Anda di halaman 1dari 110

YURISDIKSI NEGARA

ATTORNEY GENERAL V. EICHMANN (DISTRICT COURT OF


JERUSALEM 1961)

Fakta-Fakta Hukum

1.Adolf Eichmann, lahir di Solingen, Jerman, pada tanggal 19 Maret 1906. Pada bulan
November 1932, Eichmann diterima sebagai anggota tetap SS. Tahun berikutnya,
Eichmann diterima sebagai anggota Algemeine SS dan bekerja sebagai penggerak
bentuk operasi dari Salzburg.

2.Pada tahun 1937, Eichmann dikirim ke Palestina yang waktu itu menjadi wilayah
mandatnya Inggris, dengan pemimpinnya Herbert Hagen untuk dapat mengetahui
kemungkinan-kemungkinan emigrasi secara besar-besaran orang Yahudi, dari Jerman
ke Palestina.

3.Tahun 1938, Eichmann ditugaskan ke Austria untuk membantu mengorganisir pasukan


keamanan SS di Vienna setelah terjadinya peristiwa Anschluss di Austria menuju
Jerman. Eichmann kemudian dipromosikan sebagai SS Orbersturmfuhrer (Letnan I),
dan di akhir tahun 1938 Eichmann diangkat sebagai pemimpin SS untuk membentuk
Kantor Pusat untuk Emigrasi Yahudi.

4.Eichmann kembali ke Berlin pada tahun 1939 setelah membentuk RSHA. Pada bulan
Desember 1939, Eichmann diangkat menjadi kepala RSHA Refreat IV B4, Departemen
RSHA yang setuju dengan hubungan dan evakuasi orang Yahudi.

5.Pada bulan Agustus 1940, Eichmann membuat Proyek Madagaskar, sebuah rencana
untuk menghukum deportasi orang Yahudi yang tidak pernah di sahkan.

Permasalahan Hukum

Pada musim gugur tahun 1941, Heydrich memberi perintah kepada Eichmann bahwa
orang Yahudi yang ada di Eropa yang berada di bawah kekuasaan Jerman, harus dihukum.
Tahun 1942, Heydrich memerintahkan Eichmann untuk menghadiri pertemuan Wannsee
sebagai sekretaris, dimana anti semitik Jerman dimasukkan ke dalam aturan resmi genosida.
Eichmann diberi posisi pengurus transportasi dari “jalan akhir terhadap permasalahan Yahudi”,
yang membuat dia berwenang atas semua kereta yang membawa orang Yahudi ke kamp
kematian di wilayah yang telah diokupasi dari Polandia.

Tahun 1944, Eichmann dikirim ke Hongaria setelah Jerman mengokupasi negara-


negara yang takut dengan invasi soviet. Pada suatu ketika, Eichmann bekerja untuk
mendeportasi orang Yahudi dan mengirim 430.000 orang Hongaria kepada kematian dengan
kamar gas.

Tahun 1945, Heinrich Himmler memerintahkan untuk penghentian pembasmian ras


Yahudi dan menghilangkan bukti dari tindakan terakhir terhadap pembasmian masal ras
tersebut, namun perintah tersebut tidak dilaksanakan oleh Eichmann.

Tahun 1959, Mossad mengumumkan bahwa Eichmann berada di Buenos Aires yang
diketahui bernama Ricardo Clement dan memulai pencaharian dimana lokasi Eichmann yang
sebenarnya. Akhirnya disimpulkan bahwa Ricardo Clement tersebut adalah Adolf Eichmann.
Pemerintah Israel menyetujui misi penangkapan Eichmann untuk dibawa ke pengadilan
Jerussalem untuk diadili terkait dengan kejahatan perang. Agen dari Mossad tetap melanjutkan
pengintaiannya kepada Eichmann sampai keadaan benar-benar memungkinkan untuk
menangkapnya.

Eichmann ditemukan oleh tim Mossad dan Shabak sebuah agen yang berada di
pinggiran kota Boeinos Aires pada tanggal 11 Mei 1960 yang menjadi bagian dari operasi
tersebut. Agen-agen Mossad datang pada bulan April 1960 setelah identitas dari Eichmann
diberitahukan. Pada tanggal 21 Mei 1960, Eichmann dibawa keluar dari Argentina dengan
penerbangan komersil menuju Israel.

Pemerintah Israel hanya mengakui bahwa penculikan Eichmann tersbut dilakukan oleh
orang-orang Yahudi yang menjadi relawan dan membawanya ke pemerintah Israel. Negosiasi
akhirnya dilakukan antara Israel yang diwakili oleh perdana menteri David Ben-Gurion dengan
Presiden Argentina Arturo Frondizi.

Pada bulan Juni 1960, setelah kegagalan terhadap perundingan rahasia dengan Israel,
Argentina meminta rapat tertutup dengan Dewan Keamanan PBB, untuk mengajukan apa yang
menjadi keberatan yang diakui oleh Argentina sebagai pelanggaran terhadap hak-hak berdaulat
dari Republik Argentina. Dalam debat tersebut, Israel diwakili oleh Golda Meir yang
berargumentasi bahwa kejadian tersebut hanyalah merupakan pelanggaran hukum Argentina
secara diam-diam ketika yang melakukan penculikan tersebut bukanlah agen Israel melainkan
hanyalah warga sipil biasa. Akhirnya Dewan mengeluarkan suatu resolusi yang meminta Israel
untuk membuat ganti rugi yang tepat, ketika menyatakan bahwa Eichmann seharusnya dibawa
ke pengadilan yang berwenang terhadap kejahatan yang dipersalahkan kepadanya dan resolusi
ini seharusnya tidak bisa ditafsirkan sebagai pengampunan terhadap kejahatan yang
berdasarkan kebencian dimana Eichmann dipersalahkan.

Setelah perundingan yang panjang, pada tanggal 3 Agustus, Israel dan Argentina
menyetujui untuk mengakhiri masalah mereka dengan membuat pernyataan bersama bahwa
Pemerintahan Israel dan Republik Argentina, dengan itikad baik akan melaksanakan Resolusi
Dewan Keamanan tanggal 23 Juni 1960, yang menandakan bahwa hubungan diplomatik
secara tradisional diantara dua negara akan dilanjutkan dan telah memutuskan untuk menutup
kejadian yang ditimbulkan dari perbuatan Israel yang pada dasarnya melanggar dasar-dasar
dari hak berdaulat Argentina.

Putusan dan Dasar Pertimbangan Mahkamah

Pada dasarnya, Israel mau mengadili Eichmann dengan alasan bahwa yang selama ini
dilakukan oleh Eichmann adalah kejahatan internasional yang memiliki yurisdiksi universal,
yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap orang-orang
Yahudi. Persidangan terhadap Eichmann dilaksanakan pada tanggal 11 April 1961. Dia
didakwa melakukan 15 jenis kejahatan, termasuk di dalamnya kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan terhadap orang-orang Yahudi, dan Eichmann merupakan anggota dari
organisasi terlarang. Persidangan dilangsungkan di Beit Ha’am, di tengah kota Jerussalem.
Persidangan ini menimbulkan berbagai polemik internasional. Pemerintah Israel menyiarkan
langsung di TV persidangan Eichmann tersebut. Persidangan dimulai dengan menghadirkan
berbagai saksi, termasuk di dalamnya orang-orang yang selamat dari peristiwa Holocaust yang
memberian kesaksian melawan Eichmann dan aturannya mengenai transportasi bagi korban-
korban untuk diantarkan ke kamp konsentrasi.

Akhirnya pada tanggal 11 Desember, tiga hakim yang mengadili Eichmann tersebut
menyatakan bahwa Eichmann terbukti melakukan semua kejahatan yang didakwakan
terhadapnya. Pada tanggal 15 Desember, Eichmann divonis mati oleh hakim pengadilan Israel
tersebut. Eichmann mengajukan banding terhadap putusan hakim tersebut mengenai yurisdiksi
Israel dalam mengadili Eichmann serta kesalahan-kesalahan yang didakwakan kepadanya.
Eichmann berdalih terhadap prinsip-prinsip Act of State dan Superior Orders. Pada tanggal 29
Mei 1962, Supreme Court Israel bertindak sebagai pengadilan banding menolak banding dari
Eichmann dan membenarkan putusan pengadilan negeri yaitu memvonis mati Eichmann.
Supreme Court menolak segala pembelaan Eichmann yaitu mengikuti perintah. Tetapi Supreme
Court tidak mempertimbangkan putusan itu karena Eichmann memiliki kewenangan dalam
memberikan perintah terhadap penyelesaian akhir kepada orang-orang yahudi. Pada tanggal
31 Mei 1962, presiden Israel Yitzhak Ben-Zvi menolak pengampunan yang diajukan oleh
Eichmann. Eichmann akhirnya dieksekusi pada tanggal 31 Mei 1962 di kota Ramla, Israel.

REGINA V. BOW STREET METROPOLITAN STIPENDIARY


MAGISTRATE, EX PARTE PINOCHET UGARTE (AMNESTY
INTERNATIONAL AND OTHERS INTERVENING, 2000)

Fakta-Fakta Hukum

1.Dalam masa pemerintahannya, Pinnochet diduga telah banyak melakukan kejahatan


serius diantaranya pembunuhan, penculikan, pelenyapan dan penyiksaan secara
massal, penyelundupan senjata illegal dan perdagangan narkotika ( kokain).
2.Korban kediktatoran Pinnochet tidak hanya warga negara lokal tetapi juga mencakup
diantaranya adalah warga negara Spanyol dan Argentina.
3.Ketika sedang berada di Inggris, ia ditangkap dan ditahan atas dasar International arrest
warrant yang dipengaruhi oleh permintaan ekstradisi ke Spanyol oleh Baltazar Garzon
yang adalah Hakim Spanyol yang tuduhannya berupa 94 kasus penyiksaan terhadap
Warga Negara Spanyol.
4.Pinnochet memiliki kekebalan dari penuntutan berdasarkan State of Immunity Act tahun
1978 yang merupakan implementasi dari Konvensi Uni Eropa mengenai State Immunity
tahun 1972.
5.Spanyol ( requesting state ) dan Inggris ( requested state ) merasa berhak untuk
mengadili Pinnochet berdasarkan yurisdiksi universal dimana setiap negara berhak
untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan Internasional yang serius yaitu
genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.yang mana mereka
telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan yang memberikan kewajiban bagi mereka
untuk melaksanakan yurisdiksi universal terhadap kejahatan Internasional tersebut.
6.Mahkamah Agung Inggris berpendapat bahwa Spanyol dan Inggris berhak menuntut
dan menghukum atau pula mengekstradisi Pinnochet atas dasar bahwa kejahatan
Internasional merupakan kejahatan serius yang mengancam eksistensi umat manusia
sekaligus melanggar norma tertinggi hukum internasional dan juga menolak pembelaan
Pinnochet atas hak imunitas yang ia miliki ( State Immunity Act 1978 ) sehingga si
pelaku tidak dapat berlindung dibalik imunitasnya terhadap kejahatan internasional yang
dilakukan..

Masalah Hukum

Pinochet adalah seorang presiden dan diktator Chile. Ia juga adalah seorang Jenderal
Militer yang bertugas sebagai kepala staff dan komandan pasukan militer. Dia memimpin
kudeta menggulingkan pemerintahan sosialis milik Presiden Salvador Allende pada September
1973. Sebagai pemimpin dari 4 Dewan Militer, ia melakukan penangkapan secara massal dan
bertanggungjawab terhadap terbunuhnya lebih dari 2000 orang politikus. Dia juga
mengembalikan banyak bisnis yang dinasionalisasi dan pertanian kepada sector
swasta/perorangan. Di luar dari kebrutalan yang ia lakukan, rezimnya dipuji karena
pertumbuhan ekonomi yang baik. Setelah kekalahannya dari seorang negarawan plebisit pada
tahun 1989, jabatannya sebagai Presiden diganti oleh Patricio Aylwin. Pinnochet tetap menjadi
pemimpin militer sampai tahun 1998 ketika ia diangkat menjadi senator seumur hidup yang
membuatnya kebal terhadap tuntutan hukum. Pada kunjungannya ke London dalam tahun yang
sama, ia ditangkap atas permintaan dari pemerintah Spanyol atas tuduhan pembunuhan dan
penyiksaan yang memungkinkannya untuk diekstradisi ke Spanyol. Pada tahun 1999, hakim
Mahkamah Agung Inggris menyatakan bahwa ia harus diekstradisi, namun Pinnochet kemudian
dilepaskan karena alasan kesehatan dan akhirnya kembali ke Chile. Pada tahun 2000,
kekebalan yang ia miliki itu dicopot dan kemudian dimintakan pertanggungjawabannya atas
keterlibatannya dalam penculikan dan pembunuhan yang muncul setelah kudeta. Penuntutan
tersebut dihentikan, akibat kegagalannya dalam menghadiri persidangan dikarenakan kondisi
kesehatannya yang tidak memungkinkan dia untuk mengikuti persidangan. Hal ini ditegaskan
sendiri oleh Mahkamah Agung Chile.

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah apakah Inggris dan Spanyol berwenang
menuntut dan menghukum Pinnochet berdasarkan yurisdiksi universal terkait hak imunitas yang
diklaim oleh Pinnochet ?

Putusan dan Dasar Pertimbangan Mahkamah Agung Inggris

Mahkamah Agung Inggris memutuskan bahwa Pinnochet tidak memiliki hak kekebalan
dari tuntutan hukum atas dasar bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan
internasional serius yang tunduk pada yurisdiksi universal dan juga sekaligus menolak
pembelaan Pinnochet yang mengklaim hak imunitas. Inggris telah meratifikasi konvensi anti
penyiksaan yang berarti telah memberi kewajiban kepada Inggris untuk melaksanakan
yurisdiksi universal. Keputusan tersebut didasari oleh 3 pertimbangan, yaitu:

1. Penjelasan atau uraian dalam UU Inggris mengenai kejahatan yang dapat diekstradisi
menurut UU Ekstradisi Inggris tahun 1989. Dalam konteks ini, aturan mengenai “ double
criminality” dan definisi mengenai kejahatan yang dapat diekstradisi sebagai suatu
tindakan untuk menentukan suatu kejahatan menurut UU Spanyol dan juga UU Inggris
memainkan peranan yang sangat penting:
2. Penafsiran “torture” sebagai suatu kejahatan Internasional yang diberlakukan di Inggris
pada 29 September 1988 berdasarkan “ Torture Convention” 1984, memberikan suatu
kewajiban yurisdiksi universal dan menetapkan kejahatan penyiksaan yang dilakukan di
luar Inggris sebagai suatu tindak pidana baru yang membawa kepada
pertanggungjawaban pidana menurut UU Inggris;
3. Menolak kekebalan bekas kepala negara terhadap “ International Crime of Torture” .
Hakim Inggris pada intinya menekankan bahwa larangan terhadap “torture” merupakan
sebuah aturan hukum kebiasaan internasional dan juga sebagai sebuah norma yang mengikat
semua subyek hukum internasional tanpa mempertimbangkan apakah sebuah negara telah
menandatangani atau meratifikasi Torture Convention atau perjanjian lain yang terkait dengan
kejahatan tersebut. Lord Hutton dan Phillips kemudian menyatakan bahwa torture berada diluar
ruang lingkup dari fungsi seorang kepala negara. Dalam Pasal 7 ayat (1) Torture Covention
ditetapkan suatu kewajiban bagi negara untuk menuntut atau mengekstradisi orang yang
diduga melakukan torture, sehingga Spanyol dan Inggris memiliki yurisdiksi criminal untuk
mengadili Pinnochet. Sebagai bagian dari hukum kebiasaan Internasional, yurisdiksi universal
terhadap kejahatan kemanusiaan memberi kuasa kepada pengadilan nasional untuk menuntut
dan menghukum pelaku dalam keadaan apapun . Atas dasar tersebut akhirnya Bow Street
Magistrate memerintahkan agar Pinnochet diekstradisi ke Spanyol, namun karena alasan
kesehatan yang makin memburuk maka ia dipulangkan ke Chile.

THE LOTUS CASE (PCIJ, 1927)


Fakta-Fakta Hukum

1.Pada tanggal 2 Agustus 1926, terjadi tabrakan di lokasi antara 5-6 mil utara Tanjung
Sigri (laut lepas) dimana kapal Perancis, Lotus menabrak kapal Turki, Boz-kourt.

2.Tabrakan tersebut menyebabkan kapal Boz-kourt tenggelam dan mengakibatkan


meninggalnya 8 orang awak kapal Boz-kourt yang merupakan warga negara Turki.

3.Lotus berhasil menyelamatkan 10 orang awak Boz-kourt dan melanjutkan perjalanannya


menuju Konstantinopel, dan setibanya di Konstantinopel, kapten kapal Boz-kourt,
Demons segera ditangkap dan diadili oleh pihak Turki.

4.Pada tanggal 3 Agustus, Demons resmi dijadikan tersangka dalam kasus Lotus oleh
Pengadilan Turki tanpa peberitahuan kepada Konsulat Jenderal Perancis di Turki.

5.Pada tanggal 4 Agustus, Konsulat Jenderal Perancis menerima laporan pengaduan dari
kapten kapal Lotus.

6.Pada tanggal 28 Agustus, Demons mengajukan keberatan dalam persidangan karena


Pengadilan Turki dianggap tidak berwenang untuk mengadili karena kasus terjadi di laut
lepas dimana tidak ada kedaulatan satu negarapun yang berlaku.

7.Pada tanggal 15 September, Pengadilan Negeri Turki menjatuhi hukuman 80 hari


penjara dan denda kepada Letnan Demons dan Hassan Bey, kapten kapal Boz-kourt
atas kelalaiannya karena tidak memiliki izin mengemudikan kapal. Putusan ini diprotes
keras oleh Perancis.

8.Pada tanggal 26 Oktober 1926, Perancis dan Turki sepakat untuk membawa masalah ini
ke PCIJ dengan Special Agreement.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah mengenai sengketa mengadili
berdasarkan yurisdiksi negara antara Perancis dengan Turki. Dalam kasus ini, ada dua
pendapat yang berbeda dari kedua negara yang menjadi persoalan utama yakni Perancis
berpendapat bahwa bila terjadi tubrukan di laut lepas, maka persoalannya tunduk pada
wewenang eksklusif negara bendera dikarenakan hukum internasional belum mengatur tentang
pelanggaran yang terjadi di laut lepas yang melibatkan dua negara. Sedangkan Turki
berpendapat bahwa pengadilannya mempunyai wewenang untuk mengadili suatu perbuatan
yang terjadi di luar negeri oleh orang asing bila yang menjadi korban adalah orang Turki sendiri.

Putusan dan Dasar Pertimbangan Mahkamah Tetap Internasional

Pada tanggal 7 September 1927, Mahkamah Tetap Internasional (PCIJ) memutuskan


bahwa negara dapat memberikan wewenang yang dianggapnya perlu pada peradilannya
bahkan untuk mengadili perbuatan yang terjadi di luar negeri kecuali jika ada pembatasan
terhadap kedaulatan negara dalam memberikan wewenang tersebut. Jadi, Mahkamah
membenarkan tindakan Turki, walaupun menimbulkan protes di banyak negara dan akhirnya
dengan Konvensi Bruxelles tanggal 10 Mei 1952 membenarkan pendapat Perancis. Konvensi
hanya memberikan wewenang eksklusif kepada negara bendera untuk mengambil tindakan
administratif atau hukum kepada warga negaranya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
suatu tubrukan. Tetapi Konvensi juga menambahkan, bila tubrukan tersebut terjadi di satu
pelabuhan atau laut wilayah negara asing, maka yurisdiksi negara asing inilah yang berlaku.
Prinsip ini kemudian ditegaskan pada pasal 97 ayat (1) Konvensi yang berbunyi “Bila terjadi
suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal di laut lepas,
berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nakhoda atau setiap orang lainnya
dalam dinas kapal, tidak boleh diadakan tuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang
tersebut kecuali di hadapan pejabat-pejabat hukum atau adminstratif negara bendera atau
negara dimana orang-orang itu berkebangsaan.” Mahkamah Tetap Internasional
menitikberatkan putusannya pada hasil Konvensi Lausanne tahun 1923 yang mengatur bahwa
Turki memiliki yurisdiksi atas segala hal yang terjadi di wilayah teritorial mereka.

IN RE WESTERLING, SINGAPORE SUPREME COURT, 1951


Fakta-Fakta Hukum

1.Raymond Pierre Paul Westerling (lahir di Istanbul, Turki, 31 Agustus 1919) adalah
komandan pasukan Belanda yang memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di
Sulawesi Selatan dan pemberontakan APRA di Jawa Barat.

2.Pada tanggal 15 Desember 1943, Westerling ditugaskan ke India dan bertugas di


Komando Asia Tenggara yang ditempatkan di Kedgaon, 60 km utara kota Poona.
Kemudian pada tanggal 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan pasukan
khusus DST karena berhasil menumpas perlawanan rakyat Sulawesi Selatan.

3.Westerling tiba di Makassar pada tanggal 5 Desember 1946 dengan memimpin 120
orang pasukan DST dan kemudian menumpas perlawanan rakyat Makassar tanpa
menghiraukan peraturan perlindungan kepada warga sipil sehingga mengakibatkan
banyak warga sipil tidak bersalah yang menjadi korban. Peristiwa ini kemudian dikenal
dengan Pembantaian Westerling. Selain itu, Westerling juga banyak membantai
penduduk sipil di daerah Tasikmalaya dan Ciamis yang menyebabkan Belanda
melakukan investigasi terhadap Westerling dan pasukannya.

4.Pada tanggal 14 November 1948, Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga
dari dinas kemiliteran. Kemudian, pada bulan November 1949, Westerling membentuk
organisasi rahasia bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) untuk kemudian
merencanakan kudeta terhadap RI bersama dengan DI/ TII pada tanggal 23 Januari
1950 dengan cara membunuh setiap prajurit TNI yang mereka temukan. Peristiwa ini
menyebabkan tewasnya 94 perwira TNI, termasuk Kolonel Limbong.

5.Pihak Belanda berusaha menyelamatkan Westerling dari tuntutan hukum karena


dianggap sebagai pahlawan sehingga kemudian merencanakan upaya pelarian
Westerling dari Indonesia menuju Eropa melalui Singapura.

6.Pada tanggal 26 Februari 1950, polisi Inggris menangkap Westerling yang sedang
bersembunyi di rumah temannya di Singapura. Indonesia kemudian meminta Westerling
diekstradisi.

Masalah Hukum
Masalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah sengketa mengadili Westerling
antara Indonesia, Singapura, dan Belanda. Setelah mendengar bahwa Westerling telah
ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada
otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia karena menurut prinsip
yurisdiksi nasionalitas pasif, Westerling dapat diadili di Indonesia karena korban-korbannya
adalah WNI. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim
Evans memutuskan bahwa Westerling sebagai warga negara Belanda tidak dapat diekstradisi
ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan bahwa
setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling
meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas
dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag.

Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak
dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April, Westerling ditangkap di rumah
Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12
Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi
ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan
ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Putusan Mahkamah Agung
Belanda pada 31 Oktober 1952, menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda
sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia.

Putusan dan Dasar Pertimbangan Mahkamah

Pengadilan Tinggi Singapura melalui Hakim Evans memutuskan bahwa Westerling


sebagai warga negara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia sehingga permintaan
Indonesia untuk mengekstradisi Westerling ditolak oleh Singapura. Dasar pertimbangan hakim
adalah prinsip yuriskdiksi teritorial dimana Westerling ditangkap di Singapura sehingga
Singapura yang berhak mengadilinya. Begitu pula ketika Westerling ditangkap di Belanda pada
bulan April 1952, Mahkamah Agung Belanda menolak permintaan ekstradisi dari Indonesia
dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda sehingga menurut prinsip yurisdiksi
nasionalitas aktif, Belanda yang berhak untuk mengadili Westerling.

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM


INTERNASIONAL

BREMEN TOBACCO CASE 1959

Fakta-Fakta Hukum

1.Pada tahun 1958, pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan


perkebunan milik Belanda di Sumatera Utara.
2.Tindakan ini oleh Belanda dianggap merupakan tindakan yang prima facie, yaitu
tindakan yang melanggar hukum internasional yang memberikan perlindungan kepada
orang asing dan miliknya.
3.Pihak Belanda, dalam hal ini De Verenigde Deli Maatschapijen mendalilkan bahwa
tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu tidak sah karena tidak disertai dengan
ganti rugi atau karena ganti rugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak
De Verenigde Deli Maatschapijen dianggap sebagai dalil hukum internasional, yaitu
bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective, and adequate.
4.Pihak pemerintah RI dengan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia (Deutsch-
Indonesia Tabaks Handels G.m.b.H) beralasan bahwa tindakan pengambilalihan dan
nasionalisasi itu merupakan tindakan suatu negara berdaulat dalam rangka perubahan
struktur ekonomi bangsa Indonesia dari struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.
Masalah Hukum

Masalah hukum yang terjadi dalam kasus Bremen Tobacco antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Belanda adalah keabsahan (legality) tindakan pemerintah
Indonesia dalam mengambil alih dan kemudian menasionalisasikan perusahaan perkebunan
tembakau Belanda di Indonesia pada waktu itu. Dalam perkara Bremen ini, berhadapan hukum
nasional yaitu undang-undang Republik Indonesia tentang nasionalisasi perusahaan Belanda
beserta peraturan pelaksanaannya dengan hukum internasional yaitu ketentuan hukum
internasional mengenai perlindungan hak milik orang asing di suatu negara.

Pihak Belanda, dalam hal ini De Verenigde Deli Maatschapijen mendalilkan bahwa
tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu tidak sah karena tidak disertai dengan gantirugi
atau karena gantirugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak De Verenigde Deli
Maatschapijen dianggap sebagai dalil hukum internasional, yaitu bahwa gantirugi itu harus
prompt, effective, and adequate. Dalil ini dibantah oleh pihak tergugat, yakni die Deutsch-
Indonesischen Tabaks Handels–G.m.b.H. (Perusahaan Tembakau Jerman-Indonesia) yang
dibantu oleh Pemerintah RI, dengan memperbantukan tiga orang pada pihak Deutsch-
Indonesischen Tabaks Handels – G.m.b.H. Pihak perusahaan tembakau Jerman-Indonesia dan
pemerintah RI membantah dalil Belanda yang dikemukakan di atas dengan mengatakan bahwa
nasonalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah usaha untuk mengubah struktur
ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi yang bersifat nasional secara radikal.

Tentang keharusan ganti rugi tersebut, dikemukakan dalil bahwa yang dikemukakan
oleh pihak Belanda yaitu bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective, and adequate tidak dapat
diterima karena seandainya dalil itu diterima, tidak mungkin suatu negara muda yang
berkembang di mana pun akan mengubah struktur ekonominya, sehingga dalil itu tidak mungkin
dipenuhi. Pengambilalihan suatu perusahaan asing adalah suatu pelanggaran hukum, namun
demikian dalam hal-hal tertentu tindakan ini dapat pula dianggap dibenarkan apabila
dipenuhinya syarat-syarat, yaitu :

1. Untuk kepentingan umum (public purposes);


2. Ganti rugi yang tepat (appropriate compensation);
3. Non diskriminasi (non-discrimination).
Putusan Pengadilan Tinggi Bremen

Pengadilan Bremen kemudian memutuskan bahwa pengadilan tidak mempersoalkan


keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia yang kemudian diperkuat oleh
Pengadilan Tinggi Bremen tanggal 21 Agustus 1959 secara tidak langsung menyatakan bahwa
tindakan nasonalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda adalah sah

Dasar Pertimbangan Pengadilan Tinggi Bremen

Dasar pertimbangan Pengadilan Tinggi Bremen mengesahkan tindakan Indonesia ini


dikarenakan ganti kerugian yang disediakan oleh pemerintah RI sebagai pihak yang melakukan
expropriation nasional lain sifat dan bentuknya. Dengan PP No.9 tahun 1959, ditentukan bahwa
dari hasil penjualan hasil perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya akan disisihkan suatu
presentasi tertentu untuk disediakan pembayaran ganti rugi. Dengan demikian, pemerintah RI
hendak menunjukkan bahwa ia tidak melanggar prinsip ganti kerugian, hanya pembayaran ganti
kerugian itu cara maupun jumlahnya disesuaikan dengan kemampuannya sebagai negara
merdeka yang baru berkembang. Kasus Bremen Tobacco ini merupakan suatu peristiwa yang
memerlukan penyimpangan dari ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan milik
asing. Walaupun dengan keputusan Pengadilan Bremen ini tidak dapat dikatakan bahwa kaidah
hukum internasional tentang nasionalisasi milik asing telah berubah, namun keputusan ini
ternyata telah menarik perhatian dunia dan memiliki peranan yang besar dalam proses
perubahan kaidah hukum internasional yang mengatur mengenai nasionalisasi.

