Sebelum menjelaskan tentang pengertian arbitrase, ada baiknya dijelaskan pengertian tentang arbiter
terlebih dahulu. Arbiter dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya
Pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia pasal 15, arbiter diistilahkan dengan wasit.[1] Arbiter dalam Arbitration
Act 1950 negara Inggris, selain menggunakan istilah arbitrator juga dipakai istilah umpire yang pengertiannya sama
dengan scheidsman dalam bahasa Belanda. Istilah dalam pengertian ini lebih ditujukan kepada majelis arbitrase atau
arbiter tunggal.[2]
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter atau wasit
atau umpire adalah seorang pihak ketiga yang netral yang dapat dipilih oleh para pihak yang
bersengketa berdasarkan kesepakatannya atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri maupun
suatu lembaga arbitrase yang bertugas untuk membantu mereka dalam penyelesaian
sengketanya. Pada prinsipnya tugas dari pada seorang arbiter adalah memeriksa, mengadili dan
memutus sengketa yang diserahkan kepadanya baik secara konsiliasi atau perdamaian maupun
melalui suatu keputusannya.
A.
Pengertian arbitrase
Dalam bab pertama secara singkat telah dibicarakan tentang pengertian arbitrase ini,
namun dalam pragraf ini akan dicoba untuk membahas lebih khusus dan spesifik. Seperti telah
dijelaskan pada pragrap pertama, bahwa arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian
sengketa (disputes) perdata (pivate) diluar pengadilan (non-litigation) dengan dibantu oleh
seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang bersifat netral yang diberi kewenangan
untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi.[4]
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase
(arbitration clause), yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum maupun setalah
timbulnya sengketa.
Arbitrase apabila dilihat dari suku katanya berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare, yang
mempunyai arti kebijaksanaan. Oleh karena itu R. Subekti dalam bukunya yang berjudul
Arbitrase Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa
yang proses dibantu oleh seorang pihak ketiga dengan menggunakan kebijaksanaannya.[5]
Sedangkan dalam islam arbitrase sering disebut dengan istilah al-tahkim yang merupakan bagian
dari al-qadla (pengadilan).[6]
Pengertian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan arbitrase itu sendiri dapat
menimbulkan kesalahpahaman pengertian tentang arbitrase itu sendiri. Hal ini dikarenakan
pengertian yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa tidak akan mengindahkan
norma-norma hukum lagi dan hanya menyandarkan pada kebijaksanaannya saja. Pengertian ini
adalah keliru sebab seorang arbiter atau majelis arbitrase dalam memeriksa, mengadili dan
memutus suatu sengketa terikat dengan norma-norma hukum perundang-undangan yang ada,
dengan kata lain arbiter dalam memutus suatu sengketa tidak hanya didasarkan pada kebebasan
arbiter semata. Oleh sebab itu kemudian R. Subekti memberikan pengertian tentang arbitrase
sebagai berikut ;
Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang
diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.[7]
Sedangkan menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury memberikan definisi tentang
arbitrase adalah sebagai berikut ;
Suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin
agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan
mereka didasarkan pada dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk
menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.[8]
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase
adalah ;
1.
2.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dibuat
secara tertulis baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa.
3.
Dalam proses penyelesaiannya, para pihak dibantu oleh seorang pihak ketiga yang netral yang
disebut dengan istilah arbiter.
4.
Arbiter atau wasit dapat dipilh langsung oleh para pihak dapat juga ditunjuk oleh pengadilan
negeri atau suatu lembaga arbitrase.
5.
B.
Keputusan yang diberikan oleh arbiter atau wasitnya bersifat final dan binding.
Jenis-Jenis Arbitrase
Mengacu pada Konvensi-Konvensi Internasional seperti ; Convention of the Settlement of
Invesment Disputes Between State and National Other States atau Convention on the
Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Award maupun berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang terdapat dala UNCITRAL Arbitration Rules, maka jenis-jenis arbitrase dapat
diklasifikasikan sebagai berikut ;
Arbitrase ad hoc (volunter)
Arbitrase ad hoc adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun
sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat selesainya sengketa tersebut.
Pembentukan arbitrase ad hoc ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Dalam arbitrase ad hoc ini formalitas-formalitas dan prosedur pelaksanaan arbitrase,
diserahkan atau ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Formalitas dan prosedur
yang diberikan untuk ditentukan oleh para pihak sebelum dilaksanakannya proses arbitrase
tersebut seperti ; penentuan tempat dimana arbitrase dilangsungkan, jumlah arbiter, peraturan
beracaranya, cara pemilihan arbiter dan bagaimana pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri
nantinya. Gunawan Wijaya memberikan definisi tentang arbitrase ad hoc ini adalah sebagai
berikut ;
Suatu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan sengketa
tertentu, arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu yaitu sampai sengketa
tersebut diputuskan.[9]
Sumargono memberikan definisi tentang arbitrase adalah sebagai berikut;
Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau
dengan kata lain arbitrase ad hoc bersifat insidentil.[10]
Dari kedua pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa arbitrase ad hoc ini adalah
suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa.
Dalam jenis arbitrase ini para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana
cara pemilihan arbiter dilakukan, kerangka kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif
dari arbitrase.[11] Oleh karena itu Suyud Sumargono mengatakan bahwa ciri pokok dari arbitrase
ad hoc ini adalah penunjukan arbiternya secara perorangan.
Arbitrase Institusional (institusional arbitration)
Dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958 arbitrase institusional ini disebut dengan
istilah permanent arbitral body.[12] Hal ini dikarenakan bentuk dan sifat dari arbitrase ini
sendiri, yaitu suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu dan bersifat tetap atau
permanent. Menurut Gunawan Wiajaya arbitrase institusional adalah lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja didirikan oleh suatu organisasi tertentu dan
bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.[13]
Sifatnya yang permanent dan menetap dari badan arbitrase institusional ini merupakan
suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat
permanent atau tetap pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa, dengan
perkataan lain bahwa badan arbitrase institusional ini sudah berdiri sebelum timbulnya sengketa.
Hal ini adalah merupakan suatu pembeda antara badan arbitrase institusional dan arbitrase yang
bersifat ad hoc, karena arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setelah timbulnya
sengketa.
Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad hoc ini,
maka dalam tataran prakteknya sering mengalami hambatan seperti; kesulitan dalam melakukan
negosiasi, menetapkan aturan-aturan prosedural dan penetapan cara pemilihan arbiter yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Kelemahan-kelemahan tersebut di atas secara tidak mutlak
merupakan kelebihan dari badan arbitrase institusional.
Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas, maka para pihak yang bersengketa
sering memilih badan arbitrase yang bersifat institusional dalam rangka penyelesaian sengketa
yang mereka hadapi. Dengan kata lain pada tataran praktek arbitrase yang bersifat institusional
ini lebih diminati karena dirasakan mempunyai keunggulan dibanding arbitrase yang bersifat ad
hoc.
Badan arbitrase institusional ini apabila dilihat dari sudut ruang lingkupnya, maka dapat
diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu;
domisili yang sama, sistem dan budaya hukum yang sama. Sedangkan menurut Gunawan Wijaya
arbitrase nasional adalah arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya
meliputi kawasan negara yang bersangkutan.[15] Dari uraian di atas tentang arbitrase nasional,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu arbitrase dapat dikatakan bersifat nasional apabila ;
1. Unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrasenya hanya bersifat nasional.
2. Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat dari kawasan atau teritorialnya.
Beberapa contoh arbitrase institusional nasional antara lain ;
a.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia, merupakan badan arbitrase nasional negara Indonesia yang
didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
b. The Netherlands Arbitration Institute, yaitu pusat arbitrase nasional negara Belanda.
c.
The Japanese Commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang
dalam lingkungan KADIN Jepang.
B.
Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan antara arbitrase nasional dengan arbitrase
internasional. Perbedaan kedua jenis arbitrase ini terletak pada unsur-unsur yang terdapat di
dalam perjanjian arbitrase itu sendiri. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa suatu arbitrase
dikatakan bersifat nasional apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrase
tersebut hanya mengandung unsur-unsur yang bersifat nasional, sedangkan arbitrase
internasional adalah suatu arbitrase yang di dalam perjanjian arbitrasenya terdapat unsur-unsur
asing.
Adapun contoh-contoh daro lembaga arbitrase ini antara lain ;
1.
2.
The International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID). Arbitrase ini adalah
badan arbitrase yang bersifat internasional yang mengatur tentang sengketa investasi yang
berskala internasional.
