BAB III
INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pada awalnya, kemunculan ide hak asasi manusia dimulai dengan debat filsafat
dan sejarah. Perdebatan tersebut mengarah pada kesepahaman bahwa sejarah peradaban
manusia banyak diwarnai dengan kekejaman dan ketidakadilan. Salah satu tonggak
penting dari sinyalemen di atas adalah wrjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Perdebatan awal ini berakhir dengan kesepakatan bahwa perlu dibentuk suatu
instrumen moral untuk mengutuk dan menghentikan segala bentuk kekejaman dan
ketidakadilan yang terjadi pada masa-masa perang tersebut. Bertitik tolak dari
penjelasan inilah, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memikirkan sebuah
instrumen yang dapat digunakan untuk memengaruhi praktik bernegara seluruh dunia.
Instrumen itulah yang kemudian dikenal dengan istilah instrumen hak asasi manusia.
Kata Instrumen internasional' pada bagian ini digunakan untuk mewakili
dokumen hukum yang mengikat bagi negara-negara untuk melaksanakan kewajibannya
berdasar hukum internasional. Beberapa kalangan menggunakan istilah peraturan
perundang-undangan internasional hak asasi manusia.
Bab ini akan menjelaskan sepuluh instrumen hak asasi manusia. Lesepuluh
instrumen tersebut merupakan instrumen pokok yang thsahkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengikat bagi aegara anggotanya. Instrumen tersebut akan
mengikat secara hukum bagi aegara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
telah menyatakan bersetuju menjadi negara pihak pada masing-masing instrumen.
Upaya mengikatkan diri tersebut dilakukan dengan melakukan ratifikasi. Proses dan
prosedur ratifikasi dilakukan sesuai dengan hukum di negara masing-masing. Pada
umumnya, ratifikasi dilakukan dengan pengiriman surat yang ditandatangani oleh
menteri luar negeri suatu negara kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa negara tersebut berkehendak secara hukum
untuk mengikatkan diri pada instrumen tertentu. Di Indonesia, proses ratifikasi, selain
dengan mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), juga dilakukan dengan membuat sebuah peraturan perundang-undangan berisi
pengesahan dokumen hukum internasional tertentu. Pada praktiknya, produk hukum di
Indonesia yang digunakan untuk meratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia
adalah berupa undang-undang dan Keputusan Presiden.
Kesepuluh instrumen hak asasi manusia yang akan dijelaskan adalah:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM (Universal Declaration on
Human Rights atau UDHR).
2. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau KIHSP (International
Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR).
3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau KIHESB
(International Covenant on Economic Social and Culture Rights atau ICESCR).
54
1. Sejarah Pengesahan
secara moral, prinsip-prinsip umum hukum dan sebagai landasan dasar kemanusiaan.
Deklarasi memiliki kekuatan moral yang sangat tinggi karena disahkan oleh Majelis
Umum PBB.
Deklarasi ini diumumkan sebagai suatu standar pencapaian yang berlaku umum
untuk semua rakyat dan semua negara. Komisi Hak Asasi Manusia yang didirikan pada
tahun 1946 berupaya keras untuk segera mengambil langkah dalam rangka
mengumumkan sebuah Deklarasi yang tidak mengikat secara hukum (non-binding
declaration) sebagai dasar bagi dibuatnya konvensi yang mengikat secara hukum
(legally binding convention) serta menyusun mekanisme pelaksanaannya. Pada
akhirnya, dengan kegigihan banyak pihak, khususnya Eleanor D. Roosevelt (Amerika)
dan Rene Cassin (Prancis), pada tahun 1948 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
disahkan.
Deklarasi ini menjadi dokumen hak asasi manusia paling pokok. Deklarasi tidak
mengkiat secara hukum, namun ia dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional
(customary international law). Deklarasi juga diposisikan sebagai interpretasi paling
resmi atas terminologi hak asasi manusia sebagaimana tertera pada Pembukaan Piagam
PBB. Sejauh ini, substansi Deklarasi telah masuk ke dalam konstitusi di hampir seluruh
negara anggota PBB serta menjadi dasar bagi disahkannya berbagai dokumen hak asasi
manusia yang mengikat secara hukum.
2. Prinsip-prinsip Dasar
fondasi baru bagi tata dunia yang baru untuk menghapus sejarah kelam masa lalu yang
dengan aliran darah ketika terjadi perang antar manusia baik pada masa Perang Dunia I,
Perang Dunia II, Peristiwa Holocaust dan segala bentuk penjajahan pada masa
sebelumnya. Inti dari substansi konsideran pembukaan dan Pasal 1 adalah persamaan
(equality), martabat kemanusiaan (dignity) dan persaudaraan (brotherhood).
3. Kategori Hak
a. Hak-hak Personal
Hak-hak personal ini tercantum mulai Pasal 2 - 11. Pada Pasal-pasal ini
dinyatakan beberapa kategori hak antara lain (a) hak semua orang untuk mengecap
semua tabulasi hak yang tercantum dalam Deklarasi tanpa ada diskriminasi atas alasan
apa pun, (b) hak atas penghidupan kemerdekaan dan keselamatan individu, (c) hak
untuk tidak diperbudat (d) hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan atau dihukum
secara kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat, (e) hak atas pengakuan
sebagai subjek hukum, (f) hak atas perlindungan hukum, (g) hak atas bantuan
pengadilan atas terlanggarnya hak dasar, (h) hak untuk tidak ditangkap, ditahan dan
dibuang secara sewenang-wenang, (i) hak atas peradilan yang fair, (j) hak atas praduga
tidak bersalah dan hak untuk melakukan pembelaan.
Hak sipil dimaknai sebagai kebebasan individu dari campur tanga orang lain
khususnya negara, sedangkan hak politik adalah kebebasa individu untuk berpartisipasi
57
dalam urusan publik. Tabulasi hak dan sipil politik tercantum mulai Pasal 18-21 yaitu
(a) hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, (b) hak atas kebebasan
mempunyai dan menyampaikan pendapat, (c) hak atas kebebasan berkumpul, berserikat
dan tidak dipaksa untuk memasuki salah satu perkumpulan, (d) hak untuk turut serta
dalam pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih secara
bebas.
Tabulasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum mulai Pasal 22-27.
Pada Pasal-pasal ini dinyatakan antara lain (a) hak atas jaminan sosial, (b) hak atas
pekerjaan, upah yang layak, dan hak untuk mendirikan dan memasuki serikat kerja, (c)
hak atas istirahat dan liburan serta pembatasan kerja yang layak, (d) hak atas standar
hidup yang layak, termasuk aspek kesehatan dan kesejahteraan, bagi dirinya dan
keluarganya termasuk perlindungan sosial bagi ibu dan anak, baik yang lahir dalam
perkawinan maupun di luar perkawinan, (e) hak atas pendidikan, dan hak atas
pendidikan gratis terutama pada jenjang pendidikan rendah dan pendidikan dasar, (f)
hak untuk berpartisipasi dalam hidup kebudayaan masyarakat dan menikmati hasil
kesenian dan hak atas perlindungan untuk menikmati basil dari suatu produksi dalam
lapangan ilmu pengetahuan, sastra dan seni yang diciptakannya.
4. Mekanisme Pengawasan
Bagian terakhir dari Deklarasi adalah mekanisme atau perintah penegakan hak
asasi manusia oleh dunia internasional yang diatur pada Pasal 28-30. Sesuai dengan
sifatnya sebagai soft law, perintah penegakan (order for implementation) ini dinyatakan
dalam bentuk bahasa yang deklaratif antara lain pada Pasal 28 dikatakan bahwa setiap
orang berhak atas tatanan sosial dan internasional yang di dalamnya hak dan kebebasan
dapat dipenuhi. Pada Pasal 29 dinyatakan bahwa (a) setiap orang mempunyai
kewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk mengembangkan pribadinya
sepenuhnya, (b) dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh .andang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-
syarat yang adil dalam kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat demokratis, (c) hak dan kebebasan ini dengan jalan bagaimanapun tidak
boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB.
Deklarasi diakhiri dengan pernyataan bahwa tidak satupun di dalam Deklarasi
ini boleh ditafsirkan memberikan suatu negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk
terlibat di dalam kegiatan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk
merusak hak dan kebebasan-kebebasan yang manapun yang termaktub dalam
Deklarasi.
58
1. Sejarah Pengesahan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau KIHSP (International
Covenant on Civil and Political Rights or ICCPR) disahkan oleh General Assembly
Resolusion atau GA. Res. 2200A (XXI) pada 16 Desember 1966 dan diberlakukan
pada 23 Maret 1976. Saat ini kurang lebih 170 negara telah meratifikasinya. Di Asia
Tenggara, Kovenan ini diratifikasi pertama kali oleh Vietnam (1982), diikuti oleh
Filipina (1986), Kamboja (1992), Thailand (1996), Laos (2000), dan Indonesia (2005).
Negara yang belum meratifikasi adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, dan
Singapura.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yang ditandatangani pada 28 Oktober 2005 dan diundangkan pada Lembaran Negara
Tahun 2005 Nomor 119. Di dalam pertimbangannya, Indonesia meratifikasi Kovenan
karena beberapa alasan yaitu bahwa hak asasi manusia adalah: (a) hak yang melekat
pada manusia secara kodrati, (b) Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional
yang harus menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
tujuan PBB, (c) substansi Kovenan pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD NRI 1945 dan Pemerintah Indonesia menyatakan keinginannya untuk terus
memajukan dan melindungi hak asasi manusia.
2. Prinsip-prinsip Dasar
bahwa penghormatan atas seluruh hak sipil dan politik adalah menjadi tanggung jawab
negara.
Ketiga prinsip tersebut dapat dibaca dan dipahami berdasarkan Pasal 2 Kovenan
yang berbunyi:
(1) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin
hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam
wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apa pun
serperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik dan opini lain, asal-
usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
(2) Dalam hal belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan
lainnya yang ada, setiap Negara Pihak pada Kovenan berjanji untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-
undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak yang
diakui dalam Kovenan ini.
(3) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk:
(a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasannya sebagaimana
diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapatkan pemulihan yang
efektif, meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam
kapasitas resmi;
(b) Menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan demikian, hak
atas perbaikan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administratif,
atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga lain yang berwenang, yang
ditentukan oleh sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan
kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum;
(c) Menjamin bahwa pejabat yang berwenang akan melaksanakari pemulihan
tersebut apabila dikabulkan.
Selain beberapa prinsip di atas, Kovenan juga menekankan dua hal penting
lainnya yaitu adanya kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
(non-derogable rights) dan tidak diperbolehkannya melakukan penafsiran dan
pembatasan atau pengurangan untuk menghancurkan hak dan kebebasan yang diakui
dalam Kovenan.
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa negara memiliki
kewenangan untuk menyimpangi (derogate) kewajiban internasional dalam
penghormatan hak sipil dan politik dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan
bangsa. Namun penyimpangan tersebut tidak dapat dilakukan terhadap hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak
diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena ketidakmampuan memenuhi kewajiban
kontraktual, hak atas asas legalitas, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Kovenan ini juga meminta semua Negara Pihak untuk memastikan bahwa tidak
ada satupun klausul Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada
60
negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk
menghancurkan hak dan kebebasan yang diakui oleh Kovenan. Jikalaupun suatu negara
akan melakukan pengurangan atau pembatasan, maka tindakan tersebut harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kovenan.
3. Kategori Hak
Kovenan ini berisi serangkaian kategori hak-hak klasik yang sebagian besarnya
terkait kebebasan individu dari perlakuan yang tidak adil dan merendahkan martabat.
Secara umum, penulis membagi kategori hak yang diakui oleh Kovenan ke dalam 11
(sebelas) kelompok antara lain sebagai berikut.
Kelompok pertama adalah hak paling dasar yaitu hak untuk hidup dan hak
untuk tidak dirampas kehidupannya (Pasal 6). Kovenan masih memberikan
kemungkinan bagi Negara Pihak untuk menerapkan hukuman mati dengan persyaratan
yang sangat ketat.
Kelompok kedua adalah kategori integritas fisik (Pasal 7 dan 8). Kategori
haknya adalah hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji dan
merendahkan martabat; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk tidak diperhambat dan
hak untuk tidak dipekerjakan secara paksa. Pada prinsipnya Negara Pihak harus
memastikan adanya larangan kerja paksa atau kerja wajib. Namun, dikecualikan dari
larangan tersebut adalah kerja wajib sebagai pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan
oleh pengadilan dan hal itu adalah bentuk hukuman resmi atas kejahatan yang
dilakukan. Kerja wajib sebagaimana dimaksud bagian ini antara lain seperti kerja wajib
atas perintah yang sah dari pengadilan atau bagi orang yang menjalani pembebasan
bersyarat, kerja wajib kemiliteran, dan kerja wajib dalam mengatasi keadaan darurat
yang mengancam kehidupan bangsa.