MORTENSEN V. PETERS (COURT OF JUSTICIARY, SCOTLAND,1906)


Fakta-Fakta Hukum

1. North Sea Fisheries Convention 1883, dimana Inggris dan Denmark termasuk pihak
dalam perjanjian, namun tidak demikian dengan Norwegia, mengatur bahwa nelayan
memiliki hak eksklusif dalam kegiatannya yang dapat diterapkan di teluk yang lebarnya
kurang dari 10 mil.

2. Sekitar tahun 1898, sekelompok nelayan yang menaiki kapal pukat berbendera
Norwegia melakukan kegiatan penangkapan ikan di Moray Firth dengan menggunakan
bom air yang dilarang oleh Sea Fisheries Acts dan Herring Fisheries Act Skotlandia
dimana kedua undang-undang tersebut mengatur bahwa tidak ada satu pihak pun boleh
melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom air, kecuali telah
mendapat izin dari otoritas Skotlandia di sekitar Moray Firth meliputi garis pantai dari
Duncansby Head sampai Rattray Point (berjarak 75 mil dari muara Moray Firth).

3. Kapal-kapal pukat Norwegia tersebut kemudian ditahan oleh pihak otoritas Norwegia,
dan para awaknya dijerat dengan kedua undang-undang tersebut karena melakukan
aktivitas penangkapan ikan dengan cara-cara yang dilarang oleh undang-undang
Norwegia.

4. Pada tahun 1905, Mahkamah Skotlandia menerima banding dari para nelayan Norwegia
yang diwakili oleh Mortensen, seorang warga negara Denmark yang berdomisili di
Grimsby, Inggris, yang menjadi kapten dari salah satu kapal pukat yang ditahan oleh
otoritas Skotlandia, yang menangkap ikan di wilayah yang berjarak sekitar 3-10 mil dari
mulut teluk Moray Firth.

5. Wilayah yang dimasuki oleh Mortensen dalam kegiatan penangkapan ikannya


merupakan bagian dari Moray Firth yang berjarak lebih dari 3 mil dari daratan dan bukan
termasuk wilayah kedaulatan Inggris berdasarkan North Sea Convention. Mortensen
dianggap bersalah oleh Sheriff, yang kemudian menghukumnya dengan hukuman 50
hari penjara. Mortensen menyatakan keberatannya dikarenakan Sea Fisheries Acts
hanya dapat diberlakukan bagi orang Inggris atau orang asing yang berada di wilayah
teritorial Inggris, sementara berdasarkan hukum internasional, wilayah tersebut berada
diluar teritorial Inggris.

6. Pihak otoritas Skotlandia yang diwakili oleh Mr. Peters, menyatakan bahwa maksud dari
undang-undang tersebut bersifat universal dan sudah jelas Walaupun tidak dinyatakan
dalam hukum internasional, tetapi Moray Firth tetap dapat dikatakan sebagai laut
teritorial yang termasuk intra fauces terrae. Selain itu, walaupun Moray Firth bukan
merupakan wilayah teritorial Inggris, tetapi pihak berwenang Skotlandia tetap dapat
menjerat Mortensen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan yang ditujukan untuk
melindungi kegiatan penangkapan ikan di laut.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah pertentangan antara Mortensen yang
menganggap tindakannya adalah legal berdasarkan hukum internasional dan tempat kejadian
berada diluar teritorial Inggris sehingga ia tidak bisa dijerat dengan undang-undang nasional
Inggris karena ia bukan orang Inggris dan tidak berada dalam teritorial Inggris dengan Mr.
Peters selaku pihak otoritas Skotlandia yang menangkap Mortensen, yang beranggapan
Mortensen telah melakukan pelanggaran di Moray Firth yang dianggap merupakan teritorial
Inggris. Mortensen melakukan banding dan menyatakan tindakannya dibenarkan berdasarkan
North Sea Convention 1883 yang mengatur hak eksklusif nelayan. Namun, Mr. Peters
beralasan, Mortensen juga dapat dijerat dengan undang-undang perlindungan kegiatan
perikanan.

Putusan Mahkamah Tinggi Skotlandia

Mahkamah Tinggi Skotlandia (Court of Justiciary Scotland) pada tahun 1906 setelah
mempertimbangkan alasan kedua belah pihak, melalui Majelis Hakim yang beranggotakan tiga
orang Hakim yaitu Lord Justice-General Dunedin, Lord Kyllachy, dan Lord Salvesen
memutuskan untuk mengabulkan banding dari Mortensen.

Dasar Pertimbangan Mahkamah

Mahkamah Tinggi Skotlandia berpendapat bahwa undang-undang nasional tidak dapat


diterapkan terhadap orang asing yang tidak berada dalam wilayah teritorial Inggris dimana
untuk kasus seperti ini, hukum internasional yang berlaku. Mahkamah tidak dapat melakukan
apapun terhadap pertanyaan mengenai kewenangan badan legislatif terhadap pihak asing.
Mahkamah hanya dapat memutuskan apakah Act of Legislature tersebut ultra vires atau
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum internasional. Mahkamah
berpendapat bahwa Act of Parliament merupakan lembaga tertinggi yang dibentuk dan disetujui
oleh Raja sehingga Mahkamah tidak dapat melampaui kewenangannya. Mahkamah
mempertimbangkan banding yang diajukan Mortensen dimana ia menyatakan maksud dari
undang-undang tersebut adalah undang-undang Inggris hanya dapat diterapkan pada orang
Inggris atau pada orang asing yang berada di wilayah teritorial Inggris. Mortensen bukan
merupakan orang Inggris dan tempat terjadinya kasus (locus delicti) yang berada dalam jarak
lebih dari 3 mil, bukan termasuk teritorial Inggris, sehingga Mortensen berpendapat bahwa ia
tidak dapat dijerat dengan undang-undang tersebut. Dasar pertimbangan Mahkamah adalah
bahwa Moray Firth seharusnya dipandang sebagai common heritage of mankind dan berlaku
hukum internasional sehingga hukum nasional Inggris tidak dapat diberlakukan di wilayah
tersebut karena Inggris tidak memiliki kedaulatan terhadap Moray Firth.

FILARTIGA PENA-IRALA, COURT OF APPEALS 2ND CIRCUIT, 1980


Fakta-Fakta Hukum

1. Kasus ini terjadi pada 29 Maret 1976 dan diadili pada tahun 1978.

2. Kasusnya terjadi di Asuncion, Paraguay dan didili di Brooklyn, Amerika Serikat.

3. Doly Fillartiga dan Joel Fillartiga mengajukan tuntutan terhadap Pena Iralla yang telah
membunuh Joelito (adik dari Doly, anak dari Joel) yang disekap terlebih dahulu dan
disiksa hingga tewas.

4. Ketika kasus ini dibawa ke pengadilan Paraguay kasus ini tidak menimbulkan keadilan
sama sekali, hal ini disebabkan oleh dihukum matinya pengacara keluarga Fillartiga
dengan sebab yang tidak jelas.

5. Lalu keluarga Fillartiga meminta suaka politik ke Amerika.

Masalah Hukum

Permasalahan hukum yang timbul dari kasus ini adalah tentang kewenangan
Pengadilan Amerika Serikat untuk mengadili kasus yang terjadi di Negara lain dengan
menggunakan hukum yang berlaku di Amerika Serikat, dikarenakan Kasus Fillartiga dan Pena
Iralla adalah kasus yang terjadi di Paraguay.

Putusan Pengadilan

Pengadilan CJA (Center for Justice and Accountability) mengabulkan tuntutan ganti rugi
10,4 juta Dollar US yang dimintakan keluarga Fillartiga terhadap Pena Iralla.

Dasar Pertimbangan Pengadilan

Pengadilan Amerika menganggap bahwa kasus penganiayaan dan penyiksaan adalah


kasus yang sudah diatur dalam Deklarasi HAM, Piagam PBB , Deklarasi hak dan kewajiban
manusia Amerika, dan kebiasaan Internasional. Pengadilan Amerika memiliki kewenangan
untuk mengadili kasus tersebut walaupun kasus tersebut terjadi di luar Amerika. Hal ini
didukung lagi oleh karena pada saat itu Pena sedang berada di Amerika begitu juga Fillartiga.
Kebiasaan Internasional juga mengatakan kasus penganiayaan dan penyiksaan merupakan
pelanggaran yang harus dihukum di manapun hal itu terjadi dan negara manapun bisa
menghukum hal tersebut.

MABO V. QUEENSLAND, HIGH COURT OF AUSTRALIA, 1992

Fakta-Fakta Hukum

1.Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Mabo vs Queensland ini adalah kaum pribumi
Aborigin yang tinggal di Pulau Murray, Selat Torres yang disebut orang-orang Meriam,
yang diwakili oleh Eddie Mabo dengan pemerintah negara bagian Queensland, Australia
yang memiliki yurisdiksi atas Pulau Murray sebagai koloni dari Inggris.

2.Kasus Mabo v. Queensland terjadi di Pulau Murray yang terletak di Selat Torres yang
termasuk dalam wilayah teritorial Queensland, Australia.

3.Kasus Mabo v. Queensland ini merupakan banding dari kasus terdahulu yang telah
diputus oleh Pengadilan Distrik Queensland pada tahun 1988 dimana dalam putusan
sebelumnya, Majelis Hakim memenangkan pihak pemerintah Queensland atas hak
tanah adat milik penduduk Meriam.

4.Kasus ini terjadi karena penduduk lokal di Pulau Murray yaitu orang-orang Meriam
menolak Queensland Amendment Act 1982 yang dianggap bersifat diskriminatif dan
melanggar hukum kebiasaan internasional yang mengakui hak-hak milik adat penduduk
pribumi.

5.Pada tahun 1985, pemerintah Queensland mengeluarkan Queensland Coast Island


Declaratory Act 1985 yang menaytakan bahwa aneksasi terhadap Pulau Murray pada
tahun 1879 bebas dari hak atau kepentingan manapun sehingga dapat disimpulkan
undang-undang ini tidak mengakui hak-hak penduduk Pulau Murray, dan dalam
putusannya pada kasus pertama tahun 1988, Pengadilan Tinggi Queensland
menganggap undang-undang ini bertentangan dengan Racial Discrimination Act tahun
1975. Pemerintah Queensland berargumen bahwa semua tanah koloni yang berada
dibawah yurisdiksi Inggris secara mutlak menjadi milik Inggris.
Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah apakah hukum kebiasaan internasional yang
memberikan pengakuan terhadap hak-hak adat penduduk setempat dapat diterapkan dalam
kasus ini, mengingat undang-undang nasional Australia tidak mengakui adanya hak milik tanah
adat?

Putusan Mahkamah Tinggi Australia

Majelis Hakim dari Mahkamah Tinggi Australia yang beranggotakan Hakim Brennan,
Hakim Deane, Hakim Gaudron, Hakim Toohey, Hakim Dawson, Hakim McHugh, dan Hakim
Ketua Mason memutuskan mengabulkan banding Mabo dan penduduk Pulau Murray yang
menuntut untuk memberikan hak kepemilikan, penguasaan, dan pengelolaan tanah di seluruh
Pulau Murray kepada orang-orang Meriam sebagai penduduk asli yang mendiami wilayah
tersebut. Mahkamah juga menolak istilah terra nullius yang digunakan Inggris ketika
mengokupasi wilayah tersebut pada tahun 1788.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Tinggi Australia

Mahkamah mengabulkan banding dari Mabo karena berdasarkan pernyataan Hakim


Moynihan dari Supreme Court of Queensland yaitu orang-orang Meriam memiliki keterikatan
batin dengan Pulau Murray tempat mereka tinggal sehingga mereka memiliki hak atas tanah
mereka. Semua hakim, kecuali Hakim Dawson, setuju bahwa :

• Terdapat konsep hak milik adat dalam hukum kebiasaan internasional.

• Sumber dari hak milik adat berhubungan secara tradisional dengan penguasaan tanah
adat.

• Makna dari hak milik adat berdasarkan karakter dari hubungan atau penguasaan dalam
hukum adat atau kebiasaan.

• Hak milik adat dapat dikesampingkan oleh kebijakan pemerintah yang memiliki dasar
dan pertimbangan hukum yang kuat berdasarkan perundang-undangan nasional.

Mahkamah juga menyatakan bahwa hak milik Inggris atas tanah koloni bukan mutlak,
melainkan hanya hak radikal dan harus memperhatikan juga hak-hak penduduk setempat.

Analisis Kasus

Dalam kasus ini, kelompok kami melihat adanya hubungan antara hukum nasional yaitu
undang-undang Queensland dengan hukum internasional yang dalam kasus ini adalah hukum
kebiasaan internasional. Kelompok kami menilai, berdasarkan putusan hakim, maka hukum
kebiasaan internasional yang mengatur tentang hak milik adat dapat saling mengisi dengan
hukum kepemilikan yang merupakan produk hukum nasional.

NEGARA (PERSONALITY)

INDONESIA CASE, 1946

Fakta-Fakta Hukum

1.Pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia memproklamasikan


kemerdekaannya dari Belanda dengan ditandai pembacaan proklamasi kemerdekaan
oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta di Jakarta.
2.Kasus ini merupakan sengketa pengakuan kedaulatan antara Indonesia sebagai negara
yang baru berdiri dengan Belanda sebagai penjajah Indonesia yang tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia.
3.Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia karena Indonesia dianggap belum
memenuhi syarat-syarat untuk diakui sebagai negara, salah satunya adalah
kemampuan (capacity) untuk mengadakan hubungan internasional dengan negara-
negara lain.
4.Indonesia berargumen bahwa mereka telah memenuhi unsur-unsur negara sesuai
dengan Konvensi Montevideo tahun 1930 yaitu wilayah, penduduk, pemerintahan yang
berdaulat, dan kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional, yang telah
diatur dalam UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi Indonesia, walaupun pada waktu itu
belum terbentuk lembaga-lembaga negara beserta kekuasaannya.
5.Belanda sendiri sebenarnya secara de facto telah mengakui kedaulatan Indonesia
melalui Perundingan Linggarjati pada tahun 1946, yang diantaranya menyebutkan
bahwa “The Nederlands Government recognizes the government of the
Republic of Indonesia as exercising de facto authority over Java, Madura, and
Sumatera. The areas occupied by Allied or Netherlands forces shall be included
gradually, through mutual cooperation in republic territory”.
Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah :

1.Apakah Indonesia dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur negara sesuai dengan
Konvensi Montevideo 1933, mengingat pada saat itu Indonesia belum memiliki
pemerintahan yang secara nyata berdaulat dan juga belum melakukan hubungan
internasional dengan negara lain?
2.Apakah protes dari Belanda dapat mempengaruhi status Indonesia sebagai sebuah
negara, mengingat dalam hukum internasional, pengakuan kedaulatan dari negara lain
bukan merupakan syarat mutlak bagi sebuah negara selama negara tersebut tidak
melanggar prinsip anti kekerasan dalam hukum internasional?

Hasil Konferensi Meja Bundar 1949

Sejak Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama yang diakhiri dengan
Perjanjian Linggarjati pada tahun 1946 dimana Belanda mengakui Indonesia hanya sebatas
wilayah Sumatra, Jawa, dan Madura, Indonesia dan Belanda telah berulangkali terlibat dalam
konflik bersenjata hingga PBB kemudian turun tangan dengan mengutus Australia, Belgia, dan
Amerika Serikat yang tergabung dalam Komisi Tiga Negara (KTN) untuk mengajak Indonesia
dan Belanda kembali ke meja perundingan. Kemudian, atas prakarsa PBB melalui UNCI,
Indonesia dan Belanda sepakat untuk menghadiri perundingan damai Konferensi Meja Bundar
di Den Haag pada tahun 1949, dimana konferensi ini menghasilkan pernyataan pengakuan
kedaulatan Indonesia secara penuh kecuali Irian Barat oleh Belanda yang serentak
ditandatangani di Belanda dan Indonesia.

Analisis Hukum

Menurut kelompok kami, dalam Indonesia Case ini, Belanda tidak dapat mengajukan
keberatannya secara hukum atas berdirinya negara Indonesia karena menurut Konvensi
Montevideo tahun 1933, Indonesia telah memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan sebagai
negara yaitu wilayah (defined territory), penduduk (permanent population), pemerintahan yang
berdaulat (government) meskipun pada saat itu Indonesia belum memiliki lembaga-lembaga
negara yang tetap, namun telah diatur dalam UUD 1945 sebagai dasar konstitusional, serta
kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional dengan negara lain (capacity to enter
into relations with other states) dimana hal ini juga telah diatur dalam UUD 1945 pasal 11 dan
Indonesia sendiri sejak proklamasi kemerdekaan telah mulai mengadakan hubungan luar negeri
dengan negara-negara lain diantaranya seperti India dan Mesir. Selain itu, protes dari Belanda
juga tidak mempengaruhi eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara karena dalam hukum
internasional, pengakuan bukanlah syarat mutlak untuk diakui sebagai sebuah negara
berdasarkan doktrin Estrada dimana penolakan pengakuan dianggap sebagai pelanggaran
terhadap kedaulatan suatu negara dan dianggap juga mencampuri urusan dalam negeri negara
lain.
WESTERN SAHARA OPINION, ICJ REPORT 1975

Fakta-Fakta Hukum

1. Semenjak kemerdekaannya pada tahun 1956, Maroko berkeinginan untuk memasukkan


suatu daerah bekas kolonial Spanyol yaitu Sahara Barat ke dalam wilayah teritorial
Maroko.

2. Pada tahun 1958, tentara Maroko berperang dengan tentara Spanyol dalam peperangan
Ifni.

3. Setelah mendapatkan dukungan dari Prancis, Spanyol kembali menguasai wilayah


tersebut, tetapi Spanyol mengembalikan beberapa daerah ke Maroko, yaitu daerah
Tarfaya dan Tantan.

4. Maroko terus meminta pengembalian beberapa wilayah-wilayah yang tersisa, yaitu Ifni,
Saguia el-Hamra dan Rio De Oro dan beberapa wilayah yang dijajah oleh Prancis.

5. Selama tahun 1960an, Maroko berhasil mendapatkan Sahara Barat untuk dijadikan
wilayah jajahan mereka.

6. Tanggal 20 Desember 1966, Resolusi Majelis Umum PBB 2229 meminta Spanyol untuk
mengadakan referendum dalam menentukan nasib sendiri di wilayah Sahara Barat.

7. Setelah awal perlawan dan semua pernyataan dari Maroko dan Mauritania (yang juga
memulai membuat pernyataan kepemilikan Sahara Barat), Spanyol mengumumkan
pada Tanggal 20 Agustus 1974, sebuah referendum dalam menentukan nasib sendiri
akan diadakan pada enam bulan pertama tahun 1975.

8. Maroko mengeluarkan pernyataan bahwa tidak dapat menerima referendum yang akan
memasukkan sebuah pilihan untuk kemerdekaan dan meminta kembali untuk
menggabungkan propinsi Sagui el-Hamra dan Rio De Oro ke dalam wilayah kedaulatan
mereka.

9. Pada tanggal 17 Septmber 1974, Raja Hassan II mengumumkan keinginannya untuk


membawa masalah ini ke ICJ. Pada bulan Desember, Spanyol menyetujui untuk
menunda referendum di Sahara selama masalah ini sedang diselesaikan oleh ICJ.
Kasus ini hanya berbentuk advisory opinion yang tidak memiliki kekuatan yang
mengikat.

Masalah Hukum

Apakah Spanyol berhak untuk mengadakan referendum untuk menentukan nasib sendiri
di wilayah Sahara Barat yang selama ini diperebutkan oleh Spanyol dan Maroko untuk dijadikan
ke dalam wilayah territorial mereka masing-masing?

Putusan Pengadilan

ICJ tidak dapat membuat suatu keputusan dalam permasalahan ini, karena pada waktu
penjajahan berlangsung di wilayah Sahara Barat, daerah tersebut bukan merupakan suatu
wilayah Terra Nullius.

Dasar Pertimbangan Pengadilan

Sahara Barat bukanlah Terra Nullius karena pada waktu penjajahannya terdapat
berbagai bentuk hubungan yang ada antara suku-suku dan emirat-emirat Sahara di abad ke-19.
Mahkamah juga menyatakan bahwa pada waktu itu belum ada semacam organ atau entitas
yuridik yang berbeda dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Oleh karena itu, menurut
pendapat Mahkamah di Sahara Barat pada waktu itu belum ada struktur pemerintahan dank
arena itu belum ada negara.
NEGARA DAN KEDAULATAN TERITORIAL (TERRITORIAL
SOVEREIGNTY)

SIPADAN & LIGITAN, ICJ REPORTS, 2002

Fakta-Fakta Hukum

1. Pihak dari kasus ini adalah antara Indonesia dengan Malaysia.

2. Pada tahun 1967, Indonesia dan Malaysia mengadakan pertemuan mengenai teknis
hukum laut antara kedua negara, dimana masing-masing negara menempatkan pulau
Sipadan dan Ligitan ke dalam batas wilayah masing-masing negara.

3. Kedua negara bersepakat untuk menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam status
quo yang ternyata interpretasi dari kedua negara ini adalah berbeda. Malaysia
mengartikan status quo sebagai pulau tersebut tetap berada dibawah kedaulatan
Malaysia yang membangun berbagai objek wisata hingga sengketa tersebut selesai,
sementara Indonesia mengartikan status quo adalah bahwa pulau ini tidak boleh
ditempati hingga sengketa ini selesai.

4. Pada tahun 1969, Malaysia secara sepihak memasukan pulau Sipadan dan Ligitan ke
dalam peta nasionalnya.

5. Berbagai cara penyelesaian sengketa secara diplomatik diantaranya melalui Treaty of


Amity and Cooperation in Southeast Asia 1976 untuk membentuk Dewan Tinggi ASEAN
yang berfungsi dalam penyelesaian sengketa antar anggota ASEAN namun gagal.

6. Pada tahun 1991, Malaysia menempatkan beberapa pasukan Polisi Hutan untuk
mengusir seluruh warga negara Indonesia dan meminta pihak Indonesia untuk
mencabut klaim atas kedaulatan terhadap pulau Sipadan dan Ligitan.

7. Pada tahun 1997, Indonesia dan Malaysia membuat suatu perjanian yang menyepakati
bahwa sengketa ini akan dibawa ke Mahkamah Internasional.

8. Pada tahun 1998, masalah mengenai sengketa kedaulatan terhadap pulau Sipadan dan
Ligitan antara Indonesia dan Malaysia dibawa ke Mahkamah Internasional.

Masalah Hukum

Siapakah yang berhak memiliki hak atas kedaulatan terhadap pulau Sipadan dan Ligitan
setelah adanya klaim dari masing-masing pihak mengenai kedaulatan terhadap kedua pulau
tersebut, apakah Indonesia atau Malaysia?

Putusan Mahkamah Internasional

Pada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan


bahwa Malaysia memiliki hak atas kedaulatan terhadap pulau Sipadan Dan Ligitan.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Mahkamah menilai bahwa dalam sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai
kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia dimenangkan atas dasar pertimbangan
effectivity, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif
berupa penerbitan undang-undang mengenai perlindungan satwa burung, pungutan pajak
terhadap pengumpulan telur penyu semenjak tahun 1930 dan operasi mercusuar tahun 1960.
Malaysia juga telah dianggap telah melakukan effective occupation dan sovereignty exercise
terhadap pulau Sipadan dan Ligitan dengan cara membangun berbagai resort dan objek
pariwisata serta menerapkan berbagai aturan-aturan pajak di pulau tersebut.

Analisis Kasus

Dalam kasus ini, Malaysia dimenangkan oleh Mahkamah karena pada dasarnya, jika
suatu negara ingin memiliki suatu kedaulatan terhadap suatu wilayah, maka Negara tersebut
harus melakukan yang namanya dua hal, yaitu:

• Effective occupation,

• Exercise of sovereignty.

Indonesia dianggap tidak pernah melakukan dua hal itu terhadap pulau Sipadan dan
Ligitan semenjak dari Indonesia dijajah oleh Belanda, hingga sampai Indonesia merdeka dari
Belanda. Indonesia baru menyadari bahwa Sipadan dan Ligitan termasuk ke dalam wilayah
kedaulatan Indonesia pada saat pertemuan dengan Malaysia mengenai teknis hukum laut.
Sementara Malaysia, melalui pemerintahan kolonialnya Inggris, telah memulai menduduki
wilayah Sipadan dan Ligitan semenjak tahun 1930 hingga sampai Malaysia merdeka dari
Inggris.

Perbandingan dengan kasus Island of Palmas 1928, bahwa dahulu Island of Palmas
atau Miangas telah diduduki oleh Pemerintahan Kolonial Belanda semenjak 2 abad yang lalu.
Walaupun Spanyol (penjajah Filipina) telah menyerahkan daerah jajahannya kepada Amerika
Serikat melalui sebuah perjanjian damai. Tetapi Amerika Serikat baru menyadari adanya
Miangas semenjak tahun 1927. PCIJ memutus bahwa Island of Palmas diberikan kepada
pemerintahan Kolonial Belanda karena adanya penerimaan kedaulatan oleh masyarakat
setempat dalam waktu yang lama tanpa adanya keberatan dari penduduk Miangas.

Jadi antara Sipadan dan Ligitan dengan Island of Palamas ada suatu kesamaan dalam
memiliki sebuah kedaulatan, yaitu adanya effective occupation, dan kedaulatan itu dalam waktu
yang lama telah diterima tanpa adanya keberatan dari penduduk di daerah tersebut.
SOVEREIGNTY OF PEDRA BRANCA/ PULAU BATU PUTEH, MIDDLE
ROCKS & SOUTH LEDGE, MALAYSIA/ SINGAPORE, 2008

Fakta-Fakta Hukum

1.Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di
perbatasan antara Malaysia dengan Singapura, tepatnya sekitar 24 mil sebelah timur
Selat Singapura. Sementara Middle Rocks adalah dua buah pulau karang yang terletak
di 0,6 mil selatan Pedra Branca dan South Ledge adalah sebuah dermaga kecil yang
terletak 2,1 mil selatan Pedra Branca.

2.Sengketa ini melibatkan pihak Singapura yang pada tanggal 14 Februari 1980
memprotes tindakan Malaysia yang menyatakan bahwa Pulau Batu Puteh merupakan
bagian dari kedaulatan teritorial Malaysia. Sementara, Middle Rocks dan South Ledge
menjadi sengketa pada tanggal 6 Februari 1993 dan dimasukkan kedalam objek
sengketa bersama dengan Pedra Branca sebagai satu kesatuan, namun Singapura
tidak memasukkan Middle Rocks dan South Ledge dalam Notification tanggal 14
Februari 1980.
3.Pada tanggal 24 Juli 2003, Malaysia dan Singapura sepakat untuk membawa masalah
ini ke ICJ melalui Special Agreement dengan agenda pembahasan kedaulatan antara
Malaysia dengan Singapura terhadap Pedra Branca, Middle Rocks, dan South Ledge.

4.Singapura beralasan bahwa Pedra Branca merupakan terra nullius dan memiliki
peranan penting dalam lalu lintas pelayaran internasional di Selat Singapura dimana
Singapura telah melakukan tindakan effective occupation untuk membuktikan
kedaulatannya sejak tahun 1847 hingga 1979 dibuktikan dengan adanya pembangunan
mercusuar Horsburgh dan instalasi komunikasi militer di pulau itu dan juga menyatakan
bahwa status kedaulatan yang muncul dalam Pulau Batu Puteh juga berlaku sama
terhadap Middle Rocks, dan South Ledge.

5.Malaysia tidak pernah melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya


di Pedra Branca, namun pada tahun 1953, Malaysia mengklaim diri sebagai pemilik
Pedra Branca. Malaysia juga beralasan bahwa Pedra Branca dan sekitarnya dahulu
merupakan bagian dari Kesultanan Johor sehingga anggapan bahwa Pedra Branca
merupakan terra nullius adalah salah.

6.Alasan Malaysia tersebut juga diperkuat dengan Crawfurd Treaty tahun 1874 tentang
penyerahan kedaulatan terhadap Pulau Singapura dan sekitarnya dari Kesultanan Johor
ke East India Company (Inggris) dimana Pulau Batu Puteh letaknya justru lebih dekat ke
Malaysia dibanding Singapura.

7.Malaysia juga menyatakan bahwa mercusuar Horsburgh yang ada di Pedra Branca
dibangun oleh East India Company pada tahun 1851 sebagai bagian dari sistem
navigasi di Selat Singapura.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah :

1.Bagaimana putusan ICJ terhadap masalah ini mengingat Singapura telah melakukan
tindakan effective occupation terhadap Pedra Branca sejak lama untuk membuktikan
kedaulatannya, sedangkan Malaysia menggunakan pendekatan sejarah Kesultanan
Johor sebagai pemilik terdahulu dari Pedra Branca?
2.Apakah status hukum dari Pulau Batu Puteh, Middle Rocks, dan South Ledge dapat
diklaim secara bersamaan menjadi satu kesatuan atau ketiganya berdiri secara
terpisah?

