan saksi dan terdakwa dan berbagai
macam fakta yang terungkap dalam persidangan.
Kasus yang dianggap sulit dalam proses pembentukan keyakinan hakim adalah kasus
penipuan dan penggelapan. Maka dalam hal ini dalam membentuk keyakinan dalam diri hakim,
hakim perlu mengumpulkan atau merangkai berbagai macam keterangan dari pihak-pihak yang
terlibat agar mendapatkan titik terang, kemudian melihat perannya masing-masing yang
27

berkaitan dengan pekerjaannya. Ketika seorang hakim dihadapkan dengan sebuah perkara yang
sulit atau tidak mudah dalam proses pembuktiannya karena alat bukti kurang, atau terdakwa
menyangkal apa yang didakwakan, saksi yang ditemukan tidak melihat langsung, maka secara
teori hakim harus tetap mendasarkan keyakinannya pada alat bukti sebagaimana yang diatur di
dalam Pasall 184 Ayat (1) KUHAP. Dalam kasus seperti itu petunjuk juga bisa menjadi cara
terakhir apabila alat bukti yang ada sangat minim dan antara keterangan saksi dengan
keterangan terdakwa bertolak belang. Dalam hal alat bukti tidak nampak, maka alat bukti
petunjuk dapat dijadikan cara terakhir untuk mencari kesesuaian antara fakta hukum yang ada di
dalam persidangan. Alat bukti mengenai petunjuk ini diatur di dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP.
Dimana Pasal 188 Ayat (1) menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau
keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
Alat bukti petunjuk akan diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa
sebagaimana yang tertulis di dalam Pasal 188 Ayat (2) KUHAP. Namun, penilaian atas kekuatan
pembuktian dari petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana. Setelah hakim
melakukan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati dan
nuraninya (Pasal 188 Ayat (3) KUHAP). Penggunaan alat bukti petunjuk terhadap suatu perkara
pidana dengan alat bukti yang kurang harus dilaksanakan denga arif dan bijaksana, tentu saja
terlebih dahulu seorang hakim akan menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali fakta
dan alat bukti di persidangan dengan menggunakan bantuan berbagai ilmu pengetahuan baik itu
penggunaan teknologi atau ilmu psikologi dalam melakukan pengajuan pertanyaan kepasa saksi
maupun kecermatan dalam mengungkapkan pertanyaan kepada para saksi sehingga fakta yang
sebelumnya masih abu-abu (tidak memiliki kejelasan) menjadi lebih terang (jelas) dan dapat
membentuk keyakinan hakim.
28

4. Amicus Curiae Dalam Memberikan Keyakinan Pada Hakim


Beberapa tahun belakangan di dalam Peradilan Indonesia mulai muncul Amicus Curiae
dimana ini merupakan suatu konsep hukum yang sebelumnya tidak begitu dikenal di
Indonesia yang menggunakan sistem hukum Civil Law ini. Konsep hukum Amicus Curiae ini
biasanya digunakan atau dipraktikkan di dalam tradisi negara-negara yang ini menganut
sistem hukum Comman Law. Konsep Amicus Curiae ini awal mulanya berasal dari tradisi
hukum yang digunakan Romawi. Amicus Curiae ataupun Friends Of Court atau yang lebih
mudah disebut dengan teman majelis hukum ini bekerja dengan mendapatkan sebuah
masukan dari seseorang, kelompok ataupun organisasi yang bahkan bukan berperan bagai
pihak di dalam masalah namun memberikan atensi ataupun yang memang memiliki
kepentingan terhadap masalah. Kebijaksanaan konvensional berpendapat bahwa Amicus
Curiae ini memberikan Mahkamah Agung (MA) informasi yang tidak diberikan pleh penggugat
dan bahwa infomasi ini akan berguna bagi Mahkamah.
Hadirnya Amicus Curiae di dalam peradilan di Indonesia akan membetikan peluang bagi
seseorang, ataupun sekelompok orang yang merasa memiliki kepentingan untuk
membagikan data maupun fakta hukum dalam permasalahan yang sedang diteliti oleh majelis
hukum. Amicus Curiae ini bertujuan agar membuat terang duduk perkara yang sedang
diperiksa oleh pengadilan. Keberadaan Amicus Curiae ini bukan untuk mengintervensi
masaah yang sedang diteliti oleh majelis hukum, namun hanya sebatas memberikan opini
atau pendapat yang berkaitan dengan fakta hukum dan isu hukum terpaut dengan masalah
yang terjalin. Amicus Curiae ini akan memberikan isu-isu faktual, menerangkan isu hukum
yang sedang terjadi, ataupun mewakili kelompok-kelompok tertentu.
Amicus Curiae yang tidak dikenal di dalam sistem hukum di Indonesia terutama di dalam
hukum pidana, ternyata akhir-akhir ini dalam praktiknya banyak digunakan oleh lembaga yang
bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan untuk membela. Memberikan penjelasan
mengenai fakta hukum dalam suatu perkara. Penjelasan yang diberikan oleh Amicus Curiae
ini dalam praktikya akan diberikan di dalam bentuk surat atau tertulis atau biasa disebut
Amicus Brief atau juga secara lisan di pengadilan. Namun di dalam praktek yang terjadi
selama ini sebagian besar diberikan dalam bentuk surat maupun tertulis.
Pada beberapa tahun belakangan semakin banyak pengajuan terkait Amicus Curiae ini
di Indonesia, dan hakim yang menjadikannya sebagai alat bukti surat di dalam pertimbangan
putusannya menjadikan bukti bahwa Amicus Curiae ini sudah mulai dikenal di Indonesia.
Akan tetapi Amicus Curiae yang eksis di Indoensia adalah untuk memberikan penjelasan
fakta hukum terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Bahkan saat ini
sudah ada hakim yang menjadikan Amicus Curiae sebagai bukti surat dalam
pertimbanggannya untuk memberikan putusan, walaupun pada dasarnya pemberlakukan
Amicus Curiae ini belum memiliki aturan yang jelas dalam penggunaannya baik itu mengenai
kapan boleh diajukan, bagaimana kriteria seseorang atau lembaga yang boleh mengajukan
Amicus Curiae, bagaimana kedudukannya, bagaimanakah kekuattan hukumnya di dalam
tahapan pembuktian tindak pidana, apa manfaatnya, dan apa dasar hukum hakim dalam
menggunakan Amicus Curiae sebagai pertimangan dan lain sebagainya.

A. Amicus Curiae sebagai alat bukti dalam Hukum Indonesia


Keadilan yang diciptakan oleh hakim pada dasarnnya merupakan sebuah opsi
ataupun campuran dalam mengutamakan kebenaran formil maupun materii serta wajib
atau harus memiliki keselarasan mengenai kebenaran formil maupun materiil tersebut. Di
dalam vonis hakim, hakim wajib senantiasa elalu mencermati 3 (tiga) faktor yaitu yang
pertama adalah kepastian hukum kedua kemanfaatan serta keadilan, dan ketiga adalah
seimbang atau balance. Dalam pelaksanaannya tidak boleh mengutamakan salah satu
faktor sehingga akan mengabaikan faktor lainnya. Dalam peradilan di Indonesia, tidak
ada ketentuan secara langsung mengenai Amicus Curiae, namun di dalam Pasal 5 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan
29

bahwa hakim serta hakim konstitusi harus menggali, menjajaki, serta menguasai nilai-
nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup di dalam warga”. Maka dari itu pasal tersebut
dapat menjadi salah satu alasan terdapatnya Amicus Curiae dalam peradilan di
Indonesia, serta juga menjadi alasan hakim dalam mengenai kekiuatan pembuktiannya
Di dalam rumusan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
mengenai Kekuasaan Kehakiman jelas bahwa seorang hakim tidak dapat menolak
sebuah perkara dengan alasan kurang jelas ataupun tidak tahu. Ketika sebuah perkara
kurang jelas, maka sudah menjadi kewajiban bagi hakim untuk memperjelas dengan
mencuiptakan hukum baru yang seadill-adilnya. Maka dengan itu para hakim harus
memiliki dasar intelektual tinggu serta wawasan pengetahuan yang besar, dan mempu
untuk menguasai serta mengetahui atau memahami nilai yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat.
Konsep Amicus Curiae atau Friends Of Court atau sahabat pengadilan ini
merupakan masukan dari indivudu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai
pihak dalam perkara namun memberikan perhatian atau berkepentingan terhadap
sebuah kasus. Hakim dapat menggunakan Amicus Curiae ini sebagai bahan yang
digunakan dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutus sebuah perkara. Hakim
dapat membuka informasi serta kesempatan yang seluas-luasnya bagi siapapun yang
merasa memiliki kepentingan dengan suatu kasus. Amicus Curiae berbeda dengan pihak
dalam intervensi karena sahabat pengadilan atau disebut amici tidak bertindak sebagai
pihak dalam perkara tetapi menaruh perhatian terhadap kasus secara khusus.
B. Kekuatan Hukum Amicus Curiae
Dalam melaksanakan pertimbangan, hakim harus memiliki keberanian. Seorang
hakum harus menjalankan wewenang untuk memberikan pertimbangan yang hendak
atau akan dilaksanakan secara bijaksana. Hakim dianggap akan selalu mengetahui
megenai hukum, apabila hakim tidak mengetahui maka tugas hakim adalah harus
mencari tahu terlebih dahulu. Amicus Curiae ini adalah pihak yang berkepentingan dalam
mengikuti suatu perkara dan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Kepentingan disini sebatas hanya memberikan opini atau pedapat hukum. Namun, ketika
melihat di dalam Pasal 180 Ayat (1) KUHAP yang merupakan dasar hukum seakan
menyatakan bahwa Amicus Curiae ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Sedangkan
jika melihat rumusan di dalam Pasal 180 Ayat (1) KUHAP bahwa hadirnya bahan baru
dimuka persidangan harusnya didasarkan pada permintaan hakim ketua. Di dalam
sistem peradilan pidana, saat merujuk Pasal 180 Ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa bila
dibutuhkan untuk menjernihkan duduknya perkara yang ada di persidangan majelis
hukum, hakim pimpinan persudangan dapat memohon penjelasan dari pakar serta dapat
memohon agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Maka frasa atau rumusan
ini secara tidak langsung merujuk pada konsep Amicus Curiae, namun Amicus Curiae
tidak dilembagakan secara soesial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Maka dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa konsep Amicus Curiae ini dapat
digunakan atau diadopsi dalam hukum di Indonesia. Amicus Curiae merupakan bentuk
partisipasi masyarakat secara langsung terhadap sebuah perkara yang ada dan
merupakan bentuk nyata pengawasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang
sedang berlangsung di dalam perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip negara
hukum yang dianur oleh Indonesia yang bersifat demokratis, bahwa prinsip ini
mensyarakatkan bahwa setiap keputusan kenegaraan harus menjamin peran serta
masyarakat di dalam proses pengambilannya.Tujuannya adalah agar setiap keputusan
yang dibuat memiliki nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Kedudukan dari
Amicus Curiae ini tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang telah ditetapkan di
dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Amicus Curiae merupakan
alat bukti baru yang tidak memiliki bentuk baku, karena belum diatur secara jelas atau
secara langsung (formil) dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam hal
30

