Anda di halaman 1dari 73

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oleh: Suleman Batubara, SH., MH

Sebelum menjelaskan tentang pengertian arbitrase, ada baiknya dijelaskan pengertian tentang arbiter
terlebih dahulu. Arbiter dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya
Pengadilan Mahkamah Agung di Indonesia pasal 15, arbiter diistilahkan dengan wasit.[1] Arbiter dalam Arbitration
Act 1950 negara Inggris, selain menggunakan istilah arbitrator juga dipakai istilah umpire yang pengertiannya sama
dengan scheidsman dalam bahasa Belanda. Istilah dalam pengertian ini lebih ditujukan kepada majelis arbitrase atau
arbiter tunggal.[2]

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa Umum, arbiter di definisikan sebagai berikut ;
Seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh
Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase.[3]

Dalam Black Law Dictionary arbiter diartikan sebagai berikut ;


A person chosen decide a controversy; an arbitrator, referee. Aperson bound to decide according
to the rules of law and equality, as distinguished from and arbitrator, so that it be according to
the judgment of a sound man. See arbitrator.

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter atau wasit
atau umpire adalah seorang pihak ketiga yang netral yang dapat dipilih oleh para pihak yang
bersengketa berdasarkan kesepakatannya atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri maupun
suatu lembaga arbitrase yang bertugas untuk membantu mereka dalam penyelesaian

sengketanya. Pada prinsipnya tugas dari pada seorang arbiter adalah memeriksa, mengadili dan
memutus sengketa yang diserahkan kepadanya baik secara konsiliasi atau perdamaian maupun
melalui suatu keputusannya.
A.

Pengertian arbitrase
Dalam bab pertama secara singkat telah dibicarakan tentang pengertian arbitrase ini,
namun dalam pragraf ini akan dicoba untuk membahas lebih khusus dan spesifik. Seperti telah
dijelaskan pada pragrap pertama, bahwa arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian
sengketa (disputes) perdata (pivate) diluar pengadilan (non-litigation) dengan dibantu oleh
seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang bersifat netral yang diberi kewenangan
untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi.[4]
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase
(arbitration clause), yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum maupun setalah
timbulnya sengketa.
Arbitrase apabila dilihat dari suku katanya berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare, yang
mempunyai arti kebijaksanaan. Oleh karena itu R. Subekti dalam bukunya yang berjudul
Arbitrase Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa
yang proses dibantu oleh seorang pihak ketiga dengan menggunakan kebijaksanaannya.[5]
Sedangkan dalam islam arbitrase sering disebut dengan istilah al-tahkim yang merupakan bagian
dari al-qadla (pengadilan).[6]
Pengertian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan arbitrase itu sendiri dapat
menimbulkan kesalahpahaman pengertian tentang arbitrase itu sendiri. Hal ini dikarenakan
pengertian yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa tidak akan mengindahkan
norma-norma hukum lagi dan hanya menyandarkan pada kebijaksanaannya saja. Pengertian ini
adalah keliru sebab seorang arbiter atau majelis arbitrase dalam memeriksa, mengadili dan
memutus suatu sengketa terikat dengan norma-norma hukum perundang-undangan yang ada,
dengan kata lain arbiter dalam memutus suatu sengketa tidak hanya didasarkan pada kebebasan
arbiter semata. Oleh sebab itu kemudian R. Subekti memberikan pengertian tentang arbitrase
sebagai berikut ;

Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang
diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.[7]

Sedangkan menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury memberikan definisi tentang
arbitrase adalah sebagai berikut ;
Suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin
agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan
mereka didasarkan pada dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk
menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.[8]

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase
adalah ;
1.

Merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation).

2.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dibuat
secara tertulis baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa.

3.

Dalam proses penyelesaiannya, para pihak dibantu oleh seorang pihak ketiga yang netral yang
disebut dengan istilah arbiter.

4.

Arbiter atau wasit dapat dipilh langsung oleh para pihak dapat juga ditunjuk oleh pengadilan
negeri atau suatu lembaga arbitrase.

5.
B.

Keputusan yang diberikan oleh arbiter atau wasitnya bersifat final dan binding.

Jenis-Jenis Arbitrase
Mengacu pada Konvensi-Konvensi Internasional seperti ; Convention of the Settlement of
Invesment Disputes Between State and National Other States atau Convention on the
Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Award maupun berdasarkan ketentuan-

ketentuan yang terdapat dala UNCITRAL Arbitration Rules, maka jenis-jenis arbitrase dapat
diklasifikasikan sebagai berikut ;
Arbitrase ad hoc (volunter)
Arbitrase ad hoc adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun
sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada saat selesainya sengketa tersebut.
Pembentukan arbitrase ad hoc ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Dalam arbitrase ad hoc ini formalitas-formalitas dan prosedur pelaksanaan arbitrase,
diserahkan atau ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Formalitas dan prosedur
yang diberikan untuk ditentukan oleh para pihak sebelum dilaksanakannya proses arbitrase
tersebut seperti ; penentuan tempat dimana arbitrase dilangsungkan, jumlah arbiter, peraturan
beracaranya, cara pemilihan arbiter dan bagaimana pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri
nantinya. Gunawan Wijaya memberikan definisi tentang arbitrase ad hoc ini adalah sebagai
berikut ;
Suatu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan sengketa
tertentu, arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu yaitu sampai sengketa
tersebut diputuskan.[9]
Sumargono memberikan definisi tentang arbitrase adalah sebagai berikut;
Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau
dengan kata lain arbitrase ad hoc bersifat insidentil.[10]
Dari kedua pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa arbitrase ad hoc ini adalah
suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa.
Dalam jenis arbitrase ini para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana
cara pemilihan arbiter dilakukan, kerangka kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif
dari arbitrase.[11] Oleh karena itu Suyud Sumargono mengatakan bahwa ciri pokok dari arbitrase
ad hoc ini adalah penunjukan arbiternya secara perorangan.
Arbitrase Institusional (institusional arbitration)

Dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958 arbitrase institusional ini disebut dengan
istilah permanent arbitral body.[12] Hal ini dikarenakan bentuk dan sifat dari arbitrase ini
sendiri, yaitu suatu arbitrase yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu dan bersifat tetap atau
permanent. Menurut Gunawan Wiajaya arbitrase institusional adalah lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja didirikan oleh suatu organisasi tertentu dan
bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.[13]
Sifatnya yang permanent dan menetap dari badan arbitrase institusional ini merupakan
suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat
permanent atau tetap pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa, dengan
perkataan lain bahwa badan arbitrase institusional ini sudah berdiri sebelum timbulnya sengketa.
Hal ini adalah merupakan suatu pembeda antara badan arbitrase institusional dan arbitrase yang
bersifat ad hoc, karena arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setelah timbulnya
sengketa.
Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad hoc ini,
maka dalam tataran prakteknya sering mengalami hambatan seperti; kesulitan dalam melakukan
negosiasi, menetapkan aturan-aturan prosedural dan penetapan cara pemilihan arbiter yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Kelemahan-kelemahan tersebut di atas secara tidak mutlak
merupakan kelebihan dari badan arbitrase institusional.
Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas, maka para pihak yang bersengketa
sering memilih badan arbitrase yang bersifat institusional dalam rangka penyelesaian sengketa
yang mereka hadapi. Dengan kata lain pada tataran praktek arbitrase yang bersifat institusional
ini lebih diminati karena dirasakan mempunyai keunggulan dibanding arbitrase yang bersifat ad
hoc.
Badan arbitrase institusional ini apabila dilihat dari sudut ruang lingkupnya, maka dapat
diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu;

rase Institusional Nasional (national arbitration)


Menurut Ridwan Widiastoro, arbitrase nasional yaitu penyelesaian suatu sengketa melalui
badan arbitrase yang dilakukan di dalam satu atau negara dimana unsur-unsur yang terdapat
didalamnya memiliki nasionalitas yang sama.[14] Pengertian nasionalitas yang sama menurut
beliau dalam hal ini adalah seperti; adanya persamaan kewarganegaraan diantara para pihak,

domisili yang sama, sistem dan budaya hukum yang sama. Sedangkan menurut Gunawan Wijaya
arbitrase nasional adalah arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya
meliputi kawasan negara yang bersangkutan.[15] Dari uraian di atas tentang arbitrase nasional,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu arbitrase dapat dikatakan bersifat nasional apabila ;
1. Unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrasenya hanya bersifat nasional.
2. Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat dari kawasan atau teritorialnya.
Beberapa contoh arbitrase institusional nasional antara lain ;
a.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia, merupakan badan arbitrase nasional negara Indonesia yang
didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

b. The Netherlands Arbitration Institute, yaitu pusat arbitrase nasional negara Belanda.
c.

The Japanese Commercial Arbitration Association, sebagai pusat arbitrase nasional Jepang
dalam lingkungan KADIN Jepang.

B.

Arbitrase Institusional Internasional (international arbitration)


Arbitrase Internasional ini menurut Riwan Widiastoro adalah kebalikan dari arbitrase
nasional yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang dapat dilakukan di luar
maupun di dalam suatu negara salah satu pihak yang bersengketa dimana unsur-unsur yang
terdapat didalamnya memiliki nasionalitas yang berbeda satu sama lain (foreign element).[16]
Menurut Sudargo Gautama yang dimaksud dengan unsur asing (foreign element) dalam suatu
perjanjian arbitrase adalah sebagai berikut ;
Pertama, para pihak yang membuat klausula atau perjanjian arbitrase pada saat membuat
perjanjian itu mempunyai tempata usaha (place of business) mereka di negara-negara yang
berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di
luar negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka. Ketiga, jika suatu tempat dimana
bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat
dimana obyek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected) letaknya diluar negara
tempat usah para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa
obyek perjanjian arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.[17]

Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan antara arbitrase nasional dengan arbitrase
internasional. Perbedaan kedua jenis arbitrase ini terletak pada unsur-unsur yang terdapat di
dalam perjanjian arbitrase itu sendiri. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa suatu arbitrase
dikatakan bersifat nasional apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian arbitrase
tersebut hanya mengandung unsur-unsur yang bersifat nasional, sedangkan arbitrase
internasional adalah suatu arbitrase yang di dalam perjanjian arbitrasenya terdapat unsur-unsur
asing.
Adapun contoh-contoh daro lembaga arbitrase ini antara lain ;
1.

Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC). Merupakan pusat


arbitrase internasional yang didirikan di Paris pada tahun 1919.

2.

The International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID). Arbitrase ini adalah
badan arbitrase yang bersifat internasional yang mengatur tentang sengketa investasi yang
berskala internasional.

3.

United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

rase Institusional Regional (regional arbitration).


Arbitrase institusional regional adalah suatu lembaga arbitrase yang lingkup keberadaan
dan yurisdiksinya berwawasan regional seperti ; Regional Center for Arbitration yang didirikan
oleh Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AAALC).

B. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase


Seperti telah dijelaskan pada bab pertama, bahwa adanya arbitrase selain didasarkan pada
ada tidaknya kesepakatan (perjanjian) diantara para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
melalui lembaga arbitrase juga didasarkan pada sah tidaknya klausula arbitrase itu sendiri. [18]
Dalam pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian harus
memenuhi empat syarat yaitu;[19]
1. Adanya kesepakatan diantara para pihak.
2. Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum.
3. Kesepakatan tersebut mengenai hal tertentu.

4. Obyek dari kesepakatan tersebut harus mengenai sebab yang halal


Syarat sahnya perjanjian tersebut oleh R. Subekti dikelompokkan kedalam dua kelompok
yaitu syarat yang bersifat subyektif dan syarat yang bersifat obyektif.[20]
Syarat obyektif mengenai hal tertentu di atas, apabila ditinjau dari Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 5 menyebutkan bahwa ;[21]
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
(2) Sengkata yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Pengertian perdagangan yang dimaksud dalam pasal tersebut di atas, dapat dilihat dari
penjelasan pasal 66 huruf b menyebutkan bahwa sengketa-sengketa yang dapat diarbitrasekan
(obyek) arbitrase adalah sengketa dalam ruang lingkup hukum dagang yaitu sebagai berikut;[22]
Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara
lain dibidang :
-

perniagaan;

perbankan;

keuangan;

penanaman modal;

industri;

hak kekayaan intelektual.


Dari penjelasan pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas, dapat

dikatakan bahwa obyek sengketa arbitrase hanyalah sengketa dalam ruang lingkup hukum
perdagangan yaitu; di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal dan industri.
Ketentuan ini secara logis analogis dapat dikatakan bahwa suatu klausula arbitrase yang obyek
sengketa (hal tertentu) di luar ruang lingkup atau di luar bidang-bidang tersebut di atas adalah
batal demi hukum.

Pada pragraf terdahulu syarat sahnya perjanjian ini oleh R. Subekti dikelompokan
kedalam dua kelompok yaitu syarat subyektif dan obyektif. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan apabila salah satu dari kedua kelompok syarat sahnya
perjanjian tersebut tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian. Menurut beliau suatu perjanjian yang
tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila
suatu perjanjian tidak terpenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi
hukum.[23]
Pengertian antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum adalah berbeda satu sama
lain. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan mempunyai pengertian bahwa terhadap perjanjian
tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan oleh salah satu pihak yang merasa
haknya dirugikan dengan keadaan tersebut, dengan kata lain perjanjian tersebut adalah sah
apabila tidak dipermasalahkan oleh pihak yang dirugikan. Suatu perjanjian batal demi hukum
mempunyai pengertian bahwa, perjanjian tersebut sejak semula adalah tidak sah meskipun tidak
ada upaya pembatalan dari salah satu pihak. Oleh karena itu perjanjian yang batal demi hukum
ini sejak semula adalah tidak ada. Jadi secara analogi hak-hak dan kewajiban yang melekat di
dalam perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum atau hapus secara otomatis.[24]
Syarat perjanjian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan klausula arbitrase maka
klausula arbitrase tersebut harus merupakan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam
bentuk tertulis, harus dibuat oleh para pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum, obyek
kesepakatan tersebut harus jelas serta harus mengenai sebab yang halal. Jadi suatu klausula
arbitrase harus memenuhi keempat syarat tersebut di atas agar klausula arbitrase tersebut sah
secara hukum dan dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Klausula arbitrase yang dibuat
para pihak yang disebut di atas merupakan dasar hukum bagi semua pihak untuk menyelesaikan
sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari. [25]
Klausula arbitrase apabila ditinjau dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana
terdapat dalam pasal 7 yang berbunyi para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi
diantara mereka diselesaikan melalui arbitrase. Kata menyetujui dalam pasal tersebut
membuktikan bahwa suatu sengketa hanya dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase apabila
telah sama-sama disetujui para pihak, dengan kata lain tanpa adanya persetujuan dari para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase maka sengketa tersebut tidaklah dapat

diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Hal ini sejalan dengan syarat sahnya perjanjian yang
disebutkan di atas.
Kata persetujuan dalam pasal tersebut di atas apabila dikaitkan dengan pasal 9 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 maka persetujuan tersebut harus dalam bentuk tertulis. Untuk lebih
jelasnya di bawah ini dituliskan bunyi dari pasal tersebut yaitu;[26]
(1)

Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
persetujuan mengenai hal tersebu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani para pihak.

(2)

Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris.

(3)
a.

Perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dala ayat (1) harus memuat;


Masalah yang dipersengketakan;

b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;


c.

Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;

d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan;


e.

Nama lengkap sekretaris;

f.

Jangka waktu penyelesaian sengketa;

g.

Pernyataan kesediaan arbiter;

h.

Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;

(4)

Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat batal demi hukum.

Apa yang disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut di atas
sebelumnya juga telah mendapat pengaturan dalam pasal 615 Reglement Verorodering (Rv) yang
menyebutkan bahwa pihak-pihak dapat mengikatkan dirinya satu sama lain untuk menyelesaikan
persengketaannya yang mungkin timbul kepada seorang atau beberapa orang arbiter.[27] Jadi
jauh sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini ada penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase telah dikenal di Indonesia.