3.
perniagaan;
perbankan;
keuangan;
penanaman modal;
industri;
dikatakan bahwa obyek sengketa arbitrase hanyalah sengketa dalam ruang lingkup hukum
perdagangan yaitu; di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal dan industri.
Ketentuan ini secara logis analogis dapat dikatakan bahwa suatu klausula arbitrase yang obyek
sengketa (hal tertentu) di luar ruang lingkup atau di luar bidang-bidang tersebut di atas adalah
batal demi hukum.
Pada pragraf terdahulu syarat sahnya perjanjian ini oleh R. Subekti dikelompokan
kedalam dua kelompok yaitu syarat subyektif dan obyektif. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan apabila salah satu dari kedua kelompok syarat sahnya
perjanjian tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian. Menurut beliau suatu perjanjian yang
tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila
suatu perjanjian tidak terpenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi
hukum.[23]
Pengertian antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum adalah berbeda satu sama
lain. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan mempunyai pengertian bahwa terhadap perjanjian
tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan oleh salah satu pihak yang merasa
haknya dirugikan dengan keadaan tersebut, dengan kata lain perjanjian tersebut adalah sah
apabila tidak dipermasalahkan oleh pihak yang dirugikan. Suatu perjanjian batal demi hukum
mempunyai pengertian bahwa, perjanjian tersebut sejak semula adalah tidak sah meskipun tidak
ada upaya pembatalan dari salah satu pihak. Oleh karena itu perjanjian yang batal demi hukum
ini sejak semula adalah tidak ada. Jadi secara analogi hak-hak dan kewajiban yang melekat di
dalam perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum atau hapus secara otomatis.[24]
Syarat perjanjian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan klausula arbitrase maka
klausula arbitrase tersebut harus merupakan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam
bentuk tertulis, harus dibuat oleh para pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum, obyek
kesepakatan tersebut harus jelas serta harus mengenai sebab yang halal. Jadi suatu klausula
arbitrase harus memenuhi keempat syarat tersebut di atas agar klausula arbitrase tersebut sah
secara hukum dan dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Klausula arbitrase yang dibuat
para pihak yang disebut di atas merupakan dasar hukum bagi semua pihak untuk menyelesaikan
sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari. [25]
Klausula arbitrase apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana
terdapat dalam pasal 7 yang berbunyi para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi
diantara mereka diselesaikan melalui arbitrase. Kata menyetujui dalam pasal tersebut
membuktikan bahwa suatu sengketa hanya dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase apabila
telah sama-sama disetujui para pihak, dengan kata lain tanpa adanya persetujuan dari para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase maka sengketa tersebut tidaklah dapat
diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Hal ini sejalan dengan syarat sahnya perjanjian yang
disebutkan di atas.
Kata persetujuan dalam pasal tersebut di atas apabila dikaitkan dengan pasal 9 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 maka persetujuan tersebut harus dalam bentuk tertulis. Untuk lebih
jelasnya di bawah ini dituliskan bunyi dari pasal tersebut yaitu;[26]
(1)
Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
persetujuan mengenai hal tersebu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani para pihak.
(2)
Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris.
(3)
a.
f.
g.
h.
Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
(4)
Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat batal demi hukum.
Apa yang disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas
sebelumnya juga telah mendapat pengaturan dalam pasal 615 Reglement Verorodering (Rv) yang
menyebutkan bahwa pihak-pihak dapat mengikatkan dirinya satu sama lain untuk menyelesaikan
persengketaannya yang mungkin timbul kepada seorang atau beberapa orang arbiter.[27] Jadi
jauh sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini ada penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase telah dikenal di Indonesia.
nyata dikatakan bahwa semua (all) sengketa yang timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian
akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Jadi adanya kata semua (all) dalam klausula
arbitrase memberikan pengertian bahwa klausula arbitrase tersebut bersifat umum (general).
Jadi klausula arbitrase dikatakan bersifat umum apabila obyek sengketa yang akan
diarbitrasekan adalah bersifat umum atau keseluruhan, tentunya sengketa-sengketa yang dapat
diarbitrasekan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dituliskan contoh dari pada klausula arbitrase
yang bersifat umum.
A. Klausula Arbitrase Korea
all disputes, controversies, or differences which may arise between the parties, out of or in
relation to or in connection with this contract, or for the brech thereof, shall be finally settled by
arbitration in Seoul, Korea the Korean Commercial Arbitration and under the laws of Korea.
The award rendered by the arbitrator(s) shall be final and binding upon both parties concerned
Pada umumnya seluruh pemeriksaan perkara (sengketa) baik melalui jalur litigasi
maupun non-litigasi mempunyai prinsip cepat, singkat dan hemat. Prinsip ini juga ditegaskan
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 sebagaimana terdapat dalam
pasal 4 ayat (2) yang juga menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia
berpedoman pada asas; cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan
berbelit-belit.[33]
Prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, apabila
dihubungkan dengan prinsip pemeriksaan yang dianut oleh lembaga arbitrase adalah sejalan. Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang
menyebutkan; (1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180
hari (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.[34]
Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan cepat dan hemat
dalam arbitrase ini antara lain;
1. Karena diberikannya kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri proses
beracaranya, yang tentunya mereka akan memilih prosedur yang singkat dan cepat sehingga jelas
akan mendukung kearah penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien serta hemat biaya.
2. Pada umumnya pihak-pihak dalam arbitrase adalah subyek hukum yang memiliki itikad baik
(good faith) untuk sama-sama menyelesaikan sengketa. Sehingga penyelesaian sengketanya
menjadi lebih cepat karena adanya dukungan dari semua pihak.
3. Berperkara melalui lembaga arbitrase berarti berperkara di luar pengadilan. Keadaan ini secara
langsung akan membawa kearah penyelesaian sengketa yang cepat, singkat dan tepat hal ini
dikarenakan terpotongnya jalur birokrasi yang begitu panjang dan bertele-tele sebagaimana
biasanya terjadi pada lembaga pengadilan.
4. Keistimewaan yang dimiliki oleh putusan arbitrase itu sendiri yaitu final dan binding.
Keistimewaan putusan arbitrase ini meniadakan upaya hukum dalam arbitrase itu sendiri dengan
kata lain terhadap putusan arbitrase tersebut tertutup upaya hokum baik banding maupun kasasi.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip pemeriksaan yang cepat dan hemat
biaya adalah prinsip dasar yang harus dimiliki oleh lembaga arbitrase agar penyelesaian sengketa
melalui lembaga ini efektif dan efisien. Keadaan ini diharapkan dapat memberikan nilai lebih
bagi para pihak.
Mereka akan sukses bilamana di mata masyarakat mereka mempunyai image baik, begitu juga
sebaliknya mereka akan bangkrut bilamana mereka mempunyai image yang buruy di mata
mesyarakat.
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya keadaan tersebut di atas, maka salah satu kiat
yang dilakukan para pebisnis ini adalah menyelesaikan sengketanya dengan para koleganya
melalui jalur non litigasi seperti; negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dipilhnya caracaranya tersebut di atas, selain bertujuan untuk menjaga nama baik para pihak juga diharapkan
sengketa tersebut dapat selesai dengan segera serta mendapatkan putusan adil dan fair.
Prinsip pemeriksaan tertutup untuk umum ini diatur dalam pasal 27 Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 yang berbunyi semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan secara tertutup.[37] Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa para arbiter atau
arbiter maupun para pihak dalam memeriksa sengketa harus senantiasa dapat menjaga segala
informasi yang merupakan rahasia bagi para pihak. Oleh karena itu kepada pihak yang dengan
sengaja mengimformasikan (mempublikasikan) suatu berita yang bersifat rahasia sudah
semestinya diberikan hukuman yang setimpal.
Ketentuan sebagaimana terdapat dalam pasal 27 ini apabila ditinjau lebih jauh selain
merupakan suatu keharusan (imperative) juga akan memberikan keuntungan bagi semua pihak
dalam arbitrase itu sendiri. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa salah satu alasan memilih
lembaga arbitrase adalah proses pemeriksaannya yang bersipat disclousure ini. Oleh karena itu
ketentuan ini merupakan wujud dari keinginan para pihak.
2.4. Kelemahan dan keunggulan lembaga arbitrase
A. Kelebihan dan keuntungan lembaga arbitrase
Tumbuh kembangnya lembaga arbitrase dewasa ini tidak terlepas dari kelebihan yang
dimiliki oleh lembaga arbitrase itu sendiri bila dibandingkan dengan lembaga pengadilan.