kekuatan pembuktian dari Amicus Curiae tetap terletak pada keyakinan hakim itu sendiri
dalam menilai isi serta kejelasan dari Amicus Curiae yang diajukan di dalam perkara
tersebut. Amicus Curiae tidak dapat dikatakan sebagai keterangan saksi maupun
keterangan ahli (saksi ahli), karena Amicus Curiae ini adalah sesuatu yang baru dalam
peradilan pidana. Namun, meskipun belum ada peraturan yang khusus dalam praktiknya
sudah ada yang meerapkan Amicus Curiae di dalam peradilan Indonesia.
Mengapa Amicus Curiae ini tidak dapat dikatan sebagai keterangan saksi, karena
sebagaimana yang telah dituliskan dalam KUHAP Pasal 1 butir 26 dikatakan bahwa saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan mengenai suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Selain itu syarat menjadi saksi adalah sehat, sudah
baligh, berani disumpah sesuai dengan agamanya masing-masing, dan memberikan
keterangan sejujur-jujurnya. Sedangkan Amicus Curiae adalah seseorang yang merasa
berkepentingan alasannya adalah untuk mengklarifikasi isu yang faktual, menjelaskan isu
hukum yang ada serta mewakili kelompok tertentu, tidak diterangkan bahwa Amicus
Curiae haruslah orang yang melihat, mendengar, maupun mengalami sendiri.
Amicus Curiae pada proses pembuktian perkara pidana pada prinsipnya haruslah
menjabarkan tujuannya, kronologis perkara, pengungkapan fakta di lapangan yang dikaji
dari prespektif filosofis, sosiologis dan yuridis mengapa pelaku bisa melakukan tindak
pidana. Dikembangkan dengan mencantumkan dasar hukum dan dasar hukum
penjatuhan sanksi pidana pada pelaku tindak pidana. Beberapa refrensi kasus yang
menggunakan Amicus Curiae ini dalam penjatuan putusan yang dilakukan oleh hakim
diperlukan untuk membantu hakim dalam membuat pertimbangan khusus sebelum
putusan pidana terhadap anak dijatuhkan. Dalam menggunakan Amicus Curiae dalam
pembuktian perkara pidana di dalam Pengadilan hakim dapat menerapkan sistem
pembuktian sebagaimana Teori Conviction Rasionneee yakni sistem pembuktian yang
tetap menggunakan keyakinan hakim namun keyakinan hakim harus didasarkan pada
alasan yang rasional. Keyakinan hakim harus diikuti dengan alasan-alasan yang rasional
yaitu alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinan itu. Teori
ini akan menjadi jalan tengah antara teori berdasarkan Undang-Undang dan teori
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim.
Amicus Curiae dapat menjadi pertimbangan hakim, karena di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana bahwa sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah
sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif. Dapat dilihat dari penjelasan KUHAP
Pasal 183 ketentuannya itu memperlihatkan bahwa di dalam pembuktian diperlukan 2 alat
bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim. Amicus Curiae belum dapat dikatakan
sebagai alat bukti yang sah, namun Amicus Curiae ini dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hakim karena dalam teori pembuktian Undang-Undang secara negatif
bukan hanya sebatas mengumpulkan alat bukti yang sah namun juga harus diikuti
dengan kayakinan hakim.
31

5. Perbedaan Sistem Pembuktian Pidana dan Perdata


A. Pidana
Pembuktian di dalam tatanan praktis merupakan hal yang sangat penting karena
akan digunakan untuk menguji kebenaran atau fakta hukum yang sebenar-benarnya telah
terjadi. Nasib dari seorang terdakwa dalam persidangan di Pengadilan sangatlah
ditentukan oleh bukti-bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim dalam
menjatuhkan vonis terhadap dirinya. Di dalam Hukum Acara Perdata pun juga sama
bahwa nasib para pihak baik Penggugat maupun Tergugat sangatlah ditentukan dari
penyajian bukti-bukti para pihak. Pemahaman terhadap pembuktian ini haruslah dimiliki
oleh seluruh ahli hukum dan penegak hukum yakni baik oleh Polisi, Jaksa, Hakim, dan
Advokat. Tidak ada lagi pemaksaan kehendak terhadap jalannya sebuah perkara baik itu
pidana maupun juga perdata. Apabila tidak memiliki bukti yang kuat maka penegak
hukum harus berani untuk menyatakan bahwa perkara dihentikan dalam penyidikan atau
penuntutan dihentikan, Demikian pula dalam pemeriksaan persidangan oleh Majelis
Hakim, haruslah benar-benar memeriksa sebuah perkaa berdasarkan pada bukti yang
terungkan di dalam persidangan. Jika tidak terbukti maka hakim harus berani untuk
membebaskan terdakwa atau menyatakan bahwa terdakwa lepas dari tuntutan hukum
pun sebaliknya, apabila telah terbukti maka hakim harus berani untuk menyatakan bahwa
terdakwa bersalah agar terdakwa mampu untuk bertanggungjawab atas tindakannya.
Sedangkan bagi advokat juga sangat penting karena nasib dari klien yang sedang ia
tangani ketika berada di persidangan ada ditangannya. Seorang advokat harus ahli dalam
menyajikan bukti dalam meyakinkan Majelis Hakim dalam mengeluarkan putusannya
kelak. Penegakkan hukum acara pidana, khususnya acara pidana di Indonesia pada
prinsipnya adalah mencari kebenaran materiil untuk dapat mengungkapkan sebuah
kebenaran meteriil maka sangat diperlukan suatu tindak pidana pembuktian. Oleh karena
itu pembuktian memiliki fungsi yang sangatlah penting dan merupaka fokus dalam proses
pemeriksaan perkara pidana. Arti pembuktian dari segi hukum acara pidana, antara lain :
1. Ketentuan yang ini membatasi sidang pengadilan dalam usaha untuk mencari serta
mempertahankan kebenaran. Baik itu hakim, jaksa, terdakwa maupun penasiha hukum
semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang. Siapapun tidak boleh secara semena-mena bertindak dengan
caranya sendiri dalam proses pembuktian. Dalam menggunakan alat bukti tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang. Terdakwa tidak dapat leluasa mempertahankan
sesuatu yang dianggapnya diluar ketentuan di dalam Undang-Undang. Terutama bagi
hakim, seorang hakim harus benar-benar sadar dan cermat dalam menilai dan
mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan dalam menjatuhkan putusan,
kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian
maka bisa saja seseorang yang melakukan tindak pidana lepas dan seseorang yang
tidak bersalah malah mendapatkan hukuman.
2. Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam
putusan haruslah berdasarkan alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang
sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan fakta
yang telah diurai maka dapat disimpulkan bajwa arti pembuktian adalah suatu tundakan
atau upaya untuk membuktikan kesalahan dari terdakwa sebagaiamana yang telah
didakwakan. Di lain sisi, pembuktian berfungsi untuk menyatakan kebenaran dari sebuah
tuduhan atau dakwaan. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat bukti
yang dibenarkan olleh Undang-Undang dan inilah yang akan dipergunakan oleh hakim
untuk membuktikan kesalahan yan didakwakan.

KUHAP memiliki sifat pembuktian yang limitatif, artinya adalah bahwa mengenai hal yang
dibuktikan ini hanya sebatas pada hal yang diatur di dalam KUHAP itu sendiri, Begitu juga
32

dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap
alat bukti dimana hal ini hanya boleh dilakukan dalam batasan yang dibenarkan oleh
Undang-Undang. Semua ini dilakukan agar dalam mewujudkan kebenaran, majelis hakim
dapat terhindar dari kesalahan dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai kebenaran yang
diwujudkan oleh hakim merupakan hasil yang tidak sesuai dengan garis yang dibenarkan di
dalam sistem pembuktian. Sehingga di dalam putusannya tidak berdasarkan pada perasaan
dan pendapat hakim sendiri (subjektif). Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan di
dalam Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh
keyakinan.

Apabila dibandingkan dengan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR hampir
memiliki kesamaan antara bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya. Pasal 294 HIR
menyatakan bahwa tidak dijatuhkan hukuman kepada seseorang jika hakim yakin kesalahan
terdakwa dengan upaya bukti menurut Undang-Undang bahwa benar telah terjadi perbuatan
pidana dan bajwa tertuduhlah seseorang yang melakukan perbuatan itu. Dari bunyi pasal
tersebut maka baik apa yang termuat di dalam Pasal 183 KUHAP maupun apa yang tertulis
di dalam Pasal 294 HIR sama-sama menganut sistem pembuktian menurut Undang-Undang
secara negatif. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada penekanannya saja. Pada
Pasal 183 KUHAP syarat dari pembuktian adalah menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih
ditekankan pada perumusannya. Dengan demikian maka Pasal 183 KUHAP mengatur
bahwa dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk hakim
menjatuhkan putusan kepada terdakwa haruslah :

1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah


2. Dengan ala bukti tersebut hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa tindak
pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang memang bersalah
melakukannya,

Untuk mencari tahu apakah alasan pembuat Undang-Undang merumuskan Pasal 183 KUHAp
barangkali adalah untuk mewujudkan ketentuan yang seminimal mungkin dalam memberikan
jaminan tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum, pendapat ini
diambil dari makna penjelasan 183 KUHAP. Dari penjelasan Pasal 183 ini pembuat Undang-
Undang telah memberikan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam
menegakkan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara
negatif, hal ini bertujuan untuk tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.

KUHAP telah mengatur beberapa pedoman mengenai pembuktian, yaitu :

1. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberikan wewenang oleh


Undang-Undang untuk mengajukan segala daya serta upaya untuk
membuktikan kesalahan yang telah didakwakan kepada terdakwa.
2. Sebaliknya, terdalwa atau penasihat hukum memiliki hak untuk melupuhkan
pembuktian yang telah diajukan oleh penuntut umum, sesuai dengan cara-cara
yang telah dibenarkan Undang-Undang yaitu berupaka sangahan atau bantahan
yang beralasan dengan yang meringankan saksi ataupun dengan alibi.
3. Pembuktian juga dapat berarti suatu penegasan mengenai ketentuan tindak
pidana yang sebelumnya dijatuhkan kepada terdakwa. Arti serta fungsi
pembuktian merupakan penegasan mengenai dakwaan yang tidak terbukti dan
menghukum terdakwa berdasarkan dakwaan tindak pidana yang telah terbukti.

