Anda di halaman 1dari 19

TUGAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

TOKYO TRIAL DAN NUREMBERG TRIAL

Disusun oleh :

1. Adella Rachma Juliani 11000117140492

2. Setia Aji Pamungkas 11000117130358

3. Nanda Virdia Kumala 11010116120076

4. Ristar Mangaraja Sinaga 11010116120049

5. Arisyi Rais 11010116130255

6. Yohana Vinaria Rajagukguk 11010116120123

KELAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL (A)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadirnya sebuah peradilan pidana internasional di latarbelakangi
oleh keinginan untuk mengadili para penjahat kemanusiaan. Sebelum
adanya pengadilan pidana internasional beberapa peradilan sudah pernah
didirikan untuk mengadili penjahat perang terkhusus setelah perang dunia
kedua terjadi. Nuremberg Trial dan Tokyo Trial dibentuk untuk mengadili
para pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
terjadi pada perang dunia kedua saat itu.1

Nuremberg Trial atau disebut juga proses Pengadilan Nuremberg


merupakan sebuah pengadilan militer internasional yang dibentuk oleh
empat kekuatan besar sekutu, yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni
Soviet, dan Perancis. Nuremberg Trial sendiri adalah hasil dari gagasan
pemimpin negara-negara sekutu untuk “menyeret” petinggi Nazi Jerman
ke hadapan pengadilan militer internasional. Gagasan dan proses
pembentukan mahkamah ini berlangsung ketika perang masih
berkecamuk. Bersamaan dengan situasi perang yang sudah mulai berbalik,
dimana Jerman mengalami kekalahan di banyak front pertempuran, pada
saat itu juga pemimpin negara-negara sekutu mulai mempersiapkan suatu
mekanisme hukum untuk menuntut dan mengadili para penjahat perang.

Jika merujuk pada proses pembentukannya, Pengadilan Nuremberg


sebetulnya sudah digagas sejak Oktober 1943, dimana ketika itu Majelis
Internasional London berhasil menyusun draf konvensi untuk mengadili
kejahatan perang yang terjadi di dalam yurisdiksinya berdasarkan hukum
positif Inggris.2

1
Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional, (Padang: Andalas University Press, 2006), hal. 1
2
Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, (Yogyakarta:
Erlangga, 2010), hal. 48
Perkembangan yang terpenting dalam proses pembentukan Pengadilan
Nuremberg, terjadi pada bulan Juni 1945. Pada saat itu pemerintah negara
AS, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet bersepakat untuk mengadakan
konferensi di London guna membahas dan membentuk pengadilan militer
internasional yang akan mengadili penjahat perang dari pihak Jerman.
Puncaknya, yaitu pada tanggal 8 Agustus 1945, keempat negara sekutu
tersebut menandatangani London Charter of the International Military
Tribunal, atau yang lebih dikenal dengan sebutan London Charter.3

Untuk penjahat perang Jepang selama Perang Dunia II, gagasan


pembentukan pengadilan internasional muncul pada bulan Desember
1945 oleh empat negara sekutu yang berkepentingan atas Jepang pasca
Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan China
mengadakan pertemuan di Moskow. Pertemuan itu menghasilkan
kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah atas kejahatan perang
yang telah dilakukan oleh Jepang selama perang berlangsung.

Berbeda dengan Pengadilan Nuremberg yang dibentuk melalui


London Charter yang di tandatangani 8 Agustus 1945, Pengadilan Tokyo
justru dibentuk melalui proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu
di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Dalam Pasal 1 proklamasi
itu, Jendral Douglas Mac Arthur menyatakan “There shall be established
an International Military Tribunal for the Far East for the trial of those
person charged individually, or as members of organization, or in the
both capacities, with offences which includes crimes against peace.”
Artinya: "Harus dibentuk suatu Pengadilan Militer Internasional untuk
Timur Jauh guna mengadili orang yang dituduh secara individual, atau
sebagai anggota organisasi, atau dalam kapasitas keduanya, atas
pelanggaran yang menyangkut kejahatan terhadap perdamaian”4.