Kelompok ketiga adalah hak-hak hukum (Pasal 9, 10, 11, 15 dan 16). Beberapa
kategori hak pada kelompok ini antara lain hak untuk tidak ditangkap atau ditahan
sewenang-wenang; hak untuk segera diberitahu tuduhan atas penangkapan yang
dialaminya; hak untuk segera dibawa ke hadapan hakim; hak setiap orang yang ditahan
atau ditangkap untuk segera dibawa ke sidang pengadilan agar hakim segera dapat
menentukan keabsahan penangkapan atau penahanannya; hak atas ganti rugi bagi orang
yang menjadi korban salah tangkap; hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan
bermartabat bagi orang yang dirampas kebebasannya; terdakwa berhak untuk
dipisahkan dari orang yang telah dijatuhi pidana, dan diperlakukan secara berbeda
sesuai statusnya yang belum dipidana; terdakwa anak berhak untuk dipisahkan dari
orang dewasa; dan penjara harus didesain untuk melakukan pembinaan dan bertujuan
untuk memperbaiki dan rehabilitasi sosial. Pada Pasal 11 diatur secara khusus bahwa
tidak seorangpun dapat dipenjara semata karena tidak mampu membayar utang. Pasal
15 dan 16 memberikan penekanan pada pentingnya penerapan asas legalitas dan asas
equality before the law.
61
Kelompok keempat adalah kebebasan bergerak (Pasal 12 dan 13). Kategori hak
pada kelompok ini antara lain hak untuk memilih tempat tinggal; hak untuk
meninggalkan negaranya; dan hak untuk tidak dirampas kebebasannya ketika ingin
kembali pulang ke negaranya. Pasal 13 memberi jaminan bahwa orang asing tidak
boleh diusir tanpa alasan hukum yang jelas.
Kelompok kelima adalah jaminan peradilan yang fair (Pasal 14). Beberapa
kategori hak pada kelompok ini antara lain hak untuk diperlakukan sama di hadapan
hukum; hak atas peradilan yang adil; hak atas penerapan asas praduga tidak bersalah;
dan hak atas jaminan minimum prosedur peradilan.
Kelompok keenam adalah integritas pribadi dan keluarga (Pasal 17, 18, 19 dan
23). Beberapa hak yang masuk kelompok ini antara lain hak atas privasi atau hak untuk
tidak dicampuri urusan pribadinya; hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak untuk bebas berpendapat termasuk mencari, menerima dan memberikan
informasi. Pasal 23 memberikan jaminan kebebasan membentuk keluarga dan
perlindungan atas hak laki-laki dan perempuan di dalam atau karena perceraian.
Kelompok ketujuh adalah larangan propaganda perang dan ujaran kebencian
(Pasal 20). Segala macam propaganda untuk perang harus Setiap orang juga dilarang
menganjurkan kebencian atas dasar bangsa, ras, agama dengan tujuan untuk melakukan
diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
Kelompok kedelapan adalah kebebasan berserikat (Pasal 21 dan 22). Setiap
orang bebas berkumpul dan/atau bergabung pada serikat pekerja. Pembatasan atas hak
tersebut hanya boleh dilakukan dengan terpenuhinya arat untuk melakukan pembatasan
(limitation) sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Kelompok kesembilan hak anak (Pasal 24). Setiap anak berhak atas
perlindungan khusus karena statusnya sebagai anak. Setiap anak yang lahir juga berhak
untuk segera diberi nama serta berhak atas status kewarganegaraan dari negara.
Kelompok kesepuluh terkait hak politik (Pasal 25). Setiap orang tanpa
diskriminasi berhak untuk turut serta dalam pemerintahan; hak untuk dan dipilih; dan
hak atas pelayanan publik yang memadai.
Kelompok kesebelas adalah non-diskriminasi dan perlindungan khusus Pasal 26
dan 27). Semua negara harus menghapus dan melarang segala macam kebijakan dan
tindakan diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal usul kebangsaan, kekayaan, kelahiran dan status
lain. Negara juga memberikan mekanisme perlindungan khusus bagi kelompok
minoritas seperti mengamalkan ajaran agama mereka atau menggunakan bahasa
mereka sendiri.
4. Isu Penting
Pada bagian ini akan dijelaskan 3 (tiga) kategori hak yang penting. Ketiga isu
ini penting karena dua alasan yaitu tingkat kontroversi dan tingkat kepentingan bagi
ahli hukum. Isu tersebut antara lain hak untuk hidup dan hukuman mati, hak atas
62
peradilan yang fair, dan hak atas kebebasan beragama. Penjelasan terperincinya sebagai
berikut.
Pada dasarnya Kovenan menggariskan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Di Indonesia
hingga saat ini hukuman mati masih merupakan satu dari sekian banyak jenis
hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim untuk beberapa kejahatan seperti
pembunuhan berencana, kejahatan terorisme, kejahatan penyalahgunaan narkoba,
dan korupsi khusus terhadap dam bantuan bencana alam. Hukuman mati ini pernah
dimohonkan untuk dinyatakan inkonstitusional melalui judicial review di
Mahkamah Konstitusi. Pada putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
hukuman mati masih dapat diterapkan di Indonesia dan tidak bertentangan dengan
Konstitusi." Di dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi merujuk pada Pasal
3 DUHAM dan Pasal 6 ayat (2) KIHSP.
Adalah benar bahwa Kovenan memberikan kemungkinan bagi Negara Pihak yang
masih menerapkan hukuman mati, hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan pada
kejahatan yang sangat serius dan dengan persyaratan yang sangat ketat. Komite
Hak Asasi Manusia menyimpulkan bahwa perampokan, perdagangan sampah
beracun, bersekongkol untuk bunuh diri, pelanggaran yang terkait obat-obatan,
pelanggaran kepemilikan, pengulangan tindakan menghindari dinas militer,
kemurtadan, melakukan tindakan homoseksual, penggelapan oleh pejabat negara,
pencurian dengan kekerasan, perzinaan, korupsi, dan kejahatan-kejahatan yang
tidak berujung pada hilangnya nyawa adalah bukan termasuk kejahatan serius.
Mashood Baderin kemudian merujuk pendapat Joseph, Schultz dan Castan bahwa
makna kejahatan serius adalah `pembunuhan terencana atau percobaan
pembunuhan, atau penyiksaan terencana yang menimbulkan derita jasmani yang
besar' sesuai Pasal 6 ayat (2) KIHSP.
Persyaratan atas penerapan hukuman mati juga telah di atur secara ketat, yaitu
sebagai berikut.
1) Hukuman mati dijatuhkan terhadap kejahatan yang sangat serius berdasarkan
hukum yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan.
2) Hukuman mati dijatuhkan dengan menghormati dan melaksanakan semua
perintah Kovenan dan tidak bertentangan dengan Konvensi tentang Pencegahan
dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
3) Hukuman mati hanya boleh dilakukan setelah mendapatkan putusan akhir dari
pengadilan yang berwenang.
4) Hukuman mati dilakukan setelah terpidana mengakses hak atas pengampunan
atau penggantian hukuman atau amnesti.
63
5) Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada anak yang belum berusia 18 tahun
pada saat melakukan kejahatan.
6) Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan pada perempuan yang tengah hamil.
Pertanyaannya, apakah saat ini menurut hukum hak asasi manusia internasional,
hukuman mati masih dianggap sebagai hukuman yang sah? Jawabannya adalah
tidak. KIHSP disahkan pada tahun 1966. Dua puluh tiga tahun kemudian, yaitu
pada tahun 1989, PBB telah mengesahkan Protokol Tambahan II pada KIHSP
dengan Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res. 44/128 pada 15 Desember 1989 dan
efektif berlaku pada 11 Juli 1991. Pada pertimbangan Protokol ini dinyatakan
bahwa Pasal 6 Kovenan sesungguhnya memiliki pesan yang kuat untuk
menghapuskan hukuman mati dan langkah penghapusan hukuman mati adalah
kemajuan penting dalam menikmati hak untuk hidup. Pasal 1 Protokol ini berbunyi:
(1) Tidak seorangpun dalam wilayah hukum Negara-negara Pihak pada Protokol
ini dapat dihukum mati.
(2) Setiap Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk menghapuskan hukuman mati di dalam wilayah hukumnya.
Prinsip peradilan yang fair (fair trial principle) akan dijelaskan dengan merujuk
pada penjelasan Manfred Nowak tentang Pasal 14 Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik. Penjelasan ini dilakukan dengan membuat penjelasan dari
berbagai unsur yang terkandung di dalam Pasal 14 tersebut. Penjelasan lengkapnya
sebagai berikut.
1) Semua orang berhak untuk diperlakukan sama di muka pengadilan
Prinsip ini diusulkan oleh Uni Soviet yang didukung oleh negara-negara sosialis
dan negara berkembang yang beroposisi terhadap negara Barat. Semua negara
bersepakat bahwa hak untuk diperlakukan sama di muka pengadilan merupakan
hak yang sangat esensial dan merupakan prinsip umum dari 'rule of law'.
Terminologi yang digunakan pada ketentuan Kovenan adalah 'in full equality'
atau dalam persamaan yang penuh. Hal ini menunjukkan bahwa semua orang
memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sama di muka pengadilan. Tidak
boleh ada pembedaan atas dasar apa pun, baik ras, suku, agama, identitas
kelamin, kekayaan, dan lain sebagainya. Pasal 14 Kovenan memberikan
ketentuan 'equality before the court and tribunals'. Pembedaan penggunaan
istilah 'court' dan 'tribunals' padahal makna bahasanya sama memiliki maksud
64
Ketentuan ini juga bermakna bahwa proses peradilan pidana tidak boleh
ditentukan oleh lembaga politik dan pejabat administratif, peradilan harus
dilaksanakan oleh institusi yang kompeten, independen dan imparsial yang
seluruhnya ditentukan oleh hukum. Peradilan harus dilaksanakan secarafair
dengen mengedepankan 'the principle of equality of arms'. Prinsip ini
mengatakan bahwa harus ada keseimbangan hak untuk didengar antara jaksa
penuntut umum, hakim dan terdakwa (atau `audiatur et altera pars'). Tidak
boleh ada satu pihak yang selalu mendominasi persidangan dengen
menghabiskan waktu untuk bicara namun tidak mau mendengar pihak lain.
hukum kuno in dubio pro reo. Seorang hakim juga hanya boleh
menjatuhkan hukuman karena terdakwa terbukti bersalah, tanpa ada
keraguan sedikitpun atas putusannya. Jika hakim merasa ragu walaupun
hanya sedikit, maka terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah. Praduga tak
bersalah ini berlaku dalam semua keadaan. Walaupun proses peradilan
berada di bawah tekanan media, tekanan kelompok masyarakat tertentu,
atau bahkan tekanan dari aktor kekuasaan, maka prinsip praduga tak
bersalah harus tetap dijalankan dan ditegakkan.
pembela sesuai dengan pilihannya sendiri. Hal ini berkaitan dengan tidak
boleh ada paksaan bagi terdakwa untuk menggunakan tim pembela tertentu,
sehingga terdakwa memiliki kebebasan untuk memilih pembela sesuai
pilihan dia sendiri.
Hak untuk disidang tanpa ada penundaan yang tidak tepat tidak hanya
berkaitan dengan kapan persidangan dimulai, tetapi juga dengan kapan
persidangan akan berakhir dan putusan dijatuhkan. Semua tahapan
persidangan harus dilakukan tanpa ada penundaan yang tidak tepat. Proses
peradilan harus dipastikan di dalam hukum acaranya bahwa tidak akan
terjadi penundaan yang tidak tepat, baik pada saat mulai persidangan
ataupun pada saat proses persidangan hingga selesai dengan penjatuhan
putusan.
Secara prinsip terdakwa berhak membela dirinya sendiri, namun dia juga
berhak meminta pembela untuk mewakili dan membela kepentingannya.
Dalam hal ini pengadilan harus selalu memberikan informasi kepada
terdakwa bahwa dia berhak atas pembelaan. Secara prinsip juga bahwa
terdakwa berhak memilih pembela sesuai pilihannya, namun jika terdakwa
tidak memiliki cukup uang untuk membayar, maka terdakwa berhak atas
bantuan hukum gratis, dan pengadilan wajib menyediakan pembela bagi
terdakwa. Hal ini berkaitan dengan kewajiban administratif dari pengadilan.