Klausula arbitrase apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana


terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perikatan yang dibuat
secara sah merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[28] Prinsip ini menurut
Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya merupakan asas kebebasan berkontrak (pacta
sunservanda).[29] Ketentuan ini apabila dikaitan dengan pasal 1320 KUHPerdata tentang syaratsyarat sahnya suatu perjanjian maka suatu klausula yang telah dibuat secara sah (memenuhi
syarat sahnya suatu perjanjian) maka klausula arbitrase tersebut merupakan suatu undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Klausula arbitrase ini dalam prakteknya dikenal dua macam yaitu pactum de
compromittendo dan akta kompromis. Dari segi yuridis kedua klausula arbitrase ini adalah sama,
unsur pembeda diantara kedua klausula arbitrase ini adalah waktu (timing) pembuatan dari pada
klausula arbitrase itu sendiri. Klausula arbitrase dalam bentuk pactum de compromittendo ini
dibuat sebelum timbulnya sengketa, sedangkan akta kompromis dibuat setelah timbulnya
sengketa. Jadi perbedaan diantara kedua klausula arbitrase ini hanyalah terletak pada saat
pembuatannya.
Hal lain yang juga menjadi pembeda dari pactum de compromittendo dengan akta
kompromis adalah pencantuman (penulisan) dari kedua klausula arbitrase itu sendiri. Pactum de
compromittendo biasanya dibuat bersamaan (menyatu) dengan perjanjian pokok, sedangkan akta
kompromis dibuat secara tersendiri (terpisah) dari perjanjian pokoknya.
Adanya perbedaan letak pencatuman dari klausula arbitrase ini dalam praktek sering
menjadi kendala, artinya akta kompromis yang dibuat terpisah dengan perjanjian pokok
menimbulkan ketidakpastian walau secara hukum kebsahan dari klausula arbitrase tersebut
adalah sah. Hal inilah yang menjadikan dewasa ini untuk memilih pactum de compromittendo
sebagai bentuk kesepakatan (perjanjian) diantara mereka untuk menyelesaikan sengketanya
melalui lembaga arbitrase. Dengan kata lain pactum de compromittendo yang dibuat menyatu
dengan perjanjian pokok dirasakan lebih menjamin kepastian hukum atas keberadaan klausula
arbitrase.
A. Pactum de Compromittendo

Seperti telah diuraikan pada alinea-alinea terdahulu, bahwa pactum de compromittendo


adalah suatu klausula arbitrase yang dibuat sebelum timbulnya sengketa.[30] Jadi sejak awal
klausula arbitrase ini telah dibuat oleh para pihak sebagai bentuk kesepakatan mereka untuk
menyelesaikan sengketa tersebut melalui lembaga arbitrase dan bukan melalui lembaga
pengadilan.
Pactum de compromittendo ini dibuat secara bersamaan dengan perjanjian pokok. Cara
pembuatan pactum de compromittendo ini dapat dibuat dengan dua cara yaitu; dibuat menyatu
atau terpisah (tersendiri) dengan perjanjian pokok.
Alasan terpenting memilih klausula arbitrase dalam bentuk pactum de compromittendo
ini adalah untuk menjamin kepastian hukum tentang keberadaan klausula arbitrase itu sendiri.
Dengan kata lain klausula arbitrase dalam bentuk ini dirasakan dapat menghindari perbedaan
penafsiran tentang kedudukan klausula arbitrase tersebut.
B. Akta Kompromis
Secara umum di atas telah dibahas tentang akta kompromis ini, namun untuk lebih detail
di sini dicoba untuk menguraikan tentang akta kompromis ini secara lebih spesifik. Akta
kompromis adalah klausula arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa setelah timbulnya sengketa.[31] Jadi apabila pactum de compromittendo dibuat
sebelum timbulnya sengkta, akta kompromis sebaliknya yaitu dibuat setelah adanya sengketa.
Letak perbedaan yang esensil diantara kedua klausula tersebut di atas adalah terletak pada
saat pembuatannya. Pactum de compromittendo dibuat pada saat belum ada sengketa sedangkan
akta kompromis setelah ada sengketa. Jadi dari uraian tersebut di atas, baik pactum de
compromittendo maupun akta kompromis adalah sama klausula arbitrase (perjanjian), dengan
kata lain kedua klausula arbitrase tersebut adalah sama dasar hukum dan falsafah bagi semua
pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase.[32]
C.

Macam-Macam Klausula Abitrase


1. Klausula arbitrase umum (general)
Klausula arbitrase apabila dilihat dari sudut isinya, dapat diklasifikasikan ke dalam dua
klasifikasi yaitu; klausula arbitrase yang bersifat umum (general) dan khusus. Suatu klausula
arbitrase dikatakan bersifat umum apabila di dalam klausula arbitrase tersebut secara jelas dan

nyata dikatakan bahwa semua (all) sengketa yang timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian
akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Jadi adanya kata semua (all) dalam klausula
arbitrase memberikan pengertian bahwa klausula arbitrase tersebut bersifat umum (general).
Jadi klausula arbitrase dikatakan bersifat umum apabila obyek sengketa yang akan
diarbitrasekan adalah bersifat umum atau keseluruhan, tentunya sengketa-sengketa yang dapat
diarbitrasekan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dituliskan contoh dari pada klausula arbitrase
yang bersifat umum.
A. Klausula Arbitrase Korea
all disputes, controversies, or differences which may arise between the parties, out of or in
relation to or in connection with this contract, or for the brech thereof, shall be finally settled by
arbitration in Seoul, Korea the Korean Commercial Arbitration and under the laws of Korea.
The award rendered by the arbitrator(s) shall be final and binding upon both parties concerned

B. Klausula Arbitrase BANI


semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,
yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam
tingkat pertama dan terakhir
Dari kedua contoh klausula arbitrase tersebut di atas, dapat terlihat jelas kata-kata all dan
semua. Seperti yang telah disebutkan terdahulu bahwa adanya kata-kata tersebut dengan
sendirinya memberikan pengertian bahwa obyek sengketa arbitrase adalah semua (all) sengketa
(disputes/controverce) yang tentunya termasuk dalam ruang lingkup arbitrase. Jadi klausula
arbitrase yang bersifat umum atau general ini adalah suatu klausula arbitrase yang di dalamnya
dicantumkan secara jelas dan nyata bahwa yang menjadi obyek sengketa arbitrase adalah semua
jenis sengketa yang dapat diarbitrasekan.

2. Klausula arbitrase yang bersifat khusus


Klausula arbitrase yang bersifat khusus ini adalah klausula arbitrase yang didalamnya
ditentukan secara spesifik atau jelas tentang apa-apa yang menjadi obyek sengketa arbitrase,
dengan kata lain tidak semua sengketa yang akan timbulnya nantinya dari suatu perjanjian akan
dilaksanakan melalui lembaga arbitrase. Ciri dari klausula arbitrase yang bersifat khusus ini
adalah terdapatnya kata sebagian (any) dalam klausula arbitrase itu sendiri, seperti contoh
berikut ini;
Klausula arbitrase UNCITRAL
any disputes, controversy or claim arising out of or relation to this contract, or the breach,
termination in validity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL
Arbitration Rules as set present in force. The appointing authority shall be the ICC acting in
accordance with the rules adopted by the ICC for this purpose
Dari klausula arbitrase UNCITRAL tersebut di atas, terlihat jelas bahwa dalam klausula
arbitrase tersebut tercantum kata any yang memiliki arti bahwa aobyek sengketa yang dapat
diarbitrasekan terkait dengan suatu perjanjian hanyalah sengketa-sengketa yang telah ditentukan
sebelumnya oleh para pihak. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa klausula arbitrase yang
bersifat khusus adalah suatu klausula arbitrase yang obyek sengketanya terbatas, yaitu sesuai
dengan kesepakatan para pihak.
2.3. Prinsip Umum Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase
Seperti telah dikatakan di atas, bahwa diminatinya lembaga arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa di bidang perdagangan (privat), hal ini tidak terlepas dari adanya beberapa
keunggulanan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase seperti; prinsip cepat dan hemat biaya,
kebebasan menentukan prosedur beracaranya, pengambilan keputusan didasarkan pada keadilan,
kejujuran dan kepatutan. Hal lain yang juga menjadikan arbitrase berkembang adalah sifat
putusannya yang final dan mengikat serta proses pemeriksaannya yang tertutup untuk umum
(disclousure).

insip cepat dan hemat biaya

Pada umumnya seluruh pemeriksaan perkara (sengketa) baik melalui jalur litigasi
maupun non-litigasi mempunyai prinsip cepat, singkat dan hemat. Prinsip ini juga ditegaskan
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 sebagaimana terdapat dalam
pasal 4 ayat (2) yang juga menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia
berpedoman pada asas; cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan
berbelit-belit.[33]
Prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, apabila
dihubungkan dengan prinsip pemeriksaan yang dianut oleh lembaga arbitrase adalah sejalan. Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 48 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang
menyebutkan; (1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180
hari (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.[34]
Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan cepat dan hemat
dalam arbitrase ini antara lain;
1. Karena diberikannya kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri proses
beracaranya, yang tentunya mereka akan memilih prosedur yang singkat dan cepat sehingga jelas
akan mendukung kearah penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien serta hemat biaya.
2. Pada umumnya pihak-pihak dalam arbitrase adalah subyek hukum yang memiliki itikad baik
(good faith) untuk sama-sama menyelesaikan sengketa. Sehingga penyelesaian sengketanya
menjadi lebih cepat karena adanya dukungan dari semua pihak.
3. Berperkara melalui lembaga arbitrase berarti berperkara di luar pengadilan. Keadaan ini secara
langsung akan membawa kearah penyelesaian sengketa yang cepat, singkat dan tepat hal ini
dikarenakan terpotongnya jalur birokrasi yang begitu panjang dan bertele-tele sebagaimana
biasanya terjadi pada lembaga pengadilan.
4. Keistimewaan yang dimiliki oleh putusan arbitrase itu sendiri yaitu final dan binding.
Keistimewaan putusan arbitrase ini meniadakan upaya hukum dalam arbitrase itu sendiri dengan
kata lain terhadap putusan arbitrase tersebut tertutup upaya hokum baik banding maupun kasasi.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip pemeriksaan yang cepat dan hemat
biaya adalah prinsip dasar yang harus dimiliki oleh lembaga arbitrase agar penyelesaian sengketa
melalui lembaga ini efektif dan efisien. Keadaan ini diharapkan dapat memberikan nilai lebih
bagi para pihak.

nsip pengambilan keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan


Di atas, telah dikatakan bahwa prinsip pengambilan keputusan dalam arbitrase adalah
didasarkan pada kepatutan dan keadilan.[35] Hal inilah yang juga membedakan arbitrase dengan
lembaga pengadilan yang dalam memeriksa, mengadili dan memberikan putusannya lebih
didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku (what is the law). Keadaan yang demikian ini
membawa kosekuensi pada diri pribadi para pihak, artinya pemberian putusan yang didasarkan
pada hukum semata akan menghasilkan pihak yang kalah dan menang (win-lose). Sedangkan
pemutusan sengketa yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan serta dengan melihat
pada kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa akan menghasilkan putusan yang
bersifat win-win solution.
Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan kepatutan dan keadilan ini dipertegas
kembali dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana terdapat dalam pasal 56 yaitu;
[36]
(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasar
keadilan dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa
yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.
Dengan melihat bunyi dari pasal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pengambilan
keputusan dalam arbitrase berdasarkan kepatutan dan keadilan ini adalah merupakan suatu
keharusan yang mesti diperhatikan oleh para arbiter maupun para pihak dalam proses
penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Prinsip yang dianut oleh arbitrase ini selain
memberikan nilai tambah bagi lembaga arbitrase ini sendiri juga memberikan keuntungan yang
sangat esensil bagi para pihak, dimana putusan yang bersifat win-win solution merupakan
putusan yang sama-sama diinginkan para pihak oleh karena ini secara logis akan berdampak
pada kelanggengan hubungan mereka.

nsip sidang tertutup untuk umum (disclousure)


Dikalangan pebisnis nama baik adalah merupakan sebuah indikator yang dapat
menghantarkan mereka kedalam dua kemungkinan yaitu; sukses atau hancur (gulung tikar).

Mereka akan sukses bilamana di mata masyarakat mereka mempunyai image baik, begitu juga
sebaliknya mereka akan bangkrut bilamana mereka mempunyai image yang buruy di mata
mesyarakat.
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya keadaan tersebut di atas, maka salah satu kiat
yang dilakukan para pebisnis ini adalah menyelesaikan sengketanya dengan para koleganya
melalui jalur non litigasi seperti; negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dipilhnya caracaranya tersebut di atas, selain bertujuan untuk menjaga nama baik para pihak juga diharapkan
sengketa tersebut dapat selesai dengan segera serta mendapatkan putusan adil dan fair.
Prinsip pemeriksaan tertutup untuk umum ini diatur dalam pasal 27 Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 yang berbunyi semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan secara tertutup.[37] Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa para arbiter atau
arbiter maupun para pihak dalam memeriksa sengketa harus senantiasa dapat menjaga segala
informasi yang merupakan rahasia bagi para pihak. Oleh karena itu kepada pihak yang dengan
sengaja mengimformasikan (mempublikasikan) suatu berita yang bersifat rahasia sudah
semestinya diberikan hukuman yang setimpal.
Ketentuan sebagaimana terdapat dalam pasal 27 ini apabila ditinjau lebih jauh selain
merupakan suatu keharusan (imperative) juga akan memberikan keuntungan bagi semua pihak
dalam arbitrase itu sendiri. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa salah satu alasan memilih
lembaga arbitrase adalah proses pemeriksaannya yang bersipat disclousure ini. Oleh karena itu
ketentuan ini merupakan wujud dari keinginan para pihak.
2.4. Kelemahan dan keunggulan lembaga arbitrase
A. Kelebihan dan keuntungan lembaga arbitrase
Tumbuh kembangnya lembaga arbitrase dewasa ini tidak terlepas dari kelebihan yang
dimiliki oleh lembaga arbitrase itu sendiri bila dibandingkan dengan lembaga pengadilan.
Adapun kelebihan-kelebihan tersebut seperti; adanya kewenangan yang diberikan kepada arbiter
untuk memutus sengketa berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), artinya arbiter
dalam memeriksa dan memutus sengketa tidak hanya berpatokan pada aspek hukum semata
melainkan juga harus memperhatikan kehendak dan keinginan dari masing-masing pihak.[38]
Konsekuensi dari prinsip putusan yang didasarkan pada keadilan dan kepatutan adalah

terakomodirnya kepentingan para pihak dalam putusan yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase.
Pengambilan keputusan dalam arbitrase selain didasarkan pada keadilan dan kepatutan
juga harus didasarkan pada situasi dan kondisi pihak-pihak yang bersengketa (kompromistis).
Prinsip ini akan berakibat langsung pada putusan yang win-win solution .[39] Hal lain yang
merupakan suatu kelebihan berperkara melalui lembaga arbitrase ini adalah diberikannya
kebebasan bagi para pihak untuk menentukan sendiri ketentuan hukum acara mereka, ketentuan
ini ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan;
[40]
(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara
arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini.
Dari bunyi pasal tersebut di atas, jelas terlihat bahwa prosedur beracara dalam arbitrase
bebas untuk ditentukan oleh para pihak dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang arbitrase ini sendiri. Kebebasan yang diberikan kepada para pihak ini untuk
menentukan sendiri hukum acaranya memberikan keuntungan kepada mereka karena mereka
dapat memilih hukum acara yang singkat dan sederhana sehingga lebih efisien. Keadaan ini
berbeda bila berperkara melalui lembaga pengadilan yang kesemuanya telah ditentukan sendiri
dalam undang-undang yang pada kenyataannya sangat birokratis dan menjadikan penyelesaian
sengketa tersebut berbelit-belit dan bertele-tele sehingga tidak efektif.[41] Keuntungan lain dari
prinsip kebebasan ini adalah didapatkannya putusan yang adil dan fair (obyektif) karena putusan
tersebut diberikan oleh arbiter yang sama-sama dipilih (dipercaya) para pihak. Keadaan ini tidak
didapatkan bilamana berperkara di pengadilan yang hakim-hakimnya telah ditentukan sendiri
oleh kepala instansi yang bersangkutan, sehingga ada kemungkinan terjadinya sifat berat sebelah
mengingat hal ini sering terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia.[42]
Alasan lain yang menjadikan berperkara melalui lembaga arbitrase lebih menguntungkan
para pihak adalah sifat putusannya yang final dan mengikat.[43] Pengertian final adalah putusan
arbitrase tersebut merupakan putusan akhir, dengan kata lain terhadapnya tertutup upaya hukum.
Mengikat artinya para pihak dalam putusan arbitrase tersebut harus tunduk serta wajib

melaksanakan putusan tersebut dengan suka rela. Keadaan ini amat membantu para pihak yang
bersengketa khususnya dalam hal eksekusi.
Erman Rajagukuguk mengatakan bahwa kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh lembaga
arbitrase antara lain; [44]
1.

Karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.

2.

Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim dari negara berkembang tidak


menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan
internasional yang rumit.

3.

Pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan
waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat
pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.

4.

Adanya anggapan bahwa pengadilan di Indonesia akan bersikaf subyektif kepada mereka karena
hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka.

5.

Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan
hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka.

6. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang
kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.[45]
Adi Sulistiyono, dalam sebuah makalahnya juga menyebutkan bahwa kelebihankelebihan dari lembaga arbitrase antara lain;[46]
1. Mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya
kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan
dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2.Meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak
yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.
3.Memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
4.Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan
yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan
kasasi.
5.Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.
6.Bersifat tertutup rahasia (confidential).

7.Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihakpihak bersengketa di masa depan masih terjalin dengan baik.
8.Mengurangi merebaknya permainan kotor dalam pengadilan.

B.Beberapa Kelemahan Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase


Dalam uraian pada alinea terdahulu terlihat jelas bahwa berperkara melalui lembaga
arbitrase mempunyai banyak kelebihan yang dengan sendirinya membawa para pihak pada posisi
yang menguntungkan. Fenomena ini tidaklah selamanya benar, sebab dalam beberapa kasus yang
pernah terjadi membuktikan bahwa berperkara melalui lembaga arbitrase justru rumit dan
berbelit-belit sehingga menghabiskan waktu yang panjang juga biaya yang relatif mahal.
Berkaca pada kasus yang pernah terjadi, dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan tidak efektifnya penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase ini antara lain;
1. Salah satu penyebab utama terjadinya sengketa dalam suatu transaksi bisnis (business
transaction) adalah adanya perbedaan kepentingan (interest) diantara para pihak, fenomena ini
sering membawa proses negosiasi mengalami dead lock. Keadaan ini apabila dihubungkan
dengan prinsip dasar dari arbitrase yaitu kesepakatan adalah sejalan, dengan kata lain dalam
arbitrase untuk mempertemukan keinginan para pihak dalam bentuk kesepakatan juga
merupakan persoalan tersendiri dalam arbitrase. Oleh karena itu beberapa sarjana mengatakan
bahwa efektif tidaknya berperkara melalui arbitrase sangat tergantung pada besar tidaknya
kemauan para pihak untuk duduk bersama menyelesaikan sengketa mereka. Jadi salah satu
kendala dalam arbitrase ini adalah susahnya mempertemukan kehendak para pihak.
2. Prinsip pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam arbitrase yang berorientasi pada
kepentingan para pihak secara tidak langsung mengurangi otoritas arbiter atau majelis arbitrase
dalam memutuskan sengketanya, dengan kata lain dengan diberikannya kebebasan yang begitu
besar bagi para pihak dengan sendirinya mengurangi kewenangan arbiter atau majelis arbitrase.
Hal ini dapat membawa kearah penyelesaian sengketa yang bertele-tele sehingga menjadikan
proses arbitrase tidak efisien.
3. Dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958 Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing di Indonesia, maka negara Indonesia secara yuridis terikat atas konvensi
tersebut. Oleh karena itu sudah semestinya suatu putusan arbitrase asing yang dimintakan

pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia seharusnya dapat diakui serta dilaksanakan di


Indonesia yang tentunya setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam perundangundangan secara limitatif. Fenomena tersebut kadang tidak sejalan dengan realitas yang ada, hal
ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang permohonan pengakuan dan pelaksanaannya telah
dibatalkan atau ditolak baik oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun oleh Mahakamah
Agung Republik Indonesia. Keadaan ini merupakan persoalan yang penting dalam arbitrase,
dengan perkataan lain suatu arbitrase dapat efektif apabila ada kemauan yang baik dari aparat
penegak hukum (pemerintah) untuk menegakkan hukum (law enforcement).[47]
4. Keterkaiatan lembaga peradilan dalam proses arbitrase menjadikan penyelesaiannya panjang dan
lama. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri sebab sekalipun kebebasan untuk menentukan
sendiri prosedur beracara dalam arbitrase merupakan mutlak kewenangan para pihak namun
pada kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini dapat dilihat dari keharusan arbiter atau majelis
arbitrase maupun kuasanya untuk mendaftarkan putusannya pada pengadilan yang berwenang
untuk itu, ini dilakukan untuk mendapatkan penetapan apakah putusan arbitrase tersebut dapat
atau tidak dilaksanakan di Indonesia. Keadaan ini jelas merugikan para pihak apalagi dalam
beberapa kasus yang ada pada kenyataannya sering terombang-ambing dikarenakan tidak
diberikannya kepastian atas permohonan putusan arbitrase tersebut.
Tidak adanya otoritas yang diberikan kepada lembaga arbitrase untuk mengeksekusi putusannya
sendiri juga merupakan polemik dalam dunia arbitrase, sebab sekalipun proses penyelesaian
sengketanya berjalan lancar kalau pelaksanaan putusannya sendiri tidak dapat dieksekusi adalah
sia-sia.

[1]Indonesia, Undang-Undang Tentang Susunan Kekuasaan dan Jalannya Pengadilan


Mahkamah Agung di Indonesia, UU No. 1 Tahun 1950. ps. 15.
[2]Pengertian arbiter dalam buku subekti dan tineke latondong
[3]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, ps. 1 bt. 7.
[4]R. Subekti. Op. Cit.
[5]Ibid.
[6]Said Aqil Husein Al Munawar, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta : Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia Bekerjasama Dengan Bank Muamalat, 1994), hal. 14.
[7]Ibid.
[8]Salim H. S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,. Cet. Ke-3.
(Jakarta : Grafika, 2003), hal. 142.
[9]Gunawan Wijaya, Op. Cit. hal. 52-53.
[10]Suyud Sumargono, Op. Cit. hal. 123.
[11]Gary Good Paster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim. Op. Cit. hal. 27.

[12]Ibid.
[13]Gunawan Wijaya, Op. Cit. hal 52.
[14]Ridwan Widiastoro, Op. Cit. hal. 164.
[15]Gunawan Wijaya, Op. Cit.
[16]Ibid.
[17]Sudargo Gautama, Op. Cit. hal. 4.
[18]Syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi

empat syarat yaitu; sepakat mereka


yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan
suatu sebab yang halal. KUHPerdata, ps. 1320.
[19]Ibid.
[20]Syarat subyektif menyangkut para pihak dalam perjanjian tersebut sedangkat syarat
subyektif menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri. R. Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. Ke18, (Jakarta : pt intermasa, 2001), hal. 17.
[21]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 5.
[22]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. penjelasan. ps. 66.
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa,
atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya
sengketa. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Umum/ADR, ps. 1. bt. 3. sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid klausula arbitrase
(arbitration clause) merupakan sumber falsafah, sumber hukum dan sumber yurisdiksi bagi
semua pihak yang terkait di dalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase ADR,
Priyatna Abdurrasyid,Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Diputes Resolution/ADR/Arbitration) Suatu
Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 21. (2002) 10.
[26]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 9.
[27]Sut Girsang, Arbitrase, (Jakarta : Litbang Diklat Mahkamah Agung Republik
Indonesia, 1992), hal. 3.
[28]KUHPerdata, ps. 1338.
[29]Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet.
Ke-1 (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 60.
[30]Pactum de Compromittendo adalah sebuah klausula yang dicantumkan dalam
perjanjian pokok, yang berisi bahwa penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari pada
pelaksanaan perjanjian itu akan diselesaikan dengan peradilan wasit. C. S. T. Kansil dan
Christine S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1987), hal.
141.
[31]Akta kompromis adalah perjanjian yang dibuat secara khusus bila telah timbul
sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok. Ibid.
[32]Ibid
[33]Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ps. 4 ayat (2).
[34]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 4 ayat (1).
[35]Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, Op. Cit. hal. 19-21.
[36]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 5 ayat (1) dan (2).

[37]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 27.


[38]Akhmad Ichsan, Kompendium Tentang Arbitrase

Perdagangan Internasional (Luar


Negari), Cet. Ke-1. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1992), hal. 78.
[39]Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis. Cet. Ke1. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000). Hal. 12.
[40]Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. ps. 31.
[41]M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997). Hal. 151.
[42]H. M. Tahir Azhari, Penyelesaian Sengketa Melalui Forum Arbitrase, Prospek
Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia, Cet. Ke-1. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001),
hal. 163.
[43]H. M. Tahir Azhari, Op. Cit. hal. 113-114.
[44]Erman Rajagukguk, Op.Cit. hal. 1-2.
[45]Erman Rajagukguk, Op.Cit. hal. 1-2.
[46]Adi Sulistiyono, Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win
Solution Dalam Perspektif Hukum, Jurnal Hukum Bisnis vol. 25. (2006) : 73.
[47]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cet. Ke-2. (
Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 53.

MEDIASI DAN ARBITRASE DALAM TEORI DAN PRAKTEK HUKUM INTERNASIONAL

MEDIASI DAN ARBITRASE DALAM TEORI DAN


PRAKTEK HUKUM INTERNASIONAL
(Studi Kasus di Federasi Bosnia-Hercegovina)
I.

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Dalam masyarakat internasional terjadi hubungan timbal balik antar negara-negara


di dunia, baik itu hubungan politik, perdagangan, sosial dan kebudayaan.
Terjalinnya hubungan ini untuk saling mengisi kepentingan dan kebutuhan yang ada
dari masing-masing negara. Dalam interaksi masyarakat internasional ini sering
terjadi ketidak sesuaian pendapat atau timbul permasalahan yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, dengan intensitas konflik yang bervariasi. Tahapan
dari hubungan negara-negara ini dapat berupa hubungan yang baik (friendly
relationship), hubungan yang menegang (strained relation), hubungan yang tidak
ramah (unfriendly relation) dan yang terakhir hubungan yang bermusuhan (hostile).

Faktor penyebab konflik antar negara ini dapat bersumber dari berbagai hal,
diantaranya mengenai perbatasan negara, sumber daya alam, kerusakan
lingkungan, perdagangan, sosial, ekonomi dan lain-lain. Dalam sengketa perbatasan
sering timbul masalah jika tidak terjadi kesepakatan bilateral mengenai tapal batas
negara, jika kedua negara berbatasan langsung. Di mana tapal batas
mempengaruhi kewenangan kedaulatan negara serta menyangkut kekayaan alam

yang dapat menjadi sumber pendapatan negara, sehingga biasanya peneyelesaian


persoalan perbatasan sukar di dapat titik temu. Selain itu terdapat juga konflik
dalam hubungan politik, terkait kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh masingmasing negara yang bisa saja dianggap merugikan negara lain.

Upaya-upaya penyelesaian sengketa ini telah menjadi perhatian yang cukup


penting di dunia internasional sejak awal abad ke-20. upaya-upaya ini ditujukan
untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip
perdamaian dan keamanan internasional.1[1] Peran yang dimainkan hukum
internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara
bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut
hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya hukum internasional mengenal
dua jenis penyelesaian, yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan dengan cara
kekerasan.

Pada umumnya teknik penyelesaian sengketa secara damai terbagi menjadi dua
kategori yaitu penyelesaian secara politik (political approach) dan penyelesaian
melalui putusan peradilan (adjudication).2[2] Penyelesaian secara politik terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu melalui jalan negosiasi (negotiation), pencarian fakta
(fact finding), melalui jasa-jasa baik (good offices), mediasi (mediation) dan
konsiliasi (conciliation). Penyelesaian melalui putusan peradilan melibatkan pihak
ketiga yang memberikan putusannya tanpa ada unsur kepentingan terhadap kasus
tersebut. penyelesaian jenis ini dapat dilakukan melalui proses arbitrase (arbitraton)
atau melalui putusan organ pengadilan. Sedangkan cara kekerasan dilakukan
melalui peperangan dengan kekuatan militer. Cara perang untuk menyelesaikan
sengketa sebenarnya telah diakui dan dipraktekkan sejak lama. Bahkan perang
telah dijadikan sebagai alat instrumen dan kebijakan luar negeri, terutama bagi
negara-negara maju saat ini.

Penyelesaian secara damai ini ada yang hanya melibatkan pihak-pihak yang
bersengketa ataupun melibatkan pihak ketiga sebagai penengahnya. Salah satu
penyelesaian sengketa di atas yang melibatkan pihak ketiga adalah mediasi,
dimana pihak ketiga yang menjadi penengah di sebut sebagai mediator, yang dapat
berasal dari negara yang netral, organisasi internasional atau individu. Mediator ini
ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi negara yang bersengketa. Biasanya
1
2

dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral mediator berusaha mendamaikan


para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai mediasi dan arbitrase yang di tinjau
secara umum dari segi teori dan prakteknya. Dengan melihat penerapannya dalam
studi kasus di Bosnia Hercegovina. Untuk memahami mediasi dan arbitrase
internasional dari segi politik dan fungsi strategisnya.. Serta untuk mempelajari
metode dan proses dari mediasi dan arbitrase internasional.

Dalam tugas akhir perkuliahan ini metode penulisan yang dipergunakan adalah
menggunakan metode deskriptif analisis dimana sumber tulisan didapat dari bahan
literatur primer dan sekunder, dan juga menganalisis praktek yang diterapkan
dalam kasus sengketa di negara Bosnia-Hercegovina yang menerapkan mediasi dan
Arbitrase dalam meyelesaikan konflik mereka.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi objek dari penulisan adalah:

1.

2.

bagaimana teori mengenai mediasi dan arbitrase dalam konflik internasional?

bagaimana hubungan teori dan praktek mediasi dan arbitrase dalam kasus BosniaHercegovina?

II.

Mediasi dan Arbitrase dalam sengketa Internasional


A. Teori mediasi

Mediasi dalam sengketa internasional lebih dikenal sebagai proses penyelesaian


sengketa yang melibatkan pihak ketiga dalam usahanya untuk mendekatkan pihakpihak yang bersengketa agar mereka langsung dapat berunding. Pihak ketiga ini
ikut berperan aktif dalam perundingan, mediator dapat mengusulkan saran
penyelesaian sengketa dan menjadi pemimpin dari perundingan, namun para pihak
tidak terikat untuk menerima usulan dari mediator. 3[3]

Mediasi menurut J.G. Merrills adalah merupakan negosiasi tambahan dengan


mediator atau perantara sebagai pihak yang aktif, mempunyai wewenang, dan
memang diharapkan untuk mengajukan proposalnya sendiri dan menafsirkan, juga
menyerahkan, masing-masing proposal satu pihak pada pihak lain. Profosal ini
bersifat tidak formal dan berdasarkan informasi yang diberikan pihak-pihak,
bukannya berdasarkan penyelidikan sendiri.4[4]

Bentuk mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga (mediator) yang netral dan
independen dalam suatu sengketa. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya
suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara,
individu, organisasi internasional, dan lain-lain. Mediator dapat bertindak baik atas
inisiatifnya sendiri, menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran
untuk menjalankan fungsinya atas permintaan sari salah satu atau kedua belah
pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, agar mediator dapat berfungsi, diperlukan
kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat utama. 5[5]

Menurut Malcolm N. Shaw:

3
4
5

The employment of the procedures of good offices and mediation involves the use
of a third party, whether an individual or individuals, a state or group of states or an
international organisation, to encourage the contending parties to come to a
settlement. Unlike the techniques of arbitration and adjudication, the procces aims
at persuading the parties to a dispute to reach satisfactory terms for its termination
by themselves. Provisions for settling the dispute are not prescribed.

