Anda di halaman 1dari 22

HUKUM PEMBUKTIAN

DALAM ACARA PIDANA


SUKINTA
FH.UNDIP
Pengertian Pembuktian
Kata pembuktian berasal dari kata dasar “bukti”.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh WJS. Purwadarminta, kata
“bukti” berarti : “sesuatu hal (peristiwa dsb) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dsb); Apa-apa yang
menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dsb). “Membuktikan”
berarti - memberikan (memperlihatkan) bukti,
- melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran,
- melaksanakan (cita-cita dsb) ;
- menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);
 meyakinkan, menyaksikan.
 “Terbukti” berarti : telah ternyata (ada buktinya).
 “Pembuktian” berarti perbuatan (hal dsb.) membuktikan.
“Kata pembuktian (bewijs) dipergunakan dalam dua arti; ada kalanya ia diartikan
sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, ada kalanya pula sebagai
akibat dari perbuatan tersebut, yaitu terdapatnya suatu kepastian”. Munurut van
Bemmelen, maka pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak
dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim :

a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh


pernah terjadi;

b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.

Dari itu pembuktian terdiri dari :

1. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca-indra;

2. memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut;

3. menggunakan pikiran logis.


Pembuktian dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutus perkara.

Dalam hal ini harus dibuktikan ialah kejadian konkrit, bukan sesuatu yang abstrak.
Dengan adanya pembuktian itu maka hakim, meskipun ia tidak melihat dengan mata
kepala sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam p ikirannya apa
yang sebenarnya. Dalam perkara pidana, pemeriksaan yang dilakukan hakim hanya
bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang riil, atau kebenaran materiil, yang
tidak tergantung pada hal-hal yang dikemukakan oleh pihak-pihak, tetapi kebenaran
dengan tujuan yang tertentu, tujuan mana adalah termasuk salah satu yang
terpenting dari tugas-tugas kekuasaan negara, yaitu menjatuhkan hukuman atau
pembebasan karena tidak bersalah dalam suatu perkara pidana. Keputusan hakim
yang akan dijatuhkan adalah didasarkan pada kepastian yang telah diperoleh tentang
benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana, setelah mengumpulkan dan
menganalisa bahan-bahan yang diperlukan. Yang amat sukar dan penting dalam hal
ini adalah bagaimana caranya hakim dapat menetapkan kebenaran materiil tersebut.
Hal-hal inilah yang diatur hukum pembuktian yang terdapat dalam acara pidana.
Berkaitan dengan hal tersebut Wirjono Prodjodikoro menyatakan
sebagai berikut :
Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu
yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, makin sukar bagi
hakim untuk menyatakan kebenara atas keadaan-keadaan itu. Oleh
karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputar-balikkan lagi,
maka kepastian seratus persen, bahwa apa yang akan diyakini oleh
hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenaran,
tidak mungkin dicapai. Maka acara pidana sebetulnya hanya dapat
menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak
mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran yang
sejati.
Untuk mendapat keyakinan ini, hakim membutuhkan alat-alat
guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah
lampau itu. Bagi gambaran ini perlu ada tanda-tanda yang
ditinggalkan oleh keadaan-keadaan itu. Tanda- tanda itu
mungkin berwujud suatu barang-benda yang masih dapat
dilihat oleh hakim, atau berada dalam ingatan orang-orang
yang mengalami keadaan itu. Ingatan orang-orang ini harus
diberitahukan kepada hakim.

Jadi hakekat pembuktian ialah mencari kebenaran akan


peristiwa-peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh
kepastian bagi hakim kebenaran peristiwa tertentu.
Dalam proses pembuktian pada acara pidana menyangkut beberapa
masalah yaitu :

1. alat pembuktian (bewijsmiddel) ;

2. penguraian pembuktian (bewijsvoering) ;

3. kekuatan pembuktian (bewijskracht) ;

4. beban pembuktian (bewijslast).


ad 1. Alat pembuktian

Yang dimaksud alat pembuktian ialah alat yang dipakai untuk


dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang
kepastian pernah terjadinya tindak pidana.

ad 2. Penguraian pembuktian

Penguraian pembuktian adalah cara-cara mempergunakan alat-


alat bukti. Misalnya : sejauh mana keterlibatan alat-alat bukti tersebut
dalam suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Penguraian pembuktian suatu perkara di persidangan pengadilan,
dimana hakim berkewajiban meneliti apakah dapat terbukti bahwa
terdakwa telah melakukan hal-hal seperti dituduhkan padanya.
ad 3. Kekuatan pembuktian

Kekuatan pembuktian artinya pembuktian dari masing-masing alat


bukti. Misalnya : sejauh mana bobot alat-alat bukti tersebut terhadap
per buatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dalam pembuktian,
hakim sangat terikat pada kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti
seperti dinyatakan dalam pasal 184 KUHAP.

ad 4. Dasar pembuktian

Dasar pembuktian adalah isi dari alat bukti, misalnya keterangan


seorang saksi bahwa ia telah melihat sesuatu, disebut alat bukti,
tetapi keadaan apa yang di lihatnya dan dialaminya, yang diterangkan
dalam kesaksiannya, disebut dasar pembuktian.
ad 5. Kekuatan pembuktian

