Anda di halaman 1dari 101

• Evidence dipahami sebagai informasi data /

benda yang menjadi dasar keyakinan atau


penambah keyakinan akan suatu peristiwa
benar terjadi sebagai sebuah fakta hukum.

• Proof dipahami sebagai sebuah hasil evaluasi


informasi data / benda yang kemudian
menjadi landasan penarikan kesimpulan
terhadap suatu peristiwa hukum.
Bukti (evidence, bewijs) :
Segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta atau
ketidakbenaran fakta oleh para pihak yang berperkara sebagai bahan
pertimbangan hakim dalam penilaian dan pengambilan putusan.

Pembuktian (proof, bewijskracht) :


Proses perbuatan memberi / memperlihatkan bukti sebagai sebuah
upaya mencari kebenaran hingga menjadi dalil untuk mendapat putusan
hukum.
Suatu bukti harusrelevant dengan sengketa atau perkara yang sedang
diproses. Bukti tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk pada
kebenaran dari suatu peristiwa.

Suatu bukti harusadmissible sehingga dengan sendirinya bukti yang


dapat diterima adalah bukti yang relevan.

Suatu bukti harus exclusionary rules , diperoleh dengan cara


yang legal. Bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterima di
pengadilan, dikesampingkan oleh hakim bilamana perolehan bukti tersebut
dilakukan tidak sesuai aturan.

Suatu bukti harus dapat di evaluasi untuk menilai kesesuaian antara


bukti yang satu dan bukti yang lain, dan kemudian akan menjadikan bukti-
bukti tersebut sebagai dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.
Pentingnya Pembuktian :
Pertama (dalam arti yang luas), pembuktian
membenarkan hubungan hukum.
Kedua (dalam arti yang terbatas), pembuktian hanya
diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh
penggugat itu dibantah oleh tergugat. Sementara itu,
hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.
Pembuktian dalam arti yang luas dilakukan untuk memperkuat
kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah, pembuktian
tersebut membenarkan adanya suatu hubungan hukum.

Pembuktian dalam arti yang terbatas bermakna bahwa pembuktian


hanya dilakukan apabila adanya bantahan akan suatu bukti.
Professor Phyllis Gerstenfeld, MA, PhD. CSU
(California State University).
She has written extensively psychology of law
and international comparative criminal justice.
“The law of evidence, also known as the rules
of evidence, encompasses the rules and legal
principles that govern the proof of facts in a
legal proceeding. These rules determine what
evidence must or not must considered by the
trier of fact in reaching the decision”.
Hukum Pembuktian yang juga dikenal sebagai aturan
pembuktian, meliputi peraturan dan prinsip hukum yang mengatur
bukti-bukti sebagai sebuah fakta dalam proses hukum. Aturan ini
menentukan bukti apa yang harus atau tidak harus dipertimbangkan
oleh hakim dalam mengambil putusan.
Ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian meliputi :
1. Alat bukti termasuk barang bukti (bewijsmiddelen).
2. Cara mengumpulkan, memperoleh dan menyampaikan bukti di
pengadilan (bewijsvoering).
3. Kekuatan pembuktian (bewijskracht).
4. Beban pembuktian (bewijslast).
Karakter Hukum Pembuktian :

Unik dan berbeda, masing-masing lapangan hukum


memiliki hukum pembuktian sendiri. Tidak ada satu kesatuan hukum
pembuktian yang dapat diterapkan untuk semua proses hukum.
Tindak Pidana Umum pembuktiannya mengikuti KUHAP.