67
Putusan haruslah putusan final yang tidak ada peluang upaya hukum lagi.
Putusan yang dimaksud hanyalah terhadap putusan atas perkara pidana.
Kompensasi yang diberikan karena adanya kekeliruan pengadilan harus
dibarengi dengan pengampunan atau pembebasan dari segala dakwaan
kepada terdakwa. Atau kompensasi juga dapat diberikan kepada terdakwa
yang telah dijatuhi hukuman, yang kemudian ditemukan bukti baru yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah. Bentuk hukuman ini tidak
hanya hukuman penjara tetapi segala bentuk hukuman yang lain.
69
Hak atas kebebasan beragama termasuk salah satu hak yang tidak dapat dikurangi
(non-derogable rights). Di Indonesia, kebebasan beragam masih menjadi salah satu
isu yang masih sangat kontroversia. Kontroversi itu terkait apakah negara perlu
mengakui beberapa agama dan tidak mengakui sebagian yang lain? Kemudian
bagaimana sikap negara bagi warga negara yang sesungguhnya memang beragama
di luar agama yang diakui. Perdebatan ini sempat mengemuka ke publik yaitu pada
saat sekelompok orang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
terhadap Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penodaan Agama. Pasal 1 tersebut berbunyi:
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan kegiatan agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama
itu".
Pasal 18 DUHAM
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya,
mempraktikkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 18 KIHSP ayat (1) dan ayat (3):
Ayat (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
individu maupun secara bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
menjalankan kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Ayat (3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan
dasar orang lain.
5. Mekanisme Pengawasan
1. Sejarah Pengesahan
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau KIHESB
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights or ICESCR)
disahkan oleh dengan General Assembly Resolusion atau GA. Res. 2200A (XXI) pada
16 Desember 1966 dan diberlakukan pada 3 Januari 1976. Saat ini kurang lebih 168
negara telah meratifikasinya. Di Asia Tenggara, Kovenan ini diratifikasi pertama kali
oleh Filipina yaitu pada 1976 kemudian dua negara lain dekade ini juga melakukan
ratifikasi yaitu Indonesia (2005) dan Laos (2007). Negara yang belum meratifikasi
adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, dan Singapura.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya yang ditandatangani pada 28 Oktober 2005 dan diundangkan pada
Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118. Konsideran pada undang-undang ini sama
persis dengan Konsideran pada undang-undang ratifikasi Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik.
2. Prinsip-prinsip Dasar
3. Kategori Hak
Kovenan ini diawali dengan meminta kepada Negara Pihak untuk menjamin
kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan dalam penikmatan hak ekonomi, sosial dan
budaya. Setelah itu, Kovenan menegaskan bahwa pembatasan atas hak yang diakui
dalam Kovenan hanya dapat dilakukan secara hukum dan pembatasan itu dilakukan
justru untuk menaikkan kesejahteraan umum. Tidak diperkenankan sama sekali
melakuka penafsiran yang justru bertentangan dengan semangat Kovenan dan bertujuan
untuk menghancurkan substansi hak dan kebebasan yang diatur dalam Kovenan. Secara
kategoris, hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dibagi ke dalam 5 (lima) kelompok
yang penjelasannya adalah sebagai berikut.
Kelompok pertama adalah hak atas dan dalam pekerjaan (Pasal 6, 7 dan 8).
Beberapa hak yang termasuk kelompok ini antara lain hak atas pekerjaan; hak atas
pembinaan dalam rangka mencari pekerjaan; hak atas kondisi kerja yang layak dan adil
yang di dalamnya termasuk hak atas upah yang layak untuk dirinya dan keluarganya,
kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk promosi, hak atas
istrirahat dan liburan serta jam kerja yang layak; hak untuk membentuk dan/atau
bergabung ke serikat pekerja termasuk hak untuk melakukan mogok kerja
Kelompok kedua adalah terkait jaminan perlindungan (Pasal 9 dan 10; Kategori
haknya antara lain hak atas jaminan sosial termasuk asuransi sosial; perlindungan
khusus bagi keluarga termasuk bagi ibu yang aka melahirkan, hak ini terkait hak cuti
dengan gaji yang memadai.
Kelompok ketiga adalah kehidupan yang layak (Pasal 11 dan 12, Kategori
haknya antara lain hak atas standar kehidupan yang layak diri dan keluarga; hak bebas
dari kelaparan; hak atas standar tertinggi pemenuhan fasilitas kesehatan fisik dan
75
mental termasuk penurunan angka kematian bayi dan perkembangan anak yang baik,
perbaikan fasilita kesehatan dalam dunia industri, dan pencegahan penyebaran penyakit
endemik menular.
Kelompok keempat adalah pendidikan (Pasal 13 dan 14). Kategori haknya
antara lain hak atas pendidikan, termasuk promosi nilai-nilai partisipasi aktif, saling
pengertian antarmasyarakat, toleransi dan persahatan antarbangsa; pembiayaan
pendidikan termasuk pendidikan dasar yang gratis, pendidikan lanjutan yang dipenuhi
secara bertahap menuju gratis, pendidikan tinggi yang tersedia dan dapat diakses oleh
masyarakat dan pengembangan sistem beasiswa; hak dan kebebasan orang tua untuk
memilih sekolah bagi anak-anaknya; dan Kovenan meminta kepada Negara Pihak
untuk memenuhi pendidikan dasar gratis dalam angka waktu dua tahun setelah
ratifikasi.
Kelompok kelima adalah partisipasi budaya (Pasal 15). Setiap orang memiliki
hak dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya; menikmati hasil dari
kemajuan ilmu pengetahuan; hak atas perlindungan dan penikmatan atas kekayaan
intelektual; dan hak atas kebebasan melakukan kegiatan ilmiah.
4. Isu Penting
Pada bagian ini akan diuraikan dua isu penting di dalam Kovenan yaitu hak atas
pendidikan dan hak atas kesehatan. Kedua kategori hak ini dipilih karena keduanya
merupakan hak paling dasar yang harus sekuat tenaga dipenuhi oleh negara. Kedua hak
tersebut juga merupakan hak yang tidak memunculkan kontroversi apa pun. Semua
orang bersepakat bahwa hak atas pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar yang
harus dinikmati oleh semua orang tanpa ada diskriminasi berdasarkan apa pun.
Hak atas pendidikan diakui di dalam Pasal 13 Kovenan. Hak atas pendidikan,
termasuk beberapa hak dasar seperti kebebasan kependidikan dan kebebasan akademik
(academic freedom) merupakan isu utama dalam diskursus hak asasi manusia modern.
Pendidikan merupakan prakondisi bagi terpenuhinya hak asasi manusia. Pendidikan
juga merupakan alat untuk memperkuat bangunan struktur hak asasi manusia.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tujuan
pendidikan adalah untuk memperkuat jalinan kemanusiaan universal tanpa diskriminasi
dan menjaga perdamaian. Bunyi lengkap Pasal tersebut adalah:
Pendidikan hendaknya diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia secara
penuh dan untuk memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan dasarnya. Pendidikan tersebut harus memajukan pemahaman,
toleransi, dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok-kelompok agama.
dan ras, dan hendaknya melanjutkan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk mempertahankan perdamaian.
76
Konvensi Hak Anak telah memberikan ketentuan paling rinci mengenai tujuan
pendidikan. Konvensi Hak Anak memiliki rekor paling baik dalam hal negara
peratifikasi. Hanya kurang dan dua tahun, hampir semua negara anggota PBB telah
melakukan ratifikasi. Hal ini sebagai penanda bahwa Konvensi Hak Anak merupakan
salah satu instrumen hak asasi manusia yang universalitasnya paling diakui. Menurut
Pasal 29 ayat (1) Konvensi Hak Anak, pendidikan diselenggarakan hendaknya
bertujuan:
(a) Mengembangkan kepribadian, bakat dan mental dan kemampuan fisik untuk
mencapai potensi penuh mereka.
(b) Mengembangkan penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental,
serta prinsip-prinsip yang tertera atau dinyatakan dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
(c) Mengembangkan penghormatan anak-anak terhadap orang tua, identitas
kebudayaannya, bahasa, dan nilai-nilainya sendiri, serta bagi nilai-nilai nasional
negaranya tempat di mana anak itu hidup, atau terhadap negara darimana ia
berasal dan bagi peradaban-peradaban yang berbeda dari yang dimilikinya.
(d) Menyiapkan anak untuk hidup secara bertanggung jawab dalam masyarakat
yang bebas, dengan semangat saling memahami. perdamaian, toleransi dan
kesetaraan jenis kelamin, dan persaudaraan di antara semua orang, etnis,
kelompok bangsa dan agama serta orang indigenos.
(e) Mengembangkan penghormatan terhadap lingkungan alam.
Satu hal yang menarik dari Kovenan adalah ia mewajibkan Negara Pihak untuk
membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar. Pasal 14 Kovenan meminta Negara
Pihak dalam waktu dua tahun harus sudah membebaskan biaya pendidikan dasar. Jika
belum, maka negara tersebut wajib menyusun sebuah perencanaan yang baik tentang
bagaimana pemenuhan pendidikan gratis tersebut. Negara Pihak juga diwajibkan utuk
mengusahakan agar pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi juga dibebaskan secara
bertahap.
Hak atas pendidikan ini mengandung banyak aspek terkait pendidikan antara
lain hak untuk mendapatkan pendidikan, kesetaraan akses pada fasilitas pendidikan,
kebebasan memilih pendidikan, kebebasan untuk mendirikan lembaga pendidikan,
memastikan perlindungan bagi anak tindakan tidak manusiawi, dan kebebasan
akademik.
Hak untuk mendapatkan pendidikan terkait dengan kewajiban positif negara
untuk melakukan pemenuhan (state obligation to fulfill). Kewajiban positif ini
dimaknai sebagai kewajiban progresif (progressive obligation) yaitu Negara Pihak
wajib mengambil langkah untuk memanfaatkan sumber dayanya secara maksimal
dalam rangka memenuhi hak atas pendidikan. Hal ini juga terkait kewajiban mencapai
hasil (obligation of result) yang berisi tindakan atau langkah-langkah tertentu yang
diambil oleh negara untuk mencapai hasil yaitu terpenuhinya pendidikan. Tindakan itu
seperti membuat kebijakan eksekutif maupun tindakan legislatif. Di Indonesia, contoh
yang relevan adalah kewajiban bagi pemerintah untuk mengalokasikan paling sedikit
20% anggarannya untuk memenuhi hak atas pendidikan.
77
Kesetaraan akses pada fasilitas pendidikan terkait paling utama dengan prinsip
non-diskriminasi. Setiap orang dengan latar belakang apa pun haruslah memiliki akses
yang sama terhadap fasilitas pendidikan yang disediakan oleh negara. Terkhusus,
negara harus memastikan bahwa kelompok-kelompok marginal juga harus
mendapatkan askes atas fasilitas pendidikan yang memadai. Tidak diperkenankan
memanfaatkan fasilitas pendidikan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu seperti
etnis, agama dan bahasa termasuk mereka yang kelompok rentan seperti penyandang
disabilitas, perempuan atau orang dengan warna kulit yang berbeda.
Kebebasan memilih pendidikan ini terkait dengan peluang bagi individu
memilih apakah akan menggunakan fasilitas yang disediakan negara atau tidak. Hukum
hak asas manusia internasional juga menekankan pentingnya kebebasan orang tua
untuk memilih pendidikan bagi anak-anak mereka menurut agama, moral, filsafat dan
keyakinan masing-masing. Satu hal yang sangat ditekankan adalah bahwa Negara
Pihak wajib memberikan fasilitas pendidikan dasar yang bebas biaya. Hal ini penting
untuk memastikan bahwa setiap anak akan berkembang dengan baik dan mampu
bertanggung jawab atas hidupnya di masa depan.
Kebebasan untuk mendirikan lembaga pendidikan terkait kebebasan setiap
individu untuk mendirikan sekolah swasta sesuai dengan cara pandang dan
keyakinannya. Kebebasan ini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi tunduk pada
standar minimum pendidikan (seperti izin mendirikan sekolah, standar kurikulum,
sertifikasi atau akreditasi). Selain itu, semua sekolah swasta juga berkewajiban
menghomati semua hak dasar anak, khususnya hak untuk diperlakukan secara
bermartabat.
Anak, peserta didik, berhak bebas dari tindakan tidak manusiawi. Negara Pihak
wajib mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin bahwa disiplin sekolah
diatur sedemikian rupa sehingga konsisten dengan martabat kemanusiaan anak.