Dalam penyelesaian sengketa internasional mediasi cukup sering dilakukan oleh


negara-negara jika jalan negosiasi sudah menemui jalan buntu, adapun kelebihan
dan kekurangan mediasi adalah:

1. Kelebihan Mediasi

a.

Merupakan campur tangan pihak ketiga untuk memecahkan kebuntuan negosiasi


dalam penyelesaian sengketa.

b.

Dalam mediasi pihak ketiga ikut serta dalam perundingan sebagai penengah dan
punya peran aktif dalam penyelesaian sengketa.

c.

Mengusahakan tercapainya penyelesaian, mengajukan saran, yang dapat


memuaskan kedua pihak. Dapat menjadi media penghubung bagi pihak yang sudah
putus hubungan diplomatiknya sehingga dapat melakukan perundingan kembali.

d.

Berfungsi melonggarkan ketegangan yang ada selama sengketa dan


mengembangkan ruang lingkup negosiasi.

e.

f.

Merupakan saluran informasi yang efektif.

Saran dari negosiator tidak mengikat sehingga para pihak masih bebbas untuk
menentukan keputusannya sendiri.

g.

Bentuk proposal dari mediasi masih tidak formal dan berdasarkan informasi yang
diberikan masing-masing pihak.

h.

Mediasi dapat dimintakan oleh para pihak ataupun ditawarkan secara spontan oleh
pihak luar.

i.

Para pihak masih memegang kontrol dalam perundingan.

j.

Mediasi merupakan suatu kompromi dari suatu jenis sengketa.

2. Kekurangan Mediasi

a.

tidak semua sengketa internasional dapat cocok diterapkan mediasi, karena


semua tergantung dengan itikad mediatornya.

b.

dari pihak mediatornya sendiri, mediasi ini merupakan tugas yang melelahkan dan
sering tidak memberikan penghargaan yang cukup, serta memerlukan kesabaran
ekstra untuk menghadapi para pihak yang bersengketa.

c.

mediasi tidak dapat dipaksakan jika para pihak atau salah satu pihak tidak mau
melakukannya.

d.

dengan melakukan mediasi maka telah mengakui masalah tersebut adalah


masalah sengketa internasional sehingga jika ada perselisihan mengenai
pertanggungjawaban internasional, pihak yang bersengketa tidak akan mau
dilakukan mediasi.

e.

jika salah satu pihak merasa yakin untuk memenangkan persengketaan maka
tidak akan mau untuk dilakukan mediasi, sebab dalam mediasi selalu dicari jalan
win-win solution.

f.

pihak mediator tidak akan diterima jika diangap punya pemahaman sedikit tentang
posisi para pihak, tidak simpatis, terpengaruh pada pihak lain atau dianggap
memiliki kepentingan pribadi dalam sengketa.

g.

para pihak harus bersiap untuk mengorbankan tujuan asal yang ingin dicapai
untuk mencapai kompromi bersama.

3. pemilihan mediator

dalam pemilihan mediator di kenal tiga cara yang dapat dibedakan menjadi:

1.

mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak

2.

mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif


penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

3.

mediator yang disarankan atau ditawarkan oleh pihak ketiga bisa berupa negara,
organisasi internasional ataupun NGO.

4. Tugas Utama Mediator

dalam mediasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan para pihak masing-masing yang
bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu
atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Proses mediasi menghasilkan
suatu kesepakatan antara para pihak.(mutually acceptable solution). Pada dasarnya
kesepakatan negara yang bersengketa ini lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan
peradilan, karena merupakan hasil dari Kesepakatan para pihak. Artinya
kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan yang telah mereka pilih untuk
disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka. Kekuatan putusan mediasi ini
tergantung dari itikad baik para pihak untuk mematuhi putusan mediasi itu.

Sedangkan dalam putusan pengadilan itu karena ada pihak lain yang memutuskan,
yaitu hakim. Dengan kata lain putusan pengadilan itu bukan hasil kesepakatan para
pihak.

Berjalannya proses mediasi tidak terlepas dari peran seorang mediator. Mediator
memegang peranan krusial dalam menjaga kelancaran proses mediasi. Terdapat
banyak teori mengenai tugas seorang mediator. Namun secara umum terdapat 7
tugas seorang mediator.

a.

mediator harus menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa agar
para pihak tidak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya.

b.

mediator juga harus memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan
mengumpulkan serta menganalisa proses mediasi dan latar belakang sengketa. Hal
ini penting untuk dilakukan agar mediator dalam mengarahkan mengetahui jalur
penyelesaian sengketa ini.

c.

selanjutnya mediator menyusun rencana-rencana mediasi serta membangun


kepercayaan dan kerjasama. Bentuk mediasi dapat berupa sidang-sidang mediasi.

d.

mediator harus mampu untuk merumuskan masalah dan menyusun agenda,


karena kadang-kadang yang kelihatan dari luar itu sebenarnya yang besar-besarnya
saja. Sebenarnya kalau dalam persengketaan itu ada kepentingan lain yang dalam
teori Alternatif Dispute Resolution (ADR) disebut interest base/ apa yang benarbenar para pihak mau. Interest base itu kadang-kadang tidak terungkap di luar
proses ADR.

e.

mediator harus mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak.


terkadang ada para pihak yang beritikad tidak baik, dan hal itu tidak boleh.

f.

mediator harus dapat membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa, pintar dan


jeli dalam memandang suatu masalah.

g.

mediator dapat menganalisa pilihan-pilihan tersebut untuk diberikan kepada para


pihak dan akhirnya sampai pada proses tawar menawar akhir dan tercapai proses
penyelesaian secara formal berupa kesepakatan antar para pihak.

5. Proses Mediasi

Proses penyelesaian melalui mediasi diawali dengan mediator mengadakan


pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah/ kaukus sebelum pertemuan
lengkap diselenggarakan untuk mengetahui informasi apa saja yang boleh dan tidak
boleh diungkap dalam pertemuan lengkap. Artinya pada tahap ini sudah ada
peringatan dari mediator. Misalnya seperti larangan menyerang pihak lawan
dengan bahasa yang memang tidak enak didengar. Kemudian mediator dapat
mempengaruhi apa yang disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lawannya
dengan cara memodifikasi pesan dalam bahasa yang dapat diterima dan dipahami
oleh kedua belah pihak.

Terkadang kita berbicara sesuatu tapi belum tentu lawan bicara kita menangkap
apa yang kita maksudkan. Mediator bisa membatasi atau menginterupsi salah satu
pihak kalau misalnya yang dibicarakan itu menyangkut hal yang sensitif bagi pihak
lain. Sebelum melakukan proses mediasi, para pihak sudah harus memasukkan data
tentang persengketaan. Data ini sebenarnya cukup melalui pengumpulan data, dan
hasilnya dianalisis untuk kemudian disusun rencana atau strategi mediasi.

Mediator juga dapat melakukan pencarian data-data ke lapangan agar dia lebih
sensitif. Namun lagi-lagi, mediator disini bukan sebagai pihak yang memutus,
melainkan lebih kepada pihak yang mengkondisikan agar pertemuan dapat
melahirkan kesepakatan-kesepakatan berdasarkan kepentingan para pihak. Dalam
teori mediasi, analisa konflik dari bahan-bahan yang sudah dikumpulkan tadi dapat
dilakukan dengan memahami apa yang disebut circle of conflict/ lingkaran konflik.

Dalam lingkaran konflik itu ada 5 kategori masalah yang dapat dijadikan dasar
dalam melakukan analisa konflik. Misalnya masalah hubungan antara para pihak,
seperti ada apa sebenarnya diantara para pihak?, kenapa keduanya tetap
bersikeras dengan posisinya, pernah bersengketa sebelumnya atau bagaimana?
dan sebagainya. Kemudian masalah ketidaksepakatan tentang data. Misalnya ketika
dikonfrontir jawabnya selalu mengelak. Kemudian juga masalah kepentingan yang

bertentangan. Misalnya bisa jadi pihak yang satu maunya kanan, yang lainnya lagi
maunya ke kiri. Kemudian masalah hambatan struktural dan masalah perbedaan
tata nilai yang kesemuanya sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai acuan bai
mediator.

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mediasi

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi mediasi adalah:

1.

karakter sistem internasional,

karakter ini mempengaruhi prospek dari negara, dan strategi yang mereka gunakan
untuk memecahkan konflik. Prinsip yang berlawanan dalam sistem internasional,
pola kesejajaran dan distribusi kemampuan kekuatan semua menghasilkan
pendekatan yang berbeda-beda bagi setiap konflik. Lingkungan internasional
bipolar seperti yang dulu pernah terjadi antara dua kekuatan negara adikuasa AS
dan Uni Sovyet , terlihat lebih menimbulkan kestabilan pada dunia internasional dari
pada sistem multipolar.

2.

sifat alami suatu konflik

karakteristik asli dari konflik di lihat dari isu yang di fokuskan, menentukan
seberapa penting penyelesaian dan pengelolaan konflik tersebut. beberapa isu
seperti kepercayaan atau agama, nilai-nilai fundamental dan integritas teritorial
merupakan isu penting, dan cenderung membangkitkan masyarakat internasional
untuk membantu menyelesaikan konflik itu. Karena biasanya isu diatas sulit untuk
diselesaikan hanya melalui jalur diplomatik serta dapat berlangsung lama yan
akhirnya membuahkanjalan kekerasan untuk menyelesaiakan konflik jika tidak juga
teratasi. Aspek lain yang mempengaruhi jalannya penyelesaian mediasi adalah
jumlah isu dalam konflik itu, kekakuan masing-masing pihak terhadap pendirian
masing-masing, apakah isu itu terkait dengan kepentingan yang berwujud berupa
konflik sumber kekayaan alam (tangible interests) atau konflik yang tidak berwujud
seperti persengketaan mengenai nilai-nilai yang dianut (intangible interest). Kedua
hal ini dapat mempengaruhi baik durasi maupun metode penyelesaian konfliknya.

3.

karakteristik-karakteristik internal negara yang dilibatkan

hal ketiga yang mempengaruhi penyelesaian konflik adalah karakter internal dari
para pihak yang terlibat. Yaitu seberapa banyak struktur pejabat negara yang
berpengaruh yang cenderung memiliki kebijakan untuk menyerang dengan
kekerasan atau lebih memilih bentuk lain dari penyelesaian konflik. Sistem dasar
dari suatu negara mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang akan mereka buat.
Seperti sebuah argumen yang menyatakan bahwa negara demokrasi lebih
cenderunng menggunakan metode damai dalam menyelesaikan sengketa dari pada
negara non demokrasi, hal ini karena norma intern, ekspresi liberal atau adanya
kendala pemilihan.

7. Mediasi dari segi politik

Berbeda dengan mediasi dalam sengketa perdagangan, mediasi di dalam sengketa


internasional mempunyai aspek yang lebih konflik yang berpengaruh pada isu
sengketa. Salah satunya adalah aspek politik dari negara-negara yang bersengketa.
Dimana faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian sengketa terdiri dari:

A. faktor kontekstual (Contextual Factors)

1.struktur sengketa (dispute structure)

a. isu-isu; yaitu permasalah yang timbul merupakan masalah krusial ataukah


hanya masalah yang tidak begitu mendasar.

b. Intensitas; adalah seberapa kekuatan dari persengketaan itu mempengaruhi


negara yang bersengkata khususnya dan masyarakat internasional umumnya.

2.

para pihak (parties)

a.
bentuk pemerintahan (polity); bentuk pemerintahan dari negara-negara
mempengaruhi karakteristik penerimaan mereka dalam kesepakatan mediasi,
seperti negara demokrasi, otoriter, komunis, sosialis, dan lain-lain.

b.
kekuatan (power); kekuatan para pihak juga menentukan cepat atau
tidaknya, contohnya jika sengketa terjadi antara dua negara yang sama-sama
berkekuatan seimbang maka masing-masing pihak cenderung untuk
mempertahankan posisinya, berlainan jika salah satu pihak lebih lemah dari negara
lainnya maka dimungkinkan negara lemah itu untuk mengalah lebih banyak dari
negara yang kuat.

B. Perilaku (Behavioural)

1.

sejarah hubungan para pihak; sejarah ini mempengaruhi kompleksitas


penyelesaian sengketa. Jika kedua negara yang bersengketa sudah mempunyai
sejarah permusuhan sejak lama, maka hal itu akan berpengaruh terhadap konflik
yang baru muncul meskipun persoalannya samasekali tidak berkaitan dengan
permasalahan yang telah lalu.

2.

kronisitas sengketa; jika suatu sengketa telah dibiarkan berlarut-larut sekian


lama maka untuk menyelesaikannya juga semakin susah.

B. Teori Arbitrase

Di dalam hukum nasional negara, proses litigasi melalui peradilan internasional


merupakan suatu hal yang sedapat mungkin untuk dihindarkan. Kemungkinan
memburuknya hubungan antar negara, ketidakyakinan terhadap hasil yang akan
diputuskan oleh pengadilan, serta untuk menghindari sesuatu yang memalukan jika
sampai kalah di pengadilan juga biaya yang besar merupakan beberapa sebab
keengganan negara-negara untuk menempuh jalur pengadilan. Maka untuk
mengatasi hal tersebut di bentuk lembaga arbitrase sebagai alternatif lain dari
pengadilan internasional dalam menyelesaikan sengketa antar negara.

Penyelesaian sengketa arbitrase sebenarnya termasuk ke dalam lingkup


penyelesaian melalui jalur adjudikasi. Yaitu proses peyelesaian sengketa melalui
prosedur peradilan yang bersifat formal serta menghasilkan suatu keputusan yang
mengikat bagi kedua belah pihak namun berbeda dibandingkan peradilan
internasional. Kata arbitrase berasal dari kata arbitrase (latin), arbitrage
(Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage
(Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. 6[6]

Ada beberapa batasan dan definisi tentang arbitrase. Secara luas arbitrase dapat
diartikan sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga
(badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela
untuk memutuskan sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat
final dan mengikat.7[7]

Menurut Black's Law Dictionary "Arbitration an arrangement for taking an abiding


by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying
it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay,
the expense and vexation of ordinary litigation."8[8]

Definisi arbitrase yang diadopsi dari Treaty of Lausanne case dan kemudian diikuti
oleh Komisi Hukum Internasional dalam kasus maritim delimitation and Territorial
Question (Bahrain v Qatar) adalah a procedure for the settlement of dispute
between states by binding award on the basis of law and as a result of an
undertaking voluntarily accepted.9[9]

Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dipandang sebagai


cara yang efektif dan adil. Sumbangan badan ini terhadap perkembangan hukum
internasional secara umum cukup signifikan. Sengketa Kepulauan Palmas (Miangas)
6
7
8
9

antara Amerika Serikat dan Belanda yang duputus oleh arbitrator tunggal Max
Huber merupakan salah satu bukti peranan badan ini terhadap hukum
internasional.10[10]

Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu


penyelesaian oleh seorang arbitrator secara terlembaga (institutionalized) atau
kepada suatu badan arbitrase ad hoc (sementara). Badan arbitrase terlembaga
adalah badan arbitrase yang sudah berdiri sebelumnya dan memiliki hukum acara
sendiri. Contoh badan arbitrase yang terkenal adalah the Permanent Court of
Arbitration (PCA) di Den Haag. Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan
yang di buat oleh para pihak untuk sementara waktu. Badan arbitrase sementara
ini berakhir tugasnya setelah putusan atas suatu sengketa tertentu dikeluarkan.

