Anda di halaman 1dari 15

c c


 
 
 
 !!"#$$%$&$' ()(*
(()*(*(* +
›  
  ?

Sebuah pemikiran tidak jarang dinisbahkan kepada bangsa yang menyebarkan dan
mengadopsinya sehingga dinyatakan, misalnya, pemikiran Eropa atau pemikiran Rusia;
kadang-kadang juga dinisbatkan kepada peletak dasar pemikiran itu sehingga sering
dinyatakan pemikiran Marxis, pemikiran Plato, atau pemikiran Hegel?

Suatu pemikiran juga acapkali disandarkan pada kaidah dasar (al-qaidah al-asasiyyah)
yang menjadi landasan pemikiran tersebut sehingga dinyatakan, misalnya pemikiran
Islam. Disebut demikian karena kaidah dasar yang membangun pemikiran tersebut
adalah kaidah Islam. Kaidah Isalam bukan berasal dari orang Arab atau manusia
lainnya. Kaidah Islam berasal dari Allah swt. Dialah yang telah memberi nama bagi
ideologi (mabda) dan agama ini dengan nama Islam?

Pemikiran Politik adalah pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan dan


pemeliharaan urusan rakyat. Merupakan pemikiran tertinggi, dibandingkan pemikiran
sastra, pemikiran hukum dan pemikiran faktual.?

Setiap gerakan tertentu tidak mungkin terjadi tanpa pemikiran yang


melatarbelakanginya. Pemikiran tersebut mungkin dapat dinamakan ideology, atau
asumsi, atau pandangan tentang hidup dan dunia (weltanschauung) yang dimiliki
sekelompok orang tentang dirinya dan dunia sekelilingnya, dan hal itu sekaligus
pembenaran dari segala tindakan yang diambilnya.?

Sejumlah pemikiran yang cukup penting terdapat di Timur Tengah, mulai dari pemikiran
Mesir Kuno, pemikiran yang terdapat di Mesopotamia, pemikiran Funisia, pemikiran
Syiria Lama dan lain sebagainya. Tidak kurang pentingnya adalah pemikiran-pemikiran
yang bermuara pada agama-agama besar monoteis yang lahir di Timur Tengah.?

Namun pemikiran yang dominan di Timur Tengah dan dianggap sangat menentukan
dewasa ini adalan Zionisme, Nasionalisme Arab, ideology kiri dan Islam.?

Diantara pemikiran-pemikiran itu, zionisme merupakan yang tertua, bukan saja karena
akarnya yang terdapat dalam agama Yahudi, akan tetapi dalam kaitanya dengan
kawasan Timur Tengah, Zionisme merupakan pemikiran pertama yang mempunyai
tujuan pasti di sana, yaitu mendirikan suatu negara bagi Yahudi di Palestina, dimana
orang-orang Yahudi yang tertindas di seluruh dunia dapat pulang ke tanah air dan
negara mereka (Laqueur 1969). Tanah Palestina ini adalah milik mereka, karena tanah
itu telah dijanjikan Tuhan kepada mereka semenjak kira-kira empat ribu tahun yang
lalu, dan dalam sejarah, mereka memang beberapa kali pernah tinggal di sana, di
sebagiannya, walaupun bukan di seluruhnya.?

Dengan demikian, nasionalisme Arab (Antonius, 1965) dapat ditempatkan di tempat


kedua, karena beberapa hal; Pertama, karena nasionalisme dalam bentuknya yang ada
sekarang adalah hasil dari pada Tatanan Wetphalia yang menjadikan negara bangsa
sebagai unit pengelompokan manusia. Nasionalisme ini penting peranannya, pertama
sebagai alat untuk melepaskan diri dari pemerintahan empirium, kekaisaran atau
kegerejaan yang sewenang-wenang dan kemudian juga dijadikan alat untuk
melepaskan diri dari kolonialisme. Maka ketika membicarakan nasionalisme arab,
peranan yang dimainkan oleh agama atau pemikiran nasrani cukup besar. Dan zionisme
pun dapat dikatakan sebagai bentuk dari nasionalisme yahudi, ketika agama yahudi
mengkhususkan diri hanya untuk kabilah-kabilah yahudi saja. Nasionalisme arab juga
telah digunakan oleh Nasser dengan partai Baathnya di Syria, Irak dll sebagai
komponen utama dari ideologinya.?

Pemikiran Kiri yang bersumber dari marxisme seperti komunisme dan sosialime,
mendapat tempat yang penting di Timur Tengah yang umumnya merupakan negara-
negara yang baru merdeka dari Penjajahan Barat. Israel menyatakan sebagai negara
sosialis, dan disana terdapat partai komunis, walau tidak berkembang. Nasser dengan
partai Baathnya menjadikan sosialisme salah satu soko guru dari pemikiran social dan
politik mereka.?

Islam sebagai pemikiran politik sebenarnya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari ajaran Islam itu sendiri. Karena Islam diyakini oleh pemeluknya adalah agama yang
komprehensif. Sejarah Islam sejak zaman Rasulullah Muhammad saw sampai sekarang
memiliki kadar politik yang sangat tinggi. Dan hal inilah yang menghadapkan Islam
dengan dunia Barat vis a vis dengan sikap saling bermusuhan, tidak hanya dalam
konteks agama, terutama dalam konteks politik.?

-  
Zionisme muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-
19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme. Ciri utama
lain dari Zionisme adalah bahwa Zionisme adalah ideologi yang jauh dari agama.?

Zionisme adalah sebuah gerakan kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk
kembali lagi ke Zion, bukit di mana kota Yerusalem berdiri. Gerakan yang muncul di
abad ke-19 ini ingin mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah yang kala itu dikuasai
Kekaisaran Ottoman Turki.?
Zionisme merupakan gerakan Yahudi Internasional. Pelopor gerakan Zionisme adalah
Theodor Herzl, yang menyusun doktrin Zionisme sejak 1882 yang kemudian
disistematisasikan dalam bukunya ƠDer Judenstaatơ (Negara Yahudi) (1896). Doktrin ini
dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897.
Theodore Herzl menggelar kongres Zionis dunia pertama di Basel, Swiss. Peserta
Kongres-I Zionis mengeluarkan resolusi, bahwa ummat Yahudi tidaklah sekedar ummat
beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat untuk hidup secara berbangsa
dan bernegara. Dalam resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi ummat Yahudi
-walaupun secara rahasia- pada Ơtanah yang bersejarah bagi merekaơ. ?
Sebelumnya Inggris hampir menjanjikan tanah protektorat Uganda sebagaimana yang
diusulkan Theodor Herzl dengan ƝUganda Planƞnya atau di Amerika Latin! Di kongres itu,
Herzl menyebut, zionisme adalah jawaban bagi Ơdiskriminasi dan penindasanơ atas
ummat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Pergerakan ini mengenal
kembali, bahwa nasib ummat Yahudi hanya bisa diselesaikan di tangan ummat Yahudi
sendiri. Di depan Kongres Herzl berkata: ƠDalam 50 tahun akan ada negara Yahudi !!!ơ
Apa yang direncanakan Herzl menjadi kenyataan pada 1948.?
Tahun 1917, Menlu Inggris keturunan Yahudi, Arthur James Balfour, dalam deklarasi
Balfour, memberitahu pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild, bahwa Inggris akan
memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina dalam membantu pembentukan tanah air
Yahudi. Lima tahun kemudian Liga Bangsa-bangsa (cikal bakal PBB) memberi mandat
ke Inggris untuk menguasai Palestina. ?

Nazi Jerman menganggap bahwa pengkhianatan Yahudi Jerman adalah biang keladi
kekalahan mereka pada PD-I yang telah menghancurkan ekonomi Jerman. Maka
mereka perlu Ơpenyelesaian terakhirơ (Endlösung). Ratusan ribu dikirim ke kamp
konsentrasi atau lari ke luar negeri (terutama ke USA). ?

Pada tahun 1947, PBB merekomendasikan pemecahan Palestina menjadi dua negara:
Arab dan Israel. 14 Mei 1948 sehari sebelum habisnya perwalian Inggris di Palestina
para pemukim Yahudi memproklamirkan kemerdekaan negara Israel, melakukan agresi
bersenjata terhadap rakyat Palestina yang masih lemah, jutaan dari mereka terpaksa
mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dll. Palestinian Refugees menjadi tema
dunia. Namun Israel menolak eksistensi rakyat Palestina ini, dan menganggap mereka
telah memajukan areal yang semula kosong dan terbelakang. Timbullah perang antara
Israel dengan negara-negara Arab tetangganya. Namun karena para pemimpin Arab
sebenarnya ada di bawah pengaruh Inggris, maka Israel mudah merebut daerah Arab
Palestina yang telah ditetapkan PBB. ?

Setelah berdirinya negara Israel pada tanggal 15 Mei 1948, maka tujuan kaum zionis
berubah menjadi pembela negara baru ini.?
Rapat Dewan Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3379 tanggal 10 Desember 1975,
yang menyamakan Zionisme dengan diskriminasi rasial. Akan tetapi pada 16 Desember
1991, resolusi tersebut dicabut kembali.?

)c ()(
Titik awal dari Zionisme yang melakukan segala kebiadaban ini bukanlah agama Yahudi,
tetapi Darwinisme Sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis yang merupakan warisan
dari abad ke-19. Darwinisme Sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang
terus-menerus di antara masyarakat manusia. Dengan mengindoktrinasikan ke dalam
otak mereka pemikiran Ơyang kuat akan menang dan yang lemah pasti terkalahkanơ,
ideologi ini telah menyeret bangsa Jerman kepada Nazisme, sebagaimana orang-orang
Yahudi kepada Zionisme.?
Banyak kaum Yahudi agamis, yang menentang Zionisme, mengemukakan kenyataan
ini. Sebagian dari para Yahudi taat ini bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara
yang sah dan, oleh karenanya, menolak untuk mengakuinya. Negarawan Israel Amnon
Rubinstein mengatakan: Ơ-       
   
         . (Amnon
Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19)?
Pendeta Yahudi, Forsythe, mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, umat Yahudi telah
semakin jauh dari agama dan perasaan takut kepada Tuhan. Kenyataan inilah yang
pada akhirnya menimpakan hukuman dalam bentuk tindakan kejam Hitler (kepada
mereka), dan kejadian ini merupakan seruan kepada kaum Yahudi agar lebih mentaati
agama mereka. Pendeta Forsythe menyatakan bahwa kekejaman dan kerusakan di
bumi adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amalek (Amalek dalam bahasa Taurat
berarti orang-orang yang ingkar kepada Tuhan), dan menambahkan: Ơ
          
   
           
              
.ơ (Rabbi Forsythe, A Torah Insight Into The Holocaust,
http://www.shemayisrael.com/rabbiforsythe/holocaust.)?
Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah
seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan: ƝZionisme berkeinginan
untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa Ʀ. ini adalah sesuatu
yang menyimpang (dari ajaran agama)ƞ. (Washington Post, 3 Oktober 1978)?
Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini: ƝMusuh
terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari
Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan
kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme
Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir
bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian
di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami Ơde-Zionisasiơ dan kembali pada
agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama
dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, ƠRight to Reply:
Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudyơ, Samizdat, Juni 1996)?
Zionisme, yang tindakannya bertentangan dengan ajaran Taurat, pada kenyataannya
adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada keingkaran
terhadap agama, dan bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya
bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi,
melainkan Zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan
agama.?
Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada bentuk-bentuk fasisme yang lain, Zionisme
juga berupaya untuk menggunakan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya.?

Sekarang ini Yahudi tetap memimpikan kembali kebesaran Israel raya raja Daud yang
wilayah kerajaannya membentang dari tepi Nil hingga Efrat di Iraq. Bendera Israel
adalah dua garis biru (Nil dan Efrat) dan bintang Daud. ?


 
 


Secara sederhana, nasionalisme arab merupakan reaksi dari sekurang-kurangnya dua
hal; Tantangan penjajahan Barat terhadap tanah Arab dan tantangan Zionisme Yahudi.?

Saham orang Arab yang beragama Kristen sangat menonjol dalam mempopulerkan
Nasionalisme Arab kepada masyarakat banyak. Ini adalah upaya untuk
mengesampingkan Islam sebagai factor dominan dalam perpolitikan Arab dan
menggantikannya dengan nasionalisme.?

Misalnya yang dilakukan oleh Partai Baath di Irak dan Syiria. filsafat ideologinya
dibentuk oleh Michel Aflak, seorang yang berpendidikan guru dari kalangan Kristen
Ortodok. Yang ditekankan oleh Aflak adalah kearaban yang telah dan selalu ada
sepanjang sejarah, bukan keislaman yang datang kemudian. ?

Hal ini terasa relevansinya ketika Khilafah Turki Utsmaniyah yang berpusat di Istambul
(Konstantinopel) yang dianggap sebagai kelanjutan dari system khilafah yang ada di
dunia Islam, ditempatkan sebagai penjajah non Arab (Turki) yang menjajah bangsa
Arab. Inggris dan negara-negara Barat kemudian menjanjikan bantuan, sehingga
kemudian keislaman yang dibawa oleh Khilafah Turki Utsmaniyah kemudian dapat
digantikan dengan nasionalisme kearaban.?

Hal inilah yang menjadi anggapan bahwa nasionalisme adalah suatu penyakit Barat
yang ditanamkan orang-orang Barat di dalam tubuh umat Islam yang telah mencerai-
beraikan persatuan umat Islam yang awalnya bernaung dalam 1 negara Khilafah Turki
Utsmaniyah menjadi lebih dari 50 negara.?

1831: Untuk mendukung strategi Ơdevide et imperaơ Perancis mendukung gerakan


nasionalisme Arab, yakni Muhammad Ali di Mesir, dan Pasya Basyir di Libanon. Khilafah
mulai lemah dirongrong oleh nasionalisme.?

›  
Keberadaan ideology kiri di Timur Tengah tidak lepas dari keberadaan Uni Sovyet yang
menjadi tulang punggung pergerakan ideology kiri di seluruh dunia.?
Gerakan sosialis sangat penting di Israel terutama ketika partai Buruh berkuasa cukup
lama, mulai dari berdirinya negara Israel tahun 1948 sampai berkuasanya partai Likud
tahun 1970-an?

Keberadaan Ideologi kiri dalam pemikiran Nasser, partai Baathnya senantiasa


berbenturan dengan pemberian tempat kepada agama pada umumnya dan Islam pada
khususnya.?

Dengan tumbangnya rezim komunis di Uni Sovyet maka posisi pemikiran kiri di Timur
Tengah dengan sendirinya mengalami penurunan.?

, 

Pemikiran Islam baik yang dinukil dari orang Arab atau dari selain orang Arab, tetap
dipandang sebagai pemikiran Islam. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara
pemikiran yang dinukil dari Imam Syafiƞi yang berkebangsaan Arab, Imam al-Bukhari
yang berkebangsaan Uzbekistan, Muhammad Asad an-Namsawi dari Austria atau Abul
Aƞla al-Mawdudi daeri India, atau pemikiran Syaikh Nawawi Al Jawi dari Banten, pun
pemikiran Hamka atau Muhammad Natsir dari Indonesia. Semuanya adalah pemikiran
Islam, meskipun terdapat keragaman ras atau bahasa pada individu-individu yang
melakukan ijtihad atau yang menukilnya. ?

Akan tetapi, pemikiran orang Arab sebelum datangnya Islam, bukannya pemikiran
Islam. Baik pemikiran itu diungkap di zaman jahiliyah pra Islam dulu, maupun di zaman
jahiliyah modern sekarang. Misalnya saja, pemikiran nasionalisme Arab yang
dikembangkan oleh George Habbas yang kemudian melahirkan pemberontakan bangsa
Arab kepada Khilafah Utsmaniyah, bukan merupakan pemikiran Islam.?

Semua pemikiran yang bersumber dari Islam, bersumber dari Al Quran dan As Sunnah,
disebut dengan pemikiran Islam. Siapa pun yang mengemukakannya. ?

Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasaat fil fikri al Islami mendefinisikan
pemikiran Islam sebagai berikut: Pemikiran Islam adalah upaya menilai fakta dari sudut
pandang Islam?

Dengan demikian, pemikiran Islam mengandung tiga hal, yakni: (1).Fakta (al-waqi);
(2). Hukum (justifikasi); (3). Keterkaitan fakta dengan hukum.?

Fakta dapat berupa benda maupun perbuatan. Fakta berupa benda hanya memiliki dua
macam hukum, yakni mubah (halal) dan haram. Sedangkan jika fakta itu berupa
perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu (wajib), mandub (sunnah), mubah,
makruh dan haram ?

Hukum atas fakta harus diambil dari dalil-dalil syariat yaitu Kitabullah dan Sunnah
Rasul, Ijmaƞ Sahabat dan Qiyas.?
Pemikiran Islam ada dua macam, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan akidah,
seperti keimanan kepada Allah, kepada Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan iman hari
akhir.?

Dan pemikiran yang berkaitan dengan hukum syariat yang bersifat praktis, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, jihad, jual beli, sewa menyewa, akad nikah, akad
perusahaan, akad khilafah, pengembangan pertanian dan perindustrian, dan lain-lain.?


  

Pemikiran Islam dibangun atas dua asas, yakni akal dan syariat.?

1.Akal?

Islam telah memerintahkan manusia untuk mempergunakan akalnya. Hal inilah yang
menunjukan bahwa akidah Islam adalah akidah aqliyyah. Akidah yang menjadi asas
bagi pemikiran Islam. Akidah yang dibangun berdasarkan akal.?

2. Syariat?

Sumber pemikiran Islam, dengan seluruh bagiannya, adalah hukum syariat yang
bersumber dari wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah yakni Ijma sahabat dan Qiyas.
Syariat merupakan asas pemikiran Islam. Sampai kapanpun, pemikiran Islam tidak akan
keluar dari syariat. Agar suatu pemikiran dianggap sebagai pemikiran Islam maka harus
digali dari dalil-dalil syariat, misalnya jihad, syura, dan iman kepada jin. Semuanya
adalah pemikiran Islam yang datang dari dalil-dalil kitabullah dan Sunah Rasul. Adapun
imperialisme, teori darwin, ataupun pemikiran sosialism, bukanlah pemikiran Islam.
Bahkan pemikiran Islam telah menjelaskan sikapnya terhadap pemikiran-pemikiran
semacam ini. Ciri khas pemikiran Islam akan hilang jika terpisah secara keseluruhan
atau sebagian dari wahyu. ?

Pemikiran Islam tidak menerima tambal sulam sebagaimana yang dilakukan sebagian
orang yang mengambil perekonomian Marxis atau kapitalism, sedangkan akhlak atau
interaksi sosialnya diambil dari pemikiran barat. Bahkan mereka terpesona dengan
setiap perkara baru dan asing kemudian menyisipkannya kepada pemikiran Islam ?

Seorang muslim mengadopsi pemikiran secara kaffah dengan sepenuh keyakinan


bahwa pemikiran islam itu adalah pemikiran yang paling jernih dan paling tinggi sebab
sumbernya berasal dari Yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui?

  ?

Akar-akar fundamentalisme Islam dapat dilacak pada gerakan Wahabi yang terjadi di
Hejaz pada akhir abad ke-19. Wahabisme dapat diklasifikasikan sebagai scriptural
fundamentalism (Arjomand, 1995), yang menekankan pada pentingnya kembali kepada
sumber Islam yang sejati, yaitu Qurƞan dan Sunnah. Lebih jauh akar-akar Wahabisme
dapat ditemukan dalam pemikiran Ibn Taimiyya, yang memprakarsai gerakan salafiyah,
dan selanjutnya pemikiran Ahmad ibn Hanbal. Yang terakhir adalah pendiri mazhab
Hambali yang mengajarkan keutamaan sunnah daripada qiyas. Pada masa awal Islam,
ide-ide fundamentalisme disemai oleh kelompok Khawarij. Kelompok ini menolak segala
bentuk hukuman di luar hukum Tuhan. La hukma illa Allah (tidak ada hukum kecuali
hukum Allah).?

Pada abad ke19, di Mesir lahir seorang pembaharu. Ia adalah Muhammad Abduh.
Pemikiran Abduh sangat penting. Ia lah orang yang pertama yang mengajarkan bahwa
Islam dapat bertemu (compatible) dengan modernitas. ?

Semangat untuk menegakkan syariƞat Islam dan bahkan mendirikan negara Islam
menjadi agenda utama kaum fundamentalis. Sementara itu beberapa kelompok Islam
fundamentalis ingin menegakkan kembali sistem kekhilafahan. Mereka menganggap
bahwa Islam tidak mengenal batasan-batasan berdasarkan etnis dan geografis. Hal itu
dianggapnya ashabiyah dan bertentangan dengan Islam. Satu-satunya ikatan yang
menghimpun seluruh masyarakat Islam adalah kesamaan aqidah, yang terangkum
dalam bentuk masyarakat ideal yang disebut ummah. Kelompok Ikhwanul Muslimin di
Mesir dan Hizbut Tahrir di Palestina adalah kelompok yang ingin menegakkan kembali
sistem kekhilafahan. Sementara itu kelompok-kelompok lainnya memiliki orientasi politik
yang bersifat lokal.?

Khazanah perbendaharaan Ơbahasa politikơ Islam, sesungguhnya tak kurang-kurang.


Misalnya, dalam Islam dikenal kata syura (musyawarah), fiqh siyasah (fikih politik),
umara, ulama, amir, raƞyah, ummah, dan sebagainya. Bernard Lewis mengakui bahwa
Islam, agama yang berbeda dengan Kristen di Barat itu, menyediakan sistem simbol
bagi mobilisasi politik paling efektif.?

Seiring dengan rontoknya Dinasti Islam dan dikuasainya wilayah-wilayah Islam oleh
kaum Kolonialis dan Imperialis Barat, khazanah bahasa politik Islam itu makin pudar.
Masa kolonialisme adalah masa yang membikin Ơperadaban politikơ Islam, sebagaimana
yang berkembang sebelumnya tereduksi dan bahkan tergusur oleh kehadiran konsep-
konsep politik baru sebagaimana ditawarkan Barat. Mulailah debat, misalnya, apakah
sekularisme politik dibenarkan dalam Islam. Kebanyakan para pemikir politik Islam
menolak gagasan sekularisme politik, sebab Islam adalah agama integral yang tidak
memisahkan soal agama dan negara.?

    › ?

         ?

Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia
merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua
entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara betul-betul organik dimana negara
berdasarkan syariƞah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau
bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik
Islam tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler,
tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala
aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha
(1865-1935), Sayyid Quthub (1906-1966), Abu al-ƝAla al-Maududi (1903-1979),
Taqiyuddin An Nabhani dan di Indonesia Muhammad Natsir.?

Kekhalifahan Usmani, baginya, merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili
Nabi pasca Abbasyiah yang mempersatukan Umat Islam di berbagai dunia yang perlu
dihidupkan kembali dengan tugas untuk mengatur urusan agama dan dunia (harasah
al-din wa siyasah al-dunya), suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-
Mawardi misalnya. Alasannya karena Al-Qurƞan, Hadis dan ijmaƞ pun menghendakinya.
Tentu saja ahl al-halli wa al-Ɲaqd, sebagai lembaga pemilih khalifah, juga perlu
dibentuk. Hanya saja ia lebih maju ketimbang pemikir politik Islam klasik yang realis
pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang
ahli fiqh (faqih) yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga
pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-halli wa al-Ɲaqd anggotanya bukan
saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid (seorang yang mampu
melahirkan keputusan hukum dari elaborasinya terhadap Al-Qurƞan dan Hadis),
melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang. Selain itu, berbeda dengan
kecenderungan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam
pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan,
mencegah penyelewengan khalifah, dan menurunkannya jika perlu, sekalipun harus
dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum (Ridha, 1341). Hanya saja ia
tidak membahas bagaimana cara mengangkat mereka. Kendati pandangan Rasyid
Ridha di atas mencerminkan alam pikiran politik Islam klasik dan pertengahan, di mana
Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi Ơutopis dan romantisơ, tetapi, walau
bagaimana pun, Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan
merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. Ia
merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan
gagasan mengenai negara Islam pada abad 20 (Eickelman dan Piscatory, 1998) yang
dikembangkan oleh Sayyid Quthub dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan
bentuk pemerintahan, yang dalam Istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy
(negara hukum Ilahi) (Sjadzali, 1993). Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthub
menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam),
yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan antara pemeluk
agama, dan didirikan di atas 3 prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil
pilihannya, dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak
mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan situasi kondisi masyarakat,
namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada supremasi hukum Islam
(syariƞah). Sayyid Quthub dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang
menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi
sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam
pengertian konsep politik Barat, karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan
hukum Tuhan, yang sebab itu tidak dibenarkan membuat kebijakan yang bertentangan
dengan ajaran dan hukum Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut
dengan konsep politik Theo-Demokrasi, suatu sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat
yang dibatasi kekuasaan Tuhan lewat hukum-hukum-Nya. Lebih jauh al-Maududi secara
eksplisit dan Quthub lewat konsep dzimmi-nya dan pembenarannya memperlakukan
diskriminasi politik berdasarkan agama secara implisit berpendirian bahwa hanya kaum
Muslimin saja yang dihitungnya sebagai khalifah Allah secara penuh. Oleh karenanya,
demikian pendirian al-Maududi, hak politik untuk dipilih sebagai kepala negara dan
sebagai anggota ahl al-halli wa al-Ɲaqd hanya dimiliki kaum Muslimin saja, sebagai
konsekuensi pembagian kewarganegaraan Islam yang didasarkan pada agama. Kaum
non Muslim yang berada dalam negara Islam harus tunduk pada hukum Islam,
dibebaskan dari bela negara, dan tidak berhak menduduki jabatan-jabatan kunci. Di
antara pokok-pokok pikiran politik Quthub yang lain adalah keharusan kepala negara
beragama Islam dan ia ditentukan lewat pemilihan warga negara. Akan tetapi Sayyid
Quthub tidak menjelaskan mengenai mekanisme pemilihan kepala negara tersebut dan
masa jabatannya, sesuatu yang menunjukkan bahwa ia belum memahami betul seluk
beluk ilmu politik (Tripp, 1998).?

Al-Maududi mengalami hal yang lebih parah lagi. Di samping ia tidak menjelaskan
mekanisme pemilihan kepala negara dan anggota Majlis Syura, ia juga tidak
membolehkan pencalonan diri dan kampanye untuk jabatan tertentu dan ia pun tidak
memberikan jalan keluar. Kecuali itu, menurutnya juga kepala negara tidak harus
menerima baik keputusan mayoritas Majlis Permusyawaratan, tetapi boleh mengambil
keputusan minoritas bahkan mengabaikan suara majlis tersebut. Partai baginya tidak
boleh didirikan dan kedudukan anggota Majlis Permusyawaratan hanyalah sebagai
pribadi. Kalaupun harus dibentuk partai, mesti tunggal, dan partai itu adalah partai
pendukung pemerintah. Al-Maududi sebagaimana Quthub, pendahulunya, terlalu
mengidealkan sistem politik Khulafa Rasyidin. Padahal meskipun secara umum dalam
model pemerintahan Khulafa Rasyidin terdapat esensi demokrasi seperti keterbukaan
dan pemilihan, tetapi pada masa itu tidak ada pola yang baku (al-Maududi, 1996 ;
Sjadzali, 1993)?

    ?

Kebalikan dari tipologi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak
berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan
tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan
negara. Pemikir yang masuk ke dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq (1888-1966),
A. Luthfi al-Sayyid (1872-1963). Adalah Ali Abd. al-Raziq dari sekian pemikir Muslim
tentang politik yang mendapatkan respon luar biasa bahkan kutukan dari kalangan
ortodoksi atau tradisional. Raziq mengawali penjelasan pikiran politiknya tentang
kekhalifahan yang supra nasional menurut kalangan ortodoks semisal Rasyid Ridha
Islami. Ia menolak sistem khilafah tersebut sebagai sebuah sistem yang tidak
mempunyai landasan yang kokoh dari Al-Qurƞan, Hadis dan ijmaƞ. Dia secara agak rinci
membahas ketiga sumber tersebut yang mengukuhkan wajibnya kekhalifahan. Al-
Qurƞan katanya tidak menyebut kekhalifahan seperti yang kita kenal dalam sejarah. ?

Rasa-rasanya hanya ijmaƞlah yang menjadi alat legitimasi dan itu pun, menurut Raziq
bukan ijmaƞ shahih. Hal ini kerena kekhalifahan terbentuk oleh ijmaƞ sukuti (kesepatan
diam) yang tidak semua masyarakat menyepakatinya. Hampir setiap kekhalifahan ada
saja pihak yang menjadi oposisi. Demikian pula argumentasi wajibnya kekhalifahan
untuk tujuan terlaksananya tugas-tugas keagamaan dan kepemerintahan tidaklah juga
tepat. Ketidaktepatan itu karena dalam kenyataan kekhalifahan selamanya merupakan
bencana bagi Islam dan umatnya. Raziq memang mengakui pentingnya negara untuk
kepentingan sosial, lepas dari agama dan keyakinan, tetapi itu tidak harus berbentuk
kekhalifahan, melainkan bisa beraneka ragam bentuk dan sifatnya (al-Razig, 1925;
Enayat, 1982).?

Dari sanalah kemudian ia berkesimpulan bahwa misi nabi adalah misi agama an sich
yang tidak ada kaitannya dengan politik keduniawian. Nabi adalah utusan Allah SWT
yang ditugaskan untuk mendakwahkan Islam tanpa bermaksud mendirikan negara.
Nabi tidaklah mempunyai kekuasaan sekuler, negara atau pemerintahan. Nabi tidaklah
mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan.
Setelah beliau wafat, tidak ada seorang pun yang dapat mengganti tugas risalah-nya.
Kalaupun Abu Bakar muncul, maka kepemimpinannya merupakan bentuk baru yang
bersifat profane (duniawi). Abu bakar menyebut dirinya sebagai khalifah Rasul
(pengganti/wakil Rasul) agar kaum Muslimin taat kepadanya seperti taat kepada
Rasululah. ?

Berdasarkan hal itu semua Kekhalifahan lepas dari Islam dan tidak ada kaitan
dengannya. Persoalan kenegaraan semuanya diserahkan pada akal pengalaman
kemanusiaan belaka (al-Raziq, 1925). Sebagai pemikir sekuler, Ali Abd. al-Raziq
agaknya mampu meyakinkan pembaca bukunya Ơal-Islam wa Ushul al-Hukmơ bahwa
pemerintahan menurut Islam tidaklah harus berbentuk khilafah, tetapi ia tidak berhasil
meyakinkan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbeda dengan Nabi
sebelumnya. Mengingat Nabi, terutama dalam konteks hukum, kendati tugas utamanya
adalah kerasulan, melakukan beberapa hal yang hampir sama dengan kepala
pemerintahan atau negara (Sjadzali, 1993).?

Ali Abd al-Raziq dalam soal pemikiran politik Islam sekuler ini tidaklah sendirian. A.
Luthfi al-Sayyid berpendirian sama. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang
berbeda. Dalam membangun negara, kaum Muslimin tidak harus mengikatkan diri pada
Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan. ?

     ?


Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang
mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua
yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini,
kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi
dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana
pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir
1888), Muhammad Abduh (1862-1905), Fazlurrahman, Mohamed Arkoun.?

Menurut Haikal, di dalam Al-Qurƞan dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar
kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang
musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qurƞan
juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu.
Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun)
memang di baiƞat masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui
pemilihan. ?

Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik
agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar
(Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak
ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. ?

  prinsip monotheisme murni.  prinsip sunnah (hukum) Allah yang
tidak pernah berubah, dan   persamaan antar manusia sebagai konsekuensi
prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat
persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa (Haikal, 1993; Azhar, 1996).?

Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun
Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Hal ini karena menurutnya Islam bukanlah
agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan
antar sesama Muslim dan sesama manusia lainnya yang untuk memberlakukannya
dibutuhkan penguasa atau negara. Dalam bahasa lain, bagi Abduh, kaitannya dengan
agama adalah subsider saja dan dalam pendapatnya juga bahwa tidak ada orang atau
lembaga yang memegang kekuasaan keagamaan dengan mempunyai kewenangan
wakil Tuhan di muka bumi. Baginya, kepala negara merupakan seorang sipil yang
diangkat dan dapat diberhentikan rakyat, dan kepada mereka dia bertanggung jawab.
Seiring dengan pengakuannya akan konsep demokrasi, Program Partai Nasional Mesir
yang dirumuskannya sendiri pun membuka keanggotaan kepada seluruh rakyat Mesir,
yang beragama Islam, Yahudi, Kristen atau lainnya (Sjadzali, 1993).?

Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir
Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun menyebut bahwa dari
prinsip-prinsip yang disebut Al-Qurƞan dan Hadis, preferensi Islam adalah system politik
demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam
adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya
(para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme
ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif,
saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan
gender atau kulit. Selanjutnya Fazlur-Rahman menjelaskan kosep syûra (musyawarah).
Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang
terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa alƛƝalqd, tetapi nasehat timbal balik
melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur-Rahman ini
dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak
semata-mata bersifat material seperti di Barat (Azhar, 1996). Karena pilihannya pada
sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi,
seperti terhadap al-Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.?

Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia


menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya
bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional
seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling
tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem
kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik
yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada
terminologi baiƞah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui
negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo
kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep
dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim. Dalam pandangannya, kendati
penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah
mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi
tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan
tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern,
Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun
merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak
lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan
sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan
dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syariƞat yang tujuannya, bagi Arkoun,
untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat,
sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi
dan sosialnya secara harmonis (Arkoun, 1996; Azhar, 1996; Putro, 1998). ?

Sayyid Qutub dan al-Maududi di satu pihak, dan Ali Abd al-Raziq di pihak lain. 
meski memiliki kekurangan, demokrasi dipahaminya sebagai sesuatu yang tiada ternilai
harganya, yang untuk sampai sekarang belum ditemukan alternatif yang lebih unggul.
Demokrasi, baginya adalah majority rule minority right, yaitu sistem politik dengan
prinsip mayoritas dengan tidak mengganggu kepentingan minoritas yang paling
fundamental. ?


›  ?

Azhar, Muhamad. 1996. Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat,?

Jakarta: Rajawali Pers?

Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik?

Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina?

Eickelman, Dale F. dan James Piscatory. 1998. Ekspresi Politik Muslim, Bandung:?

Mizan?

Enayat, Hamid. 1982. Modern Islamic Thought, Austin: University of Texas Press?

Haikal, Muhamad Husein. 1993. Pemerintahan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus?

Madjid, Nurcholish. 1994. ƠDemokrasi dan Demokratisasi di Indonesiaơ, dalam Elza?

Peldi Taher. Demokratisassin Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta:?

Paramadina?

Madjid, Nurcholish. 1999. ƠAsas-Asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat?

Madaniơ, dalam Makalah Seminar 22 Pebruari 1999)?

Mauddudi. 1996. Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan?

Mauddudi. 1990. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan?

Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang?

Pabotingi, Mochtar, ƠTentang Visi, Tradisi, dan Hegomoni Bukan Muslim: Sebuah?

Analisisơ, dalam Mochtar Pabottingi (Ed)., Antara Visi, Tradisi, dan?

Hegomoni Bukan Muslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia?

Rahardjo, Dawam. 1989. ƠSyuraơ, dalam Ulumul Qurƞan, No. 3 Vol. 1?


Raziq, Ali Abd. 1925. al-Islam wa Usul al-Hukm, Kairo: Mathbaƞah Mishra?

Ridha, Rasyid. 1341. al-khilafah au al-Imamah al-Uzhma, Kairo: al-manar?

Santoso, Agus Edi (Ed.), Tidak Ada Negara Islam, Surat-Surat Politik Nurcholish?

Madjid ƛ Moh. Roem?

Syadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press?

Tamara, M. Nasir dan Elza Peldi Taher. 1996. Agama dan Dioalog antar Peradaban,?

Jakarta: Paramadina?

Tanja, Viktor. 1991. HMI, Sejarah dan Kedudiukannya di Tengah Gerakan Muslim?

Pembaharu di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan?

Tekad, No. 16/th. 1, 15-21 Februari 1999?

http://www.harunyahya.com/indo/artikel/049.htm?

http://www.harunyahya.com/indo/artikel/046.htm?

Anda mungkin juga menyukai