Kewajiban ini berlaku bagi sekolah negeri maupun swasta. Kewajiban ini juga terkait
bahwa setiap anak berhak untuk bebas dari hukuman fisik dan bentuk penyiksaan lain.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memutuskan bahwa 4 (empat) kali pukulan
dengan kayu kecil ke bokong anak usia 15 tahun yang dilakukan oleh seorang guru
merupakan pelanggaran terhadap hak anak
Kebebasan akademik terkait dengan kebebasan individu untuk melakukan
penelitian dan menyampaikan pandangan akademiknya. Pasal 15 ayat (3) dan (4)
Kovenan menetapkan bahwa Negara Pihak harus menghormati kebebasan-kebebasan
yang tidak dapat dielakkan bagi kegiatan kreativitas serta penelitian ilmiah. Kebebasan
ini juga terkait dengan kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi, kebebasan atas
informasi, dan berserikat serta berkumpul.
Secara teknis, Negara Pihak telah diberi petunjuk mengenai apa yang harus
dilakukan dalam rangka pemenuhan hak atas pendidikan. Petunjuk ini dinamai
indikator yang kemudian dikukuhkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Pada awalnya Dewan Ekonomi dan Sosial menunjuk Catarina Tomasevski sebagai
Pelapor Khusus (Special Rapporteur) untuk menangani isu pendidikan. Kerja
78
panjangnya kemudian diadopsi oleh Komite dan dijadikan indikator hak asasi manusia
dalam Komentar Umum Nomor 13 (1999). Terdapat 4 (empat) indikator hak atas
pendidikan yaitu ketersediaan (availability), dapat diakses (accessible), dapat diterima
(afordable) dan dapat diadaptasi (adaptable). Penjelasan rincinya sebagai berikut.
1) Ketersediaan (availability). Negara Pihak harus memastikan bahwa institusi dan
program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai. Hal ini meliputi
bangunan gedung, fasilitas sanitasi yang memadai, air minum yang sehat, guru
yang terlatih dengan gaji yang memadai, materi pengajaran, dan fasilitas lain seperti
perpustakaan, laboratorium komputer dan teknologi informasi.
2) Dapat diakses (accessible). Negara Pihak harus memastikan bahwa institusi dan
program pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi.
Pendidikan secara fisik harus aman untuk dijangkau. Secara ekonomi, pendidikan
harus terjangkau dan pendidikan dasar harus bebas biaya.
3) Dapat diterima (afordable). Negara Pihak harus memastikan bahwa bentuk dan
substansi pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pengajaran harus dapat
diterima, misalnya sesuai dengan konteks budaya, bahasa dan kualitasnya.
4) Dapat diadaptasi (adaptable). Pendidikan harus fleksibel untuk merespons dan
menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk mengubah masyarakat dan komunitas,
dan merespons kebutuhan para siswa dalam masyarakat dan tatanan budaya yang
beragam.
Hak atas kesehatan diatur dalam Pasal 12 Kovenan. Hak atas kesehatan
merupakan salah satu hak dasar yang menentukan apakar manusia dapat hidup secara
bermartabat atau tidak. Terdapat beberapa istilah yang digunakan antara lain hak atas
kesehatan, hak atas perawatan kesehatan, hak atas perlindungan kesehatan dan hak
kesehatan. Di antara sekian istilah, hak atas kesehatan (right to health) adalah istilah
yang resmi dan sering digunakan dalam hukum internasional hak asasi manusia. Istilah
hak atas kesehatan (right to health) dipilih karena ia tidak hanya mewakili hak atas
layanan kesehatan, tetapi juga termasuk prasyarat dasar bagi kesehatan seperti air
minum bersih, sanitasi memadai, kesehatan lingkungan dan kesehatan di tempat kerja.
Hak atas kesehatan mencakup dua unsur penting yaitu unsur perawatan
kesehatan dan unsur prasyarat dasar bagi kesehatan. Unsur pertama terkait tindakan
perawatan kuratif serta preventif. Sedangkan unsur yang kedua termasuk air bersih
layak minum, sanitasi memadai kecukupan nutrisi, informasi terkait kesehatan,
kesehatan lingkungan dan kesehatan di tempat kerja.
Merujuk pada strategi Organisasi Kesehatan Dunia (World Healt, Organisation)
tentang Kesehatan Bagi Semua Orang dan Perawatan Kesehatan Utama, unsur-unsur
perawatan kesehatan sebagai berikut.
1) Mengenai perawatan kesehatan:
a) Perawatan kehamilan dan kesehatan anak, termasuk keluarga berencana;
79
5. Mekanisme Pengawasan
Kovenan hanya mengakui 3 (tiga) mekanisme pengawasan yaitu komite,
laporan negara dan komentar umum. Penjelasannya sebagai berikut.
a. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic, Social and
Cultural Rights)
Berbeda dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang
memandatkan pembentukan Komite secara tegas dalam Pasal Kovenan, Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya tidak memandatkan
pembentukan Komite. Tidak adanya pembentukan Komite terjadi karena adanya
perbedaan sikap, jika tidak dikatakan sebagai perang ide, antara negara-negara
Eropa dan Soviet. Negara-negara Eropa pada awalnya tidak setuju dengan ide hak
generasi kedua tersebut, di sisi lain Soviet tidak mau ada lembaga yang diberi
80
kewenangan untuk turut campur urusan domestik negara mereka. Ketika negara-
negara Barat berbicar mengenai `pelaksanaan', itu artinya harus ada mekanisme
supervisi atau penegakan internasional (international supervision and enforcement;
sedangkan Soviet hanya berpikir soal perbantuan dan kerja sama internasional dan
bukan memberikan penilaian atas negara. Alhasi tidak ada Komite yang diberi
mandat untuk mengawasi implementasi substansi Kovenan. Mandat pengawasan
diberikan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council) .
Komite ini terdiri dari 18 (delapan belas) orang ahli yang diangkat dalam
kapasitasnya sebagai pribadi dan terpilih sesuai dengan keterwakilan geografis yang
adil. Masa tugasnya adalah 4 (empat) tahun dan keanggotaannya diatur bergiliran
sehingga setengah keanggotaan diperbarui setiap tahun kedua.
1. Sejarah Pengesahan
2. Prinsip-prinsip Dasar
3. Kategori Hak
Konvensi ini mengatur satu kategori khusus yaitu hak kelompok masyarakat
berdasarkan identitas ras tertentu. Jika Kovenan Kembar lebih banyak bicara hak, maka
Konvensi ini lebih banyak bicara pemangku hak (rights holder) yaitu kelompok ras
tertentu. Penjelasan pada kategori hak akan dilakukan dengan menjelaskan tiga hal
yaitu definisi diskriminasi rasial, tanggung jawab negara, dan kategori hak khusus.
Diskriminasi rasial dimaknai sebagai setiap pembedaan, pengucilan,
pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau asal usul etnik
atau kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau pengakuan, perolehan
atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dalam suatu
kesederajatan, di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang-bidang kehidupan
kemasyarakatan lainnya.
Dikecualikan dari definisi diskriminasi rasial terhadap dua hal. yaitu (1)
pembedaan yang dilakukan Negara Pihak kepada warga negara dan bukan warga
negara, dan (2) langkah khusus yang diambil untuk menjamin pemajuan kelompok ras
atau etnis tertentu atau perorangan yang memerlukan perlindungan khusus agar mereka
dapat menikmati dan melaksanakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
Bagian selanjutnya adalah terkait tanggung jawab negara. Konvensi membuat
penjelasan rinci mengenai tanggung jawab negara antara lain:
a. Negara Pihak harus menyusun langkah segera berisi kebijakan penghapusan
diskriminasi rasial. Negara Pihak berjanji untuk tidak terlibat dalam kegiatan atau
praktik diskriminasi rasial baik terhadap perorangan maupun kelompok ras tertentu.
Negara Pihak berjanji untuk tidak menyokong, mempertahankan dan membantu
diskriminasi rasial yang dilakukan oleh perseorangan ataupun kelompok. Negara
Pihak berjanji untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengakibatkan terjadinya diskriminasi rasial. Negara Pihak berjanji untuk
mendorong gerakan dan organisasi integrasionis multirasial dan menghapus
hambatan antarras.
b. Negara Pihak berjanji untuk mengambil langkah nyata di bidang ekonomi, sosial dan
budaya agar kelompok-kelompok ras tertentu dapat menikmati seluruh hak asasi
manusia dan kebebasan dasar.
c. Negara Pihak berjanji untuk mengutuk pengucilan rasial dan apartheid, mencegah,
melarang dan menghapuskan segala bentuk praktik diskriminasi rasial.
d. Negara Pihak mengutuk semua propaganda dan organisasi yang didasarkan pada
pemikiran dan teori keunggulan suatu ras atau kelompok perorangan dari warna kulit
atau asal usul etnis tertentu. Negara Pihak juga berjanji untuk mengambil langkah
83
4. Mekanisme Pengawasan
Konvensi membuat 5 (lima) mekanisme pengawasan yaitu komite laporan
negara, rekomendasi umum, komunikasi antarnegara, dan komunikasi individual.
84
1. Sejarah Pengesahan
2. Prinsip-prinsip Dasar
3. Kategori Hak
4. Mekanisme Pengawasan
Konvensi ini mengatur adanya lima mekanisme pengawasan antara lain Komite,
Laporan Negara, Rekomendasi Umum, Komunikasi Individual; dan Prosedur Inkuiri.
Komunikasi antarnegara tidak diakui dalam Konvensi ini. Penjelasan keempat
mekanisme tersebut sebagai berikut.
1. Sejarah Pengesahan
2. Prinsip-prinsip Dasar
3. Kategori Hak
Konvensi ini hanya berisi dua kategori hak yaitu hak untuk tidak disiksa dan
hak untuk tidak diperlakukan atau dihukum secara kejam, manusiawi, dan
merendahkan martabat kemanusiaan. Selebihnya adalah berisi kewajiban Negara Pihak
92
untuk memastikan tidak terjadi menyiksaan dan penghukuman yang kejam. Bagian ini
akan menjelaskan 8 (delapan) kelompok substansi Konvensi.
Kelompok pertama, definisi. Pada Pasal 1 Konvensi ditegaskan secara limitatif
mengenai definisi penyiksaan. Pasal tersebut berbunyi:
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan
yang hebat, baik jasmani maupun rohani yang dengan sengaja dilakukan pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari
orang ketiga dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau
diduga telah dilakukan oleh orang itu atau oleh orang ketiga, atau mengancam atau
memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan
oleh, atas hasutan dari, atau dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik
atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Hal ini tidak meliputi rasa
sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul daari, melekat pada, atau tambahan
dari sangsi resmi.
Memahami Pasal 1 di atas, maka unsur pokok penyiksaan dan yang menjadi
pembeda dengan bentuk kejahatan lain adalah bahwa penyiksa; dilakukan berupa
perbuatan yang menderitakan, dilakukan untuk mendapatkan pengakuan atau
keterangan dari korban, dan perbuat; itu dilakukan oleh pejabat publik.
Manfred Nowak memberikan penjelasan bahwa penyiksaan haruslah berbentuk
tindakan aktif (bukan perbuatan pasif atau negligence), ia tidak dapat dilakukan oleh
aktor privat/personal, memerlukan tingkat; tindakan yang ditujukan untuk
menderitakan, dan tidak dapat dilakuk tanpa tujuan (misalnya hanya sekadar sadisme
dan bukan untuk menggali informasi) .
Pasal 1 juga memberikan penjelasan bahwa rasa sakit atau penderita yang
timbul dari dijatuhkannya hukuman yang resmi adalah tidak termasuk kategori
penyiksaan. Contohnya adalah tekanan psikologis tatkala seseorang harus menjalani
hukuman penjara karena melakuk kejahatan tertentu.
Kelompok kedua, non-derogable rights dan prinsip non-refoulement (Pasal 2
dan 3). Sebagaimana dijelaskan pada bagian prinsip bahwa hak untuk tidak disiksa
adalah hak yang absolut yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Prinsip non-refoulement berarti bahwa suatu negara tidak boleh memulangkan
seseorang yang patut diduga, ia akan menjadi korban penyiksaan di negaranya.
Kelompok ketiga, kewajiban kriminalisasi (Pasal 4). Konvensi memberikan
kewajiban kepada Negara Pihak untuk melakukan kriminalisasi atas perbuatan
penyiksaan, termasuk percobaan melakukan Denyiksaan, membantu atau turut serta
dalam melakukan penyiksaan. Setiap tindak pidana hanya boleh dihukum dengan
hukuman yang sepadan dengan pertimbangan sifat kejahatannya.