Putusan Mahkamah Internasional

Pada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan bahwa


Singapura adalah pemilik kedaulatan di Pedra Branca, Middle Rocks menjadi milik Malaysia,
dan South Ledge menjadi milik negara yang memiliki laut teritorial tempat South Ledge berada.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional memutuskan Pedra Branca menjadi miliki Singapura karena


Malaysia tidak melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya di Pedra Branca
meskipun ICJ sependapat dengan argumen Malaysia mengenai latar belakang sejarah
kepemilikan Pedra Branca yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor dan bukan terra
nullius seperti yang dinyatakan oleh Singapura, namun alasan sejarah saja tidak dapat
memperkuat argumen Malaysia. Mahkamah juga mengatakan bahwa tindakan effective
occupation yang dilakukan oleh Singapura merupakan exercised continous sovereignty over
the island untuk membuktikan adanya tindakan untuk memperoleh kedaulatan terhadap wilayah
tersebut, sementara Malaysia tidak pernah melakukan tindakan apapun untuk membuktikan
kedaulatannya di Pedra Branca.

Analisis Kasus

Menurut kelompok kami, dalam kasus ini Mahkamah Internasional memenangkan pihak
Singapura atas kedaulatan di Pedra Branca/ Pulau Batu Puteh karena Singapura melakukan
dua tindakan yang yang diperlukan bagi suatu negara untuk memperoleh wilayah secara
preskripsi yaitu effective occupation dan exercises continous sovereignty over the island. Dalam
kasus ini, pihak Malaysia tidak pernah melakukan kedua tindakan tersebut dalam bentuk
apapun walaupun secara historis pendapat Malaysia dapat dibenarkan, namun pendekatan
historis saja tidak dapat dijadikan argumen yang kuat dalam masalah hukum internasional,
terutama yang menyangkut kedaulatan teritorial.

Kasus ini memiliki kesamaan dengan kasus Island of Palmas tahun 1928 dimana dahulu
Island of Palmas atau Miangas telah diduduki oleh Pemerintahan Kolonial Belanda semenjak 2
abad yang lalu. Spanyol sebagai penjajah Filipina telah menyerahkan daerah jajahannya
kepada Amerika Serikat melalui sebuah perjanjian damai, namun Amerika Serikat baru
menyadari adanya Miangas semenjak tahun 1927. PCIJ kemudian memutus bahwa Island of
Palmas diberikan kepada pemerintahan Kolonial Belanda karena adanya penerimaan
kedaulatan oleh masyarakat setempat dalam waktu yang lama tanpa adanya keberatan dari
penduduk Miangas (preskripsi). Dalam kasus ini, Malaysia baru memasukkan Pedra Branca
kedalam wilayah teritorialnya pada tahun 1953 tanpa melakukan effective occupation
sebelumnya, sementara Singapura telah melakukan effective occupation atas Pedra Branca
sejak tahun 1847 tanpa ada protes dari pihak Malaysia (Kesultanan Johor).

LINGKUNGAN
TRAIL SMELTER ARBITRATION, ARBITRAL TRIBUNAL, 3 R.I.A.A.,
1938 & 1941

Fakta-Fakta Hukum

1. Para pihak dari kasus ini adalah Amerika Serikat melawan Kanada pada tahun 1937.

2. Pada tahun 1937, pabrik smelter / biji besi di kota Trail propinsi British Columbia,
Kanada, memproduksi asap beracun yang mengandung sulfur dioksida.

3. Cerobong dari pabrik biji besi tersebut sangat tinggi sehingga asap dari aktifitas pabrik
yang mengandung sulfur dioksida tersebut terbang ke udara dan sampai ke negara
bagian Washington State di Amerika Serikat.

4. Asap tersebut menimbulkan kerugian di kota Seattle berupa korosi atap rumah, dan
berbagai kerugian pada tumbuhan yang ada di kota tersebut, sehingga petani-petani
setempat menderita kerugian.

5. Oleh karena kejadian tersebut, Amerika Serikat menggugat Kanada di Permanent Court
of Arbitration.

Masalah Hukum

Apakah tindakan yang dilakukan oleh pabrik biji besi yang terletak di kota Trail, Propinsi
British Columbia, Kanada tersebut adalah tindakan yang merugikan lingkungan hidup yang
bersifat transboundary, sehingga Kanada harus membayar ganti rugi kepada Amerika?

Putusan PCA

Permanent Court of Arbitration memutuskan bahwa Kanada telah merugikan dan


mencemari lingkungan hidup Amerika Serikat dan memerintahkan Kanada untuk membayar
ganti rugi kepada Amerika Serikat.

Dasar Pertimbangan PCA

1. Berdasarkan prinsip hukum internasional yaitu Good Neighbourlines, tidak ada negara
yang boleh melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian di negara lain.

2. Suatu negara bertanggung jawab atas perbuatan penduduk di wilayahnya yang


menimbulkan kerugian bagi negara lain.

3. Pemerintah Kanada tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan
bahwa tidak ada hukum yang mengatur mengenai ketinggian cerobong asap dari pabrik
biji besi tersebut.
Analisis Dengan Kasus Pembanding

Di dalam wilayah kedaulatannya, negara dapat melakukan kegiatan apa saja dan tidak
ada negara lain yang bisa melarang suatu negara untuk melakukan aktifitas di wilayah
kedaulatannya tersebut. Akan tetapi pada kasus Trial Smelter Arbitration ini, aktifitas dari
Kanada telah menimbulkan dampak yang merugikan bagi Amerika Serikat.

Siapapun yang melakukan suatu kegiatan di wilayah kedaulatannya, maka negara


tersebut haruslah bertanggung jawab terhadap yang melakukan kegiatan tersebut jika kegiatan
tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lain.

Tanggung jawab negara tersebut dapat pembayaran dari ganti rugi kepada negara yang
dirugikan dari perbuatan yang awalnya berasal dari dalam kedaulatan suatu negara.

Dalam kasus Trial Smelter Arbitration, Kanada dinyatakan bersalah oleh PCA karena
pencemaran udara yang terjadi di wilayahnya menyebabkan kerugian pada Amerika Serikat.
Mereka melanggar salah satu prinsip hukum lingkungan yaitu prinsip Good Neighbourlines,
bahwa kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara tidak boleh menimbulkan dampak yang
merugikan bagi negara lain.

Dalam kasus US Supreme Court Greenhouse Gas Regulation, US Supreme Court


memerintahkan Environmental Protection Agency (EPA) untuk meninjau kembali keputusannya
pada kasus Massachusetts V. EPA yang menolak pemberlakuan Greenhouse Gas Emissions
From Motor Vehicle Regulation yang faktanya berakibat buruk bagi lingkungan Amerika sendiri
dan juga bagi negara-negara lainnya karena dapat menyebabkan perubahan iklim akibat dari
menumpuknya karbon dioksida di lapisan ozon bumi.

Dalam putusan US Supreme Court dapat dilihat bahwa seharusnya EPA


memberlakukan suatu regulasi yang dapat mengontrol pencemaran udara dari kendaraan
bermotor di Amerika sehingga lingkungan Amerika pun menjadi bersih. Akan tetapi Supreme
Court juga mempertimbangkan dampaknya bagi negara-negara lain karena jangan sampai EPA
tidak mau memberlakukan suatu regulasi yang nantinya berdampak pada dunia internasional
akibat dari masalah Amerika sendiri. Hal ini sama dengan prinsip Good Neighbourlines seperti
kasus Trial Smelter Arbitration.
LóPEZ OSTRA v. SPAIN, 1994

Fakta-Fakta Hukum :

1. Mrs. Georgia Lopez Ostra, seorang kebangsaan Spanyol, beserta suami dan kedua
anak perempuannya tinggal di distrik Diputacion del Rio, el Lugarico, Lorca ( murcia ),
beberapa ratus meter jaraknya dari pusat kota. Kota Lorcamempunyai konsentrasi yang
sangat tinggi terhadap industri kulit. Beberapa industri tersebut dimiliki oleh perusahaan
terbatas SACURSA. Perusahaan ini mempunyai sebuah industri, yang dibangun dengan
subsidi pemerintah, untuk mengolah limbah padat dan cair dari industri kulit tersebut di
sebuah lahan milik negara yang jaraknya 12 meter jauhnya dari rumah Mrs. Lopez.

2. Industri untuk pengelolaan limbah dari industri kulit tersebut mulai dioperasikan pada
Juli 1988 tanpa adanya lisensi dari pejabat yang berwenang seperti yang diharuskan
oleh Regulation 6 of the 1961 regulations on activities classified as causing nuisance
and being unhealthy, noxious and dangerous ("the 1961 regulations"), dan tanpa adanya
prosedur yang seharusnya dijalankan berdasarkan regulasi tersebut.
3. Tak lama setelah industri tersebut dijalankan, industri tersebut mengakibatkan masalah
kesehatan dan masalah lainnya yang diakibatkan oleh pengelolaan limbah terebut
terhadap banyak penduduk lokal, termasuk keluarga Mrs. Lopez. Hal ini menyebabkan
pemerintah harus mengevakuasi penduduk yang tinggal di sekitar pengelolaan limbah
tersebut,dan setelah itu ada saran dari pejabat yang berwenang bahwa operasi
pengelolaan limbah terseut harus dihentikan. Namun, peneglolaan air limbah yang
terkontaminasi dengan chromium tersebut tetap dilanjutkan.
4. Setelah kembali lagi ke rumahnya, Mrs. Lopez dan keluarganya terus mengalami
gangguan kesehatan dan kehilangan kesempatan untuk menikmati kualitas hidup yang
sehat. Pada tanggal 13 Oktober 1988 Mrs. Lopez mengajukan tuntutan ke the
Administrative Division of the Murcia Audiencia Territorial, untuk meminta perlindungan
terhadap hak fundamentalnya berdasarkan section 1 of Law 62/1978 of 26 December
1978 on the protection of fundamental rights ("Law 62/1978"). Dia mengajukan
komplain, inter alia, atas situasi tidak diinginkan yang melawan hukum yang terjadi
rumahnya dan haknya untuk dapat menikmati hidup damai di dalamnya, sebuah
pelanggaran terhadaphaknya untuk memilih secara bebas tempat ia ingin tinggal,
gangguan terhadap integritas secara fisik dan mental, dan perbuatan melawan haknya
yang dijamin secara hukum atas kebebasan dan keamanannya (Articles 15, 17 para. 1,
18 para. 2 and 19 of the Constitution ) mengingat tindakan pasif dari pemerintah yang
berwenang dalam menangani gangguan dan resiko yang terjadi dari industripengelolaan
sampah tersebut. Mrs. Lopez juga meminta agar pengadilan mengeluarkan putusan
untuk menghentikan operasi pengelolaan limbah tersebut baik sementara maupun
permanen.
5. Pengadilan memutuskan bahwa Murcia Audiencia Territorial telah menerima bahwa
tanpa mengkonstitusikan keresahan resiko kesehatan, gangguan-gangguan pada isu
yang merusak kualitas hidup para penduduk yang tinggal di daerah itu, tetapi kerusakan
tersebut belum cukup besar untuk dikatakan melawan hak fundamental seseorang yang
dijamin oleh hukum seperti yang diakui oleh Konstitusi. Pengadilan bahkan berpendapat
bahwa polusi lingkungan yang sangat jelek dapat mengakibatkan efek pada kehidupan
masing-masing individu dan mencegahnya untuk dapat menikmati rumahnya,kehidupan
pribadi serta keluarganya, namun tanpa membahayakan kesehatan mereka.
6. Pada tanggal 10 Februari 1989 Mrs.Lopez mengajukan gugatan ke Supreme Court
(tribunal Supremo). Dia menekankan bahwa sejumlah saksi dan ahli telah
mengindikasikan bahwa industri peneglolaan samapah tersebut adalah sumber dari bau
berpolusi, wabah penyakit, bau tidak sedap, dan bunyi bising yang telah mengakibatkan
gangguan kesehatan baginya dan kedua putrinya.
7. Pada tanggal 27 Juli 1989 Pengadilan memutuskan untuk tidak mengabulkan gugatan
Mrs.Lopez dengan alasan tidak ada public official yang datang ke rumahnya dan
mengganggu integrita hidupnya. Walaupun ada gangguan, Mrs. Lopez bebas untuk
pindah kemana saja. Kegagalan industri untuk mematuhi lisensi dapat diproses melalui
proses peradilan biasa.
8. Pada tanggal 20 Oktober 1989 Mrs Lopez kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan
Konstitusi, atas dasar telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 15 tentang hak untuk
mendapat phisycal integrity, dan pasal 18 (right to private life and to inviolability of the
family home) dan Pasal 19 (right to choose freely a place of residence) dari konstitusi,
namun gagal lagi.
9. Pada tahun 1990, 2 saudara ipar Mrs. Ostra yang tinggal satu bangunan dengannya,
mengajukan keberatan atas pemerintah Lorca dan SACURSA ke Administrative Division
of the Murcia High Court (Tribunal Superior de Justicia), meyakinkan bahwa industri
pengolahan limbah tersebut telah dioperasikan tidak sesuai hukum. pada tanggal 18
september 1991 Pengadilan memutuskan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi
tetap berkelanjutan samapi setelah tanggal 9 september 1988, dan karena indusrti
tersebut tidak mempunyai lisensi yang seharusnya dimiliki, maka industri tersebut harus
ditutup sampai mendapatkan lisensi yang seharusnya.

Masalah Hukum

Dapatkah kerusakan lingkungan yang berefek pada kehidupan sebuah keluarga yang
diakibatkan oleh sebuah industri yang dimiliki pemerintah dimintai pertanggungjawabannya?

Putusan Hakim
Pada tanggal 8 Juli 1992 Pengadilan memutuskan bahwa memang benar telah terjadi
pelanggaran terhadap Article 8 tapi bukan terhadap Article 3.

Analisis Kasus

Menurut kami, suatu badan yang bergerak dalam wewenang pemerintah seharusnya
menjalankan kegiatannya berdasarkan prosedur yang berlaku, agar jikalau di kemudian hari
terjadi sesuatu sengketa lebih mudah untuk menunjuk siapa yang bertanggungjawab atas
kerusakan yang terjadi. seperti pada kasus di atas, dimana industri pengolahan limbah yang
dibangun dari subsidi pemerintah, namun ternyata tidak memiliki lisensi yang seharusnya
dimiliki. Sehingga ketika terjadi pencemaran lingkungan, sangat sulit untuk dimintai
pertanggungjawabannya.

U.S. SUPREME COURT GREENHOUSE GAS REGULATION &


FOREIGN POLICY CONSIDERATIONS, 2007

Fakta-Fakta Hukum
1. Tahun 1999, 19 organisasi privat mengajukan petisi yang meminta
Environmental Protection Agency (EPA) untuk mengatur/membuat
peraturan standard 4 senyawa gas rumah kaca yang dipencarkan oleh
kendaraan bermotor, yaitu : karbondioksida, metana, nitrogen oksida dan
hidroklorokarbon.
2. Pemohon petisi tersebut menyatakan bahwa gas emisi tersebut adalah
pollutant (pencemar) udara yang dapat berbahaya bagi kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat, dan karena mereka menyebabkan efek
terhadap perubahan iklim maka harus dibuat peraturan berdasarkan Pasal
202 (a) (1) Clean Air Act .
3. EPA menolak petisi tersebut dengan alasan mereka tidak mempunyai
wewenang untuk membuat peraturan mengenai gas emisi rumah kaca
tersebut.
4. 12 Negara bagian, pemerintah lokal dan beberapa asosiasi lingkungan
menentang peniolakan EPA dan menuntut mereka di US Court of Appeals
for district of Columbia Circuit.
5. Dengan keputusan 2 banding 1 dan 3 pendapat terpisah, Pengadilan
memutuskan bahwa memberikan pertimbangan EPA dalam menyangkal
petisi tersebut dapat dibenarkan.
6. 26 Juni 2006, Massachusetts dan berbagai asosiasi lingkungan membawa
masalah ini ke US supreme court. Dalam tahap ini, penolakan EPA
didukung oleh Alliance of Automobile Manufacturers, CO2 Litigation
Group, Engine Manufacturers Association, National Automobile Dealers
Association, Truck Manufacturers Association, Utility Air Regulatory Group
dan 10 negara bagian.
7. 2 April 2007, US supreme court memenangkan Massachusetts dan
mengharuskan EPA membuat peraturan emisi gas rumah kaca yang dapat
menyebabkan pencemaran udara dan berbahaya bagi kesehatan dan
kesejahteraaan mensyarakat berdasarkan Clean Air Act

Permasalahan Hukum
1.Apakah EPA dapat menolak membuat peraturan standar emisi untuk kendaraaan
bermotor berdasarkan pertimbangan kebijakan yang tidak diatur dalam Pasal 202 (a) (1)
Clean Air Act?
2.Apakah EPA mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan terhadap
karbondioksida dan pollutant lainnya berhubungan dengan masalah perubahan iklim
yang diatur dalam Pasal 202 (a) (1) Clean Air Act?
Putusan Pengadilan
Pengadilan memutuskan bahwa EPA dapat menolak membuat peratuan emisi gas
rumah kaca hanya jika EPA dapat menentukan bahwa gas rumah kaca tersebut tidak
menyebabkan perubahan iklim atau jika EPA dapat memberi penjelasan yang layak. Lebih
lanjut, Pengadilan menetukan bahwa EPA harus membuat peraturan tertulis mengenai tindakan
apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh EPA. Hukum yang ada mengharuskan
EPA membuat peraturan mengenai pollutant/pencemar udara yang dapat menyebabkan
pencemaran udara dan berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan publik.

Dasar Pertimbangan Putusan


Pasal 202 (a) (1) Clean Air Act menghendaki EPA untuk mengumumkan/mengeluarkan
peraturan mengenai standar minimum emisi kendaraan bermotor yang dapat mencemari udara
dan berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Clean Air Act mendefinisikan
pencemar udara, termasuk berbagai media perantara pencemar udara, berbagai jenis fisik dan
unsur kimia yang dipencarkan ke udara.
Hakim memutuskan berdasarkan pertimbangannya dan melihat hasil data ilmiah, bahwa
karbondioksida dan emisi gas rumah kaca lainnya adalah merupakan pollutant yang dapat
menyebabkan pencemaran udara dan berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat. Sehingga mengacu pada ketentuan mengenai tindakan mencegah perubahan iklim
dalam Clean Air Act, EPA diharuskan membuat peraturan untuk membatasi emisi gas rumah
kaca dan pollutant lainnya yang dipakai dalam kendaraan bermotor.

Analisis Putusan
Dalam kasus ini, EPA menolak petisi pembuatan peraturan yang mengatur emisi gas
rumah kaca pada kendaraan bermotor dengan alasan mereka tidak berwenang untuk membuat
peraturan tersebut. Mereka berargumen bahwa meskipun mereka berwenang, EPA tidak akan
membuat peraturan keras yang bertentangan dengan kebijakan administrasi lain maupun
kebijakan berkenaan dengan program pemerintah lainnya.

Pada proses pemeriksaan di US supreme court, EPA beranggapan bahwa


kerugian/kerusakan yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca terlalu luas dan tidak cukup
spesifik untuk diajukan untuk diperiksa dalam jurisdiksi Federal Court oleh Massachusetts dan
perkumpulan asosiasi lingkungan berdasarkan Pasal 3 kostitusi Amerika. Mengenai hal ini,
hakim tidak setuju, karena :
1. Massachusetts memiliki posisi khusus dan bertindak atas nama penduduknya.
2. Kerusakan/kerugian yang berhubungan dengan perubahan iklim merupakan
masalah serius dan merupakan salah satu tanggungjawab negara diatur dalam
hukum internasional.
3. Penolakan EPA untuk membuat peraturan yang meminimumkan emisi karbon dari
mobil-mobil baru menyebabkan kerusakan/kerugian di Massachusetts Coastal lands.
4. Efektifitas yang tertunda dari pengaturan tersebut dengan dalih bahwa penyebab
terbesar terjadinya perubahan iklim adalah negara-negara berkembang, tidak berarti
membenarkan EPA untuk memperlambat/menunda pembuatan peraturan mengenai
masalan pemanasan global ini.
Pengadilan menemukan bahwa penolakan EPA untuk mengatur emisi gas rumah kaca
mengakibatkan resiko yang merugikan Massachusetts secara “nyata” dan “segera terjadi”.
Pengadilan juga menyimpulkan bahwa dimungkinkan adanya permintaan pembuatan peraturan
oleh EPA untuk mengurangi resiko tersebut secara tidak langsung. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka Pengadilan menyatakan bahwa Massachusetts berwenang mengajukan
permohonan peninjauan kembali kasus ini oleh US supreme court, sedangkan pemohon lainnya
dinyatakan tidak berwenang.

Pengadilan juga menemukan bahwa Clean Air Act mendefinisikan pencemar udara
(pollutant) termasuk semua senyawa yang terdapat diudara dan dapat menyebabkan
perubahan iklim. Pengadilan dengan tegas membatasi pertimbangan EPA untuk menahan
peraturan emisi gas rumah kaca berdasarkan Pasal 202 (a) (1).

Pengadilan menyatakan bahwa hukum mengharuskan EPA untuk mengatur pencemar


udara jika ia berkontribusi menyebabkan pencemaran udara dan dapat membahayakan
kesehatan dan kesejahteraan publik.

Dari kasus ini, terlihat bahwa suatu hal yang menjadi perhatian masyarakat internasional
dapat memaksa suatu negara untuk membuat peraturan yang mengatur masalah tersebut
(dalam hal ini adalah masalah lingkungan berkaitan dengan pencemaran udara dari efek rumah
kaca yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim). Hukum internasional dapat
memaksa suatu negara membuat peraturan dalam rangka menjaga lingkungannya dan
mengurangi pemanasan global, meskipun peraturan tersebut merugikan atau ditolak oleh warga
negaranya, perusahaan-perusahaan yang ada di negara itu maupun oleh pihak-pihak lainnya.
Dalam hal ini, semakin terlihat jelas bahwa pada intinya setiap negara mempuyai
tanggungjawab internasional tidak hanya dalam upaya menjaga keamanan dan perdamaian
dunia, tetapi juga mengenai masalah lingkungan hidup yang telah menjadi issue global
(perhatian masyarakat internasional).

TANGGUNG JAWAB NEGARA

THE BARCELONA TRACTION, LIGHT AND POWER COMPANY CASE

Fakta-Fakta Hukum

• Barcelona Traction adalah suatu perusahaan yang mengawasi kegunaan cahaya dan
energi di Spanyol dan disatukan di Toronto. Pada tanggal 12 september 1911 didirikan
oleh Frederick Pearson.

• Tujuan dari perusahaan ini adalah Untuk kepentingan menciptakan dan


mengembangkan suatu produksi tenaga listrik dan distribusi sistem membentuk
sejumlah cabang perusahaan di Catalonia ( Spanyol).

• Perusahaan ini mempunyai beberapa cabang yang sebagian terdaftar resmi di Canada
dan sebagian lagi di Spanyol.

• Perusahaan ini beroperasi di Spanyol tetapi yang menjadi pemegang saham terbesar
adalah orang Belgia.

• Pada tahun 1936 anak cabang perusahaan tersebut menjadi penyuplai utama tenaga
listrik di Catalonia, Spanyol.

• Pada tahun 1960 an pemerintah Spanyol mempersulit urusan bisnis bagi investor asing
di Spanyol.

• Pemegang saham (Orang-orang Belgia) perusahaan listrik di Spanyol tersebut


kehilangan uangnya dan ingin melakukan penuntutan ke International Court of Justice
(ICJ).

• Tetapi di Pengadilan, hakim Judge Fornier ternyata berpihak pada Spanyol dan
menyatakan bahwa hanya warga negara dari perusahaan tersebut yaitu Canada
(Canadian) yang dapat melakukan penuntutan.

• Menurut Pemerintah Belgia, beberapa tahun setelah perang dunia pertama bagian
saham Barcelona Traction menjadi sangat besar yang dikelola kebangsaan Belgia,
tetapi Pemerintah Spanyol menentang bahwa pemegang saham kebangsaan Belgia
adalah tidak terbukti. Kemudian pemeliharaan (menyangkut) Obligasi Barcelona
Traction tertunda karena perang saudara Spanyol.

• Setelah peperangan itu, pengendalian devisa otoritas Spanyol menolak untuk memberi
hak perpindahan dari mata uang asing yang penting bagi penerusan dari pemeliharaan
uang sterling obligasi.sesudah itu,ketika Pemerintah Belgia mengeluh tentang ini,
Pemerintah Spanyol menyatakan bahwa perpindahan tidak bisa diberi hak kecuali jika
ini akan menunjukkan mata uang asing dapat digunakan untuk membayar kembali
hutang timbul dari barang impor modal asing yang asli ke dalam Spanyol dan bahwa ini
belum ditetapkan.

• Di tahun 1948 tiga pemilik Spanyol dari Barcelona Traction memperoleh obligasi uang
sterling dan mengajukan petisi ke pengadilan ( Provinsi Tarragona) untuk suatu
deklarasi memvonis perusahaan bangkrut, oleh karena kegagalan untuk membayar
bunga pada obligasi itu.

• Pada tanggal 12 Februari 1948, suatu keputusan diberikan dan mengumumkan


perusahaan yang bangkrut dan memerintahkan perampasan dari aset Barcelona
Traction dan juga dua cabang perusahaannya.

• Patuh pada putusan Ini personil manajemen utama dari dua perusahaan dipecat atau
dibubarkan dan para direktur Spanyol ditetapkan.

• Pemerintah Belgia menentang karena penerbitan dan pemberitahuan tidak mematuhi


relevan ketentuan hukum dan batas waktu delapan hari itu tidak pernah dimulai.

• Kepemimpinan Spanyol di tahun 1960 membuat bisnis lebih sulit untuk orang asing di
Spanyol. Pemegang saham Belgia kehilangan uang dan ingin menggugat di Mahkamah
internasional, tetapi pengadilan berpihak pada sisi Spanyol, memegang bahwa hanya
kebangsaan dari perusahaan (Kanada) yang dapat menggugat. Kasus Negeri Belgia vs.
Spanyol diputuskan di tahun 1970.

• Klaim yang diajukan pada tanggal 19 Juni 1962, muncul dari putusan hakim mengenai
kebangkrutan di Spanyol yaitu Barcelona Traction, suatu perusahaan yang bekerjasama
dengan Kanada. Obyek nya akan mencari perbaikan untuk kemungkinan kerusakan
yang dituduh oleh Negara Belgia untuk ditopang oleh pemegang saham kebangsaan
Belgia di perusahaan, sebagai hasil tindakan dikatakan bertentangan dengan hukum
internasional dilakukan ke perusahaan dari negara Spanyol.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah apakah Belgia berhak mengajukan
tuntutan atas kerugian yang diderita oleh Warga negaranya di Negara Spanyol?

Putusan Mahkamah

Pengadilan memandang pada jumlah yang agung pada bukti dalam bentuk dokumen,
yang disampaikan oleh parties dan secara penuh menghargai pentingnya permasalahan yang
diangkat dari undang-undang yang mana adalah akar dari klaim Belgia dan terkait
pengingkaran terhadap keadilan menurut dugaan orang yang dilakukan oleh bagian dari negara
Spanyol itu.Bagaimanapun, pemilikan oleh Pemerintah Belgia dari suatu hak perlindungan
adalah suatu syarat mutlak untuk pengujian permasalahan seperti itu semenjak tidak ada jus
standi sebelum pengadilan menetapkan.

Dasar Pertimbangan Mahkamah

Yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah dalam putusannya adalah :

1. Apabila penanaman modal itu menjadi bagian dari sumber-sumber daya ekonomi
nasional suatu negara dan hal yang merugikan terhadap penanaman modal ini
membawa akibat yang bertentangan terhadap hak-hak negara tersebut untuk
memungkinkan para warga negaranya menikmati beberapa standar perlakuan tertentu,
maka negara yang bersangkutan dapat mengajukan klaim karena pelanggaran hukum
internasional yang dilakukan terhadapnya. Suatu klaim yang memiliki sifat demikian
harus didasarkan atas traktat atau perjanjian khusus, yang mana hal ini tidak ada
diantara Belgia dan Spanyol.

2. Karena alasan-alasan keadilan (equity), suatu negara akan memiliki hak dalam
beberapa kasus untuk melakukan perlindungan terhadap warga negaranya yang
menjadi pemegang saham-saham dalam suatu perusahaan, yang menjadi korban
pelanggaran hukum internasional. Suatu alasan pembenar bagi keadilan yang
dikemukakan, itu akan membuka pintu bagi klaim-klaim yang bersaing di pihak negara-
negara yang berbeda, yang dengan itu menciptakan ketiadaan jaminan dalam
hubungan-hubungan ekonomi internasional.

Pengaruh yang menguntungkan dari keputusan Mahkamah tersebut selanjutnya adalah


bahwa pengadilan internasional mesti segan untuk “menebus selubung perusahaan” dengan
maksud untuk memperbolehkan suatu negara selain negara kebangsaan perusahaan
mengupayakan ganti rugi karena suatu kesalahan internasional telah dilakukan terhadap
perusahaan tersebut, maka, pengadilan menolak klaim Pemerintah Belgia oleh 15 suara
menjadi 1, 12 suara mayoritas yang didasarkan pada pertimbangan diperkenalkan di atas.