3
Ian Brownlie, International Law and the use of Force by States, (New York: University Press,
1963), hal. 162
4
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, Hal. 71
Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang
pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini
dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).5 Selain itu,
dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal
konsep individual criminal responsibility. Dari latar belakang tersebut
maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang Nuremberg
Trial dan Tokyo Trial itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka
permasalahan kami menarik permasalahan berikut untuk dijadikan
pembahasan dalam makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan dari Nuremberg Trial dan Tokyo Trial?

2. Bagaimana dampak dari Nuremberg Trial dan Tokyo Trial bagi


perkembangan peradilan pidana internasional?

5
Harris D.J, Cases and Material on International Law, (London: Street and Maxwell, 1973),
Appendix I hal. 541
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan dari Nuremberg Trial dan Tokyo Trial

1. Nuremberg Trial
Setelah Perang Dunia Ke-II berakhir, pihak sekutu membentuk
pengadilan militer internasional pertama yang bertujuan untuk
menghukum pejabat senior politik dan militer dengan dakwaan kejahatan
perang dan kejahatan serius lainnya. Empat negara sebagai kekuatan
utama sekutu antara lain Perancis, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika
Serikat membentuk International Military Tribunal (IMT) di Nuremberg
(atau dalam ejaan lain disebut Nürnberg), Jerman untuk menghukum
penjahat perang dari “European Axis”.6 IMT (selanjutnya dikenal juga
dengan Nuremberg Tribunal) melaksanakan persidangan baik terhadap
pemimpin politik dan militer Nazi, maupun terhadap Organisasi sayap
Nazi dan Afiliasinya.

Pembentukan Pengadilan Nuremberg, menurut Geoffrey di


dasarkan bahwa tidak ada hak-hak tanpa pemulihan kembali. Sama halnya
bahwa tidak ada hak-hak asasi manusia tanpa pemulihan untuk setiap
pelanggarannya. Pendekatan inilah yang dipergunakan sebagai dasar untuk
menghukum mereka yang bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan.7

Tribunal ini mempunyai kewenangan untuk mengadili dan


menghukum para pelaku baik secara individual maupun sebagai suatu

6
Pasal 6 dari Statuta, yang menyatakan “The Tribunal established by the Agreement referred to in
Article 1 hereof for the trial and punishment of the major war criminals of the European Axis
countries shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of the
European Axis countries, whether as individuals or as members of organizations, committed any
of the following crimes”.
7
Geoffrey Robertson QC, Crimes Against Humanity, The Struggle For Global Justice, (England:
Penguin Books, 2000), hal. 203. Lihat pula: Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam
Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan Dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 8.
organisasi yang telah melakukan kejahatan sebagaimana disebut dalam
Statuta. Adapun jenis kejahatan tersebut adalah8 : (a). Kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace); (b) Kejahatan perang (war crime); (c).
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity). Peradilan
yang berlangsung dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 1
Oktober 1946 ini mengatur beberapa hal, yaitu9 :

1) Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan


suatu kejahatan internasional bertanggung jawab atas perbuatannya
dan harus dihukum;

2) Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan


pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut
hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan
perbuatan itu dari tanggung jawab menurut hukum internasional;

3) Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan


suatu kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai
Kepala Negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab,
tidak membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum
internasional;

4) Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk


melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya
tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum
internasional, asal saja pilihan moral (moral choice) yang bebas
dimungkinkan olehnya;

8
Roger S. Clark, Nuremberg and Tokyo In Contemporary Perspective, dalam Timothy L.H.
McCormack dan Gerry J. Simpson, Editor, The Law of War Crime, National and International
Approaches, (Netherlands: Kluwer Law International, 1997), hal 173.
9
Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and The Subject Matter Jurisdiction of The
International Criminal Court, Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, (Intersentia,
Leiden, 2001), hal. 313-314.
5) Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan menurut hukum
internasional mempunyai hak untuk mendapatkan peradilan yang
adil berdasarkan fakta dan hukum;

