Oleh:
Muhammad Ihsan
220211050107
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada
setiap individu di bumi. Setiap orang wajib menjaga, melindungi serta menghormati haknya
setiap orang. Telah dijelaskan bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat haknya telah
melekat pada setiap individu sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan wajib dijunjung
tinggi, dihormati dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang yang
Hak-hak tersebut antara lain haknya untuk hidup, keamanan, tidak diganggu, kebebasan
dari perbudakan serta penyiksaan. Jika seseorang atau sekelompok orang tidak memberikan
hak semestinya terhadap seseorang atau sekelompok orang maka akan diberi hukum pidana
Adapun pengadilan HAM yang akan dibahas di sini ialah merupakan jenis pengadilan
yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara
spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili
peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan
UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini
mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengatur yang berbeda dengan pengatur dalam
hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan
1
Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas karakteristik kejahatan yang
sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang sifatnya khusus
agar dapat berjalanannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat
secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas
pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban. Adanya pengadilan HAM akan mengupayakan
adanya keadilan bagi mereka. Berikutnya akan sauya bahas lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan disampaikan pada
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian Pengadilan HAM
2
BAB II
Pengadilan atau mahkamah adalah sebuah forum public, resmi, dimana kekuasaan
publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian
keadilan dalam hal sipil, buruh, administrasi dan kriminal di bawah hukum. Dalam negara
dengan sisitem hukum umum, pengadilan merupakan cara utama untuk penyelesaian
perselisihan dan umumnya dimengerti bahwa semua orang memiliki hak untuk membawa
klaimnya ke pengadilan. Dan juga, pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk meminta
perlindungan di pengadilan.
sebuah negara hukum. Melaui lembaga peradilan, persoalan yang tidak dapat diselesaikan
secara damai di luar proses persidangan, diharapkan dapat diselesaikan melalui putusan hakim.
HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia oleh manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam hidup masyarakat . Hak ini
ada pada manusia tanpa memebedakan bangsa, ras, agama, golongan, jenis kelamin, karena itu
bersifat asasi dan universal. Kebebasan ini berasal dari Tuhan yang melekat pada eksistensi
tiap individu.
Pengadilan HAM ialah Lembaga peradilan yang terbentuk, baik yang bersifat ad hoc,
permanen maupun campuran (hybrit) guna menuntut dan mengadili para individu yang diduga
telah melakukan pelanggaran HAM berat, berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap
1
Joko Setiyono, Peradilan internasional atas kejahatan HAM berat, 2020. 12
3
B. Pembentukan pengadilan HAM
Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan
kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai kejahatan internasional yang
menjadi musuh Bersama umat manusia, yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Selain itu,
dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual
criminal responsibility.
Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah,
pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.174
(II).
Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar Hukum Internasional yang
menjadi pegangan bagi setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke-48, yang
berlangsung bulan Mei sampai dengan Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil
Internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and
Security of Mankind”.
Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk dalam tindak
“kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi (Pasal
16) yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility,
kejahatan genosida (Pasal 17), kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 18), kejahatan terhadap
PBB.2
2
Agung Yudhawiranata, Jurnal: Pengadilan HAM Internasional, 3.
4
C. Macam-macam Pengadilan HAM Tingkat Internasional
Fakta sejarah menunjukan bahwa pada saat Hitler berkuasa di rezim pemerintahan
Jerman, telah memiliki kebencian yang luar biasa terhadap umat Yahudi yang berada di Eropa.
Patut dikemukakan bahwa sebenarnya tidak hanya bangsa Yahudi, akan tetapi juga ada orang
Romawi, komunis, tawanan perang Uni Soviet, warga Polandia, homoseksual, orang cacat,
musuh politik dan keagamaan lainnya, juga ikut terkena dampak dari kekejaman Hitler. Atas
tindakan yang keji dan kejam tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah dalam bahasa
Yunani sebagai Holocaust atau yang berarti korban dipersembahkan pada Tuhan dengan cara
dibakar.
