Anda di halaman 1dari 78

53

BAB III
INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Pada awalnya, kemunculan ide hak asasi manusia dimulai dengan debat filsafat
dan sejarah. Perdebatan tersebut mengarah pada kesepahaman bahwa sejarah peradaban
manusia banyak diwarnai dengan kekejaman dan ketidakadilan. Salah satu tonggak
penting dari sinyalemen di atas adalah wrjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Perdebatan awal ini berakhir dengan kesepakatan bahwa perlu dibentuk suatu
instrumen moral untuk mengutuk dan menghentikan segala bentuk kekejaman dan
ketidakadilan yang terjadi pada masa-masa perang tersebut. Bertitik tolak dari
penjelasan inilah, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memikirkan sebuah
instrumen yang dapat digunakan untuk memengaruhi praktik bernegara seluruh dunia.
Instrumen itulah yang kemudian dikenal dengan istilah instrumen hak asasi manusia.
Kata Instrumen internasional' pada bagian ini digunakan untuk mewakili
dokumen hukum yang mengikat bagi negara-negara untuk melaksanakan kewajibannya
berdasar hukum internasional. Beberapa kalangan menggunakan istilah peraturan
perundang-undangan internasional hak asasi manusia.
Bab ini akan menjelaskan sepuluh instrumen hak asasi manusia. Lesepuluh
instrumen tersebut merupakan instrumen pokok yang thsahkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengikat bagi aegara anggotanya. Instrumen tersebut akan
mengikat secara hukum bagi aegara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
telah menyatakan bersetuju menjadi negara pihak pada masing-masing instrumen.
Upaya mengikatkan diri tersebut dilakukan dengan melakukan ratifikasi. Proses dan
prosedur ratifikasi dilakukan sesuai dengan hukum di negara masing-masing. Pada
umumnya, ratifikasi dilakukan dengan pengiriman surat yang ditandatangani oleh
menteri luar negeri suatu negara kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa negara tersebut berkehendak secara hukum
untuk mengikatkan diri pada instrumen tertentu. Di Indonesia, proses ratifikasi, selain
dengan mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), juga dilakukan dengan membuat sebuah peraturan perundang-undangan berisi
pengesahan dokumen hukum internasional tertentu. Pada praktiknya, produk hukum di
Indonesia yang digunakan untuk meratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia
adalah berupa undang-undang dan Keputusan Presiden.
Kesepuluh instrumen hak asasi manusia yang akan dijelaskan adalah:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM (Universal Declaration on
Human Rights atau UDHR).
2. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau KIHSP (International
Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR).
3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau KIHESB
(International Covenant on Economic Social and Culture Rights atau ICESCR).
54

4. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminiasi Rasial


(International Covention on the Elimination of All Forms of Racial
Descrimination/CERD).
5. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts
Women/CEDAW).
6. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention
Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment/CAT).
7. Konvensi tentang Hak Anak atau KHA (Convention on the Rights of the Child
atau CRC).
8. Konvensi tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarga Mereka (Convention
on the Protection for Migrant Workers and Their Families/CMW)
9. Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of
Persons with Dissabilities/CRPD).
10. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan
Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons From
Enforced Disappearance/CEO).
Secara teknis, penjelasan instrumen internasional hak asasi manusia pada bab
ini akan dilakukan dengan menguraikan lima hal, antara lain (a) sejarah pengesahan,
(b) prinsip-prinsip dasar, (c) kategori hak, (d) penjelasan kategori hak tertentu yang
penting, dan (e) mekanisme pengawasan. Penjelasan terperincinya sebagai berikut.

A. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

1. Sejarah Pengesahan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan instrumen


payung bagi seluruh instrumen hak asasi manusia yang lain. Disebut sebagai instrumen
payung karena seluruh instrumen hak asasi manusia, baik instrumen internasional,
instrumen regional dan - nasional, keseluruhannya merujuk pada Deklarasi tersebut.
DUHAM merupakan dokumen pengakuan internasional terhadap hak isasi manusia.
Deklarasi ini diterima melalui Resolusi Majelis Umum PBB (A/RES/217(III)) pada
tanggal 10 Desember 1948.
Pada saat pembahasannya, Deklarasi dinyatakan diterima oleh 48 (empat puluh
delapan) negara anggota PBB, sedangkan delapan negara lainnya menyatakan abstain.
Delapan negara tersebut antara lain Belarusia, Cekosloyakia, Union of Soviet Sosialist
Republic (USSR), Polandia, Saudi Uni Afrika, Ukraina, dan Yugoslavia.
Deklarasi ini tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum seperti perjanjian
internasional lain atau peraturan perundang-undangan pada suatu negara. Deklarasi ini
merupakan hukum lunak (soft law) yang diterima sebagai dokumen yang mengikat
55

secara moral, prinsip-prinsip umum hukum dan sebagai landasan dasar kemanusiaan.
Deklarasi memiliki kekuatan moral yang sangat tinggi karena disahkan oleh Majelis
Umum PBB.
Deklarasi ini diumumkan sebagai suatu standar pencapaian yang berlaku umum
untuk semua rakyat dan semua negara. Komisi Hak Asasi Manusia yang didirikan pada
tahun 1946 berupaya keras untuk segera mengambil langkah dalam rangka
mengumumkan sebuah Deklarasi yang tidak mengikat secara hukum (non-binding
declaration) sebagai dasar bagi dibuatnya konvensi yang mengikat secara hukum
(legally binding convention) serta menyusun mekanisme pelaksanaannya. Pada
akhirnya, dengan kegigihan banyak pihak, khususnya Eleanor D. Roosevelt (Amerika)
dan Rene Cassin (Prancis), pada tahun 1948 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
disahkan.
Deklarasi ini menjadi dokumen hak asasi manusia paling pokok. Deklarasi tidak
mengkiat secara hukum, namun ia dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional
(customary international law). Deklarasi juga diposisikan sebagai interpretasi paling
resmi atas terminologi hak asasi manusia sebagaimana tertera pada Pembukaan Piagam
PBB. Sejauh ini, substansi Deklarasi telah masuk ke dalam konstitusi di hampir seluruh
negara anggota PBB serta menjadi dasar bagi disahkannya berbagai dokumen hak asasi
manusia yang mengikat secara hukum.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Secara filosofis, konsideran pertama pada pembukaan Deklarasi Universal Hak


Asasi Manusia memuat prinsip-prinsip dasar berupa pengakuan atas martabat
kemanusiaan. Pengakuan akan martabat kemanusiaan dan kesamaan hak antar seluruh
manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian. Secara historis, pada
konsideran pertimbangan juga dinyatakan bahwa mengabaikan dan memandang rendah
hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan keji yang menimbulkan
rasa kemarahan dalam hati nurani umat manusia seluruh dunia. Seluruh manusia
mencita-citakan kebebasan berbicara dan beragama, bebas dari ketakutan dan
kekurangan. Secara yuridis, pada konsideran pertimbangan dinyatakan bahwa hak-hak
dan kebebasan dasar manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum agar orang tidak
memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kezaliman dan
penindasan. Berdasarkan pembukaan tersebut, negara anggota PBB juga berjanji untuk
bekerja sama dalam menghapus diskriminasi, majukan kesejahteraan masyarakat, dan
memajukan penghormatan perlindungan hak asasi manusia.
Seluruh substansi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebenarnya
bersumber pada Pasal 1 yang berbunyi "All human being are born free and in dignity
and rights. They are endowed with reason and conscience and should toward one
another in a spirit of brotherhood" (Semua manusia dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain semangat persaudaraan). Pasal inilah yang dijadikan
56

fondasi baru bagi tata dunia yang baru untuk menghapus sejarah kelam masa lalu yang
dengan aliran darah ketika terjadi perang antar manusia baik pada masa Perang Dunia I,
Perang Dunia II, Peristiwa Holocaust dan segala bentuk penjajahan pada masa
sebelumnya. Inti dari substansi konsideran pembukaan dan Pasal 1 adalah persamaan
(equality), martabat kemanusiaan (dignity) dan persaudaraan (brotherhood).