Tindak Pidana Khusus (TIPIKOR, Terorisme, Money Laundering) memiliki


hukum pembuktian tersendiri mengikuti UU Khusus yang mengatur
Tindak Pidana tersebut.
UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU. TIPIKOR) menerapkan pembalikan beban pembuktian (omkering
van het bewijslast).
Terdakwa membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi, wajib
memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya, istri / suami,
anak, atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban
membuktikan dakwaannya.
Karakter Hukum Pembuktian :

Luas. Hukum pembuktian meliputi hal yang sangat luas. Mencakup


segala sesuatu yang berkaitan dengan pengumpulan, penyampaian,
penilaian, dan beban pembuktian di pengadilan.
Batasan Hukum Pembuktian :
1. Bewijstheorie
2. Bewijsmiddelen
3. Bewijsvoering
4. Bewijslast
5. Bewijskracht
6. Bewijs Minimum.
Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai
dasar pembuktian hakim di pengadilan, terdiri dari 4 (empat) teori
yaitu :

1. Positief Wettelijk Bewijstheorie.


Hakim terikat secara positif kepada alat bukti. Jika dalam pertimbangan,
hakim menganggap telah terbukti suatu perbuatan, maka tanpa
memerlukan keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan. Kebenaran
hanya didasarkan pada alat bukti semata.
2. Conviction Intime
Keyakinan semata. Tidak terikat kepada alat bukti, namun atas dasar
keyakinan yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksana seorang hakim
untuk menjatuhkan putusan.

3. Conviction Raisonee
Hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti disertai dengan
alasan yang logis.
4. Negatief Wettelijk Bewijstheorie
Putusan setelah memperoleh keyakinan atas dasar bukti yang dipilih
(conviction raisonee) serta memperoleh keyakinan dari hati nurani dan
sifat bijaksana seorang hakim (conviction intime).
Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan
untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum.

Masing-masing hukum acara memuat ketentuan yang berbeda


mengenai alat bukti.
Keterangan terdakwa
(verklaringen van de verdachte)

Keterangan saksi
(verklaringen van een getuige)

Keterangan ahli
(verklaringen van een deskundige)

Surat
(schriftelijke bescheiden)
Bewijsvoering menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat
formalistis dari cara memperoleh bukti, apakah secara exclusionary
rules (legal), atau perolehan bukti secara tidak sah (illegal acquired
evidence). Konsekwensi dari cara perolehan ilegal akan menyebabkan
bukti menjadi tidak sah (unlawful legal evidence).
Bewijslast beban pembuktian berdasarkan asas actori incumbit
probatio berada di penggugat. Siapa yang menggugat, dialah yang wajib
membuktikan.

Penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya. Penggugat


tidak wajib membuktikan kebenaran bantahan tergugat. Apabila
penggugat tidak mampu membuktikan peristiwa yang diajukannya, ia
harus dikalahkan.
Tergugat wajib membuktikan bantahannya. Tergugat tidak wajib
membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan penggugat. Apabila
tergugat tidak mampu membuktikan bantahannya, ia harus dikalahkan.
Kewajiban untuk membuktikan peristiwa yang diajukan (dakwaan)
dalam perkara pidana adalah kewajiban jaksa penuntut umum. Ini
merupakan konsekwensi asas diferensiasi fungsional pemidanaan yang
menyerahkan fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pengadilan kepada lembaga-lembaga yang berwenang. (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan).
Prof. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Hakim.
Beban pembuktian dapat dibagi menjadi
dua. Pertama, konvensional (biasa), JPU
yang membuktikan kesalahan terdakwa.
Kedua, teori pembalikan beban
pembuktiaan.
Beban pembuktian konvensional (biasa), dalam praktiknya baik jaksa
penuntut umum maupun terdakwa bersama penasihat hukumnya akan
saling membuktikan di depan persidangan. JPU akan membuktikan
kesalahan terdakwa, sebaliknya terdakwa bersama penasihat hukum
akan membuktikan terdakwa tidak bersalah.
Kondisi ini dinamakan asas pembalikan beban pembuktian berimbang.
Pembuktian oleh terdakwa yang menunjukkan dirinya tidak bersalah
dikenal sebagai exculpatory evidence, diartikan sebagai bukti yang
meniadakan atau mengurangi kesalahan terdakwa.
Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian
alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan.

Hakim yang menilai, ini merupakan otoritas hakim.