Diawal tahun 1942 para pemimpin dari negara Amerika Serikat (AS), Britania Raya
dan Uni Soviet bekerja sama, untuk bersepakat menuntut pertanggungjawaban pelakunya di
depan peradilan internasional yang akan dibentuk, sebagai upaya untuk menuntaskan kasus
Kebulatan tekat dari ketiga pemimpin negara Sekutu, untuk mengadili para pelaku
internasional yang bersifat ad hoc yang dikhususkan untuk mengadili kasus Holocaust secara
tuntas, melalui peradilan internasional yang dibentuk dengan bernama IMTN atau
International Military Tribunal Nuremberg. Peradilan ini dihasilkan dari penyesuaian antara
pengadilan kejahatan perang pasca perang yang paling terkenal, dibuka secara resmi di
5
Nuremberg, Jerman, pada 20 November 1945, hanya enam setengah (6,5) bulan setelah Jerman
menyerah. 3
Berakhirnya PD II, ke-4 pemimpin negara Sekutu sebagai pemenang perang, bergegas
penjahat perang secara individual criminal responsibility. Di sisi lain, London Agreement
tersebut merupakan cikal bakal dari The International Military Tribunal Tokyo (IMTT), wadah
sekaligus jembatan hukum bagi pertanggung jawaban individu. 4 IMTT atau disebut juga
sebagai Mahkamah Internasional Militer Tokyo didirikan bulan Januari 1946, dimana pelaku
didakwa atas dasar 3 kejahatan, yaitu: kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian, dan
Peradilan ini menerapkan ketetapan yang sama dengan IMTN, karena kesamaan kasus
pelanggaran dan dakwaan yang ditujukan. Setidaknya ada 11 hakim dari 11 negara yang turut
andil dalam pengadilan internasional ini, yaitu: Kanada, AS, China, US, Selandia Baru,
YUGOSLAVIA (ICTY)
Selama perang berlangsung, berbagai jenis kejahatan berupa pelanggaran HAM berat
marak terjadi, berbagai jenis penganiayaan di luar batas perikemanusiaan. Hal demikian
setidaknya juga telah terjadi di negara wilayah bekas Yugoslavia, yang memakan korban
masyarakat sipil yang seolah tiada arti dari sebuah nyawa manusia. Dari hal ini terbentuklah
3
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Eresco, 1995), 51.
4
Thalis Cahyadi Noor, Agresi dan Kejahatan Terhadap Perdamaian, Supremasi Hukum, Vol. 3, No. 1, 2014,
halaman 14.
6
ICTY. ICTY dibentuk sebagai peradilan internasional yang bersifat ad hoc pertama pasca PD
II, setelah sebelumnya telah terbentuk IMTN di Jerman dan IMTT di Jepang.
ICTY dalam melaksanakan tugasnya memiliki beberapa fondasi, seperti Statuta ICTY
yang memuat berbagai batasan- batasan akan putusan maupun tuntutan, dan bukan hanya itu,
sebagai peradilan internasional yang bersifat ad hoc, juga menunjukkan masa kerjanya dalam
lingkup waktu dan ruang tertentu. Hingga saat ini, setelah masa pembentukannya pada 1993,
ICTY sudah memilki berbagai pencapaian dan juga memberikan dampak bagi perkembangan
hukum pengadilan.5
Rwanda adalah negara kecil yang terletak di tengah benua Afrika dengan luas negara
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dibentuk pada tahun 1994 oleh
DK- PBB (United Nations Security Council), telah memberikan kontribusi dalam
pengembangan Hukum Pidana Internasional (HPI), terkait dengan penegakan hukum atas
pelanggaran HAM berat. Pembentukan ICTR berawal dari ide akibat adanya kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan maupun kejahatan perang yang aktornya negara
Rwanda tahun 1993, yang merujuk pada Bab VII Piagam PBB, keluarlah Resolusi PBB No.
International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional (MPI) adalah
sebuah lembaga peradilan internasional bersifat permanen yang berada di Hague, Belanda.
Lembaga peradilan yang mulai aktif sejak tahun 2002 ini memiliki kewenangan untuk
menuntut individu atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat atau pun kejahatan yang
5
Sefriani, Pengadilan Ham dan Yuridiksi Pengadilan Internasional, Jurnal Hukum, No 18, Vol 8, Oktober 2001,
125.
7
berskala internasional dengan dasar hukum Statuta Roma tahun 1998. Lembaga ini terbentuk
pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari
30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku negara dan
aparatnya. 6 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan tahunnya
menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang
pernah terjadi di tanah air sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde baru yang otoriter.