Beberapa lembaga Arbitrase Internasional lain diantaranya adalah:

c.

ICSID yaitu arbitrase yang menyelesaikan sengketa penanaman modal asing.

d. Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC). ICC


merupakan suatu lembaga Arbitrase Internasional yang tertua dalam bidang
perdagangan internasional. Badan ini didirikan di Paris pada tahun 1919.

e. Asia-Africa Legal Consultative Commitee (AALCC) didirikan pada tanggal 15


Desember 1956, berkantor pusat di New Delhi, India. Organisasi ini dibentuk oleh
ahli-ahli dari dunia ketiga yang bertujuan untuk melepaskan diri dari dominasi ICC.
Organisasi ini pada tahun 1978 melebarkan sayab dengan mendirikan kantor di
kawasan Asia, dengan memilih tempat kedudukan di Kuala Lumpur. Pada pertemuan
yang ke-40 yang diadakan di New Delhi, AALCC diganti menjadi Asian-African Legal
Consultative Organization (untuk selanjutnya akan disebut ALLCO). Secara tegas
ALLCO menyatakan tunduk dalam ketentuan yang dibuat oleh United Nations
Commision On International Trade Law (UNCITRAL) yaitu UNCITRAL Arbitration Rules
(UAR). Tujuan dibentuknya UAR adalah untuk mengglobalisasikan serta
menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara Arbitrase dalam menyelesaikan
sengketa yang terjadi dalam hubungan perdagangan. Perjanjian arbitrase menurut
UNCITRAL ini harus dilakukan dalam bentuk tertulis (agreed in writing), yang
10

menyatakan bahwa para pihak menundukkan diri kepada ketentuan arbitrase yang
diatur dalam UAR.

Selain lembaga-lembaga Arbitrase yang bersifat Internasional tersebut, masih


banyak lembaga-lembaga Arbitrase yang bersifat nasional yang dimiliki oleh
beberapa negara, misalnya:

a.

Nederlands Arbitrage Institute merupakan pusat Arbitrase nasional di Belanda.

b. The Japan Commercial Association merupakan pusat Arbitrase nasional di


Jepang.

c. The American Commercial Association merupakan pusat Arbitrase nasional di


Amerika Serikat. Didirikan oleh Kamar Dagang Amerika pada tahun 1926.

d. The London Court of International Commercial Arbitration yang didirikan pada


tahun 1892.

e. Australian Centre for International Commerce Arbitration (ACICA) merupakan


lembaga arbitrase di Australia.

f.

Thai Arbitration Board.

g.

Hongkong International Arbitration Centre, didirikan pada tahun 1985.

h. Singapore International Arbitration Centre (SIAC), yang didirikan pada tahun


1991.

i.

China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC).

j.

Korean Commercial Arbitration Board (KCAB).

k. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan Arbitrase Nasional di


Indonesia yang didirikan oleh kamar dagang dan industri Indonesia pada tanggal 3
Desember 1977.

Ada dua perbedaan utama antara badan arbitrase internasional publik dengan
pengadilan internasional.

a. arbitrase memberikan para pihak kebebasan untuk memilih atau menentukan


badan arbitrasenya.sebaliknya pada pengadilan,komposisi pengadilan berada diluar
pengawasan dan kontrol para pihak.

b. Arbitrase memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum


yang akan diterapkan oleh badan arbitrase. Kebebasan seperti ini tidak ada dalam
pengadilan internasional pada umumnya. Contohnya pada Mahkamah Internasional
terikat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada, meskipun
dalam mengeluarkan putusannya dibolehkan menerapkan prinsip ex aequo et bono.

1. Kelebihan Arbitrase

Kelebihan dalam penggunaan arbitrase antara lain adalah:

a. para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya (arbitrator) baik


secara langsung maupun tidak langsung (melalui bantuan pihak ketiga seperti
pengadilan internasional). Hal ini penting karena apabila suatu negara
menyerahkan sengketanya kepada pihak ketiga (dalam hal ini arbitrase) maka
negara tersebut harus mempercayakan sengketanya diputus oleh pihak ketiga
tersebut, yang menurut negara itu bisa diandalkan, dipercaya, dan memiliki
kredibilitas.

c. para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau


persyaratan bagaimanan suatu putusan akan didasarkan misalnya dalam
menentukan hukum acara dan hukum yang akan diterapkan pada pokok sengketa.

d.

sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat

e. apabila para pihak menginginkan maka arbitrase itu dapat dilaksanakan secara
rahasia. Contoh persidangan yang dilakukan secara rahasia adalah persidangan
atau dengar pendapat secara lisan yang tertutup dalam kasus Rainbow Warriors
Arbitration juga dalam kasus Anglo-French Continental Shelf.11[11]

f.

prosedur arbitrase dapat lebih cepat dari pengadilan internasional.

g.

para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.

2. Kelemahan Arbitrase

Selain kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan di atas arbitrase juga


mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

a. arbitrase hanya dapat dilakukan jika kedua belah pihak sepakat untuk itu,
sedangkan dalam masyarakat internasional umumnya negara enggan untuk
memberikan komitmennya untuk menyerahkana sengketa kepada badan-badan
pengadilan interansional termasuk badan arbitrase internasional.

h.

11

keputusan yang diambil tergantung pada arbiter.

i.
proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tisak mejamin putusannya akan
mengikat. Hukum internasional tidak menjamin bahwa pihak yang kalah atau tidak
puasdengan putusan yang dikeluarkan akan melaksanakan putusan tersebut.

j.

tidak ada preseden yang dapat dijadikan sumber hukum arbitrase.

k. dalam penunjukkan badan arbitrase ad hoc, sedikit banyak akan menimbulkan


kesulitan dalam prosesnya, karena para pihak harus betul-betul memahami sifatsifat arbitrase dan merumuskan sendiri hukum acaranya. Badan arbitrase akan
berfungsi apabila para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa pada lembaga
itu.

3. Sumber Hukum Arbitrase

Dalam penggunaan arbitrase sumber hukum internasional yang dapat dijadikan


landasan hukumnya adalah:

a. The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute


(tahun 1899 dan 1907)

l.
Pasal 13 Covenant of the League of Nations. Pasal 13 ayat (1) Covenant antara
lain mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyerahkan sengketa mereka
kepada badan arbitrase (atau pengadilan internasional) apabila sengketa itu tidak
dapat diselesaikan secara diplomatik. Ketentuan ini diperkuat dengan dibentuknya
suatu protokol di Jenewa tahun 1924. tetapi protokol itu tidak berlaku karena negara
yang meratifikasinya sedikit.

m. The General Act for the Settlement of International Dispute pada tanggal 26
September 1928. dibuatnya The General Act ini dipengaruhi oleh kegagalan
Protokol 1924. Suatu Komisi khusus, yaitu The convention on Arbitration and
Security dibentuk untuk merumuskan The General Act. Perjanjian ini berlaku pada
tanggal 16 Agustus 1929 dan diratifikasi oleh 23 negara termasuk Perancis, Inggris
dan Italia.

n. Pasal 33 Piagam PBB yang memuat beberapa alternatif penyelesaian sengketa,


antara lain arbitrase, yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara anggota PBB.

o. The UN Model on Arbitration Procedure, yang disahkan oleh Resolusi Majelis


Umum PBB 1962 (XIII) tahun 1958. Model Law ini sebenarnya adalah hasil karya ILC
(International Law Commission) yang menaruh perhatian besar terhadap arbitrase.
Pada tahun 1955, ILC kembali mengkaji ulang seluruh rancangan perjanjian dan
mengubah nama perjanjian tersebut menjadi sekedar Model Hukum (Model of
Law).12[12]

4. Pemilihan Arbitrator

Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal yang paling vital adalah
penentuan pemilihan arbitratornya. Karena dalam putusan arbitrase berlaku
mengikat para pihak, serta tidak ada sarana banding sehingga kewenangan
arbitrator ini sangat besar dalam penentuan kasus. Meskipun telah di sepakati
bahwa peran arbitrator harus independent dan tidak memihak, namun perlu suatu
kejelian untuk memilih arbitrator agar nantinya tidak menghasilkan suatu putusan
yang merugikan para pihak.

Pada proses arbitrase para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan dan
mengangkat arbitrator yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Para
pihak, sebelum mengadakan pemilihan arbitrator dengan sendirinya akan
mempertimbangkan berbagai konsekwensi yang timbul dalam perkara tersebut.
Salah satunya adalah imparsialitas dari arbiter yang merupakan salah satu jaminan
terhadap kepercayaan, karena keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter harus
merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter dituntut harus
mampu meyakinkan pihak-pihak yang berperkara sebagai figur yang bebas dan
tidak memihak. Tanpa ada kepercayaan dari pihak-pihak bersengketa kepada
arbiter atau para arbiter, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan baik
sebab arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi berdasarkan kebenaran
dan kepatutan (ex aequo et bono).

12

Definisi dari arbitrator sendiri adalah:

A private, neutral person chosen to arbitrate a disagreement, as opposed to a


court of law. An arbitrator could be used to settle any non-criminal dispute, and
many business contracts make provisions for an arbitrator in the event of a
disagreement. Generally, resolving a disagreement through an arbitrator is
substantially less expensive than resolving it through a court of law.13[13]

Pendapat lain mengenai definisi arbitrator, yaitu;

An Arbitrator is a disinterested person selected by agreement of contesting parties


(or by the court) to hear and settle some disputed question between them. The test
for apparent or unconscious bias in an arbitrator is whether there was any real
danger that he was biased.14[14]

Pada awal perkembangannya para pihak kerap mempercayakan orang-orang


berpengaruh seperti kepala negara atau pimpinan spiritual (agama) sebagai
arbitratornya. Dalam perkembangannya, individu perorangan dengan kualifikasi
tertentu seperti ahli hukum, politikus atau hakim, telah pula dipilih sebagai
arbitrator.

Pada umumnya dalam Arbitrase di pakai tiga arbitrator panel, tapi tidak menutup
kemungkinan untuk menunjuk satu arbitrator jika jumlah yang disengketakan hanya
sedikit. Penunjukan panel tiga arbitrator biasanya melibatkan masing-masing pihak
dengan menunjuk satu arbitrator, kemudian kedua arbitrator terpilih itu akan
memilih arbitrator ketiga sebagai chairman. Penunjukkan arbitrator ini harus di
setujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Dalam The Jay Treaty tahun 1794 mensyaratkan tiga orang anggota arbitratornya.
The General Act 1928 mensyaratkan lima orang. The Hague Convention 1899 dan
The Hague Convention 1907 juga mensyaratkan lima orang. Biasanya badan
13
14

arbitrase permanen memiliki daftar nama-nama orang yang telah memenuhi


kualifikasi sebagai arbitrator. Dari daftar ini para pihak dapat memilih mereka sesuai
dengan pilihannya.

Dalam penentuan jumlah arbitrator, the United Nations Model juga menentukan
bahwa para pihak yangmenetapkan jumlah dan syarat-syarat arbitrator. Apabila
para pihak gagal menentukan arbitrator ini dalam jangka waktu tiga bulan maka
the United Nations Model akan memercayakan penentuan arbitrator kepada
presiden Mahkamah Internasional.

5. Hukum Acara

Hukum acara yang akan berlaku dalam persidangan arbitrase sepenuhnya


bergantung pada kesepakatan para pihak yan dituangkan dalam perjanjian.
Konvensi Den Haag, the General act 1928 dan the United Nations Model memuat
aturan-aturan hukum acara yang dapat diikuti oleh para pihak.

Berdasarkan pengamatan Camara, pada umumnya unsur-unsur hukum acara


dilakukan sebagai berikut.

a.

Acara persidangan dilakukan melalui dua tahap: tertulis dan lisan.....

b. Dokumen-dokumen diserahkan sebelum persidangan secara tertulis dan


tertutup.

c. Peradilan arbitrase diberi wewenang untuk memanggil saksi-saksi dan meminta


bantuan para ahli.

d. Peradilan artbitrase memutus setiap tuntutan yang berkaitan dengan pokok


perkara.

e.

Peradilan arbitrase dapat memberikan tindakan perlindungan sementara.

f. Apabila salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan, peradilan arbitrase
dapat memutus perkara untuk kepentingan pihak lainnya apabila tuntutan memiliki
landasan hukum yang kuat.

Persidangan bersifat rahasia.15[15]

g.

6. Arbitrase dari Segi Politik

Penyelesaian sengketa antara dua negara tentu akan sulit untuk dicari jalan
tengahnya jika permasalahan yang dihadapi cukup krusial bagi kedua negara. Disini
diperlukan penengah dari pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa karena dengan
adanya pihak ketiga maka akan memberikan tekanan pada para pihak untuk
mendorong para pihak menerima penyelesaian sengketanya.

Arbitrase lebih fleksibel dibandingkan proses peradilan di Mahkamah Internasional,


dimana para pihak dapat menentukan arbitratornya, tempat perwasitan itu
dilaksanakan, prosedur yang akan diterapkan, kekuatan dari putusannya melalui
perumusan terms of reference (juga disebut sebagai hasil kompromi para pihak)
serta kerahasiaan persidangan yang terjamin. Faktor-faktor ini membuat arbitrase
lebih menguntungkan dari segi politis bagi negara ynag bersengketa.

III.

Kasus Bosnia-Hercegovina
A. Kasus Posisi

Setelah melalui peperangan yang panjang, pada tanggal 14 Desember 1995 di


rancang suatu kerangka kerja umum untuk perdamaian di Bosnia-Hercegovina (the
15

Dayton Agreement), yang telah mengakhiri perang di Bosnia-Hecegovina. Dalam


implementasinya perjanjian tersebut tidak begitu berhasil karena hanya sukses di
dalam aspek militernya saja. The implementation force (IFOR) yaitu pasukan yang
mengawasi jalannya perdamaian, yang sebelumnya di bawah struktur UN kemudian
alihkan di bawah kewenangan NATO, yang merupakan elemen penting dalam
mengakhiri pertempuran dan mencegah kembalinya peperangan. Implementasi
sipil dari The Dayton Agreement, terkendala beberapa kesulitan, khususnya yang
berhubungan dengan isu kebebasaan pergerakan dan hak-hak para pengungsi
untuk kembali ke rumah mereka, sebagaimana yang di jamin oleh Annex VII dari
perjanjian. Sebagai tambahan, pengusiran secara paksa keluarga-keluarga di Bosnia
dan pembakaran rumah-rumah terus berlangsung walaupun satuan tugas militer
polisi Internasional (the international police task force IPTF) hadir disana beserta
organisasi-organisasi lainnya. 16[16]

Ketika perhatian internasional tertuju pada sengketa Serbia Bosnia dan adanya
tuntutan terhadap kejahatan perang di sana, pergulatan penting pun terjadi di
Croat-Bosniac Federation of Bosnia-Hercegovina (negara Federasi). Dunia
internasional menyoroti Federasi ini dan fungsinya sebagai kunci dari keseluruhan
proses perdamaian. Transisi pembagian kekuasaan secara damai di Federasi
tidaklah mudah, namun dengan bantuan dan support masyarakat internasional,
dilakukan dorongan untuk mengadakan mediasi dan arbitrase dalam menyelesaikan
ketidakcocokan dalam menetapkan fungsi dan demokratisasi institusi.