KUHAP sebagai acuan Hukum Acara Pidana di Indonesia tidak mengenal keterangan ataupun
pengakuan yang bulat dan juga murrni. Ada atau tidaknya pengakuan terdakwa, pemeriksaan
33

pembuktian kesalahan dari terdakwa tetap merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan
di dalam sidang pengadilan. Hal ini harus sesuai dengan kebenaran yang hendak dicari dan
ditemukan di dalam proses perkara pidana, kebenaran ini harus ditemukan dan juga diwujudkan
dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai kebenaran yang sejati. Oleh karenanya, pengakuan
atau keterangan dari terdakwa saja belum dapat dianggap sebagai perwujudan kebenaran
materiil apabila tidak dikuatkan dengan alat bukti yang lain. Hal ini berbeda dengan pemeriksaan
perkara dalam perdara, karena kebenaran yang diwujudkan secara ideal adalah kebenaran sejati
namun jika tidak ditemukan hakim masih diperbolehkan untuk mewujudkan kebenaran fomil.
Di dalam melengkapi uraian pembuktian juga membicarakan mengenai apa yang telah
dirumuskan di dalam Pasal 184 Ayat (2) KUHAP yang ini berbunyi hal yang secara umum sudah
diketahui tidak lagi perlu untuk dibuktikan. Rumusan Pasal 184 Ayat (2) KUHAP ini berarti bahwa
setiap yang yang sudah umum diketahui tidak perlu lagi untuk diperiksa dan dibuktikan di dalam
pemeriksaan sidang pengadilan. Terkait dengan pengetian “hal yyang secara umum” ini
diketahui ditinjau dari segi hukum yaitu penjelasan mengenai keadaan atau peristiwa yang
diketahui sumum bahwa peristiwa itu memang sudah demikian yang sebanarnya atau sudah
memang semestinya demikian. Di dalam pengertian lain, mengenai kenyataan dan pengalaman
yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan kesumpulan yang demikian, yaitu
kesimpulan yan ini didasarkan pada pengalaman umum atau berdasarkan pengalaman hakim
sendiri bahwa setiap keadaan seperti itu dapat menimbulkan akibat yang pasti demikian. Dalam
hal-hal seperti ini maka persidangan pengadilan tidak perlu lagi untuk membuktikan, karena
keadaan itu dianggap secara umum sudah diketahui.Sebagaimana yang ditegaskan di dalam
Pasal 184 Ayat (2) KUHAP, maka dalam penerapan notoire feiten majelis hakim dapat menarik
dan mengambilnya sebagai sebuah kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa
membuktikannya lagi, akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dalam hal ini tidak bisa berdiri
sendiri tanpa adanya penguatan dari alat bukti yang ada. Kenyataan yang diambil hakim dalam
hal ini tidaklah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sebagaimana yang telah
didakwakan, karena pada hakikatnya notoire feiten ini tidak tergolong sebagai alat bukti yang
diakui oleh Undang-Undang. Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah menjadi penilaian
terhdapat suatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja, bukanlah sesuatu yang dapat
membuktian kesalahan terdakwa secara menyeluruh.
B. Perdata
Di dalam persidangan perdata di pengadilan negeri berdasarkan dengan apa yang sudah
dijelaskan di dalam Hukum Acara Perdata, di dalam perdata juga proses pembuktian. Ada
beberapa teori mengenai beban pembuktian yang merupakan pedoman bagi seorang
hakim dalam proses memeriksa dan memutuskan sebuah perkara, yaitu :
1. Teori Pembuktian Yang Bersifat Menguatkan
Siapa saja yang akan mengemukakan sesuatu haruslah mampu untuk
membuktikan dan bukan justru mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hukum teori ini
adalah pendapat bahwa hal yang negatif tidak akan mungkin dibuktikan. Peristiwa yang
negatif tifak dapat menjadi dasar sebuah hak, meskipun tetap mungkin pembuktiannya,
hal ini tidaklah menjadi penting dan sebab itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang.
Hari ini teori pembuktian yang bersifat menguatkan ini sudah ditinggalkan.
2. Teori Hukum Subjektif
Teori hukum subjektif mengatakan bahwa proses perdata selalu merupakan
pelaksanaan hukum yang subjektif atau bertujuan untuk mempertahankan hukum
subjektif, siapa yang mengemukakan atau mengaku memiliki sesuatu hak harus dapat
membuktikan. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan segalanya, Untuk
mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan ini maka dibedakan antara peristiwa
umum dan peristiwa khsusus.Yang terakhir dibagi lagi menjadi persitiwa khusus yang
bersifat menimbulkan hak, peristira khusus yang bersifat menghalangi timbulnya hak,
dan juga peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak.
34

Di dalam teori ini penggugat memiliki kewajiban untuk membuktikan adanya


peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Tergugat diharuskan untuk
membuktikan tidak adanya peristiwa umum dan adanya peristiwa khusus yang bersifat
menghalangi dan membatalkan. Misalnya saja sebagai sebuah contoh apabila
penggugat mengajukan tututan pembayaran harga penjualan, maka penggugat harus
membuktikan adanya kesesuaian kehendak, harga serta penyerahan, sedangkan untuk
tergugat apabila tergugat menyagkal gugatan yang diajukan penggugat maka tergugat
harus mampu membuktikan.
Teori ini hanya dapat memberikan jawaban jika gugatan dari pengguggat
didasarkan pada hukum subjektif. Hal ini tidak selalu demikian, karena hal ini tidak
digunakan pada kasus gugat cerai. Keberatan lainnya adalah karena teori ini memiliki
banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberikan jawaban terhadap subtansi
permasalahan atau memberi jawaban atas perosalan mengenai beban pembuktian. Di
dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan. Sehingga hal ini dapat diatasi
dengan memberi kelonggaran pada hakim untuk mengadakan pengalihan beban
pembuktian.
3. Teori Hukum Objektif
Menurut teori ini, mengajukan sebuah tuntutan hak atau mengajukan gugatan
memiliki arti bahwa penggugat meminta kepada hakim agar hakim memberlakukan
ketentuan-ketentuan hukum objektif kepada setiap peristiwa yang diajukan. Oleh
karenanya penggugatlah yang harus membuktikan kebenaran terkait dengan peristiwa
yang diajukannya dan kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada
peristiwa tersebut. Misalnya seorang penggugat harus mengemukakan adanya sebuah
persetujuan, harus mencarinya di dalam Undang-Undang dan syarat-syarat sahnya
persetujuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPer dan kemudian
memberikan pembuktiannya. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan adanya
cacat di dalam persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam 1320
KUHPer. Tentang adanya cacat dalam perseuaian kehendak ini harus dibuktikan oleh
pihak lawan. Hakim dalam teori ini hanya bertugas untuk menerapkan hukum objektif
pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak dan hanya dapat mengabulkan gugatan
jika memang unsur yang ditetapkan oleh hukum objektif telah terpenuhi. Sehingga atas
dasar isi hukum objektif yang diterapkan maka dapat ditentukan pembagian beban
pembuktiannya. Kekurangan teori ini adalah tidak akan dapat menjawab persoalan-
peros;an yang tidak diatur oleh Undang-Undang.
4. Teori Hukum Publik
Teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan
kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberikan kewenangan yang lebih besar
dalam mencari kebenaran. DI samping itu juga bahwa para pihak memiliki kewajiban
yang sifatnya publik. Maka untuk membuktikan seustau dibutuhkan segala macam alat
bukti, dan kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5. Teori Hukum Acara
Dalam teori ini hakim harus membagi beban pembukitan berdasarkan pada
kesamaa kedudukan para pihak. Teori ini membawa akibat bahwa kemungkinan untuk
menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu maka hakim harus membebankan
pada para piak pembuktian secara seimbang atau patut. Jika penggugat menggugat
tergugat mengenai perjanjian jual-beli, maka pengugatlah yang harus membuktikan
mnegenai adanya jual beli tersebut dan bukanlah tergugat yang melakukannya. Apabila
tergugat mengemukakan bahwa ia membeli sesuatu dari penggugat tetapi jual beli itu
batal karena kompensasi, maka tergugat juga harus membuktian bahwa ia memiliki
tagihan kepada penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak lagi perlu untuk membuktikan
bahwa ia memiliki hutang kepada tergugat. Karena sudah seharsnya yang dibuktikan
adalah hal-hal yang positif saja, dalam hal ini adalah peristiwa bukan tidak adanya
35

peristiwa.Demikian juga dengan siapa yang menguasai barang tidak lagi perlu
membuktikan bahwa ia memiliki hak atas barang tersebut. Teori pembuktian ini selalu
digunakan oleh para pihak baik penggugat maupun tergugat, bahkan hakim juga hakim
dalam memeriksa fakta hukum persidangan perdata di pengadilan negeri.

Alat bukti yang digunakan di dalam Hukum Acara Perdata.

1. Alat Bukti Tulisan atau Surat.


Surat merupakan alat pembuktian secara tertulis, alat bukti ini dapat dibedakan
menjadi dua yaitu akta dan surat bukan akta. Kemudian, untuk akta ini akan dibagi lagi
menjadi akta otentik, dan akta dibawah tangan. Sehingga dalam hukum pembuktian
dikenal dengan 3 (tiga) jenis surat, yaitu:
a. Akta otentik sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa akta disini dibedakan
menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
b. Akta di bawah tangan, untuk definisi akta dibawah tangan ini dapat ditemukan di dalam
Pasal 1847 Ayat (1) KUHPer.
c. Surat bukan akta pengaturan, untuk definisi mengenai surat yang bukan akta tidak
ditentukan dan diatur secara tegas dalam HIR.