Kesesuaian alat bukti satu dengan bukti lain. Relevansi dengan perkara.
Dapat diterima atau tidak.
Bewijs Minimmum, bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian
untuk mengikat kebebasan hakim. Dalam memutus perkara minimal
ada 2 (dua) alat bukti. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada
hakim memeriksa dan menyimpulkan suatu fakta.
Asas-Asas Pembuktian :
1. Due Process of Law
2. Presumption of Innocent
3. Adversary System
4. Clear and Convincing Evidence
5. Actori Incumbit Probatio
6. Actori Incumbit Onus Probandi
7. Unus Testis Nullus Testis
8. Audi Et Alteram Partem
9. Probatio Plena
Due Process of Law dapat dipahami sebagai
seperangkat aturan yang menjamin bahwa pemerintah tidak dapat
mencabut hak-hak dasar pribadi seperti hak hidup, hak kebebasan, hak
milik dengan sewenang-wenang.

Due Process of Law dalam hukum pembuktian berkaitan dengan


bewijsvoering (cara memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan
bukti ke pengadilan) untuk dapat meyakinkan hakim mengambil putusan
pencabutan hak.
Presumption of Innocent diartikan sebagai asas
praduga tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan bersalah.

Beban pembuktian pada asas ini berada di penuntut umum yang


mendakwa seseorang melakukan perbuatan melawan hukum.
Sistem perlawanan adalah di mana dua pihak yang bertentangan
bertarung di pengadilan untuk memenangkan pertarungan hukum
mereka. Persidangan dipimpin oleh seorang yang independen dan tidak
memihak serta dilakukan sesuai dengan bukti dan prosedur aturan.
Adversary System diartikan sebagai sistem peradilan
dimana para pihak yang berseberangan mengajukan bukti-bukti yang saling
berlawanan (tegen bewijs) untuk mendapat putusan yang menguntungkan
pihaknya.

Para kuasa hukum (yang berseberangan) berusaha memenangkan putusan


dengan menghadirkan bukti-bukti yang saling berlawanan.
Clear and Convincing Evidence Bukti yang
jelas dan meyakinkan berkaitan dengan preponderance of evidence dan
beyond a reasonable doubt.
Preponderance of evidence adalah standar pembuktian yang
menekankan pada kecukupan bukti yang digunakan.

Pihak yang dapat membuktikan lebih banyak, maka akan menjadi pihak
yang dimenangkan.
Beyond a reasonable doubt adalah standar pembuktian yang
menekankan pada keyakinan. Alat bukti saja tidaklah cukup untuk
menjatuhkan putusan tanpa keyakinan dari hakim.

Dalam pengambilan putusan, hakim harus dapat diyakinkan tanpa


keraguan bahwa terdakwa bersalah atas dakwaan yang dituduhkan.
Actori Incumbit Probatio, asas ini secara harafiah
berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Asas ini
dikenal dalam hukum acara perdata (163 Herzine Indische Reglement,
283 Reglement op de Burgelijke, 1865 KUHPerdata)
Actori Incumbit Onus Probandi siapa yang
menuntut, dialah yang wajib membuktikan.
Jika jaksa penuntut umum tidak dapat membuktikan kesalahan
terdakwa (actore non probante), maka terdakwa harus diputus bebas
(reus absolvitur / vrijspraak).
Unus Testis Nullus Testis
Seorang saksi bukanlah saksi. Untuk membuktikan suatu peristiwa
hukum pidana maupun perdata, dibutuhkan minimal 2 (dua) orang
saksi.

Asas ini berkaitan dengan bewijs minimum untuk memproses suatu


perkara.
Audi Et Alteram Partem
Dalam mengadili, hakim harus mendengar kedua belah pihak. Hal ini
agar terjadi keseimbangan antara penggugat dengan tergugat atau
antara jaksa penuntut umum dengan terdakwa / penasehat hukum
demi terciptanya peradilan yang objektif.

Asas ini terkait pembagian beban pembuktian.


Probatio Plena =
Pembuktian yang Sempurna
Dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada
cahaya (in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores). Bukti-
bukti yang ada akurat, terang, jelas, dan tidak lagi menimbulkan
keraguan mengenai keterlibatan pelaku dalam suatu tindak pidana.
Alat-alat Bukti :
Alat bukti didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk membuktikan kebenaran di pengadilan.