Kelompok keempat, yurisdiksi universal (Pasal 5-8). Secara teoritik, yurisdiksi
universal dimaknai sebagai "hak setiap negara untuk mengadili seseorang yang telah
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tanpa mempersoalkan apakah negara di
93
mana kejahatan tersebut telah terjadi adalah penanda tangan atas Konvesi yang
memberi landasan bagi bertanggungjawaban pidana internasional atas kejahatan
dimaksud". Secara panjang lebar, Konvensi memberikan ketentuan mengenai
pemberlakuan hukum yang menyatakan bahwa penyiksaan haruslah dipandang sebagai
perbuatan pidana. Negara Pihak harus menyatakan yurisdiksinya atas perbuatan
penyiksaan yang dilakukan di dalam wilayah hukumnya atau di atas kapal laut atau
pesawat yang terdaftar pada negara tersebut; atau apabila pelaku adalah warga negara
tersebut; atau apabila Korban adalah warga negara tersebut. Negara Pihak juga harus
menetapkan kewenangannya atas tindak pidana penyiksaan di mana pelakunya berada
di wilayah yurisdiksinya dan negara itu tidak mengekstradisikan pelakunya negara lain.
Negara Pihak juga diberi kewenangan untuk menahan atau mengambil tindakan
hukum lain jika di wilayah hukumnya terdapat pelaku tindak pidana penyiksaan.
Penahanan ini dapat diperpanjang untuk memungkinkan dijalankannya prosedur
pemeriksaan pidana atau ekstradisi dilakukan. Jika suatu Negara Pihak menahan warga
negara lain yang diduga melakukan perbuatan pidana penyiksaan, maka Negara pihak
tersebut harus segera memberi tahu kantor perwakilan negara di mana pelaku menjadi
warga negaranya, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, maka laporan dapat
dikirimkan kepada negara di mana pelaku biasa menetap. Laporan kepada Negara
Pihak lain tersebut berisi informasi pasti bahwa pelaku berada di bawah penahanan dan
alasan penahanannya, dan temuan penyelidikan dan pertanyaan apakah negara tersebut
akan menggunakan kewenangan hukumnya.
Negara Pihak juga diberi kewenangan untuk menuntut pelaku tindak pidana
penyiksaan melalui mekanisme domestiknya jika negara di mana pelaku menjadi warga
negaranya tidak menghendaki untuk memeriksa dan mengadili pelaku. Proses
pemeriksaan dan peradilan bagi pelaku penyiksaan haruslah sama dengan proses
sebagaimana biasa dipraktikkan dalam menangani perkara pidana. Walaupun demikian,
pelaku penyiksaan tetap berhak atas perlakuan yang adil pada semua tahap
persidangan.
Negara Pihak dapat membuat perjanjian ekstradisi atas tindak pidana
penyiksaan. Jika Negara Pihak mempersyaratkan adanya perjanjian ekstradisi namun
Negara Pihak lain tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara tersebut di awal,
maka Konvensi ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi
dan ekstradisi ini semacam ini tunduk pada syarat yang diajukan oleh Negara Pihak
yang menerima permohonan ekstradisi.
Kelompok kelima, kerja sama (Pasal 8). Negara Pihak harus saling membantu
untuk mengungkap tindak pidana penyiksaan termasuk bertukar alat bukti untuk
memudahkan proses pemeriksaan perkara tersebut.
Kelompok keenam, pendidikan dan pengawasan anti penyiksaan (Pasal 10, 11
dan 12). Negara Pihak wajib menjamin dan memastikan bahwa informasi dan
pendidikan anti penyiksaan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan
bagi aparat penegak hukum, sipil (polisi) atau militer, aparat kesehatan, pejabat publik,
dan pejabat publik yang terkait dengan penahanan, interogasi, atau pelayanan kepada
94
orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara. Negara Pihak juga harus mengawasi
peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan dan peraturan tentang
penahanan serta perlakuan terhadap orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara.
Negara Pihak juga harus dengan cepat melakukan penyelidikan jika terdapat informasi
yang layak dipercaya bahwa telah terjadi penyiksaan di negara tersebut.
Kelompok ketujuh, mekanisme komplain (Pasal 13, 14 dan 15). Negara Pihak
harus memastikan terdapatnya mekanisme di mana korban penyiksaan dapat mengadu
dan mendapatkan pemeriksaan yang adil dan tidak memihak. Negara Pihak juga harus
memberikan perlindungan yang memadai kepada korban dan saksi agar tidak
diperlakukan buruk atau intimidasi akibat laporan dan kesaksian mereka. Negara Pihak
juga harus menjamin korban penyiksaan akan mendapakan ganti rugi yang memadai
berupa kompensasi atau rehabilitas. Jika korban meninggal, maka ahli waris korban
harus dinyatakan berhak atas kompensasi.
Kelompok kedelapan, tindakan preventif (Pasal 16). Negara pihak harus
membuat secara aktif mengatur dan mencegah terjadinya perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang termasuk
pada definisi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 Konvensi.
Dari skema di atas terlihat jelas perbedaan antara penyiksaan dan penganiayaan.
Salah satu aspek penting yang menjadi pembeda antara keduanya adalah bahwa pelaku
penyiksaan melakukan perbuatannya atas nama otoritas dari negara, sedangkan
penganiayaan dilakukan oleh pelaku atas nama pribadi. Hal ini sesuai dengan
penjelasan dan teori tentans pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pada bab
sebelumnya. Pada intinya pelanggaran hak asasi manusia hanya dapat dilakukan oleh
aktor negara karena tidak mampu atau justru sengaja tidak memenuhi menghormati,
dan melindungi hak asasi manusia.
Berangkat dari penjelasan di atas, contoh penyiksaan adalah sebagai berikut:
a. Seorang penyidik kepolisian menyiksa seorang tersangka agar ia mengakui
perbuatannya.
b. Atau seorang penyidik kepolisian memerintahkan seorang tersangka yang ditahan
untuk menyiksa tersangka lain agar ia mengaku perbuatannya atau memberikan
keterangan mengenai keberadaan atau keterlibatan orang lain dalam perbuatan
pidana yang ia lakukan.
c. Atau seorang penyidik kepolisian menyiksa seorang perempuan dan anaknya agar
suaminya (yang ia adalah tersangka pelaku kejahatan) memberikan keterangan
mengenai keterlibatan pihak ketiga.
Contoh di atas dapat diterapkan kepada pejabat publik lain yang dapat
menggunakan otoritas dan kekuasaannya untuk melakukan penyiksaan. Aparat militer
atau polisi pamong praja misalnya, adalah pejabat negara yang potensial melakukan
pelanggaran atas larangan penyiksaan.
Menyikapi sutuasi ini, seyogianya pemerintah Indonesia kembali
mempertimbangkan pentingnya melakukan kriminalisasi terhadap penyiksaan dan
memberikannya ancaman hukuman yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan, pelaku,
yang notabene adalah pejabat publik, seharusnya memberikan perlindungan kepada
96
5. Mekanisme Pengawasan
1. Sejarah Pengesahan
Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child or CRC)
ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res 44/25 tanggal 20 November
1989 dan dinyatakan berlaku sejak 2 September 1990. Pemerintah Indonesia
melakukan ratifikasi Konvensi ini dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Konvens tentang Hak Anak pada 25 Agustus 1990.
Konvensi ini disahkan oleh PBB sebagai respons atas situasi anak-inak di
seluruh dunia yang sangat rawan menjadi korban segala macam kejahatan. Anak-anak
dilaporkan selalu menjadi korban untuk kepentingan misalnya dipekerjakan di pabrik
tekstil, korban kejahatan seksual pedofilia, diperjualbelikan lintas batas (trafficking),
pelacuran paksa agi anak-anak perempuan, dan segala macam penyerangan terhadap
integritas anak-anak. PBB menyadari benar bahwa traktat yang selama ada belum
memberikan jaminan yang memadai bagi perlindugan Sebenarnya PBB telah memiliki
Deklarasi Hak Anak, 1959, namun Deklarasi ini belum kuat karena tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Dieh karenanya, pada tahun 1989 PBB mengesahkan
konvensi khusus bagi perlindungan anak. Konvensi mana memberikan jaminan legal
dan memiliki kekuatan hukum mengikat bagi negara yang telah menyatakan menjadi
pihak pada Konvensi.
Satu hal yang luar biasa dari Konvensi ini adalah bahwa hanya dalam waktu dua
tahun, 192 negara anggota PBB telah menyatakan diri menjadi negara Pihak. Artinya
semua negara anggota PBB telah menjadi Negara Pihak kecuali dua yaitu Somalia dan
Amerika Serikat yang hingga kini belum menyatakan menjadi Negara Pihak pada
Konvensi. Hal ini menandai penerimaan yang sangat luas terhadap substansi Konvensi
dan hal ini juga enandai universalitas dari substansi Konvensi.
2. Prinsip-prinsip Dasar
Sebagai konvensi yang spesifik dan menyangkut hajat seluruh umat manusia,
Konvensi ini memperkenalkan lima prinsip yaitu larangan diskriminasi (prohibition of
99
discrimination), kepentingan terbaik anak (best interest of the child), tanggung jawab
negara (state responsibility), hak untuk hidup dan tumbuh kembang secara maksimal
(right to life abd development to the maximum extent), dan hak untuk berpartisipasi
(right to participation). Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Prinsip larangan diskriminasi dimaknai bahwa Negara Pihak memastikan
bahwa setiap anak berhak atas seluruh ketentuan Konvensi tanpa pembedaan atas dasar
apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lain, kewarganegaraan, asal usul etnis atau sosial, harta kekayaan, jenis
disabilitas yang disandan kelahiran atau status lain dari anak, orang tua atau walinya.
Prinsip kepentingan terbaik anak dimaknai Negara Pihak harus selalu
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak dalam skema program kesejahteraan
sosial, pengadilan, urusan administrasi, ataupun kebijakan legislasi. Negara Pihak harus
memberikan perlindungan dan perawata anak-anak dengan membuat tindakan legislatif
dan administratif yang tepat.
Prinsip tanggung jawab negara dimaknai bahwa Negara Pihak wajib
mengambil semua langkah-langkah legislatif, administratif, dan tindakan lain guna
pelaksanaan hak-hak yang diakui oleh Konvensi, baik hak sipil dan politik, maupun
hak ekonomi, sosial dan budaya. Langkah pemenuhan itu harus dilakukan hingga
sampai batas maksimum dari sumber day-: Negara Pihak dan juga dengan melakukan
kerja sama internasional.
Prinsip hak untuk hidup dan tumbuh kembang secara maksimal dimaknai
bahwa Negara Pihak harus mengakui hak setiap anak atas kehidupan. Setiap anak juga
harus diberikan dijamin tumbuh kembangnya semaksimal mungkin. Untuk kepentingan
itu, Negara Pihak wajib memfasilitasi agar setiap anak dapat tumbuh kembang secara
maksimal.
Prinsip hak untuk berpartisipasi dimaknai bahwa Negara Pihak harus
mengakui hak setiap anak untuk membentuk pendapatnya sendiri, mengutarakan
pendapatnya tersebut dengan bebas dan pendapat anak itu diberi bobot sesuai dengan
umur dan kematangan si anak. Setiap anak juga harus diberi kesempatan untuk
didengar pendapatnya dalam persidangan pengadilan dan ruang diskusi administratif,
perdebatan mana akan berpengaruh terhadap kehidupan si anak.
3. Kategori Hak
Konvensi ini termasuk Konvensi yang paling lengkap mengatur tentang hak-hak
yang diakui. Di dalamnya tercakup seluruh kategri hak sipil, politik, dan hak ekonomi,
sosial, budaya. Penjelasan mengenai kategori hak akan dibagi ke dalam 5 kelompok.
Kelompok pertama, definisi (Pasal 1). Konvensi memberikan definisi secara
limitatif bahwa yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun. Dikecualikan dari itu, jika menurut undang-undang yang
berlaku, kedewasaan anak dicapai lebih.
100
3. Mengambil tindakan legislasi, administrasi, dan sosial urn melindungi anak dari
kekerasan fisik atau mental, penelantaran eksploitasi, termasuk penyalahgunaan
seks yang merusak si anak.
4. Mendorong dimungkinkannya perlindungan khusus seperti penempatan orang tua
angkat, kafalah dalam hukum Islam, adopsi atau penempatan pada lembaga yang
tepat sesuai dengan kepentingi terbaik anak. Kebijakan adopsi harus dibuat secara
ketat di mana hak-hak anak untuk mengetahui asal-usulnya, prasyarat bahwa is
hidup lebih baik menjadi pertimbangan yang sangat penting.