2. Alat Bukti Sanksi


Alat bukti yang kedua merupakan bukti saksi yaitu orang yang memberikan
kesaksiannya di dalam persidangan pengadilan. Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di dalam persidangan untuk memberikan keterangan mengenai
peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan merupakan pihak sengketa perkara yang dipanggil dalam
persidangan.
3. Bukti Persangkaan
Mengenai bukti persangkaan di dalam HIR ini tidak dijelaskan, namun terkait
dengan persangkaan dapat ditemukan di dalam penjelasan Pasal 1915 KUHPer yang
berbunyi bajwa persangaan ialah kesimpulan yang oleh Undang-Undang atau oleh
hakim ditarik dari sebuah peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang tidak
dikenal. Berdasarkan pada Pasal 164 HIR dan 1866 KUHPer diatur dengan tegas bahwa
persangkaan merupakan alat pembuktian. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan
persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Walaupun telah dijelaskan di
dalam Undang-Undang bahwa persangkaan itu merupakan alat pembuktian. Para ahli
hukum tidak puas dengan ketentuan itu, maka dikemukakanlah berbagai macam alasan
untuk menggugurkan ketentuan ini. Karena persangakaan dianggap hanyalah sebatas
kesimpulan belaka, maka sebenarnya yang digunakan sebagai alat bukti sebenarnya
bukanlah persangkaan tersebut melainkan bukti-bukti yang lain, misalnya kesaksian atau
surat dan pengakuan satu pihak yang ini mampu membuktikan bahwa peristiwa memang
benar adanya.
4. Bukti Pengakuan
Bukti pengakuan sebagaimana yang dijelaskan dalam HIR ataupun juga
KUHPer tidak menerangkan dan mengatur seara jelas mengenai apa itu bukti
pengakuan. Bukti pengakuan dalam HIR diatur di dalam Pasal 174 HIR, Pasal 175 HIR
dan Pasal 176 HIR sedangkan di dalam KUHPer telah diatur di dalam Pasal 1923
KUHPer sampai dengan Pasal 1928 KUHPer. Pengakuan dinyatakan sebagai
keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam dalam suatu perkara, dimana ia
mengakui apa yang telah dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan.
Apabila berpedoman pada ketentuan Undang-Undang maka mengenai
pengakuan pada ketentuan Undang-Undang maka mengenai pengakuan maka jelas
36

merupakan salah satu alat pembuktian, hal ini dapat terbukti dengan melihat Pasal 164
HIR dan Pasal 1866 KUHPer. Walaupun Undang-Undang menganggap bahwa
pengakuan itu meruoakan salah satu alat pembuktian, namun masih banyak ahli hukum
yang berpendapat sebalinya.
5. Bukti Sumpah
Terkait dengan bukti sumpah HIR dan juga KUHPer tidak memberikan definisi
yang jelas dan lengkap. Undang-Undang hanya mengatur mengenai sumpah yang diatur
di dalam Pasal 155 HIR sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 177 HIR dan Pasal 1929
KUHPer sampai dengan Pasal 1945 KUHPer. Walaupun Undang-Undang tidak
menjelaskan arti sumpah, namun para ahli hukum memberikan pengertian mengenai
bukti sumpah. Sumpah merupakan hal untuk menguatkan keterangan dan berseru atau
bersumpah kepada Tuhan. Sumpah umumnya adalah sebuah pernyataan yang khitmat
yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji atau keterangan dengan
menginggat atau sifat maha kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberikan keterangan atau janji tidak benar akan dihukum oleh Tuhan.

Maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan pembuktian di dalam Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata adalah pembuktian pidana menggunakan sistem pembuktian negatif yang
merupakan teori gabungan antara sistem pembuktian Undang-Undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan. Sedangkan untuk karakteristik di dalam pembuktian
perdata adalah pihak yang mendalilkan harus membuktikan dalil tersebut.
BAB III
MACAM-MACAM ALAT BUKTI

36
37

A. Sistem Pembuktian dalam Acara Pidana di Indonesia

Ketika berbicara tentang sistem pembuktian hakim dalan acara pidana, secara tidak
langsung kita juga membicarakan bagaimana proses atau mekanisme dari penegakan hukum.
Penegakan hukum sendiri pada dasarnya sebagai upaya untuk menegakkan ketentuan hukum
yang berlaku serta untuk menegakkan keadilan bagi orang-orang yang merasa haknya dirugikan.
Oleh karena itu, dalam melakukan penegakan hukum tidak terlepas dari adanya sistem
pembuktian yang dilakukan oleh hakim dalam persidangan. Adanya mekanisme pembuktian ini
bertujuan untuk mencari sekaligus mendapatkan setidaknya kebenaran materiil dan agar suatu
perkara yang nantinya akan diputus oleh hakim dapat dijatuhkan dengan putusan yang seadil-
adilnya selain memberi memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
Menurut Van Bemmelen mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian atau dalam
bahasa Belanda bewijzen sebagai berikut :

“Pembuktian adalah suatu usaha yang dilakukan oleh hakim dengan cara memeriksa ketikda di
dalam persidangan untuk memperoleh kepastian yang layak berupa:
1. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah terjadi;
2. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.

Dari penjelasan diatas pembuktian terdiri dari:


1. Panca indera, yakni berupa memberikan petunjuk atau peristiwa yang dapat
menerimanya;
2. Peristiwa-peristiwa yang diterima berdasarkan keterangan-keterangan yang telah
diberikan;
3. Pemikiran yang logis.”

Dengan demikian, pengertian pembuktian menurut Van Bemmelen dalam melakukan


pembuktian harus mengutamakan dapat menunjuk hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca
indera serta berpikir secara logika. Adanya pembuktian ini sejatinya dilakukan demi kepentingan
hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam hal ini, yang harus dibuktikan adalah kejadian
yang konkrit, bukan sesuatu yang abstrak. Sehingga dengan adanya mekanisme pembutkian ini,
meskipun hakim tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian yang sesungguhnya,
dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga dapat
memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
Sistem pembuktian berdasarkan undang-undnag secara negative merupakan system
pembuktian beracara pidana yang dianut di negara Indonesia. Untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat
dua komponen, yaitu pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alatalat bukti yang
sah menurut undang-undang, dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dimana pembuktian Undang-Undang
secara negatif didasarkan pada undang-undang Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Dalam pasal ini dapat dikatakan bahwa unsur untuk dapat memidana seorang terdakwa itu
adalah minimum ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Akan tetapi, di dalam praktik
persidangan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat sehingga hanya membutuhkan cukup 1
(satu) alat bukti yang sah. Dalam sistem pembuktian undang-undang yang negative
mengandung arti bahwa pembuktian yang dilakukan oleh seorang hakim harus dilakukan dengan
38

penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan
oleh Undang-Undang (minimal dua alat bukti yang sah) dan kalau ini dirasa sudah cukup, maka
baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Artinya
bahwa penentuan sikap dari dalam diri hakim sangat berpengaruh terhadap hasil pembuktian
yang dilakukan. Mengingat dalam melakukan pembuktian untuk menyatakan salah atau tidaknya
terdakwa selain ditentukan oleh dua alat bukti yang sah dan juga ditentukan oleh dari keyakinan
hakim sendiri. Dalam hukum pidana dijelaskan bahwa walaupun sudah cukup bukti yang
dihadirkan, tetapi jikalau hakim tidak yakin benar akan kesalahan terdakwa maka tidaklah akan
diputuskan bahwa terdakwa dipersalahkan. Ini dimaksudkan agar hakim tidak ditekan dengan
pembuktian palsu yang mungkin saja dibuat untuk menjatuhkan terdakwa. Di sini hakim pidana
dalam menjalankan pembuktian memegang peranan yang bebas. Oleh karenanya, dalam hal ini
seorang hakim dituntut untuk bersikap obyektif sehingga dapat menghasilkan keputusan yang
adil bagi para pihak.
Kemudian perlu ditambahkan, bahwa dalam sistem pembuktian menurut Undang-
Undang negatif ini atau negatief wettelijk mempunyai maksud bahwa walaupun dalam suatu
perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan Undang-undang, maka hakim belum boleh
menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Hakim
baru boleh menyatakan seseorang bersalah jika telah dapat dipenuhinya syarat-syarat bukti
menurut Undang-Undang, ditambah dengan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa.
Dengan demikian walaupun sudah mendapati dua alat bukti yang sah, tetapi apabila hakim tidak
yakin ataupun hakim telah yakin tetapi jika alat bukti yang sah belum terpenuhi, maka hakim
belum bisa menjatuhkan pidana atas diri terdakwa. Dalam proses pembuktian mau tidak mau kita
tidak bisa melepaskan diri dari adanya alat-alat bukti yang sah, karena dengan alat-alat bukti
tersebut baru dapat ditentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Yang mana tidak
sembarang alat bukti bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah melainkan sudah diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjatuhan pidana oleh hakim kepada terdakwa
secara umum berorientasi pada alat bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang dapat
berhubungan dengan suatu perbuatan yang dilakukannya. Seperti yang dijelaskan tadi
bahwasannya tidak semuanya barang bukti dapat dijadikan sebagai alat bukti, akan tetapi alat
bukti biasanya dihasilkan dari adanya barang bukti. Sehingga hukum acara pidana memberikan
batasan-batasan terkait dengan macam-macam alat bukti yang sah.
Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP ialah :
1) Keterangan saksi;
2) Keterangan ahli;
3) Surat;
4) Petunjuk;
5) Keterangan terdakwa.

Kelima macam alat bukti inilah yang nantinya oleh hakim dijadikan sebagai dasar untuk dapat
menjatuhkan suatu vonis atau putusan dalam persidangan. Sebetulnya ada alasan-alasan dalam
menentukan urutan kelima alat bukti diatas. Maksud penyebutan dan penempatan urutan alat
bukti dengan urutan pertama yakni keterangan saksi adalah menunjukkan bahwa pembuktian
dalam hukum acara pidana yang diutamakan adalah keterangan saksi. Karena dalam proses
pembuktian pemeriksaan dimuka persidangan, hakim pasti akan menggali keterangan untuk
menilai kekuatan pembuktian serta untuk memperoleh keyakinan yang digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam menjatuhkan pidana. Akan tetapi dalam proses pemeriksaan acara pidana
akan tetap menggunakan alat bukti yang lainnya sebagai pendukung.
Perlu diketahui bahwa masing banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa istilah
alat bukti sama dengan barang bukti. Padahal kedua istilah tersebut sangatlah berbeda. Yang
dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan
39

pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana
yang telah dilakukan oleh terdakwa. Kegunaan tentang alat-alat bukti ialah sebagai alat-alat
untuk memberi kepastian kepada Hakim tentang benar telah terjadinya peristiwa-peristiwa, atau
kejadian-kejadian atau adanya keadaan-keadaan yang penting bagi pengadilan perkara yang
bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan barang bukti adalah barang yang ditemukan
ditempat (objek) kejadian tindak pidana. Ada ciri-ciri suartu benda untuk dapat dikatakan sebagai
objek, yakni:
a. Benda atau barang itu merupakan objek materiil dari tindak pidana yang disangkakan
b. Berbicara untuk diri sendiri
c. Sarana atau mekanisme pembuktian yang lebih mempunyai nilai di dalamnya jika
dibandingkan dengan alat atau sarana pembuktian lainnya
d. Harus diidentifikasi terlebih dahulu dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa

Pada dasarnya barang bukti tidak mutlak harus ada, karena tidak semua perkara pidana
harus perlu memerlukan barang bukti. Artinya bahwa kehadiran barang bukti ini tergantung dari
hakim apakah di dalam pembuktian persidangan harus memerlukan atau menghadirkan barang
bukti atau tidak. Oleh karenanya, tujuan adanya barang bukti ini adalah untuk memberikan
kekuatan dari kedudukan alat-alat bukti yang disampaikan, sehingga dengan ini akan
memberikan keyakinan pada hakim bahwa apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum itu
adalah tidak benar. Dan biasanya barang bukti kebanyakan akan ditemukan pada saat proses
penyelidikan dan penggeledahan, meski tidak menutup kemungkinan dapat ditemukan pada
proses-proses lainnya. Jika seseorang telah dilakukan penggeledahan dan ditemukan barang-
barang yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan, maka aparat berhak untuk
menyita barang tersebut. Tentunya tidak semua barang bisa dijadikan sebagai barang bukti,
tetapi ada peraturan yang sudah mengatur tentang apa saja barang yang boleh disita. Berikut
perbedaan barang apa saja yang boleh disita berdasarkan KUHAP dan HIR :