6) Kejahatan-kejahatan tersebut di bawah ini dapat dihukum menurut


hukum internasional:

a. Kejahatan terhadap perdamaian (jus ad bellum):

b. Kejahatan Perang (jus in bello);

i. Merencanakan, menyiapkan, memulai atau


menggerakkan perang yang bersifat agresi yang
melanggar treaty, persetujuan (agreements), atau
jaminan (assurances) internasional;

ii. Turut serta dalam menyusun rencana umum atau


berkonspirasi untuk melaksanakan perbuatan apa saja
yang tercantum dalam (i).

Pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang


meliputi, tapi tak terbatas kepada pembunuhan, perlakuan
tidak manusiawi (illtreatment) atau deportasi ke tempat
kerja paksa sebagai budak untuk tujuan apapun, juga
terhadap penduduk sipil dari atau yang berasal dari wilayah
yang dikuasai; pembunuhan atau perlakuan yang tidak
manusiawi terhadap tawanan perang, orang-orang di lautan
(kapal), membunuh tawanan, merampok milik umum atau
pribadi, perusakan yang berkelebihan atau tidak diperlukan
atas kota-kota, desa-desa atau pemusnahan yang secara
militer tidak dianggap perlu.

c. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan


perbuatan yang tidak manusiawi terhadap penduduk sipil,
atau penyiksaan tersebut berdasarkan politik, ras, atau
agama, apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan atau
penyiksaan tersebut diambil dalam pelaksanaan atau
berkaitan dengan kejahatan terhadap perdamaian atau
kejahatan perang apa saja.

7) Keterlibatan dalam pelaksanaan suatu kejahatan terhadap


perdamaian, suatu kejahatan perang, atau suatu kejahatan terhadap
kemanusiaan seperti disebutkan dalam Prinsip VI adalah suatu
kejahatan menurut hukum internasional.

Ketujuh hal tersebut di atas, kemudian diformulasikan menjadi


prinsip-prinsip hukum internasional, yang kemudian pada tanggal 29 Juli
1950 oleh International Law Commission dikenal sebagai Nuremberg
Principles. Prinsip-prinsip inilah kemudian yang menjiwai peradilan HAM
yang dibentuk pada masa berikutnya, seperti International Criminal
Tribunal For Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal For
Rwanda (ICTR) dan International Criminal Court (ICC).

Beberapa hal baru yang diberlakukan dan dilaksanakan di


peradilan Nuremberg, adalah: (1) tanggung jawab pribadi yang secara jelas
tercantum dalam Pasal 6 Statuta; (2) keberlakuan hukum pidana secara
retroaktif, di mana statuta yang dibuat pada tahun 1945 ini diberlakukan
secara retroaktif untuk kejahatan yang dilakukan sebelumnya, yaitu selama
Perang Dunia II dan berlangsung di mana saja.

Pemberlakuan secara retroaktif ini, dalam persidangan telah ditolak


dan mendapatkan tantangan dari para pengacara terdakwa karena
bertentangan dengan prinsip hukum pidana yang berlaku. Bantahan ini
ditolak oleh Majelis Hakim IMT Nuremberg dengan alasan bahwa prinsip
non retroaktif hanya berlaku: (a) bagi kejahatan biasa (ordinary crimes),
dan (b) yang terjadi di wilayah hukum nasional, di mana yang berlaku
adalah hukum nasional. Para terdakwa di Pengadilan Nuremberg tidak
dapat membantah lagi, meskipun mereka tetap mencoba berdalih bahwa
adalah merupakan pelanggaran terhadap aturan bila mereka diajukan ke
pengadilan atas pelanggaran yang tidak memiliki kesepadanan dalam
hukum Nazi Jerman. Pelanggaran tersebut terdapat dalam hukum
internasional.10