5. Mempermudah prosedur dan proses jika seorang anak akan mengajukan status
sebagai pengungsi. Negara Pihak harus memberikan bantuan maksimal bagi anak
dengan status pengungsi untuk mendapatkan perlindungan, melacak keberadaan
orang tuanya, dan memperoleh informasi untuk dimungkinkannya terjadi
reunifikasi dalam keluarga.
6. Mengakui, memberikan fasilitas, perawatan khusus yang memadai bagi anak yang
menyandang disabilitas. Mereka juga berhak untuk tumbuh kembang dan
berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.
7. Mengakui dan memfasilitasi bahwa setiap anak berhak atas standar paling tinggi
dalam pelayanan kesehatan. Harus disediakan program dan tindakan untuk
mengurangi kematian bayi dan anak, memerangi penyakit dan kekurangan gizi,
perawatan sebelum dan sesudah kelahiran, informasi kesehatan yang memadai
termasuk keunggulan asupan air susu ibu, dan pengembangan model perawatan
kesehatan yang preventif.
8. Menyediakan program jaminan sosial termasuk asuransi social
9. Mengambil langkah dalam rangka pemenuhan hak atas suatu standar kehidupan
yang memadai bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.
10. Mengakui dan menyediakan fasilitas pendidikan. Hal ini termasuk menetapkan
bahwa pendidikan dasar adalah bebas biaya. Pendidikan lanjutan dan pendidikan
tinggi juga harus dibuka seluas-luasnya, dan sesuai dengan kapasitas ekonomi
negara masing-masing, diusahakan untuk juga diberikan secara gratis.
11. Memberikan perlindungan khusus bagi anak yang lahir dan besar dalam kelompok
minoritas, etnis, agama, linguistik atau masyarakat indigenos. Anak-anak tersebut
bebas untuk berbahasa, berbudaya, atau mengamalkan agamanya sesuai dengan
identitasnya sendiri.
12. Mengakui hak anak untuk beristirahat dan menikmati fasilitas rekreasioner
termasuk memberikan fasilitas bagi anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan
budaya dan seni.
13. Memberikan jaminan perlindungan kepada anak yang rentan menjadi korban
eksploitasi ekonomi, termasuk menetapkan usia minimum untuk bekerja, peraturan
ketat mengenai jam kerja, dan menentukan sanksi yang efektif terhadap
pelanggaran ketentuan Konvensi.
14. Menyusun program dalam rangka melindungi anak dari penyalahgunaan narkotika
dan psikotropika.
102
15. Menyusun program dan melaksanakan program kerja sama bilateral atau
multilateral dalam rangka melindungi anak dari eksploitasi seksual, penculikan,
perdagangan anak, dan segala macam bentuk eksploitasi yang merugikan anak-
anak.
16. Negara Pihak wajib menjamin bahwa anak harus bebas penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
17. Negara Pihak wajib memberikan perlindungan yang memadai bagi anak dalam
situasi perang sebagaimana diatur dalam Hukum Humaniter Internasional.
18. Menyusun program reintegrasi sosial bagi anak-anak yang menjadi korban
penelantaran, eksploitasi atau penyalahgunaan dalam bentuk apa pun, penyiksaan,
perlakuan atau penghukuman lain yang kejarn tidak manusiawi dan merendahkan
martabat.
19. Negara Pihak mengakui dan mengatur dalam sistem hukumnya bahwa anak yang
berhadapan dengan hukum berhak atas perlakuan yang baik dan dimungkinkannya
tindakan integratif (keadilan restoratif misalnya) antara korban dan pelaku; hak
untuk tidak dituduh melakukan kejahatan karena kelalaian yang bukan pelanggaran
menurut hukum; hak atas prinsip praduga tidak bersalah; hak untuk diberi informasi
dengan segera mengenai tuduhan terhadapnya; hak untuk secepatnya oleh
pengadilan yang berwenang dan hakim yang kompeten: hak untuk tidak dipaksa
mengaku salah atau memberikan keterangan yang memberatkan dirinya; hak untuk
mangajukan upaya hukum; hak untuk mendapatkan penjuru bahasa gratis, dalam
kasus si anak tidak berbahasa sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh aparat
penegak hukum; dan hak untuk dijaga rahasianya.
20. Negara Pihak juga wajib mengakui dan mengatur dalam sistem hukumnya
mengenai umur minimum anak memiliki kapasitas bertanggung jawab atas
perbuatan pidana yang ia lakukan; sistem penyelesaian hukum yang menghormati
hak-hak anak; serta pengembangan model hukuman yang sesuai dengan kapasitas
anak seperti perawatan, bimbingan, perintah pengawasan, penyuluhan, percobaan,
pengasuhan, pendidikan, dan kerja sosial.
4. Mekanisme Pengawasan
adil. Anggota Komite akan bekerja selama empat tahun, di mana lima orang
anggotanya akan diberhentikan pada akhir tahun kedua.
1. Sejarah Pengesahan
2. Prinsip-prinsip Dasar
3. Kategori Hak
Konvensi ini berlaku pada seluruh tahapan dan proses migrasi oara pekerja
migran dan anggota keluarganya, mulai dari persiapan, keberangkatan, transit, masa
tinggal dan aktivitas yang dibayar di negara tujuan. Bagian ini akan menjelaskan 6
105
resmi, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh hukum internasional umum atau
oleh perjanjian internasional atau konvensi khusus.
b. Orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu negara atau atas nama negara di
luar wilayahnya, yang berpartisipasi dalam program pembangunan dan program
kerja sama lain, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh perjanjian dengan
negara tujuan kerja, dan menurut perjanjian tersebut mereka dianggap bukan
sebagai pekerja migran.
c. Orang yang bertempat tinggal di negara yang berbeda dengan negara asalnya
sebagai penanam modal.
d. Pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan, kecuali ketentuan tentang hal ini
ditetapkan dalam ketentuan hukum nasional, atau dalam instrumen internasional
yang berlaku bagi Negara Pihak tersebut.
e. Pelajar dan peserta pelatihan.
f. Pelaut dan pekerja pada suatu instalasi lepas pantai yang belum memperoleh izin
tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja.
Konvensi ini juga memberi definisi siapa yang disebut sebagai anggota
keluarga. Anggota keluarga adalah setiap orang yang kawin dengan pekerja migran,
anak-anak yang menjadi tanggungan mereka, dan orang-orang lain yang menjadi
tanggungan mereka yang diakui sebagai anggota keluarga berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku, atau menurut perjanjian bilateral atau multilateral antara negara-
negara yang bersangkutan.
Kelompok kedua, kategori pekerja migran (Pasal 5). Konvensi ini membagi
kategori pekerja migran menjadi dua yaitu berdokumen (documented) dan tanpa
dokumen (non-documented). Pekerja berdokumen atau berada dalam situasi reguler
apabila pekerja tersebut telah mendapatkan izin masuk, bertempat tinggal dan
beraktivitas yang dibayar di negara tujuan. Sedangkan pekerja tanpa dokumen atau
berada dalam situasi yang tidak reguler adalah ketika mereka masuk, bertempat tinggal
dan beraktivitas yang dibayar di suatu negara tujuan tanpa izin dari negara tersebut.
Kelompok ketiga, kategori negara (Pasal 6). Konvensi membagi negara menjadi
tiga kategori yaitu negara asal (state of origin), negara tujuan kerja (state of
employment), dan negara transit (state of transit). Negara asal adalah negara di mana si
pekerja migran merupakan warga negara. Negara tujuan kerja adalah negara di mana
pekerja migran akan, sedang atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar. Sedangkan
negara transit adalah negara yang disinggahi pekerja migran dalam perjalanan menuju
negara tujuan, atau dari negara tujuan hendak pulang ke negara asal.
Kelompok keempat, hak-hak pekerja migran dan keluarganya (Pasal 8-35).
Ketentuan pada pasal-pasal ini seluruhnya mengatur tentang hak-hak pekerja migran
dan keluarga mereka. Secara berurutan, hak-hak tersebut antara lain:
1. Hak untuk bebas meninggalkan negara manapun, termasuk negara asal mereka, dan
hak untuk memasuki dan tinggal di negara asal.
2. Hak untuk hidup.
107
3. Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum dengan hukuman yang kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
4. Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba. Hak ini termasuk hak untuk tidak
dipaksa melakukan kerja wajib (kerja paksa) dan menjalani hukuman dengan kerja
kasar. Dikecualikan dari istilal "kerja paksa atau kerja wajib" tiga jenis pekerjaan,
yaitu (i) kerja atau jasa yang merupakan perintah wajib berdasarkan putusan
pengadilan yang sah atau bagi orang yang hendak menjalani pembebasan bersyarat,
(ii) kerja atau jasa yang memang harus dilakukan dalam rangka menghadapi
keadaan darurat yang mengancam kehidupan masyarakat, dan (iii) kerja atau jasa
yang merupakan bagian dari kerja sipil yang juga diwajibkan bagi warga negara
yang bersangkutan.
5. Hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama. Mereka tidak boleh
menjadi sasaran pemaksaan kebebasannya untuk memelu atau menganut agama dan
keyakinannya. Hak ini termasuk kebebasan orang tua yang adalah pekerja migran
untuk memilih pendidikan agama sesuai pilihan bebas orang tuanya.
6. Hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, termasuk kebebasan menerima,
mencari dan memberikan gagasan.
7. Hak atas perlindungan prifasinya termasuk hak untuk tidak diganggu urusan
pribadi, keluarga, rumah tangga, surat menyurat dan komunikasi, juga kehormatan
dan nama baiknya.
8. Hak atas perlindungan harta benda dari perampasan yang sewenang-wenang.
9. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, termasuk bebas dari ancaman
kekerasan, intimidasi dan fisik baik dari orang, kelompok orang dan aparat negara.
Pemeriksaan atas identitas pekerja migrasi harus dilakukan secara adil, prosedural
dan proporsional.
10. Hak perlindungan prosedur hukum. Hak ini juga termasuk hak tidak ditangkap
secara sewenang-wenang, dan jikalaupun harus ditangkap, pekerja migran tersebut
harus diberi informasi mengenai alasan penangkapan dalam bahasa yang dimengerti
oleh mereka. Pekerja migran yang ditangkap/ditahan karena tuduhan pidana, berhak
untuk segera dihadapkan ke pengadilan yang kompeten dan berwenang.
11. Jika ada pekerja migran yang ditangkap/ditahan, maka pejabat diplomatik atau
konsuler negara asal harus segera diberi informasi mengenai
penangkapan/penahanan. Pekerja migran yang ditangkap/ ditahan berhak untuk
berkomunikasi secara bebas dengan pejabat diplomatik/konsuler. Pekerja migran
yang ditangkap/ditahan harus diberi tahu hak-hak dasarnya.
12. Pekerja migran atau keluarganya yang ditangkap berhak untuk segera dibawa ke
pengadilan untuk diuji keabsahan penangkapannya. Pada situasi tersebut, mereka
berhak atas penerjemah, dan jika perlu tanpa biaya. Mereka berhak atas ganti rugi
jika menjadi korban penangkapan yang tidak sah.
13. Hak atas perlindungan dari perampasan kebebasan secara sewenang-wenang. Jika
mereka ditahan karena tuduhan perbuatan tertentu, baik pelanggaran hukum pidana
atau pelanggaran keimigrasian, mereka berhak untuk dipisahkan tahanannya dari
108
orang-orang yang telah dihukum berdasarkan putusan pengadilan. Hak ini termasuk
hak untuk dikunjungi keluarga dan pejabat diplomatik/konsuler negara asal ketika
mereka ditahan.
14. Pekerja migran berhak untuk diakui sebagai subjek hukum setara dengan penduduk
di negara tujuan kerja. Pekerja migran berhak atas praduga tidak bersalah. Dalam
hal mereka ditahan, mereka berhak atas seluruh jaminan minimum hukum seperti
hak untuk diinformasikan tuntutan dalam bahasa yang dimengerti, hak untuk
menyiapkan pembelaan, hak untuk diadili tanpa penundaan, hak untuk dibela oleh
penasihat hukum pilihannya, hak untuk menghadirkan saksi yang meringankan (a
de charge), hak atas penerjemah, dan hak untuk tidak dipaksa memberikan
kesaksian yang memberatkan dirinya.
15. Anak, keluarga pekerja migran, yang berumur di bawah 18 tahun berhak atas proses
hukum yang adil dengan prinsip kepentingan terbaik anak.