No. KUHAP HIR

Benda dari tersangka ataupun terdakwa


Benda-benda atau barang yang menjadi
1 baik seluruh atau sebagian yang diduga
sasaran tindak pidana
diperoleh dari hasil tindak pidana

Benda yang telah digunakan dalam


melakukan tindak pidana secara Benda-benda atau barang yang terjadi
2
langsung ataupun digunakan dalam sebagai akibat dari adanya tindak pidana
rangka mempersiapkannya

Benda yang telah digunakan dengan Benda-benda atau barang yang


3 tujuan menghalang-halangi penyelidikan dipergunakan untuk melakukan tindak
tindak pidana pidana

Benda-benda khusus yang


4 dipergunakan dalam melakukan tindak
Benda-benda atau barang yang pada
pidana
umumnya dapat dipergunakan untuk
memberatkan atau meringankan kesalahan
Benda-benda lainnya yang memiliki
terdakwa
5 keterkaitan dengan tindak pidana yang
terjadi
40

Berikut macam-macam alat-alat bukti yang sah dalam acara pidana yang terdapat dalam
KUHAP:
1) Keterangan saksi
Dalam hukum acara pidana, alat bukti yang berasal dari keterangan saksi merupakan
alat bukti yang sangat penting dan dibutuhkan kehadiranya. Definisi saksi ialah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pengadilan tentang suatu perkara pidana. Keterangan saksi sangat penting bagi orang
yang ingin membuktikan kebenarannya. Pengertian dari keterangan saksi dicantumkan
di dalam pasal 1 angka 27 KUHAP, yang menyatakan bahwa:
“Keterangan saksi adalah alat bukti dalam acara pidana yang sah yang dihasilkan
dari keterangan seseorang yang ia alami, ia dengar, dan ia lihat sendiri peristiwa
pidana tersebut”.
Dengan demikian pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikirannya saja,
bukan merupakan keterangan saksi. Dari pengertian tersebut memberikan arti
bahwasannya untuk dapat dikatakan sebagai alat bukti yang berasal dari keterangan
saksi, orang tersebut harus benar-benar mengalami sendiri kejadian atau peristiwa
tindak pidana yang berlangsung saat itu, kemudian orang tersebut melihat kejadian
tindak pidana tersebut secara langsung, dan orang tersebut mendengar tindak pidana
tersebut. Artinya bahwa untuk menjadi pemberi keterangan saksi dalam persidangan di
pengadilan tidak boleh sembarangan orang. Akan tetapi harus benar-benar ia dengar, ia
lihat, dan ia rasakan sendiri dengan kata lain orang tersebut terlibat di dalam kejadian
atau peristiwa tersebut. Dengan kata lain apa yang diberikan oleh saksi tersebut tidak
boleh merupakan keterangan yang berasal atau diperoleh dari pihak lain (pihak ketiga).
Keterangan saksi tidak boleh merupakan pendapat pendapat atau analisis diri pribadi
dari saksi tersebut. Dalam konteks acara pidana keterangan yang sedemikian ini sering
disebut dengan Testimonium de auditu. Yang dimaksud dengan Testimonium de
auditu yaitu keterangan yang diberikan oleh saksi yang berasal dari pihak ketiga,
dimana keterangan ini tidak dapat berfungsi atau digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Terkait keterangan saksi pendefinisian yang terkandung di dalam pasal 1 angka 27
KUHAP ialah salah satu alat bukti di dalam perkara pidana yang berupa ketrangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat serta di alami
sendiri dengan memiliki alasan oleh pengetahuannya.
Dilihat dari segin nilai pada kekuatan atas pembuktian atau the degree of evidence agar
suatu keterangan saksi dapat dianggap sah atas bukti yang mempunyai nilai kekuatan
pembuktian, harus memiliki kepenuhan aturan ketentuan sebagai berikut :
 Mengucpakn sumpah atau berjanji
Di dalam pasal 160 ayat 3, sebelum saksi memberikan keterangan wajib
mengucapkan sumpah ataupun janji, adapun sumpah menurut cara agaanya
yang masing – masing serta lafal dalam sumpah ataupun janji yang berisi bahwa
saksi memberikan keterangan yang sebenar – benarnya tiada lain yang
sebenarnya.
 Keterangan saksi di sidang pengadilan
Untuh men sah kan suatu alat bukti, maka harus sesuai dengan pasal 185 ayat 1
keterangan saksi yang berisi penjelasan mengenai apa yang didengar, dilihat
serta dialami atas peristiwa pidana, baru dapat bernilai alat bukti apabila
keterangan saksi dinyatakan di sidang pengadilan.
 Keterangan saksi tidak cukup
Pada pasal 185 ayat 2 KUHAP yaitu dapat membuktikan atas kesalahan
terdakwa yang paling sedikit di dukung oleh dua orang saksi atau saksi yang ada
hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus cukup ditambah dengan
salah satu alat bukti yang lain.
41

Pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti, dapat dilihat dalam pasal 185
ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa “keterangan saksi sebagai alat bukti adalah
apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Yang perlu diketahui bahwasannya, agar
keterangan saksi dapat berfungsi atau dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP, maka keterangan saksi tersebut harus
memenuhi syarat-syarat tertentu di dalamnya, yaitu:
a. Syarat formil
Dalam syarat formil menyatakan untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak
terhadap apa yang didakwakan maka keterangan seorang saksi tidak cukup untuk
membuktikannya. (Pasal 185 ayat (2) KUHAP).
b. Syarat materil
Dalam syarat materil menyatakan bahwa menurut pasal 1 angka 27 jo. Pasal 185
ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut
dinyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa tindak pidana, yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu. Oleh karena itu, keterangan saksi yang tidak di dasarkan pada
apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, maka tidak dapat
dijadikan sebagai alat pembuktian yang sah oleh hakim. Dengan demikian suatu
kesaksian yang ia dengar dari orang lain (Testimonium de auditu) tidak diakui oleh
undang-undang sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.
Di dalam pasal 185 ayat (4) KUHAP menjelaskan bahwa keterangan beberapa saksi
yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu. Jika dikaitkan dengan Testimonium de auditu, pasal
tersebut bahwasannya memberikan kesempatan bagi orang yang kebetulan juga
mempunyai alat bukti keterangan saksi namun yang bersifat Testimonium de auditu,
hal ini guna untuk mendukung atau memperkuat alat-alat bukti yang ada dalam
melakukan pembuktian. Jadi dalam kondisi atau kasus tertentu, Testimonium de auditu
bisa saja digunakan untuk memberikan penguatan dengan kata lain sebagai pendukung
kepada alat-alat bukti yang sudah ada. Oleh karena itu, dalam hal ini seorang hakim
harus benar-benar bisa memperhatikan dan mengkorelasikan antara keterangan-
keterangan saksi dengan alat-alat bukti yang ada di dalam proses pembuktian.
Hal ini didasarkan pada pasal 185 ayat (6) KUHAP yang menyatakan bahwa
dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhatikan:
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang
tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Di dalam dilakukan pemanggilan secara patut, seorang saksi harus wajib hadir dalam
memberikan kesaksiannya atau keterangannya. Baik pemanggilan yang dilakukan oleh
penyidik pada tingkat penyidikan serta dilakukan oleh hakim di muka sidang pengadilan.
Oleh karenanya ada perbedaan sedikit tentang keterangan saksi dalam tingkat
penyidikan dengan pengadilan, sebagai berikut:
Keterangan Saksi

No Tingkat Penyidikan Tingkat Pengadilan


42

Tidak disumpah, atau mengkecuali


1. Disumpah atau mengucapkan janji
tidak bisa hadir
Bukan merupakan alat bukti yang
2. Merupakan alat bukti yang sah
sah

Berdasarkan penjelasan diatas, menjelaskan bahwa seorang saksi dalam memberikan


keterangan pada dasarnya harus dilakukan pengucapan sumpah baik di tingkat
penyidikan ataupun di tingkat pengadilan, kecuali memang ada hal-hal yang
mengharuskan seorang saksi untuk tidak melakukan hal tersebut. Akan tetapi bisa jadi
dalam kondisi tertentu, seorang saksi tidak disumpah baik dalam tingkat penyidikan
ataupun pengadilan. Kendati demikian, undang-undang juga memberikan pengecualian,
dalam arti ada beberapa orang yang memang dalam memberikan kesaksiannya ia tidak
disumpah. Orang yang boleh untuk tidak disumpah dalam memberikan keterangan
terdapat dalam pasal 171 KUHAP:
a. Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah menikah;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya kadang-kadang baik
kembali.
Selain itu, dalam KUHAP juga menentukan adanya orang-orang tertentu yang tidak
dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi
(sebagaimana dalam pasal 168 KUHAP). Orang yang dimaksud dalam pasal 168
KUHAP tersebut adalah :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari
anak-anak saudara terdakwa sampai derajad ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.

2) Keterangan ahli
Selain keterangan saksi, alat bukti yang diakui dalam aturan perundang-undangan dalam
konteks perkara pidana adalah keterangan dari ahli. Yang dimaksud dengan keterangan
ahli dalam pasal 1 angka 28 KUHAP adalah salah satu alat bukti yang sah dan diakui
berupa keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus terhadap
suatu bidang untuk membuat terang perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Perlu diketahui bahwa manusia adalah makhluk tuhan yang jauh dari kata sempurna.
Demikian juga para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, tentu saja
bisa dipastikan masih jauh dari kata sempurna. Dalam suatu proses pemeriksaan
perkara pidana khususnya untuk masalah-masalah tertentu, baik di tingkat penyidikan,
penuntutan, maupun persidangan pengadilan, bukan tidak mungkin para aparat penegak
hukum akan mengalami kesulitan. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan-
keterbatasan yang dimiliki oleh para penegak hukum tersebut. Misalnya apabila dalam
suatu pemeriksaan perkara pidana para aparat penegak hukum dihadapkan pada hal-hal
yang menyangkut atau berkaitan dengan masalah medis/kedokteran. Dalam hal terjadi
keadaan seperti ini, dan mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki maka mau tidak mau dibutuhkan apa yang dinamakan dengan “keterangan ahli”.
Keterangan ahli pada umumnya memang diberikan di persidangan pengadilan.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa keterangan ahli ini juga bisa diberikan di
tingkat penyidikan atau penuntutan yang biasanya dituangkan dalam bentuk laporan
yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan. Sumber dari keterangan ahli tersebut bisa
diperoleh dari beberapa sumber, antara lain yaitu bisa diperoleh dari ahli kedokteran
43

