Anda di halaman 1dari 14

ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) :

DEFINISI, IMPLEMENTASI DAN AKSI


Oleh
Agus Subagyo, S.IP., M.Si

Abstrak
Tulisan ini ingin mendeskripsikan tentang mekanisme penyelesaian sengketa secara
altrenative (ADR). ADR adalah proses penyelesaian sengketa dengan mempergunakan cara-
cara non litigasi / di luar pengadilan karena berbiaya murah, berlangsung cepat, dan bersifat
luwes ataupun fleksibel. ADR merupakan cara alternatif terhadap proses penyelesaian
sengketa yang terjadi di tengah masyarakat di saat kondisi proses pengadilan di Indonesia
yang carut marut dan dipertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya.
Kata Kunci : ADR, Pengadilan, Mediasi, Arbitrase, dan Konsiliasi .

Pendahuluan
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini dunia seolah-olah tanpa batas (borderless),
orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting dapat
menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi
semacam ini adalah timbulnya sengketa. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi
bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa sengketa mulai dikenal sejak
adanya manusia, di mana ada kehidupan manusia di situ ada sengketa. Oleh karena itu,
sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari
sengketa ini dapat berwujud sengketa antara sesama rekan bisnis, antar keluarga,
antarteman, antara suami dan istri, dan sebagainya.1
Sengketa yang timbul dalam kehidupan manusia ini perlu untuk diselesaikan.
Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut? Cara yang paling mudah
dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang
pekerjaannya atau tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk
1 Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam
http://www.legalitas.org/node/21.
1

menyelesaikan sengketa yang disediakan oleh negara adalah Pengadilan, sedangkan yang
disediakan oleh lembaga swasta adalah Arbitrase. Penyelesaian sengketa di luar lembaga
peradilan sering disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam
istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
ADR adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa
selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik
berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak
berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. Arbitrasi berlangsung atas dasar
pendekatan adversarial (pertikaian) yang menyerupai proses peradilan sehingga
menghasilkan adanya pihak yang menang dan kalah.
ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia) untuk dapat
menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak asasi setiap orang dalam
masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan putusan yang tepat atau memuaskan.
Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih
masalah itu ditangani melalui adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti
Pengadilan atau Arbitrase itu memakan waktu yang panjang, biaya yang tidak kecil,
penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-
pihak yang bersengketa2.
Mengingat kepentingan masyarakat yang demikian itu untuk memperoleh keadilan
dalam waktu yang cepat dengan biaya yang murah, mereka sering mencari bentuk-bentuk
lain selain dari cara yang diadili melalui cara adversarial baik melalui badan peradilan
maupun arbitrase. Karena kalau melalui badan peradilan atau arbitrase solusinya itu satu
menang satu kalah (win/lose). Kondisi semacam ini mendorong berbagai kalangan mencoba
untuk mencari alternatif solusi dari berbagai sengketa tersebut. Oleh karena itu, tulisan
singkat ini akan membahas tentang definisi ADR, tinjauan historis ADR, dinamika
perkembangan ADR, dan implementasi ADR di Indonesia. Dalam tulisan ini, penggunaan
kata ADR dan APS dipergunakan secara bergantian dengan arti dan makna yang sama.

2http://budi399.wordpress.com/2010/03/13/analisis-penyelesaian-tindak-pidana-penganiayaan-melalui-pilihan-

