Anda di halaman 1dari 31

PENGADILAN HAM DI

INDONESIA
By

RONI EFENDI,M.H

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Sebagai lembaga peradilan, keberadaan
Pengadilan HAM di Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari berlakunya sistem
hukum Pidana Internasional. Dalam
aplikasinya sistem hukum tersebut
dapat ditegakan dengan dua cara, yaitu
Direct Law Enforcement System
(Penagakan secara Langsung) dan
Indirect Law Enforcement System
(Penagakan Tidak Langsung). Dapat
dilihat dalam skema berikut :
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Direct Indirect
Enforcement Erforcement
System System

International Military
Hybrid Model (Mixed National)
Tribunal Nurembreg 1945

Pengadilan Nasional
International Military
Tribunal Tokyo 1946 (Pengadilan HAM di
Indonesia)

International Criminal
Tribunal For The Former
Yugoslavia (ICTW) 1993

International Criminal
Court 2002 Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Direct Enforcement System
1. International Military Tribunal Nurembreg 1945
Berakhirnya PD II pada tahun 1945 menyisakan
korban meninggal dunia lebih kurang 60 juta &
penderita cacat yang tidak terhitung. Pendrita
keluarga yang kehilangan keluarganya, selain itu
juga kerugian materil bagi negara-negara konflik
juga tidak terhitung. Kekejaman Nazi dalam PD II
mendorong masyarakat Internasional untuk
membentuk pengadilan internasional guna
mengadili para penjahat perang.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Upaya tersebut dimulai tahun 1942 dengan
ditandatanganinya Deklarasi Negara Sekutu di
St James’s Palace London yang menyatakan
bahwa tindakan-tindakan Jerman beserta
sekutunya merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum Internasional
terutama bertentangan dengan hukum
kebiasaan perang di Darat (Konvensi Den Haag
1907)

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Langkah selanjutnya adalah deklarasi tentang
kekejaman Jerman yang ditandatangani oleh
Presiden Roosevelt, Perdana Menteri Winston
Churchill serta Premier Stalin di Moskow pada
tanggal 1 Nov 1943. Deklarasi tersebut berisikan
bahwa setiap gencatan senjata pemerintah
Jerman, pejabat pemerintah Jerman atau anggota
partai Nazi akan bertanggung jawab atas
tindakan kekejaman, pembantaian dan
pelaksanaan kegiatan tersebut. Para pelaku akan
diserahkan kepada negara tempat terjadinya
tindakan tersebut dan akan diadili. Kemudian
dibentuknya komisi investigasi kejahatan perang
dan Pendirian Mahkamah Kejahatan Perang PBB.
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Pada tahun 1945 dilakukan penuntutan dan
penghukuman terhadappenjahat-penjahat
perang utama negara-negara poros Eropa pada
tanggal 8 Agustus 1945 yang dikenal dengan
London Agreement sebagai legalisasi atas
Mahkamah Militer Internasional Nurembreg.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Sifat Militer

Karakteristik
Mahkamah

Ad Hoc &
Sifat
Khusus
Internasional
(Danger,
(Perjanjian
Retroaktif and
Mulitateral)
inabsentia)

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
TINDAK PIDANA YANG MENJADI
YURISDIKSI MAHKAMAH INI
1. War Crime
2. Crime Against Peace
a. Merencanakan Perang agresi.
b. Persiapan perang
c. Memulai peperangan
d. Turut serta dalam peperangan
3. Crime Against Humanity.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
MAHKAMAH MILITER INTERNASIONAL TOKYO
International Milatary Tribunal For The Far East
Tahun 1946
Mahkamah Militer Tokyo ditujukan pada
pemimpin dan perwira militer dan sipil Jepang
yang melakukan kejahatan sebagaimana
ditentukan dalam Statuta Pembentukan
Mahkamah Militer Tokyo 19 Januari 1946.
Ratione Materae pada Mahamah Tokyo adalah :
1. Crimes Against Peace
2. Conventional War Crimes
3. Crimes Against Humanity

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Rationae Personae adalah pelaku utama kejahatan
Perang, yaitu mereka (baik pejabat sipil maupun
pemimpin militer Jepang), yang merencanakan,
melaksanakan perang, maupun yang harus
bertanggung jawab atas kelalaian untuk mengambil
tindakan padahal mengetahui bahwa kejahatan itu
terjadi atau sedang berlangsung.

