Anda di halaman 1dari 13

Sistem Pembuktian Hukum Pidana

Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menurut Eddy O.S.
Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian (hal. 17), sistem pembuktian hukum
pidana di Indonesia menganut prinsip negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar pembuktian
hukum pidana dilakukan menurut keyakinan Hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam
undang-undang secara negatif. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang memberikan batasan untuk Hakim dalam menjatuhkan
hukuman pemidanaan terhadap seseorang harus berdasarkan keyakinan Hakim dan minimal dua
alat bukti (bewijs minimmum), selengkapnya Pasal 183 KUHAP berisi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Berkaitan dengan pemenuhan minimal dua alat bukti, hukum positif tidak memberikan
kewajiban salah satu alat bukti yang digunakan harus merupakan keterangan saksi. Sepanjang
Hakim telah mendapatkan keyakinan bahwa benar terjadi suatu tindak pidana dan terdakwa yang
bersalah disertai dengan minimal dua alat bukti, sebagaimana terdapat empat alat bukti selain
keterangan saksi berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:

Alat bukti yang sah ialah:

keterangan Saksi;

keterangan Ahli;

surat;

petunjuk;

keterangan Terdakwa.

Kendati Pasal 185 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 185 ayat (3) KUHAP menyatakan:
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat
bukti yang sah lainnya;

Dapat dipahami bahwa keterangan satu orang saksi jika disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan, ketentuan tersebut tidak dapat diartikan setidak-tidaknya harus ada satu orang saksi
untuk memenuhi minimal dua alat bukti dalam Pasal 183 KUHAP. Karena Pasal 185 di atas
merupakan penegasan minimal dua alat bukti, yang mana juga terdapat dalam ketentuan
mengenai Keterangan terdakwa dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan:

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Oleh karena itu sejalan dengan pendapat sebelumnya, Hakim dapat menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa tanpa alat bukti keterangan Saksi, tetapi harus memenuhi minimal dua alat bukti
lainnya dan dengan keyakinan Hakim.

Alat Bukti Keterangan Saksi dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa

Namun dalam praktik pemeriksaan perkara pidana dengan acara biasa, menurut M. Yahya
Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 286), pada umumnya
keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama, boleh dikatakan tidak ada perkara pidana
yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.

Terdapat beberapa hal yang menjadi faktor kerap digunakannya keterangan saksi dalam
pembuktian perkara pidana. Pertama, terdapat perluasan makna keterangan saksi melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 (Baca: MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam
KUHAP). Sehingga saat ini siapa saja yang masih memiliki relevansi dengan perkara untuk
memberikan keterangan, dapat dijadikan sebagai saksi. Tidak harus orang yang melihat,
mendengar, mengalami suatu peristiwa pidana. Mengambil contoh ilustrasi yang Anda berikan,
dalam perkara tersebut meski tidak ada saksi yang melihat terjadinya pembunuhan, dalam
praktik Jaksa Penuntut Umum akan memanggil saksi penangkap, saksi dari keluarga korban,
ataupun saksi lain yang masih memiliki relevansi dengan perkara.

Kedua, Majelis Hakim akan mengusahakan sebisa mungkin terdapat keterangan saksi untuk
memutus suatu perkara karena tanpa adanya saksi, dapat menimbulkan keragu-raguan Hakim
dalam menjatuhkan putusan. Hakim tidak boleh memiliki keraguan yang masuk akal dalam
menjatuhkan hukuman bersalah kepada terdakwa (beyond a reasonable doubt).

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

Referensi:

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang


Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan adalah
merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Dalam hal ini pun HAM
dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan
hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari
kebenaran materiil, yang mana mencari dan menempatkan kebenaran bukanlah kesalahan orang
lain yaitu kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-benarnya. Berbeda dengan hukum acara
perdata yang cukup puasndengan kebenaran formal, atau kebenaran yang terungkap di muka
bumi saja.

Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara disertai
dengan bukti yang konkret. Dengan adanya pembuktian itu maka hakim meskipun dia tidak
melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam
pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakina tentang hal tersebut.

A. Sistem atau Teori Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

1. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction


Intime / Conviction Raisonce)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang
didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi
bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada
keyakinan hakim. Dan keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang
ada.

Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa
dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif
sekali. Sistem pembuktian Conviction in Time banyak digunakan oleh negara-negara yang
menggunakan sistem peradilan juri (Jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat
(Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 15).

2. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
(Conviction In Raisone)
Pada sistem Conviction-Raisonee , keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam
menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim
"dibatasi". Jika dalam sistem pembuktian Conviction in Time peran "keyakinan hakim" leluasa
tanpa batas maka pada sistem Conviction-Raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan
"alasan-alasan yang jelas". Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang
terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan juga berdasarkan alasan yang
dapat diterima oleh akal (reasonable). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan
apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini
disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya
(vrijs bewijstheorie).

3. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (positief wettelijke
bewijs theorie).

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut
secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang
adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya,
kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara
yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang
maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa
terdakwa tidak bersalah.

Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak
mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang. Teori pembuktian ini
ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana
hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya
tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. Kebaikan sistem pembuktian ini,
yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya
sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh
undang-undang. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu
sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata.

4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs


theorie)
Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa
hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara
limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim
terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

Di dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana,
menurut Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif. Di dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
( negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat
bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap. Jadi dalam
menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya
dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam
KUHAP pasal 183 " Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya".

Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang memiliki nilai
kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka pelanggaran itu dengan
sendirinya menyampingkan standar Beyond a reasonable doubt (patokan penerapan standar
terbukti secara sah dan meyakinkan) dan pemidanaan yang di jatuhkan dapat dianggap
sewenang-wenang.

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat
determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara
pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Dalam hal pembuktian ini keterangan korban merupakan hal yang sangat
penting, di mana korban adalah mereka yang menderita secara jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.

Hal-Hal yang berkaitan dengan Pembuktian


Dikaji dari perspektif sistem Peradilan pidana pada umumnya dan huum acara pidana pada
khususnya maka aspek pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan
kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Apabila dilihat dari visi letaknya
dalam kerangka yuridis, aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklarifikasikan, baik
dalam kelompok acara pidana atau hukum pidana formal maupun materiil.

Jika dikaji secara umum, Pembuktian berasala dari kata bukti yang berarti suatu hal atau
peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa tersebut.
Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi atau
memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagia kebenaran, melaksanakan, menandakan,
menyaksikan, dan meyakinkan. Adapun jika dikaji dari makna leksikon pembuktian adalah suatu
proses, cara, perbuatan membuktikan , usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa
dalam sidang pengadialn. Sedangkan jika dikaji dalam aspek yuridis menurut M. Yahya Harahap
Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penngarisan dan pedoman tentang cara-cara yan
dibenarkan oleh undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepad terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-
undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan
kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa. Pada dasarnya aspek pembuktin ini sebenarnya sudah dimulai pada tahap
penyelidikan perkara pidana. Dalam tahap penyelidikan, tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan, maka disini sudah ada tahapan pembuktian. Menurut pasal pasal 1 angka
2 dan angka 5 KUHAP maka untuk dapat dilakukannya tindakan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan maka bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan
sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Konkretnya,
pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana
(vonis)oleh hakim di depan sidang pengadilan, baik di tingkat pengadilan negeri maupun
pengadilan tinggi jika perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding (apel/revisi).

Pada proses pembuktian ini maka adanya korelasi dan interaksi mengenai yang akan diterapkan
hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti, dan
proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut:

Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.


Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan
kepadanya.

Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.

Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Hakikat dan dimensi mengenai pembuktian ini selain berorientasi pada pengadilan juga dapat
berguna dan penting, baik bagi kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian
dimana kekhususan perana pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri sbb:

Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang hukum pidana, antara lain, apakah
kelakuan dan hal ihwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak.

Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana anatara lain, apakah korban
yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam.

Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, anatara lain ditentukan yang berwenang
memeriksa fakta harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, dan petugas lain menurut tata cara
yang diatur dalam UU.

Terhadap korelasi yang diuraikan dalam konteks di atas maka kegiatan pembuktian merupakan
interaksi antaara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara
tersebut dengan dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya terdakwa beserta
penasehat hukumnya. Ketiga komponen tersebut salaing berinteraksi dalam melakukan
pebuktian, hanya saja segmen dan derajat pembutian yang dilakukan sedikit ada perbedaan. Pada
majelis hakim melalui kegiatan memeriksa perkara melakukan kegiatan pembutian dengan
memeriksa fakta dan sekaligus menilai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan
akhirnya menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan terdakwa tersebut dalam vonisnya. Baik
penuntut umum maupun terdakwa ataupun peasihat hukum melakukan kegiatan pembutian juga.
Hanya saja perspektif penuntut umum membuktikan keterlibatan dan kesalahan terdakwa dalam
melakukan suatu tindak pidana, tetapi dari persepektif terdakwa atau penasehat hukum
berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh jaksa peuntut umum. Pada dasarnya, apabila di
analisis, mengapa perbedaan penafsyiran dan sudut pandang tersebut dapat terjadi, padhal kasus
dan fakta yang dihadapi sama?

Menurut Mr. Trapmann, aspek ini bergantung pada sikap, titik tolak, dan pandangan para pihak
dalam perkara pidana, yaitu:

Pandangan terdakwa / penasehat hukum terdakwa sebagai pandangan subjektif dari posisi yang
subjektif.

Pandangan jaksa penuntut umum adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif.

Pandangan hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari sisi objektif pula.

Dengan tolak ukur sebagaimana ersebut di atas, walaupun agak berlainan dengan pandangan di
atas, maks bahwa.a menurut Mr. A.A.G. Peter bahwa.

" apa yang mengikat penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim adalah orientasi mereka
secara bersama terhadap hukum, apa yang memisahkan mereka adalah penuntut umum bertindak
demi kepentingan umum, penasihat hukum demi kepentingan subjektif dari terdakwa, dan hakim
konkret." dalam komplik ini harus sampai pada pengambilan keputusan secara konkret."