penyelesaian-sengketa-adr/
2

Definisi ADR
Istilah alternative dalam APS memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-
olah mekanisme APS pada akhirnya khususnya dalam sengketa bisnis akan
menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu
bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan dengan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi
pengadilan. Sama seperti istilah pengobatan alternatif, bahwa pengobatan alternatif
sama sekali tidak mengeliminasi pengobatan dokter. Bahkan terkadang keduanya saling
berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan
dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim tidak perlu khawatir
dengan digunakannya mekanisme APS, pengadilan menjadi kurang pekerjaannya 3.
Istilah ADR (Alternative Dispute Resolution) relatif baru dikenal di Indonesia, akan
tetapi sebenarnya penyelesaian-penyelesaian sengketa secara konsensus sudah lama
dilakukan oleh masyarakat, yang intinya menekankan pada upaya musyawarah mufakat,
kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. ADR mempunyai daya tarik khusus di Indonesia
karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah
mufakat. Sehubungan dngan itu, istilah ADR perlu dicari padanannya di Indonesia. Dewasa
ini dikenal beberapa istilah untuk ADR, antara lain : Pilihan Penyelesaian sengketa (PPS),
Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Pilihan Penyelesaian Sengketa di
luar pengadilan, dan Mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif.
Untuk memperoleh gambaran umum tentang apa yang disebut ADR, George
Applebey, dalam tulisannya An Overview of Alternative Dispute Resolution berpendapat
bahwa ADR pertama-tama adalah merupakan suatu eksperimen untuk mencari model-model
: (a) Model-model baru dalam penyelesaian sengketa; (b) Penerapan-penerapan baru
terhadap metode-metode lama; (c) Forum-forum baru bagi penylesian sengketa; (d)
Penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum4.
Definisi di atas sangat luas dan terlalu akademis. Definisi lain yang lebih sempit dan
akademis dikemukakan oleh Philip D. Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan

3 Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam
http://www.legalitas.org/node/21.
4 http://id.shvoong.com/law-and-politics/1909002-mengenal-adr-alternative-dispute-resolution/
3

serangkaian praktek dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :


(a) Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaiakan diluar pengadilan untuk
keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa; (b) Mengurangi biaya atau
keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi konvensional; (c)
Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak di bawa ke pengadilan.
ADR merupakan kehendak sukarela dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk
menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan, dalam arti diluar mekanisme ajudikasi
standar konvensional. Oleh karena itu, meskipun masih berada dalam lingkup atau sangat
erat dengan pengadilan, tetapi menggunakan prosedur ajudikasi non standar, mekanisme
tersebut masih merupakan ADR.
Ada beberapa pendapat mengenai APS atau Alternative Dispute Resolution (ADR).
Pertama, APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks
ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain. Kedua, APS adalah
forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat
penyelesaian sengketa melalui APS tidak dilakukan oleh pihak ketiga. Sedangkan dalam
forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau arbiter) mempunyai kewenangan
untuk memutus sengketa. APS di sini hanya terbatas pada teknik penyelesaian sengketa
yang bersifat kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-
teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya. Ketiga, APS adalah seluruh penyelesaian
sengketa yang tidak melalui pengadilan tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi,
dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian
sengketa yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pengadilan,
seperti Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), dan sebagainya.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menganut paham bahwa arbitrase, di samping negosiasi, mediasi, dan konsiliasi merupakan
bagian dari APS. Sedangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa secara implisit menganut paham bahwa arbitrase
4

merupakan hal yang berbeda dengan APS sehingga judul undang-undang tersebut adalah
Arbitarse dan APS.
Teknik atau prosedur teknis APS di luar pengadilan yang sudah lazim dilakukan
adalah: negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang paling
dikenal dan paling banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan hukum. Teknik negosiasi,
mediasi, dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun, secara tidak sadar masyarakat
Indonesia telah menerapkan mekanisme APS, yakni yang disebut musyawarah untuk
mufakat. Asas musyawarah untuk mufakat telah lama dikenal dan dipromosikan oleh
pemerintah sebagai suatu budaya bangsa Indonesia.
Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun
jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat
kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara ( di Mahkamah
Agung ) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya
adalah sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah
berpolitik, persengkokolan (KKN), dan tuduhan bahwa mereka bobrok atau rusak.
ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli. Dalam praktik, hakikatnya
ADR dapat diartikan sebagai Alternative to litigation atau alternative to adjudication.
Alternative to litigation berarti semua mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
sehingga dalam hal ini arbitrase termasuk bagian dari ADR.
Sedangkan Alternative to adjudication berarti mekanisme penyelesaian sengketa
yang bersifat konsensus atau kooperatif, tidak melalui prosedur pengajuan gugatan kepada
pihak ke tiga yang berwenang mengambil keputusan. Termasuk bagian dari ADR adalah
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli, sedangkan arbitrase bukan
termasuk ADR. Di Amerika sendiri, ADR diartikan sebagai alternative to adjudication,
karena output dari proses adjudikasi umumnya berupa win-lose solution (menang-kalah),
padahal yang dikehendaki pihak-pihak yang bersengketa adalah wini-win solution atau
mutual acceptable solution5.

