Dalam hal ini harus dibuktikan ialah kejadian konkrit, bukan sesuatu yang abstrak.
Dengan adanya pembuktian itu maka hakim, meskipun ia tidak melihat dengan mata
kepala sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam p ikirannya apa
yang sebenarnya. Dalam perkara pidana, pemeriksaan yang dilakukan hakim hanya
bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang riil, atau kebenaran materiil, yang
tidak tergantung pada hal-hal yang dikemukakan oleh pihak-pihak, tetapi kebenaran
dengan tujuan yang tertentu, tujuan mana adalah termasuk salah satu yang
terpenting dari tugas-tugas kekuasaan negara, yaitu menjatuhkan hukuman atau
pembebasan karena tidak bersalah dalam suatu perkara pidana. Keputusan hakim
yang akan dijatuhkan adalah didasarkan pada kepastian yang telah diperoleh tentang
benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana, setelah mengumpulkan dan
menganalisa bahan-bahan yang diperlukan. Yang amat sukar dan penting dalam hal
ini adalah bagaimana caranya hakim dapat menetapkan kebenaran materiil tersebut.
Hal-hal inilah yang diatur hukum pembuktian yang terdapat dalam acara pidana.
Berkaitan dengan hal tersebut Wirjono Prodjodikoro menyatakan
sebagai berikut :
Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu
yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, makin sukar bagi
hakim untuk menyatakan kebenara atas keadaan-keadaan itu. Oleh
karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputar-balikkan lagi,
maka kepastian seratus persen, bahwa apa yang akan diyakini oleh
hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenaran,
tidak mungkin dicapai. Maka acara pidana sebetulnya hanya dapat
menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak
mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran yang
sejati.
Untuk mendapat keyakinan ini, hakim membutuhkan alat-alat
guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah
lampau itu. Bagi gambaran ini perlu ada tanda-tanda yang
ditinggalkan oleh keadaan-keadaan itu. Tanda- tanda itu
mungkin berwujud suatu barang-benda yang masih dapat
dilihat oleh hakim, atau berada dalam ingatan orang-orang
yang mengalami keadaan itu. Ingatan orang-orang ini harus
diberitahukan kepada hakim.
ad 2. Penguraian pembuktian
ad 4. Dasar pembuktian
Jadi menurut teori atau sistem ini untuk menentukan terbukti atau
tidaknya terdakwa, pada prinsipnya didasarkan pada keyakinan hakim.
Akan tetapi disamping keyakinan hakim, harus disertai pula dengan
alasan-alasan tertentu sebagai dasar pertimbangan akal pikirannya.
Selain itu hakim dapat menggunakan alat-alat bukti lain, yang berada
di luar undang-undang.
ad. d. Teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang (negatief
wettelijk).
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dengan dianutnya ajaran pembuktian yang negatief wettelijk
dalam KUHAP, maka hanya alat-alat bukti sebagaimana yang
secara limitatif disebutkan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP
yang dapat dipergunakan secara sah dalam proses pembuktian.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka diperoleh suatu
pengertian bahwa fungsi dalam perkara pidana adalah untuk
memberi kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal
tertentu tentang fakta-fakta atas nama penilaian tersebut harus
didasarkan.
Menurut pasal 143 ayat (2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan,
dan oleh karena itu Penuntu Umum berkewajiban untuk menyusun alat
bukti dan melakukan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan
tersebut atau tentang kesalahan terdakwa.
Sedang apa yang harus dibuktikan tidak bisa lebih atau lain, selain dari
apa yang tertera dalam surat dakwaan.