Adapun kelebihan-kelebihan tersebut seperti; adanya kewenangan yang diberikan kepada arbiter
untuk memutus sengketa berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), artinya arbiter
dalam memeriksa dan memutus sengketa tidak hanya berpatokan pada aspek hukum semata
melainkan juga harus memperhatikan kehendak dan keinginan dari masing-masing pihak.[38]
Konsekuensi dari prinsip putusan yang didasarkan pada keadilan dan kepatutan adalah
terakomodirnya kepentingan para pihak dalam putusan yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase.
Pengambilan keputusan dalam arbitrase selain didasarkan pada keadilan dan kepatutan
juga harus didasarkan pada situasi dan kondisi pihak-pihak yang bersengketa (kompromistis).
Prinsip ini akan berakibat langsung pada putusan yang win-win solution .[39] Hal lain yang
merupakan suatu kelebihan berperkara melalui lembaga arbitrase ini adalah diberikannya
kebebasan bagi para pihak untuk menentukan sendiri ketentuan hukum acara mereka, ketentuan
ini ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan;
[40]
(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara
arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini.
Dari bunyi pasal tersebut di atas, jelas terlihat bahwa prosedur beracara dalam arbitrase
bebas untuk ditentukan oleh para pihak dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang arbitrase ini sendiri. Kebebasan yang diberikan kepada para pihak ini untuk
menentukan sendiri hukum acaranya memberikan keuntungan kepada mereka karena mereka
dapat memilih hukum acara yang singkat dan sederhana sehingga lebih efisien. Keadaan ini
berbeda bila berperkara melalui lembaga pengadilan yang kesemuanya telah ditentukan sendiri
dalam undang-undang yang pada kenyataannya sangat birokratis dan menjadikan penyelesaian
sengketa tersebut berbelit-belit dan bertele-tele sehingga tidak efektif.[41] Keuntungan lain dari
prinsip kebebasan ini adalah didapatkannya putusan yang adil dan fair (obyektif) karena putusan
tersebut diberikan oleh arbiter yang sama-sama dipilih (dipercaya) para pihak. Keadaan ini tidak
didapatkan bilamana berperkara di pengadilan yang hakim-hakimnya telah ditentukan sendiri
oleh kepala instansi yang bersangkutan, sehingga ada kemungkinan terjadinya sifat berat sebelah
mengingat hal ini sering terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia.[42]
Alasan lain yang menjadikan berperkara melalui lembaga arbitrase lebih menguntungkan
para pihak adalah sifat putusannya yang final dan mengikat.[43] Pengertian final adalah putusan
arbitrase tersebut merupakan putusan akhir, dengan kata lain terhadapnya tertutup upaya hukum.
Mengikat artinya para pihak dalam putusan arbitrase tersebut harus tunduk serta wajib
melaksanakan putusan tersebut dengan suka rela. Keadaan ini amat membantu para pihak yang
bersengketa khususnya dalam hal eksekusi.
Erman Rajagukuguk mengatakan bahwa kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh lembaga
arbitrase antara lain; [44]
1.
Karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.
2.
3.
Pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan
waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat
pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.
4.
Adanya anggapan bahwa pengadilan di Indonesia akan bersikaf subyektif kepada mereka karena
hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka.
5.
Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan
hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka.
6. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang
kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.[45]
Adi Sulistiyono, dalam sebuah makalahnya juga menyebutkan bahwa kelebihankelebihan dari lembaga arbitrase antara lain;[46]
1. Mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya
kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan
dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2.Meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak
yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.
3.Memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
4.Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan
yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan
kasasi.
5.Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.
6.Bersifat tertutup rahasia (confidential).
7.Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihakpihak bersengketa di masa depan masih terjalin dengan baik.
8.Mengurangi merebaknya permainan kotor dalam pengadilan.
[12]Ibid.
[13]Gunawan Wijaya, Op. Cit. hal 52.
[14]Ridwan Widiastoro, Op. Cit. hal. 164.
[15]Gunawan Wijaya, Op. Cit.
[16]Ibid.
[17]Sudargo Gautama, Op. Cit. hal. 4.
[18]Syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Faktor penyebab konflik antar negara ini dapat bersumber dari berbagai hal,
diantaranya mengenai perbatasan negara, sumber daya alam, kerusakan
lingkungan, perdagangan, sosial, ekonomi dan lain-lain. Dalam sengketa perbatasan
sering timbul masalah jika tidak terjadi kesepakatan bilateral mengenai tapal batas
negara, jika kedua negara berbatasan langsung. Di mana tapal batas
mempengaruhi kewenangan kedaulatan negara serta menyangkut kekayaan alam
Pada umumnya teknik penyelesaian sengketa secara damai terbagi menjadi dua
kategori yaitu penyelesaian secara politik (political approach) dan penyelesaian
melalui putusan peradilan (adjudication).2[2] Penyelesaian secara politik terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu melalui jalan negosiasi (negotiation), pencarian fakta
(fact finding), melalui jasa-jasa baik (good offices), mediasi (mediation) dan
konsiliasi (conciliation). Penyelesaian melalui putusan peradilan melibatkan pihak
ketiga yang memberikan putusannya tanpa ada unsur kepentingan terhadap kasus
tersebut. penyelesaian jenis ini dapat dilakukan melalui proses arbitrase (arbitraton)
atau melalui putusan organ pengadilan. Sedangkan cara kekerasan dilakukan
melalui peperangan dengan kekuatan militer. Cara perang untuk menyelesaikan
sengketa sebenarnya telah diakui dan dipraktekkan sejak lama. Bahkan perang
telah dijadikan sebagai alat instrumen dan kebijakan luar negeri, terutama bagi
negara-negara maju saat ini.
Penyelesaian secara damai ini ada yang hanya melibatkan pihak-pihak yang
bersengketa ataupun melibatkan pihak ketiga sebagai penengahnya. Salah satu
penyelesaian sengketa di atas yang melibatkan pihak ketiga adalah mediasi,
dimana pihak ketiga yang menjadi penengah di sebut sebagai mediator, yang dapat
berasal dari negara yang netral, organisasi internasional atau individu. Mediator ini
ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi negara yang bersengketa. Biasanya
1
2
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai mediasi dan arbitrase yang di tinjau
secara umum dari segi teori dan prakteknya. Dengan melihat penerapannya dalam
studi kasus di Bosnia Hercegovina. Untuk memahami mediasi dan arbitrase
internasional dari segi politik dan fungsi strategisnya.. Serta untuk mempelajari
metode dan proses dari mediasi dan arbitrase internasional.
Dalam tugas akhir perkuliahan ini metode penulisan yang dipergunakan adalah
menggunakan metode deskriptif analisis dimana sumber tulisan didapat dari bahan
literatur primer dan sekunder, dan juga menganalisis praktek yang diterapkan
dalam kasus sengketa di negara Bosnia-Hercegovina yang menerapkan mediasi dan
Arbitrase dalam meyelesaikan konflik mereka.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
bagaimana hubungan teori dan praktek mediasi dan arbitrase dalam kasus BosniaHercegovina?
II.
Bentuk mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga (mediator) yang netral dan
independen dalam suatu sengketa. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya
suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara,
individu, organisasi internasional, dan lain-lain. Mediator dapat bertindak baik atas
inisiatifnya sendiri, menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran
untuk menjalankan fungsinya atas permintaan sari salah satu atau kedua belah
pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, agar mediator dapat berfungsi, diperlukan
kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama. 5[5]
3
4
5
The employment of the procedures of good offices and mediation involves the use
of a third party, whether an individual or individuals, a state or group of states or an
international organisation, to encourage the contending parties to come to a
settlement. Unlike the techniques of arbitration and adjudication, the procces aims
at persuading the parties to a dispute to reach satisfactory terms for its termination
by themselves. Provisions for settling the dispute are not prescribed.
1. Kelebihan Mediasi
a.
b.
Dalam mediasi pihak ketiga ikut serta dalam perundingan sebagai penengah dan
punya peran aktif dalam penyelesaian sengketa.
c.
d.
e.
f.
Saran dari negosiator tidak mengikat sehingga para pihak masih bebbas untuk
menentukan keputusannya sendiri.
g.
Bentuk proposal dari mediasi masih tidak formal dan berdasarkan informasi yang
diberikan masing-masing pihak.
h.
Mediasi dapat dimintakan oleh para pihak ataupun ditawarkan secara spontan oleh
pihak luar.
i.
j.