Kelemahannya adalah pengadilan tersebut hanya


mengadili pelaku kejahatan perang dan kejahatan
kemanusiaan dari pihak yang kalah perang,
sedangkan mereka tidak dapat menuntut pihak yang
menang dan perbuatan mereka melanggar hukum
internasional. Contohnya Jepang tidak diperbolehkan
untuk menuntut Amerika Serikat atas Bom Atom
yanmg dijatuhkannya di Nagasaki dan Herosima.
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Kelemahan selanjutnya adalah bahwa
pengadilan tersebut mendapat kritikan telah
bertentangan dengan asas legalitas. Di mana
pengadilan tersebut memberlakukan asas
retroaktif di dalam kegiatan operasionalnya.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
International Criminal Tribunal For
The Former Yugoslavia (ICTY)
&
International Criminal Tribunal For
The Former Rwanda (ICTR)

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Pembentukan Mahkamah Ad Hoc Den Hag (disebut
Mahkamah Ad Hoc Den Hag karena berkedudukan di
Den Hag Belanda) atas usul PBB untuk mengadili para
pelanggar hukum Humaniter Internasional di bekas
wilayah Yogoslavia. ICTY dibentuk berdasarkan
mekanisme dewan keamanan PBB dengan
karakteristik :
1. Merupakan independent organ yang
memperhatikan sifat yudisial dan bukan forum
untuk mengadili semua perkara yang merupakan
kewenangan dewan.
2. Merupakan suatu temporary organ yang eksistensi
dan kelanjutannya tergantung pada proses
pemulihan atau pemeliharaan perdamaian dan
keamanan di wilayah bekas Yugoslavia.
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
3. Merupakan Ad hoc jurisdictional
mechanism, yang pembentukannya tidak
secara langsung dihubungkan dengan
pembentukan suatu yurisdiksi kejahatan
internasional yan bersifat tetap.
4. Mahkamah terbatas pada penerapan aturan
yang ada dalam hukum humaniter.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
International Criminal Tribunal For The
Former Rwanda (ICTR)
Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk setelah
terjadinya perang saudara besar-besaran
antara Suku Tutsi dan Hutu. Permusuhan
antara kedua suku tersebut sudah ada
semenjak negara tersebut di bawah
pemerintahan kolonial Belgia, karena
pemberian fasilitas yang berlebihan kepada
suku Tutsi yang jumlahnya hanya 15 % dari
total penduduk Rwanda, hal ini menimbulkan
kecemburuan sosial di kalangan etnis Hutu.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Ketika etnis Tutsi menyatakan perjuangan
kemerdekaan dan akhirnya Rwanda ditinggalkan
oleh Belgia, kemudian diadakan pemilihan umum
dan dimenangkan oleh suku Hutu. Presiden
terpilih bernama Habyarimana yang melakukan
tindakan diskriminatif sehingga peperangan yang
dimulai tahun 1962 tidak dapat dihindari antara
kedua suku tersebut. Sekitar 800.000 jiwa tewas
dari perang saudara dan sebagian suku Tutsi
harus mengungsi ke negara-negara lain untuk
menghindari penyiksaan dari suku Hutu.
Kebanyak korban meninggal dengan cara
dianiaya terlebih dahulu, para wanita diperkosan
dan baru pada akhirnya dibunuh.
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
PBB baru mengambil tindakan untuk
menghentikan pembantaian umat manusia
setelah mendapat desakan dari berbagai
negara dengan mengirimkan pasukan
perdamaian (Peace keeping force) pada tahun
1994. Mahkamah ad hoc Rwanda dibentuk
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No
955 Tagun 1994. Mahkamah ini dibentuk
untuk mengadili pelaku utama kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan
dan pelanggaran konvensi Jenewa 1949.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
International Criminal Court
(Mahkamah Pidana Internasional)

Tahun 1948 PBB mengeluarkan Dekiarasi Universal Hak


Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang
menjadi dasar hukum internasional baru bagi persoalan
HAM.

Dibentuknya ICC (International Crime Court) 17 Juni 1998 di


Roma. Dalam konferensi / sidang Unitet Nations Diplomatic
Conference On Criminal Court.