Masyarakat Bosnia-Hercegovina terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: Bosnia serbia,


Bosnia Kroasia, dan Bosniacs yaitu istilah yang ditujukan pada muslim Bosnia dan
semua masyarakat yang bukan termasuk orang serbia maupun kroasia. Di bawah
perjanjian Dayton, Federasi Bosnia-Hercegovina dan republik Srpska adalah dua
entitas yang berbeda didalam negara Bosnia-Hercegovina, dengan perbandingan
Federasi 51 % dan Republik Srpska 49 %.

Federasi itu terbentuk pada waktu peperangan 1994 dengan The Washington
Agreement antara pemerintahan Bosnia-Hercegovina dan Kroasia. Perjanjian ini
berisi konstitusi yang berdasarkan pada tiga level struktur yaitu pemerintahan,
daerah dan otoritas Federal. Mayoritas otoritas berada di dalam sepuluh daerah
(cantons). Kesulitan terbesar adalah dalam usaha untuk menjaga keseimbangan
antara kepentingan Kroasia dan Bosniacs. Konstitusi Federal membagi kedua
kelompok masyarakat anggota pemilih ini secara seimbang, dan pada akhirnya,
semua legislasi harus disetujui oleh mayoritas anggota Dewan Federasi Kroasia dan
16

Bosniacs. Kedua kelompok itu, telah berulang kali menggunakan persyaratan (suara
pemilihan yang harus mayoritas) itu untuk menunda legislasi yang dirasa oleh
masing-masing kelompok merugikan pihaknya. Persyaratan ini sebenarnya
direncanakan untuk melindungi hak-hak kedua kelompok Bosnians dan Kroasian,
namun telah disalahgunakan untuk meningkatkan kepentingan nasionalist masingmasing kelompok.

Dewan Federasi itu akhirnya kehilangan fungsinya. Institusi kunci tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, dan masyarakat Kroasia tidak benar-benar bergabung
secara penuh dengan Republik Kroasia dari Herceg-Bosna. Meskipun mendapat
kritikan dari masyarakat internasional, masyarakat Bosnia Kroasia telah menentang
semua usaha untuk larut dengan Herceg-Bosna. Institusinya dan administrasinya
terus eksis berlanjut, dan membuat halangan besar terhadap penegakan fungsi
Institusi Federasi.

B. Sistem Mediasi dan Arbitrase

Tidak lama setelah Federasi didirikan, pemerintahan Bosnia-Hercegovina dan


Kroasia mengakui pentingnya untuk menyelesaikan mekanisme sengketa untuk
memutuskan perkara kedua belah pihak yang tidak dapat diputuskan sendiri. Tahun
1995, Presiden Bosnia Izedbegovic dan Presiden Kroasia Tudjman, bersama dengan
pemerintah Jerman dan US, menyetujui dua langkah mekanisme penyelesaian
sengketa. Para pihak menunjuk Christian Schwarz-Schilling, anggota dari parlemen
Jerman, sebagai mediator untuk Federasi, dan pengacara Washington Roberts Owen
sebagai Arbitrator Federasi.

Tugas dari Mediator Federasi adalah untuk menegosiasikan dengan para pihak
untuk menyelesaikan semua sengketa, memperhatikan secara khusus pandanganpandangan para pihak terhadap isu-isu khusus, dan untuk mengevaluasi
kemungkinan untuk berkompromi. Jika para pihak berhasil berkompromi, perjanjian
itu secepatnya didokumentasi dan ditandatangani oleh wakil-wakil yang berwenang.

Jika para pihak tidak dapat berkompromi, atau salah satu pihak tidak mematuhi
perjanjian yang telah ditandatangani, maka para pihak dapat mengajukan arbitrase
yang mengikat. Kontras dengan mediasi, proses arbitrase dalam menyelesaikan
sengketa melalui mekanisme hukum secara keseluruhan, dengan tidak ada celah
untuk tawar menawar. Para pihak menghadirkan kasus dan argumentasi legal

mereka, biasanya dalam bentuk tertulis, dan arbitrator kemudian akan membuat
keputusan yang tidak bisa di banding berdasarkan latar belakang hukum arbitrase.

Di masa lalu, keputusan arbitrase sering di tentang oleh pihak yang kalah, dengan
menanyakan pada mediator untuk menginterpretasi keputusan itu atau untuk
menegosiasi ulang permasalahan. Mediator, harus menolak tindakan tersebut,
karena mengutamakan sifat mengikat arbitrase. Arbitrase sendiri, diliputi resiko
yang banyak karena para pihak tidak dapat mempengaruhi hasilnya. Pihak yang
kalah di arbitrase, dalam pandangan di masa lalu, sering menyesali penolakannya
dahulu terhadap pengadopsian kompromi yang di tawarkan oleh mediator. Mediasi
pertama dilakukan pada Juni 1995, dan sejak itu hanya 15 daerah yang menerapkan
final arbitrase yang mengikat.

1. Issu Mediasi

Isu utama dari mediasi berkenaan dengan verifikasi mandat untuk Dewan
Pemerintah, pemilihan pemimpin Dewan, penunjukan delegasi untuk legislative
daerah (canton), pengembalian para pengungsi, kebebasan bergerak (freedom of
movement), dan diikuti oleh rencana pemilihan umum bulan September 1996 serta
pendirian institusi di Federal khususnya di level canton.

Verifikasi mandat merupakan problem yang sangat rumit. Pada awalnya anggota
Dewan pemerintah telah dipilih di tahun 1990 dari partai yang terdaftar. pada waktu
itu, Dewan pemerintah terbentuk sebelum perang berlangsung.Walaupun Dewan
pemerintah dibentuk sebelum pendirian Federasi, kedua partner Federasi menerima
Dewan ini sebagai Dewan pemerintah sementara yang sah sampai pemilihan
pemerintah yang akan dibentuk terpilih menggantikan mereka. Pemilihan
pemerintah, dijadwalkan bulan September 1996 namun belum lama berselang
ditunda oleh organisasi keamanan dan kerjasama di Eropa sampai 1997.

Selama masa perang banyak anggota dewan yang mati, hilang atau lari, dan harus
digantikan kedudukannya. Dalam Mostar agreement bulan May 1995, Kroasia dan
Bosniacs menyetujui, dalam kasus ini, orang yang berada di daftar selanjutnya dari
partai yang terdaftar itu yang akan menggantikan jabatan di Dewan. Sebelum
perang, prosedur ini dapat dilaksanakan tanpa masalah. Namun di dalam
kenyataannya sekarang, meskipun, jika delegasi itu tidak lagi berasal dari anggota

partai tapi dari latar belakang etnis atau delegasi itu adalah orang Kroasia atau
Bosniac perlu diputuskan lagi apakah dia dapat diterima sebagai pengganti. Jika
delegasi itu tidak dapat diterima sebagai pengganti, maka partai tersebut secara
khas akan berdebat atau memberi alasan seperti telah dikeluarkan dari partai,
mengundurkan diri, atau tinggal diluar negeri dan tidak lagi dapat dipekerjakan. Hal
ini menghambat jalannya Dewan Federasi karena jumlah anggota Dewan tidak
lengkap.

Mediator dan arbitrator, dalam putusan final di bulan Juni 1996, mengatur bahwa
semua anggota yang telah menduduki kursi Dewan sebagai hasil dari pemilihan
tahun 1990 akan dipertahankan dalam kedudukan mereka meskipun mereka
mengundurkan diri ataupun dikeluarkan dari partainya. Ini adalah prosedur standar
dalam demokrasi dibawah prinsip kebebasan mandat (freedom of mandate), yang
menyatakan bahwa setiap anggota dari Dewan Legislatif adalah independent dari
partainya atau keanggotaan partainya sejak saat dia masuk menjadi dewan dimana
dia telah secara bebas dipilih. Secara berlawanan, jika saat penggantian itu dia
tidak lagi sebagai anggota partainya, sebelum dia mengganti anggota dewan yang
mengundurkan diri, maka dia kehilangan haknya untuk menggantikan anggota yang
mengundurkan diri itu.

Penerimaan dari aturan ini telah menimbulkan suatu hal yang banyak
mencurigakan. Para partai menerima peraturan jika hal itu fair dan yang
menguntungkan mereka, dan menentang secara keras jika tidak menguntungkan.
Sebagai akibatnya, anggota dewan di beberapa daerah berusaha untuk menentang
tidak mau untuk melakukannya dalam jangka lama, dan Dewan, karena itu, tidak
dapat untuk bersidang dan bekerja menyelesaikan masalah-masalah yang banyak
pasca perang.

Kesulitan kedua dalam mediasi berkaitan dengan pemilihan jabatan Walikota


(eksekutif daerah) oleh Dewan pemerintah. Dalam sengketa ini, Partai Nasional
Kroasia (HDZ) telah menerima satu kursi lebih dari partai nasional Bosniac (SDA),
namun dalam forum kedua partai tidak mempunyai mayoritas suara absolut.
Kroasia mengklaim mereka mempunyai hak untuk memutuskan Walikota
berdasarkan atas interpretasi mereka terhadap The Mostar Agreement yang
menyatakan bahwa partai terkuat dapat menamai walikota tersebut. Saat yang
sama pihak Bosnia mengartikannya sebagai mencalonkan atau penentuan, dan
hal ini menjadi tidak jelas apakah Kroasia itu mempunyai hak untuk menunjuk
walikota baru atau hanya memberi nama calon Walikota itu. Dengan beralasan pada
aturan dasar demokrasi, maka mediator dan arbitrator memutuskan bahwa
naming the mayor menamai walikota berarti mencalonkan kandidatnya,

dengaan demikian membolehkan Dewan itu untuk memilih kandidat lain untuk
pemilihan.

Isu krusial lainnya dalam mediasi, bahwa sejumlah delegasi pemerintah juga dikirim
sebagai Dewan cantonal, jika bagian teritori itu tidak terletak didalam Federasi tapi
didalam Republik Srpska. Sebagai akibat dari pertempuran selama perang dan
penarikan garis perbatasan di Dayton, beberapa bagian pemerintahan terbagi
menjadi bagian dari Federasi dan Republik Srpska juga. Dalam Mostar Agreement,
anggota Federasi telah menyetujui bahwa jumlah delegasi untuk masing-masing
daerah bagian akan berkurang sesuai dengan persentase dari teritori yang terletak
diluar Federasi. Daerah bagian yang letak seluruhnya berada didalam Federasi akan
mendapatkan 5 delegasi, jika hanya 80 % dari teritori yang berada dalam Federasi
maka akan dapat 4 delegasi, dan seterusnya. Mediator dan arbitrator menetapkan
agreement ini tidak konstitusional karena daerah bagian tidak harus diperlakukan
dengan perwakilan yang terbatas jika teritorinya berkurang sebagai akibat perang
atau dayton agreement. Resolusinya adalah seluruh daerah bagian harus
mendapatkan lima perwakilan tanpa berdasarkan ukuran teritori mereka di dalam
Federasi.

2. Enforcement

Di beberapa daerah bagian, perjanjian mediasi dan aturan arbitrase tidak dapat
diterapkan karena para pihak tidak punya kemauan untuk melakukannya. Di kasus
yang lain, kompromi negosiasi yang baik telah dirusak oleh fungsionaris di level
atas. Untuk menyelesaikan hambatan ini, mediator mengajukan Federation
Implementation Council untuk menghilangkan individu-individu yang menghalangi
kemajuan. Konsul ini terdiri dari tiga anggota dari masyarakat internasional
bersama satu orang pihak Kroasia dan satu orang pihak Bosnia, yang mempunyai
hak untuk menginvestigasi kasus yang terkait dengan pejabat publik yang tidak
mematuhi kewajibannya dibawah hukum domestik atau perjanjian internasional
seperti Dayton Agreement, atau yang menghalangi kemajuan di constituent
mereka.

Jika konsul tersebut mendapatkan pejabat yang melakukan pelanggaran, maka


konsul mempunyai kekuatan untuk mengeluarkannya dari jabatan. Dalam kasus
pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, konsul akan membuat rekomendasi
kuat kepada legislative yang tepat untuk memberhentikan pejabat itu. Reaksi awal
terhadap proposal mediator ini mendapat dukungan, dan kemudian proposal itu

dikirim ke Dewan Federal di Sarajevo. Dalam pelaksanaannya meskipun hal itu telah
diagendakan pada Juni 2006, parlemen belum mengeluarkan hukumnya.

Keberhasilan strategi untuk menghadapi rintangan tidak harus diperlukan ilmu


pengetahuan secara mendalam mengenai hukum, namun lebih menjurus kepada
pengetahuan umum. Selama masa mediasi untuk memanggil Dewan pemerintah
untuk persidangan di sentral Bosnia, Kroasia memprotes bahwa hanya bendera
Bosna yang berkibar di dalam ruang sidang. Ketika Kroasia menghadirkan bendera
Herceg-Bosna, pihak Bosnia menentang. Karena bendera Herceg-Bosna sangat
mirip dengan bendera Kroasia, yang menyebabkan pihak Bosnia tidak menerima,
maka interpreter mediator menggunakan alat jahitnya untuk memotong bagian
bendera yang mengidentifikasikan bendera Herceg-Bosna, dan dengan beberapa
jahitan mengubahnya menjadi bendera yang tidak mirip dengan bendera Kroasia. Di
bawah perhatian media internasional, maka bendera yang diajukan kepada publik
diterima oleh semua pihak.

IV.

Penutup
Untuk menyelesaikan sengketa antar Negara secara damai terdapat beberapa
metode penyelesaian yang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Penggunaan metode penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga dalam hal ini
mediasi dan arbitrase dapat dilakukan oleh pihak yang bersengketa baik secara
sendiri atau pun dilaksanakan secara berjenjang seperti dalam kasus Bosniahercegovina. Dari segi teori, mediasi berada di bawah arbitrase dari tingkat
keformalan beracara dan prosedurnya. Sehingga biasanya negara yang ingin
menggunakan salah satu metode ini akan lebih mendahulukan mediasi dulu untuk
menyelesaikan sengketanya. Jika telah ditemui jalan buntu atau para pihak tidak
mau melaksanakan keputusan mediasi itu maka dapat di tempuh jenjang yang lebih
tinggi yaitu arbitrase.
Kedua metode penyelesaian sengketa ini dapat berhasil hanya jika ada itikad baik
dari para pihak untuk mematuhi hasil putusan yang diambil. Jika ada pihak yang
tidak mau menjalankan putusannya maka kedua usaha itu tidak akan berhasil di
implementasikan karena tidak adanya upaya pemaksaan (enforcement) atau sanksi
terhadap pelanggaran dari putusan tersebut.

Perbedaan antara mediasi dan arbitrase adalah dalam mediasi keputusan


diserahkan pada para pihak untuk menetapkannya, jadi ada kesepakatan bersama
dalam penyelesaian sengketanya. Sedangkan dalam arbitrase keputusan di ambil
oleh arbitrator dan para pihak tidak dapat turut campur dalam penentuan putusan
ini. Di dalam mediasi pertemuan lebih bersifat informal, sedangkan dalam arbitrase
sudah ada prosedur beracaranya meskipun tidak seformal dalam pengadilan
internasional.

Kaitan dalam kasus Bosnia-Hercegovina diatas, para pihak telah menjalankan


proses mediasi dan arbitrase sesuai dengan teori yang ada di dalam Hukum
Internasional. Meskipun ada beberapa putusan yang tidak dapat dilaksanakan
karena adanya beberapa faktor penghalang, seperti para pihak tidak punya
kemauan untuk melaksanakan putusan serta adanya pejabat-pejabat tinggi yang
bertindak menentang hasil putusan. Pemerintah Bosnia-Hercegovina juga secara jeli
telah mengantisipasi kemungkinan persengketaan yang macet sehingga telah
menetapkan dua instrumen penyelesaian sengketa ini ditempuh dengan jenjang
bertingkat.