2. Kekurangan Mediasi
a.
b.
dari pihak mediatornya sendiri, mediasi ini merupakan tugas yang melelahkan dan
sering tidak memberikan penghargaan yang cukup, serta memerlukan kesabaran
ekstra untuk menghadapi para pihak yang bersengketa.
c.
mediasi tidak dapat dipaksakan jika para pihak atau salah satu pihak tidak mau
melakukannya.
d.
e.
jika salah satu pihak merasa yakin untuk memenangkan persengketaan maka
tidak akan mau untuk dilakukan mediasi, sebab dalam mediasi selalu dicari jalan
win-win solution.
f.
pihak mediator tidak akan diterima jika diangap punya pemahaman sedikit tentang
posisi para pihak, tidak simpatis, terpengaruh pada pihak lain atau dianggap
memiliki kepentingan pribadi dalam sengketa.
g.
para pihak harus bersiap untuk mengorbankan tujuan asal yang ingin dicapai
untuk mencapai kompromi bersama.
3. pemilihan mediator
dalam pemilihan mediator di kenal tiga cara yang dapat dibedakan menjadi:
1.
2.
3.
mediator yang disarankan atau ditawarkan oleh pihak ketiga bisa berupa negara,
organisasi internasional ataupun NGO.
dalam mediasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan para pihak masing-masing yang
bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu
atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Proses mediasi menghasilkan
suatu kesepakatan antara para pihak.(mutually acceptable solution). Pada dasarnya
kesepakatan negara yang bersengketa ini lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan
peradilan, karena merupakan hasil dari Kesepakatan para pihak. Artinya
kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan yang telah mereka pilih untuk
disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka. Kekuatan putusan mediasi ini
tergantung dari itikad baik para pihak untuk mematuhi putusan mediasi itu.
Sedangkan dalam putusan pengadilan itu karena ada pihak lain yang memutuskan,
yaitu hakim. Dengan kata lain putusan pengadilan itu bukan hasil kesepakatan para
pihak.
Berjalannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang mediator. Mediator
memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses mediasi. Terdapat
banyak teori mengenai tugas seorang mediator. Namun secara umum terdapat 7
tugas seorang mediator.
a.
mediator harus menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa agar
para pihak tidak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya.
b.
mediator juga harus memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan
mengumpulkan serta menganalisa proses mediasi dan latar belakang sengketa. Hal
ini penting untuk dilakukan agar mediator dalam mengarahkan mengetahui jalur
penyelesaian sengketa ini.
c.
d.
e.
f.
g.
5. Proses Mediasi
Terkadang kita berbicara sesuatu tapi belum tentu lawan bicara kita menangkap
apa yang kita maksudkan. Mediator bisa membatasi atau menginterupsi salah satu
pihak kalau misalnya yang dibicarakan itu menyangkut hal yang sensitif bagi pihak
lain. Sebelum melakukan proses mediasi, para pihak sudah harus memasukkan data
tentang persengketaan. Data ini sebenarnya cukup melalui pengumpulan data, dan
hasilnya dianalisis untuk kemudian disusun rencana atau strategi mediasi.
Mediator juga dapat melakukan pencarian data-data ke lapangan agar dia lebih
sensitif. Namun lagi-lagi, mediator disini bukan sebagai pihak yang memutus,
melainkan lebih kepada pihak yang mengkondisikan agar pertemuan dapat
melahirkan kesepakatan-kesepakatan berdasarkan kepentingan para pihak. Dalam
teori mediasi, analisa konflik dari bahan-bahan yang sudah dikumpulkan tadi dapat
dilakukan dengan memahami apa yang disebut circle of conflict/ lingkaran konflik.
Dalam lingkaran konflik itu ada 5 kategori masalah yang dapat dijadikan dasar
dalam melakukan analisa konflik. Misalnya masalah hubungan antara para pihak,
seperti ada apa sebenarnya diantara para pihak?, kenapa keduanya tetap
bersikeras dengan posisinya, pernah bersengketa sebelumnya atau bagaimana?
dan sebagainya. Kemudian masalah ketidaksepakatan tentang data. Misalnya ketika
dikonfrontir jawabnya selalu mengelak. Kemudian juga masalah kepentingan yang
bertentangan. Misalnya bisa jadi pihak yang satu maunya kanan, yang lainnya lagi
maunya ke kiri. Kemudian masalah hambatan struktural dan masalah perbedaan
tata nilai yang kesemuanya sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai acuan bai
mediator.
1.
karakter ini mempengaruhi prospek dari negara, dan strategi yang mereka gunakan
untuk memecahkan konflik. Prinsip yang berlawanan dalam sistem internasional,
pola kesejajaran dan distribusi kemampuan kekuatan semua menghasilkan
pendekatan yang berbeda-beda bagi setiap konflik. Lingkungan internasional
bipolar seperti yang dulu pernah terjadi antara dua kekuatan negara adikuasa AS
dan Uni Sovyet , terlihat lebih menimbulkan kestabilan pada dunia internasional dari
pada sistem multipolar.
2.
karakteristik asli dari konflik di lihat dari isu yang di fokuskan, menentukan
seberapa penting penyelesaian dan pengelolaan konflik tersebut. beberapa isu
seperti kepercayaan atau agama, nilai-nilai fundamental dan integritas teritorial
merupakan isu penting, dan cenderung membangkitkan masyarakat internasional
untuk membantu menyelesaikan konflik itu. Karena biasanya isu diatas sulit untuk
diselesaikan hanya melalui jalur diplomatik serta dapat berlangsung lama yan
akhirnya membuahkanjalan kekerasan untuk menyelesaiakan konflik jika tidak juga
teratasi. Aspek lain yang mempengaruhi jalannya penyelesaian mediasi adalah
jumlah isu dalam konflik itu, kekakuan masing-masing pihak terhadap pendirian
masing-masing, apakah isu itu terkait dengan kepentingan yang berwujud berupa
konflik sumber kekayaan alam (tangible interests) atau konflik yang tidak berwujud
seperti persengketaan mengenai nilai-nilai yang dianut (intangible interest). Kedua
hal ini dapat mempengaruhi baik durasi maupun metode penyelesaian konfliknya.
3.
hal ketiga yang mempengaruhi penyelesaian konflik adalah karakter internal dari
para pihak yang terlibat. Yaitu seberapa banyak struktur pejabat negara yang
berpengaruh yang cenderung memiliki kebijakan untuk menyerang dengan
kekerasan atau lebih memilih bentuk lain dari penyelesaian konflik. Sistem dasar
dari suatu negara mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang akan mereka buat.
Seperti sebuah argumen yang menyatakan bahwa negara demokrasi lebih
cenderunng menggunakan metode damai dalam menyelesaikan sengketa dari pada
negara non demokrasi, hal ini karena norma intern, ekspresi liberal atau adanya
kendala pemilihan.
2.
a.
bentuk pemerintahan (polity); bentuk pemerintahan dari negara-negara
mempengaruhi karakteristik penerimaan mereka dalam kesepakatan mediasi,
seperti negara demokrasi, otoriter, komunis, sosialis, dan lain-lain.
b.
kekuatan (power); kekuatan para pihak juga menentukan cepat atau
tidaknya, contohnya jika sengketa terjadi antara dua negara yang sama-sama
berkekuatan seimbang maka masing-masing pihak cenderung untuk
mempertahankan posisinya, berlainan jika salah satu pihak lebih lemah dari negara
lainnya maka dimungkinkan negara lemah itu untuk mengalah lebih banyak dari
negara yang kuat.
B. Perilaku (Behavioural)
1.
2.
B. Teori Arbitrase
Ada beberapa batasan dan definisi tentang arbitrase. Secara luas arbitrase dapat
diartikan sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga
(badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela
untuk memutuskan sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat
final dan mengikat.7[7]
Definisi arbitrase yang diadopsi dari Treaty of Lausanne case dan kemudian diikuti
oleh Komisi Hukum Internasional dalam kasus maritim delimitation and Territorial
Question (Bahrain v Qatar) adalah a procedure for the settlement of dispute
between states by binding award on the basis of law and as a result of an
undertaking voluntarily accepted.9[9]
antara Amerika Serikat dan Belanda yang duputus oleh arbitrator tunggal Max
Huber merupakan salah satu bukti peranan badan ini terhadap hukum
internasional.10[10]
c.
menyatakan bahwa para pihak menundukkan diri kepada ketentuan arbitrase yang
diatur dalam UAR.
a.
f.
g.
i.
j.