Wujud bukti dapat beraneka ragam seperti saksi mata, saksi ahli,
dokumen, foto, video, rekaman suara, sidik jari, DNA, dan lain
sebagainya. (Mengacu pada masing-masing hukum acara).
Professor Phyllis Gerstenfeld, MA, PhD. CSU
(California State University).
Direct Evidence & Circumtantial Evidence
Direct Evidence diartikan oleh Gerstenfeld sebagai bukti
yang menunjukkan kebenaran fakta tanpa bukti tambahan.

Circumtantial Evidence adalah bukti yang


membutuhan pembuktian lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan
kebenaran fakta.
Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel


negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti (corpus delicti)
adalah barang bukti kejahatan.

Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti adalah barang yang


digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai
hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang
bukti pengadilan.
Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu menggunakan
keterangan saksi. Disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Pengertian saksi menurut KUHAP adalah orang yang dapat memberikan


keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
ia alami sendiri.
Dalam Pasal 185 KUHAP :
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
depan pengadilan
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Persesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
Pasal 168 KUHAP :
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau
kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Pasal 171 KUHAP menambah pengecualian untuk memberikan
kesaksiaan dibawah sumpah, yakni :
a. Anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum
pernah kawin;
b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
Pasal 170 KUHAP :
(1) Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi.
Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat
(1) KUHAP.

Pasal 184 KUHAP menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Yang dimaksud dengan
keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki)
seseorang.
Surat
Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf
c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Petunjuk
Pasal 188 KUHAP :
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaian, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh
dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.

Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah
merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil
kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti
dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu
sama lain.
Evaluasi :
1. Jelaskan pembagian bukti menurut Prof. Phyllis Gerstenfeld, MA,
PhD!
2. Jelaskan pemahaman alat bukti dan barang bukti dalam sebuah
kasus hukum!
• Istilah & Arti Penting Hukum Pembuktian.
• Karakter & Batasan Hukum Pembuktian.
• Asas-asas Pembuktian.
• Alat-alat Bukti.
• Hukum Pembuktian Dalam Sistem Peradilan Umum.
• Hukum Pembuktian Dalam Sistem Peradilan Khusus (Agama, Militer,
PTUN, HAM, TIPIKOR).
Hukum Pembuktian Dalam Sistem
Peradilan Umum
(Pidana & Perdata)
Secara umum hukum pembuktian terdiri dari 2 (dua) kegiatan utama :
1. Pengungkapan Fakta.
2. Analisa Fakta & Analisa Hukum.
Pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum ke persidangan untuk
diperiksa kebenarannya oleh Majelis Hakim.

Proses pembuktian berakhir pada saat ketua majelis menyatakan secara


lisan pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai sebagaimana
ketentuan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP.
Setelah kegiatanpengungkapan fakta , selanjutnya
Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan Majelis Hakim

menganalisa fakta sekaligus

menganalisa hukum.
JPU memberikan analisa dalam surat tuntutan. Penasehat Hukum
memberi analisa dalam nota pembelaan (pledooi), dan akan dibahas
majelis hakim di putusan akhir (vonis).
• Perbuatan-perbuatan apa saja yang dianggap terbukti menurut
pemeriksaan persidangan?
• Apakah telah terbukti secara tegas dan meyakinkan terdakwa
bersalah?
• Tindak pidana apakah yang dilakukan?
• Hukuman apakah yang tepat untuk dijatuhkan?
Pembuktian dalam kasus pidana adalah untuk menentukan bersalah /
tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan JPU dalam
surat dakwaan / tuntutan.