Selanjutnya, pasca orde baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik
antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor-timur pasca
dibentuk peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk
adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di
Timor-timur semakin menguat bahkan komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia telah
berat di Timor-Timur.
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Mengacu pada undang-undang ini, Pengadilan HAM adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM
6
Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, 31.
8
Hingga saat ini, baru empat Pengadilan HAM yang dibentuk, yakni Pengadilan HAM
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan,
• Daerah hukum Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi
wilayah: Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan,
meliputi: Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
• Untuk daerah hukum Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makasar, terdiri atas:
Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku,
hukumnya meliputi: Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.7
Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extra-ordinary crimes yang mempunyai
perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana
umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakukan dalam
menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para
pelaku pelanggaran HAM yang berat. Disamping itu sesuai dengan prinsip International
Criminal Court, khususnya prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran
HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi universal tentang crimes against
7
R Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2013), 14.
9
humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat
Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat
khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang
dikenal dengan pengadilan HAM. Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi landasan
berdirinya pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional merupakan “the primary
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB.
Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan
hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa- bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya
yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua,
dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak
lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi
keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk
perekonomian nasional.10
Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk
mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan
HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai
tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999.
8
Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000, Jurnal Demokrasi dan HAM,
Jakarta, hlm. 54.
9
Muladi, Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem Pengadilan atas Dasar
UU No. 26 Tahun 2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4 bulan Pengadilan Tanjung Priok, Elsam, 20 Januari 2004.
10
Ifdhal Kasim, Elemen-elemen Kejahatan Dari “Crimes Against Humanity”: Sebuah Penjelajahan Pustaka,
Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004.
10
Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM
menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM
dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak
sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah
memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi
masyarakat.12
asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah
untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme
pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang
ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan
HAM ad hoc. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah
terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan yang ketiga adalah dibukanya jalan mekanisme
komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.13
11
UU No. 26 Tahun 2000 ini disyahkan pada tanggal 6 November 2000.
12
Asmara Nababan, Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: belajar dari pengalaman, Jurnal HAM, Komisi
NasionalHAM, Jakarta. 2004.
13
Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000.
11
Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang
kurang tepat. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam istilah pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang
berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum
pidana karena merupakan bagian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan ke dalam kitab undang-
undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam
kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampaui asas legalitas. Sedangkan
pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk
mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan
pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan
dan kejahatan genosida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak
Dari argumen tentang “ketidaktepatan” ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai
yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana yaitu peradilan pidana perkara
pidana biasa dan pengadilan HAM untuk mengadili kejahatan yang tergolong pelanggaran
14
Manfred Nowak, “Pengantar Pada Rezim HAM Internasional”, Pustaka Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg
Institute, 2003.
12
BAB III
PENUTUP
Pengadilan HAM ialah Lembaga peradilan yang terbentuk, baik yang bersifat ad hoc,
permanen maupun campuran (hybrit) guna menuntut dan mengadili para individu yang diduga
telah melakukan pelanggaran HAM berat, berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap
International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia (ICTY), Keempat: International
Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR), kelima: International Criminal Court (ICC).
Perlindungan bagi Korban Pelanggaran HAM Berat di Indonesia sendiri sudah diatur
melalui beberapa Instrumen Hukum Nasional, mulai dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana berhak mendapat perlindangan berupa
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun dan dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum dan aparat keamanan secara Cuma-
cuma. Selain itu Undang-undang ini juga mengatur bahwa Korban Pelanggaran HAM Berat
mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang selanjutnya diatur melalui Peraturan
13
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Kasim, Ifdhal. 2004. Elemen-elemen Kejahatan Dari “Crimes Against Humanity”: Sebuah
Penjelajahan Pustaka. Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jakarta.
Muladi. 2000. Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi. Jurnal
Muladi. Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem
Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000. Makalah dalam Diskusi Panel 4 bulan
Nababan, Asmara. 2004. Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: belajar dari
Nowak, Manfred. 2003.“Pengantar Pada Rezim HAM Internasional”. Pustaka Hak Asasi
Sefriani. Pengadilan Ham dan Yuridiksi Pengadilan Internasional. Jurnal Hukum. No 18. Vol
8. Oktober 2001.
14
15