kehakiman (forensik), dari laboratorium forensik, ataupun dari para ahli lain sesuai
dengan bidang keahliannya. Apabila penyidik memeriksa suatu perkara yang berkaitan
dengan masalah luka luka, atau keracunan, atau matinya si korban, maka mengingat
keterbatasan penyidik, ia dapat meminta bantuan keterangan ahli pada ahli kedokteran
kehakiman (kedokteran forensik), dan berdasarkan hasil pemeriksaannya ahli
kedokteran kehakiman disini akan mengeluarkan surat yang dinamakan visum et
repertum. Yang dimaksud dengan visum et repertum adalah suatu surat laporan yang
berisikan kesimpulan dari hasil pemeriksaan yang dibuat oleh ahli kedokteran kehakiman
(kedokteran forensik) untuk kepentingan peradilan dan dibuat atas kekuatan sumpah
jabatan. Visum et repertum memang dibuat oleh ahli kedokteran kehakiman, dan yang
dibuat oleh ahli kedokteran kehakiman ini menurut undang-undang bisa berlaku sebagai
alat bukti yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pasal 184 KUHAP.
Namun apabila surat tersebut dibuat bukan oleh ahli kedokteran kehakiman dan hanya
dibuat oleh dokter umum biasa, maka surat tersebut tidak dapat dikatakan atau berfungsi
sebagai alat bukti yang sah. Surat yang demikian ini, hanya berlaku sebagai surat
keterangan dokter saja.
Selanjutnya apabila penyidik menghadapi atau menangani suatu perkara terkait
dengan masalah-masalah seperti: masalah uang palsu, surat palsu, senjata palsu,
masalah bom, dsb diluar medis, maka penyidik disini dapat meminta bantuan keterangan
ahli pada laboratorium forensik. Demikian juga apabila penyidik menghadapi perkara-
perkara yang terkait dengan masalah pertanahan, perbankan, dan semisalnya maka
disini penyidik dapat meminta keterangan ahli sesuai dengan bidangnya atau
keahliannya masing-masing.
Dalam praktik hukum meskipun penyidik telah memperoleh visum et repertum dari
ahli kedokteran kehakiman atau surat keterangan dari dokter, namun guna kepentingan
penyidikan apabila penyidik masih memerlukan penjelasan atau keterangan yang lebih
luas dan mendalam, maka penyidik disini masih dapat memanggil orang ahli tersebut
untuk dimintai keterangannya dan kemudian dituangkan di dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Saksi ahli tersebut sebelum memberikan keterangannya harus
mengangkat sumpah dihadapan penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya sesuai dengan bidang keahliannya (hal ini
berdasarkan pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP). Dalam pelaksanaannya, seorang ahli
dalam hal ini dapat bertindak sebagai:
a. Seorang ahli yang ditanya pendapatnya mengenai sesuatu hal. Ahli dalam hal ini
hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan
kepadanya tanpa melakukan suatu pemeriksaan.
Contoh: dokter spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan yang diminta
pendapatnya tentang obat “x” yang misal obat tersebut dapat menimbulkan efek
buruk bagi tubuh.
b. Seorang ahli yang ditanya pengetahuannya mengenai suatu perkara. Ahli dalam hal
ini menyaksikan barang bukti atau “saksi diam”, melakukan pemeriksaan dan
mengemukakan pendapatnya.
Contoh: seorang dokter yang melakukan pemeriksaan mayat. Jadi, artinya dia
menjadi saksi, karena menyaksikan barang bukti itu dan kemudian menjadi ahli,
karena mengemukakan pendapatnya tentang sebab kematian korban.
Yang perlu diketahui bahwa di dalam hukum acara pidana yang lama (HIR)
keterangan ahli hanya berlaku sebagai penerangan saja atau dengan kata lain hanya
untuk menguatkan keyakinan hakim yang masih bimbang. Jadi, dalam hal ini hakim
mempunyai kebebasan memilih bahwa keterangan tersebut akan dipergunakan atau
tidak. Namun sekarang ini, secara tegas dinyatakan bahwa keterangan ahli ini sebagai
alat bukti yang sah menurut peraturan perundang-undangan pasal 184 KUHAP. Dalam
hubungannya dengan pasal 180 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa dalam hal
44

diperlukan untuk menjernihkan duduk perkara yang timbul di sidang pengadilan, hakim
ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula diajukan bahan-bahan baru
oleh yang berkepentingan. Misalnya hakim menganggap perlu untuk menentukan
keaslian sebuah intan yang menjadi pokok perkaranya, maka hakim dapat meminta
keterangan dari seorang yang ahli intan. Namun jika terdakwa atau penasihat hukumnya
berkeberatan terhadap keterangan ahli tersebut, maka hakim memerintahkan agar hal
tersebut dilakukan penelitian ulang (Pasal 180 ayat (2) KUHAP). Selanjutnya dalam
pasal 180 ayat (4) KUHAP menentukan bahwa penelitian ulang tersebut dilakukan oleh
instansi semula dengan komposisi yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai
wewenang untuk itu.
Keterangan ahli diatur di dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu keterangan yang
diberikan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang masalah yang diperlukan
penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang sedang diperiksa, maksud keterangan
khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi terang demi untuk
penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian
khusus tentang suatu keadaan yang ada hubunganya dengan perkara pidana yang
bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang.
Berdasarkan pengertiannya sebagai alat bukti yang sah, pada dasarnya keterangan
saksi dengan keterangan ahli memiliki kesamaan hampir tidak ada perbedannya. Hal ini
dikarenakan kedua keterangan tersebut sama-sama dimaksud untuk membuat terang
suatu perkara pidana yang sedang diperiksa, yang diharapkan dapat menimbulkan
keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa
terdakwa itulah yang bersalah melakukan tindak pidana. Akan tetapi, secara materiil
memang sedikit ada perbedaan di dalamnya perbedaannya dapat dilihat pada gambar
tabel berikut:

No Keterangan saksi Keterangan ahli

Keterangan ahli yang diberikan hanya


Pada dasarnya keterangan saksi
dapat diberikan oleh orang yang
1 yang diberikan, dapat diberikan
mempunyai keahlian di bidang tertentu
oleh setiap orang tanpa tertentu
saja

Sumpah yang diberikan kepada


Sumpah untuk keterangan saksi
keterangan ahli berbunyi bahwa ia
berbunyi bahwa ia akan
akan memberikan keterangan yang
2 memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenar-
sebenarnya dan tidak lain dari
benarnya menurut pengetahuan dalam
yang sebenarnya
bidang keahliannya

Undang-undang memberikan
Sebaliknya undang-undang tidak
kesempatan kepada orang
memberikan kesempatan kepada
3 tertentu untuk memberikan
orang-orang yang dimintakan
keterangan sebagai saksi tanpa
keterangan sebagai seorang ahli.
disumpah.

3) Surat
45

Selain kedua alat bukti diatas, alat bukti berupa surat juga merupakan salah satu alat
bukti yang sah diakui dalam konteks acara pidana. Jika kita ingin melihat pengertian dari
surat dalam pasal 187 KUHAP dijelaskan bahwa surat sebagaimana pada pasal 184
ayat (1) huruf C, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan-keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.

Dalam pasal ini memberikan penjelasan bahwa mengenai ketentuan yang diatur di
dalam pasal ini pada dasarnya pembuat aturan hanya merasa perlu memberikan
penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam huruf b, dengan menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan surat yang dibuat oleh pejabat itu adalah termasuk juga surat
yang dikeluarkan oleh suatu majelis yang berwenang dalam hal itu. Hal ini dikarenakan
dalam undang-undang tidak terdapat penjelasan secara jelas mengenai alat bukti surat
itu seperti apa. Sehingga pembuat aturan hukum ini, sekiranya dapat memberikan
kemudahan bagi para penegak hukum agar tidak terjadi berbagai penafsiran yang
berbeda-beda di dalam praktik persidangan maupun di dalam ilmu pengetahuan.
Jadi berdasarkan penjelasan surat sebagai alat bukti yang sah dalam pasal ini, untuk
dapat dinilai bahwa sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah:
1. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;
2. Surat yang dikuatkan dengan sumpah

Demikian juga telah dirinci bentuk-bentuk surat yang dianggap mempunyai nilai sebagai
alat bukti yaitu berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, dengan ketentuan bahwa isi
berita acara dan surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang itu harus
berisi dan memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat dan
yang dialami pejabat itu sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu.
Jadi, pada dasarnya surat yang termasuk alat bukti surat yang disebut di sini
ialah surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya,
namun agar surat resmi tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana,
surat resmi tersebut harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat, dan dialami sendiri oleh si pejabat, serta menjelaskan dengan tegas
alasan keterangan itu dibuatnya. Misalnya, surat resmi itu menerangkan bahwa A dan B
telah datang menghadapnya pada suatu hari, dan menjelaskan kepadanya untuk
membuat keterangan tentang pengembalian barang yang dipinjamnya dari seseorang
dan penjabat itu melihatnya sendiri bahwa barang tersebut dikembalikan kepada orang
yang barangnya dipinjam itu. Surat itu sudah memenuhi syarat sebagai surat yang
syarat-syaratnya telah dipenuhi, asalkan dalam surat tersebut ada penegasan bahwa
surat itu dibuat atas sumpah jabatan. Surat yang berbentuk menurut ketentuan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
46

pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Jenis surat semacam ini hampir meliputi
semua surat yang dikelola oleh aparat administrasi dan kebijakan eksekutif, misalnya
kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi kendaraan bermotor, passport, akta
kelahiran, dan lain-lainnya, surat-surat tersebut dapat bernilai sebagai alat bukti surat.
Menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP surat yang dapat dinilai sebagai sebagai
alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah surat yang dibuat atas sumpah jabatan
atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Bagaimanapun sempurnanya nilai pembuktian alat bukti surat, kesempurnaan itu
tidak merubah sifatnya menjadi alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang mengikat. Nilai kekuatan yang melekat pada kesempurnaannya tetap bersifat
kekuataan pembuktian yang bebas. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan
kebenarannya dari asas kebenaran sejati maupun dari sudut batas minimum
pembuktian.
Dari segi penilaian pembuktian, di dalam ketentuan huruf d dari Pasal 187
KUHAP dengan tegas dinyatakan bentuk surat lain hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Jadi, bentuk surat lain yang
diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP hanya dapat berlaku jika isinya mempunyai
hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Dapat dimasukkan ke dalam pengertian
surat atau berita acara seperti yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a KUHAP misalnya
akta notaris atau berita acara pemeriksaan surat. Dapat dimasukkan ke dalam
pengertian surat seperti yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf b KUHAP misalnya
sertifikat tanah, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian yang dibuat oleh penyidik
atau putusan pengadilan yang dibuat oleh majelis hakim yang mengadili perkara seorang
terdakwa. Surat-surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf b KUHAP di
atas, oleh undang-undang telah disebutkan secara tersendiri, karena jika tidak demikian
maka surat-surat tersebut dapat disebut orang sebagai surat-surat lain seperti yang
dimaksud dalam Pasal 187 huruf a KUHAP. Karena di atas telah disebutkan antara lain,
bahwa putusan majelis hakim juga dapat dimasukkan ke dalam pengertian surat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf b KUHAP, timbul pertanyaan, yaitu
sampai berapa jauh suatu majelis hakim terikat untuk mempercayai putusan dari majelis
hakim yang lain, hingga putusannya dapat dipandang sebagai suatu alat bukti yang sah.
Dalam KUHAP sama sekali tidak mengatur ketentuan khusus tentang nilai kekuatan
pembuktian surat. Kemudian untuk dapat menilai kekuatan pembuktian hanya dapat
dijelaskan dalam lingkup teori saja dengan menghubungkan beberapa prinsip
pembuktian sebagai berikut:
1. Ditinjau dari Segi Formal
Jika dilihat dari segi formal, alat bukti berupa surat dapat dikatakan sempurna
apabila surat tersebut surat yang resmi sesuai dengan formalitas yang ditentukan
oleh perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam
pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang
berwenang dan pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat itu dibuat
atas sumpah jabatan, maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang
disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang bernilai
sempurna, dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut:
a). Sudah benar kecuali dapat dilumpuhkan oleh alat bukti yang lain (alat bukti
keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli atau alat bukti keterangan
terdakwa);
b) Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya;
c). Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat
berwenang di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat
dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain.
47

