3. Conviction Raisonee
Hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti disertai dengan
alasan yang logis.
4. Negatief Wettelijk Bewijstheorie
Putusan setelah memperoleh keyakinan atas dasar bukti yang dipilih
(conviction raisonee) serta memperoleh keyakinan dari hati nurani dan
sifat bijaksana seorang hakim (conviction intime).
Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan
untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum.
Keterangan saksi
(verklaringen van een getuige)
Keterangan ahli
(verklaringen van een deskundige)
Surat
(schriftelijke bescheiden)
Bewijsvoering menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat
formalistis dari cara memperoleh bukti, apakah secara exclusionary
rules (legal), atau perolehan bukti secara tidak sah (illegal acquired
evidence). Konsekwensi dari cara perolehan ilegal akan menyebabkan
bukti menjadi tidak sah (unlawful legal evidence).
Bewijslast beban pembuktian berdasarkan asas actori incumbit
probatio berada di penggugat. Siapa yang menggugat, dialah yang wajib
membuktikan.
Kesesuaian alat bukti satu dengan bukti lain. Relevansi dengan perkara.
Dapat diterima atau tidak.
Bewijs Minimmum, bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian
untuk mengikat kebebasan hakim. Dalam memutus perkara minimal
ada 2 (dua) alat bukti. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada
hakim memeriksa dan menyimpulkan suatu fakta.
Asas-Asas Pembuktian :
1. Due Process of Law
2. Presumption of Innocent
3. Adversary System
4. Clear and Convincing Evidence
5. Actori Incumbit Probatio
6. Actori Incumbit Onus Probandi
7. Unus Testis Nullus Testis
8. Audi Et Alteram Partem
9. Probatio Plena
Due Process of Law dapat dipahami sebagai
seperangkat aturan yang menjamin bahwa pemerintah tidak dapat
mencabut hak-hak dasar pribadi seperti hak hidup, hak kebebasan, hak
milik dengan sewenang-wenang.
Pihak yang dapat membuktikan lebih banyak, maka akan menjadi pihak
yang dimenangkan.
Beyond a reasonable doubt adalah standar pembuktian yang
menekankan pada keyakinan. Alat bukti saja tidaklah cukup untuk
menjatuhkan putusan tanpa keyakinan dari hakim.
Wujud bukti dapat beraneka ragam seperti saksi mata, saksi ahli,
dokumen, foto, video, rekaman suara, sidik jari, DNA, dan lain
sebagainya. (Mengacu pada masing-masing hukum acara).
Professor Phyllis Gerstenfeld, MA, PhD. CSU
(California State University).
Direct Evidence & Circumtantial Evidence
Direct Evidence diartikan oleh Gerstenfeld sebagai bukti
yang menunjukkan kebenaran fakta tanpa bukti tambahan.
Pasal 184 KUHAP menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Yang dimaksud dengan
keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki)
seseorang.
Surat
Pasal 187 KUHAP, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf
c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Petunjuk
Pasal 188 KUHAP :
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaian, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh
dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah
merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil
kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti
dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu
sama lain.
Evaluasi :
1. Jelaskan pembagian bukti menurut Prof. Phyllis Gerstenfeld, MA,
PhD!
2. Jelaskan pemahaman alat bukti dan barang bukti dalam sebuah
kasus hukum!
• Istilah & Arti Penting Hukum Pembuktian.
• Karakter & Batasan Hukum Pembuktian.
• Asas-asas Pembuktian.
• Alat-alat Bukti.
• Hukum Pembuktian Dalam Sistem Peradilan Umum.
• Hukum Pembuktian Dalam Sistem Peradilan Khusus (Agama, Militer,
PTUN, HAM, TIPIKOR).
Hukum Pembuktian Dalam Sistem
Peradilan Umum
(Pidana & Perdata)
Secara umum hukum pembuktian terdiri dari 2 (dua) kegiatan utama :
1. Pengungkapan Fakta.
2. Analisa Fakta & Analisa Hukum.
Pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum ke persidangan untuk
diperiksa kebenarannya oleh Majelis Hakim.
menganalisa hukum.
JPU memberikan analisa dalam surat tuntutan. Penasehat Hukum
memberi analisa dalam nota pembelaan (pledooi), dan akan dibahas
majelis hakim di putusan akhir (vonis).
• Perbuatan-perbuatan apa saja yang dianggap terbukti menurut
pemeriksaan persidangan?
• Apakah telah terbukti secara tegas dan meyakinkan terdakwa
bersalah?
• Tindak pidana apakah yang dilakukan?
• Hukuman apakah yang tepat untuk dijatuhkan?
Pembuktian dalam kasus pidana adalah untuk menentukan bersalah /
tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan JPU dalam
surat dakwaan / tuntutan.
Prinsip Ius Curia Novit ditegaskan dalam Psl. 10 ayat (1) UU. No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman : Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Apabila hakim dalam menyelesaikan perkara tidak menemukan hukum
tertulis, maka wajib menggali hukum tidak tertulis untuk menentukan
hukum objektif mana yang harus diterapkan (toepassing) sesuai dengan
materi pokok perkara.
Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum
allegata iudicare).
Hukum Pembuktian
Dalam Sistem Peradilan
Khusus
Pengadilan Agama
Pengadilan Agama sebelumnya berada di bawah Departemen Agama,
namun sejak 30 Juni 2004 berdasarkan UU. No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dialihkan ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Agama
Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah,
dan ekonomi syariah. (Pasal 49 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama)
Hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus, termasuk alat-alat bukti
yang sah. (Pasal 54 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama)
Pengadilan Militer
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer memiliki 2 (dua)
kewenangan mengadili yaitu :
• Perkara Pidana (Hukum Acara Pidana Militer)
• Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (Hukum Acara Tata Usaha
Militer)
Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan
yang berkaitan dengan tindak pidana militer.
Akibat peralihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas dalam
lingkup peradilan militer beralih menjadi personel organik Mahkamah
Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap
dilaksanakan Mabes TNI.
Peradilan Militer secara formal memiliki 4 (empat) strata yaitu Pengadilan
Militer (Dilmil), Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti), Pengadilan Militer
Utama (Dilmiltama) dan Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur).
Hal ini karena sengketa TUN umumnya adalah sengketa hukum publik.
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum. (Psl. 2)
Hakim Pengadilan Tipikor terdiri dari hakim karier dan hakim ad hock.
Hakim karier ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan selama menangani
perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. Sementara hakim ad
hock diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.