Pembuktian kebenaran tersebut adalah untuk memperoleh kebenaran


materiil (materiel waarheid).
Hakim dalam persidangan perdata berperan menerapkan Hukum
Pembuktian dalam 4 (empat) klasifikasi :
• Menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya di antara para pihak
yang bersengketa.
• Membebankan pembuktian kepada salah satu pihak / kedua belah
pihak.
• Memberi penilaian atas alat bukti dan fakta yang memiliki hubungan
hukum dengan para pihak.
• Menemukan hukum di antara persengketaan para pihak.
KUHPerdata Psl. 1866 , alat bukti meliputi :
1. bukti tertulis;
2. bukti saksi;
3. persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah
HIR Psl. 164 ; RBg Psl. 284 ; KUH Perdata Psl. 1866 :
1. Surat (Kertas & Elektronik).
2. Keterangan Saksi.
3. Persangkaan.
4. Pengakuan.
5. Sumpah.
6. Saksi Ahli.
Bukti-bukti Surat :
• Akta di bawah tangan (ABT).
• Surat-surat lain bukan akta, seperti bukti tanda wajib pajak, faktur
tanda pengiriman barang (Pengembangan dari yang telah ditentukan
1881, 1883 KUHPerdata; 294, 297 Rbg).
• Surat Berharga (wessel, cheque).
• Akta authentic, authentiek, otentik (AO)
Kekuatan Bukti Surat :
• Bukti Biasa.
• Bukti Penuh (voldoende bewijs).

Bukti Memaksa (dwingend bewijs) :


• Sertifikat Hak Tanggungan.
• Berita Acara Perdamaian.
• Berita Acara Rapat Verifikasi dalam Pailit.
• Sertifikat Jaminan Fidusia.
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh UU / oleh Hakim
ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa
yang tidak diketahui umum.
Ada dua persangkaan, yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-
undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang. (1915,
1916 KUHPerdata)
Sistem pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
ditujukan untuk mencari kebenaran formal (formeel waarheid). Untuk
tercapainya tujuan tersebut, maka diterapkan beberapa prinsip Hukum
Pembuktian, yaitu :
1. Tugas dan Peran Hakim Pasif.
2. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta.
1. Tugas dan Peran Hakim Pasif.
• Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak
menambah pembuktian yang diperlukan.
• Menerima setiap pengakuan / penyangkalan yang diajukan para pihak
di persidangan untuk dinilai kebenarannya oleh Hakim.
• Pemeriksaan dan putusan hakim terbatas pada tuntutan yang
diajukan penggugat dalam gugatan.
2. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta.
• Fakta yang dinilai terbatas yang diajukan dalam persidangan.
• Fakta yang terungkap di luar persidangan, tidak dapat dijadikan bahan
penilaian dalam putusan.
• Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian. Alat bukti
yang diajukan mengandung fakta yang relevan dengan perkara yang
sedang diperiksa.
Aliran baru menentang peran hakim yang pasif dan mendukung sikap hakim

yang aktif dengan alasan :


• Hakim bukan penunggu / penghabis waktu (aantreanennimes). Pandangan
ini berpendapat tidak layak dan tidak pantas seorang hakim membiarkan
para pihak berlaku sewenang-wenang mengajukan bukti yang berisi
kebohongan dan kepalsuan.
• Tujuan peradilan adalah menegakkan kebenaran dan keadilan, sehingga
hakim harus aktif menolak pengajuan bukti yang diketahui tidak benar.
Ius Curia Novit : hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara.

Prinsip Ius Curia Novit ditegaskan dalam Psl. 10 ayat (1) UU. No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman : Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Apabila hakim dalam menyelesaikan perkara tidak menemukan hukum
tertulis, maka wajib menggali hukum tidak tertulis untuk menentukan
hukum objektif mana yang harus diterapkan (toepassing) sesuai dengan
materi pokok perkara.

Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum
allegata iudicare).
Hukum Pembuktian
Dalam Sistem Peradilan
Khusus
Pengadilan Agama
Pengadilan Agama sebelumnya berada di bawah Departemen Agama,
namun sejak 30 Juni 2004 berdasarkan UU. No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dialihkan ke Mahkamah Agung.

Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan pegawai, aset,


keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi di bawah Mahkamah
Agung.
Pengadilan Agama termasuk pengadilan khusus karena mengadili
perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan masyarakat
tertentu.

Pengadilan Agama
Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah,
dan ekonomi syariah. (Pasal 49 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama)
Hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus, termasuk alat-alat bukti
yang sah. (Pasal 54 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama)
Pengadilan Militer
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer memiliki 2 (dua)
kewenangan mengadili yaitu :
• Perkara Pidana (Hukum Acara Pidana Militer)
• Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (Hukum Acara Tata Usaha
Militer)
Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan
yang berkaitan dengan tindak pidana militer.