2. Tokyo Trial
Setahun setelah dibentuknya IMT Nuremberg, pada tanggal 19
Januari 1946, Komandan Militer Tertinggi pihak sekutu Jenderal Douglas
MacArthur dengan mendapatkan persetujuan dari negara-negara sekutu
lainnya yang memenangkan peperangan, mengeluarkan piagam yang
dikenal sebagai Charter of the International Military Tribunal for the Far
East (IMTFE) di Tokyo, (selanjutnya dikenal juga dengan Tokyo
Tribunal). Charter ini merupakan dasar untuk pembentukan pengadilan
yang ditujukan untuk mengadili para pelaku pencetus Perang Dunia II,
yang mereka sebut sebagai para penjahat perang, di wilayah Timur Jauh.

Pengadilan Tokyo justru dibentuk melalui proklamasi Komandan


Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur.
Dalam Pasal 1 proklamasi itu, Jendral Douglas Mac Arthur menyatakan
“There shall be established an International Military Tribunal for the Far
East for the trial of those person charged individually, or as members of
organization, or in the both capacities, with offences which includes
crimes against peace.” Artinya: "Harus dibentuk suatu Pengadilan Militer
Internasional untuk Timur Jauh guna mengadili orang yang dituduh secara
individual, atau sebagai anggota organisasi, atau dalam kapasitas
keduanya, atas pelanggaran yang menyangkut kejahatan
terhadap perdamaian."11

10
Ibid., hal. 112.
11
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hal. 78-79.
Berdasarkan pasal 5 statuta (yurisdiksi atas pelaku dan tindak
kejahatan): Pengadilan mempunyai wewenang untuk mengadili dan
menghukum para penjahat perang di Timur Jauh sebagai individu maupun
sebagai anggota dari organisasi jika seseorang didakwa dalam posisinya
sebagai anggota organisasi tertentu maka yang dikenakan atasnya adalah
dakwaan/tuntutan atas tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap
perdamaian.

Pengadilan mempunyai wewenang untuk mengadili dan


menghukum para penjahat perang di Timur Jauh sebagai individu maupun
sebagai anggota dari organisasi. Jika seseorang didakwa dalam posisinya
sebagai anggota organisasi tertentu maka yang dikenakan atasnya adalah
dakwaan/tuntutan atas tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap
perdamaian. Pengadilan yang berkedudukan di Tokyo ini, memiliki
yurisdiksi pengadilan terhadap beberapa kejahatan (Pasal 5) statuta, yaitu :

a. kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan,


dan pelaksanaan perang sebagai tindakan agresi baik yang
dideklarasikan maupun tidak; atau perang yang melanggar hukum
atau perjanjian internasional; atau ikutserta dalam suatu rencana
bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk
kejahatan di atas.
b. Kejahatan perang konvensional: pelanggaran atas hukum dan
kebiasaan perang.
c. Kejahatan terhadap kemanusiaan: pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang
dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama
masa perang, atau persecution berdasar politik atau ras, sebagai
bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya
yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut
dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut hukum domestik
dimana tindakan tersebut dilakukan.
Pengadilan Tokyo mayoritas berpendapat bahwa nullum crimen
sinus lege bukanlah suatu pembatasan kedaulatan yang akan mencegah
pemberlakuan secara retroaktif, tetapi hanyalah merupakan prinsip
keadilan.12
Sementara itu, Pengadilan Militer Internasional di Tokyo yang
diselenggarakan antara Mei 1946 hingga November 1948 juga telah
menghukum lebih banyak lagi para penjahat perang yang berasal dari
Jepang. Tribunal ini memuat klasifikasi bagi tiga jenis kelompok
terdakwa, yakni kelas A untuk mereka yang didakwa melakukan
‘kejahatan terhadap perdamaian’, termasuk di sini adalah para pemimpin
dan tokoh-tokoh kunci yang merancang dan memimpin perang. Dua puluh
delapan orang di antara mereka adalah para pejabat tinggi Jepang. Kelas B
dan C adalah mereka yang didakwa melakukan “kejahatan perang
konvensional”. Para terdakwa kelas A diadili oleh Tribunal Tokyo
sementara Kelas B dan C oleh Komisi Militer, yakni pengadilan-
pengadilan militer lainnya seperti Pengadilan Militer Angkatan Laut AS
yang ditempatkan di berbagai kawasan Pasifik.13