Analisis Kasus

Kasus ini memiliki peranan penting dalam perkembangan hukum internasional


mengenai tanggung jawab negara karena memperlihatkan adanya konsep perlindungan
diplomatik dibawah hukum internasional dapat diterapkan tidak hanya pada individual tetapi
juga pada korporasi dan juga memperluas kewajiban Erga Omnes yang terdapat dalam
masyarakat internasional. Perusahaan atau individu mengatasnamakan negara berhak
mengajukan tuntutan internasional terutama warga negaranya dan dapat pula meliputi subjek-
subjek “ yang dilindungi”, seperti orang-orang yang ditempatkan dibawah perlindungan
diplomatik negara itu, dan orang-orang asing yang telah memenuhi hampir semua persyaratan
naturalisasi

Dalam sejumlah kasus pengadilan arbitrase internasional telah menerapkan kaidah


bahwa orang yang dirugikan harus memiliki kebangsaan dari negara yang mengajukan klaim
atau status lain yang diakui pada saat kerugian tersebut diderita dan harus mempertahankan
status tersebut sampai saat klaim itu diputus, tetapi persyaratan-persyaratan dan perbaikan-
perbaikan lain dalam kaitan kebangsaan pihak yang dirugikan juga telah diterapkan oleh arbitor-
arbitor lain. Jika pihak yang dirugikan itu adalah suatu perusahaan atau korporasi, maka
masalah itu juga diatur oleh norma “nasionalitas dari tuntutan” hanya negara yang menjadi
kebangsaannya yang berhak mendukung klaim perusahaan atau korporasi itu.
CORFU CHANNEL CASE, ICJ REPORTS, 1949

Fakta-Fakta Hukum

1.Pihak yang bersengketa adalah antara Inggris dengan Albania.

2.Sengketa yang terjadi adalah tentang rusaknya kapal perang Inggris Saumarez dan
Volage dimana kedua kapal perang Inggris tersebut terkena ranjau-ranjau laut yang
disebar di sepanjang Selat Corfu oleh Albania ketika kapal-kapal tersebut melewatinya
sehingga kapal-kapal tersebut tenggelam.

3.Kasus ini terjadi di Selat Corfu yang merupakan laut teritorial Albania.

4.Inggris kemudian melakukan protes kepada Albania dan menuntut Albania mengganti
kerugian yang diderita Inggris akibat tenggelamnya kedua kapal tersebut.

5.Albania menolak gugatan Inggris dengan alasan wilayah Selat Corfu merupakan laut
teritorial Albania sehingga Inggris dianggap telah melanggar kedaulatan teritorial Albania
dengan mengirim kapal perangnya ke selat tersebut.

6.Inggris dan Albania kemudian sepakat untuk membawa masalah ini ke ICJ pada tahun
1949.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi dalam kasus ini adalah apakah Albania
diharuskan menurut hukum internasional untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh kapal asing yang melewati perairan teritorialnya?
Putusan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional pada tahun 1949 kemudian memutuskan mengabulkan


gugatan Inggris dan menyatakan bahwa Albania bersalah telah menyebarkan ranjau-ranjau laut
sisa Perang Dunia II di Selat Corfu dan tidak memberitahukan sebelumnya kepada kapal-kapal
asing yang akan melewati selat tersebut dimana selat tersebut termasuk selat internasional
sehingga menyebabkan tenggelamnya dua kapal perang Inggris.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Dasar pertimbangan Mahkamah Internasional dalam mengeluarkan putusannya adalah


bahwa kerusakan, kerugian serta meninggalnya beberapa awak kapal Inggris ketika melintasi
selat tersebut disebabkan karena kelalaian yang nyata pemerintah Albania yang tidak
memberitahukan adanya ranjau-ranjau laut di sepanjang perairannya. Oleh karena itu, Albania
harus bertanggung jawab atas terjadinya insiden tersebut. Pendapat Mahkamah tersebut
berbunyi: “These grave omissions involve the international responsibility of Albania. The court
therefore reaches the conclusion that Albania is responsible under international law fro the
damage and loss of human life which resulted from…, and that there is a duty upon Albania to
pay compensation to the United Kingdom”. Putusan Mahkamah Internasional ini kemudian
melahirkan suatu prinsip tanggung jawab negara dimana suatu negara (Albania) yang
mengetahui adanya ranjau di perairan teritorialnya (di Selat Corfu) berkewajiban untuk
memberitahukan dan mengingatkan kapal-kapal yang lewat. Apabila kewajiban ini tidak
dilaksanakan dan mengakibatkan kerugian terhadap kapal asing, maka negara yang
bersangkutan wajib mengganti kerugian terhadap akibat yang ditimbulkannya. Dalam kaitannya
dengan hubungan bertetangga antar negara, prinsip yang lahir yaitu bahwa sudah menjadi
prinsip hukum internasional yang diakui umum bahwa setiap negara berkewajiban untuk tidak
membiarkan wilayahnya digunakan untuk tindakan-tindakan yang mengganggu hak negara
lainnya (‘not to allow knowingly its territory to be used for acts contrary to the rights of other
states’).

Analisis Kasus

Menurut kelompok kami, dalam kasus ini putusan Mahkamah sudah tepat dimana
Albania berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dimana tanggung jawab
negara adalah selalu mutlak (strict); manakala suatu pejabat atau agen negara telah melakukan
tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka negara bertanggung jawab menurut hukum
internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut terdapat unsur kesalahan atau
kelalaian, bertanggung jawab atas tenggelamnya dua kapal perang Inggris akibat ranjau laut
yang ditebarkan pihak Albania di Selat Corfu tanpa perlu dibuktikan kesalahannya.

LA GRAND CASE, GERMANY v. USA., ICJ REPORTS., 2001

Fakta Hukum
• Para pihak dalam kasus ini adalah Jerman dan Amerika Serikat.
• Karl dan Walter LaGrand merupakan warga negara Jerman yang menetap di Amerika Serikat
sejak kecil. Pada 1982 mereka ditangkap di Arizona karena terlibat dalam perampokan bank dan
pembunuhan.
• Pada 1984 pengadilan Arizona menyatakan mereka bersalah atas pembunuhan dan serangkaian
kejahatan lainnya, dan menjatuhkan hukuman mati pada keduanya.
• Karena Karl dan Walter LaGrand merupakan warga negara Jerman maka sesuai Konvensi Wina
mengenai Hubungan Konsuler pejabat berwenang AS wajib memberitahukan tanpa menunda,
hak LaGrand bersaudara untuk berkomunikasi dengan konsulat Jerman. Pihak AS menyadari hal
ini namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut.
• Konsulat Jerman baru mengetahui kasus ini pada 1992 dari LaGrand bersaudara sendiri yang
menyadari hak mereka dari pihak lain selain pejabat AS.
• LaGrand bersaudara berusaha untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan mati mereka
atas dasar pelanggaran terhadap hak mereka yang dilindungi oleh Konvensi Wina. Namun usaha
tersebut terhadalang oleh doktrin “procedural default” dalam sistem hukum AS.
• Karl LaGrand dieksekusi pada 24 Februari 1999. Pada 2 Maret 1999, sehari sebelum jadwal
eksekusi terhadap Walter LaGrand, Jerman mengajukan kasus ini ke Mahkamah Internasional.
• Pada 3 Maret 1999 Mahkamah mengeluarkan perintah agar AS melakukan segala upaya yang
dimungkinkan untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Walter LaGrand hingga
Mahkamah mengeluarkan putusan terhadap kasus ini. Akan tetapi pada hari yang sama Walter
tetap dieksekusi.

Permasalahan Hukum
Ada beberapa permasalahan hukum yang diajukan oleh Jerman kepada Mahkamah:
• Bahwa AS telah melanggar kewajiban internasionalnya kepada Jerman dalam hal hak
negara Jerman dan hak perlindungan diplomatik kepada warga negara Jerman sesuai
pasal 5 dan 36 ayat 1 Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler.
• Bahwa AS dengan menerapkan hukum domestiknya, khususnya doktrin procedural
default, telah melanggar kewajiban internasionalnya kepada Jerman.
• Bahwa AS telah melanggar kewajibannya untuk menaati perintah Mahkamah dengan
kegagalannya melakukan tindakan-tindakan tertentu yang diperlukan untuk memastikan
penundaan eksekusi Karl LaGrand.
• Bahwa AS harus memberikan jaminan kepada Jerman bahwa AS tidak akan
mengulangi tindakan melawan hukumnya tersebut, dan apabila di kemudian hari ada
penahanan atau proses hukum terhadap warga negara Jerman, AS akan menjamin
pelaksanaan hak dalam pasal 36 Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler.

Putusan Mahkamah
• Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan tidak
memberitahukan kepada Walter dan Karl LaGrand seketika saat penangkapan mereka
mengenai hak mereka dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina tentang Hubungan
Konsuler, dan karena itu menyebabkan Jerman tidak dapat memberikan bantuan
kepada mereka sesuai Konvensi, AS telah melanggar kewajibannya kepada Jerman
dan LaGrand bersaudara dalam Konvensi Wina pasal 36 ayat 1.
• Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan menolak
peninjauan dan pertimbangan kembali, berdasarkan hak dalam Konvensi, terhadap
tuntutan dan putusan yang dijatuhkan kepada LaGrand bersaudara AS telah melanggar
kewajibannya kepada Jerman dan LaGrand bersaudara dalam pasal 36 ayat 2
Konvensi Wina.
• Dengan suara 13 berbanding 2, Mahkamah menyatakan bahwa dengan kegagalannya
mengambil tindakan untuk memastikan Walter LaGrand tidak dieksekusi hingga
didapatkan putusan final dari Mahkamah mengenai kasus ini, AS telah melanggar
kewajibannya untuk menaati perintah Mahkamah (court order).
• Dengan suara bulat, Mahkamah menyatakan bahwa komitmen AS untuk menjamin
implementasi tindakan-tindakan yang spesifik dalam rangka menaati kewajibannya
dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina, telah memenuhi permintaan Jerman untuk
suatu jaminan tidak terulangnya kejadian ini.
• Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa apabila warga negara
Jerman dijatuhi hukuman berat, tanpa ada pemberitahuan kepada warga negara
tersebut mengenai haknya dalam Konvensi Wina, maka AS dengan cara yang
dipilihnya harus mengizinkan dilakukannya peninjauan dan pertimbangan kembali atas
tuntutan dan putusan yang dijatuhkan secara melanggar hak yang tercantum dalam
Konvensi Wina.

Dasar Pertimbangan Putusan


• Mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran terhadap ayat 1 (b) dari pasal 36
Konvensi Wina tidak harus selalu menyebabkan pelanggaran terhadap ketentuan
lainnya dalam pasal ini. Akan tetapi dalam kasus ini, pelanggaran AS terhadap
ketentuan ayat 1 (b) ternyata berakibat pada pelanggaran terhadap ketentuan ayat
1 (a) dan (c). Ayat 1 pasal 36 tersebut memuat ketentuan yang menjadi dasar
implementasi sistem perlindungan konsuler. Apabila suatu negara tidak
mengetahui ada warga negaranya yang menjalani proses hukum karena tidak
diberitahukan oleh negara penerima maka negara pengirim tidak dapat
melaksanakan haknya sesuai pasal 36.
• Kemudian Mahkamah memeriksa argumen para pihak mengenai hak yang timbul
dari ketentuan pasal 36. Jerman menyatakan bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut mengakibatkan pelanggaran terhadap hak invividu LaGrand
bersaudara. Sementara AS menyatakan bahwa hak pemberitahuan dan akses
kepada pejabat konsuler adalah hak negara dan bukan hak individu. Berdasarkan
teks pasal 36 ayat 1 Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut
menciptakan suatu hak individu yang dapat diterapkan oleh negara asal warga
negara yang ditahan. Hak-hak ini telah dilanggar dalam kasus ini.
• Mahkamah mengutip pasal 36 ayat 2 yang menyatakan bahwa hak yang
tercantum dalam ayat 1 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum
nasional dari negara penerima. Mahkamah tidak dapat menerima argumen AS
bahwa ketentuan ayat 2 tersebut hanya berlaku untuk hak negara dan tidak untuk
hak individu (warga negara pengirim yang ditahan). Sebagaimana telah disebutkan
bahwa ketentuan ayat 1 menciptakan pula suatu hak individu maka ketentuan
dalam ayat 2 tidak hanya berlaku untuk hak negara tetapi juga hak individu.
• Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan procedural default yang diterapkan di
AS itu sendiri tidak bertentangan dengan pasal 36 Konvensi Wina. Akan tetapi
masalah muncul ketika ketentuan tersebut menghalangi warga negara yang
ditahan untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut atas dasar
pelanggaran haknya dalam Konvensi Wina. Mahkamah menyimpulkan bahwa
dengan keadaan-keadaan yang mengiringi terjadinya kasus ini menyebabkan
doktrin procedural default memberikan efek yang menghalangi pelaksanaan hak-
hak yang terkandung dalam pasal 36. Oleh karena itu maka ketentuan ayat 2 dari
pasal 36 telah dilanggar.
• Mahkamah kemudian memeriksa masalah lainnya dalam kasus ini mengenai
perintah yang dikeluarkan oleh Mahkamah pada 3 Maret 1999 yang
memerintahkan kepada AS untuk menunda pelaksanaan eksekusi Karl LaGrand
hingga Mahkamah mengeluarkan putusan akhir. Untuk mengetahui apakah AS
memang telah melanggar perintah Mahkamah, maka perlu diketahui terlebih
dahulu apakah perintah Mahkamah tersebut memang memiliki kekuatan
mengikat? Dalam hal ini Mahkamah melihat persoalan utamanya adalah mengenai
interpretasi terhadap pasal 41 Statuta Mahkamah Internasional.
• Inti dari pasal tersebut adalah Mahkamah memiliki kewenangan untuk menetapkan
tindakan-tindakan tertentu yang harus diambil suatu pihak untuk melindungi hak
dari pihak lainnya yang berperkara. Tindakan tertentu tersebut ditetapkan melalui
suatu perintah Mahkamah. Menurut AS bahasa yang digunakan dalam pasal
tersebut tidak menandakan adanya suatu kewajiban yang terkandung di dalamnya.
Artinya, court order yang dikeluarkan oleh Mahkamah, menurut AS tidak memiliki
kekuatan mengikat.
• Mahkamah kemudian meninjau bahasa yang digunakan dalam pasal tersebut, baik
versi bahasa Inggris maupun Prancisnya. Mahkamah menemukan bahwa istilah
yang digunakan dalam kedua versi bahasa tersebut memiliki konotasi yang
berbeda dalam masing-masing bahasa. Versi bahasa Inggris tidak menunjukkan
adanya suatu keharusan sedangkan versi bahasa Prancis menunjukkan adanya
suatu keharusan. Karena kedua versi bahasa ini tidak mengandung keselarasan
makna, maka Mahkamah merujuk pada pasal 92 Statuta Mahkamah Internasional
dan pasal 111 Piagam PBB.
• Dalam pasal 92 Statuta disebutkan bahwa Statuta merupakan bagian kesatuan
dari Piagam PBB. Kemudian dalam Piagam disebutkan bahwa naskah versi
bahasa Inggris dan Prancis adalah sama dan memiliki kekuatan yang setara
(equally authentic). Hal ini berlaku pula untuk naskah Statuta. oleh karena kedua
versi bahasa memiliki kekuatan yang sama namun tidak menunjukkan kesamaan
makna, maka kemudian Mahkamah merujuk pada pasal 33 ayat 4 Konvensi Wina
mengenai Hukum Perjanjian Internasional. Berdasarkan ketentuan pasal ini
apabila perbandingan naskah otentik menunjukkan adanya perbedaan makna
padahal naskah otentik tersebut memiliki kekuatan yang sama, maka untuk
menafsirkan maknanya perlu dilihat tujuan dan keperluan dari perjanjian yang
bersangkutan.
• Fungsi dari Statuta adalah memungkinkan Mahkamah menjalankan fungsinya
dalam melakukan penyelesaian sengketa internasional secara hukum. Oleh
karena itu putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah haruslah memiliki suatu
kekuatan mengikat. Mahkamah melihat bahwa pengertian putusan tidak hanya
mencakup putusan akhir tetapi juga perintah-perintah yang dikeluarkan Mahkamah
mengenai tindakan tertentu yang harus diambil para pihak. Sehingga perintah
Mahkamah tersebut memiliki kekuatan mengikat. Kemudian setelah melihat
tindakan-tindakan yang telah dilakukan pejabat berwenang AS, Mahkamah menilai
pejabat AS telah gagal menjalankan perintah Mahkamah pada 3 Maret 1999. Akan
tetapi Mahkamah juga tidak mengesampingkan fakta bahwa AS hanya memiliki
waktu yang sangat singkat antara dikeluarkannya perintah penundaan eksekusi
dengan jadwal pelaksanaan eksekusi yang telah ditetapkan.
• Mahkamah melihat bahwa AS telah mengakui adanya pelanggaran terhadap
kewajiban internasionalnya. Oleh karena itu AS meminta maaf dan menyatakan
komitmennya melakukan tindakan dan program tertentu untuk mencegah
terulangnya pelanggaran yang sama. Akan tetapi Mahkamah berpendapat bahwa
dalam kasus ini, di mana warga negara yang bersangkutan telah menjalani masa
penahanan yang cukup lama dan menghadapi hukuman yang berat, maka
permintaan maaf saja tidak cukup. Dalam keadaan seperti itu maka adalah
kewajiban AS untuk mengizinkan dilakukannya peninjauan dan pertimbangan
kembali terhadap tuntutan dan putusan tersebut dengan memperhatikan ketentuan
dalam Konvensi Wina. Kewajiban ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang
ditentukan sendiri oleh AS.
Analisis Putusan
• Dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler dikenal istilah negara pengirim
(Sending State) dan negara penerima (Receiving State). Negara pengirim adalah
negara asal pejabat konsuler. Dalam kasus ini negara pengirim adalah Jerman.
Sedangkan negara penerima adalah negara tempat kedudukan pejabat konsuler
tersebut. Dalam kasus ini sebagai negara penerima adalah AS.

PERJANJIAN INTERNASIONAL

NUCLEAR TEST CASE, ICJ REPORTS, 1974 ( AUSTRALIA v. FRANCE;


NEW ZEALAND v. FRANCE)

Fakta Hukum
1. Para pihak dalam kasus ini adalah Australia, Selandia Baru dan Prancis. Australia dan
Selandia Baru secara terpisah keduanya menggugat Prancis.
2. Pada 1966, 1967, 1968, 1970, 1971, dan 1972. Prancis melakukan serangkaian uji coba
nuklirnya di wilayah French Polynesia tepatnya di Muruora. Wilayah ini berada di bawah
kekuasaan Prancis. Mururoa terletak di 6000 kilometer sebelah barat daratan Australia,
2500 mil laut dari titik terdekat North Island, Selandia Baru, dan 1050 mil laut dari titik
terdekat di Cook Island, negara yang berasosiasi dengan Selandia Baru.
3. Pemerintah Prancis telah membuat “Prohibited Zones” untuk pesawat dan “Dangerous
Zones” untuk pesawat dan kapal, agar tidak ada pesawat dan kapal yang memasuki area uji
coba. Zona ini mulai diberlakukan selama periode uji coba setiap tahun dilakukannya uji
coba nuklir tersebut.
4. Dalam laporan UN Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation kepada Majelis
Umum PBB, uji coba nuklir di permukaan telah menyebabkan polusi radioaktif menyebar.
Menurut Australia dan Selandia Baru, uji coba tersebut telah menyebabkan polusi radioaktif
yang mencemari wilayah mereka. Prancis menyatakan meskipun polusi tersebut memang
ada, namun tidak dalam tingkat yang menimbulkan gangguan kesehatan.
5. Pada 9 Mei 1973 Australia dan Selandia Baru secara terpisah mengajukan gugatan kepada
Mahkamah Internasional. Mereka sama-sama menggugat Prancis. Pada 9 Mei 1973
Australia mengajukan permintaan agar Mahkamah mengeluarkan perintah interim protection
measures agar Prancis menghentikan segala aktivitas uji coba nuklirnya hingga kasus ini
mendapat putusan. Selandia Baru pada tanggal 14 Mei 1973 mengajukan permintaan yang
sama kepada Mahkamah. Pada 22 Mei 1973 Mahkamah mengeluarkan perintah interim
measures of protection yang diminta oleh Australia dan Selandia Baru.
6. Pihak Prancis tidak ikut serta dan tidak mengirimkan perwakilannya selama proses
persidangan. Pada 16 Mei 1973 Prancis mengirimkan surat yang isinya menolak jurisdiksi
Mahkamah dalam kasus ini.
7. Pada 19 September 1973, 29 Agustus 1974 dan 11 November 1974 pemerintah Australia
melalui suratnya menginformasikan kepada Mahkamah bahwa Prancis kembali melakukan
dua rangkaian kegiatan uji coba nuklir pada juli hingga Agustus 1973 dan Juni hingga
September 1974. Dalam surat itu juga disebutkan bahwa sejumlah jatuhan radioaktif
(radioactive fall-out) ditemukan di daratan Australia dan dapat dipastikan bahwa jatuhan
tersebut bersumber dari uji coba nuklir Prancis. Pada 21 September 1973 dan 1 November
1974 Selandia Baru mengirimkan surat kepada Mahkamah yang isinya hampir serupa
dengan surat dari Australia.
8. Dalam suratnya masing-masing Australia dan Selandia Baru sama-sama menyatakan
bahwa tindakan Prancis tersebut merupakan pelanggaran terdapat perintah Mahkamah
(Court Order) tanggal 22 Juni 1973.
9. Pemerintah Prancis kemudian mengeluarkan beberapa pernyataan terkait kelanjutan
kegiatan uji coba nuklir Prancis di kawasan Pasifik Selatan.
Permasalahan Hukum
Australia mengajukan permasalahan sebagai berikut:
1. Bahwa uji coba yang telah dan akan dilakukan oleh Prancis di Pasifik Selatan tidak sesuai
dengan hukum internasional
2. Memerintahkan agar Prancis menghentikan uji coba nuklirnya.
Selandia Baru mengajukan permasalahan sebagai berikut:
1. Bahwa tindakan uji coba nuklir yang dilakukan Prancis di kawasan Pasifik Selatan yang
mengakibatkan polusi radioaktif telah melanggar hak Selandia Baru menurut hukum
internasional, dan hak-hak ini akan dilanggar jika dilakukan uji coba lainnya.

Putusan Mahkamah
1. Dengan suara 9 berbanding 1 Mahkamah menyatakan bahwa klaim Australia sudah tidak
memiliki objeknya dan karena itu Mahkamah tidak dapat memutus klaim tersebut.
2. Dengan suara 9 berbanding 1 Mahkamah menyatakan bahwa klaim Selandia Baru sudah
tidak memiliki objeknya dan karena itu Mahkamah tidak dapat memutus klaim tersebut.

Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah


1. Suatu deklarasi yang dibuat melalui suatu tindakan unilateral mengenai suatu situasi legal
atau faktual, dapat menimbulkan kewajiban hukum. Deklarasi semacam ini biasanya bersifat
spesifik. Ketika suatu negara membuat pernyataan dengan maksud agar pernyataan
tersebut bersifat mengikat, maka niat tersebut menjadikan pernyataan itu sebagai suatu
tindakan hukum. Negara pembuat deklarasi tersebut kemudian menjadi terikat untuk
melakukan tindakannya sesuai pernyataannya. Tindakan seperti ini, apabila dinyatakan di
depan publik dan dengan maksud untuk mengikat, meskipun tidak dibuat melalui suatu
negosiasi internasional, maka tindakan (pernyataan) tersebut menjadi mengikat. Dalam
situasi seperti ini, tidak diperlukan suatu penerimaan, jawaban atau reaksi dari negara lain
terhadap deklarasi.
2. Mengenai pernyataan resmi dari pemerintah Prancis yang salah satunya diberikan oleh
Presiden Prancis, jelas bahwa pernyataan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi
atau pernyataan publik, baik lisan maupun tertulis, yang dibuat dalam kapasitasnya sebagai
kepala negara dalam konteks hubungan internasional. Oleh karena itu apapun bentuk
pernyataan yang dikeluarkan pemerintah Prancis, pernyataan-pernyataan tersebut dianggap
sebagai menimbulkan suatu ikatan terhadap negara. Terutama mengingat maksud dan
keadaan-keadaan yang menyertai pembuatan pernyataan tersebut.
3. Ketika Prancis menyatakan bahwa uji coba nuklirnya pada tahun 1974 akan menjadi yang
terakhir, maka pada saat itu Prancis mengumunkan kepada seluruh dunia, termasuk
Australia dan Selandia Baru, niatnya untuk menghentikan kegiatan uji coba nuklirnya. Dapat
diduga bahwa kemungkinan negara-negara lain memperhatikan dan berharap pernyataan
tersebut akan dilaksanakan secara efektif. Kebenaran pernyataan ini dan konsekuensi
hukum yang timbul darinya harus dipertimbangkan dalam kerangka hubungan keamanan
internasional dan dalam hal ini kepercayaan antar negara menjadi hal yang penting.
4. Dari substansi dan keadaan yang menyertai pernyataan tersebut, maka hal yang penting
untuk diketahui adalah implikasi hukum dari pernyataan tersebut. Tujuan pembuatan
pernyataan ini sudah jelas dan pernyataan ini ditujukan pada seluruh masyarakat dunia. Hal
ini menurut Mahkamah menimbulkan suatu akibat hukum dari pernyataan tersebut.
5. Mahkamah berpendapat bahwa tindakan unilateral, sebagai hasil dari pernyataan, tersebut
tidak bisa ditafsirkan sebagai telah dibuat dalam kepercayaan implisit terhadap sikap yang
berubah-ubah karena pertimbangan tertentu. Mahkamah juga berpendapat bahwa Prancis
telah menyepakati kewajiban yang timbul dari pernyataan yang dibuatnya.

Analisis Putusan
1. Tidak semua tindakan unilateral menimbulkan kewajiban pada suatu negara tetapi suatu
negara dapat memilih apakah akan terikat atau mengabaikan tindakan tersebut. Niat ini
tergantung dari penafsiran negara yang bersangkutan terhadap tindakan tersebut. Ketika
negara membuat pernyataan yang dapat membatasi tindakan negara dalam hal tertentu,
maka penafsiran dilakukan secara restriktif.
2. Apakah suatu pernyataan dibuat secara lisan atau tertulis, hal ini tidak memiliki perbedaan
yang esensial. Pernyataan yang dibuat dalam keadaan-keadaan demikian dapat
menimbulkan komitmen dalam hukum internasional meskipun tidak dibuat dalam bentuk
tertulis.
3. Salah satu prinsip dasar mengenai pembuatan dan pelaksanaan kewajiban hukum, apapun
sumbernya adalah prinsip itikad baik. Kepercayaan sangat penting dalam hubungan
internasional khususnya pada masa sekarang di mana kerja sama internasional menjadi
sangat esensial. Sama halnya seperti asas pacta sund servanda dalam hukum perjanjian
internasional yang berdasarkan pada itikad baik, begitu juga dengan kekuatan mengikat dari
kewajiban internasional yang timbul dari deklarasi unilateral. Negara-negara yang
berkepentingan mungkin saja memperhatikan deklarasi unilateral tersebut dan menaruh
kepercayaan padanya dan berhak menuntut agar kewajiban yang timbul dari deklarasi
tersebut dipenuhi oleh negara yang mendeklaraikannya.
4. Perjanjian internasional yang tidak tertulis dapat berupa pernyataan sepihak yang
dikemukakan oleh pejabat atau organ pemerintahan negara yang bersangkutan. Kemudian
pernyataan itu ditanggapi secara positif oleh pejabat-pejabat atau organ pemerintah dari
negara lain yang berkepentingan sebagai tanda persetujuannya. Dengan demikian maka
dapat disimpulkan sudah ada persetujuan atau perjanjian lisan atau tidak tertulis antara
para pihak yang bersangkutan. Bentuk perjanjian ini memang dapat mengurangi kepastian
hukum bagi para pihak namun tidak mengurangi kekuatan mengikatnya sebagai perjanjian
internasional.
5. Berdasarkan putusan Mahkamah tersebut maka ada dua hal yang harus dipenuhi agar
suatu tindakan unilateral dapat memiliki kekuatan mengikat secara hukum yaitu deklarasi
tersebut harus diumumkan kepada publik dan dibuat dengan maksud untuk mengikat.

GABCIKOVO-NAGYMAROS PROJECTS, ICJ REPORTS, 1997

Fakta-Fakta Hukum

1.Pihak yang terlibat dalam kasus ini adalah antara Hongaria dengan Slovakia.

2.Pada tahun 1977, Pemerintah Hongaria dan Cekoslovakia mengadakan perjanjian


pembangunan dan operasi bendungan sungai Danube untuk kepentingan pembangkit
listrik, proyek pengendalian banjir, dan untuk kepentingan pelayaran dimana proyek ini
nantinya diharapkan dapat meningkatkan berbagai sektor kehidupan dari kedua negara
seperti sektor ekonomi, pertanian, dan sebagainya.