5 http://id.shvoong.com/law-and-politics/1909002-mengenal-adr-alternative-dispute-resolution/
5

Tinjauan Historis ADR


APS sebetulnya telah lama digunakan masyarakat tradisional di Indonesia dalam
rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka. Mereka lazimnya menempuh musyawarah
untuk mufakat dalam berbagai sengketa. Mereka tidak menyadari bahwa sebetulnya
musyawarah untuk mufakat adalah embrio dari APS. APS tradisional dianggap sangat
efektif dan merupakan suatu kesalahan jika sengketa itu dibuka ditengah masyarakat. Dalam
banyak sengketa, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog (musyawarah), dan biasanya
minta pihak ke tiga, kepala desa atau suku, untuk bertindak sebagai mediator (perantara),
konsiliator, atau malahan sebagai arbiter. Metode APS tradisional biasanya dapat
mencarikan suatu keputusan yang dianggap adil dan dapat diterima oleh semua pihak yang
terlibat dalam sengketa6.
Permasalahannya, tradisi dan mekanisme musyawarah untuk mufakat yang hidup
dalam masyarakat Indonesia belum secara langsung dikaitkan dengan hukum nasional.
Artinya, hukum adat dan hukum nasional hidup dalam dunia yang berbeda. Sebagai
contoh, BANI sendiri tidak menerapkan konsep APS tradisional. Pemahaman terhadap
hukum yang hidup dalam masyarakat itu sangat penting. Suatu hukum yang tidak mengakar
ke dalam kebudayaan hukum masyarakat, biasanya tidak mudah mendapatkan dukungan
dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, lebih baik memperkuat hukum yang hidup dalam
masyarakat untuk memperoleh suatu pemecahan melalui hukum adat dan praktik kebiasaan.
Begitu juga dengan pengembangan APS perlu diperkuat pengembangan musyawarah untuk
mencapai mufakat yang masih hidup dalam masyarakat, dan mengembangkannya menjadi
metode APS yang bisa diterima secara nasional7.

Dinamika Perkembangan ADR


Tidak bisa dipungkiri bahwa dewasa ini aspirasi untuk pengembangan APS semakin
banyak, terutama dari masyarakat bisnis. APS memiliki beberapa keuntungan dan manfaat
ketimbang penyelesaian sengketa di pengadilan. APS memungkinkan penyelesaian sengketa
secara informal, sukarela, dengan kerjasama langsung antara kedua belah pihak, dan
6 Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam
http://www.legalitas.org/node/21.
7 Http://budi399.wordpress.com/2010/03/13/analisis-penyelesaian-tindak-pidana-penganiayaan-melalui-pilihan-