Secara keseluruhan, Tribunal Tokyo ataupun Komisi Militer telah


memidana ribuan anggota militer Jepang. 900-an orang di antaranya
dipidana mati, sedangkan 400-an dipidana seumur hidup. Khusus yang
diadili oleh Tribunal Tokyo yang mengadili para terdakwa utama, 25 orang
dipidana; tujuh di antaranya dipidana mati dan 16 orang dipidana seumur
hidup.

Piagam Numberg ataupun Tokyo merupakan tonggak penting yang


menandai terjadinya perkambangan bidang hukum intenasional yang
dijustifikasi oleh PBB, serta diadopsi oleh hukum pidana internasional.
Salah satu prinsip yang dirumuskan dan ditarik dari pengalaman tribunal

12
Machteld Boot, Op.Cit., hal. 237-242
13
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia: Melanggengkan Impunity (Erlangga, 2012),
hal. 75
Nurnberg dan Tokyo itu adalah diberlakukannya asas tanggung
jawab ‘individu’ sebagai subjek hukum internasional; juga
diberlakukannya ‘asas retroaktif’ terhadap kejahatan peranng dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Mulai dikenal juga rumusan-rumusan
delik yang di kemudian hari dikenal sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crimes) dan/atau pelanggaran HAM serius. Pengalaman
Nurnberg dan Tokyo menjadi cikal-bakal dikembangkannya prinsip-
prinsip baru dalam hukum internasional yang diterapkan lebih lanjut
melalui berbagai praktik yudisial seperti yang diberlakukan dalam
berbagai pengadilan ad hoc, seperti di Yugoslavia (1993) dan Rwanda
(1995).

B. Dampak dari Nuremberg Trial dan Tokyo Trial bagi Perkembangan


Peradilan Pidana Internasioanal
Setelah Perang Dunia II usia, lalu diikuti dengan adanya
perkembangan keadaan yang menyebabkan pada akhirnya disusunlah
suatu perjanjian untuk menuntut dan mengadili terhadap pelaku kejahatan
selama berlangsungnya perang tersebut. Perjanjian London 1945 tentang
Penuntutan dan Pemidanaan terhadap para penjahat perang utama (major
war criminals), dan kemudian disusul dengan penyusunan Charter of The
International Military Tribunal Nuremberg, 1945.

Mahkamah ini berkedudukan di Nuremberg (Jerman), di mana


dinyatakan adanya pertanggungjawaban pidana individu terhadap
pelanggaran hukum internasional, hal ini terdapat antara lain diatur dalam
Pasal 6 dan Pasal 7, yaitu: “Article 6 : The Tribunal established by the
Agreement reffered to in Article 1 hereof for the trial and punishment of
the major war criminals of the European Axis countries shall have the
power to Try and punish persons who …, whether as individual or
members of organizations, are crime coming within the jurisdiction of the
Tribunal for which there shall be individual responsibility : Crimes
against peace : …; War crimes : . ..; Crimes against humanity : ….;
“Article 7 : The official position of defendants, whether as Heads of State
or responsible officials in Government Departments, shall not be
considered as freeing them from responsibility or mitigating
punishment.”14

Ketentuan di atas, terdapat juga di wilayah Asia, yaitu dengan


adanya Deklarasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Timur Jauh
dan Piagam Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh – Tokyo,
1946. Mahkamah ini berkedudukan di Tokyo (Jepang).