Ada dua perbedaan utama antara badan arbitrase internasional publik dengan
pengadilan internasional.
1. Kelebihan Arbitrase
d.
sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat
e. apabila para pihak menginginkan maka arbitrase itu dapat dilaksanakan secara
rahasia. Contoh persidangan yang dilakukan secara rahasia adalah persidangan
atau dengar pendapat secara lisan yang tertutup dalam kasus Rainbow Warriors
Arbitration juga dalam kasus Anglo-French Continental Shelf.11[11]
f.
g.
para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.
2. Kelemahan Arbitrase
a. arbitrase hanya dapat dilakukan jika kedua belah pihak sepakat untuk itu,
sedangkan dalam masyarakat internasional umumnya negara enggan untuk
memberikan komitmennya untuk menyerahkana sengketa kepada badan-badan
pengadilan interansional termasuk badan arbitrase internasional.
h.
11
i.
proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tisak mejamin putusannya akan
mengikat. Hukum internasional tidak menjamin bahwa pihak yang kalah atau tidak
puasdengan putusan yang dikeluarkan akan melaksanakan putusan tersebut.
j.
l.
Pasal 13 Covenant of the League of Nations. Pasal 13 ayat (1) Covenant antara
lain mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyerahkan sengketa mereka
kepada badan arbitrase (atau pengadilan internasional) apabila sengketa itu tidak
dapat diselesaikan secara diplomatik. Ketentuan ini diperkuat dengan dibentuknya
suatu protokol di Jenewa tahun 1924. tetapi protokol itu tidak berlaku karena negara
yang meratifikasinya sedikit.
m. The General Act for the Settlement of International Dispute pada tanggal 26
September 1928. dibuatnya The General Act ini dipengaruhi oleh kegagalan
Protokol 1924. Suatu Komisi khusus, yaitu The convention on Arbitration and
Security dibentuk untuk merumuskan The General Act. Perjanjian ini berlaku pada
tanggal 16 Agustus 1929 dan diratifikasi oleh 23 negara termasuk Perancis, Inggris
dan Italia.
4. Pemilihan Arbitrator
Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal yang paling vital adalah
penentuan pemilihan arbitratornya. Karena dalam putusan arbitrase berlaku
mengikat para pihak, serta tidak ada sarana banding sehingga kewenangan
arbitrator ini sangat besar dalam penentuan kasus. Meskipun telah di sepakati
bahwa peran arbitrator harus independent dan tidak memihak, namun perlu suatu
kejelian untuk memilih arbitrator agar nantinya tidak menghasilkan suatu putusan
yang merugikan para pihak.
Pada proses arbitrase para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan dan
mengangkat arbitrator yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Para
pihak, sebelum mengadakan pemilihan arbitrator dengan sendirinya akan
mempertimbangkan berbagai konsekwensi yang timbul dalam perkara tersebut.
Salah satunya adalah imparsialitas dari arbiter yang merupakan salah satu jaminan
terhadap kepercayaan, karena keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter harus
merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter dituntut harus
mampu meyakinkan pihak-pihak yang berperkara sebagai figur yang bebas dan
tidak memihak. Tanpa ada kepercayaan dari pihak-pihak bersengketa kepada
arbiter atau para arbiter, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan baik
sebab arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi berdasarkan kebenaran
dan kepatutan (ex aequo et bono).
12
Pada umumnya dalam Arbitrase di pakai tiga arbitrator panel, tapi tidak menutup
kemungkinan untuk menunjuk satu arbitrator jika jumlah yang disengketakan hanya
sedikit. Penunjukan panel tiga arbitrator biasanya melibatkan masing-masing pihak
dengan menunjuk satu arbitrator, kemudian kedua arbitrator terpilih itu akan
memilih arbitrator ketiga sebagai chairman. Penunjukkan arbitrator ini harus di
setujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Dalam The Jay Treaty tahun 1794 mensyaratkan tiga orang anggota arbitratornya.
The General Act 1928 mensyaratkan lima orang. The Hague Convention 1899 dan
The Hague Convention 1907 juga mensyaratkan lima orang. Biasanya badan
13
14
Dalam penentuan jumlah arbitrator, the United Nations Model juga menentukan
bahwa para pihak yangmenetapkan jumlah dan syarat-syarat arbitrator. Apabila
para pihak gagal menentukan arbitrator ini dalam jangka waktu tiga bulan maka
the United Nations Model akan memercayakan penentuan arbitrator kepada
presiden Mahkamah Internasional.
5. Hukum Acara
a.
e.
f. Apabila salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan, peradilan arbitrase
dapat memutus perkara untuk kepentingan pihak lainnya apabila tuntutan memiliki
landasan hukum yang kuat.
g.
Penyelesaian sengketa antara dua negara tentu akan sulit untuk dicari jalan
tengahnya jika permasalahan yang dihadapi cukup krusial bagi kedua negara. Disini
diperlukan penengah dari pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa karena dengan
adanya pihak ketiga maka akan memberikan tekanan pada para pihak untuk
mendorong para pihak menerima penyelesaian sengketanya.
III.
Kasus Bosnia-Hercegovina
A. Kasus Posisi
Ketika perhatian internasional tertuju pada sengketa Serbia Bosnia dan adanya
tuntutan terhadap kejahatan perang di sana, pergulatan penting pun terjadi di
Croat-Bosniac Federation of Bosnia-Hercegovina (negara Federasi). Dunia
internasional menyoroti Federasi ini dan fungsinya sebagai kunci dari keseluruhan
proses perdamaian. Transisi pembagian kekuasaan secara damai di Federasi
tidaklah mudah, namun dengan bantuan dan support masyarakat internasional,
dilakukan dorongan untuk mengadakan mediasi dan arbitrase dalam menyelesaikan
ketidakcocokan dalam menetapkan fungsi dan demokratisasi institusi.
Federasi itu terbentuk pada waktu peperangan 1994 dengan The Washington
Agreement antara pemerintahan Bosnia-Hercegovina dan Kroasia. Perjanjian ini
berisi konstitusi yang berdasarkan pada tiga level struktur yaitu pemerintahan,
daerah dan otoritas Federal. Mayoritas otoritas berada di dalam sepuluh daerah
(cantons). Kesulitan terbesar adalah dalam usaha untuk menjaga keseimbangan
antara kepentingan Kroasia dan Bosniacs. Konstitusi Federal membagi kedua
kelompok masyarakat anggota pemilih ini secara seimbang, dan pada akhirnya,
semua legislasi harus disetujui oleh mayoritas anggota Dewan Federasi Kroasia dan
16
Bosniacs. Kedua kelompok itu, telah berulang kali menggunakan persyaratan (suara
pemilihan yang harus mayoritas) itu untuk menunda legislasi yang dirasa oleh
masing-masing kelompok merugikan pihaknya. Persyaratan ini sebenarnya
direncanakan untuk melindungi hak-hak kedua kelompok Bosnians dan Kroasian,
namun telah disalahgunakan untuk meningkatkan kepentingan nasionalist masingmasing kelompok.
Dewan Federasi itu akhirnya kehilangan fungsinya. Institusi kunci tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, dan masyarakat Kroasia tidak benar-benar bergabung
secara penuh dengan Republik Kroasia dari Herceg-Bosna. Meskipun mendapat
kritikan dari masyarakat internasional, masyarakat Bosnia Kroasia telah menentang
semua usaha untuk larut dengan Herceg-Bosna. Institusinya dan administrasinya
terus eksis berlanjut, dan membuat halangan besar terhadap penegakan fungsi
Institusi Federasi.
Tugas dari Mediator Federasi adalah untuk menegosiasikan dengan para pihak
untuk menyelesaikan semua sengketa, memperhatikan secara khusus pandanganpandangan para pihak terhadap isu-isu khusus, dan untuk mengevaluasi
kemungkinan untuk berkompromi. Jika para pihak berhasil berkompromi, perjanjian
itu secepatnya didokumentasi dan ditandatangani oleh wakil-wakil yang berwenang.
Jika para pihak tidak dapat berkompromi, atau salah satu pihak tidak mematuhi
perjanjian yang telah ditandatangani, maka para pihak dapat mengajukan arbitrase
yang mengikat. Kontras dengan mediasi, proses arbitrase dalam menyelesaikan
sengketa melalui mekanisme hukum secara keseluruhan, dengan tidak ada celah
untuk tawar menawar. Para pihak menghadirkan kasus dan argumentasi legal
mereka, biasanya dalam bentuk tertulis, dan arbitrator kemudian akan membuat
keputusan yang tidak bisa di banding berdasarkan latar belakang hukum arbitrase.