penyelesaian-sengketa-adr/
6

didasarkan pada kebutuhan atau kepentingan dari kedua belah pihak yang menuju pada
pemecahan sengketa yang saling menguntungkan8.
Dukungan dari masyarakat bisnis dapat dilihat dari klausul perjanjian dalam berbagai
kontrak belakangan ini. Saat ini kaum bisnis Indonesia sudah biasa mencantumkan klausul
APS pada hampir setiap kontrak yang dibuatnya. Contoh klausul APS yang tercantum dalam
kontrak adalah :Semua sengketa yang mungkin timbul antara kedua belah pihak
berdasarkan perjanjian ini, akan diselesaikan dengan musyawarah oleh para pihak dan
hasilnya akan dibuat secara tertulis. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan dengan
musyawarah, maka para pihak sepakat untuk membawa perkaranya ke pengadilan. Klausul
ini merupakan perkembangan yang menarik dan akan mempercepat pengembangan APS di
Indonesia.9 Faktor penting yang berkaitan dengan APS adalah kedudukan yang independen
(mandiri) dan netral dari lembaga dan aparaturnya (mediator, konsiliator, arbiter). Hal ini
tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai hubungan dengan lembaga hukum lainnya,
terutama pengadilan. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku setiap putusan
arbitrase harus didaftarkan pada pengadilan.
Berbeda dengan pengadilan dan arbitrase, maka APS lebih mirip dengan
penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam penyelesaian
sengketa melalui APS tidak ada pihak yang mengambil keputusan. Keterlibatan pihak ketiga
dalam APS adalah dalam rangka mengusahakan agar para pihak mencapai sepakat untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul. Memang ada pembedaan antara mediasi dan
konsolidasi dan APS. Perbedaannya terletak pada aktif tidaknya pihak ketiga dalam
mengusahakan para pihak untuk menyelesaikan sengketa.
Dilihat dari hal tersebut sebenarnya penyelesaian sengketa melalui APS merupakan
hal yang sangat ideal, mengingat keadilan muncul dari para pihak. Hal ini berbeda dengan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase di mana keadilan muncul dari
hakim atau arbiter. Sifat lain dari penyelesaian sengketa melalui APS adalah kesukarelaan.
Tanpa adanya kesukarelaan di antara para pihak, maka APS tidak akan bisa terlaksana.

8 Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam
http://www.legalitas.org/node/21.
9 http://id.shvoong.com/law-and-politics/1904935-pilih-adr-atau-pengadilan/
7

Kesukarelaan di sini meliputi kesukarelaan terhadap mekanisme penyelesaiannya (yaitu


melalui APS) dan kesukarelaan isi kesepakatan10.

Implementasi ADR Di Indonesia


Sadar atau tidak, APS sebenarnya sudah sejak lama dikenal di Indonesia. Lembaga-
lembaga hukum adat sebenarnya melakukan APS yang berdampingan dengan forum
pengadilan. Memang APS yang telah dikenal ini diartikan secara luas, yaitu bukan untuk
menyelesaikan sengketa dagang atau bisnis saja, tetapi termasuk juga sengketa-sengketa
lain. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Arbitrase yang juga mengatur tentang APS
(Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 1999) dimana pengertian APS harus
diinterprestasikan sebagai penyelesaian sengketa khusus untuk bidang perdata (yang
berkaitan dengan arbitrase)11.
Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) dalam undang undang
No.30 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute
Resolution) mencantumkan beberapa bentuk ADR yang dapat diterapkan dalam
penyelesaian sengketa, yaitu Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Penilaian
Ahli.12
a. Konsultasi. Konsultasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara meminta
masukan dari pihak yang diyakini sebagai Narasumber berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa untuk mencapai
tujuan bersama. Biasanya, Narasumber yang dimintai konsultasi oleh para pihak
adalah Narasumber yang levelnya lebih tinggi dan memiliki kompetensi yang
jelas.
b. Negosiasi. Negosiasi (berunding) berasal dari bahasa inggris Negotiation yang
berati perundingan. Namun secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai upaya
penyelesaian sengketa para pihak dengan cara berhadapan langsung