16. Hak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan pengadilar pidana yang ia
dapatkan. Pekerja migran dan keluarga berhak untu mendapatkan kompensasi atas
menjalani hukuman berdasarkan putusan yang salah. Pekerja migran dan keluarga
untuk tidak diadiil kedua kali dengan tuduhan yang sama (ne bis in idem).
17. Hak untuk tidak dipenjara karena kelalaian yang bukan merupakan kejahatan
menurut hukum negara tujuan dan hukum internasional
18. Hak untuk tidak dipenjara semata karena ketidakmampuan membayar prestasi
perjanjian. Termasuk hak untuk bebas dari pengusiran karena ketidakmampuan
memenuhi prestasi perjanjian kerja.
19. Hak atas perlindungan dari penyitaan dan penghancuran dokumen identitas.
20. Hak untuk tidak diusir secara massal. Segala keputusan pengusiran harus dilakukan
orang per orang. Mereka berhak atas putusan hukurn berupa pengusiran dalam
bahasa yang dimengerti. Jika mereka diusir mereka berhak untuk memasuki negara
yang bukan negara asal Mereka juga berhak atas hak apa pun yang telah diperoleh
selama bekerja.
21. Setiap pekerja migran dan keluarganya yang menjadi korban atas pelanggaran hak-
hak yang diakui oleh Konvensi ini berhak atas pilihan perlindungan dan bantuan
dari pejabat konsuler negara asal. Dalam hal mereka menjadi korban pengusiran,
negara tujuan wajib menginformasikan hal pengusiran tersebut kepada pejabat
konsuler negara asal.
22. Setiap pekerja migran dan anggota keluarga mereka berhak untuk diakui sebagai
subjek hukum di manapun mereka berada.
23. Hak untuk diperlakukan setara dengan pekerja dari negara tujuan dalam hal
penggajian, uang lembur, jam istirahat, liburan, keselamatan. kesehatan, pemutusan
hubungan kerja termasuk hak atas batasan umur minimum untuk bekerja.
24. Hak untuk bergabung dan/atau mendirikan serikat pekerja dan perkumpulan sesuai
dengan kepentingan penjagaan atas kepentingan ekonomi, sosial dan budaya.
25. Hak atas jaminan sosial yang setara dengan pekerja warga negara dari negara
tujuan.
109
3. Negara-negara Pihak harus bekerja sama dalam hal membuat kebijakan skema
pemulangan dan kebijakan pengembangan ekonomi dan permukiman dari pekerja
migran di negara asal.
4. Negara-negara Pihak yang menjadi negara transit wajib bekerja sama mencegah
terjadinya pergerakan klandestin untuk mempekerjakar orang secara ilegal dan
tanpa dokumen.
5. Negara-negara Pihak yang di negaranya terdapat pekerja tanpa dokumen atau
berada dalam situasi tidak reguler, wajib mengambil seuruh langkah untuk tidak
memungkinkan situasi itu terus terulang.
6. Negara-negara Pihak wajib memfasilitasi dan bekerja sama dalam rangka
pemulangan jenazah pekerja migran dan keluarganya ke negara asal.
4. Mekanisme Pengawasan
1. Sejarah Pengesahan
2. Prinsip-prinsip Dasar
Berbeda dengan konvensi yang lain yang tidak terlalu tegas menyebut prinsip-
prinsip yang diakui, Konvensi ini secara tegas memperkenalkan bahwa prinsip
pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai berikut.
a. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individua termasuk kebebasan
untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaa perseorangan.
b. Nondiskriminasi.
c. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat.
d. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilit sebagai bagian
dari keragaman manusia dan kemanusiaan.
e. Kesetaraan kesempatan.
f. Aksesibilitas.
g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
113
h. Penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari penyandar disabilitas anak dan
penghormatan hak penyandang disabilitas ana guna mempertahankan identitas
mereka.
Selain prinsip dasar di atas, Konvensi juga memberikan penekana pada prinsip
tanggung jawab negara. Negara Pihak wajib menjami realisasi pemenuhan seluruh
kategori hak yang diakui oleh Konvens Realisasi itu dilakukan dengan berbagai
tindakan sebagai berikut.
a. Mengambil langkah legislatif dan administratif dalam pemenuhan hak yang diakui
oleh Konvensi.
b. Mengambil kebijakan untuk mengubah atau mencabut ketentuan hukum, peraturan,
kebiasaan, dan praktik-praktik yang berlaku yang mengandung unsur diskriminasi
terhadap para penyandang disabilitas.
c. Mengambil kebijakan dan program praktis dalam rangka perlindungan dan
pemajuan hak penyandang disabilitas.
d. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan yang
diskriminatif, termasuk menghalangi tindakan diskriminatif dari pihak ketiga.
e. Memajukan penelitian guna peningkatan pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas, termasuk pengembangan teknologi dan peralatan yang membantu
penikmatan hak oleh penyandang disabilitas.
f. Memajukan pelatihan bagi para profesional dan tenaga bantuan yang bekerja bagi
dan untuk penyandang disabilitas.
Konvensi juga mengharapkan diakuinya prinsip diskriminasi positif atau
tindakan afirmasi. Pada dasarnya, Konvensi mendorong agar Negara Pihak
memastikan untuk tidak melakukan dan/atau menghalangi terjadinya diskriminasi
kepada penyandang disabilitas. Namun Konvensi meminta agar Negara Pihak
memberikan percepatan dalam rangka pencapaian kesetaraan antara penyandang
disabilitas dan non-disabilitas. Penyetaraan ini membutuhkan kebijakan yang berpihak
pada realisasi hak penyandang disabilitas. Keberpihakan kebijakan itulah yang
dianggap menjadi tindakan afirmasi yang justru diharapkan untuk dilakukan segera
oleh Negara Pihak.
3. Kategori Hak
lebih luas bahwa komunikasi itu mencakup bahasa, tayangan teks, braille, komunikasi
tanda timbul, besar, multimedia yang dapat diakses seperti bentuk-bentuk tertulis audio,
plain-language, pembaca-manusia dan bentuk-bentuk alternatif lainnya seperti
teknologi komunikasi. Bahasa sendiri dimaknai sebagai bahasa lisan, bahasa isyarat
dan bentuk-bentuk bahasa non-lisan yang lain. Konvensi ini juga memberikan makna
spesifik tentang diskriminasi yaitu pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas
dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pengurangan atau peniadaan
pengakuan, penikmatan dan pelaksanaan semua hak-hak asasi manusia. Konvensi ini
memberi contoh salah satu bentuk diskriminasi yaitu tidak dipenuhinya akomodasi
yang patut.
Akomodasi yang patut adalah modifikasi dan penyesuaian yang harus dilakukan
dalam rangka menjamin penikmatan dan pelaksanaan semua hak-hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental berdasarkan kesetaraan penyandang disabilitas. Salah satu
bentuk akomodasi yang patut adalah disediakannya desain universal, yaitu desain
produk, lingkungan, program dan pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang,
semaksimal mungkin, tanpa memerlukan suatu adaptasi atau rancangan khusus.
Selain berbagai definisi atas terminologi khusus di atas, Konvensi ini
memberikan penekanan pada 15 kelompok kategori hak yang secara berurutan
berdasarkan pasal-pasal dalam Konvensi adalah sebagai berikut.
Kelompok pertama, perlindungan bagi perempuan (Pasal 6). Penyandang
disabilitas perempuan adalah komunitas yang paling rentan (vulnerable) menjadi
korban kejahatan dan korban diskriminasi berlipat (multiple discrimination). Mereka
berhak untuk mendapatkan perlindungan, pengembangan, pemajuan, pemberdayaan
agar hak-hak mereka terpenuhi.
Kelompok kedua, anak (Pasal 7). Penyandang disabilitas anak berhak untuk
mendapatkan seluruh kategori hak, baik sipil dan politik maupun ekonomi, sosial dan
budaya dengan tetap mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi mereka.
Kelompok ketiga, aksesibilitas (Pasal 9). Penyandang disabilitas berhak atas
fasilitas publik yang memadai. Fasilitas publik itu meliputi gedung-gedung, jalan-jalan,
sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruang lainnya, termasuk sekolah,
perumahan, fasilitas medis, tempat kerja, informasi, komunikasi termasuk layanan
elektronik dan layanan awat darurat. Negara Pihak wajib mengembangkan skema
program dalam rangka mengubah dan membenahi seluruh fasilitas publik yang telah
ada antuk menjamin aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Kelompok keempat, hak hidup (Pasal 10). Penyandang disabilitas berhak untuk
hidup dan mengembangkan kehidupannya. Tidak boleh ada tindakan dan/atau
kebijakan apa pun yang menghambat hak hidup menyandang disabilitas. Negara Pihak
juga wajib memastikan bahwa pihak ketiga tidak akan mengganggu hak penyandang
disabilitas untuk hidup dan menikmati serta mengembangkan kehidupannya.
Kelompok kelima, hak hukum (Pasal 12-13). Penyandang disabilitas adalah
sama seperti manusia lain. Mereka adalah pribadi manusia utuh hadapan hukum. Maka,
mereka juga berhak untuk berbicara atas nama rinya sendiri dan berdasarkan pilihan
115
bebasnya di depan pengadilan. Mereka juga berhak atas seluruh hak-hak keperdataan
seperti mewarisi mengendalikan keuangan mereka, akses terhadap pinjaman bank,
kredit perumahan, dan bentuk kredit keuangan lainnya. Penyandang sabilitas juga
berhak atas seluruh jaminan prosedur hukum ketika berhadapan dengan proses
peradilan. Negara Pihak wajib melakukan meningkatan kapasitas aparat penegak
hukum, termasuk sipir penjara, rangka memenuhi hak penyandang disabilitas.
Kelompok keenam, penyiksaan (Pasal 15). Penyandang disabilitas berhak bebas
dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat. Pasal ini memberikan penekanan khusus bahwa penyandang
disabilitas tidak boleh menjadi objek percobaan ilmiah atau kedokteran tanpa
persetujuan bebas dari mereka.
Kelompok ketujuh, bebas dari ekspolitasi (Pasal 16). Penyandang disabilitas
berhak bebas dari ekspolitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena. Negara Pihak
wajib mencegah seluruh tindakan yang berujung atau berupa tindakan yang eksploitatif.
Negara juga wajib mengembangkan mekanisme perbantuan dan pelaporan bagi
penyandang disabilitas yang menjadi korban eksploitasi. Akhirnya, Negara Pihak wajib
menyediakan mekanisme pemulihan bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban.
Mekanisme pemulihan itu mencakup pemulihan fisik, kognitif dan psikologis,
rehabilitasi dan reintegritasi sosial termasuk melalui penyediaan pelayanan
perlindungan.
Kelompok kedelapan, kewarganegaraan (Pasal 18). Penyandang disabilitas
berhak untuk bebas keluar masuk suatu negara, termasuk negaranya sendiri dan berhak
atas status kewarganegaraan. Setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas, begitu
lahir berhak untuk diberi nama, memperoleh status kewarganegaraan dan hak untuk
mengetahui orang tuanya.
Kelompok kesembilan, hak sosial dan mobilitas (Pasal 19-20) Penyandang
disabilitas berhak untuk turut serta bermasyarakat dan berinteraksi secara setara, serta
berhak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial masyarakat secara penuh tanpa
hambatan dan rintangan karena disabilitasnya. Mereka juga berhak atas seluruh layanan
publik yang disediakan bagi masyarakat umum lainnya berdasarkan asas kesetaraan.
Penyandang disabilitas juga berhak untuk melakukan mobilitas kemanapun tanpa
hambatan. Maka Negara Pihak wajib menyediakan sarana dan fasilitas agar
penyandang disabilitas tidak terhambat dalam melakukan moblitasnya.
Kelompok kesepuluh, informasi dan ekspresi (Pasal 21). Penyandang disabilitas
bebas untuk mengelurkan pendapat, mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
Negara Pihak oleh karenanya wajib menyediakan sarana yang aksesibel dalam rangka
penikmatan hak tersebut serta penggunaan bahasa isyarat, braile, komunikasi
augmentative termasuk memerintahkan kepada penyedia layanan informasi, manual
ataupur. digital, untuk mengembangkan layanan bagi penyandang disabilitas.
Kelompok kesebelas, integritas pribadi dan keluarga (Pasal 22-23). Penyandang
disabilitas berhak untuk tidak dicampuri urusan pribadinya, termasuk urusan rumah
tangganya, dan korespondensi. Penyandang disabilitas juga berhak untuk secara bebas
116
4. Mekanisme Pengawasan
d. Kerja Sama antara Negara Pihak dan Komite (Cooperation between States
Parties and Committee)
Berbeda dengan Konvensi lain, Konvensi ini mengamanatkan adanya kerja sama
antara Negara-negara Pihak dengan Komite dalam rangka memenuhi mandat
mereka. Komite wajib memberikan saran dan pertimbangan dalam rangka
meningkatkan kapasitas Negara Pihak dalam memenuhi ketentuan Konvensi.