Mahkamah penjahat perang di Nuremberg telah menetapkan


prinsip yang tegas, bahwa seseorang yang memberikan perintah untuk
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, maka
orang yang melaksanakan perintah tersebut keduanya sama-sama bersalah
melakukan kejahatan. Selain itu, seorang komandan yang bertanggung
jawab dapat diadili sekalipun ia tidak memerintahkan kejahatan tersebut,
tetapi mengetahui atau mesti harus mengetahui tindakan yang melanggar
hukum itu dan gagal untuk mengambil tindakan yang semestinya
(reasonable action) untuk mencegah, menindak dan menghukumnya.
Prinsip ini berlaku baik terhadap atasan militer dari angkatan bersenjata
regular maupun pasukan gerilyawan (irregular armed forces) dan terhadap
penguasa sipil.

Seseorang yang melakukan suatu kejahatan perang berdasarkan


perintah dari atasan militer atau atasan sipil, tidak melepaskan pelaku dari
tanggung jawabnya menurut hukum internasional. Tanggung jawab timbul
bila perintah yang diberikan nyata-nyata bertentangan dengan hukum
(unlawful) dan orang yang menerima perintah mengetahui atau harus
mengetahui (should know) sifat melawan hukum dari perintah tersebut
menurut hukum internasional.

14
T. Sabi Oebit dan Asep Darmawan, Bahan Kuliah Hukum Internasional I, (Jakarta: Sekolah
Tinggi Hukum Militer, 1996), hal. 21
Keputusan hukum yang diambil dalam Mahkamah Nuremberg
telah meletakkan landasan bagi pengembangan hukum pidana
internasional. Pengakuan secara internasional terhadap pentingnya
international criminal law pertama kali terjadi pada tanggal 21 November
1947 melalui Majelis Umum PBB yang telah mengeluarkan Resolusi
Nomor 177 (II) yang secara langsung membentuk Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) PBB yang dimaksudkan
untuk:15

a. merumuskan prinsip-prinsip hukum internasional yang


diakui dalam Piagam Pengadilan Nuremberg dan dalam
penilaian Pengadilan.

b. Persiapkan draf kode pelanggaran terhadap perdamaian dan


keamanan umat manusia, yang dengan jelas menunjukkan
tempat yang harus diberikan pada prinsip-prinsip yang
disebutkan dalam sub-ayat (a) di atas.

Sedangkan pada Tokyo Trial, Putusan Mahkamah Yamashita pasca


Perang Dunia II telah meletakkan prinsip tanggung jawab komandan
terhadap pelanggaran hukum perang atau kejahatan perang. Komando
harus bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya jika terpenuhi unsur-
unsur:16

1. Komandan mengetahui anak buahnya akan melakukan


suatu kejahatan perang tetapi ia tidak mencegahnya;

2. Komandan mengetahui anak buahnya telah melakukan


suatu kejahatan perang tetapi ia tidak menghukumnya;

15
Morris Greenspan, The Modern Law of Land Warfare, (University of California Press, 1959),
hal. 424
16
Djunaedi Eddy, Perkembangan Doktrin “Command Responsibility”, (Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, 2004), hal. 2.
3. Komandan seharusnya mengetahui anak buahnya akan
melakukan suatu kejahatan tetapi ia tidak mencegahnya;

4. Komandan seharusnya mengetahui anak buahnya telah


melakukan suatu kejahatan tetapi suatu kejahatan perang
tetapi ia tidak menghukumnya.

