Anda di halaman 1dari 16

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Hak Asasi Manusia (Keseteraan Dr. H. Jalaluddin, M. Hum


Gender dan Perlindungan Anak) Dr. Hj. Fatrawati Kumari, M. Hum

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA


(HAM)

Oleh:
Muhammad Ihsan
220211050107

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


PASCA SARJANA
HUKUM KELUARGA ISLAM
2023
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada

setiap individu di bumi. Setiap orang wajib menjaga, melindungi serta menghormati haknya

setiap orang. Telah dijelaskan bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat haknya telah

melekat pada setiap individu sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan wajib dijunjung

tinggi, dihormati dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang yang

tercantum dalam undang-undang nomer 39 tahun 1999.

Hak-hak tersebut antara lain haknya untuk hidup, keamanan, tidak diganggu, kebebasan

dari perbudakan serta penyiksaan. Jika seseorang atau sekelompok orang tidak memberikan

hak semestinya terhadap seseorang atau sekelompok orang maka akan diberi hukum pidana

penjara sementara atau paling berat penjara seumur hidup.

Adapun pengadilan HAM yang akan dibahas di sini ialah merupakan jenis pengadilan

yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara

spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili

perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah

peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan

pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana.

UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini

mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengatur yang berbeda dengan pengatur dalam

hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan

di mana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa.

1
Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas karakteristik kejahatan yang

sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang sifatnya khusus

agar dapat berjalanannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat

secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas

pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban. Adanya pengadilan HAM akan mengupayakan

adanya keadilan bagi mereka. Berikutnya akan sauya bahas lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan disampaikan pada

makalah ini meliputi:

1. Pengertian Pengadilan HAM

2. Pembentukan pengadilan HAM

3. Pengaturan pengadilan HAM di Indonesia

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian Pengadilan HAM

2. Mengetahui terbentuknya pengadilan HAM

3. Mengetahui landasan terbentuk undang-undang pengadilan HAM di Indonesia

2
BAB II

A. Pengertian Pengadilan HAM

Pengadilan atau mahkamah adalah sebuah forum public, resmi, dimana kekuasaan

publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian

keadilan dalam hal sipil, buruh, administrasi dan kriminal di bawah hukum. Dalam negara

dengan sisitem hukum umum, pengadilan merupakan cara utama untuk penyelesaian

perselisihan dan umumnya dimengerti bahwa semua orang memiliki hak untuk membawa

klaimnya ke pengadilan. Dan juga, pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk meminta

perlindungan di pengadilan.

Pengadilan ialah sebuah institusi yang keberadaannya merupakan keniscayaan dalam

sebuah negara hukum. Melaui lembaga peradilan, persoalan yang tidak dapat diselesaikan

secara damai di luar proses persidangan, diharapkan dapat diselesaikan melalui putusan hakim.

HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia oleh manusia yang telah diperoleh dan

dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam hidup masyarakat . Hak ini

ada pada manusia tanpa memebedakan bangsa, ras, agama, golongan, jenis kelamin, karena itu

bersifat asasi dan universal. Kebebasan ini berasal dari Tuhan yang melekat pada eksistensi

tiap individu.

Pengadilan HAM ialah Lembaga peradilan yang terbentuk, baik yang bersifat ad hoc,

permanen maupun campuran (hybrit) guna menuntut dan mengadili para individu yang diduga

telah melakukan pelanggaran HAM berat, berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.1

1
Joko Setiyono, Peradilan internasional atas kejahatan HAM berat, 2020. 12

3
B. Pembentukan pengadilan HAM
Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan

kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai kejahatan internasional yang

menjadi musuh Bersama umat manusia, yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan

genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Selain itu,

dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual

criminal responsibility.

Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah,

pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum

Internasional (International Law Commission) melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.174

(II).

Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar Hukum Internasional yang

menjadi pegangan bagi setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke-48, yang

berlangsung bulan Mei sampai dengan Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil

menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip Hukum

Internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and

Security of Mankind”.

Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk dalam tindak

“kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi (Pasal

16) yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility,

kejahatan genosida (Pasal 17), kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 18), kejahatan terhadap

PBB.2

2
Agung Yudhawiranata, Jurnal: Pengadilan HAM Internasional, 3.

4
C. Macam-macam Pengadilan HAM Tingkat Internasional

1. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG (IMTN)

Fakta sejarah menunjukan bahwa pada saat Hitler berkuasa di rezim pemerintahan

Jerman, telah memiliki kebencian yang luar biasa terhadap umat Yahudi yang berada di Eropa.

Patut dikemukakan bahwa sebenarnya tidak hanya bangsa Yahudi, akan tetapi juga ada orang

Romawi, komunis, tawanan perang Uni Soviet, warga Polandia, homoseksual, orang cacat,

musuh politik dan keagamaan lainnya, juga ikut terkena dampak dari kekejaman Hitler. Atas

tindakan yang keji dan kejam tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah dalam bahasa

Yunani sebagai Holocaust atau yang berarti korban dipersembahkan pada Tuhan dengan cara

dibakar.

Diawal tahun 1942 para pemimpin dari negara Amerika Serikat (AS), Britania Raya

dan Uni Soviet bekerja sama, untuk bersepakat menuntut pertanggungjawaban pelakunya di

depan peradilan internasional yang akan dibentuk, sebagai upaya untuk menuntaskan kasus

yang masuk dalam kategori kejahatan genosida.

Kebulatan tekat dari ketiga pemimpin negara Sekutu, untuk mengadili para pelaku

kejahatan genosida tersebut, akhirnya diwujudkan dengan membentuk sebuah peradilan

internasional yang bersifat ad hoc yang dikhususkan untuk mengadili kasus Holocaust secara

tuntas, melalui peradilan internasional yang dibentuk dengan bernama IMTN atau

International Military Tribunal Nuremberg. Peradilan ini dihasilkan dari penyesuaian antara

sistem peradilan Kontinental dan Anglo Amerika.

Pengadilan terhadap pejabat tinggi Jerman di hadapan IMTN, yang merupakan

pengadilan kejahatan perang pasca perang yang paling terkenal, dibuka secara resmi di

5
Nuremberg, Jerman, pada 20 November 1945, hanya enam setengah (6,5) bulan setelah Jerman

menyerah. 3

2. INTERNATIONAL MILITARY TIBUNAL TOKYO (IMTT)

Berakhirnya PD II, ke-4 pemimpin negara Sekutu sebagai pemenang perang, bergegas

menyelenggarakan konferensi internasional di London tanggal 8 Agustus 1945. Melalui

London Agreement 8 Agustus 1945, pihak pemenang dapat menuntut pertanggungjawaban

penjahat perang secara individual criminal responsibility. Di sisi lain, London Agreement

tersebut merupakan cikal bakal dari The International Military Tribunal Tokyo (IMTT), wadah

sekaligus jembatan hukum bagi pertanggung jawaban individu. 4 IMTT atau disebut juga

sebagai Mahkamah Internasional Militer Tokyo didirikan bulan Januari 1946, dimana pelaku

didakwa atas dasar 3 kejahatan, yaitu: kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian, dan

kejahatan terhadap kemanusiaan.

Peradilan ini menerapkan ketetapan yang sama dengan IMTN, karena kesamaan kasus

pelanggaran dan dakwaan yang ditujukan. Setidaknya ada 11 hakim dari 11 negara yang turut

andil dalam pengadilan internasional ini, yaitu: Kanada, AS, China, US, Selandia Baru,

Australia, Belanda, Perancis, Inggris, India, dan Filipina.

3. INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR THE FORMER

YUGOSLAVIA (ICTY)

Selama perang berlangsung, berbagai jenis kejahatan berupa pelanggaran HAM berat

marak terjadi, berbagai jenis penganiayaan di luar batas perikemanusiaan. Hal demikian

setidaknya juga telah terjadi di negara wilayah bekas Yugoslavia, yang memakan korban

hingga ratusan lebih jiwa, pemerkosaan terjadi dimana-mana, pembantaian terhadap

masyarakat sipil yang seolah tiada arti dari sebuah nyawa manusia. Dari hal ini terbentuklah

3
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Eresco, 1995), 51.
4
Thalis Cahyadi Noor, Agresi dan Kejahatan Terhadap Perdamaian, Supremasi Hukum, Vol. 3, No. 1, 2014,
halaman 14.