Pada umumnya proses mediasi dan arbitrase yang dilaksanakan pada Negara
Bosnia-Hercegovina dapat dikatakan berhasil menyelesaikan sengketa, meskipun
kesemua itu kembali lagi bergantung pada itikad baik para pihak. Kesuksesan atas
proses mediasi dan arbitrase harus didukung oleh semua unsur para pihak yang
bersengketa juga kepada niat baik dari masyarakat internasional untuk membantu
proses rekonstruksi dan pemulihan keadaan pasca perang di negara itu.

DAFTAR PUSTAKA

D. J. Harriss, Cases and Materials on International Law, Sixth Edition, Sweet & Maxwell,
London, 2004.

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, 2004.

J. G. Merrills, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, 1986.

Malcolm N. Shaw, International Law, Fourth Edition, Cambridge University Press, 1997.

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.

Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI-Press, Jakarta, 2006.

Black's Law Dictionary, St. Paul Minn, West Publishing Co, 1979.

http://www.investorwords.com/250/arbitrator.html di akses tanggal 15 Mei 2007

http://www.clickdocs.co.uk/glossary/arbitrator.htm diakses tanggal 15 Mei 2007

Peter H. Backes, Mediation in the Federation of Bosnia- Hercegovina, dalam


http://www.wcl.american.edu/hrbrief/v4i1/bosnia41.htm di akses tanggal 22 Maret
2007.

PENGANTAR HUKUM ARBITRASE DI INDONESIA


Posted by tommirrosandy 14 Maret 2011 Tinggalkan Sebuah Komentar
Filed Under ad hoc, ADR., Arbitrase, hak kekayaan intelektual, HIR, HKI,
institusional, Penyelesaian Sengketa, RBg, Rv

Oleh : Tommi Ricky Rosandy, SH


A. Pengertian
Istilah arbitrase berasal darikata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda/Perancis), arbitration
(Inggris) dan shiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu
menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit. Dalam literatur, dijumpai
beberapa batasan arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli hukum, di antaranya adalah : 1
1. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works disebutkan bahwa
arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara
sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar
perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan
mereka berdasar kan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk
menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
2. Gary Goodpaster, mengemukakan sebagai berikut :
Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or
experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some
fashion select.
3. Subekti, menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada
atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau
tunjuk tersebut.
4. Priyatna Abdurrasid mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu
sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa,
dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
5. M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di
mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh
para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
6. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut :
Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to
the dispute who agree in advance to abide by arbitrators award issue after hearing at which
both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the
judgement of selected persons in some dispute matter, istead of carrying it to establishtribunal of

justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary
litigation.
7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
8. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a
procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and
as a result of an undertaking voluntarily accepted. 2
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam
Arbitrase harus tertulis, bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
arbitrase adalah sebagai berikut : 3
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan;
dan
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa
pranata arbitrase ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia
Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de
Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615 sampai dengan 651 R.v. tersebut.
Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan
serta fungsi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau
pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan
oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi
bangsa Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikannya di luar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan
tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement
Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo
1849-63).
Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung
tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.4
B. Obyek Sengketa dalam Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui adjudikatif privat, yang putusannya
bersifat final dan mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999
disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa
sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui
arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999
yaitu :
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika
dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah
kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.5
C. Kelebihan Arbitrase
Di bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari
tinjauan undang-undang :6
Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam Tinjauan terhadap Arbitrase
Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia dalam buku Arbitrase di
Indonesia , menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu :
a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;
b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;
g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.

Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga
menyebutkan beberapa alasan yang menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase
demikian populer dalam transaksi dagang internasional, antara lain :
Dihindarkannya publisitas;
Tidak banyak formalitas;
Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;
Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;
Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
Lebih murah dan lebih cepat.
Mengutip penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan
bahwa pranata Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu
antara lain :
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses
dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Dari keterangan di atas dapat dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian
sengketa, misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih
menguntungkan apabila kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik dianggap sebagai
salah satu sarana mencapai tujuan perusahaan dan demi berlangsungnya sebuah perusahaan
tersebut, begitu juga dengan pihak yang tergolong orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa
mempercepat dicapainya solusi atas sebuah sengketa karen prosedural dan administratif juga
lebih mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai dengan
sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter yang dipilih bisa dari
arbiter yang ahli dalam bidang cyber law sehingga diharapkan putusan akan lebih diterima oleh
para pihak. Begitu juga dengan pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang
paling sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai
kesepakatan para pihak. Arbitrase diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan para pihak dan
mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang masuk kepada
kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan penyelesaian
sengketa alternatif.
D. Kekurangan Arbitrase dan ADR dalam Penyelesaian Sengketa
Meskipun ADR memiliki beberapa keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme
yang rentan terutama untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahankelemahan, di antaranya :7

a. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis,
bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh
kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga
ADR. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui
lembaga-lembaga ADR yang ada.
c. Lembaga ADR tidak mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun
keputusannya bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui fiat eksekusi
pengadilan. Jadi wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR,
sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur
waktu, perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.
e. Kurangnya kesediaan para pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya.
Budaya litigasi yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution, dan bukan
win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.
f. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR
hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu konvensi-konvensi seperti : Convention of the settlement of Investment
Disputes Between States and National of Other State atau Convention on the Recognition And
Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita dapat mengemukakan
beberapa jenis arbitrase yaitu :8
1. Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan
atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu
sampai sengketa itu diputuskan.
2. Arbitrase institusional;
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Karena
sering disebut permanent arbitral body . Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan
sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan
dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase
institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain
itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani telah selesai.
F. Keputusan Arbitrase
Putusan arbirase umumnya mengikat para pihak. Penaatan terhadapnya dipandang tinggi.
Biasanya putusannya bersifat final dan mengikat.9 Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para

pihak sendiri atas kesadaran akan penyelesaian sengketa.


Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun
lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan
mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula
arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan
olehnya. Berdasarkan pada tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan
arbitrase dapat kita bedakan ke dalam : 10
1. Putusan arbitrase nasional,
yang merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik Indonesia;
2. Arbitrase Internasional atau arbitrase asing,
Yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia.
Untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau
internasional, didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan hukum yang dipergunakan
dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. Kalau mempergunakan hukum asing sebagai
dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional.
Sebaliknya walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan berkewarganegaraan Indonesia,
tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya, maka
putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan putusan arbitrase
internasional. 11
G. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )
Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI ) adalah sebuah badan yang mempunyai hubungan
erat dengan KAMAR DAGANG dan INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya
memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul
mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun
yang bersifat Internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI adalah bebas (otonom)
dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain. 12
Indonesia mulai memiliki pusat arbitrase nasional sejak tahun 1977. Indonesia juga memiliki
sebuah lembaga arbitrase yang dipusatkan pada transaksi rencana perbankan dan keuangan
Islam. Lembaga ini dikenal sebagai BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang
didirikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Yayasan BAMUI, sebagai sebuah mekanisme
alternatif yang menyangkut perselisihan komersial di Indonesia. 13
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitarase BANI jika sidang pertama pemohon
tidak hadir, tanpa adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan dinyatakan gugur.
Hal ini sesuai dengan ketentuan HIR mengenai perkara perdata. Namun jika termohon yang tidak
datang pada sidang pertama maka akan dipanggil sekali lagi untuk menghadap di muka sidang
pada waktu kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya empat belas hari lagi sejak
dikeluarkannya perintah tersebut. Jika termohon tidak datang juga, maka pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadirnya si termohon dan tuntutan si pemohon akan dikabulkan, kecuali

tuntutan itu oleh BANI dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini
sesuai dengan verstek dalam HIR.14 Ini berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional
yang bersifat nasional karena arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja
didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor kesengajaan dan
sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase oleh
BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc. Selain itu
arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani telah selesai dan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan
negara yang bersangkutan.
Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada pasal 14 peraturan prosedur
BANI yaitu :
Alat bukti keterangan para pihak dalam bentuk pengakuan,
Alat bukti keterangan saksi,
Alat bukti keterangan ahli.
Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit
pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap
perlu, ini berarti sesuai dengan praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti
surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti sumpah. 15
Diharapkan dalam alternatif penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin
tingginya keadilan yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi
ditangani dengan pengadilan ataupun penyelesaian sengketa alternatif.
________________________________________________________________
1Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 2008, Gama
Media,Yogyakarta,hal. 109-111.
2Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 2006, Sinar Grafika Jakarta. Hal. 39
Lihat juga (1953) Y.B.I.L., Vol. 2, hlm. 14.
3Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 111.
4Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, 2003, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 11-14.
5Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal.114-116.
6Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 4-6.
7Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 41-42.
8Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 55-56.
9Huala Adolf, Op.Cit. , Hal. 52.
10Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 98-99.
11Bambang Sutiyoso, Op.Cit, hal. 159-160
12Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 104.
13Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan
Australia, 2007, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, hal. 40-41.

14Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 108.


5Ibid, hal. 148
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 2008, Gama
Media,Yogyakarta
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase , 2003, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional , 2006, Sinar Grafika, Jakarta.
Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia,
2007, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan- hubungan internasional yang diadakan oleh subjek hukum internasional
selalu ada kemungkinan munculnya sengketa di kemudian hari. Sengketa bisa saja
muncul terkait perbatasan, perdagangan, dan lain- lain.
Di dalam menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih,yaitu melalui
negosiasi, mediasi, pengadilan, dan arbitrase. Sebagai salah satu alternative

penyelesaian sengketa, arbitrase dpandang sebagai cara yang efektif dan adil.
Badan arbitrase akan berfungsi apabila para pihak sepakat untuk menyerahkan
sengketa kepadanya baik sebelum sengketa muncul maupun setelah sengketa
muncul.
Arbitrase internasional telah banyak dipakai oleh para pelaku bisnis yang notabene
sering terkait dengan kasus- kasus ekonomi, utamanya perdagangan dengan
nominal angka yang dipersengketakan cukup mencengangkan bagi orang pada
umumnya.
Oleh karenanya, besar peranan arbitrase internasional dalam aksinya
menyelesaikan setiap persengketaan dalam permasalahan bisnis terkait ranah
internasional. Menyoal tentang apa itu arbitrase internasional, bagaimana sejarah
dan dasar pembentukannya, seperti apa seperti apa saja bentuk lembaganya,
bagaimana jalan proses putusan yang di hasilkan, serta penolakan maupun
pembatalan terhadap putusannya, dan contoh kasus terkait dengannya. Guna
menjawaba pertanyaan tersebut, maka penulis membuat makalah yang berjudul
Arbitrase Internasional
B. Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, penulis merumuskan masalah pada:
1. Apa pengertian arbitrase internasional ?
2. Bagaimana sejarah dan dasar pembentukan arbitrase internasional ?
3. Apa saja bentuk lembaga- lembaga arbitrase internasional ?
4. Bagaimana proses jalannya putusan arbitrase internasional ?
5. Bagaimana pembatalan dan penolakan putusan di dalam arbitrase internasional ?
6. Seperti apa contoh kasus pelaksanaan arbitrase internasional ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase Internasional
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Blacks Law Dictionary memberikan pengertian Arbitration. an
arrangement for taking an abiding by the judgment of selected persons in some
disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary
litigation.
Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang ruang
lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat internasional.
Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya
perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business)
di negara-negara berbeda. Misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di
Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika terjadi perselisihan

di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka
arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.
B. Sejarah dan Dasar Pembentukan Arbitrase Internasional
Perkembangan sejarah arbitrase, sesungguhnya badan arbitrase telah lama
dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa- bangsa telah menggunakan cara
penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini
berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi (biblical times) serta
terus berkembang terutama di negara- negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan
Belanda.
Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing negara memiliki
perbedaan yang terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga arbitrase
internasional itu sendiri.
C. Lembaga-lembaga Arbitrase Internasional
Meningkatnya kebutuhan dunia perdagangan internasional akan lembaga-lembaga
arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa perdagangan
mengakibatkan kebutuhan akan eksistensi lembaga-lembaga juga meningkat.
Lembaga-lembaga arbitrase internasional tersebut merupakan lembaga-lembaga
arbitrase yang bersifat resmi dan didirikan oleh badan internasional yang sudah
mapan maupun lembaga-lembaga yang bersifat regional.
Beberapa bentuk lembaga arbitrase internasional antara lain:
1. International Chamber of Commerce (ICC)
ICC berkedudukan di Paris yang didirikan atas prakarsa Asosiasi Dagang
Internasional. ICC meletakkan dasar penyelesaian sengketa perdagangan bukan
hanya dalam konteks ICC (Court of Arbitration), akan tetapi juga dalam konteks
konsiliasi yang memiliki rules of conciliation tersendiri. Meskipun ICC bermarkas di
Paris, sidang ICC dapat berlangsung dimana saja dalam menerapkan hukum bagi
para pihak telah sepakat untuk menggunakan ICC.
Badan arbitrase memiliki hukum acara arbitrase tersendiri (rules of arbitration).
Badan arbitrase ICC merupakan salah satu lembaga arbitrase yang terkenal dimana
setiap tahunnya terdapat hampir 400 kasus/sengketa perdagangan yang diserahkan
ke ICC. Oleh karena itu sebagai sebuah badan administratif yang bersifat formal,
ICC tidak melaksanakan arbitrase secara tersendiri, akan tetapi mendaftarkan
penyelenggaraan arbitrase ke seluruh dunia.
Kasus yang diserahkan melalui ICC akan diadili oleh arbiter dengan mendasarkan
pada persoalan (kasus) yang menjadi kewenangan ICC. Dalam hal para pihak yang
bersengketa tidak sepakat terhadap beberapa isu (masalah) yang berkembangan
dalam penanganan kasus tersebut seperti penetapan tempat, dan lain sebagainya
maka ICC memiliki kewenangan untuk menetapkannya.
Konteks keputusan (award) yang dihasilkan, award tersebut harus mendapat
persetujuan dari ICC (international court of arbitration) yang memiliki kewenangan
untuk membuat modifikasi. Menyangkut pembiayaan akan ditentukan oleh kedua
belah pihak secara bersama-sama dan merata, dimana sekretariat badan arbitrase

akan mensyaratkan pembayaran administrasi dan biaya arbiter. Perhitungan biaya


(cost) didasarkan pada jumlah biaya yang telah ditentukan oleh ICC dan jumlah
biaya yang disengketakan. Sekretariat mensyaratkan pula biaya deposit sebelum
badan arbitrase memulai pekerjaannya. Oleh karena itu, dari segi pembiayaan, cost
yang dikeluarkan sangatlah besar.
2. London Court of International Arbitration (LCIA)
London Court of International Arbitration (LCIA) merupakan lembaga arbitrase yang
digagas dan didirikan oleh the Court of Common Council of the City of London pada
tahun 1891. LCIA merupakan lembaga arbitrase tertua di dunia yang terdiri dari
Chamber of Commerce, perusahaan-perusahaan yang terletak di Kota London dan
lembaga-lembaga arbitrator. Pada umumnya, LCIA juga menangani sengketasengketa perdagangan pada umumnya sebagaimana yang dilakukan oleh ICC,
hanya saja jumlah kasus yang ditangani oleh LCIA relatif lebih kecil. Meskipun
demikian, baik LCIA maupu ICC memiliki tanggungjawab yang sama terhadap
prosedur lembaga/organisasi dan pengangkatan arbitrator.
Arbiter arbitrase LCIA memiliki kewenangan untuk memerintahkan penjagaan,
penyimpanan, penjualan, dan bahkan membuang barang-barang (property) yang
berada di bawah kendali para pihak bersengketa. Selanjutnya, para pihak yang
bersengketa bebas untuk menggunakan kompetensi pengadilan terhadap tindakan
conservatory preaward. Di samping itu, LCIA juga dapat memerintahkan para pihak
untuk menyediankan keamanan terhadap seluruh atau sebagian dari apa yang
dipersengketakan dalam arbitrase. Dalam konteks pengangkatan arbitrator, LCIA
dapat mengangkat seorang arbitrator yang tidak independent dan atau sebaliknya.
3. United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL)
United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL) adalah
merupakan suatu komisi yang didirikan pada bulan Desember 1966 dengan tujuan
untuk mengharmonisasikan dan mengunifikasi suatu hukum yang fokus ke
perdagangan internasional.
Hanya negara yang dipersyaratkan menjadi anggota UNCITRAL, akan tetapi dalam
mengimplementasikan pekerjaannya, UNCITRAL bekerjasama dengan organisasi
atau lembaga yang relevant seperti ICCA untuk beberapa isu arbitrase. Beberapa
instrumen prinsip yang diadopsi oleh UNCITRAL adalah: The UNCITRAL Arbitraion
Rules, 1976. The UNCITRAL Conciliation Rules, 1980. Guidelines for Administering
Arbitration, 1982. The Model Law on International Commercial Arbitration, 1985.
Guidelines on Pre-Hearing Conferences.
Model hukum (the Model Law) arbitrase perdagangan internasional merupakan
sebuah model untuk negara-negara yang mengadopsi ke dalam hukum nasionalnya
di bidang arbitrase perdagangan internasional. Tujuan utama UNCITRAL adalah
untuk mempersiapkan suatu model hukum yang ideal dalam menghadapi
divergensi yang ada dalam penggunaan aturan-aturan arbitrase dan hukum
nasional. Akan tetapi (the Model Law) tidak menangani setiap persoalan yang
berhubungan dengan arbitrase perdagangan internasional. Sebagai dampaknya,
negara-negara sering memasukkan pasal-pasal tambahan (additional provisions) ke
dalam hukum nasional masing-masing negara yang menadopsi (the Model Law).