Sebelumnya pembinaan Peradilan Militer berada di bawah Markas Besar


Tentara Nasional Indonesia. Sejak 1 September 2004, organisasi,
administrasi, dan finansial Peradilan Militer dialihkan dari TNI ke
Mahkamah Agung.

Akibat peralihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas dalam
lingkup peradilan militer beralih menjadi personel organik Mahkamah
Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap
dilaksanakan Mabes TNI.
Peradilan Militer secara formal memiliki 4 (empat) strata yaitu Pengadilan
Militer (Dilmil), Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti), Pengadilan Militer
Utama (Dilmiltama) dan Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur).

Yurisdiksi Pengadilan Militer adalah sebagai pengadilan tingkat pertama


bagi prajurit berpangkat Kapten ke bawah.

Pengadilan Militer Tinggi merupakan pengadilan tingkat pertama bagi


prajurit berpangkat Mayor ke atas dan sebagai Pengadilan Tingkat Pertama
yang memeriksa Gugatan Tata Usaha Militer, disamping menjadi
Pengadilan Tingkat Banding atas perkara tingkat pertama yang diputus oleh
Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Utama untuk banding dari Pengadilan Militer Tinggi.

Pengadilan Militer Pertempuran khusus di medan pertempuran.


Alat Bukti Perkara Pidana diatur dalam Pasal 172 UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer :
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Keterangan Terdakwa
4. Surat
5. Petunjuk
Alat Bukti Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata diatur dalam Pasal
311 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer :
1. Surat atau tulisan
2. Keterangan ahli
3. Keterangan saksi
4. Pengakuan para pihak
5. Pengetahuan hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
PTUN memiliki kewenangan berdasarkan UU. No. 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.

PTUN memiliki kompetensi absolut dalam hal mengontrol tindakan


pemerintah dengan menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan
sengketa tata usaha negara.

PTUN berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.


Objek sengketa adalah keputusan yang memiliki unsur :
• Berbentuk penetapan tertulis
• Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
• Berisi tindakan hukum TUN
• Bersifat konkret, individual, dan final
• Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang / badan hukum perdata.
Hakim bersifat aktif (dominus litis). Keaktifan hakim untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat
tata usaha negara, sedangkan penggugat adalah orang/badan hukum
perdata. (Psl. 58, 63, 80, 83 UU. No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
TUN)
Putusan pengadilan TUN memiliki kekuatan mengikat (erga omnes) bagi
setiap orang, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

Hal ini karena sengketa TUN umumnya adalah sengketa hukum publik.
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum. (Psl. 2)

Memiliki kewenangan mengadili perkara pelanggaran HAM berat


berdasarkan UU. No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.

Pelanggaran HAM berat :


Kejahatan Genosida (Psl. 8)
Kejahatan Kemanusiaan (Psl. 9)
Hukum acara yang berlaku berdasarkan Hukum Acara Pidana kecuali
ditentukan lain dalam UU. No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. (Psl. 10)

Komnas HAM (penyelidikan)


Jaksa Agung Ad Hoc
(penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan)
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah Pengadilan Khusus
yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.

Pengadilan Tipikor awalnya hanya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta


Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah NKRI. Setelah
diberlakukannya UU. No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Pengadilan Tipikor dibentuk di setiap Pengadilan Negeri
ibu kota provinsi yang meliputi daerah hukum provinsi tersebut.
Sistem pembuktian selain menerapkan acara pembuktian pidana biasa
sebagaimana diatur dalam KUHAP, juga menerapkan pembuktian
sebagaimana diatur dalam Psl. 37 UU. No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara:
• Tindak Pidana Korupsi.
• Tindak Pidana Pencucian Uang yang patut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi.

Hakim Pengadilan Tipikor terdiri dari hakim karier dan hakim ad hock.
Hakim karier ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan selama menangani
perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. Sementara hakim ad
hock diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Anda mungkin juga menyukai