Dengan demikian, kalau ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di
dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan oleh alat bukti yang lain seperti alat bukti
keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli atau alat bukti keterangan terdakwa.
Pembuktian dari segi formal ini hanya berdasarkan dari cara pandang teoretis.
Belum tentu yang secara teori benar, benar pula secara praktik. Dalam KUHAP ada
beberapa asas dan ketentuan yang dapat mengenyampingkan apa yang secara
teoretis benar.

2. Ditinjau Secara Materiil


Jika dilihat dari segi materiil, nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat
mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas, seperti yang dipunyai oleh alat
pembuktian keterangan saksi, alat pembuktian keterangan ahli. Hakim bebas untuk
menilai kekuatan pembuktiannya, hakim dapat menggunakan atau
menyingkirkannya. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat,
didasarkan pada beberapa asas, antara lain:
a. Asas Mencari Kebenaran
Karena pemeriksaan perkara pidana adalah bermakna mencari kebenaran
materiil atau kebenaran sejati, bukan mencari kebenaran formal.
Berdasarkan asas ini maka hakim bebas menilai kebenaran yang
terkandung dalam alat bukti surat. Walaupun dari segi formal alat bukti surat
sudah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu
masih dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran
materiil atau kebenaran sejati.
b. Asas Keyakinan Hakim
Asas ini hanya dimiliki oleh seorang hakim. Dimana keyakinan hakim dalam
pemeriksaan pembuktian sangat menentukan meskipun disisi lain juga
didukung oleh alat-alat bukti yang ada yang sah. Asas ini sangat berkaitan
dengan isi dari Pasal 183 KUHAP di dalam melaksanakan pembuktian di
persidangan.

4) Petunjuk
Alat bukti petunjuk merupakan salah satu alat bukti dalam acara pidana yang sah dan
diakui sebagai alat bukti. Alat bukti petunjuk adalah suatu perbuatan ataupun berupa
kejadian ataupun keadaan, yang dikarenakan persesuaiannya antara satu dengan yang
lain dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana. Dalam pemeriksaan pembuktian persidangan, hakim dapat menggunakan
kebebasan kemandiriannya dalam melakukan penilaian terhadap kekuatan alat bukti
sebagai sebuah petunjuk apabila alat-alat bukti yang dihadirkan belum cukup untuk
membuktikan kebenarannya. Dalam pelaksanaannya seringkali mengalami kesulitan
untuk menerapkan alat bukti berupa petunjuk. Sebab putusan bisa saja menjadi
sewenang-wenang apabila hakim tidak memiliki kehati-hatian dalam memutus sebuah
perkara yang menggunakan alat bukti petunjuk.
Untuk menghindari hal demikian, maka dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang
berisi “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”,
mengatur agar hakim bersifat arif bijaksana dalam menilai alat bukti petunjuk, serta
harus melakukan pemeriksaan dengan cermat dan seksama berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk baru akan dihadirkan dalam persidangan apabila belum
mencukupi atau belum memberikan keyakinan kepada hakim terhadao suatu kebenaran.
Berdasarkan petunjuk-petunjuk tersebut maka akan menjadi bahan pertimbangan bagi
hakim untuk memutuskan perkara. Sedangkan menurut pendapat ahli pidana Wirjono
48

Projodikoro, alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang paling lemah. Penilaian atas
penilaian pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh
hakim dengan bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Pada hakikatnya, fundamental alat bukti
petunjuk identik dengan “pengamatan hakim” karena akhirnya penilaian atas kekuatan
pembuktian diserahkan pada kebijaksanaan hakim.
Berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHAP, unsur atau syarat alat bukti sebagai petunjuk
adalah:
a. Adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian
Yang dimaksud dengan perbuatan, kejadian atau keadaan adalah fakta-fakta yang
menunjukkan tentang telah terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang
melakukannya dan menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindak pidana
tersebut. Fakta-fakta inilah dan ditambah alat bukti lainnya lagi, dapat dipergunakan
oleh hakim dalam hal membentuk keyakinannya.
b. Ada dua persesuaian, yaitu:
1. Bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu
dengan yang lain.
Maksudnya adalah fakta-fakta tentang perbuatan, kejadian dan keadaan yang
diperoleh dari dua atau lebih alat bukti keterangan saksi, keterangan terdakwa,
dan atau surat, walaupun berbeda-beda, masing-masing ada hubungan yang
erat, atau dapat dihubungkan. Hubungannya itu bersifat saling melengkapi,
saling menunjang antara satu terhadap lainnya, sehingga dapat ditarik suatu
kesimpulan (petunjuk) bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa
bersalah melakukannya
2. Bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak
pidana yang didakwakan.
Setiap tindak pidana mengandung unsur-unsur. Kompleksitas unsur-unsur itulah
yang dinamakan tindak pidana. Oleh karena itu, persesuaian dengan tindak
pidana tersebut adalah bersesuaian dengan unsur-unsur yang ada, walaupun
mungkin isi dari suatu alat bukti yang bersesuaian dengan sebagian unsur saja.
Namun, dari persesuaian alat bukti ini dan isi dari alat bukti lainnya harus dapat
menunjukkan (dapat disimpulkan) secara akal telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pembuatnya. Dua persesuaian itu sifatnya kumulatif dan impertatif.
Artinya, tidak cukup satu persesuaian saja, namun harus kedua-dua
persesuaian.
c. Adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) atau
menunjukkan adanya 2 (dua) hal kejadian, seperti:
1. Menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana
2. Menunjukkan siapa pembuatnya.
d. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat bukti, yaitu keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa.
Dalam memberikan alat bukti berupa petunjuk, maka petunjuk dapat dihasilkan dari
ketiga alat bukti diatas. Tidak ada keterangan yang mengharuskan menggunakan
ketiga-tiganya, Meskipun Pasal 183 mengenai syarat minimal pembuktian itu
ditujukan dalam hal hakim membentuk keyakinannya untuk menjatuhkan pidana.
Namun, tidaklah salah apabila minimal dua alat bukti itu ditafsirkan berlaku pula
dalam hal membentuk alat bukti petunjuk, karena ketentuan Pasai 183 adalah
merupakan asasnya. Seperti juga pada salah satu syarat untuk sah dan bernilainya
keterangan saksi (Pasal 185 ayat 2), ialah harus didukung oleh alat bukti lainnya.
Berdasarkan pada Pasal 183 KUHAP tersebut, maka alat bukti petunjuk telah dapat
dibentuk oleh hakim melalui dua alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 188 ayat (2),
49

baik dalam jenis yang sama maupun dalam jenis yang berbeda. Yang penting alat bukti
petunjuk harus dibentuk melalui minimal dari 2 (dua) alat bukti yang telah dipergunakan
dalam sidang-sidang sebelumnya. Alat bukti petunjuk hanya bisa dibentuk oleh hakim se
telah memeriksa alat-alat bukti, bahkan semua alat bukti. Artinya, alat bukti petunjuk ini
hanya dibentuk hakim melalui pertimbangan hukum dalam putusan. Demikian maksud
dari alat bukti petunjuk. Hal ini tidak menutup kemungkinan alat bukti petunjuk juga
dipergunakan oleh jaksa penuntut umum. Jaksa membentuk alat bukti petunjuk adalah
dalam requisitoirnya dan penasihat hukum akan menyangkal bentukan alat bukti
petunjuk jaksa dalam pleidoinya. Akan tetapi, alat bukti petunjuk hasil bentukan jaksa
penuntut umum dan/atau bantahan penasihat hukum, tidaklah mengikat hakim.
Pembuktian alat bukti petunjuk bentukan jaksa penuntut umum, bagi hakim nilai
pembuktiannya adalah bebas.
Bernilai bebas nilainya bergantung kepada hakim, apakah mengandung nilai dan
akan dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk dalam pertimbangan hukumnya ataukah
diabaikan saja, sepenuhnya bergantung kepada hakim sendiri. Namun, sebagai jaksa
yang baik menjadi beban tugasnya untuk berusaha membentuk alat bukti petunjuk.
Demikian juga bagi penasihat hukum yang baik dan profesional, tentu menjadi kewajiban
profesinya untuk menyangkal atau mementahkan alat bukti petunjuk bentukan jaksa di
dalam pembelaannya, dengan menggunakan argumentasi dan alasan yuridis dan logis,
tidak merupakan alasan yang asal kena. Alasan yang asal - asalan tentu akan
merendahkan dan menjatuhkan kredibilitasnya sendiri sebagai seorang advokat.
Alat bukti petunjuk sabagaimana yang terdapat dalam Pasal 188 ayat (1)
KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuainnya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Penerapan
alat bukti petunjuk dalam persidangan juga terdapat dalam Pasal 188 ayat (3), yaitu
penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk berupa sifat dan kekuatannya dengan
alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian petunjuk oleh hakim tidak terikat atas
kebenaran persesuain  yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas
menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
Dalam penerapan pembuktian, alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tetap terikat pada prinsip batas minimal
pembuktian. Petunjuk nanti dapat dikatakan mempunyai nilai kekuatan pembuktian
cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. Dalam
konteks tindak pidana pembunuhan, alat bukti petunjuk sebagai alat bukti yang sah
diatur dalam pasal 188 KUHAP. Petunjuk-petunjuk itu sebenarnya bukan alat bukti oleh
sebab tidak memberikan bukti yang langsung melainkan bukti yang tidak langsung. Oleh
karena itu, dalam mengambil keputusan, walaupun alat bukti petunjuk hanyalah
merupakan alat bukti tidak langsung, namun dapat menguatkan Hakim dalam mengambil
keputusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan.
5) Keterangan terdakwa
Selanjutnya alat bukti terakhir yang digunakan dalam perkara acara peradilan pidana
adalah keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang
penempatannya menduduki urutan terakhir dari urutan alat bukti yang disebutkan dalam
Pasal 184 KUHAP. Penjelasan mengenai keterangan terdakwa terdapat dalam pasal
189 KUHAP, yakni:
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
50