Beban pembuktian menyangkut persoalan tentang


siapakah yang diwajibkan untuk membuktikan atau
dengan perkataan lain siapakah yang mempunyai beban
pembuktian.
Selanjutnya dalam ilmu pengetahuan hukum acara pidana
dikenal ada empat teori tentang pembuktian yaitu :
a. teori pembuktian yang obyektif murni (positief wettelijk)

b. teori pembuktian yang subyektif murni (conviction intime) ;


c. teori pembuktian yang bebas (conviction raissonnae) ;

d. teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang


(negatief wettelijk).
ad. a. Teori pembuktian yang obyektif murni (positief
wettelijk).
Menurut teori ini, alat-alat serta dasar-dasar pembuktian
ditentukan dalam undang-undang, dan hakim adalah
sangat terikat padanya.Menurut teori atau sistem
pembuktian ini, hakim harus menyatakan sebagai
terbukti hal-hal yang telah disimpulkan dari sejumlah
alat-alat pembuktian berdasarkan undang-undang,
sedang keyakinan menurut hati nuraninya tidak boleh
memegang peranan sama sekali.
Sehubungan dengan hal ini Wirjono Prodjodikoro berpendapat sebagai
berikut

Sistem selalu menurut undang-undang atau “positief wetteljik” ini,


yang sama sekali9 tidak mengandung suatu kepercayaan kepada
ketepatan kesan-kesan perseorangan dari hakim, sebetulnya
bertentangan dengan prinsip, bahwa dalam acara pidana suatu
putusan hakim harus berdasar atas kebenaran. Sebab : bagaimanakah
hakim dapat menetapkan kebenaran selain dari dengan cara
menanyakan kepada keyakinannya tentang hal kebenara itu, dan lagi
keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman, mungkin
sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat, seandainya
mungkin masyarakat itu memeriksa perkara seperti seorang hakim.
ad. b. Teori pembuktian yang subyektif murni (conviction intime)

Teori ini disebut juga ajaran yang mendasarkan atas keyakinan


belaka. Menurut teori ini tidak diakui aturan-aturan pembuktian
yang obyektif untuk kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan
menyerahkan segala sesuatunya pada dasar-dasar penilaian
subyektif dari hakim. Jadi dalam menentukan apakah terdakwa
terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya atau tidak segala sesuatunya diserahkan kepada
kebijaksanaan dan kesan hakim. Sistem ini tidak digunakan
dalam hukum acara pidana di Indonesia.
Keberatan terhadap sistem ini ialah, bahwa terkandung didalamnya
suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketepatan kesan-kesan
perseorangan belakan dari seorang hakim. Pengawasan terhadap
putusan-putusan hakim seperti ini adalah sukar untuk dilakukan, oleh
karena Badan Pengawas tidak dapat tahu pertimbangan-pertimbangan
hakim yang mengalirkan pendapat hakim kearah putusan. Terutama
Mahkamah Agung tidak dapat mengutik-utik putusan hakim ini, oleh
karena putusan itu, walaupun barangkali tidak memuaskan, bahkan
barangkali sangat mengecewakan tidak dapat dikatakan dengan
hukum.
ad. c. Teori pembuktian yang bebas (conviction raissonnee).

Menurut teori ini hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-


alasan untuk mengambil keputusan sama sekali tidak terikat pada
penyebutan alat-alat bukti yang terdapat dalam undang-undang,
melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-
alat bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang
tetap menurut logika.

Jadi menurut teori atau sistem ini untuk menentukan terbukti atau
tidaknya terdakwa, pada prinsipnya didasarkan pada keyakinan hakim.
Akan tetapi disamping keyakinan hakim, harus disertai pula dengan
alasan-alasan tertentu sebagai dasar pertimbangan akal pikirannya.
Selain itu hakim dapat menggunakan alat-alat bukti lain, yang berada
di luar undang-undang.
ad. d. Teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang (negatief
wettelijk).

Menurut teori ini, maka hakim baru boleh menyatakan seseorang


bersalah jika telah dapat dipenuhi syarat-syarat bukti menurut
undang-undang, ditambah dengan keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa. Dengan demikian walaupun sudah cukup bukti yang syah,
tetapi jika hakim tidak yakin, atau sebaliknya walaupun hakim telah
yakin tetapi bukti yang sah belum cukup, maka hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman atas diri terdakwa.

Dalam sistem pembuktian yang negatif menurut undang-undang ini,


alat-alat bukti secara limitatif ditentukan dalam undang-undang dan
bagaimana cara mempergunakannya, hakim adalah terikat pada
ketentuan undang-undang.
Hukum acara pidana Indonesia menganut teori atau sistem pembuktian
yang negatif menurut undang-undang. Hal ini dapat diketahui dari
ketentuan yang terdapat dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi
sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali


dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
 Berdasarkan ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut, maka dalam pembuktian
harus dilakukan penelitian, apakah tercukup alasan yang didukung oleh alat
pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang yaitu paling sedikit harus
ada dua alat bukti yang sah, dan kalau alat bukti sudah cukup, maka harus
ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Alat-alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP
ialah :

(1) Alat-alat bukti yang sah ialah :

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.
Dengan dianutnya ajaran pembuktian yang negatief wettelijk
dalam KUHAP, maka hanya alat-alat bukti sebagaimana yang
secara limitatif disebutkan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP
yang dapat dipergunakan secara sah dalam proses pembuktian.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka diperoleh suatu
pengertian bahwa fungsi dalam perkara pidana adalah untuk
memberi kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal
tertentu tentang fakta-fakta atas nama penilaian tersebut harus
didasarkan.
Menurut pasal 143 ayat (2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan,
dan oleh karena itu Penuntu Umum berkewajiban untuk menyusun alat
bukti dan melakukan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan
tersebut atau tentang kesalahan terdakwa.

Sedang apa yang harus dibuktikan tidak bisa lebih atau lain, selain dari
apa yang tertera dalam surat dakwaan.

Anda mungkin juga menyukai