ICC mulai bekerja pada 2002 untuk mengadili kejahatan


perang, pembersihan etnik (genosida), kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan agresi
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Tanggungjawab Negara
(State Responsibility)
 Teori tanggungjawab negara

◦ Tidak ada satu negarapun yang dapat menikmati hak-


haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain.
Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain,
menyebabkan negara tersebut wajib untuk
memperbaiki pelanggaran hak itu. Dengan kata lain
negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya

◦ Tanggungjawab negara timbul bila ada pelanggaran


atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban itu
berdasarkan perjanjian internasional maupun
kebiasaan internasinal

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Berlakunya Hukum Internasional
 Exhausion of Local Remedies
◦ Local remidies : langkah-langkah penyelesaian
sengketa yang diberikan oleh negara

◦ Exhausted : didahulukan

 Doktrin Imputabilitas
◦ Suatu negara bertanggungjawab atas kesalahan
yang ditimbulkan oleh organnya.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
PELANGGARAN HAM YANG BERAT

Statuta Roma:
– Genocide
– Crimes against humanity
– War crimes
– The crime of Agression

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Yurisdiksi Material
 Kejahatan Genocida
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu
kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti
misalnya :
1. Membunuh anggota kelompok tersebut;
2. Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap
anggota kelompok tersebut;
3. Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok
tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran
fisik secara keseluruhan atau sebagian;
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk
mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut;
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu
kepada kelompok lain

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
 Kejahatan Kemanusiaan (Crimes again
humanity)
Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu
kelompok penduduk sipil dengan mengetahui serangan
itu :
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Deportasi atau pemindahan paksa;
5. Memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan
fisik dengan melanggar aturan dasar hukum
internasional;
6. Penyiksaan

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
7. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
penghamilan paksa, sterilisasi paksa, atau suatu bentuk
kekerasan seksual lain yang cukup berat;
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat
diidentifikasi atau kolektifitas atas dasar politik, ras,
nasional, etnis, budaya, agama, gender,sebagai
diidentifikasikan dalam ayat 3, atau dasar lain yang secara
universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan
hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap
perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap
kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah;
9. Penghilangan paksa;
10.Kejahatan apartheid;
11.Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang
secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka
serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Kejahatan Perang (War Crimes)
Suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan
hukum internasional, terhadap hukum
perang oleh satu atau beberapa orang, baik
militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang
ini disebut penjahat perang. Setiap
pelanggaran hukum perang pada konflik
antar bangsa merupakan kejahatan perang.
Pelanggaran yang terjadi pada konflik
internal suatu negara, belum tentu bisa
dianggap kejahatan perang.
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
 Kejahatan Perang (War Crimes)
1. Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 12
Agustus 1949, yaitu perbuatan berikut ini
terhadap orang-orang atau hak milik yang
dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi
Jenewa
2. Pelanggaran serius terhadap hukum dan
kebiasaan yang diterapkan dalam sengketa
bersenjata internasional
3. Sengketa bersenjata yang bukan sengketa
internasional, pelanggaran serius pasal 3
Konvensi Jenewa 1949

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
HUKUM PERANG
1. Hukum mengenai tindakan yang
dapat diterima dalam peperangan,
seperti Konvensi Jenewa, yang
disebut "Jus in bello“ atau konflik
bersenjata;
2. Hukum mengenai penggunaan
kekuatan senjata yang diizinkan,
yang disebut "Jus ad bellum".

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Kejahatan Agresi (Agression)
 Jenis kejahatan yang belum didefinisikan
dalam Statuta Roma 1998
◦ Pengabaian etika dan aturan perang paling ekstrim

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
Cara kerja Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk
Sampai Pada Proses International Criminal Court

1. Melakukan pengkajian (studies) terhadap


pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, baik
dalam suatu negara tertentu maupun secara
global. Terhadap kasus-kasus pelanggaran yang
terjadi, kegiatan Komisi terbatas pada himbauan
serta persuasi. Kekuatan himbauan dan persuasi
terletak pada tekanan opini dunia internasional
terhadap pemerintah yang bersangkutan.
2. Seluruh temuan Komisi ICC dimuat dalam
Yearbook of Human Rights yang disampaikan
kepada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
Dikutip dari Hukum Pidana
Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H
3. ICC sesuai dengan tugasnya, segera
menindakianjuti baik pengaduan oleh
anggota maupun warga negara anggota
PBB, serta hasil pengkajian dan temuan
Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk
diadakan penyidikan, penahanan, dan
proses peradilan.

Dikutip dari Hukum Pidana


Internasonal Writen By Dr. Shinta
Agustina,S.H.,M.H

Anda mungkin juga menyukai