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk


membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, di mana hak asasi
manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya manakala Hakim berdasarkan
keyakinannya dan adanya alat bukti yang tidak benar menyatakan bahwa terdakwa
terbukti melakukan tindakan yang didakwakan kepadanya. Hukum acara pidana selalu
mencari kebenaran materiil dan berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup
hanya mengetengahkan kebenaran formil.
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang sah dan kuat dalam
perkara pidana (pembuktian perkara pidana), namun masih selalu/harus diperlukan
pembuktian dengan alat bukti yang lain (keterangan saksi), sehingga mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang sah/kuat sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam
menjatuhkan pidana, hakim harus berdasarkan pada dua alat bukti yang sah yang
kemudian dari dua alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana
yang didakwakan benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan hal tersebut
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 183 tentang KUHAP. Dalam
KUHAP terdakwa diberi kesempatan untuk memberikan keterangan yang bertendensi
memberikan kesempatan seluas-luasnya dan sebebas -bebasnya untuk mengutarakan
segala sesuatu tentang apa saja yang dilakukannya, diketahui atau dialami dalam
peristiwa pidana yang sedang diperiksa.
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat
(1). Terkait dengan keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Pada prinsipnya keterangan
terdakwa adalah apa yang dinyatakan atau diberikan terdakwa di sidang pengadilan.
Adapun apa yang terdakwa terangkan dalam pemeriksaan pendahuluan dahulu itu
bukan merupakan suatu bukti yang sah, ia hanya dapat digunakan untuk membantu
menerangkan bukti di sidang pengadilan. Dan hanya dapat digunakan terhadap
terdakwa sendiri. Untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka keterangan terdakwa itu harus ditambah lagi
dengan satu alat bukti yang lain misalnya dengan keterangan saksi, satu keterangan ahli
atau satu surat maupun petunjuk. 
Dengan demikian, telah jelaslah pembuktian yang dimaksud dalam  KUHAP.
Bahwa untuk menentukan seorang bersalah atau tidak maka harus dilaksanakan  sesuai
amanah Pasal 183 KUHAP yaitu berdasarkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti
sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat (1) dan keyakinan hakim (red).
Berbeda dengan KUHAP, HIR menyebutkan alat bukti keterangan terdakwa
dengan istilah pengakuan tertuduh yang mengandung makna adanya suatu pernyataan
apa yang dilakukan seseorang, dalam hal ini tertuduh. Sementara keterangan terdakwa,
kurang menonjolkan adanya suatu pernyataan apa yang dilakukan oleh seseorang,
hanya sekedar keterangan saja atau suatu penjelasan bukan suatu pengakuan atau
pernyataan yang mengandung suatu pengakuan. Misalnya, A memberikan keterangan
bahwa ia mengambil bukunya B, di sini hanya sekedar memberikan penjelasan bahwa A
mengambil bukunya B. Selanjutnya, menurut HIR pengakuan terdakwa baru dapat
mencukupi sebagai pembuktian apabila dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam
Pasal 307 HIR yakni pengakuan terdakwa yang diberikan di sidang pengadilan sebagai
51

pelaku tindak pidana yang didakwakan kepadanya, disertai dengan keterangan dan
keadaan tertentu dan seksama berupa keterangan dari orang yang mengalami
perbuatan itu atau yang diketahui dari alat bukti yang lain.
Pada dasarnya sama saja pelaksanaan terkait keterangan terdakwa menurut
KUHAP dengan HIR. Perbedaannya terletak pada apa yang diatur dalam Pasal 189 ayat
(4) KUHAP memiliki rumusan yang lebih sederhana, tetapi lebih memenuhi tuntutan
kepastian hukum. Jadi, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain. Keterangan Terdakwa dapat diberikan di dalam dan diluar
sidang, dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang selama didukung
oleh suatu alat bukti yang sah lainnya. Adapun keterangan Terdakwa sebagai alat bukti,
tanpa disertai oleh alat bukti lainnya, tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
Terdakwa. Hal ini merupakan ketentuan beban minimum pembuktian sebagaimana
diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dua alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Selanjutnya, keterangan dari terdakwa yang dijadikan sebagai alat bukti tidak
perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya
didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian
dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan
seorang terdakwa. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti lebih luas pengertiannya dari
pengakuan terdakwa. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, seperti
keterangan terdakwa yang diberikan pada waktu penyelidikan dan penyidikan di
kepolisian dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asal
keterangan terdakwa di luar sidang tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Kekuatan alat bukti keterangan
terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini penting sekali
dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil,
agar terdakwa yang diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut
paut dengan dirinya, untuk menghindari adanya fitnah. Oleh karena itu keterangan
terdakwa berupa pengakuan tidak menghilangkan syarat minimum pembuktian. Jadi
walaupun seorang terdakwa mengaku, tetap harus dibuktikan dengan alat bukti lain,
karena yang dikejar adalah kebenaran materil.
52

B. Peran Penting Proses Pembuktian dalam Pemeriksaan Acara Pidana


Dalam pelaksanaan pemeriksaan acara pidana di pengadilan, peranan proses
pembuktian sangat dibutuhkan kehadirannya. Hal ini karena dalam proses pembuktian inilah
fakta-fakta mengenai kebenaran materil akan terungkap. Yang mana dengan inilah yang
dijadikan dasar oleh hakim dalam menghasilkan putusan hasil di persidangan. Namun
sebetulnya proses pembuktian ini tidak hanya dilakukan oleh hakim dalam persidangan di
pengadilan saja, akan tetapi juga dilakukan dalam tahap proses penyelidikan dan proses
penyidikan. Ketika dalam tahap penyelidikan pidana, proses pembuktian sebenarnya sudah
dilakukan dengan cara mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga terdapat tindak
pidana. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk
mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP maka untuk dapat
dilakukannya tindakan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan maka
bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya
pembuktian dan alat-alat bukti. Konkretnya, pembuktian berawal dari penyelidikan dan
berakhir sampai adanya penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim di depan sidang pengadilan,
baik di tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi jika perkara tersebut dilakukan
upaya hukum banding. Untuk dapat memberikan putusan hakim yang seadil-adilnya harus
dilakukan pembuktian yang lebih dominan dalam persidangan guna menemukan kebenaran
materiil serta memberikan keyakinan pada hakaim. Pada proses pembuktian ini maka adanya
korelasi dan interaksi mengenai yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran
materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti, dan proses pembuktian terhadap aspek-
aspek, sebagai berikut :

1. Perbuatan apa saja yang memang terbukti kebenarannya;


2. Apakah bukti yang dihasilkan benar-benar dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah
atas perbuatan- perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.
4. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Hakikat dan dimensi mengenai pembuktian ini selain berorientasi pada pengadilan juga
dapat berguna dan penting, baik bagi kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga
penegak hukum. Peranan pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan
mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:

1. Terdapat kelakuan dan hal ihwal yang terjadi untuk memenuhi kualifikasi perbuatan
pidana atau tidak.
2. Apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau
bukan alam.
3. Ditentukan yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim,
dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.

Peranan pembuktian sebagaimana yang diuraikan dalam konteks di atas maka kegiatan
pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim
dalam menangani perkara tersebut dengan dibantu oleh seorang panitera pengganti,
kemudian adanya jaksa penuntut umum yang melakukan penuntutan dan adanya terdakwa
beserta penasihat hukumnya. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dalam
melakukan pembuktian, hanya saja segmen dan derajat pembuktian yang dilakukan sedikit
ada perbedaan. Pada majelis hakim melalui kegiatan memeriksa perkara melakukan
kegiatan pembuktian dengan memeriksa fakta dan sekaligus menilai fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan dan akhirnya menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan
53

terdakwa tersebut dalam vonisnya. Baik penuntut umum maupun terdakwa atau penasihat
hukum melakukan kegiatan pembuktian juga. Hanya saja perspektif penuntut umum
membuktikan keterlibatan dan kesalahan terdakwa dalam melakukan suatu tindak pidana,
tetapi dan perspektif terdakwa atau penasihat hukum berbanding terbalik dengan yang
dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
Pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana, yakni ketentuan yang membatasi
sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Apa yang
mengikat penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim adalah orientasi mereka secara
bersama terhadap hukum, apa yang memisahkan mereka adalah penuntut umum bertindak
demi kepentingan umum, penasihat hukum demi kepentingan subjektif dan terdakwa, dan
hakim dalam konflik ini harus sampai pada pengambilan keputusan secara konkrit.
Pembuktian pada sidang pengadilan merupakan aspek esensial dan fundamental
pembuktian dilakukan, baik dilakukan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa dan atau
bersama penasihat hukumnya, maupun oleh majelis hakim. Walaupun tahap awal
pembuktian ini bersama-sama dilakukan, proses akhir pembuktian berakhimya tidaklah
sama. Proses awal pembuktian di depan sidang pengadilan dimulai dengan pemeriksaan
saksi korban (Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP). Akan tetapi, bagi jaksa penuntut umum
proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukan tuntutan pidana (requisitoir) yang dapat
dilanjutkan dengan replik atau rereplik.
Bagi terdakwa dan atau penasihat hukumnya akan berakhir dengan dibacakan
pembelaan (pleidoi) yang dapat dilanjutkan dengan acara duplik atau re-duplik. Sedangkan
bagi majelis hakim berakhimya proses pembuktian ini dengan pembacaan putusan (vonis),
baik di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi jika perkara tersebut dilakukan upaya
hukum banding. Dalam pelaksanaan proses pembuktian, ada 2 proses yang akan ditempuh
di dalamnya, yaitu:
1. Proses untuk mengungkapkan fakta.
Dalam proses pembuktian yang pertama adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti
yang diajukan di muka sidang pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum dan
Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian bagian
pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan secara
lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai. Dimaksudkan selesai
menurut pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan atau
mendapatkan fakta-fakta dan alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam
sidang (termasuk pemeriksaan setempat).
2. Proses untuk pengerjaan analisa akta yang sekaligus untuk penganalisisan hukum.
Bagian proses pembuktian kedua ialah bagian pembuktian yang berupa
penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan
hukum masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian
dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi
penasehat hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pleidoi), dan
majelis hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.
Adanya peran pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, sangat
dibutuhkan bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan yaitu
sebagai berikut :

1. Bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU)


Pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat
bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau
catatan dakwaan.
2. Bagi Terdakwa atau Penasihat Hukum
54

Pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan


alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari
tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum
jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan
pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
3. Bagi Hakim
Atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam
persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/terdakwa
dibuat dasar untuk membuat keputusan atau vonis.
55

Anda mungkin juga menyukai