Di masa lalu, keputusan arbitrase sering di tentang oleh pihak yang kalah, dengan
menanyakan pada mediator untuk menginterpretasi keputusan itu atau untuk
menegosiasi ulang permasalahan. Mediator, harus menolak tindakan tersebut,
karena mengutamakan sifat mengikat arbitrase. Arbitrase sendiri, diliputi resiko
yang banyak karena para pihak tidak dapat mempengaruhi hasilnya. Pihak yang
kalah di arbitrase, dalam pandangan di masa lalu, sering menyesali penolakannya
dahulu terhadap pengadopsian kompromi yang di tawarkan oleh mediator. Mediasi
pertama dilakukan pada Juni 1995, dan sejak itu hanya 15 daerah yang menerapkan
final arbitrase yang mengikat.
1. Issu Mediasi
Isu utama dari mediasi berkenaan dengan verifikasi mandat untuk Dewan
Pemerintah, pemilihan pemimpin Dewan, penunjukan delegasi untuk legislative
daerah (canton), pengembalian para pengungsi, kebebasan bergerak (freedom of
movement), dan diikuti oleh rencana pemilihan umum bulan September 1996 serta
pendirian institusi di Federal khususnya di level canton.
Verifikasi mandat merupakan problem yang sangat rumit. Pada awalnya anggota
Dewan pemerintah telah dipilih di tahun 1990 dari partai yang terdaftar. pada waktu
itu, Dewan pemerintah terbentuk sebelum perang berlangsung.Walaupun Dewan
pemerintah dibentuk sebelum pendirian Federasi, kedua partner Federasi menerima
Dewan ini sebagai Dewan pemerintah sementara yang sah sampai pemilihan
pemerintah yang akan dibentuk terpilih menggantikan mereka. Pemilihan
pemerintah, dijadwalkan bulan September 1996 namun belum lama berselang
ditunda oleh organisasi keamanan dan kerjasama di Eropa sampai 1997.
Selama masa perang banyak anggota dewan yang mati, hilang atau lari, dan harus
digantikan kedudukannya. Dalam Mostar agreement bulan May 1995, Kroasia dan
Bosniacs menyetujui, dalam kasus ini, orang yang berada di daftar selanjutnya dari
partai yang terdaftar itu yang akan menggantikan jabatan di Dewan. Sebelum
perang, prosedur ini dapat dilaksanakan tanpa masalah. Namun di dalam
kenyataannya sekarang, meskipun, jika delegasi itu tidak lagi berasal dari anggota
partai tapi dari latar belakang etnis atau delegasi itu adalah orang Kroasia atau
Bosniac perlu diputuskan lagi apakah dia dapat diterima sebagai pengganti. Jika
delegasi itu tidak dapat diterima sebagai pengganti, maka partai tersebut secara
khas akan berdebat atau memberi alasan seperti telah dikeluarkan dari partai,
mengundurkan diri, atau tinggal diluar negeri dan tidak lagi dapat dipekerjakan. Hal
ini menghambat jalannya Dewan Federasi karena jumlah anggota Dewan tidak
lengkap.
Mediator dan arbitrator, dalam putusan final di bulan Juni 1996, mengatur bahwa
semua anggota yang telah menduduki kursi Dewan sebagai hasil dari pemilihan
tahun 1990 akan dipertahankan dalam kedudukan mereka meskipun mereka
mengundurkan diri ataupun dikeluarkan dari partainya. Ini adalah prosedur standar
dalam demokrasi dibawah prinsip kebebasan mandat (freedom of mandate), yang
menyatakan bahwa setiap anggota dari Dewan Legislatif adalah independent dari
partainya atau keanggotaan partainya sejak saat dia masuk menjadi dewan dimana
dia telah secara bebas dipilih. Secara berlawanan, jika saat penggantian itu dia
tidak lagi sebagai anggota partainya, sebelum dia mengganti anggota dewan yang
mengundurkan diri, maka dia kehilangan haknya untuk menggantikan anggota yang
mengundurkan diri itu.
Penerimaan dari aturan ini telah menimbulkan suatu hal yang banyak
mencurigakan. Para partai menerima peraturan jika hal itu fair dan yang
menguntungkan mereka, dan menentang secara keras jika tidak menguntungkan.
Sebagai akibatnya, anggota dewan di beberapa daerah berusaha untuk menentang
tidak mau untuk melakukannya dalam jangka lama, dan Dewan, karena itu, tidak
dapat untuk bersidang dan bekerja menyelesaikan masalah-masalah yang banyak
pasca perang.
dengaan demikian membolehkan Dewan itu untuk memilih kandidat lain untuk
pemilihan.
Isu krusial lainnya dalam mediasi, bahwa sejumlah delegasi pemerintah juga dikirim
sebagai Dewan cantonal, jika bagian teritori itu tidak terletak didalam Federasi tapi
didalam Republik Srpska. Sebagai akibat dari pertempuran selama perang dan
penarikan garis perbatasan di Dayton, beberapa bagian pemerintahan terbagi
menjadi bagian dari Federasi dan Republik Srpska juga. Dalam Mostar Agreement,
anggota Federasi telah menyetujui bahwa jumlah delegasi untuk masing-masing
daerah bagian akan berkurang sesuai dengan persentase dari teritori yang terletak
diluar Federasi. Daerah bagian yang letak seluruhnya berada didalam Federasi akan
mendapatkan 5 delegasi, jika hanya 80 % dari teritori yang berada dalam Federasi
maka akan dapat 4 delegasi, dan seterusnya. Mediator dan arbitrator menetapkan
agreement ini tidak konstitusional karena daerah bagian tidak harus diperlakukan
dengan perwakilan yang terbatas jika teritorinya berkurang sebagai akibat perang
atau dayton agreement. Resolusinya adalah seluruh daerah bagian harus
mendapatkan lima perwakilan tanpa berdasarkan ukuran teritori mereka di dalam
Federasi.
2. Enforcement
Di beberapa daerah bagian, perjanjian mediasi dan aturan arbitrase tidak dapat
diterapkan karena para pihak tidak punya kemauan untuk melakukannya. Di kasus
yang lain, kompromi negosiasi yang baik telah dirusak oleh fungsionaris di level
atas. Untuk menyelesaikan hambatan ini, mediator mengajukan Federation
Implementation Council untuk menghilangkan individu-individu yang menghalangi
kemajuan. Konsul ini terdiri dari tiga anggota dari masyarakat internasional
bersama satu orang pihak Kroasia dan satu orang pihak Bosnia, yang mempunyai
hak untuk menginvestigasi kasus yang terkait dengan pejabat publik yang tidak
mematuhi kewajibannya dibawah hukum domestik atau perjanjian internasional
seperti Dayton Agreement, atau yang menghalangi kemajuan di constituent
mereka.
dikirim ke Dewan Federal di Sarajevo. Dalam pelaksanaannya meskipun hal itu telah
diagendakan pada Juni 2006, parlemen belum mengeluarkan hukumnya.
IV.
Penutup
Untuk menyelesaikan sengketa antar Negara secara damai terdapat beberapa
metode penyelesaian yang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Penggunaan metode penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga dalam hal ini
mediasi dan arbitrase dapat dilakukan oleh pihak yang bersengketa baik secara
sendiri atau pun dilaksanakan secara berjenjang seperti dalam kasus Bosniahercegovina. Dari segi teori, mediasi berada di bawah arbitrase dari tingkat
keformalan beracara dan prosedurnya. Sehingga biasanya negara yang ingin
menggunakan salah satu metode ini akan lebih mendahulukan mediasi dulu untuk
menyelesaikan sengketanya. Jika telah ditemui jalan buntu atau para pihak tidak
mau melaksanakan keputusan mediasi itu maka dapat di tempuh jenjang yang lebih
tinggi yaitu arbitrase.
Kedua metode penyelesaian sengketa ini dapat berhasil hanya jika ada itikad baik
dari para pihak untuk mematuhi hasil putusan yang diambil. Jika ada pihak yang
tidak mau menjalankan putusannya maka kedua usaha itu tidak akan berhasil di
implementasikan karena tidak adanya upaya pemaksaan (enforcement) atau sanksi
terhadap pelanggaran dari putusan tersebut.