3.Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Hongaria dan Cekoslowakia pada tanggal 16


September 1977 mengenai pembangunan pintu air di Gabcikovo dan Nagymaros, yang
selanjutnya perjanjian ini diberi nama “Treaty 1977”.

4.Pada tanggal 13 Mei 1989, Pemerintah Hongaria menyatakan menunda pelaksanaan


proyek tersebut hingga pada tanggal 27 Oktober 1989, Pemerintah Hongaria
menghentikan proyek tersebut dengan alasan bahwa jika tindakan-tindakan operasional
terus dilanjutkan terkait pelaksanaan proyek tadi, berdasarkan studi ilmiah dan alasan-
alasan yang mengacu pada prinsip keseimbangan ekologis dalam jangka panjang,
maka dapat mengakibatkan dampak yang sangat serius terhadap lingkungan di sekitar
sungai Danube yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada sungai
Danube seperti kualitas air yang dibutuhkan bagi wilayah Budapest termasuk juga flora
fauna yang ada di sekitar sungai..

5.Di lain pihak, Slovakia sebagai salah satu suksesor Cekoslovakia menolak adanya
prinsip “ecological state of necessity” dalam kasus tersebut di tahun 1989 atau tahun-
tahun yang berikutnya. Slovakia tidak menolak bahwa masalah ekologis akan timbul,
namun hal tersebut menegaskan bahwa mereka dapat memperbaikinya dalam suatu
tingkat yang luas. Itu mendasari suatu ketegangan bahwa tidak ada persetujuan yang
dicapai dalam rangka menghormati operasi di Gabcikovo dan mengklaim bahwa
ketakutan Hongaria hanya terkait pada kondisi operasi dari sebuah keadaan yang
ekstrim.

6.Hongaria dan Slovakia kemudian membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional


dimana Mahkamah kemudian mengeluarkan Advisory Opinion terhadap penafsiran
Treaty 1977 terkait dengan state ecological necessity.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah apakah tindakan Hongaria dengan
menghentikan pembangunan dam di sungai Danube melanggar perjanjian internasional yang
telah dibuat dengan Slovakia yaitu Treaty 1977?

Putusan Mahkamah Internasional

Dalam kasus ini, Mahkamah Internasional mengeluarkan dua putusan dimana yang
pertama berupa Advisory Opinion mengenai penafsiran terhadap Treaty 1977 sehubungan
dengan alasan Hongaria mengenai state ecological necessity dalam kasus ini, dan Judgment
pada tanggal 25 September 1997. Mahkamah yang beranggotakan Presiden Schwebel; Wakil
Presiden Weeramantry; Hakim Oda, Bedjaoui, Guillaume, Ranjeva, Herczegh, Shi,
Fleischhauer, Koroma, Vereshchetin, Parra-Aranguren, Kooijmans, Rezek; Hakim ad hoc
Skubiszewski; dan Registrar Valencia-Ospina setelah melihat fakta-fakta di lapangan,
memutuskan bahwa Hongaria dan Slovakia harus membuka lagi jalur perundingan untuk
menyelesaikan kasus ini dengan prinsip itikad baik berdasarkan ketentuan dalam Treaty 1977
dan operasi bersama untuk dam di wilayah Slovakia harus dilaksanakan berdasarkan Treaty
1977, serta tiap pihak harus membayar ganti atas kerugian pihak lain dalam perjanjian. Adapun
dalam Advisory Opinionnya, Mahkamah berpendapat bahwa alasan Hongaria menghentikan
pembangunan dam dengan alasan state ecological necessity tidak dapat diterima sehingga
Hongaria dianggap telah melanggar Treaty 1977.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Mahkamah dalam putusannya di Advisory Opinion berpendapat bahwa dampak


lingkungan yang disebutkan oleh Hongaria yang dijadikan alasan untuk menghentikan
perjanjian tidak sesuai dengan prinsip rebus sic stantibus dimana untuk menghentikan
perjanjian, dipelukan adanya perubahan keadaan yang mendasar. Dalam kasus Gabcikovo-
Nagymaros ini, perubahan lingkungan yang terjadi tidak merubah struktur fisik sungai Danube
secara menyeluruh sehingga dianggap bukan perubahan keadaan yang mendasar. Dalam
putusannya pada tahun 1997, Mahkamah menyatakan bahwa :

1. Hongaria tidak berhak menghentikan dan meninggalkan proyek pembangunan dam


yang berdasarkan Treaty 1977.

2. Cekoslovakia tidak berhak menggunakan solusi alternatif berupa Variant C yang


diterapkan pada November 1991, namun tidak menyertakannya dalam operasi bulan
Oktober 1992 sebagai instrument tunggal.

3. Pernyataan Hongaria tentang penghentian Treaty 1977 dan instrument tambahan 19


Mei 1992 tidak secara legal menghapus hak dan kewajiban Hongaria dimana Hongaria
masih terikat pada kewajiban antar pihak dalam perjanjian.

4. Slovakia sebagai suksesor dari Cekoslovakia merupakan peserta dari Treaty 1977.
Mahkamah berpendapat bahwa perkembangan norma baru dalam hukum lingkungan telah
sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian internasional mengenai lingkungan.

Analisis Kasus

Menurut kelompok kami, dalam kasus ini, putusan Mahkamah telah sesuai dengan
prinsip hukum internasional dimana dalam hukum perjanjian internasional, penghentian
perjanjian hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak dalam perjanjian apabila ada perubahan
keadaan yang mendasar (rebus sic stantibus) yang diatur dalam pasal 62 Vienna Convention
on the Law of Treaties yang menyatakan bahwa efek dari perubahan harus secara radikal
merubah kewajiban negara pihak dalam perjanjian. Dalam kasus ini, perubahan lingkungan
yang dikatakan Hongaria tidak mengubah kewajibannya terhadap Treaty 1977.

CASE CONCERNING AVENA & OTHER MEXICAN NATIONS, MEXICO


v. USA, ICJ, 2004

Fakta Hukum

1. Pihak yang bersengketa di dalam kasus ini adalah Meksiko melawan Amerika Serikat.
2. Pada tanggal 9 Januari 2003, Meksiko memutuskan untuk mengajukan masalah ini kepada
ICJ, atas adanya pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa dalam Consular Relations atas
banyaknya warga Meksiko yang divonis hukuman mati oleh pemerintah Amerika Serikat.
3. Meksiko dan Amerika Serikat adalah anggota dalam perjanjian Pasal 36 dari Vienna
Convention on Consular Relations, di mana VCCR ini merupakan perjanjian multilateral
yang mengatur tentang akitivitas badan konsuler dari suatu negara antara negara pengirim
dengan negara penerima. Salah satu kegiatan dari konsuler tersebut adalah perlindungan
terhadap warga negara dari negara pengirim yang sedang berada dalam kasus kriminal
yang terjadi di negara penerima.
4. Warga-warga Meksiko yang termasuk di dalam daftar pengadilan yang telah divonis
hukuman mati diantaranya adalah kasus Mr. Cesar Roberto Fierro Reyna, Mr. Roberto
Moreno Ramos, dan Mr. Osvaldo Torres Aguilera yang diadili dalam pengadilan Amerika
Serikat.
5. Dalam kasus-kasus tersebut, mereka telah divonis hukuman mati oleh Pengadilan Amerika
Serikat dan ini telah melanggar ketentuan dalam Konvensi Jenewa, dikarenakan
sebelumnya para terdakwa tersebut tidak diperkenankan memperoleh bantuan konsuler dari
negara asalnya atas proses peradilan yang dijalaninya.
6. Tidak hanya dalam ketiga kasus itu saja saja, masih terdapat sekitar 52 kasus yang
berhubungan langsung dengan pelanggaran terhadap isi dari Pasal 36 VCCR tentang
Consular Relations tersebut yang mengakibatkan Meksiko memutuskan untuk mengajukan
kasus ini kepada ICJ.
7. Amerika Serikat tidak memberitahukan kepada warga negara Meksiko yang mereka tahan
bahwa mereka memiliki hak untuk memperoleh bantuan konsuler dari negara asalnya dan
tidak memberikan mereka kesempatan untuk melakukan hal tersebut dan tetap
menjalankan proses peradilan sesuai dengan yurisdiksi yang dimiliki Amerika Serikat.
8. Selain itu, Amerika Serikat juga tidak memberikan informasi kepada pemerintah Meksiko
mengenai pengadilan yang dilakukan terhadap warga Meksiko yang mereka tahan sebelum
pada akhirnya diketahui oleh pemerintah Meksiko itu sendiri dan apapun tindakan dari
badan konsuler dari Meksiko untuk membantu warga negaranya di Amerika Serikat,
Amerika Serikat tetap menjalankan proses peradilannya sesuai dengan yurisdiksinya dan
putusan yang dikeluarkan dari proses peradilan tersebut diantaranya adalah vonis hukuman
mati.

Permasalahan Hukum

1. Apakah tindakan Amerika Serikat dalam tidak memberitahukan detensi yang dilakukannya
terhadap 51 warga Meksiko mengenai hak mereka atas Consular Relations telah melanggar
ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 1 (b) dari Vienna Convention on Consular Relations
pada tanggal 24 April 1963?
2. Apakah tindakan Amerika Serikat dalam tidak memberitahukan detensi yang dilakukannya
terhadap 49 warga Meksiko kepada badan konsuler Meksiko sehingga mencegah adanya
bantuan dari badan tersebut telah melanggar ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 1 (b) dari
Vienna Convention on Consular Relations pada tanggal 24 April 1963?
3. Apakah tindakan Amerika Serikat dalam tidak memberikan kesempatan terhadap 49 warga
Meksiko yang merea tahan untuk menghubungi negara asalnya telah melanggar ketentuan
dalam Pasal 36 Paragraf 1 (a) dan paragraf 1(c) dari Vienna Convention on Consular
Relations pada tanggal 24 April 1963?
4. Apakah tindakan Amerika Serikat dalam mencegah pemerintahan Meksiko dalam
menyusun legal representation atas 34 warga Meksiko yang diadili di Amerika Serikat telah
melanggar ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 1 (c) dari Vienna Convention on Consular
Relations pada tanggal 24 April 1963?
5. Apakah tindakan Amerika Serikat dalam tidak memberikan kesempatan untuk dilakukannya
review dan pengkajian kembali atas putusan terhadap Mr. Cesar Roberto Fierro Reyna, Mr.
Roberto Moreno Ramos, dan Mr. Osvaldo Torres Aguilera telah melanggar ketentuan dalam
Pasal 36 Paragraf 2 dari Vienna Convention on Consular Relations pada tanggal 24 April
1963?

Putusan Mahkamah Internasional

Pada tanggal 31 Maret 2004, ICJ mengeluarkan keputusan sebagai berikut.

1. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, bahwa tindakan Amerika Serikat dalam tidak
memberitahukan detensi yang dilakukannya terhadap 51 warga Meksiko mengenai hak
mereka atas Consular Relations telah melanggar ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 1 (b)
dari Vienna Convention on Consular Relations pada tanggal 24 April 1963.
2. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, bahwa tindakan Amerika Serikat dalam tidak
memberitahukan detensi yang dilakukannya terhadap 49 warga Meksiko kepada badan
konsuler Meksiko sehingga mencegah adanya bantuan dari badan tersebut telah melanggar
ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 1 (b) dari Vienna Convention on Consular Relations
pada tanggal 24 April 1963.
3. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, bahwa tindakan Amerika Serikat dalam tidak
memberikan kesempatan terhadap 49 warga Meksiko yang merea tahan untuk
menghubungi negara asalnya telah melanggar ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 1 (a) dan
paragraf 1(c) dari Vienna Convention on Consular Relations pada tanggal 24 April 1963.
4. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, bahwa tindakan Amerika Serikat dalam mencegah
pemerintahan Meksiko dalam menyusun legal representation atas 34 warga Meksiko yang
diadili di Amerika Serikat telah melanggar ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 1 (c) dari
Vienna Convention on Consular Relations pada tanggal 24 April 1963.
5. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, bahwa tindakan Amerika Serikat dalam tidak
memberikan kesempatan untuk dilakukannya review dan pengkajian kembali atas putusan
terhadap Mr. Cesar Roberto Fierro Reyna, Mr. Roberto Moreno Ramos, dan Mr. Osvaldo
Torres Aguilera telah melanggar ketentuan dalam Pasal 36 Paragraf 2 dari Vienna
Convention on Consular Relations pada tanggal 24 April 1963.
6. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, bahwa Amerika Serikat berkewajiban untuk
melakukan persiapan yang selayaknya dalam menyediakan bantuan untuk review dan
pengkajian kembali atas putusan dan vonis terhadap warga negara Meksiko dengan tetap
memperhatikan pelanggaran hak yang telah Amerika Serikat lakukan dalam Pasal 36
VCCR.
7. Mengambil komitmen dari Amerika Serikat untuk memastikan implementasi yang mereka
lakukan dengan berdasarkan pada kewajibannya dalam Pasal 36 paragraf 1(b) dari
Konvensi Jenewa tersebut, dan komitmen ini harus disesuaikan dengan permintaan dari
Meksiko untuk adanya garansi dan asuransi danri non-repetisi.
8. Apabila beberapa warga negara Meksiko harus divonis beberapa hukuman tanpa adanya
perlindungan hak mereka dalam Pasal 36 paragraf 1(b) dari VCCR yang juga sudah ditinjau
dalam pemeriksaannya, Amerika Serikat harus menyediakan bantuan dalam review dan
pengkajian kembali supaya dapat dihasilkan keputusan yang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam konvensi tersebut.
Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah

1. Amerika Serikat menyatakan bahwa dalam permintaan yang diberikan oleh Meksiko untuk
mengatasi permasalahan ini tidak dapat diterima sebab ini menandakan bahwa Meksiko
meminta ICJ sebagai badan pengadilan yang mengatasi masalah kriminal. Akan tetapi,
putusan yang diberikan oleh ICJ hanyalah berupa saran dan provisional measures, supaya
Amerika Serikat harus menyediakan bantuan untuk melakukan review dan pengkajian
kembali seperti dalam putusan ICJ dalam kasus LaGrand.
2. Amerika Serikat menyatakan bahwa tindakan Meksiko untuk melakukan perlindungan
diplomatik kepada warga negaranya yang telah melakukan tindakan kriminal tidak dapat
diterima. Akan tetapi, dalam Pasal 3 paragraf 1(b) disebutkan bahwa Meksiko memang
memiliki hak untuk melakukan hal tersebut sebagai suatu keadaan khusus dalam hak suatu
negara dan hak individu. Oleh karena itu, pendapat dari Amerika Serikat tersebut tidak
dapat diterima.
3. Amerika Serikat juga menyatakan bahwa tindakan perlidnungan diplomatik dari Meksiko
tersebut tidak berpengaruh bagi warga Meksiko yang ditahan di Amerika yang memiliki dua
kewarganegaraan. Akan tetapi, ICJ menyatakan bahwa dengan berdasarkan pada Pasal 36
VCCR tersebut, Meksiko tetap memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut
sehingga tindakan dari Meksiko tersebut dapat dibenarkan.
4. Amerika Serikat juga menyakan bahwa Meksiko juga memiliki kesalahan, sebab Meksiko
walaupun mengetahui adanya ketentuan dalam Pasal 36 VCCR tersebut tetapi mereka
tidak segera memberitahukannya kepada Amerika Serikat atau terlambat dalam
pemberitahuannya. ICJ menyatakan bahwa Meksiko sebelum telah melakukan beberapa
tindakan yang menarik perhatian dari Amerika Serikat mengenai pelanggarannya terhadap
Pasal 36 Konvensi terebut sehingga pendapat dari Amerika Serikat ini tidak dapat diterima.
Selain itu, tindakan Meksiko dalam kasus ini semuanya berdasarkan pada Pasal 36 VCCR
sehingga tindakan-tindakan tersebut dapat dibenarkan.
5. Berdasarkan pada Pasal 36 paragraf 1(b) VCCR, Amerika Serikat seharusnya memiliki
kewajiban untuk memberitahukan pemerintah Meksiko dan konsulernya atas proses
pengadilan yang sedang dilakukan oleh negara-negara bagian Amerika Serikat. Akan tetapi,
karena Amerika Serikat tidak melakukan kewajiban tersebut maka Amerika Serikat telah
melanggar isi dari ketentuan tersebut.
6. Tindakan Amerika Serikat yang seharusnya memberitahukan pengadilan yang sedang
mereka laksanakan tanpa adanya jeda waktu, atau dengan kata lain harus dilakukan pada
saat itu juga telah melanggar ketentuan dalam Pasal 36 paragraf 1(b) dari Konvensi
Jenewa.
7. Untuk pemberian solusi terbaik dalam penanganan kasus ini, maka putusan yang
dikeluarkan ICJ merupakan suatu saran kepada Amerika Serikat untuk memeriksa dan
mengkaji kembali putusan yang telah mereka keluarkan kepada warga negara Meksiko
yang mereka tahan, dan menyediakan fasilitas agar adanya bantuan dari konsuler Meksiko
terhadap warga negaranya.

Analisis Putusan

1. Dalam kasus ini dapat kita lihat bagaimana suatu perjanjian internasional dapat
mempengaruhi suatu proses peradilan dalam suatu negara apabila di dalam proses
peradilan tersebut ada keterkaitannya dengan negara yang lain. Hal ini dapat terlihat dalam
bagaiman suatu ketentuan dalam Pasal 36 dalam Vienna Convention on Consular Relations
dapat mempengaruhi proses peradilan di Amerika Serikat terhadap warga negara Meksiko
yang mereka tahan.
2. Ketentuan dalam Pasal 36 Konvensi Jenewa tersebut dapat mempengaruhi pengadilan di
Amerika Serikat sebab di dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa Meksiko berhak
mengirimkan bantuan berupa Consular Relations atau bantuan berupa konsuler kepada
warga negaranya yang sedang diadili di Amerika Serikat.
3. Pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada dasarnya dikarenakan dalam
putusan yang mereka keluarkan kepada warga negara Meksiko yang mereka adili, itu
dilakukan tanpa adanya pemberitahuan kepada pemerintah Meksiko mengenai proses
pengadilan yang mereka lakukan dan adanya usaha yang secara tidak langsung
menghambat dilakukannya bantuan konsuler ini.
4. Dari kasus ini, dapat dilihat bahwa apabila suatu perjanjian internasional dapat
mempengaruhi bagaimana proses hukum dari suatu hal berlangsung. Dalam konvensi ini,
dirumuskan tentang keberadaan suatu Consular Relations yang memiliki peran untuk
membantu suatu warga negara yang sedang memiliki permasalahan hukum di negara lain.
Ini mengakibatkan bagi negara yang berwenang untuk menjalankan yurisdiksinya yang
terikat di dalam perjanjian tersebut harus menyediakan fasilitas untuk dilakukannya bantuan
secara konsuler ini bagi negara yang warga negaranya sedang dalam permasalahan hukum
tersebut.
5. Dikarenakan pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat sebatas baru menjatuhkan
vonis untuk dilakukannya hukuman mati, belum sampai pada tingkat eksekusi, maka ICJ
memberikan kesempatan kepada Amerika Serikat untuk memeriksa dan mengkaji kembali
putusan yang mereka keluarkan tersebut dan saat ini dalam pelaksanaannya harus ada
keterlibatan dari konsuler Meksiko sebagai upaya pemenuhan hak dari warga negara
Meksiko yang sedang diadili tersebut.
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

VENEZUELA-US GASOLINE DISPUTES, WTO DISPUTE SETTLEMENT


BODY, 1996

Fakta Hukum
• Pihak yang bersengketa di dalam kasus ini adalah Venezuela melawan Amerika Serikat, di
mana sengketa ini diajukan kepada WTO.
• Para pihak utama dalam sengketa ini adalah Amerika Serikat dan Venezuela. Kedua
negara memiliki hubungan ekspor-impor minyak di mana Amerika Serikat sebagai importir
dan Venezuela sebagai eksportir. Para pihak merupakan anggota GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade). Brazil sebenarnya masuk sebagai intervener karena
memiliki kepentingan namun perannya dalam kasus ini tidak terlalu signifikan sehingga
pembahasan ini lebih menitikberatkan pada Venezuela dan AS.
• Pada 1990 Amerika Serikat (AS) melakukan amandemen terhadap US Clean Air Act
(CAA) yang kemudian diikuti dengan pengaturan yang lebih ketat dalam impor minyak.
Pengaturan ini memberlakukan standar yang lebih ketat terhadap minyak impor, sedangkan
untuk minyak produksi dalam negeri tidak diberlakukan ketentuan ini. Untuk perusahaan
minyak domestik diperbolehkan menetapkan suatu standar sendiri secara individu
(individual baseline) sedangkan perusahaan minyak asing harus memenuhi standar yang
ditetapkan EPA (statutory basline). AS beralasan mereka melakukan hal ini untuk
mengendalikan polusi udara.
• Selain itu standar yang berbeda antara perusahaan minyak domestik dan asing karena
perusahaan asing tersebut dianggap tidak memiliki data yang dapat dipercaya mengenai
kualitas minyaknya.
• Venezuela memprotes tindakan AS tersebut karena menerapkan ketentuan yang lebih
ketat mengenai karakteristik kimiawi dari minyak impor daripada ketentuan yang diterapkan
AS untuk minyak yang diproses dalam negeri.
• Venezuela menyatakan hal ini tidak adil karena minyak AS tidak perlu memenuhi standar
yang sama. Sehingga melanggar prinsip “national treatment” dan tidak dapat dibenarkan
menurut ketentuan pengecualian GATT mengenai tindakan-tindakan perlindungan
kesehatan dan lingkungan.
Permasalahan Hukum
Apakah ketentuan Amerika Serikat yang memberlakukan standar lebih tinggi bagi minyak
impor, dalam hal ini Venezuela, dapat dibenarkan menurut peraturan dan prinsip perdagangan
internasional menurut GATT?

Putusan DSB WTO


Dispute Setttlement Body (DSB) WTO menyatakan bahwa ketentuan mengenai standar minyak
impor dalam US Clean Air Act melanggar ketentuan GATT. AS diminta untuk menyesuaikan
aturannya dengan kewajiban negara peserta GATT.

Dasar Pertimbangan Putusan


• AS dan Venezuela sama-sama merupakan anggota WTO. Oleh karena itu mereka terikat
dengan ketentuan dalam GATT.
• AS menerapkan ketentuan standar yang tinggi bagi perusahaan asing yang mengekspor
minyak ke AS tetapi tidak memberlakukan standar yang sama bagi perusahaan domestik.
Alasan AS bahwa perusahaan minyak asing tidak dapat menyediakan data yang dapat
diandalkan mengenai kualitas kandungan minyaknya dianggap tidak tepat.
• DSB menyatakan bahwa tindakan AS ini menimbulkan suatu diskriminasi yang tidak dapat
dibenarkan (unjustifiable discrimination) dan pembatasan terselubung dalam perdagangan
internasional (disguised restriction on international trade).
• Meskipun menyatakan bahwa AS harus menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan
ketentuan GATT namun DSB menyadari adanya pasal XX dalam GATT yang mengandung
ketentuan yang didesain untuk melindungi kesehatan manusia dan konservasi sumber
daya alam yang dapat habis (exhaustible). Oleh karena itu DSB tidak mempersengketakan
kemampuan setiap anggota WTO untuk melakukan tindakan-tindakan untuk
mengendalikan polusi udara atau melindungi lingkungan.

Analisis Kasus
• Kasus ini memiliki dua aspek utama yaitu aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Akan
tetapi penyelesaian kasus ini dilakukan di WTO yang merupakan lembaga yang
mengatur kegiatan ekonomi, khususnya perdagangan antarnegara. Sehingga
penyelesaian kasus ini lebih berorientasi kepada kepentingan ekonomi.
• Penyebab mengapa kasus ini ditangani oleh WTO adalah pada dasarnya permasalahan
dalam kasus ini adalah bagaimana penerapan dari peraturan dan prinsip perdagangan
internasional yang diatur oleh GATT. Selain itu, pihak yang bersengketa, Amerika Serikat
dan Venezuela keduanya merupakan anggota dari WTO sehingga terikat oleh ketentuan
GATT. Dan dikarenakan adanya pengajuan kasus ini dari Venezuela dan Amerika Serikat
kepada WTO, maka WTO memiliki yurisdiksi untuk memberikan solusi dalam pemacahan
kasus ini.
• Kekuatan penegakan dan pelaksanaan putusan GATT ini berdasarkan pada 2 prinsip,
yaitu :
1. Berprinsip pada komitmen hukum (legal commitment) dari negara-negara
anggotanya.
2. GATT memberikan hak untuk melaksanakan retaliasi kepada negara yang
dirugikan sebagai akibat dari tindakan-tindakan negara lain yang melanggar
hukum
Dengan berdasarkan pada prinsip tersebut, ini menandakan bahwa negara-negara anggota
GATT dalam menghadapi tuntutan-tuntutan atau sengketa-sengketa dagang dalam GATT
lebih menitikberatkan pada rasa hormat dan kepentingannya terhadap GATT.
• Salah satu prinsip yang diakui oleh GATT dalam ekonomi internasional adalah prinsip
perlakuan nasional (national treatment). Prinsip ini mensyaratkan suatu negara untuk
memberlakukan hukum yang sama yang diterapkan terhadap barang-barang, jasa-jasa
atau modal asing yang telah memasuki pasar dalam negerinya dengan hukum yang
diterapkan terhadap produk-produk atau jasa-jasa yang dibuat di dalam negeri.
• Jika dilihat sekilas pengaturan AS yang memberlakukan standar yang lebih tinggi
terhadap minyak impor tampaknya bertentangan dengan prinsip perlakuan nasional.
Namun dalam hal ini saya berpendapat bahwa prinsip perlakuan nasional yang setara
mengandung dua makna penting. Pertama, perlakuan nasional dilakukan dengan
memberlakukan standar yang sama. Kedua, perlakuan nasional dilakukan untuk
mencapai suatu hasil yang sama. Artinya, tidak perlu ada standar yang sama secara
teknis asalkan hasil akhir yang diperoleh memenuhi standar yang sama dengan produk
dalam negeri.
Dalam kasus ini saya berpendapat AS boleh saja memberlakukan standar yang berbeda
antara minyak impor dengan minyak domestik, asalkan dengan standar yang berbeda itu
dapat diperoleh hasil yang sama-sama memenuhi standar nasional. Apalagi jika dilihat
lebih jauh, ketentuan ini tidak bermaksud memberikan suatu diskriminasi negatif namun
justru memberlakukan standar yang sama hanya saja dengan cara yang berbeda yaitu
dalam hal metode yang digunakan untuk mengukur tingkat kandungan polutannya.
Kalaupun tindakan itu nantinya dianggap melanggar kewajiban sebagai anggota WTO,
maka masih ada ketentuan Article XX dari GATT yang memberikan suatu pengecualian:
Article XX General Exceptions
Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would
constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the
same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this
Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting
party of measures: …(b) necessary to protect human, animal or plant life or health;… (g)
relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made
effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption;…

Berdasarkan pasal tersebut maka saya berpendapat bahwa ada suatu pengecualian yang
dapat diterapkan untuk masalah ini berkaitan dengan isu lingkungan. Karena ketentuan
dalam CAA tersebut bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia, serta berkaitan
dengan upaya pelestarian sumber daya alam yang dapat habis, dalam hal ini udara yang
sehat.