Dampak dari Putusan Mahkamah ini bagi peradilan pidana


internasional merupakan suatu pertanggungjawaban pidana komandan
telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, khususnya
Hukum Humaniter Internasional baik dalam Konvensi Jenewa 1949,
maupun dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 (Additional Protocol),
demikian juga dalan Statuta Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court/ICC), dimana seorang komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas kejahatan yang dilakukan
pasukan yang berada dibawah komando dan kendalinya secara efektif.
Bahkan Prinsip tanggung jawab komandan telah diterapkam dalam
beberapa Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat sementara (ad
hoc) yang pernah mengadili para penjahat perang, terutama
mereka/individu yang melakukan kejahatan diwaktu perang, baik dalam
Mahkamah Nurenberg dan Tokyo Trial.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-II, pihak sekutu membentuk
pengadilan militer internasional pertama yang bertujuan untuk menghukum
pejabat senior politik dan militer dengan dakwaan kejahatan perang dan kejahatan
serius lainnya, dikenal dengan Nuremberg Tribunal. Pembentukan Pengadilan
Nuremberg, menurut Geoffrey di dasarkan bahwa tidak ada hak-hak tanpa
pemulihan kembali. Pada tanggal 19 Januari 1946, Komandan Militer Tertinggi
pihak sekutu mengeluarkan piagam yang dikenal sebagai Charter of the
International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) di Tokyo (selanjutnya
dikenal juga dengan Tokyo Tribunal). Pengadilan Tokyo dibentuk melalui
proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh. Piagam Numberg
ataupun Tokyo merupakan tonggak penting yang menandai terjadinya
perkembangan bidang hukum intenasional yang dijustifikasi oleh PBB, serta
diadopsi oleh hukum pidana internasional. Mahkamah penjahat perang di
Nuremberg telah menetapkan prinsip yang tegas, bahwa seseorang yang
memberikan perintah dan yang melaksanakan perintah untuk melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, keduanya sama-sama
bersalah.

Keputusan hukum yang diambil dalam Mahkamah Nuremberg telah


meletakkan landasan bagi pengembangan hukum pidana internasional. Sedangkan
pada Tokyo Trial, Putusan Mahkamah Yamashita pasca Perang Dunia II telah
meletakkan prinsip tanggung jawab komandan terhadap pelanggaran hukum
perang atau kejahatan perang. Dampak dari Putusan Mahkamah ini bagi peradilan
pidana internasional merupakan suatu pertanggungjawaban pidana komandan
yang telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, khususnya
Hukum Humaniter Internasional baik dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun
dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 (Additional Protocol), demikian juga
dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC), dimana seorang komandan militer dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana atas kejahatan yang dilakukan pasukan yang berada dibawah
komando dan kendalinya secara efektif. Bahkan Prinsip tanggung jawab
komandan telah diterapkam dalam beberapa Mahkamah Pidana Internasional yang
bersifat sementara.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Boot, Machteld. 2001. Nullum Crimen Sine Lege and The Subject
Matter Jurisdiction of The International Criminal Court, Genocide,
Crimes Against Humanity, War Crimes. Leiden: Intersentia

Clark, S. Roger dalam Timothy L. H. McCormack dan Gerry J.


Simpson. 1997. The Law of War Crime, National and International
Approaches. Netherlands: Kluwer Law International

D.J, Harris. 1973. Cases and Materials on International Law.


London: Street and Maxwell

Eddy, Djunaedi. 2004. Perkembangan Doktrin “Command


Responsibility”. Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer

Hiariej, O.S Eddy. 2010. Pengadilan atas Beberapa kejahatan


Serius terhadap HAM. Yogyakarta: Erlangga

Marzuki, Suparman. 2012. Pengadilan HAM di Indonesia:


Melanggengkan Impunity. Erlangga

Oebit, Sabi T dan Asep Darmawan. 1996. Bahan Kuliah Hukum


Internasional I. Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer

QC, Geoffrey Robertson. 2000. Crimes Against Humanity, The


Struggle For Global Justice,. England: Penguin Books

B. Jurnal
1963. Ian Brwonlie. International Law and the Use of Force by
States. New York: Oxford University Press

1959. Morris Greenspan. The Modern Law of Land Warfare.


University of California Press
2006. Shinta Agustina. Hukum Pidana Internasional. Padang:
Andalas University Press

Anda mungkin juga menyukai