Pada umumnya proses mediasi dan arbitrase yang dilaksanakan pada Negara
Bosnia-Hercegovina dapat dikatakan berhasil menyelesaikan sengketa, meskipun
kesemua itu kembali lagi bergantung pada itikad baik para pihak. Kesuksesan atas
proses mediasi dan arbitrase harus didukung oleh semua unsur para pihak yang
bersengketa juga kepada niat baik dari masyarakat internasional untuk membantu
proses rekonstruksi dan pemulihan keadaan pasca perang di negara itu.
DAFTAR PUSTAKA
D. J. Harriss, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, Sweet & Maxwell,
London, 2004.
Malcolm N. Shaw, International Law, Fourth Edition, Cambridge University Press, 1997.
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Black's Law Dictionary, St. Paul Minn, West Publishing Co, 1979.
justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary
litigation.
7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
8. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a
procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and
as a result of an undertaking voluntarily accepted. 2
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam
Arbitrase harus tertulis, bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
arbitrase adalah sebagai berikut : 3
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan;
dan
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa
pranata arbitrase ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia
Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de
Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615 sampai dengan 651 R.v. tersebut.
Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan
serta fungsi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau
pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan
oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi
bangsa Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikannya di luar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan
tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement
Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo
1849-63).
Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung
tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.4
B. Obyek Sengketa dalam Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui adjudikatif privat, yang putusannya
bersifat final dan mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999
disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa
sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui
arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999
yaitu :
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika
dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah
kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.5
C. Kelebihan Arbitrase
Di bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari
tinjauan undang-undang :6
Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam Tinjauan terhadap Arbitrase
Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia dalam buku Arbitrase di
Indonesia , menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu :
a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;
b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;
g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga
menyebutkan beberapa alasan yang menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase
demikian populer dalam transaksi dagang internasional, antara lain :
Dihindarkannya publisitas;
Tidak banyak formalitas;
Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;
Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;
Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
Lebih murah dan lebih cepat.
Mengutip penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan
bahwa pranata Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu
antara lain :
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses
dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Dari keterangan di atas dapat dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian
sengketa, misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih
menguntungkan apabila kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik dianggap sebagai
salah satu sarana mencapai tujuan perusahaan dan demi berlangsungnya sebuah perusahaan
tersebut, begitu juga dengan pihak yang tergolong orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa
mempercepat dicapainya solusi atas sebuah sengketa karen prosedural dan administratif juga
lebih mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai dengan
sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter yang dipilih bisa dari
arbiter yang ahli dalam bidang cyber law sehingga diharapkan putusan akan lebih diterima oleh
para pihak. Begitu juga dengan pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang
paling sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai
kesepakatan para pihak. Arbitrase diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan para pihak dan
mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang masuk kepada
kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan penyelesaian
sengketa alternatif.
D. Kekurangan Arbitrase dan ADR dalam Penyelesaian Sengketa
Meskipun ADR memiliki beberapa keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme
yang rentan terutama untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahankelemahan, di antaranya :7
a. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis,
bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh
kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga
ADR. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui
lembaga-lembaga ADR yang ada.
c. Lembaga ADR tidak mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun
keputusannya bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui fiat eksekusi
pengadilan. Jadi wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR,
sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur
waktu, perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.
e. Kurangnya kesediaan para pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya.
Budaya litigasi yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution, dan bukan
win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.
f. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR
hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu konvensi-konvensi seperti : Convention of the settlement of Investment
Disputes Between States and National of Other State atau Convention on the Recognition And
Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita dapat mengemukakan
beberapa jenis arbitrase yaitu :8
1. Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan
atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu
sampai sengketa itu diputuskan.
2. Arbitrase institusional;
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Karena
sering disebut permanent arbitral body . Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan
sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan
dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase
institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain
itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani telah selesai.
F. Keputusan Arbitrase
Putusan arbirase umumnya mengikat para pihak. Penaatan terhadapnya dipandang tinggi.
Biasanya putusannya bersifat final dan mengikat.9 Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para
tuntutan itu oleh BANI dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini
sesuai dengan verstek dalam HIR.14 Ini berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional
yang bersifat nasional karena arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja
didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan
sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase oleh
BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu
arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani telah selesai dan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan
negara yang bersangkutan.
Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada pasal 14 peraturan prosedur
BANI yaitu :
Alat bukti keterangan para pihak dalam bentuk pengakuan,
Alat bukti keterangan saksi,
Alat bukti keterangan ahli.
Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit
pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap
perlu, ini berarti sesuai dengan praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti
surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti sumpah. 15
Diharapkan dalam alternatif penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin
tingginya keadilan yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi
ditangani dengan pengadilan ataupun penyelesaian sengketa alternatif.
________________________________________________________________
1Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 2008, Gama
Media,Yogyakarta,hal. 109-111.
2Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 2006, Sinar Grafika Jakarta. Hal. 39
Lihat juga (1953) Y.B.I.L., Vol. 2, hlm. 14.
3Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 111.
4Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, 2003, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 11-14.
5Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal.114-116.
6Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 4-6.
7Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 41-42.
8Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 55-56.
9Huala Adolf, Op.Cit. , Hal. 52.
10Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 98-99.
11Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 159-160
12Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 104.
13Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan
Australia, 2007, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, hal. 40-41.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan- hubungan internasional yang diadakan oleh subjek hukum internasional
selalu ada kemungkinan munculnya sengketa di kemudian hari. Sengketa bisa saja
muncul terkait perbatasan, perdagangan, dan lain- lain.
Di dalam menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih,yaitu melalui
negosiasi, mediasi, pengadilan, dan arbitrase. Sebagai salah satu alternative
penyelesaian sengketa, arbitrase dpandang sebagai cara yang efektif dan adil.
Badan arbitrase akan berfungsi apabila para pihak sepakat untuk menyerahkan
sengketa kepadanya baik sebelum sengketa muncul maupun setelah sengketa
muncul.
Arbitrase internasional telah banyak dipakai oleh para pelaku bisnis yang notabene
sering terkait dengan kasus- kasus ekonomi, utamanya perdagangan dengan
nominal angka yang dipersengketakan cukup mencengangkan bagi orang pada
umumnya.
Oleh karenanya, besar peranan arbitrase internasional dalam aksinya
menyelesaikan setiap persengketaan dalam permasalahan bisnis terkait ranah
internasional. Menyoal tentang apa itu arbitrase internasional, bagaimana sejarah
dan dasar pembentukannya, seperti apa seperti apa saja bentuk lembaganya,
bagaimana jalan proses putusan yang di hasilkan, serta penolakan maupun
pembatalan terhadap putusannya, dan contoh kasus terkait dengannya. Guna
menjawaba pertanyaan tersebut, maka penulis membuat makalah yang berjudul
Arbitrase Internasional
B. Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, penulis merumuskan masalah pada:
1. Apa pengertian arbitrase internasional ?
2. Bagaimana sejarah dan dasar pembentukan arbitrase internasional ?
3. Apa saja bentuk lembaga- lembaga arbitrase internasional ?
4. Bagaimana proses jalannya putusan arbitrase internasional ?
5. Bagaimana pembatalan dan penolakan putusan di dalam arbitrase internasional ?
6. Seperti apa contoh kasus pelaksanaan arbitrase internasional ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase Internasional
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Blacks Law Dictionary memberikan pengertian Arbitration. an
arrangement for taking an abiding by the judgment of selected persons in some
disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary
litigation.
Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang ruang
lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat internasional.
Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya
perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business)
di negara-negara berbeda. Misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di
Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika terjadi perselisihan
di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka
arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.
B. Sejarah dan Dasar Pembentukan Arbitrase Internasional
Perkembangan sejarah arbitrase, sesungguhnya badan arbitrase telah lama
dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa- bangsa telah menggunakan cara
penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini
berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi (biblical times) serta
terus berkembang terutama di negara- negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan
Belanda.
Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing negara memiliki
perbedaan yang terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga arbitrase
internasional itu sendiri.
C. Lembaga-lembaga Arbitrase Internasional
Meningkatnya kebutuhan dunia perdagangan internasional akan lembaga-lembaga
arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa perdagangan
mengakibatkan kebutuhan akan eksistensi lembaga-lembaga juga meningkat.
Lembaga-lembaga arbitrase internasional tersebut merupakan lembaga-lembaga
arbitrase yang bersifat resmi dan didirikan oleh badan internasional yang sudah
mapan maupun lembaga-lembaga yang bersifat regional.