MOX PLANT, IRELAND v. UK, 2001

Fakta Hukum
• Para pihak dalam kasus ini adalah Irlandia dan Inggris
• Fasilitas nuklir Sellafield terletak di sebelah Barat Laut Inggris, di laut Irlandia, 184 km (114
mil) dari pantai Irlandia. Didirikan pada tahun 1947 untuk memproduksi plutonium dan
material nuklir lainnya untuk proyek bom atom Inggris.
• Menurut Irladia pembuangan nuklir dari Sellafield telah terjadi sejak awal 1950an,
mengakibatkan laut Irlandia menjadi salah satu laut semi-enclosed yang paling tercemar
bahan radiokaktif. Selain pembuangan rutin, fasilitas Sellafield juga pernah beberapa kali
mengalami kecelakaan, yang terparah adalah kebakaran pada tahun 1957 yang
melepaskan radiasi dalam jumlah besar ke laut.
• Meskipun OSPAR Report menyatakan bahwa jumlah radioaktif dalam laut Atlantik telah
menurun drastis, pembuangan radionuclides meningkat sejak pertengahan 1990an sebagai
hasil Thermal Oxide Reprocessing Plant di Sellafield. Hasil pembuangan radioaktif dari
Sellafield terbawa arus laut menyebar ke area yang luas dan telah terdeteksi hingga
Norwegia.
• Pada 1992 British Nuclear Fuels (BNFL), perusahaan milik pemerintah yang
mengoperasikan fasilitas Sellafield. MOX adalah bahan bakar nuklir yang diproduksi dari
plutonium dan uranium oksida yang diproses ulang yang telah digunakan dalam reaktor
komersial di Prancis, Jerman, dan Swiss. Jadi rencananya adalah mengimpor sisa material
nuklir dari pembangkit luar negeri, memprosesnya kembali di fasilitas THORP di Sellafield
dan menggunakan material yang telah diproses ulang tersebut untuk membuat MOX.
Kemudian MOX tersebut di ekspor kembali ke luar negeri melalui laut, karena tidak ada
reaktor nuklir di Inggris yang menggunakan MOX sebagai bahan bakarnya.
• Sebelum pembangunan pembangkit disetujui, Inggris harus memenuhi dua syarat dari
European Community yaitu mengenai dampak lingkungan dan kelayakan ekonominya.
Mengenai dampak lingkungan diuji berdasarkan EURATOM sedangkan kelayakan
ekonominya diuji oleh dua firma konsultan ekonomi secara terpisah. Singkat cerita, semua
syarat tersebut dipenuhi oleh Inggris.
• Irlandia yang masih menentang pembangunan pembangkit MOX meminta Inggris
memberikan dokumen-dokumen mengenai kelayakan lingkungan dan ekonomi pembangkit
MOX. Namun Inggis hanya memberikannya dalam bentuk yang sudah di-edit (redacted
form). Irlandia meminta versi lengkap laporan tersebut dan mendasarkan permintaannya
pada EC Directive 90/313 tentang Kebebasan Akses terhadap Informasi Lingkungan dan
OSPAR Convention. Inggris menolaknya dengan menyatakan bahwa dokumen tersebut
mengandung informasi bisnis rahasia.
• Irlandia kemudian mengajukan beberapa gugatan, masing-masing dengan dasar yang
berbeda, kepada beberapa forum penyelesaian sengketa yang berbeda.
Permasalahan Hukum
• Berdasarkan Annex VII UNCLOS, pada 25 Oktober 2001 Irlandia mengajukan gugatan
pada arbitrase dengan permasalahan hukum bahwa Inggris telah melanggar kewajiban
untuk:
1) Melakukan suatu pengujian yang layak terhadap dampak lingkungan MOX plant kepada
lingkungan laut Irlandia sebagaimana tercantum dalam pasal 206 UNCLOS.
2) Bekerja sama dengan Irlandia untuk melindungi semi-enclosed sea sesuai pasal 123
dan 197 UNCLOS.
3) Mengambil langkah-langkah untuk meindungi dan melestarikan lingkungan laut Irlandia
sesua pasal 192, 193, 194, 207, 211, 212, 213, 217, dan 222 UNCLOS.
• Berdasarkan OSPAR Convention pada 15 Juni 2001 Irlandia mengajukan gugatan pada
arbitrase dengan permasalahan hukum:
1) Bahwa Inggris telah melanggar hak akses informasi sesuai pasal 9 OSPAR Convention
dengan menolak permintaan Irlandia untuk memberikan versi lengkap laporan hasil uji
kelayakan MOX plant yang menyebabkan Irlandia tidak dapat melakukan tinjauan
terhadap kelayakan ekonomi dari MOX plant sesuai EURATOM Directive 90/313.
• Irlandia juga mengajukan provisional measures kepada ITLOS untuk mencegah
pengangkutan limbah nuklir dari dan ke Sellafield melalui laut.
• European Commission mengajukan gugatan kepada European Court of Jutice terhadap
Irlandia karena sengketa ini melibatkan dua anggota European Community sehingga ECJ
memiliki yurisdiksi eksklusif.

Putusan Mahkamah
• Arbitrase UNCLOS di PCA dihentikan berdasarkan Order No. 6 pada 6 Juni 2008
diantaranya karena ada permintaan resmi dari Irlandia untuk menarik klaimnya.
• Arbitrase OSPAR di PCA pada 2 Juli 2003 memutuskan menolak klaim Irlandia atas hak
informasi berdasarkan OSPAR Convention.
• ITLOS menolak permintaan provisional measures Irlandia untuk mencegah transportasi
pengangkutan laut limbah nuklir dari dan menuju ke Sellafield.

Dasar Pertimbangan Mahkamah


ITLOS:
• ITLOS menolak permintaan provisional measures dari Irlandia karena berpendapat bahwa
Irlandia tidak dapat membuktikan situasi yang urgen untuk menghentikan operasi MOX
plant dan mencegah transportasi pengangkutan laut atas limbah nuklir melalui laut Irlandia.

Arbitrase OSPAR:
• Menurut Mahkamah, klaim Irlandia atas hak informasi tidak berada dalam pasal 9 (2)
OSPAR Convention. Sehingga klaim Irlandia bahwa Inggris telah melanggar haknya
berdasarkan pasal tersebut, tidak muncul.

Analisis Kasus
• Dalam kasus MOX plant ini yang lebih nampak adalah masalah proseduralnya
dibandingkan masalah substantifnya mengenai lingkungan. Kasus ini menunjukkan adanya
suatu tumpang tindih yurisdiksi antara pengadilan internasional dan forum penyelesaian
sengketa lainnya. Masing-masing forum yang memproses sengketa ini membahas masalah
yang berbeda dan menghasilkan putusan yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan
putusan yang bertentangan satu sama lain sehingga justru memperumit sengketa,
bukannya menyelesaikannya. Sementara itu tidak banyak yang dapat dilakukan Inggris
untuk menolak yurisdiksi dari forum-forum tersebut karena secara tidak langsung Inggris
telah menyatakan penerimaannya dengan meratifikasi konvensi-konvensi yang relevan
dengan forum penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
• Dalam hal muncul masalah berkaitan dengan penerapan beberapa prosedur penyeelsaian
sengketa dengan yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction), pengadilan dan forum lainnya
belum memiliki pendekatan yang konsistent dan memadai. Tidak ada persetujuan tertentu
yang memberikan solusi terhadap masalah ini. bahkan hukum kebiasaan internasional,
prinsip-prinsip hukum umum dan yurisprudensi tidak banyak membantu.
• Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini.
diantaranya pendekatan self-contained regime. Self-contained regime diartikan sebagai
suatu “special set of secondary rules that determine the consequences of a breach of
certain primary rules … as well as any interrelated cluster … of rules on a limited problem
together with the rules for the creation, interpretation, application, modification, or
termination of those rules”. Putusan arbitrase OSPAR MOX plant menggambarkan secara
jelas self-contained regime dengan menerapkan interaksi terbatas antara OSPAR
Convention dan rezim lingkungan lainnya. Arbitrase OSPAR memisahkah sengketa yang
didasarkan pada OSPAR Convention dari sengketa lainnya dengan alasan bahwa OSPAR
Conventiondan Directive 90/313 masing-masing merupakan sumber hukum independen
yang menimbulkan rezim hukum yang berbeda dan memiliki upaya hukum yang berbeda.
• Atas alasan tersebut arbitrase menolak prosedur penyelesaian sengketa dalam rezim
lainnya dan norma substabtif hukum internasional lainnya mengenai hak akses informasi
lingkungan. Panel arbitrase menyatakan bahwa OSPAR Convention merupakan rezim
hukum yang terpisah dari rezim hukum lainnya dan bahwa arbitrase memiliki wewenang
untuk meninjau ulang keputusan Inggris yang membatasi pembukaan informasi terkait
pengoperasian MOX plant.

KEBIASAAN INTERNASIONAL

MILITARY & PARAMILITARY NICARAGUA CASE, 1986


Fakta Hukum

1. Pihak yang terlibat di dalam kasus ini adalah Nicaragua melawan Amerika Serikat.
2. Pemerintah Republik Nicaragua pada saat itu tengah mengalami bentrokan senjata dengan
pemberontak gerilya di negaranya, yang berbatasan dengan El Salvador, Honduras, dan
Costa Rica. Selama bentrokan senjata tersebut berlangsung, Amerika Serikat telah ikut
campur dalam bentrokan senjata tersebut dan mengganggu kedaulatan dari Nicaragua.
3. Pada tanggal 9 April 1984 Duta Besar dari Republik Nicaragua pergi menuju Belanda untuk
mengajukan gugatan di ICJ kepada Amerika Serikat atas adanya aktivitas militer dan
paramiliter terhadap Nicaragua. Nicaragua mengajukan gugatan ini dengan berdasarkan
pada Pasal 36 Piagam PBB.
4. Pada saat kasus ini diajukan, Nicaragua juga mengajukan adanya pertimbangan dalam
Pasal 41 Piagam PBB. Pada tanggal 10 Mei 1984, ICJ menolak permintaan dari Amerika
Serikat untuk penghapusan kasus ini dari daftar.
5. Pada tanggal 15 Agustus 1948, Republik El Salvador mengajukan intervensi dengan
berdasarkan pada Pasal 63 Piagam PBB., yang kemudian ditolak oleh ICJ.
6. Nicaragua mengajukan gugatan kepada Amerika Serikat dikarenakan adanya tindakan
perekrutan, pelatihan, mempersenjatai, dan memberikan persediaan dari Amerika Serikat
kepada kelompok militer dan paramiliter di Nicaragua. Tindakan Amerika tersebut telah
melanggar ketentuan dari Piagam PBB, Charter of the Organization of American States,
Convention on Rights and Duties of States, dan Convention concerning the Duties and
Rights of States dalam Peristiwa Civil Strife.
7. Nicaragua menyatakan bahwa Amerika Serikat telah melanggar kedaulatan Nicaragua,
melanggar norma dan kebiasaan internasional dengan cara penggunaa kekerasan,
mengganggu permasalahan dalam negeri Nicaragua, melanggar kebebasan di lautan dan
menggangu perdagangan maritim Nicaragua, dan telah menimbulkan korban dalam
masyarakat Nicaragua.
8. Berdasarkan pada pelanggaran-pelanggaran tersebut, Nicaragua menuntut adanya ganti
rugi terhadap segala kerugian yang telah ditimbulkan oleh Amerika Serikat terhadap
Nicaragua.
9. Pada tanggal 21 Januari 1956, Nicaragua dan Amerika Serikat pernah mengadakan
perjanjian internasional yang bernama Treaty of Friendship, Commerce and Navigation.
Ketentuan dari perjanjian ini telah dilanggar oleh Amerika Serikat menurut Nicaragua dan
Nicaragua memohon penerapannya dalam kasus ini.
Permasalahan Hukum

1. Apakah ICJ harus menerapkan “multilateral treaty reservation” berdasarkan pada gugatan
yang diajukan oleh Republik Nicaragua?
2. Apakah Amerika Serikat harus bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kerugian yang
dialami oleh Republik Nicaragua yang berhubungan langsung dengan aktivitas Amerika
Serikat, yang telah melanggar prinsip kebiasaan internasional dan Treaty of Friendship,
Commerce and Navigation antara Amerika Serikat dan Republik Nicaragua yang ditanda
tangani pada tanggal 21 Januari 1956?

Putusan Mahkamah Internasional

Pada tanggal 27 Juni 1986, ICJ mengeluarkan putusannya.

1. Dengan hasil voting 11 berbanding 4, ICJ memutuskan untuk menerapkan “multilateral


treaty reservation” berdasarkan pada gugatan yang diajukan oleh Republik Nicaragua
2. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa pembelaan diri Amerika
Serikat terhadap hubungannya dengan aktivitas militer dan paramiliter di Nicaragua ditolak.
3. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah
melanggar kebiasaan internasional terkait dengan tindakannya dalam melatih,
mempersenjatai, mendanai, dan memberikan persediaan kepada kelompok militer dan
paramiliter di Nicaragua.
4. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah
melanggar kebiasaan internasional terkait dengan penyerangan di wilayah Nicaragua pada
tahun 1983-1984, yaitu penyerangan di wilayah Puerto Sandino pada tanggal 13 September
dan 14 Oktober 1983; penyerangan di Corinto pada tanggal 10 Oktober 1983; penyerangan
di Markas Angkatan Laut Potosi padang tanggal 4/5 Januari 1984; penyerangan di San
Juan del Sur pada tanggal 7 Maert 1984; penyerangan kapal patroli di Puerto Sandino pada
tanggal 28 dan 30 Maret 1984; dan penyerangan di San Juan del Norte 9 April 1984.
5. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah
melanggar kedaulatan Nicaragua terkait dengan penerbangan yang diatur oleh Amerika
Serikat yang melewati wilayah Nicaragua.
6. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah
melanggar kebiasaan internasional terkait dengan pemasangan ranjau di wilayah perairan
teritorial Republik Nicaragua.
7. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah
melanggar Pasal XIX dari Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara Amerika
Serikat dan Republik Nicaragua yang ditanda tangani pada tanggal 21 Januari 1956 atas
tindakannya terhadap penerbangan yang melintasi wilayah Nicaragua.
8. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah gagal
dalam memberitahukan keberadaan dari ranjau yang dipasangnya di wilayah perairan
Nicaragua.
9. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa pedoman yang
dipublikasikan Amerika Serikat pada tahun 1983 yang berjudul “Operaciones sicologicas en
guerra de guerrilas” yang diberikan kepada pasukan Contra, merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.
10. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah
melanggar objek dan tujuan dari Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara
kedua pihak tersebut yang ditandatangani di Managua pada tanggal 21 January 1956
berkaitan dengan penyerangan di wilayah Nicaragua dan embargo perdagangan dengan
Nicaragua pada tanggal 1 Mei 1985.
11. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat telah
melanggar Pasal XIX dari Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara kedua
pihak tersebut yang ditandatangani di Managua pada tanggal 21 January 1956 berkaitan
dengan penyerangan di wilayah Nicaragua dan embargo perdagangan di Nicaragua pada
tanggal 1 Mei 1985.
12. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat harus
bertanggung jawab untuk mencegah kerugian lebih lanjut atas pelanggaran-pelanggarannya
pada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi olehnya.
13. Dengan hasil voting 12 berbanding 3, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat harus
bertanggung jawab atas reparasi dari segala kerugian Republik Nicaragua terkait dengan
pelanggaran dari kebiasaan internasional yang berlaku.
14. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan bahwa Amerika Serikat harus
bertanggung jawab atas reparasi dari segala kerugian Republik Nicaragua terkait dengan
pelanggaran dari Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara kedua pihak
tersebut yang ditandatangani di Managua pada tahun 21 January 1956.
15. Dengan hasil voting 14 berbanding 1, ICJ memutuskan untuk menentukan bentuk dan biaya
reparasi yang dibutuhkan, apabila kedua pihak tersebut tidak mencapai kesepakatan atas
ganti rugi yang dilakukan.
16. ICJ menyarankan agar kedua belah pihak menyelesaikan permasalahan di antara mereka
dengan damai sesuai dengan hukum internasional.

Dasar Pertimbangan Putusan

1. Dalam pembelaan yang diberikan oleh Amerika Serikat, Amerika menyatakan bahwa
tindakannya dalam membantu aktivitas militer dan paramiliter ini semata-mata demi
kepentingan El Salvador, agar dapat terlindungi dari serangan Nicaragua sehingga Amerika
Serikat telah menerapkan hak untuk membela diri dari serangan Nicaragua. Amerika Serikat
juga menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani kasus ini.
2. ICJ menyatakan bahwa kasus ini tetap berada dalam yurisdiksi ICJ. Dikarenakan ketentuan
yang telah dilanggar oleh Amerika Serikat berjumlah lebih dari satu, yaitu kebiasaan
internasional dan Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara kedua negara
tersebut, maka prinsip “multilateral treaty reservation” dapat diberlakukan.
3. ICJ juga menyatakan bahwa pendapat Amerika Serikat dalam memberikan batuan terhadap
aktivitas militer dan paramiliter di Nicaragua tidak berdasarkan pada tindakan membela diri,
sebab El Salvador tersebut tidak pernah memohon bantuan dari Amerika Serikat.
4. Putusan yang dikeluarkan oleh ICJ ini semua berdasarkan pada pelanggaran dari Amerika
Serikat dalam menyediakan persenjataan dan pelatihan kepada pasukan pemberontak di
Nicaragua yang berkaitan dengan panduan peperangan yang bernama Operaciones
sicologicas en guerra de guerrillas. Ini merupakan bukti adanya campur tangan dari Amerika
Serikat dalam aktivitas militer dan paramiliter di Nicaragua.
5. Adanya penyebaran Operaciones sicologicas en guerra de guerrillas dan pemasangan
ranjau di wilayah perairan di Nicaragua merupakan bukti bahwa Amerikas Serikat telah
melanggar kedaulatan dari Nicaragua dengan cara mengganggu permasalahan dalam
negeri dari negara yang bersangkutan. Tindakan lainnya yang berupa penerbangan tanpa
izin yang melintasi wilayah Nicaragua, pemasangan ranjau di perairan Nicaragua, dan
penambangan di wilayah Nicaragua juga merupakan pelanggaran terhadap kebiasaan
internasional ini.
6. Adanya embargo perdagangan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terhadap Nicaragua
juga merupakan bentuk pelanggan dari perjanjian yang telah mereka bentuk sebelumnya,
yaitu Treaty of Friendship, Commerce and Navigation yang dibentuk pada tanggal 21
Januari 1956 di Managua.

Analisis Putusan
1. Dalam kasus ini dapat kita lihat bagaimana penerapan kebiasaan internasional dan
perjanjian imternasional dalam melindugi kepentingan dari suatu negara yang telah
dilanggar kepentingannya oleh negara lain yang merupakan anggota dari perjanjian
tersebut.
2. Pada dasarnya, dari seluruh putusan yang dikeluarkan oleh ICJ terhadap pelanggaran
Amerika Serikat yang berupa bantuan militer terhadap kelompok pemberontak gerilya di
Nicaragya, semuanya berdasarkan pada prinsip umum yang berlaku dalam hukum
internasional yang telah menjadi suatu kebiasaan internsional, yaitu prinsip untuk tidak
mengganggu kedaulatan dari negara lain.
3. Suatu negara tidak boleh turut campur dalam urusan dalam negeri dari negara yang lain
tanpa adanya dasar perbuatan yang jelas. Oleh karena itu, tindakan Amerika Serikat ini
merupakan pelanggaran dar prinsip tersebut terkait dengan bantuannya terhadap aktivtitas
militer dan paramiliter di Nicaragua, pemasangan ranjau di perairan Nicaragua tanpa
sepengetahuan Nicaragua itu sendiri, pelanggaran perbatasan Nicaragua atas penerbangan
yang diatur dan dilakukan oleh Amerika Serikat, dan penambangan di wilayah Nicaragua.
4. Dikarenakan campur tangan Amerika Serikat tersebut Nicaragua telah mengalami kerugia
besar, sudah seharusnya bagi Amerika Serikat untuk bertanggung jawab atas segala
kerugian yang telah ditimbulkan diakibatkan adanya campur tangan dari Amerika Serikat.
5. Treaty of Friendship, Commerce and Navigation antara Amerika Serikat dan Republik
Nicaragua yang ditanda tangani pada tanggal 21 Januari 1956 tersebut, juga telah dilanggar
oleh Amerika Serikat terkait dengan tindakannya di dalam pemerintahan Nicaragua.
Dikarenakan Amerika Serikat telah melanggar dua ketentuan yang mengikat dirinya dengan
Nicaragua, yaitu kebiasaaninternasional dan Treaty of Friendship, Commerce and
Navigation, maka kedua ketentuan tersebut dapat diterapkan untuk mengatasi
permasalahan yang dialami oleh Nicaragua ini.
ASYLUM CASE, COLOMBIA v. PERU, ICJ REPORTS, 1950

Fakta Hukum
1. Para pihak dalam sengketa ini adalah Kolombia dan Peru.
2. Pada 3 Oktober 1948 sebuah pemberontakan militer terjadi di Peru. Sebuah partai politik
American People’s Revolutionary Party dituduh merancang dan memimpin pemberontakan
tersebut.
3. Victor Raul Haya de la Torre, pimpinan partai tersebut dinyatakan bertanggung jawab atas
terjadinya pemberontakan. Pada 16 November keluar perintah agar de la Torre hadir ke
hadapan Examining Magistrate.
4. Pada 3 Januari 1949 de la Torre diberikan suaka oleh Kedutaan Besar Kolombia di Lima,
Peru. Pada 4 Januari kedutaan besar Kolombia mengumumkan pemberian suaka tersebut
kepada pemerintah Peru dan pada saat yang sama meminta diberikannya jaminan berupa
safe-conduct agar pengungsi dapat meninggalkan Peru. Kolombia menegaskan bahwa
pengungsi tersebut merupakan pengungsi politik.
5. Peru mempertanyakan penggolongan (kualifikasi) yang dilakukan oleh Kolombia yang
menggolongkan de la Torre sebagai pengungsi politik. Peru juga menolak memberikan
safe-conduct. Menurut Peru, de la Torre melakukan kejahatan umum (common crime),
bukan kejahatan politik sehingga tidak berhak mendapatkan suaka.
6. Pada 31 Agustus 1949 para pihak sepakat mengajukan sengketa ke Mahkamah
Internasional.

Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum yang diajukan oleh Kolombia:
1. Bahwa Kolombia sebagai negara pemberi suaka berhak melakukan kualifikasi secara
sepihak mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh de la Torre;
2. Bahwa Peru sebagai negara tempat si pencari suaka berada (territorial state), wajib
memberikan jaminan yang diperlukan untuk memastikan si pencari suaka dapat keluar dari
Peru.
Permasalahan hukum yang diajukan oleh Peru:
1. Bahwa pemberian suaka oleh Kolombia kepada de la Torre telah dilakukan secara
melanggar ketentuan Konvensi Havana pasal 1 ayat 1 dan pasal 2 ayat 2.

Putusan Mahkamah
1. Dengan suara 14 berbanding 2, Mahkamah memutuskan bahwa Kolombia tidak berhak
menentukan secara sepihak mengenai sifat asal dari pelanggaran tersebut.
2. Dengan suara 15 berbanding 1, Mahkamah memutuskan bahwa Pemerintah Peru tidak
berkewajiban untuk memberikan jaminan kepada pengungsi.
3. Dengan suara 15 berbanding 1, Mahkamah memutuskan menolak keberatan Pemerintah
Peru sepanjang mengenai pasal 1 ayat 1 Konvensi Havana. Akan tetapi dengan suara 10
berbanding 6, Mahkamah menerima keberatan Peru yang berdasarkan pada pasal 2 ayat 2
Konvensi Havana.
Dasar Pertimbangan Putusan
1. Kolombia menyatakan bahwa de la Torre melakukan kejahatan politik (political offense) dan
karenanya memberikan suaka pada de la Torre. Kolombia mendasarkan tindakannya ini
pada tiga perjanjian internasional yaitu Persetujuan Bolivarian 1911 tentang Ekstradisi,
Konvensi Havana 1928 tentang Suaka, dan Konvensi Montevideo 1933 tentang Suaka
Politik, serta hukum internasional Amerika. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut
Kolombia menyatakan bahwa ia berhak menentukan sifat dari kejahatan tersebut, apakah
kejahatan politik atau kejahatan biasa, sebagai dasar pemberian suaka. Mahkamah
kemudian melihat apakah ketentuan-ketentuan tersebut memang memberikan hak yang
demikian kepada Kolombia.
2. Mahkamah melihat bahwa Persetujuan Bolivarian 1911 memang mengakui pemberian
suaka sesuai prinsip-prinsip hukum internasional. Akan tetapi prinsip ini tidak memberikan
suatu hak untuk melakukan kualifikasi secara sepihak (unilateral qualification).
3. Sedangkan dalam Konvensi Havana 1928, Mahkamah berpendapat bahwa Konvensi
tersebut baik secara eksplisit maupun implisit tidak mengakui dimungkinkannya suatu
kualifikasi secara sepihak. Sedangkan dalam Konvensi Montevideo 1933, Konvensi ini tidak
diratifikasi oleh Peru dan karenanya tidak dapat diterapkan kepada Peru. Selain itu
Konvensi 1933 ini hanya diratifikasi oleh 11 negara.
4. Kemudian berdasarkan hukum internasional Amerika, Kolombia tidak bisa membuktikan
adanya suatu praktek yang konstan dan seragam, secara lokal maupun regional, mengenai
kualifikasi unilateral sebagai hak negara penerima pengungsi. Kalaupun Kolombia dapat
membuktikan bahwa kebiasaan tersebut ada di kalangan negara-negara Amerika Latin,
maka kebiasaan tersebut tidak dapat diterapkan kepada Peru. Karena tindakan-tindakan
yang dilakukan Peru tidak menunjukkan sikap penerimaannya terhadap kebiasaan tersebut.
Sebaliknya, sikap yang ditunjukkan Peru justru menandakan penolakan terhadap kebiasaan
tersebut dengan tidak meratifikasi Konvensi Montevideo 1933 sebagai instrumen hukum
yang memuat ketentuan tentang kualifikasi secara sepihak tersebut.
5. Menyangkut keberatan Peru yang pertama, yaitu bahwa kejahatan yang dilakukan oleh de
la Torre merupakan tindak kriminal sehingga tidak dapat diberikan suaka sesuai pasal 1
ayat 1 Konvensi Havana. Mahkamah melihat bahwa kejahatan yang dituduhkan dilakukan
oleh de la Torre adalah pemberontakan militer. Akan tetapi Peru tidak dapat menunjukkan
bahwa pemberontakan militer merupakan suatu common crime. Bahkan ketentuan hukum
nasional Peru justru menunjukkan yang sebaliknya. Oleh karena itu Mahkamah
berpendapat bahwa pemberontakan militer bukan common crime dan menolak keberatan
Peru tersebut.
6. Tetapi mengenai keberatan Peru yang didasarkan pada pasal 2 ayat 2 Konvensi Havana,
Mahkamah menerimanya. Mahkamah berpendapat bahwa pemberian suaka oleh Kolombia
kepada de la Torre tidak didasarkan pada suatu kebutuhan yang urgen dan mendesak
dalam jangka waktunya. Oleh karena itu pemberian suaka tersebut tidak sesuai dengan
pasal 2 ayat 2 Konvensi.

Analisis Putusan
1. Salah satu prinsip penting yang terdapat dalam kasus ini adalah bahwa hukum kebiasaan
harus didasarkan pada suatu praktek yang konstan dan seragam di antara negara-negara
yang bersangkutan. Hukum kebiasaan internasional yang dipermasalahkan dalam kasus ini
bukanlah mengenai kebiasaan dalam pemberian suaka, karena pemberian suaka sudah
diakui oleh negara-negara. Yang dipermasalahkan adalah mengenai kompetensi negara
pemberi suaka untuk menentukan apakah kejahatan yang dilakukan oleh pencari suaka
merupakan kejahatan kriminal atau kejahatan politik, yang mana hal ini menjadi dasar
pemberian suaka. Karena pemberian suaka hanya dapat dilakukan terhadap seseorang
yang dituduh melakukan kejahatan politik, bukan kejahatan kriminal. Kolombia menyatakan
bahwa kompetensi tersebut merupakan kebiasaan internasional sementara Peru tidak
mengakuinya.
2. Kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang diakui
dalam Statuta ICJ. Supaya suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan sebagai sumber
hukum internasional, ada dua unsur yang harus dipenuhi yaitu unsur material dan unsur
psikologis. Unsur material yaitu kenyataan adanya kebiasaan yang bersifat umum. Ada dua
hal yang menandakan suatu kebiasaan internasional merupakan suatu kebiasaan umum.
Pertama, perlu adanya suatu pola tindak yang berlangsung lama yang merupakan
serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan kebiasaan yang serupa pula. Kedua,
kebiasaan atau pola tindak tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan
internasional.
3. Unsur psikologis yaitu diterimanya kebiasaan internasional itu sebagai hukum. Unsur
psikologis menghendaki bahwa kebiasaan internasional dirasakan memenuhi suruhan
kaidah atau kewajiban hukum, atau dalam bahasa latin disebut “opinio juris sive
necessitatis”. Dilihat secara praktis suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima
sebagai hukum apabila negara-negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Meski
kebanyakan kebiasaan harus berlangsung dalam waktu yang lama, terkadang ditemukan
suatu hukum kebiasaan yang bersifat instan. Kebiasaan semacam ini dapat menjadi hukum
tanpa harus melalui praktek dalam jangka waktu yang lama.
4. Pasal 1 ayat 1 Konvensi Havana “It is not permissible for States to grant asylum … to
persons accused or condemned for common crimes …”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut
maka beban pembuktian bahwa de la Torre telah didakwa atau dihukum atas kejahatan
biasa berada pada Peru. Dalam hal ini maka ada dua hal yang perlu dibuktikan yaitu
adanya tuntutan atau putusan penghukuman, dan kejahatan biasa (common crime). Tidak
sulit untuk membuktikan adanya dakwaan terhadap de la Torre, hal ini dapat ditunjukkan
dari perintah yang dikeluarkan pejabat setempat Peru untuk membawa de la Torre ke
hadapan Examining Magistrate. Akan tetapi yang masih perlu untuk dibuktikan adalah
mengenai apakah kejahatan yang dituduhkan itu merupakan common crime atau bukan.
Dalam kasus de la Torre, kejahatan yang dituduhkan kepadanya oleh pemerintah Peru
sebelum pemberian suaka adalah pemberontakan militer dan Peru tidak bisa membuktikan
bahwa pemberontakan militer merupakan common crime. Pasal 248 Peruvian Code of
Military Justice tahun 1939 bahkan cenderung menunjukkan yang sebaliknya. Ketentuan
pasal tersebut memisahkan antara pemberontakan militer dan common crimes lainnya. Ini
menunjukkan bahwa pemberontakan militer bukanlah suatu common crime, setidaknya
menurut hukum Peru.
5. Pasal 2 ayat 2 Konvensi Havana “Asylum may not be granted except in urgent cases and
for the period of time strictly indispensable for the person who has sought asylum to ensure
in some other way his safety”. Berdasarkan pasal tersebut maka pemberian suaka dapat
dibenarkan atas adanya suatu bahaya yang bersifat segera dan terus menerus (imminence
and persistence) yang mengancam si pencari suaka. Dalam hal ini maka beban pembuktian
mengenai apakah keadaan bahaya yang semacam itu memang ada, dibebankan kepada
Kolombia sebagai negara pemberi suaka. Mengenai bahaya yang mengancam de la Torre,
tidak diragukan lagi bahwa pasca pemberontakan militer tersebut banyak tindakan tak
terkendali oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab yang ditujukan kepada de la
Torre. Yang perlu dibuktikan sekarang adalah mengenai urgensi dalam pemberian suaka
tersebut. Berdasarkan fakta yang telah disebutkan, ada jeda waktu yang cukup panjang
antara tanggal terjadinya pemberontakan dengan tanggal keluarnya perintah penangkapan
dan tanggal diberikannya suaka kepada de la Torre. Ini menghilangkan unsur urgensi yang
diperlukan dalam pemberian suaka.
NORTH SEA CONTINENTAL SHELF CASE, 1969

Fakta-Fakta Hukum

1.Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah antara Republik Federal Jerman
dengan Denmark dan antara Republik Federal Jerman dengan Belanda.

2.Kasus ini adalah tentang sengketa batas landas kontinen di Laut Utara dimana Republik
Federal Jerman tidak setuju dengan ketentuan pasal 4 Konvensi Genewa tahun 1958
tentang Landas Kontinen yang mengatur tentang batas landas kontinen antar negara
yang bertetangga yang menyebabkan Jerman mendapat batas landas kontinen yang
sangat sedikit dibandingkan dengan Denmark dan Belanda sebagai negara
tetangganya.

3.Dalam pasal 4 Konvensi Genewa 1958 disebutkan bahwa penentuan batas landas
kontinen ditentukan melalui prinsip equidistance (prinsip sama jarak) dimana jika
berdasarkan prinsip ini, maka Jerman hanya mendapat sedikit bagian dari landas
kontinen Laut Utara.

4.Hal itu disebabkan karena kondisi geografis Jerman dimana garis pantainya sangat
sedikit sehingga menyebabkan landas kontinen yang dimiliki Jerman menjadi terbatas.

5.Pihak Republik Federal Jerman menuntut agar apabila prinsip equidistance diberlakukan
dalam kasus ini, maka Jerman dapat menggunakan Article 6 Konvensi Genewa 1958
yang mengatur tentang pembagian secara adil (apportionment theory).

6.Pihak Denmark dan Belanda menolak usul Jerman dan menginginkan adanya
pembatasan terhadap batas landas kontinen di Laut Utara berdasarkan prinsip
equidistance yang telah menjadi kebiasaan internasional dan telah diatur dalam
Konvensi Genewa 1958.

7.Republik Federal Jerman belum meratifikasi Konvensi Genewa 1958 tentang Landas
Kontinen.

8.Republik Federal Jerman, Denmark, dan Belanda kemudian sepakat membawa kasus
ini ke Mahkamah Internasional dengan Special Agreement antara Republik Federal
Jerman dengan Belanda pada tanggal 1 Desember 1964 dan antara Republik Federal
Jerman dengan Denmark pada tanggal 9 Juni 1965.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah :

1.Apakah pihak Republik Federal Jerman berhak melakukan penarikan garis batas landas
kontinennya di Laut Utara berdasarkan prinsip pembagian secara adil (apportionment
theory)?

2.Apakah Denmark dan Belanda berhak untuk membatasi batas landas kontinen di Laut
Utara berdasarkan prinsip equidistance yang dianggap telah menjadi hukum kebiasaan
internasional dan diatur dalam Konvensi Genewa 1958 tentang Continental Shelf?
Putusan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional yang beranggotakan Hakim Sir Muhammad Zafrulla Khan,


Presiden Bustamante y Rivero, Hakim Jessup, Hakim Padilla Nervo, Hakim Ammoun, Hakim
Bengzon, Wakil Presiden Koretsky, Hakim Tanaka, Hakim Morelli, Hakim Lachs, dan Hakim ad-
hoc Sorensen kemudian memutuskan dengan perbandingan 11 suara berbanding 6 menolak
gugatan Denmark dan Belanda atas prinsip equidistance sebagai general costumary
international law, serta menolak teori pembagian secara adil yang diajukan Jerman.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Mahkamah memiliki beberapa pertimbangan dalam memutuskan kasus ini diantaranya :

1.Republik Federal Jerman belum meratifikasi Konvensi Genewa 1958 sehingga tidak
terikat pada ketentuan Article 6.

2.Prinsip equidistance tidak sesuai dengan prinsip utama dalam penentuan batas landas
kontinen, dan bukan merupakan hukum kebiasaan internasional karena telah diatur
dalam Konvensi Genewa 1958, sedangkan hukum kebiasaan internasional seharusnya
adalah hukum tidak tertulis yang dipraktekkan dan mengikat semua negara.

Mahkamah berpendapat bahwa para pihak dalam kasus ini yaitu Republik Federal
Jerman, Denmark, dan Belanda harus mematuhi prinsip dan peraturan-peraturan dalam hukum
internasional sehingga dalam kasus ini hukum kebiasaan internasional tidak dapat
mengesampingkan hukum internasional. Terhadap alasan Jerman untuk menerapkan prinsip
apportionment theory, Mahkamah berpendapat bahwa dalam kasus ini, Jerman hanya dapat
membatasi dan bukan membagi secara adil karena prinsip tersebut hanya merupakan salah
satu varian dari hukum kebiasaan internasional dalam penentuan batas landas kontinen dan
bukan merupakan prinsip utama. Mahkamah juga berpendapat bahwa prinsip equidistance
tidak pernah diajukan ke International Law Commission sebagai general costumary law.

Analisis Kasus
Menurut kelompok kami, dalam kasus ini putusan Mahkamah telah tepat karena para
pihak, dalam hal ini Denmark dan Belanda hanya mendasarkan pendapatnya pada hukum
kebiasaan internasional, sementara dalam penentuan batas landas kontinen harus berdasarkan
pada ketentuan dalam Konvensi Genewa 1958 tentang Batas Landas Kontinen. Selain itu,
suatu prinsip harus memenuhi dua syarat untuk diakui sebagai hukum kebiasaan internasional
yaitu state practice (praktek negara) dan opinion yuridis civi necessitates (tidak ada negara
yang menolaknya). Dalam kasus ini, prinsip equidistance tidak dapat dikatakan sebagai hukum
kebiasaan internasional karena ada negara yang tidak menerimanya yaitu Republik Federal
Jerman.

CASE CONCERNING LEGALITY OF THE THREAT OR USE OF


NUCLEAR WEAPONS, ICJ REPORTS, 1996

Fakta Hukum
1. Perkara ini adalah mengenai permintaan pendapat hukum kepada Mahkamah Internasional
tentang legalitas pemilikan dan penggunaan senjata nuklir oleh negara.
2. Sejak 1945 tidak ada penggunaan senjata nuklir oleh negara-negara. Selain itu beberapa
resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum PBB diantaranya resolusi 1653 (XVI) tanggal 24
November 1961 mengenai senjata nuklir, menunjukkan adanya suatu bentuk pelarangan
senjata nuklir.
3. Meskipun tidak pernah menggunakannya, beberapa negara masih memiliki senjata nuklir.
Selain itu beberapa kebijakan internal negara-negara tersebut juga cenderung menolak
adanya pelarangan terhadap pemilikan senjata nuklir.
4. Pada tanggal 3 September 1993, yang pertama sekali mengajukan permohonan kepada ICJ
untuk membuat Advisory Opinion atas “Legality of The Threat or Use of Nuclear Weapon”
adalah WHO (World Health Organization).
5. WHO menyadari bahwa bahaya penggunaan senjata nuklir mengancam kehidupan
manusia. Karena itu satu-satunya jalan untuk menanganinya adalah dengan melarang
penggunaan maupun pemilikan senjata nuklir.
6. WHO kemudian mengajukan masalah ini kepada Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB
kemudian mengajukan suatu permintaan pendapat hukum kepada Mahkamah Internasional.
7. Dalam proses di Mahkamah, ada partisipasi dari beberapa negara yang mewakili negara
pemilik senjata nuklir dan negara penentang pemilikan senjata nuklir.

Permasalahan Hukum
Dari sudut pandang efek terhadap kesehatan dan lingkungan, apakah penggunaan senjata
nuklir oleh suatu negara dalam perang atau konflik bersenjatata lainnya merupakan
pelanggaran terhadap kewajiban negara dalam hukum internasional termasuk Konstitusi WHO?

Putusan Mahkamah
Dengan suara 11 berbanding 3, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada hukum perjanjian
internasional maupun hukum kebiasaan internasional dan pelarangan universal mengenai
ancaman atau penggunaan senjata nuklir.
Dasar Pertimbangan Putusan
1. Mahkamah melihat masih adanya pertentangan yang kuat antara negara-negara yang
pemilik senjata nuklir dengan negara-negara penentangnya. Fakta-fakta tersebut membuat
Mahkamah berpendapat bahwa ia tidak dapat menemukan adanya suatu opinio juris.
2. Mengenai resolusi 1653 (XVI) yang menjadi salah satu rujukan tentang pelarangan senjata
nuklir, para negara pemilik senjata nuklir menyatakan bahwa resolusi tersebut tidak memiliki
kekuatan mengikat. Resolusi tersebut juga tidak dianggap sebagai suatu pernyataan
kebiasaan internasional mengenai pelarangan senjata nuklir. Negara-negara pemilik senjata
nuklir tersebut juga menganggap bahwa resolusi tersebut tidak hanya tidak mendapat
persetujuan dari negara pemilik senjata nuklir tapi juga dari negara lainnya.
3. Mahkamah berpendapat bahwa meskipun resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat,
terkadang resolusi tersebut memiliki nilai normatif. Resolusi tersebut dapat menjadi bukti
yang penting untuk membuktikan keberadaan suatu ketentuan atau munculnya suatu opinio
juris. Untuk mengetahui apakah kondisi tersebut dialami oleh resolusi Majelis Umum ini,
maka perlu diperhatikan isi dan kondisi resolusi tersebut saat dibuat. Selain itu juga penting
untuk melihat apakah ada suatu opinio juris sebagai karakter normatifnya. Atau apakah
serangkaian resolusi yang menunjukkan perubahan secara gradual terhadap opinio juris
yang dibutuhkan untuk membentuk suatu hukum kebiasaan.
4. Secara umum, resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB menunjukkan
bahwa penggunaan senjata nuklir merupakan pelanggaran langsung terhadap Piagam PBB
dan penggunaan senjata itu harus dilarang. Akan tetapi perlu diingat fakta bahwa dalam
pembuatan dan ketika diadopsi oleh Majelis Umum, resolusi-resolusi tersebut mendapat
voting negatif dan abstain dari negara-negara anggota. Selain itu meskipun resolusi-resolusi
tersebut menitikberatkan pada masalah senjata nuklir, resolusi tersebut masih belum cukup
menunjukkan adanya suatu opinio juris mengenai ilegalitas dari penggunaan senjata
tersebut.

Analisis Putusan
1. Negara yang menghendaki pelarangan senjata nuklir menyatakan bahwa pelarangan
tersebut bersumber salah satunya dari hukum kebiasaan internasional. Mereka berpendapat
bahwa tidak adanya penggunaan senjata nuklir sejak perang dunia ke 2 tahun 1945 telah
membentuk suatu kebiasaan internasional. Fakta tersebut, menurut mereka juga
menunjukkan adanya suatu opinio juris mengenai pelarangan senjata nuklir.
2. Sementara negara yang tetap mendukung pemilikan senjata nuklir menyatakan bahwa tidak
adanya penggunaan senjata nuklir tidak berarti bahwa hal itu telah menciptakan suatu
kebiasaan internasional. Tidak adanya penggunaan senjata nuklir lebih dikarenakan belum
munculnya keadaan-keadaan yang dapat memicu ataupun membenarkan penggunaan
senjata nuklir. Mereka menyatakan tetap membutuhkan pemilikan senjata nuklir dalam
keadaan darurat menyangkut kepentingan vital negaranya. Menurut negara-negara ini fakta
tersebut juga tidak mencerminkan adanya suatu opinio juris.
3. Agar suatu kebiasaan internasional dapat menjadi hukum kebiasaan internasional, ada dua
syarat yang harus dipenuhi yaitu states practice dan opinio juris. Dalam kasus ini states
practice tidak terpenuhi karena masih banyak negara-negara yang menolak pelarangan
pemilikan senjata nuklir. Opinio juris juga tidak terpenuhi karena resolusi-resolusi yang
dijadikan rujukan ternyata tidak menunjukkan adanya hal tersebut. Penolakan terhadap
resolusi tersebut juga mengurangi legitimasinya dalam mengatur senjata nuklir. Karena
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak ada suatu hukum kewajiban internasional
yang melarang pemilikan senjata nuklir.
4. Dengan tidak adanya kewajiban internasional yang melarang pemilikan senjata nuklir
tersebut, maka satu-satunya hal yang mempengaruhi bagaimana penggunaan dari
teknologi nuklir tersebut adalah kebijakan dari negara yang memiliki teknologi tersebut.
Lagipula suatu pelanggaran penggunann senjata nuklir baru dapat dilihat apabila di dalam
penggunaan tersebut terdapat pelanggaran terhadap ketentuan yang ada yang berlaku
secara internasional atau adanya pelanggaran terhadap kebiasaan internasional yang telah
diakui.
5. Jika kita lihat dari sudut pandang kemanusiaan, dimana senjata nuklir dipandang sebagai
senjata penghancur missal,dan hal ini secara umum dan universal dilarang oleh kebiasaan
internasional. Jika dipandang dari kegunaannya, yaitu untuk membunuh mahluk hidup
secara missal, maka hukum internasional melarang itu, dan demi perdamaian dunia di masa
yang akan datang.

HAK ASASI MANUSIA

GENOCIDE, BOSNIA-HERZEGOVINA V. SERBIA-MONTENEGRO, ICJ


REPORTS, 2007
Fakta-Fakta Hukum

1.Pihak dalam kasus ini adalah Serbia-Montenegro (atau Yugoslavia) dengan Bosnia-
Herzegovina terkait masalah pembantaian massal (genocide) terhadap etnis muslim
Bosnia.

2.Kasus ini terjadi di wilayah Srebrenica, Bosnia pada tahun 1995 dimana kasus ini
disebut juga Pembantaian Srebrenica atau Genosida Srebrenica merujuk kepada
pembunuhan sekitar 8000 lelaki dan remaja etnis Muslim Bosnia pada Juli 1995 oleh
pasukan Serbia pimpinan Jenderal Ratko Mladić.

3.Pada tahun 1992, terjadi peperangan antara Serbia dan Bosnia. Karena kekejaman dan
pembersihan etnis yang dilakukan para tentara Serbia, umat Muslim Bosnia harus
mengungsi ke kamp-kamp pengungsian. Srebrenica adalah salah satu kamp terbesar
dan dinyatakan oleh PBB sebagai zona aman. Kamp itu sendiri dijaga oleh 400 penjaga
perdamaian dari Negeri Belanda.

4.Pada tanggal 6 Juli 1995, pasukan Korps Drina dari tentara Serbia Bosnia mulai
menggempur pos-pos tentara Belanda di Srebrenica. Pada tanggal 11 Juli pasukan
Serbia memasuki Srebrenica. Anak-anak, wanita dan orang tua berkumpul di Potocari
untuk mencari perlindungan dari pasukan Belanda. Pada 12 Juli, pasukan Serbia mulai
memisahkan laki-laki berumur 12-77 untuk "diinterogasi". Pada tanggal 13 Juli
pembantaian pertama terjadi di gudang dekat desa Kravica. Pasukan Belanda
menyerahkan 5000 pengungsi Bosnia kepada pasukan Serbia, untuk ditukarkan dengan
14 tentara Belanda yang ditahan pihak Serbia. Pembantaian terus berlangsung. Pada
16 Juli berita adanya pembantaian mulai tersebar. Tentara Belanda meninggalkan
Srebrenica, dan juga meninggalkan persenjataan dan perlengkapan mereka. Selama 5
hari pembantaian ini, 8000 etnis muslim Bosnia telah terbunuh.

5.Bosnia-Herzegovina kemudian menuntut Serbia-Montenegro ke ICJ untuk bertanggung


jawab sebagai negara suksesor dari Yugoslavia atas pembantaian yang menurut Bosnia
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong berat, selain menuntut agar
para pelaku genosida ini diadili di International Criminal Tribunal for former Yugoslavia
(ICTY) yang dibentuk oleh PBB berdasarkan Resolusi No. 867 tahun 1993.

6.Mahkamah Internasional kemudian mengajukan provisional measures untuk mencegah


tindakan genosida pada tanggal 8 April dan 13 September 1993.
Masalah Hukum

Masalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah apakah tindakan genosida yang
dilakukan oleh pasukan Serbia di Srebrenica pada tahun 1995 dapat digolongkan sebagai
pelanggaran HAM berat sesuai dengan ketentuan dalam Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide, sehingga Serbia-Montenegro harus bertanggung jawab
sebagai negara suksesor dari Yugoslavia?

Putusan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional setelah mempertimbangkan putusan dari International Criminal


Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan European Court of Human Rights (ECHR) mengenai
penafsiran terhadap Konvensi mengenai Pencegahan dan Penanggulangan terhadap
Kejahatan Genosida, pada tanggal 26 Februari 2007 memutuskan bahwa tindakan
pembantaian etnis muslim di Srebrenica pada tahun 1995 sesuai dengan Article II (a) dan (b)
dari Konvensi dimana tindakan Serbia dalam hal ini merupakan tindakan genosida dan
termasuk pelanggaran HAM berat sehingga Serbia-Montenegro sebagai negara suksesor dari
Yugoslavia terikat pada kewajiban internasional dalam Konvensi, namun Serbia tidak dianggap
bersalah atas genosida tersebut. Serbia juga dianggap telah melanggar ketentuan Genocide
Convention Article I dan VI mengenai kewajiban untuk mengekstradisi pelaku kejahatan
internasional, dalam hal ini Jenderal Ratko Mladic sebagai pemimpin dalam operasi
pembantaian di Srebrenica. Selain pasukan Serbia Bosnia, pasukan paramiliter Serbia,
Scorpion (kalajengking) juga turut bersalah atas pembantaian ini. Serbia juga dianggap telah
melanggar provisional measures yang diajukan oleh Mahkamah pada 8 April dan 13 September
1993 mengenai pencegahan genosida.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Dasar pertimbangan Mahkamah adalah karena Serbia dianggap telah melanggar


kewajiban yang disebutkan dalam Konvensi mengenai Pencegahan dan Penanggulangan
Terhadap Kejahatan Genosida dengan melakukan pembantaian terhadap etnis muslim Bosnia
di Srebrenica yang merupakan kamp pengungsi yang dilindungi dan ditetapkan sebagai zona
aman oleh PBB. Mahkamah berpendapat bahwa pengertian genosida yang diatur dalam
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang digolongkan ke
dalam pelanggaran HAM berat adalah kejahatan berupa pemusnahan secara massal terhadap
ras tertentu sehingga tindakan pembantaian etnis muslim Bosnia yang dilakukan oleh pasukan
Serbia dapat dikatakan sebagai tindakan genosida. Namun, Mahkamah tidak menganggap
Serbia bersalah karena berdasarkan pernyataan pemerintah Republik Federal Yugoslavia
menanggapi provisional measures yang dikeluarkan oleh ICJ pada tahun 1993 dimana
pemerintah dengan kekuasaannya akan berusaha untuk mencegah terjadinya tindakan
genosida dan untuk memastikan bahwa tindakan genosida tersebut tidak dilakukan oleh
operasi militer atau para-militer dibawah pemerintah.

Mahkamah mengambil contoh dari kasus Nicaragua v. Amerika Serikat dimana


Amerika Serikat secara hukum tidak bertanggung jawab terhadap tindakan Contra guerillas.
Dalam kasus ini, Serbia dianggap tidak bersalah oleh Mahkamah karena tindakan genosida di
Srebrenica dilakukan oleh kesatuan dibawah pimpinan Jenderal Ratko Mladic dan bukan
merupakan perintah dari pemerintah Republik Federal Yugoslavia.

Analisis Kasus

Menurut kelompok kami, dalam kasus ini, putusan Mahkamah sudah tepat
menggolongkan kasus pembantaian di Srebrenica kedalam tindakan genosida yang merupakan
pelanggaran HAM berat. Namun, putusan Mahkamah kurang tegas karena tidak memutus
bersalah kepada Serbia meskipun telah terbukti bahwa pasukan Serbia yang telah melakukan
pembantaian di Srebrenica. Meskipun tindakan genosida ini merupakan komando dari Jenderal
Ratko Mladic, namun selama tindakan tersebut dilakukan atas nama Serbia, maka Serbia juga
harus bertanggung jawab dan memenuhi kewajibannya seperti yang telah ditentukan dalam
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. Dalam hukum pidana
internasional, dikenal pertanggungjawaban terhadap pelanggaran HAM berat hingga ke
panglima tertinggi dari operasi tersebut dimana segala tindakan yang dilakukan oleh prajurit
militer dianggap merupakan perintah dari atasan selama tindakan tersebut merupakan tindakan
militer. Dengan kata lain, dalam kasus ini, Jenderal Ratko Mladic sebagai panglima dari operasi
ini harus bertanggung jawab terhadap tindakan genosida yang dilakukan oleh pasukannya.
Serbia sendiri dianggap gagal mencegah ataupun mengadili pelaku pembantaian ini, sekalipun
Serbia memiliki hubungan erat dengan militer Serbia Bosnia.

TOM BEANAL, U.S. DISTRICT COURT, E.D. LOUISIANA, 1997


(Beanal v. Freeport-McMoran,Inc.)

Fakta Hukum

• Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Tom Beanal yang berasal dari Irian Jaya,
Indonesia melawan Freeport-McMoran, Inc. dan Freeport-McMoran, Copper & Gold Inc.
Perusahaan tersebut memiliki cabang di Indonesia yang bernama PT. Freeport Indonesia.
• Di dalam kasus ini terdapat pelanggaran internasional yang terkait dengan aktivitas
perusahaan tambang domestik di wilayah Indonesia, provinsi Irian Jaya.
• Freeport-McMoran, Inc. dan Freeport-McMoran Copper & Gold, Inc., adalah perusahaan
Delaware yang berpusat di New Orleans, Lousiana. Freeport tersebut mengoperasikan
“Graberg Mine”, yaitu tambang perunggu, emas, dan perak yang berlokasi di Gunung
Jayawijaya di Irian Jaya, Indonesia. Tambang tersebut memiliki luas 26.400 km2.
• Beanal adalah penduduk yang berasal dari Tamika, Irian Jaya di Republik Indonesia. Dia
juga adalah pemimpin dewan Suku Amungme dari Lembaga Adat Suki Amungme.
• Pada bulan Agustus 1996, Beanal mengajukan gugatan terhadap Freeport kepada
pengadilan distrik (district court) di Eastern District of Lousiana atas adanya pelanggaran
terhadap hukum internasional.
• Beanal menyatakan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi atas kasus ini dengan
berdasarkan pada ketentuan dalam 28 U.S.C. § 1332 (" § 1332"), the Alien Tort Statute, 28
U.S.C. § 1350 (" § 1350"), dan the Torture Victim Protection Act of 1991, sec. 1, et seq., 28
U.S.C. § 1350 note.
• Dalam gugatannya yang pertama, Beanal menyatakan bahwa Freeport telah melakukan
pelanggaran berupa pemerasan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan cultural
genocide. Beanal lalu menyatakan bahwa operasi tambang Freeport tersebut telah merusak
lingkungan dan habitat di Amungme yang contohnya adalah perubahan arah aliran sungai
di wilayah suku Amungme tersebut tinggal. Freeport telah dituduh melakukan cultural
genocide dikarenakan telah menghancurkan habitat dan simbol religius di Amungme,
sehingga diharuskan penduduk setempat untuk berpindah tempat. Selain itu, pasukan
keamanan privat yang dimiliki oleh Freeport telah bekerja sama dengan angkatan
bersenjata di Indonesia dalam pelanggaran hak asasi manusiatersebut. Dengan
berdasarkan pada pelanggaran-pelanggaran tersebut, Beana menuntut ganti rugi.
• Freeport telah mengajukan beberapa alasan kepada pengadilan untuk menolak tuntutan
Beanal berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan lingkungan.
Freeport menyatakan bahwa Beanal tidak memiliki dasar yang kuat dalam mengajukan
tuntutan mengenai pelanggaran hak asasi manusia atas namanya diri sendiri maupun
mewakili orang lain.
• Dalam hal Alien Tort Statute, Freeport menyatakan bahwa Alien Tort Statute tidak
menyebutkan adanya tindakan secara privat, dan Freeport bukanlah pelaku yang bertindak
atas nama negara. TVPA memang mengadopsi Alien Tort Statute dalam tuntutan mengenai
penyiksaan dan pembunuhan secara ekstrajudisial. Dalam hal pelanggaran HAM yang
diajukan berdasarkan Torture Victim Protection Act (TVPA), Freeport berpendapat bahwa
Beanal tidak dapat mengajukan gugatan tersebut dikarenakan TVPA tidak diterapkan
kepada suatu perusahaan, Freeport bertindak atas dasar hukum asing, dan Beanal tidak
dapat mempergunakan solusi hukum secara lokal.
• Dalam hal tuntutan yang diajukan dengan berdasarkan § 1350, Freeport berpendapat
bahwa Beanal tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengajukan tuntutan mengenai
permasalahan lingkungan, Beanal tidak dapat mengajukan tuntutan dikarenakan praktek
terhadap lingkungan tidak melanggar hukum suatu negara, doktrin act of a state tidak
sesuai dengan tuntutan Beanal, doktrin dari local action memandatkan untuk penolakan,
dan tuntutan tersebut dapat dibatalkan dikarenakan tidak dilakukan dengan pihak yang
seharusnya tidak dapat dipisahkan, yaitu Republik Indonesia.

Permasalahan Hukum

Apakah district court of Louisiana memiliki yurisdiksi atas kasus ini dengan berdasarkan pada
ketentuan dalam 28 U.S.C. § 1332 (" § 1332"), the Alien Tort Statute, 28 U.S.C. § 1350 (" §
1350"), dan the Torture Victim Protection Act of 1991, sec. 1, et seq., 28 U.S.C. § 1350 note?

Putusan Mahkamah

District Court of Louisiana memutuskan untuk menolak seluruh tuntutan yang diajukan oleh
Beanal. Hal ini dikarenakan :

1. Penggugat hanya memiliki dasar untuk melakukan gugataan dengan mengatasnamakan


dirinya dan suku Amungme, tetapi tidak untuk pihak lainnya untuk eksekusi secara
keseluruhan dan penghilangannya;
2. Penggugat tidak dapat mengajukan gugatan genosida dalam pelanggaran prinsip hukum
internasional, berkaitan dengan Alien Tort Statute;
3. Penggugat tidak dapat mengajukan gugatan dengan berdasarkan pada Alien Tort Statute
karena Freeport bertindak atas dasar hukum Indonesia;
4. Torture Victim Protection Act tidak dapat mengadopsi ketentuan di dalam Alien Tort Statute
untuk permasalahan penyiksaan dan pembunuhan secara ekstrajudisial yang dilakukan
bertentangan dengan hukum nasional;
5. Torture Victim Protection tidak dapat diterapkan pada perusahaan;
6. Penggugat tidak dapat mengajukan gugatan mengenai perusakan lingkungan dalam
pelanggaran terhadap hukum nasional.

Dasar Pertimbangan Putusan

• Berdasarkan pada ketentuan dalam § 1350, untuk mengajukan gugatan dengan


berdasarkan pada ketentuan tersebut harus memenuhi 3 syarat, yaitu : (1) an alien sues (2)
for a tort, dan (3) committed in violation of the law nations. Kedua syarat pertama telah
dipenuhi oleh Beanal, akan tetapi untuk persyaratan ketiga tidak dapat dipenuhi. Hal ini
dikarenakan Freeport bertindak tidak atas nama negara, dalam hal ini mereka bertindak
atas nama swasta, serta tidak adanya bukti bahwa ini merupakan tindakan dari suatu
negara.
• Dalam hal “cultural genocide” seperti yang diajukan oleh Beanal, pengadilan menyatakan
bahwa tindakan genosida yang dimaksud oleh Beanal tersebut tidak memiliki kejelasan di
dalamnya, sebab tidak ada bukti secara eksplisit bahwa Freeport telah melakukan tindakan
genosida terhadap suku Amungme tersebut.
• Pengadilan menyatakan bahwa tindakan Freeport terkait dengan perusakan lingkungan
yang bertentangan dengan prinsip hukum internasional, Beanal tidak dapat membuktikan
hal tersebut hal ini dikarenakan Freeport melaksanakan aktivitasnya berkaitan dengan
program di dalam perusahaannya, bukan atas nama tindakan dari suatu negara.
• Untuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang diajukan berdasarkan Alien Tort
Statute, pengadilan menolak gugatan dari Beanal dikarenakan Beanal tidak dapat
memberikan fakta secara spesifik atas apa yang terjadi pada dirinya secara individual dan
Beanal hanya menuntut ganti rugi saja tanpa ada bukti yang mendukung tuntutan tersebut.
• Dalam tuntutan Beanal yang berkaitan dengan Torture Victim Protection Act, Beanal
mengajukan gugatan tersebut dengan berdasarkan pada adanya pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Hal ini memiliki kesamaan dengan tuntutan Beanal yang berkaitan dengan
ATS. Oleh karena itu, pengadilan memutuskan untuk menolak tuntutan tersebut
dikarenakan Beanal tidak dapat memberikan bukti yang cukup untuk mendukung tuntutan
tersebut. Selain itu, tuntutan yang berkaitan dengan TVPA ini tidak dapat diajukan kepada
suatu perusahaan.

Analisis Kasus

• Dalam kasus ini dapat kita lihat bagaimana penanganan suatu perkara yang berkaitan
dengan hak asasi manusia, yang dalam kasus ini terjadi antara Tom Beanal melawan
Freeport-McMoran, Inc. dan Freeport-McMoran, Copper & Gold Inc.
• Di dalam kasus ini, Beanal mengajukan gugatannya mengenai adanya pelanggaran berupa
pemerasan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan cultural genocide yang
dilakukan oleh Freeport. Aktivitas Freeport tersebut telah mengakibatkan suku Amungme
terpaksa melakukan pemindahan dikarenakan adanya perusakan lingkungan berupa
perubahan arah aliran sungai di wilayah suku Amungme tersebut tinggal, serta suku
Amungme juga telah mengalami cultural genocide diakibatkan aktivitas Freeport tersebut.
• Dalam proses peradilan yang dilakukan oleh district court Louisiana, tuntutan ganti rugi
yang diajukan oleh Beana seluruhnya ditolak oleh distric court tersebut. Pada intinya, hal ini
dikarenakan tuntutan yang diajukan oleh Beana tersebut tidak memiliki bukti yang cukup di
dalamnya serta adanya kesalahan dalam penggunaan ketentuan yang dijadikan sebagai
dasar oleh Beana.
• Pada dasarnya, tuntutan yang diajukan oleh Beana tersebut dapat diterima dan dapat
diproses oleh distric court tersebut, akan tetapi karena kurangnya bukti-bukti faktual yang
mendukung gugatan Beana tersebut, district court Louisiana menolak tuntutan tersebut dan
Freeport pada dasarnya tidak dapat dituntut dalam kasus ini dikarenakan Freeport adalah
sebuah perusahaan swasta di Amerika Serikat yang memiliki cabang di Indonesia dan
posisi Freeport pada saat itu didukung oleh perundang-undangan di Indonesia yang berlaku
saat itu.
• Cultural Genocide tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari genosida. Hal ini
dikarenakan prinsip dasar dari pengertian genosida mengenai pembantaian massal secara
fisik tidak sesuai dengan pengertian dasar dari cultural genocide, yang lebih berkaitan
dengan hilangnya suatu kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat dikarenakan adanya
berbagai faktor baik dari dalam maupun dari luar.
DOE v UNOCAL 2002 US APP. LEXIS 19263 (9TH CIR. 2002) US
COURT OF APPEALS FOR THE 9TH CIRCUIT

Fakta Hukum

• Dalam kasus ini terdapat dua gugata, salah satunya pihak yang bersengketa dalam kasus
ini adalah John Doe (Myanmar) melawan Unocal Corporation, sebuah perusahaan di
California, John Imle, dan Roger C. Beach.
• Pihak yang bersengketa dalam gugatan lainnya adalah John Roe III, John Roe IV, John
Roe VIII, dan John Roe X melawan Unocal Corporation dan Union Oil Company of
California.
• Burma telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak tahun 1958. Dan pada tahun 1988,
oleh sebuah pemerintah militer yang berbeda (Mymanmar Militer), mereka mengubah nama
negaranya menjadi Myanmar. Pemrintahan Myanmar yang baru tersebut memiliki bentuk
negara dengan sistem ekonomi yang dikuasai oleh negara.
• Pada tahun 1992, Myanmar Oil, perusahaan minyak di Myanmar, memberi izin kepada
perusahaan minyak Prancis, Total S.A., untuk memproduksi, transportasi, dan menjual gas
alam dari Yadana, di pantai Myanmar. Kerja sama tersebut berupa Gas Production Joint
Venture, di mana akan dilakukan pengambilan gas alam di wilayah Yadana tersebut yang
ditransportasi melalui pipa sepanjang pantai Myanmar melalui bagian dalam negara
Thailand. Proyek kerja sama tersebut dikelola melalui cabang perusahaan yang dinamakan
Total Myanmar Exploration and Production.
• Pada tahun itu juga, Unocal Corporation beserta perusahaan subsidinya, Union Oil
Company of California ikut turut serta dalam proyek tersebut dan memperoleh keuntungan
sebesar 28%. Untuk itu, perusahaan Unocal juga membuka cabang di wilayah tersebut
yang dinamakan Unocal Myanmar Offshore Company. Mereka juga membuka cabang lain
yang dinamakan Unocal International Pipeline Corporation untuk mempertahankan saham
mereka yang sebesar 28% tersebut. Dalam kerja sama tersebut, Total Myanmar ditugaskan
sebagai operator dalam pyoyek join venture tersebut dan bertanggung jawab dalam
penerimaan pegawai dan pembayaran upah yang harus mereka peroleh.
• Dalam pelaksanaan proyek tersebut, Militer Myanmar melakukan penjagaan dan
pengamanan dalam proyek tersebut, dan hal ini telah diketahui oleh Unocal. Penjagaan
tersebut dilakukan terutama di sepanjang pipa tersebut dan ini memasuki wilayah
Tenasserim di Myanmar.
• Penggugat dalam kasus ini adalah penduduk desa yang berasal dari Tenasserim, yaitu
daerah pemukikan yang dilewati Proyek tersebut, Penggugat, John Doe menyatakan bahwa
Militer Myanmar memaksa mereka dengan menggunakan kekerasan untuk bekerja sebagai
buruh dalam proyek tersebut. Selain kerja paksa tersebut, mereka juga menyatakan bahwa
Militer Myanmar juga telah melakukan tindakan berupa pembunuhan, pemerkosaan, dan
penyiksaan.
• Tindakan yang dilakukan oleh Militer Myanmar tersebut telah diketahui oleh Unocal dan
Total. Pada tahun 1995 Unocal telah melakukan pertemuan dengan beberapa organiasi
perlindungan hak asasi manusia terkait dengan permasalahan di Myanmar tersebut dan
pada tanggal 17 September 1996, jug a telah diadakan pertemuan dengan European Union
terkait dengan tindakan kerja paksa di Myanmar.
• Pada bulan September 1996, 4 penduduk desa dari Tenasserim, Federation of Trade
Unions of Burma, dan National Coalition Government of the Union of Burma mengajukan
gugatan kepada Uncoal dan Proyek tersebut. Penggugat menyatakan bahwa telah terjadi
pelanggaran Alien Tort Claim Pasal 28 U.S.C. § 1350 dan pelanggaran atas hukum
nasional. Salah satu dari penduduk desa tersebut juga menggugat atas adanya tindakan
kerja paksa, yang dilakukan tanpa adanya kompensasi dan adanya ancaman pembunuhan,
sepanjang wilayah di sekitar pipa proyek tersebut. Gugatan ini diajukan kepada United
States Court of Appeals, Ninth Circuit di California.
• Pada bulan Oktober tahun 1996, 14 penduduk desa dari Tenasserim juga mengajukan
gugatan kepada Unocal, Total, Myanmar Oil, Militer Myanmar, Presiden Unocal Imle, dan
Unocal CEO Beach. Mereka menyatakan bahwa proyek tersebut telah mengakibatkan
kematian kepada anggota keluarga mereka, penyerangan, pemerkosaan dan penyiksaan
lainnya, kerja paksa, dan hilangnya tempat tinggal dan properti mereka. Penggugat ini, John
Doe I, mewakili seluruh penduduk di Tenasserim atas segala penderitaan mereka dan
kerugian yang mereka dapatkan. Gugatan ini didasarkan pada adanya pelanggaran atas
ATCA dan hukum nasional. Gugatan ini juga didasarkan pada pelanggaran pada Racketeer
Influenced and Corrupt Organizations Act, U.S.C. § 1961 et seq. Gugatan ini diajukan
kepada United States Court of Appeals, Ninth Circuit di California.

Permasalahan Hukum

Apakah Unocal telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas kerja paksa,
pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan bagi warga Tenasserim oleh kelompok Militer
Myanmar, terkait dengan gugatan atas pelanggaran terhadap Alien Tort Claim Pasal 28 U.S.C.
§ 1350, Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act, U.S.C. § 1961, hukum nasional
dari suatu negara?

Putusan Mahkamah

• Pengadilan memutuskan bahwa Unocal telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan


di dalam ATCA terkait dengan adanya tindakan kerja paksa, pembunuhan, dan
pemerkosaan.
• Pengadilan memutuskan bahwa Unocal tidak melakukan pelanggaran terhdap ketentuan di
dalam ATCA terkait dengan adanya tindakan penyiksaan.
• Pengadilan tidak dapat memutuskan mengenai pelanggaran terhadap Racketeer Influenced
and Corrupt Organizations Act, dikarenakan tidak memiliki yurisdiksi atas ketentuan
tersebut.

Dasar Pertimbangan Putusan

• Alien Tort Claim Acts merupakan suatu ketentuan yang mengatur tentang norma dalam
hukum internasional dan dapat dijadikan sebagai dasar gugatan apabila terdapat
pelanggaran terhadap hukum nasional.
• Penggugat menyatakan bahwa Unocal telah membantu dan memberikan perintah kepada
Militer Myanmar untuk melaksanakan kerja paksa. Oleh karena itu, Unocal dianggap telah
melanggar ketentuan di dalam ATCA. Pengadilan menyatakan, sebagai bentuk dari
penerapan hukum internasional, suatu kerja paksa merupakan salah satu bentu dari
perbudakan secara modern. Sehingga Unocal dapat dianggap telah melanggar ATCA untuk
membantu dan memberikan perintah dalam pelaksanaan kerja paksa ini.
• Tindakan pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan menurut penggugat merupakan
dampak dari kerja paksa, sehingga tindakan negara tidak diperlukan untuk menyatakan
bahwa kasus ini telah melanggar ketentuan dalam ATCA. Akan tetapi, pengadilan
menyatakan tidak ada bukti yang cukup mengenai penyiksaan yang dilakukan oleh Militer
Myanmar, selain hanya pada pemerkosaan. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Unocal
telah melakukan tindakan penyiksaan secara eksplisit.
• Pengadilan menyatakan bahwa pengadilan distrik ini tidak memiliki yurisdiksi atas ekstra
teritorial subjek dalam gugatan Doe atas pelanggaran Racketeer Influenced and Corrupt
Organizations Act terhadap Unocal. Ini mengakibatkan Pengadilan tidak dapat memberikan
keputusannya atas gugatan ini.

Analisis Kasus

• Dalam kasus ini dapat kita lihat bagaimana penanganan suatu kasus yang berhubungan
dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang dalam kasus ini berlangsung antara
John Doe, warga dari Tenasserim, Myanmar melawan Unocal Corporation, sebuah
perusahaan di California, John Imle, dan Roger C. Beach. Serta John Roe III, John Roe IV,
John Roe VIII, dan John Roe X, yang semuanya berasal dari Myanmar melawan Unocal
Corporation dan Union Oil Company of California.
• Di dalam kasus ini, baik John Doe maupun John Roe III dan yang lainnya mengajukan
gugatannya berdasarkan adanya kerja paksa yang dilakukan oleh kelompok Militer
Myanmar terhadap warga di Tenasserim, berkaitan dengan pelaksanaan proyek
pembangunan pipa untuk pengambilan sumber daya gas alam di Myanmar.
• Dari kerja paksa tersebut, telah terjadi serangkaian tindakan pelanggaran hak asasi
manusia, yaitu pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan. Tindakan-tindakan tersebut
kemudian digugat dengan berdasarkan Alien Tort Claim Pasal 28 U.S.C. § 1350 dan
Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act, U.S.C. § 1961.
• ATCA pada dasarnya dapat digunakan sebagai suatu dasar gugatan apabila telah terjadi
pelanggaran terhadap hukum nasional dalam suatu negara. Dikarenakan tindakan kerja
paksa ini merupakan salah satu bentuk dari perbudakan, maka hal ini dapat dilakukan. Ini
mengakibatkan tindakan lainnya seperti pembunuhan serta pemerkosaan yang dilakukan
oleh Militer Myanmar dapat digugat. Akan tetapi, untuk hal penyiksaan, hal ini tidak dapat
digugat dikarenakan kurangnya bukti yang cukup atas perbuatan tersebut.
• Pengadilan distrik memiliki keterbatasan dalam memutuskan suatu gugatan yang bersifat
ekstra teritorial. Ini mengakibatkan gugatan dalam Racketeer Influenced and Corrupt
Organizations Act, U.S.C. § 1961 tidak dapat diputuskan dikarenakan tidak memiliki
yurisdiksi atas ketentuan tersebut.
• Pada dasarnya, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di dalam kasus ini disebabkan
oleh kesewenangan dari pemerintah Myanmar dalam menjalankan kewenangannya tanpa
memperhatikan kondisi dari penduduk di sekitar lokasi proyek tersebut. Hal ini dapat
dihindari sebelumnya apabila Militer Myanmar tidak berlebihan dalam menggunakan
kekuasaannya dalam menjalankan proyek kerja sama tersebut.
JOHN Doe et al v. EXXON MOBIL CORP., EXXON MOBIL OIL
INDONESIA INC., MOBIL CORPORATION, MOBIL OIL CORPORATION,
& PT ARUN LNG Co. US DISTRICT COURT FOR DISTRICT OF
COLUMBIA

Fakta Hukum
• Kasus ini adalah mengenai gugatan 11 warga negara Indonesia penduduk Aceh melawan
Exxon Mobil Corporation, Exxon Mobil Oil Indonesia Inc., Mobil Corporation, Mobil Oil
Corporation, and PT Arun LNG Co.
• Selama bertahun-tahun Exxon Mobil Corporation beserta perusahaan pendahulunya
(predecessor company) yaitu Mobil Oil Corporation dan Mobil Oil Indonesia,
mempekerjakan unit-unit militer dari angkatan bersenjata nasional Indonesia untuk
mengamankan proyek gas mereka di Aceh. Exxon Mobil merupakan perusahaan asal
Amerika Serikat.
• Anggota-anggota unit militer tersebut melakukan berbagai pelanggaran HAM terhadap
penduduk lokal. Diantaranya berupa pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, penghancuran
properti dan berbagai tindakan teror lainnya.
• Exxon Mobil tidak mengambil tindakan untuk menghentikan pelanggaran ini padahal
menurut penggugat, Exxon Mobil mengetahui atatu sepatutnya mengetahui terjadinya
pelanggaran tersebut. Ia justru terus memberikan bantuan finansial dan menyediakan
perlengkapan dan fasilitas perusahaan yang digunakan militer Indonesia untuk melakukan
dan menutupi tindakan-tindakan tersebut.
• Pada 20 Juni 2001 diajukan klaim berdasarkan (Alien Tort Claim Act) ATCA dan Torture
Victim Protection Act (TVPA) kepada Federal District Court for the District of Columbia atas
nama 11 penduduk Aceh yang menjadi korban pelanggaran HAM oleh unit pengamanan
Exxon Mobil.

Permasalahan Hukum
• Apakah Exxon Mobil telah melanggar hak-hak asasi dari para penduduk Aceh tersebut?
• Apakah Exxon Mobil dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran tersebut dan
bagaimana ganti rugi yang harus diberikan kepada penduduk Aceh tersebut?
Putusan Mahkamah
Kasus ini belum mendapat putusan akhirnya hingga saat ini (25 Mei 2009). Pada 14 Oktober
2005 US Federal Judge menetapkan bahwa beberapa klaim penggugat dapat diproses di US
District Court for District of Columbia, diantaranya termasuk pembunuhan, pencurian dengan
kekerasan, dan penyerangan. Akan tetapi menolak klaim penggugat yang didasarkan pada
ATCA dan TVPA.

Dasar Pertimbangan Putusan


• Pengadilan mengakui bahwa genosida dan penyiksaan “usually actionable” di bawah ATCA
dan melanggar hukum negara-negara. Akan tetapi dalam kasus ini Pengadilan menyatakan
bahwa tidak mungkin untuk menentukan lingkup tanggung jawab Exxon atas tindakan-
tindakan pasukan pengamanan tanpa mencampuri urusan dalam negeri Indonesia secara
tanpa izin.
• Pengadilan juga menyatakan bahwa ia tidak menemukan dugaan bahwa Exxon
berpartisipasi dalam tindakan melawan hukum, atau mengendaikan tindakan pasukan
pengamanan tersebut.
• Pengadilan berpendapat bahwa klaim penggugat tidak cukup menunjukkan bahwa masalah
yang diajukan berada dalam yurisdiksi Pengadilan berdasarkan ATCA. Akan tetapi klaim
lainnya yang tidak didasarkan pada ATCA diterima oleh Pengadilan dan dapat diproses.
• Salah satu hal yang mungkin memengaruhi putusan hakim untuk menolak klaim yang
berdasarkan ATCA adalah surat dari US Department of State Legal Advisor William H. Taft
yang menyatakan bahwa penerapan ATCA untuk menuntut perusahaan transnasional yang
terlibat pelanggaran HAM dapat mengganggu investasi luar negeri.

Analisis Kasus
• Masalah utama dalam kasus ini adalah apakah litigasi ATCA dapat mengubah mentality
yang mengizinkan suatu korporasi melakukan bisnisnya ketika mengetahui bahwa ada
pelanggar HAM yang memanfaatkan perusahaan itu untuk menghindari tanggung jawab
dari perbuatannya.
• Nuremberg Tribunal menghasilkan salah satu prinsip dalam tanggung jawab yaitu bahwa
private defendants dapat dimintai pertanggungjawabannya atas secara sadar menikmati
keuntungan dari perbudakan buruh. Ini berarti bahwa kepentingan ekonomi tidak dapat
menjadi pembelaan atas pelanggaran HAM. Jika prinsip dari Nuremberg ini diaplikasikan ke
ATCA, maka akan menjadi jelas bahwa berdasarkan hukum internasional, memberikan
bantuan secara sadar kepada pelanggaran HAM sudah cukup ntuk menjadi dasar
pertanggungjawaban. Perusahaan multinasional harus memastikan bahwa mereka tidak
berpartisipasi (setidaknya secara sadar) dalam suat pelanggaran HAM.
• Dalam kasus ini klaim berdasarkan ATCA ditolak, salah satunya atas dasar kepentingan
investasi. Bagaimanapun akan terasa tidak adil untuk menolak suatu klaim yang diajukan
terhadap korporasi atas pelanggaran HAM karena alasan kepentingan investasi
mengalahkan hak-hak dasar manusia. Komunitas internasional telah menyepakati bahwa
hak-hak ini tidak boleh dilanggar (inviolable) dan harus dipertahankan.
• Salah satu masalah dalam menuntut perusahaan transnasional atas pelanggaran HAM
yaitu membuktikan bahwa pelaku pribadi (private actor) dapat pula melanggar hukum
internasional. Salah satu kasus yaitu Kadic v. Karadzic memperluas lingkup penerapan
ATCA. Dalam kasus ini Second Circuit menyatakan bahwa ATCA dapat menyediakan
yurisdiksi dalam kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang. Pengadilan juga menyatakan bahwa private actor sebagaimana halnya state actor
dapat melakukan pelanggaran hukum HAM internasional. ATCA menjadi berlaku tidak
hanya untuk state actor tapi juga private actor ketika hukum internasional mengindikasikan
bahwa suatu larangan tertentu bersifat mengikat state maupun non-state actor.
PRESBYTERIAN CHURCH OF SUDAN v. TALISMAN ENERGY INC. US DISTRICT
COURT FOR SOUTHERN DISTRICT OF NEW YORK

Fakta Hukum

• Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Presbyterian Church Sudan melawan
Talisman Energy Inc., dan Republik Sudan.
• Talisman, perusahaan energi Kanada, mengadakan kolaborasi dengan pemerintahan
Sudah untuk melakukan “ethnically cleansing” terhadap populasi penduduk yang menetap
di sekitar lokasi sumber minyak yang berada di bagian selatan Sudan. Hal ini dilakukan
untuk memfasilitasi aktivitas eksplorasi minyak dan pengambilannya.
• Kebijakan ”ethnic cleansing” ini ditujukan kepada warga non-Muslim, serta penduduk Afrika
yang menetap di bagian selatan Sudan. Untuk itu, maka dilakukan tindakan-tindakan seperti
pembunuhan secara ekstrayudisial, pemindahan secara paksa, serangan militer terhadap
penduduk yang menjadi sasaran, penyitaan dan pengrusakan properti, penculikan,
pemerkosaan, dan perbudakan.
• Hal ini dilakukan sebagai penerapan dari kebijakan pemerintahan Sudan yang dikendalikan
oleh National Islamic Front. Penggugat menyatakan bahwa ini merupakan bentuk dari
permusuhan kepada warga non-Muslim yang menetap di bagian selatan Sudan tersebut
berkaitan dengan sejarah dari pemerintahan Sudan penuh dengan perang saudara.
• Pada tahun 1997, pemerintahan Sudan telah dianggap oleh PBB sebagai salah satu
negara yang telah melakukan tindakan terorisme berdasarkan pada International
Emergency Economic Powers Act. Ini dikarenakan adanya perebutan sumber minyak yang
terdapat di wilayah Sudan tersebut.
• Talisman mulai menjalankan operasinya di Sudan pada bulan Oktober tahun 1998. Dan
dalam pelaksanaan operasi tersebut, kebijakan “ethnic cleaning” yang telah direncanakan
sebelumnya dijalankan. Talisman memberikan bantuan secara langsung dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut dan secara tidak langsung Talisman telah mendukung
kampanye genosida yang dilakukan oleh Pemerintah Sudan.
• Penggugat, baik merupakan warga maupun mantan warga dari Republik Sudan
mengajukan gugatan kepada Talisman Energy, Inc. dan Sudan dikarenakan adanya
pelanggaran terhadap hukum internasional berkaitan dengan aktivtas eksplorasi minyak
yang dilakukan di negara tersebut. Gugatan tersebut diajukan melalui United States District
Court Southern District of New York.
• Penggugat menyatakan bahwa tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, diantaranya adalah pembunuhuan ekstrayudisial, pemindahan secara paksa,
kejahatan perang, penyitaan dan pengrusakan properti, penculikan, pemerkosaan, dan
perbudakan. Penggugat menyatakan bahwa seluruh tindakan tersebut termasuk dalam
tindakan genosida.
• Talisman berniat untuk membantah kasus ini dikarenakan kurangnya subjek dalam
yurisdiksi tersebut, kurangnya yurisdiksi personal, kurang dasar gugatan dari penggugat,
forum non conveniens, international comity, doktrin tindakan suatu negara, doktrin
pertanyaan politis, tidak adanya tindakan penggabungan pihak yang tidak terpisahkan, dan
dikarenakan ekuitas tidak membutuhkan hal yang tidak berguna.

Permasalahan Hukum

Apakah Talisman dapat membantah gugatan yang diajukan oleh Presbyterian Church
Sudan terkait dengan adanya pelanggaran HAM dan tindakan genosida yang telah
dilakukan oleh Talisman dan Pemerintah Sudan?

Putusan Mahkamah

United States District Court Southern District of New York memutuskan bahwa tindakan
Talisman untuk membantah gugatan yang diajukan oleh penggugat tersebut ditolak.

Pertimbangan Putusan
• Hakim berpendapat bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya atas
pelanggaran norma-norma jus cogens, dan bahwa hukum internasional mengakui teori
pertanggungjawaban atas tindakan seperti konspitasi dan membantu atau bersekongkol
dalam melakukan pelanggaran tersebut. Tanggung jawab semacam ini disebut secondary
liability.
• Menurut hakim, jus cogens adalah norma yang tidak dapat diubah/pasti dan pelanggaran
terhadapnya akan menimbulkan ‘universal concern’. Jus cogens ini termasuk pelarangan
genosida, penyiksaan, perbudakan, kejahatan terhadap kemanusiaan.
• Talisman berargumen bahwa tidak ada bukti yang cukup menyatakan bahwa hukum
kebiasaan internasioal memasukkan tanggung jawab korporasi untuk pelanggaran HAM
berat, atau secondary liability untuk membantu dan berkonspirasi untuk melakukan
pelanggaran tersebut. Hakim menolak pendapat ini dan menyatakan bahwa untuk
membuktikan adanya hukum kebiasaan internasional, cukup dengan melihat praktek
negara-negara yang konsisten dengan kebiasaan tersebut dan apabila negara bertindak
secara inkonsisten dengan kebiasaan tersebut akan menimbulkan pelanggaran terhadap
hukum kebiasaan internasional. Hakim merujuk kepada putusan ICTY dan ICTR bahwa
pelarangan hukum kebiasaan internasional terhadap pelanggaran norma-norma jus cogens
seperti genosida berlaku untuk state actor maupun private actor. Hakim juga merujuk pada
kasus Sosa v. Alvarez-Machain yang secara eksplisit menunukkan adanya tanggung jawab
korporasi berdasarkan hukum kebiasaan internasional.

Analisis Kasus
• Dalam kasus ini pengadilan merujuk kepada beberapa putusan kasus terkait klaim
berdasarkan ATCA diantaranya Filartiga, Karadzic dan Unocal untuk mendukung bahwa
korporasi dapat bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional. Hukum
internasional tidak menyediakan suatu pedoman khusus untuk menentukan apakah suatu
perusahaan transnasional melanggar HAM atau tidak. Namun dalam perkembangannya
perseorangan maupun badan hukum atau korporasi memiliki hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tertentu dalam hukum internasional. Khusus untuk individu termasuk di dalamnya
kewajiban hukum dalam konteks hukum pidana internasional.
• Dalam kerangka hukum internasional sebenarnya belum ada kesepakatan mengenai
bagaimana memproses tanggung jawab pidana dari korporasi. Statuta Roma hanya
memuat tanggung jawab pidana dari individu, bukan korporasi. Akan tetapi perkembangan
dalam hukum internasional yang ditandai dengan berbagai perjanjian internasional
mengenai kejahatan transnasional dan kejahatan terorganisir menunjukan bahwa suatu
subjek hukum selain negara dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum yang
bersifat internasional.
• Suatu negara yang mendukung atau membiarkan pelanggaran sistematis terhadap HAM
tidak memiliki sistem hukum untuk membantu orang-orang yang menjadi korban kejahatan
HAM oleh korporasi tersebut. Dalam kasus ini pengadilan mengkritik pernyataan pembelaan
dari tergugat yang menyatakan bahwa kasus ini seharusnya diadili di Sudan. Menurut
pengadilan, dalam kasus ini Sudan tidak dapat membuat pernyataan yang meyakinkan
bahwa sistem peradilan Sudan adil dan bebas dari korupsi dan tidak dapat meyakinkan
bahwa penggugat, yang menuduh pemerintah Sudan melakukan genosida dan kejahatan
perang akan mendapatkan proses peradilan yang adil.
• Elemen dari klaim ATCA sekilas terlihat sederhana yaitu penggugat harus merupakan orang
asing yang menjadi korban pelanggaran, dan pelanggaran yang dituduhkan harus
merupakan pelanggaran terhadap hukum bangsa-bangsa atau suatu perjanjian
internasional Amerika Serikat. Suatu pelanggaran merupakan pelanggaran terhadap “law of
nations” ketika ia melanggar norma hukum kebiasaan internasional. Dan dalam praktek
hanya kejahatan semacam kejahatan perang, genosida, kejahatan kemanusiaan,
penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan, yang memenuhi standar ini.
putusan Supreme Court pada kasus Sosa menegaskan bahwa hanya kejahatan yang
sangat keji (most heinous crimes) yang actionable.

Anda mungkin juga menyukai