Pada sidang pengadilan merupakan aspek esensial dan fundamental pembuktian dilakukan, baik
yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa dan atau bersama penasihat hukumny,
maupun oleh majelis hakim. Walaupun tahap awal pembuktian ini brsama-sama dilakukan,
proses akhir pembuktian berakhirnya tidaklah sama. Proses awal pembuktian di depan sidang
pengadilan dimulai dengan pemeriksaan saksi korban (pasal 160 ayat (1) huruf B KUHAP).
Akan tetapi, bagi jaksa penuntut umum proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukan
tuntutan pidana (requisitoir) yang dapat dilanjutkan dengan reflik atau rereplik. Kemudian bagi
terdakwa atau penasehat hukumnya akan berakhir dengan debacaan pembelaan (pleidoi), yang
dapat dilanjutkan dengan acara duplik atau reduplik. Sedangkan bagi majelis hakim berakhirnya
proses pembuktian ini dengan pembacaan putusan (vonis), baik di pengadilan negeri maupun
pengadilan tinggi jika perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding. Namun sebenarnya
pembuktian tersebut pada hakikatnya mempunyai dua dimensi sebagai suatu proses pidana yang
dilakukan, mulai tahap penyelidikan sebagai awalnya dan penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim
sebagai tahap akhirnya. Secara konkret Adami Chazawi menyatakan bahwa:

Dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan sebagaimana yang diterangkan di
atas, maka sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian.

Bagian kegiatan pengungkapan fakta.

Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan.

Bagian pembuktian yang pertama adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan di
muka sidang pengadilan ole JPU dan PH (a decharge)atau atas kegiatan majelis hakim. Proes
pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan
secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai (pasal 182 ayat (1) huruf a).
Dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk
mengungkapkan atau mendapatkan fakta-fakta dari alat bukti dan barang bukti yang diajukan
dalam sidang (termasuk pemeriksaan setempat) bagian pembuktian kedua ialah bagaian
pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan
penganalisisan hukum masing-masing oleh 3 pihak tadi. Oleh JPU pembuktian dalam arti kedua
ini dilakukannya dalam surat tuntutanya (requisitoir). Bagi PH pembuktiannyanya dilakukan
dalam nota pembelaan (pleidoi), dan majelis hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonis)
yang dibuat.

Polaritas kegiatan pembuktian apabila ditarik benang merahnya secara lebih luas, akan bermuara
pada dimensi hukum pembuktian di dalamnya. Jika dikaji dari perspektif hukum acara pidana,
Hukum pembuktian ada, lahir, dsn berkembang dalam rangka untuk menarik suatu suatu
konklusi bagi hakim di depan sidang pengadilan untuk menyatakan terdakwa terbukti ata tidak
melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan,oleh penuntut umum dalam surat dakwaanya
oleh penuntut umum dalam surat dakwaann dan akhirnnya dituangkam hakim dalam rangka
menjatuhkan pidana kpa terdakwa.
Alat-alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana

Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, di mana dengan
alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan
keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.
Adapun alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1) adalah :

1. Keterangan saksi

Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

2. Keterangan Ahli.

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.

3. Surat

Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain

4. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya, hal ini seperti apa yang tercantum dalam pasal 188 ayat
(1) KUHAP.

5. Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP menentukan: "Keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau ia ketahui sendiri
atau alami sendiri". Dan dalam Pasal 189 ayat (4) sudah dinyatakan bahwa: "Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti lainnya".

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti mengandung/menandai:

Apa yang terdakwa "nyatakan", atau "jelaskan" di sidang pengadilan.


Apa yang dijelaskan tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui,
alami sendiri dari peristiwa yang sedang diperiksa

Ada 4 teori atau sistem pembuktian dalam hukum acara pidana yaitu teori pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim, teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
yang logis, teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, dan teori pembuktian
menurut undang-undang negatif.

Dikaji dari perspektif sistem Peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana pada
khususnya maka aspek pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan
kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Apabila dilihat dari visi letaknya
dalam kerangka yuridis, aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklarifikasikan, baik
dalam kelompok acara pidana atau hukum pidana formal maupun materiil.

Jika dikaji secara umum, Pembuktian berasala dari kata bukti yang berarti suatu hal atau
peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa tersebut.
Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi atau
memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagia kebenaran, melaksanakan, menandakan,
menyaksikan, dan meyakinkan. Adapun jika dikaji dari makna leksikon pembuktian adalah suatu
proses, cara, perbuatan membuktikan , usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa
dalam sidang pengadialn. Sedangkan jika dikaji dalam aspek yuridis menurut M. Yahya
HarahapPembuktian adalah ketentuan yang berisi penngarisan dan pedoman tentang cara-cara
yan dibenarkan oleh undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepad terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-
undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan
kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati.

Dalam pembuktian hukum acara pidana ada 4 alat bukti menurut ketentuan Pasal 184 ayat 1
KUHAP, yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Anda mungkin juga menyukai