6
ICTY. ICTY dibentuk sebagai peradilan internasional yang bersifat ad hoc pertama pasca PD

II, setelah sebelumnya telah terbentuk IMTN di Jerman dan IMTT di Jepang.

ICTY dalam melaksanakan tugasnya memiliki beberapa fondasi, seperti Statuta ICTY

yang memuat berbagai batasan- batasan akan putusan maupun tuntutan, dan bukan hanya itu,

sebagai peradilan internasional yang bersifat ad hoc, juga menunjukkan masa kerjanya dalam

lingkup waktu dan ruang tertentu. Hingga saat ini, setelah masa pembentukannya pada 1993,

ICTY sudah memilki berbagai pencapaian dan juga memberikan dampak bagi perkembangan

hukum pengadilan.5

4. INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR RWANDA (ICTR)

Rwanda adalah negara kecil yang terletak di tengah benua Afrika dengan luas negara

sebesar 26.338 kilo meter persegi.

International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dibentuk pada tahun 1994 oleh

DK- PBB (United Nations Security Council), telah memberikan kontribusi dalam

pengembangan Hukum Pidana Internasional (HPI), terkait dengan penegakan hukum atas

pelanggaran HAM berat. Pembentukan ICTR berawal dari ide akibat adanya kejahatan

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan maupun kejahatan perang yang aktornya negara

Rwanda tahun 1993, yang merujuk pada Bab VII Piagam PBB, keluarlah Resolusi PBB No.

955/1994 sebagai dasar hukumnya.

5. INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC)

International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional (MPI) adalah

sebuah lembaga peradilan internasional bersifat permanen yang berada di Hague, Belanda.

Lembaga peradilan yang mulai aktif sejak tahun 2002 ini memiliki kewenangan untuk

menuntut individu atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat atau pun kejahatan yang

5
Sefriani, Pengadilan Ham dan Yuridiksi Pengadilan Internasional, Jurnal Hukum, No 18, Vol 8, Oktober 2001,
125.

7
berskala internasional dengan dasar hukum Statuta Roma tahun 1998. Lembaga ini terbentuk

sebagai kelanjutan dari peradilan yang sebelumnya telah disebutkan.

D. Pengadilan HAM dI Indonesia


Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan

pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari

30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku negara dan

aparatnya. 6 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan tahunnya

menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang

pernah terjadi di tanah air sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde baru yang otoriter.

Selanjutnya, pasca orde baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik

antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor-timur pasca

jejak pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM.

Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar

dibentuk peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk

adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di

Timor-timur semakin menguat bahkan komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia telah

mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM

berat di Timor-Timur.

Di Indonesia, Pengadilan HAM diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia. Mengacu pada undang-undang ini, Pengadilan HAM adalah

pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM

merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum.

6
Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, 31.

8
Hingga saat ini, baru empat Pengadilan HAM yang dibentuk, yakni Pengadilan HAM

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan,

dan Pengadilan Negeri Makassar.

• Daerah hukum Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi

wilayah: Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan,

Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

• Sementara Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Surabaya daerah hukumnya

meliputi: Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan

Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

• Untuk daerah hukum Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makasar, terdiri atas:

Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku,

Maluku Utara, dan Papua.

• Sedangkan untuk Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Medan, daerah

hukumnya meliputi: Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.7

Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extra-ordinary crimes yang mempunyai

perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana

umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakukan dalam

menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para

pelaku pelanggaran HAM yang berat. Disamping itu sesuai dengan prinsip International

Criminal Court, khususnya prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran

HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi universal tentang crimes against

7
R Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2013), 14.

9
humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat

khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus.8

Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat

khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang

dikenal dengan pengadilan HAM. Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi landasan

berdirinya pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional merupakan “the primary

forum” untuk mengadili para pelanggar HAM berat.9

Dalam penjelasannya, pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah : Pertama,

merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB.

Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan

hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh

Perserikatan Bangsa- bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya

yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua,

dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak

lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi

keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk

perekonomian nasional.10

Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk

mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan

HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai

tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999.

8
Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000, Jurnal Demokrasi dan HAM,
Jakarta, hlm. 54.
9
Muladi, Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem Pengadilan atas Dasar
UU No. 26 Tahun 2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4 bulan Pengadilan Tanjung Priok, Elsam, 20 Januari 2004.
10
Ifdhal Kasim, Elemen-elemen Kejahatan Dari “Crimes Against Humanity”: Sebuah Penjelajahan Pustaka,
Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004.

10
Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM

menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM

dilingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat

dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak

sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.11

E. Pengaturan tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia


Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta

memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi

perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman kepada perorangan ataupun

masyarakat.12

Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak

asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan ini memberikan 3 mekanisme

untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme

pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang

ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan

HAM ad hoc. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah

terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan yang ketiga adalah dibukanya jalan mekanisme

komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.13

11
UU No. 26 Tahun 2000 ini disyahkan pada tanggal 6 November 2000.
12
Asmara Nababan, Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: belajar dari pengalaman, Jurnal HAM, Komisi
NasionalHAM, Jakarta. 2004.
13
Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000.

11
Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan

kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang

kurang tepat. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap

kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam istilah pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang

berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum

pidana karena merupakan bagian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah

seharusnya terminology “peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian

kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan ke dalam kitab undang-

undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam

kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampaui asas legalitas. Sedangkan

pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk

mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan

pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan

dan kejahatan genosida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak

pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana.14

Dari argumen tentang “ketidaktepatan” ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai

yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana yaitu peradilan pidana perkara

pidana biasa dan pengadilan HAM untuk mengadili kejahatan yang tergolong pelanggaran

HAM berat menurut UU No. 26 Tahun 2000.

14
Manfred Nowak, “Pengantar Pada Rezim HAM Internasional”, Pustaka Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg
Institute, 2003.

12
BAB III

PENUTUP

Pengadilan HAM ialah Lembaga peradilan yang terbentuk, baik yang bersifat ad hoc,

permanen maupun campuran (hybrit) guna menuntut dan mengadili para individu yang diduga

telah melakukan pelanggaran HAM berat, berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Ada 5 pengadilan HAM tingkat internasional: Pertama: International Military Tribunal

Nuremberg (IMTN), kedua: International Military Tibunal Tokyo (IMTT), ketiga:

International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia (ICTY), Keempat: International

Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR), kelima: International Criminal Court (ICC).

Perlindungan bagi Korban Pelanggaran HAM Berat di Indonesia sendiri sudah diatur

melalui beberapa Instrumen Hukum Nasional, mulai dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana berhak mendapat perlindangan berupa

perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak

manapun dan dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum dan aparat keamanan secara Cuma-

cuma. Selain itu Undang-undang ini juga mengatur bahwa Korban Pelanggaran HAM Berat

mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang selanjutnya diatur melalui Peraturan

Pemerintah mengenai pelaksanaannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1995. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: Eresco.

Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Kasim, Ifdhal. 2004. Elemen-elemen Kejahatan Dari “Crimes Against Humanity”: Sebuah

Penjelajahan Pustaka. Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jakarta.

Kleden, Krist L. 2000. Peradilan Pidana Sebagai Pendidikan Hukum.

Muladi. 2000. Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi. Jurnal

Demokrasi dan HAM Jakarta.

Muladi. Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem

Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000. Makalah dalam Diskusi Panel 4 bulan

Pengadilan Tanjung Priok, Elsam. 20 Januari 2004.

Nababan, Asmara. 2004. Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: belajar dari

pengalaman. Jurnal HAM. Komisi NasionalHAM, Jakarta.

Nowak, Manfred. 2003.“Pengantar Pada Rezim HAM Internasional”. Pustaka Hak Asasi

Manusia Raoul Wallenberg Institute.

Sefriani. Pengadilan Ham dan Yuridiksi Pengadilan Internasional. Jurnal Hukum. No 18. Vol

8. Oktober 2001.

14
15

Anda mungkin juga menyukai