The Model Law dapat dimodifikasi oleh negara-negara anggota, seperti beberapa
negara telah memodifikasi (the Model Law) sehingga dapat diterapkan ke dalam
hukum nasional tanpa diskriminasi (equally). Sebelum eksisnya the Model Law,
hanya ada dua instrument utama yang menangani arbitrase perdagangan
internasional dalam sistem di Perserikatan bangsa-bangsa. Kedua instrumen
tersebut adalah:
a. The United Nations Convention on the Recognition and Enforcement on Foreign
Arbitral Awards, 1958 (the New York Convention);
b. The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976.
The New York Convention menyiapkan pengakuan dan pelaksanaan keputusan
arbitrase luar negeri dan perjanjian arbitrase. Konvensi ini adalah salah satu
Konvensi yang tersukses dalam hubungan internasional yang telah ditandatangani
oleh 120 negara per 16 Desember 1998. Akan tetapi, Konvensi ini dalam prakteknya
terpisah dengan ketentuan domestik masing-masing negara anggota Konvensi yang
berakibat pada interpretasi yang berbeda. Disamping itu, Konvensi ini juga tidak
menangani prosedur arbitrase.
The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976. justru sebaliknya. Prosedur arbitrase menjadi
menjadi salah satu subject matters meskipun dalam batasan tertentu. Hal
pertama yang dilakukan adalah mengunifikasi penerapan hukum nasional dalam
arbitrase. Jadi, is didesain sebagai arbitrase ad hoc.
Sebuah draf Model Law mulai diprakarsai dengan meluaskan lingkup dari
instrument pada tahun 1982. tujuan dari Model Law adalah untuk mempromosikan
penyatuan prosedur arbitrase dan mengalamatkannya pada kebutuhan mendasar
dari arbitrase perdagangan internasional. Akhirnya, 21 Juni 1985 UNCITRAL diadopsi
dan Majelis
Umum PBB juga mengadopsinya pada Tanggal 11 Desember 1985.
Prinsip dasar dari the Model Law adalah pengakuan terhadap kebebasan para pihak
untuk menlaksanakan arbitrase dengan batasan/larangan yang minimal. Sehingga
pada kenyataannya, banyak pasal-pasal dalam the Model law yang diderogasi oleh
para pihak. The Model Law juga mengakui peranan yang dimainkan oleh lembagalembaga arbitrase dalam arbitrase perdagangan internasional. Pasal 2 huruf d
disebutkan bahwa:
where a provisions of this law, except article 28 [concerning the rules applicable to
the substance of the dispute], leaves the parties free to determine a certain issues
such freedom includes the right of the parties to authorize a third party, including
an institution, to make that determination.
Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan-aturan arbitrase dapat digunakan baik
arbitrase yang bersifat ad hoc maupun permanent.
Adapun lingkup utama dari Uncitral Model Law adalah:
Bentuk dan definisi perjanjian arbitrase;
Pengangkatan Arbitrase tribunal;
Hukum yang dapat diterapkan dalam arbitrase;
Pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase.
Dalam konteks lingkup aplikasi, the Model law merujuk pada Pasal 1 dengan

beberapa pengecualiaan pada Pasal 8, 9, 35, dan 36. adapun perjanjain


arbitrasenya dapat dilihat pada Pasal 7 the Model law. Demikian pula jumlah
arbitrase dapat ditunjuk satu atau tiga orang (Pasal 10), termasuk didalamnya
prosedur pengangkatan (Pasal 11) ayat 1 dan 3). Adapun menyangkut proceeding,
para pihak diberi kebebasan untuk menentukan prosedur yang tepat (Pasal 19),
termasuk didalamnya substansi hukum apa yang tepat untuk digunakan (Pasal 28
ayat 1 dan 2).
Dalam konteks pelaksanaan dan penerapan putusan, the Model Law menentukan
bahwa putusan dapat saja ditolak jika:
Invalid;
Salah satu pihak tidak memberikan pemberitahuan tentang pengangkatan
arbitrator dan atau proses arbitrase;
Putusan arbitrase melebihi lingkup perjanjian yang dilakukan;
Komposisi dari tribunal arbitase yang tidak sesuai dengan perjanjian para pihak;
Pengadilan menemukan bahwa persoalan yang diajukan ke arbitrase adalah
bukan persoalan yang dapat atau harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase;
Putusan arbitrase bertentangan dengan kebijakan publik dari negara (Pasal 34
dan 36)
4. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and
National of Other states (ISCID Convention)
ISCID dibuat berdasar pada Washington Convention on the settlement of Investment
Disputes between States and National of Other States, 1965 (ISCID Convention.
ISCID hanya tersedi pada kasus-kasus dimana salah satu pihak yang bersengketa
adalah negara atau agency (lembaga) dari suatu negara. Lebih dari 80 negara telah
meratifikasi ISCID termasuk didalmnya Indonesia. Seluruh negara-negara anggota
telah sepakat bahwa tidak ada kemungkinan untuk menerapkan putusan ISCID
sebelum adanya penetapan pengadilan dimana tempat arbitrase ditentukan.
Negara-negara penandatangan sepakat untuk mengikat diri (consent to be bound)
untuk menerapkan dan melaksanakan putusan ISCID sebagaimana putusan final
dari pengadilan nasional negara-negara anggota.
ISCID mengawasi dan menyediakan fasilitas untuk arbitrase tetapi tidak
melaksanakan arbitrase. Dalam hal ini, ISCID memiliki kewenangan untuk hanya
menyediakan fasilitas terhadap sengketa yang ada sepanjang pihak yang
bersengketa adalah negara atau agency (lembaga) dari suatu negara. Para pihak
bersepakat untuk menentukan arbitrator dan tempat pelaksanaan arbitrase
termasuk didalamnya persoalan prosedur. Secara statistik, jumlah kasus yang
masuk ke ICSID sangat sedikit dalam hitungan puluhan tahun.
Beberapa lembaga Arbitrase di Kawasan Aisa-Pasifik adalah:
1. Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan the Singapore Institute of
Arbitration;
2. Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC);
3. China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC);
4. Korean Commercial Arbitration Board;
5. Japan Commercial Arbitration Association;

6. Thai Arbitration Centre;


7. Kuala Lumpur Regional Centre for Arbitration;
8. Indonesian National Arbitration Association (BANI)
D. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni
1958 di kota New York. Ketika Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu
mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langkah perbaikan dalam hal
pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri,
khususnya di antara negara anggota Konvensi.
Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya
mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga
bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.
Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negaranegara dapat mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi
New York (pasal 1). Terdapat dua persyaratan yang diperkenankan, yang pertama
adalah persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation). Yang kedua adalah
persyaratan komersial (commercial-reservation).
Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertama, yaitu bahwa negara yang
bersangkutan baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan
arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York.
Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka
negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi.
Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi
New York hanya akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa
komersial menurut hukum nasionalnya.
Konvensi ini mengandung 16 pasal yang dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik 5
prinsip berikut, antara lain:
Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan
pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut
pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan nasional.
Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang
mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusannya.
Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double
enforcement process).
Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi
yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan Konvensi.
Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada
hukum nasional pada umumnya. Berbeda dengan hukum nasional pada umumnya
yang hanya mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) suatu keputusan
pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur tentang
pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase.
Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V, yaitu:

Pasal I, bahwa Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat


dalam wilayah suatu negara selain daripada negara di mana pengakuan dan
pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap putusan-putusan
arbitrase yang bukan domestic di suatu negara di mana pengakuan dan
pelaksanaannya diminta.
Pasal III, mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase
yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya
sesuai dengan hukum (acara) nasional di mana keputusan tersebut akan
dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini hanya
pokoknya saja tentang pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail. Konvensi
hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan dan tentang
bagaimana pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak
yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan tersebut; Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Pasal V, mencantumkan alasan- alasan penolakan terhadap keputusan arbitrase
intenasional.
Indonesia baru meratifikasi 2 konvensi internasional yang berhubungan dengan
pelaksanaan putusan arbitrase asing yaitu :
1. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and
Nationals of Other States. atau ICSID Convention, berdasarkan Undangundang
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian
Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal
tanggal 29 Juni 1968.
2. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau
New York Convention 1958 disahkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 34
Tahun 1981.
Sekalipun pada tahun 1981 kita sudah meratifikasi konvensi New York 1958, akan
tetapi putusan arbitrase asing belum dapat dilaksanakan secara efektif , karena
menurut Mahkamah Agung belum ada aturan pelaksanaannya. Baru pada tahun
1990, dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1990
putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia, dan kemudian dikuatkan
lagi dengan lahimya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Lembaga yang memberikan otoritas tunggal untuk menangani masalah pengakuan
(recognition) dan pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase asing di Indonesia
ialah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tentang bagaimanakah putusan arbitrase asing tersebut dilaksanakan, maka dalam
hal ini meliputi tiga tahap :
a. tahap penyerahan dan pendaftaran putusan
b. tahap pemberian eksekuatur
c. tahap eksekusi putusan
Putusan arbitrase asing baru dapat dilaksanakan/ dieksekusi setelah putusan
tersebut diserahkan dan didaftarkan (deponir/deposit) oleh arbiter atau kuasanya
kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan harus dilengkapi data-

data :
a. lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase asing
b. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia
c. lembar asli atau salinan otentik perjanjian
d. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia
e. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia yang bersangkutan.
Putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atau dari
Mahkamah Agung dalam hal salah satu pihaknya menyangkut Negara Republik
Indonesia.
Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur)
terhadap putusan arbitrase yang bersangkutan, diwajibkan terlebih dahulu untuk
memeriksa secara substantif, apakah putusan arbitrase asing tersebut:
- melebihi kewenangan arbiter,
- bertentangan dengan ketertiban umum,
- telah memenuhi syarat, bertentangan dengan kesusilaan, dalam ruang lingkup
perdagangan, sengketa yang tidak boleh didamaikan,
- tentang hak dalam kekuasaan para pihak.
Undang - undang Arbitrase menyatakan bahwa tatacara untuk melaksanakan suatu
putusan arbitrase asing tersebut berpedoman kepada Hukum Acara Perdata yang
berlaku.
Menurut hukum acara perdata Indonesia, suatu putusan pengadilan dan berlaku
juga terhadap putusan arbitrase asing, dijalankan dengan tatacara sebagai berikut :
Peringatan/tegoran (aanmaning)
Sita Eksekusi (Executorial Beslag),
Penjualan/Lelang,
Pengosongan.
Pasal 66 UU no. 30 tahun 1999. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta
dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang

menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
E. Pembatalan dan Penolakan Putusan Arbitrase Internasional
Penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, tercantum di dalam konvensi
New York 1958, pada Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan
oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan
arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan
keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan
tersebut. Terdapat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase
internasional, yang antara lain:
1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut
hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian
tersebut atau menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila
tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku.
2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang
sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak
dapat mengajukan kasusnya.
3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk
diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang
berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau
4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase
berlangsung, atau
5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan
atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan
dibuat.
Pasal 22 ayat 1 Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa terhadap arbiter dapat diajukan
tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas
dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
Terhadap putusan arbitrase Internasional, Pengadilan hukum di Indonesia dapat
melakukan pengingkaran pengakuan (denial of awards) akan substansi yang telah
diputus oleh lembaga arbitrase internasional, dan juga terhadap eksekusi (denial of
awards) terhadap objek arbitrase yang ada di wilayah jurisdiksi hukum Indonesia.
Pada pasal 65 Undang-undang no. 30 tahun 1999 di bawah sub judul arbitrase
internasional berbunyi : Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Dari pengertian pasal tersebut bukan saja pengadilan berwenang untuk
menolak mengeksekusi suatu putusan arbitrase, bahkan memiliki kewenangan
untuk menolak pengakuan terhadap materi yang telah diputuskan oleh lembaga

arbitrase internasional.
Pengakuan atas daya ikat putusan arbitrase, diletakkan di bawan sub judul arbitrase
nasional, pada pasal 60 yang berbunyi : Putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Di sisi lain dalam pasal 456 RV atau Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa
pengadilan Indonesia tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan
yang dibuat di negara lain. Dengan kata lain, apabila hendak mengeksekusi suatu
putusan arbitrase Internasional, pihak yang bersangkutan harus mengajukan
gugatan baru di Indonesia.
F. Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat dilihat melalui contoh
kasus Pertamina Karaha Bodas melalui arbitrase internasional.
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula
dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal
28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di
satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian
Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok
kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di
Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan
ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun
1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama
Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase
Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak
dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan
agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar
US$ 261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela
melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di
Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan
(dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh
Swiss Federal Supreme Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk
pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana
asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari
2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District
of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC
mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong.
Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa
penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk
melakukan eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di
pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi

mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta


Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 70 UU no. 30
tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang
berbunyi : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan alasan permohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti
atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 ,
pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan
membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun
beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti yang
telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para
pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice
mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis
arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak
dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di
samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena
tidak menggunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus
dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan
hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono.
Di dalam kasus ini hal ketertiban umum tidak disinggung-singgung, padahal adalah
sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban
kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang
berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997
tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik
negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara
pada amar menimbangnya jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah
tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan
jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang
dimiliki oleh Presiden.
Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang
hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di
Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal.
Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase Internasional
tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional
melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk
melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya.
Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau
Pengaturan Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi
kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim atau
kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya hal tersebut harus diambil alih oleh
Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh mendatangkan kerugian

bagi diri sendiri.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
o Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang
ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya bersifat internasional.
o Beberapa bentuk lembaga arbitrase internasional antara lain:
o Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing negara
memiliki perbedaan yang terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga
arbitrase internasional itu sendiri.
o Beberapa bnentuk lembaga arbitrase internasional, antara lain:
1. International Chamber of Commerce (ICC)
2. London Court of International Arbitration (LCIA)
3. United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL)
4. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and
National of Other states (ISCID Convention)
o Lembaga yang memberikan otoritas tunggal untuk menangani masalah
pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase asing di
Indonesia ialah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
o Penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, tercantum di dalam konvensi
New York 1958, pada Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan
oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan
arbitrase asing.
o Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat dilihat melalui salah
satunya contoh kasus Pertamina Karaha Bodas melalui arbitrase internasional

Anda mungkin juga menyukai