10 http://www.undp.org/evaluation/documents/ADR/ADR_Reports/Indonesia/ADR-Indonesia.pdf
11 Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam
http://www.legalitas.org/node/21.
12 http://id.shvoong.com/society-and-news/news-items/2021924-penanganan-masalah-melalui-alternative-
dispute/
8

mendiskusikan secara transparan, harmonis suatu masalah atau sengketa untuk


mencapai kesepakatan bersama.
c. Mediasi. Mediasi berasal dari bahasa inggris yaitu Mediation artinya
menengahi, penengah. Jadi, Penengah (Mediator) adalah orang yang
memediasi suatu kegiatan. Dalam kontek penyelesaian sengketa, Pola mediasi
adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara menengahi para pihak yang
bersengketa. Fungsi Mediator adalah sebagai Wasit, yang memutuskan sengketa
adalah para pihak yang berperkara. Karena itu Mediator harus benar-benar orang
yang bersikap Netral dan dapat diterima oleh pihak yang bersengketa.
Mediator dapat dipilih dari tokoh masyarakat, tokoh pendidik, tokoh permepuan,
tokoh agama, dll yang mengetahui, memahami dan mengerti pokok masalah
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Mediator yang dipilih bisa
bersifat tetap atau ad hoc.
d. Konsiliasi. Konsiliasi dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai usaha
mempertemukan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dalam rangka
penyelesaian sengketa. Konsiliasi dapat diserahkan kepada sebuah Tim
(Konsiliator) yang berfungsi menjelaskan fakta-fakta, membuat usulan-usulan
penyelesaian, tetapi sifatnya tidak mengikat. Konsiliator dapat dibentuk bersifat
tetap dan ad hoc.
e. Penilaian Ahli. Penilaian Ahli adalah suatu upaya mempertemukan pihak yang
berselisih dengan cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau
beberapa orang ahli di bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai
persetujuan. Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil
telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat terang pokok
sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli ini dapat diperoleh dari
seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad hoc.
f. Penyelesaian Masalah Melalui Arbitrase. Arbitrase berasal dari bahasa latin
arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut
kebijaksanaan. Dalam hal ini ditunjuk satu atau beberapa orang yang diberi
kewenangan untuk memutuskan suatu perkara. Hampir sama dengan mediasi
9

dimana penyelesaian perkara melibatkan pihak ketiga. Namun bila dalam


mediasi mediator tidak berhak memutus perkara sedang arbitrator memiliki
kewenangan untuk memutuskan suatu perkara.
g. Penyelesaian Masalah Melalui Pola Tradisi Lokal. Penyelesaian masalah dengan
pola tradisi lokal yang hidup dan berlaku di masyarakat adat dapat dipandang
cukup efektif dan efisien. Paling tidak dari sisi waktu dan biaya penyelesaian
sengketa tidak memerlukan waktu dan biaya yang cukup lama. Pola penyelesaian
dengan pendekatan ini tidak sama dengan pola penyelesaian masalah ketika
hukum adat masih berlaku. Agar hasil keputusannya mempunyai kekuatan
hukum, maka para pihak wajib mendaftarkan ke Pengadilan Negeri untuk
ditetapkan dengan penetapan Pengadilan.
Lembaga-lembaga APS yang telah dibentuk di Indonesia antara lain : Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),
Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI), Indra (Prakarsa Jakarta). Berikut
ini akan dibahas beberapa lembaga APS secara singkat13.
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Melalui KADIN, BANI didirikan pada tanggal 3 Desember 1977.
Menurut anggaran dasarnya, BANI berwenang menyelesaikan sengketa
perdata antara pengusaha Indonesia atau asing. BANI juga berwenang untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat atau binded advise
Meskipun BANI berada di bawah naungan KADIN, tetapi masih tetap
mandiri dan netral. Anggarannya sebagian besar berasal dari biaya yang
dibayar oleh para pihak yang bersengketa. Biaya yang harus dibayarkan
kepada BANI antara lain : Biaya registrasi sebesar Rp.250.000,- Biaya
administrasi dan biaya pemeriksaan Rp.150.000,- sd Rp.250.000. Biaya
arbitrase itu sendiri didasarkan pada nilai perkara berkisar dari 10 % (untuk
perkara yang bernilai kurang dari Rp.50 juta) sampai antara 2 % dan 5 %
(untuk perkara yang bernilai dia atas Rp. 750 juta).