Beberapa bentuk lembaga arbitrase internasional antara lain:
1. International Chamber of Commerce (ICC)
ICC berkedudukan di Paris yang didirikan atas prakarsa Asosiasi Dagang
Internasional. ICC meletakkan dasar penyelesaian sengketa perdagangan bukan
hanya dalam konteks ICC (Court of Arbitration), akan tetapi juga dalam konteks
konsiliasi yang memiliki rules of conciliation tersendiri. Meskipun ICC bermarkas di
Paris, sidang ICC dapat berlangsung dimana saja dalam menerapkan hukum bagi
para pihak telah sepakat untuk menggunakan ICC.
Badan arbitrase memiliki hukum acara arbitrase tersendiri (rules of arbitration).
Badan arbitrase ICC merupakan salah satu lembaga arbitrase yang terkenal dimana
setiap tahunnya terdapat hampir 400 kasus/sengketa perdagangan yang diserahkan
ke ICC. Oleh karena itu sebagai sebuah badan administratif yang bersifat formal,
ICC tidak melaksanakan arbitrase secara tersendiri, akan tetapi mendaftarkan
penyelenggaraan arbitrase ke seluruh dunia.
Kasus yang diserahkan melalui ICC akan diadili oleh arbiter dengan mendasarkan
pada persoalan (kasus) yang menjadi kewenangan ICC. Dalam hal para pihak yang
bersengketa tidak sepakat terhadap beberapa isu (masalah) yang berkembangan
dalam penanganan kasus tersebut seperti penetapan tempat, dan lain sebagainya
maka ICC memiliki kewenangan untuk menetapkannya.
Konteks keputusan (award) yang dihasilkan, award tersebut harus mendapat
persetujuan dari ICC (international court of arbitration) yang memiliki kewenangan
untuk membuat modifikasi. Menyangkut pembiayaan akan ditentukan oleh kedua
belah pihak secara bersama-sama dan merata, dimana sekretariat badan arbitrase
The Model Law dapat dimodifikasi oleh negara-negara anggota, seperti beberapa
negara telah memodifikasi (the Model Law) sehingga dapat diterapkan ke dalam
hukum nasional tanpa diskriminasi (equally). Sebelum eksisnya the Model Law,
hanya ada dua instrument utama yang menangani arbitrase perdagangan
internasional dalam sistem di Perserikatan bangsa-bangsa. Kedua instrumen
tersebut adalah:
a. The United Nations Convention on the Recognition and Enforcement on Foreign
Arbitral Awards, 1958 (the New York Convention);
b. The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976.
The New York Convention menyiapkan pengakuan dan pelaksanaan keputusan
arbitrase luar negeri dan perjanjian arbitrase. Konvensi ini adalah salah satu
Konvensi yang tersukses dalam hubungan internasional yang telah ditandatangani
oleh 120 negara per 16 Desember 1998. Akan tetapi, Konvensi ini dalam prakteknya
terpisah dengan ketentuan domestik masing-masing negara anggota Konvensi yang
berakibat pada interpretasi yang berbeda. Disamping itu, Konvensi ini juga tidak
menangani prosedur arbitrase.
The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976. justru sebaliknya. Prosedur arbitrase menjadi
menjadi salah satu subject matters meskipun dalam batasan tertentu. Hal
pertama yang dilakukan adalah mengunifikasi penerapan hukum nasional dalam
arbitrase. Jadi, is didesain sebagai arbitrase ad hoc.
Sebuah draf Model Law mulai diprakarsai dengan meluaskan lingkup dari
instrument pada tahun 1982. tujuan dari Model Law adalah untuk mempromosikan
penyatuan prosedur arbitrase dan mengalamatkannya pada kebutuhan mendasar
dari arbitrase perdagangan internasional. Akhirnya, 21 Juni 1985 UNCITRAL diadopsi
dan Majelis
Umum PBB juga mengadopsinya pada Tanggal 11 Desember 1985.
Prinsip dasar dari the Model Law adalah pengakuan terhadap kebebasan para pihak
untuk menlaksanakan arbitrase dengan batasan/larangan yang minimal. Sehingga
pada kenyataannya, banyak pasal-pasal dalam the Model law yang diderogasi oleh
para pihak. The Model Law juga mengakui peranan yang dimainkan oleh lembagalembaga arbitrase dalam arbitrase perdagangan internasional. Pasal 2 huruf d
disebutkan bahwa:
where a provisions of this law, except article 28 [concerning the rules applicable to
the substance of the dispute], leaves the parties free to determine a certain issues
such freedom includes the right of the parties to authorize a third party, including
an institution, to make that determination.
Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan-aturan arbitrase dapat digunakan baik
arbitrase yang bersifat ad hoc maupun permanent.
Adapun lingkup utama dari Uncitral Model Law adalah:
Bentuk dan definisi perjanjian arbitrase;
Pengangkatan Arbitrase tribunal;
Hukum yang dapat diterapkan dalam arbitrase;
Pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase.
Dalam konteks lingkup aplikasi, the Model law merujuk pada Pasal 1 dengan
data :
a. lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase asing
b. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia
c. lembar asli atau salinan otentik perjanjian
d. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia
e. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia yang bersangkutan.
Putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atau dari
Mahkamah Agung dalam hal salah satu pihaknya menyangkut Negara Republik
Indonesia.
Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur)
terhadap putusan arbitrase yang bersangkutan, diwajibkan terlebih dahulu untuk
memeriksa secara substantif, apakah putusan arbitrase asing tersebut:
- melebihi kewenangan arbiter,
- bertentangan dengan ketertiban umum,
- telah memenuhi syarat, bertentangan dengan kesusilaan, dalam ruang lingkup
perdagangan, sengketa yang tidak boleh didamaikan,
- tentang hak dalam kekuasaan para pihak.
Undang - undang Arbitrase menyatakan bahwa tatacara untuk melaksanakan suatu
putusan arbitrase asing tersebut berpedoman kepada Hukum Acara Perdata yang
berlaku.
Menurut hukum acara perdata Indonesia, suatu putusan pengadilan dan berlaku
juga terhadap putusan arbitrase asing, dijalankan dengan tatacara sebagai berikut :
Peringatan/tegoran (aanmaning)
Sita Eksekusi (Executorial Beslag),
Penjualan/Lelang,
Pengosongan.
Pasal 66 UU no. 30 tahun 1999. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta
dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
E. Pembatalan dan Penolakan Putusan Arbitrase Internasional
Penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, tercantum di dalam konvensi
New York 1958, pada Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan
oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan
arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan
keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan
tersebut. Terdapat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase
internasional, yang antara lain:
1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut
hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian
tersebut atau menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila
tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku.
2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang
sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak
dapat mengajukan kasusnya.
3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk
diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang
berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau
4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase
berlangsung, atau
5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan
atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan
dibuat.
Pasal 22 ayat 1 Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa terhadap arbiter dapat diajukan
tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas
dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
Terhadap putusan arbitrase Internasional, Pengadilan hukum di Indonesia dapat
melakukan pengingkaran pengakuan (denial of awards) akan substansi yang telah
diputus oleh lembaga arbitrase internasional, dan juga terhadap eksekusi (denial of
awards) terhadap objek arbitrase yang ada di wilayah jurisdiksi hukum Indonesia.
Pada pasal 65 Undang-undang no. 30 tahun 1999 di bawah sub judul arbitrase
internasional berbunyi : Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Dari pengertian pasal tersebut bukan saja pengadilan berwenang untuk
menolak mengeksekusi suatu putusan arbitrase, bahkan memiliki kewenangan
untuk menolak pengakuan terhadap materi yang telah diputuskan oleh lembaga
arbitrase internasional.
Pengakuan atas daya ikat putusan arbitrase, diletakkan di bawan sub judul arbitrase
nasional, pada pasal 60 yang berbunyi : Putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Di sisi lain dalam pasal 456 RV atau Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa
pengadilan Indonesia tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan
yang dibuat di negara lain. Dengan kata lain, apabila hendak mengeksekusi suatu
putusan arbitrase Internasional, pihak yang bersangkutan harus mengajukan
gugatan baru di Indonesia.
F. Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat dilihat melalui contoh
kasus Pertamina Karaha Bodas melalui arbitrase internasional.
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula
dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal
28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di
satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian
Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok
kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di
Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan
ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun
1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama
Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase
Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak
dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan
agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar
US$ 261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela
melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di
Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan
(dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh
Swiss Federal Supreme Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk
pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana
asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari
2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District
of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC
mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong.
Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa
penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk
melakukan eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di
pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi