Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nadya Yolanda Nainggolan

NIM :14050118120031

Politik Luar Negeri China

Great Leap Forward Dan Revolusi Kebudayaan


Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada 1 Oktober 1949 setelah terjadinya Perang
Sipil di China,dimana Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengalahkan Republik Tiongkok
(Partai Nasional Tiongkok),memiliki tujuan untuk melakukan pembagian tanah yang merata
yang dipimpin oleh Mao. Karena pada saat Partai Nasional Tiongkok berkuasa,tuan tanah
mempunyai kepemilikan tanah yang penuh atas pertanian,atau sarat dengan kapitalis dan
sangat bertentanan dengan komunis (atau disebut Revolusi Agraria,yang mengeluarkan
kebijakan dimana kepemilikan tanah perseorangan dibagi menjadi milik kolektif secara adil
yang diolah bersama sama untuk kepentingan negara).
Hingga pada tahun 1953, Mao memulai berbagai kampanye untuk menekan mantan
tuan tanah dan kapitalis. Investasi asing sebagian besar musnah dan Mao melakukan
modernisasi pada bidang perindustrian, pertanian, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan
komunikasi. Fokus pembaharuan Mao dalam bidang industrialisasi Cina menyebabkan
kurangnya perhatian pada bidang pertanian, sehingga menyebabkan pembangunan di bidang
lain tertinggal jauuh,misalnya pertanian yang tidak bisa menyeimbangi perkembangan
industri. Otonomi daerah tidak dapat berkembang untuk menjalankan kebijakan-kebijakan
yang dirasa sesuai dengan karakteristik wilayahnya akibat pola kepemimpinan Mao yang
sentralistik, karena keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Mao menyadari akan kekurangan dari kepemimpinan yang sentralistik dan berusaha
memperbaikinya dengan meluncurkan program Lompatan Jauh ke Depan (the Great Leap
Forward) pada tahun 1958-1959.Program ini Mao adopsi sendiri mengikuti Rencana Lima
Tahun Pertama yang didasarkan pada gaya ekonomi yang dikendalikan secara terpusat gaya
Soviet,dimana bertujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan material dan kebudayaan dari
masyarakat untuk mengubah Cina menjadi Negara sosialis industri yang sesuai dengan tujuan
sosialisme dalam Kongres Partai ke-8 serta membangkitkan ekonomi Tiongkok melalui
insdustrialisasi besar-besaran dengan memanfaatkan tenaga kerja yang murah yang
dilakukan dengan 2 cara,yakni meningkatkan produksi baja sebagai bahan baku dan
pendirian industri ringan serta konstruksi.
Namun,bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,produksi pertanian
menurun drastis, baja yang dibuat di desa tidak dipakai, namun Partai Komunis
Tiongkok tetap membuat laporan angka-angka produksi yang dipalsukan.Hal ini
kemudian didukung dengan putusnya hubungan ekonomis dengan Uni Soviet.Hal ini
diakibatkan juga karena target produksi yang ditetapkan sangat tidak realis bagi para
petani.
Kondisi ini mengakibatkan terjadi kelaparan terbesar dalam sejarah manusia dan
diperkirakan 30 juta orang mati .Rencana ingin membangun perekonomian Tiongkok
melalui aspek industri,namun yang terjadi malah kebalikannya,yakni bencana kelaparan
dan membunuh jutaan rakyat Tiongkok.Hingga 4 tahun kemudian Mao Zedong tahun
1959 mundur menjadi Presiden RRT karena dianggap gagal. Memberi penegasan bahwa,
“Lompatan Jauh ke Depan” telah gagal .Meski demikian, Mao pada tahun 60-an muncul
lagi dengan gagasan Revolusi Kebudayaan.

Revolusi Kebudayaan

Menurut Mao,setiap masyarakat berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan


kondisi ekonomi, sosial, dan politiknya. Karena kondisi objektif masing-masing
masyarakat unik, maka tidak ada satupun perkembangan masyarakat yang berjalan
mengikuti teori keniscayaan sejarah Marx. Bukan tujuan ditentukan sejarah melainkan
kehendak revolusioner yang menentukan sejarah.Revolusi yang merupakan suatu bagian
sejalan dari perubahan sosial adalah suatu proses kontinyu. Terjadinya revolusi
tergantung dari ada tidaknya kehendak revolusioner massa dan adanya suatu bangunan
partai yang kuat. Revolusi Mao adalah salah satu dari sekian tahap perubahan
masyarakat yang direncanakan, dan akan terus berlangsung hingga tercapainya
sosialisme sebagai cita-cita akhir masyarakat. Mao tidak menentukan berapa lama suatu
revolusi akan berlangsung, ia hanya menyatakan bahwa revolusi akan berakhir ketika
sosialisme telah tercapai di seluruh negara di dunia. Inilah revolusi permanen. Reformasi
Agraria, Rencana Pembangunan Lima Tahun, Lompatan Jauh ke Depan, serta Revolusi
Kebudayaan adalah serangkaian gerakan revolusi permanen pada masa pemerintahan
Mao. Kontinyuitas dalam gerakan revolusi diperlukan untuk menjaga kesatuan tujuan
dan kesamaan kehendak antara pemerintah dan rakyat.

Asumsi Mao, penggulingan pemerintahan lama dan pengalihan alat-alat produksi


kepada proletariat saja belum cukup untuk terwujudnya masyarakat baru, kecuali telah
terbentuk suatu konsep yang sama dalam pikiran masyarakat Dengan kata lain, bentuk -
bentuk kesadaran sosial dan bangunan atas masyarakat lama harus digantikan oleh
ideologi baru.Secara resmi Revolusi Kebudayaan dicanangkan pada pertemuan Komite
Sentral ke-8 tahun 1966, tercantum dalam 16 poin resolusi sebagai petunjuk atas
tindakan rakyat dalam masa revolusi. Atas nama penghapusan "4 hal-hal kuno" (4 olds),
yaitu: kebudayaan, gagasan pemikiran, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan kuno, Tentara
Merah (Red Guards) berhak menghancurkan segala hal yang berhubungan atau
mengingatkan mereka dengan peradaban Barat dan feodalisme termasuk benda-benda
warisan sejarah. (Kaiming, 1986: 226-227) .

Dengan dorongan dari Mao, Tentara Merah berperan penting dalam menggelar
gerakan menumpas pejabat, guru, dan kaum intelektual yang dicap sebagai borjuis maupun
kontrarevolusioner. Sejumlah aksi masa digelar untuk mengecam orang-orang yang dianggap
'berjalan di jalur kapitalis', 'borjuis intelektual' dan cap-cap buruk lainnya. Pada bulan-bulan
berikutnya, gerakan tersebut meningkat dengan cepat saat para siswa membentuk kelompok
paramiliter yang disebut Pertahanan Merah atau atau “Red Guards” dan menyerang serta
melecehkan kelompok manula dan intelektual China. Sebuah kultus kepribadian ditujukan
kepada Mao, sama seperti orang Uni Soviet mengkultuskan Josef Stalin. Pemikiran Mao yang
disebut Maoisme, kemudian banyak didalami oleh faksi-faksi pergerakan di China.
Akar dari kekacauan ini adalah perseteruan politik di tingkat elit pemerintahan,
perbedaan ideologi menyebabkan terpecahnya kepemimpinan menjadi 2 pihak yaitu:
pendukung Mao dan yang anti Mao. Masing-masing berusaha mencari massa sebanyak-
banyaknya, generasi muda adalah target mereka. Dukungan rakyat merupakan legalisasi
posisi seseorang dalam pemerintahan, keadaan ini dimanfaatkan untuk mencapai tujuan -
tujuan untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka dari pemerintahan. Kekuasaan
tertinggi pada saat itu berada di tangan massa, yang menentukan apakah seseorang
disebut revolusioner atau kontra-revolusi.

Lin Biao, salah seorang pendukung Mao menerbitkan buku saku yang sangat
populer pada masa itu, terkenal dengan sebutan "buku merah kecil" (lile red book), b erisi
kutipan-kutipan perkataan Mao, sebagai pedoman tindakan anggota Tentara Merah dan
rakyat secara umum. Buku ini sengaja diterbitkan dalam upaya kultus individu terhadap
Mao yang pada saat itu telah turun dari jabatan presiden, sekaligus sebagai legitimasi
kekuasaan Mao. Dengan faksi yang berbeda dari gerakan Pertahanan Merah yang berjuang
melawan dominasi, banyak kota di China mencapai ambang kerusuhan pada bulan September
1967, ketika Mao menyuruh Lin Biao mengirim pasukan tentara untuk memulihkan
ketertiban. Tentara segera memaksa banyak anggota Pertahanan Merah perkotaan ke daerah
pedesaan, di mana gerakan tersebut kemudian menurun. Di tengah kekacauan, ekonomi
China anjlok, dengan penurunan produksi industri pada tahun 1968 sebesar 12 persen di
bawah tahun 1966.

Seluruh tindakan masyarakat harus didasarkan atas argumen-argumen yang kuat


dan bukan atas dasar kekuatan fisik, inilah semboyan yang selalu diserukan oleh Lin
Biao dan Jiang Qing sebagai pemimpin revolusi kebudayaan. Namun pada kenyataannya
ini adalah nol besar, karena Tentara Merah yang mempunyai wewenang untuk
menentukan benar atau salah seseorang, cenderung melakukan kekerasan secara fisik da n
mengesampingkan rasionalitas. Akhirnya,banyak korban jiwa yang terbunuh serta
mendapat penyiksaan,dan pastinya memberikan dampak,baik jangka panjang maupun
pendek dari berbagai aspek kehidupan. Namun,pada ahirnya masyarakat China
menganggap revolusi ini hanyalah sebuah cara yang bersumber dari pemikiran Mao, yang
tampaknya lebih sekadar hanya perebutan kekuasaan di China.

Anda mungkin juga menyukai