13 I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2009.
10

BANI menangani penyelesaian sengketa, baik melalui arbitrase


sebagai kelembagaan maupun arbitrase secara ad-hoc. Dalam bentuk
pertama, para pihak yang berpekara memilih BANI dan peraturan mengenai
prosedurnya. Sedangkan dalam bentuk yang kedua, para pihak dapat
membentuk suatu tribunal, menunjuk seorang arbiter, dan membuat prosedur
sendiri atau memilih untuk memakai prosedur BANI. Dari pendaftaran
sampai dengan penyelesaian akhir perkara, biasanya dibutuhkan waktu dari 3
bulan sampai dengan 6 bulan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, hanya beberapa perkara saja
yang dibawa ke BANI, karena BANI hanya mampu menyelesaikan rata-rata
4 perkara setiap tahun atau 1 perkara setiap 3 bulan. Hal ini menunjukkan
bahwa beban pengadilan belum berkurang dengan adanya BANI, meskipun
secara organisasional BANI terdapat sekitar 30 orang arbiter yang terdaftar
dari berbagai latar belakang keahlian dan pengalaman.
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
BAMUI dibentuk tanggal 23 Oktober 1993. Yurisdiksi BAMUI
meliputi penyelesaian sengketa yang timbul dari perdagangan, industri,
keuangan, jasa, dan lain-lain, di manapun para pihak menyerahkan secara
tertulis penyelesaian sengketanya ke BAMUI.
Pendirian BAMUI berakar dari ajaran yang lazim dalam masyarakat
Islam, yaitu ajaran ishlah yang mendukung penyelesaian sengketa secara
damai dengan mengenyampingkan perbedaan yang menimbulkan masalah.
Dalam penyelesaian ini, para pihak yang bersengketa diminta untuk secara
jujur, memaafkan kesalahan satu sama lain dan mempraktikkan tindakan
maaf-memaafkan itu. Ishlah telah digunakan secara luas dan diantara
masyarakat Islam dalam penyelesaian sengketa bisnis. Dewasa ini, konteks
Ishlah telah menyatu dengan tahkim, yang kata kerjanya adalah hakkama,
yang secara harfiah berarti menjadi seorang penengah dalam suatu sengketa.
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui BAMUI dapat dilakukan
dengan arbitrase institusional atau arbitrase ad-hoc, sama seperti arbitrase
11

pada umumnya. Penyelesaian ini biasanya memakan waktu 3-6 bulan.


Putusan BAMUI adalah final dan mengikat, dan tidak dipublikasikan kecuali
atas keinginan para pihak yang terlibat. BAMUI mempunyai kira-kira 30
orang arbiter dari berbagai latar belakang dan pengalaman . Selama ini,
BAMUI hanya menangani satu 1 atau 2 perkara mediasi. Tidak ada sengketa
yang memerlukan arbitrase.
c. Pusat Penyelesaian Bisnis Indonesia (P3BI)
Sama halnya dengan BANI atau BAMUI, kelahiran P3BI (Februari
1996) merupakan reaksi positif atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
cepat. Mekanisme dan prosedur dalam penanganan sengketa, dan juga biaya-
biaya tidak berbeda dengan pola yang digunakan oleh BANI dan BAMUI.
Dalam menangani sengketa, P3 BI mempunyai kausul APS P3BI
antara lain : Apabila, sebagai akibat dari kontrak ini, timbul suatu sengketa
antara kedua belah pihak, maka upaya pertama dalam menyelesaikan
sengketa adalah melalui musyawarah. Apabila musyawarah tidak berhasil,
kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa ke P3BI agar
diselesaikan secara kompromis dengan pengertian yang menguntungkan
kedua belah pihak dengan bantuan negosiasi, mediasi atau konsiliasi,
menurut pilihan para pihak. Apabila dipakai suatu kompromi, maka hasil
kompromi tersebut akan mengikat keduabelah pihak . Apabila antara kedua
belah pihak tidak diperolah suatu persetujuan, baik melalui kompromi,
negosiasi, maupun mediasi atau konsiliasi, maka para pihak sepakat untuk
membawa perselisihan mereka ke arbitrase P3BI.
Penyelesaian sengketa melalui negosiasi, mediasi, dan konsiliasi rata-
rata diselesaikan paling lama dalam jangka waktu 6 bulan. P3BI mempunyai
struktur organisasi untuk tiap metode APS, yang dipimpin oleh seorang ketua
bidang (sebagai contoh ketua mediasi) yang dipimpin sejumlah anggota tim.
P3BI mempunyai kurang lebih 50 orang yang terdaftar untuk menjalankan
APS, dengan berbagai latar belakang dan pengalaman. Kebanyakan dari
12

mereka adalah pengacara. Putusan P3BI atau putusan komite arbitrase adalah
final dan mengikat.
Berbeda dengan arbitrase atau pengadilan, dimana ada pihak ketiga yang mengambil
keputusan, kecuali para pihak yang terlibat dalam sengketa. Yang menjadi tekanan adalah
penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan kesepakatan. Kesepakatan inilah yang hendak
dicari dalam APS. Masalahnya, sejauh mana kesepakatan ini mempunyai kekuatan hukum
(mengikat). Apabila sudah ada kesepakatan ternyata salah satu pihak wanprestasi, maka
bagaimana agar pihak yang wanprestasi tersebut dituntut untuk melakukan apa yang menjadi
prestasi.
Dalam kaitan ini perlu adanya kekuatan mengikat dari kesepakatan APS. Dengan
adanya kekuatan mengikat kesepakatan APS ini, maka tidak perlu lagi diulang atau
diperiksa oleh pengadilan atau arbitrase. Di sini negara melalui undang-undang mempunyai
peran yang sangat penting. Peran ini adalah mengupayakan agar kesepakatan APS dapat
disamakan dengan putusan pengadilan atau putusan arbitrase, dimana kesepakatan tersebut
dapat mempunyai kekuatan eksekutorial. Hal ini sebetulnya bukan hal yang aneh mengingat
dalam hukum acara perdata, akta perdamaian pun dapat dimintakan penetapan14.

Penutup
Sudah saatnya APS dikembangkan di Indonesia. Untuk itu langkah yang pertama
adalah memberikan insentif agar para pihak mau untuk menyelesaikan sengketanya melalui
APS. Insentif ini berupa campur tangan negara dengan membuat undang-undang tentang
APS, yang antara lain mengatur mengenai kekuatan hukum dari hasil kesepakatan yang
dicapai melalui APS. Banyak hal positif yang terdapat dalam APS antara lain berkurangnya
yang harus diselesaikan oleh pengadilan dan rasa keadilan muncul dari para pihak yang
bersengketa. Oleh karena itu, perlu pengaturan APS dalam sebuah undang-undang.

14Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR Kajian alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, ELSAM, Jakarta,
1997.
13

Daftar Pustaka
Rahardjo, Satjipto, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992.
Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986.
Prinst, Darwan, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djembatan, Jakarta 1998.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1981.
Sugandhi, R., KUHP Dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981.
I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT Fikahati Aneska,
Jakarta, 2009.
Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR), dalam http://www.legalitas.org/node/21.
http://budi399.wordpress.com/2010/03/13/analisis-penyelesaian-tindak-pidana-
penganiayaan-melalui-pilihan-penyelesaian-sengketa-adr/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/1909002-mengenal-adr-alternative-dispute-
resolution/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/1904935-pilih-adr-atau-pengadilan/
http://www.undp.org/evaluation/documents/ADR/ADR_Reports/Indonesia/ADR-
Indonesia.pdf
http://id.shvoong.com/society-and-news/news-items/2021924-penanganan-masalah-
melalui-alternative-dispute/

Daftar Riwayat Penulis


Agus Subagyo, S.IP., M.Si, Adalah Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP-
UNJANI Cimahi dan Peneliti Non Organik Ditjianbang Sespim Polri Lembang.

Anda mungkin juga menyukai