1. Sejarah Pengesahan
2. Prinsip-prinsip Dasar
3. Kategori Hak
atau rang lain yang mengalami kerugian sebagai akibat tindakan penghilangan paksa
(Pasal 24).
Sebagian besar pasal yang lain berbicara mengenai kewajiban Negara Pihak,
mulai dari kewajiban advokatif melalui kebijakan legislatif dan administratif, hingga
kewajiban yudisial untuk memastikan proses peradilan kepada pelaku penghilangan
orang secara paksa berjalan secara fair dan adil.
Konvensi memberikan ketentuan bahwa penghilangan orang secara paksa yang
terjadi secara masif dan sistematis harus dimasukkan ke dalam Kategori kejahatan
terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum pidana Internasional sebagaimana diatur
dalam Statuta Roma. Untuk itu, Negara Pihak harus melakukan proses kriminalisasi
terhadap tindakan penghilangan orang secara paksa. Negara juga harus memastikan
bahwa pelaku akan bertanggung jawab secara pidana atas perbuatannya. Pelaku ini
tidak hanya pelaku utama, namun juga semua orang yang diduga terlibat seperti orang
yang memerintahkan, meminta atau mendorong terjadinya tindakan penghilangan
paksa, percobaan untuk melakukan penghilangan paksa, atau semua pihak/kaki tangan
yang terlibat dalarn upaya penghilangan paksa.
Pelaku ini juga termasuk pimpinan yang mengacuhkan informasi bahwa
bawahannya melakukan penghilangan orang secara paksa dan ia gagal mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dan rasional untuk mengantisipasi, menekan dan
memerintahkan untuk menghentikan tindakah penghilangan orang secara paksa.
Pasal 12 Konvensi memberi amanah kepada Negara Pihak untuk memastikan
bahwa setiap orang yang mengadukan dugaan terjadinva penghilangan orang secara
paksa, termasuk saksi, keluarga orang yang diduga hilang, pengacara dan
penyelidik/penyidik berhak atas perlindungan yang memadai. Semua orang itu harus
dipastikan terlindung dari segala macam intimidasi dari pihak manapun. Pasal ini
menjadi penting karena pada banyak kasus, penghilangan orang secara paksa sering
kali dilakukan atau disuruhlakukan oleh seseorang yang memilik kekuasaan dan
kewenangan yang tinggi. Pasal ini juga mengatur bahwa aparat kepolisian harus
mengambil tindakan aktif jika ada dugaan penghilangan orang yang secara paksa
walaupun tanpa aduan dari pihak manapun termasuk keluarga korban.
Konvensi mengatur soal ekstradisi. Pada pokoknya kejahatan penghilangan
secara paksa tidak boleh dianggap sebagai kejahatan politik yang mendapatkan porsi
keistimewaan karena pelakunya adalah pejabat negara. Ia harus dipandang sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan (murni pidana) sehingga pelaku tidak boleh
memanfaatkan jabatannya untuk tnemengaruhi proses ekstradisi antarnegara. Bagi
Negara Pihak, ia harus rnemasukkan kejahatan penghilangan secara paksa ke dalam
perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh Negara Pihak dengan negara lain.
Pasal 16 Konvensi mengatur tentang non-refoulement principle. Prinsip ini
dimaknai bahwa Negara Pihak tidak dapat mengusir, mengembalikan. atau
mengekstradisi seseorang ke negara lain di mana terdapat alasan yang meyakinkan
bahwa seseorang tersebut akan berada dalam bahaya atau dapat dihilangkan secara
paksa. Untuk proses pengembalian orang ke negara asal, maka upaya serius untuk
120
melakukan perkiraan (assesment) semua hal yang relevan, termasuk data pelanggaran
atau potensi pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
mencolok, masif, atau pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional yang
diduga dilakukan oleh negara yang akan dituju.
Konvensi juga memberikan panduan bagi negara untuk mengatur setiap upaya
pengekangan kebebasan seseorang, misalnya syarat dibolehkannya melakukan
pemasungan, pihak yang berwenang melakukan pemasungan, memastikan akses pihak
lain kepada orang yang kebebasannya dipasung oleh negara. Prinsip pokok yang
penting adalah setiap orang tidak boleh ditahan di tahanan rahasia. Jika ada orang yang
dipasung kebebasannya, maka pihak yang berwenang harus membuat informasi yang
dapat diakses mengenai identitas orang yang dipasung termasuk tanggal, waktu dan
lokasi penahanan, dan tanda tangan resmi dari pihak yang berwenang melakukan
penahanan. Informasi ini harus disampaikan kepada pihak keluarga, wali atau
pengacara yang melakukan oembelaan atas kasus tersebut.
Konvensi memberi penjelasan detail tentang hak-hak korban (Pasal 24). Korban
memiliki hak untuk mengetahui kebenaran terkait dengan situasi penghilangan paksa,
kemajuan dan hasil proses penyelidikan dan orang yang hilang. Hak ini menuntut
dilaksanakannya kewajiban Negara Pihak untuk melakukan tindakan dalam rangka
mencari, menemukan, dan melepaskan orang hilang dan, dalam kasus korban sudah
meninggal, untuk menemukan, menghormati, dan mengembalikan jasad atau sisa
mereka. Korban juga berhak atas pemulihan dan kompensasi. Pemulihan tersebut
mencakup aspek material dan psikologis serta aspek lain dari reparasi seperti restitusi,
rehabilitasi, kepuasan termasuk pemulihan martabat dan reputasi, dan jaminan tidak
akan mengalami hal yang sama.
4. Mekanisme Pengawasan
c. Permohonan (Request)
Komite berhak menerima pengaduan dan permohonan agar seseorang yang
mengalami penghilangan secara paksa untuk dicari dan ditemukan secara cepat.
Permohonan ini dapat dikirimkan oleh keluarga orang hilang tersebut atau
perwakilan hukumnya, penasihatnya atau setiap orang yang diberi kuasa, maupun
oleh orang lain yang memiliki kepentingan sah. Permohonan ini akan terima
dengan syarat:
1) Permohonan ditulis secara jelas.
2) Tidak menimbulkan penyalahgunaan jaminan normatif hak.
3) Telah dilaporkan kepada pihak yang berwenang di level domestik.
4) Tidak bertentangan dengan substansi Konvensi.
5) Tidak sedang dievaluasi di bawah prosedur hukum internasional yang lain.
Mekanisme hukum hak asasi manusia juga mengenal yang disebut sebagai Sub
Komite Pencegahan Penyiksaan (Sub Committee on the Prevention of Torture) yang
hanya dikenal sebagai lembaga pendukung Komite Menentang Penyiksaan. Hal ini
diatur dalam Protokol Tambahan Konvensi yang disahkan pada tahun 2006.
Berdasarkan penjelasan pada subbab sebelumnya, terdapat sepuluh lembaga
yang memiliki kewenangan untuk melakukan mekanisme pengawasan berdasarkan
traktat. Lembaga ini antara lain:
1) Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee/CCPR).
2) Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic, Social and
Cultural Rights/CESCR).
3) Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on the Elimination of Racial
Discrimination/CERD).
4) Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the
Elimination of Discrimination against Women/CEDAW).
5) Komite Melawan Penyiksaan (Committee against Torture/CAT).
6) Sub Komite Pencegahan Penyiksaan (Sub Committee on Prevention of Torture/
SPT).
124
Laporan Negara adalah sebuah dokumen yang harus dibuat oleh sebuah negara
setelah melakukan ratifikasi atas Kovenan maupun Konvensi. Laporan Negara ini pada
pokoknya berisi tindakan legislatif, administratif, maupun yudisial yang telah dilakukan
oleh Negara Pihak sebagai bentuk tindak lanjut atas ratifikasi Kovenan maupun
Konvensi. Laporan Negara ini akan dikirimkan kepada Komite melalui Sekretaris
Jenderal PBB untuk ditelaah dan ditindaklanjuti jika ada temuan-temuan yang menarik
bagi Komite.
Laporan Negara merupakan alat pengawasan berdasar perjanjian yang paling
utama. Fungsi Laporan Negara ini setidaknya ada enam antara lain sebagai berikut.
1) Untuk melakukan supervisi implementasi domestik terhadap kewajiban
internasional pada level nasional dan internasional.
2) Evaluasi reguler terhadap hukum dan praktiknya pada level domestik.
3) Mengidentifikasi masalah.
4) Merumuskan kebijakan hak asasi manusia.
5) Telaah cermat oleh publik pada level internasional.
6) Pertukaran informasi dan komunikatif dialog.
2) Cara untuk menginterpretasikan norma hukum hak asasi manusia yang bersifat
normatif melalui kasus-kasus nyata.
3) Mendorong perubahan hukum dan praktiknya pada level nasional.
4) Efek preventif pada level nasional.
Secara umum, pengaduan individu ini dapat diterima oleh Komite dengan
syarat:
1) Kandas atau buntunya mekanisme pemulihan domestik (exhausted of domestic
remedies).
2) Diajukan oleh korban.
3) Memenuhi asas tertentu seperti alasan materiil (rationemateriae), orang yang
menjadi korban (personae), waktu (temporis), dan tempat (loci).
4) Terpenuhinya alasan/bukti hukum minimal.
5) Tidak diajukan tanpa nama.
6) Tidak sedang diajukan ke mekanisme internasional yang lain.
i. Kerja Sama antara Negara Pihak dan Komite (Cooperation between States
Parties and Committee)
Lembaga ini didirikan pada 15 Maret 2006 melalui Resolusi 60/251. Dewan Hak
Asasi Manusia akan bekerja melalui mekanisme Telaah Universal Berkala
(Universal Periodic Review) untuk melihat dan mempertimbangkan situasi hak
asasi manusia di seluruh Negara Anggota PBB. Terdapat juga Komite Pengawas
(Advisory Committee) yang akan berperan sebagai tim inti (think tank) yang akan
menggunakan keahliannya dan nasihatnya melalui isu-isu tematik dan Prosedur
Pengaduan (Complaint Procedure) yang memungkinkan seseorang dan organisasi
yang merasa haknya terlanggar untuk menyampaikan hal tersebut kepada Dewan.
Dewan juga bekerja dengan Prosedur Khusus (Special Procedures), prosedur
warisan dari Komisi Hak Asasi Manusia, yang bertugas untuk mengawasi, menguji,
memberi nasihat dan membuat laporan umum tentang isu dan situasi hak asasi
manusia pada negara-negara tertentu.
129
Mekanisme Telaah Universal Berkala dibuat pada 15 Maret 2005 melalui Resolusi
Majelis Umum PBB 60/251. Hingga saat ini, mekanisme ini adalah mekanisme
paling berpengaruh dan ia menjadi elemen kunci untuk menuntut Negara Pihak
pada berbagai Kovenan/Konvensi untuk menghormati dan mengimplementasikan
kewajiban hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Tujuan utama dari
mekanisme ini adalah untuk meningkatkan situasi hak asasi manusia di seluruh
negara dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar komunikasi yang dikirimkan
dapat diterima oleh Dewan Hak Asasi Manusia melalui mekanisme Prosedur
Pengaduan, antara lain:
a. Tidak didorong oleh kepentingan politik dan konsisten dengan semangat Piagam
PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan instrumen hak asasi manusia
yang lain.
b. Menunjukkan gambaran asli tentang pelanggaran, termasuk kategori hak apa yang
diduga dilanggar.
c. Tidak menggunakan bahasa yang kasar atau berisi kalimat fitnah dan penghinaan.
d. Dikirimkan oleh orang atau kelompok yang menjadi korban pelanggaran hak asasi
manusia, atau oleh/sekelompok orang jujur yang memiliki pengetahuan dan dapat
dipertanggungjawabkan tentang pelanggaran yang terjadi.
e. Tidak hanya didasarkan pada laporan oleh media massa.
f. Tidak dimaksudkan untuk menyangkal proses penyelidikani penyelesaian
pelanggaran serius hak asasi manusia yang sedang dikerjakan oleh Prosedur Khusus
lain, oleh Mekanisme Berdasarkan Perjanjian (Treaty Based Mechanism) atau
mekanisme pengaduan lain yang disediakan oleh PBB dalam bidang hak asasi
manusia.
g. Kandas atau buntunya (exhausted) mekanisme pemulihan domestik.