3. Kategori Hak

Deklarasi mengakui beberapa kategori hak yaitu hak-hak personal, prinsip


interaksi antar manusia dan bangsa, hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan
budaya. Penjelasan lebih lanjut kategori hak tersebut adalah sebagai berikut.

a. Hak-hak Personal

Hak-hak personal ini tercantum mulai Pasal 2 - 11. Pada Pasal-pasal ini
dinyatakan beberapa kategori hak antara lain (a) hak semua orang untuk mengecap
semua tabulasi hak yang tercantum dalam Deklarasi tanpa ada diskriminasi atas alasan
apa pun, (b) hak atas penghidupan kemerdekaan dan keselamatan individu, (c) hak
untuk tidak diperbudat (d) hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan atau dihukum
secara kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat, (e) hak atas pengakuan
sebagai subjek hukum, (f) hak atas perlindungan hukum, (g) hak atas bantuan
pengadilan atas terlanggarnya hak dasar, (h) hak untuk tidak ditangkap, ditahan dan
dibuang secara sewenang-wenang, (i) hak atas peradilan yang fair, (j) hak atas praduga
tidak bersalah dan hak untuk melakukan pembelaan.

b. Prinsip Interaksi Antarmanusia

Prinsip interaksi antarmanusia dapat ditemukan mulai Pasal 12-17 Dikatakan


prinsip interaksi antar manusia karena di dalamnya terkandung hak setiap orang untuk
melakukan hubungan dengan orang lain ataupun dengan negara lain. Hak-hak yang
diakui dalam pasal-pasal tersebut antara lain (a) hak untuk tidak diganggu semua
urusan pribadinya, keluar rumah tangga, hubungan surat menyurat dan nama baiknya,
(b) hak atas kebebasan berpindah dan diam dalam batas-batas negara dan hak untuk
meninggalkan suatu negeri termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke
negerinya, (c) hak untuk mendapatkan suaka politik, (d) hak atas status
kewarganegaraan, (e) hak untuk menikah dan membangun keluarga, (f) hak untuk
memiliki harta, baik secara sendiri maupun bersama orang lain.

c. Tabulasi Hak Sipil dan Politik

Hak sipil dimaknai sebagai kebebasan individu dari campur tanga orang lain
khususnya negara, sedangkan hak politik adalah kebebasa individu untuk berpartisipasi
57

dalam urusan publik. Tabulasi hak dan sipil politik tercantum mulai Pasal 18-21 yaitu
(a) hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, (b) hak atas kebebasan
mempunyai dan menyampaikan pendapat, (c) hak atas kebebasan berkumpul, berserikat
dan tidak dipaksa untuk memasuki salah satu perkumpulan, (d) hak untuk turut serta
dalam pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih secara
bebas.

d. Tabulasi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Tabulasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum mulai Pasal 22-27.
Pada Pasal-pasal ini dinyatakan antara lain (a) hak atas jaminan sosial, (b) hak atas
pekerjaan, upah yang layak, dan hak untuk mendirikan dan memasuki serikat kerja, (c)
hak atas istirahat dan liburan serta pembatasan kerja yang layak, (d) hak atas standar
hidup yang layak, termasuk aspek kesehatan dan kesejahteraan, bagi dirinya dan
keluarganya termasuk perlindungan sosial bagi ibu dan anak, baik yang lahir dalam
perkawinan maupun di luar perkawinan, (e) hak atas pendidikan, dan hak atas
pendidikan gratis terutama pada jenjang pendidikan rendah dan pendidikan dasar, (f)
hak untuk berpartisipasi dalam hidup kebudayaan masyarakat dan menikmati hasil
kesenian dan hak atas perlindungan untuk menikmati basil dari suatu produksi dalam
lapangan ilmu pengetahuan, sastra dan seni yang diciptakannya.

4. Mekanisme Pengawasan

Bagian terakhir dari Deklarasi adalah mekanisme atau perintah penegakan hak
asasi manusia oleh dunia internasional yang diatur pada Pasal 28-30. Sesuai dengan
sifatnya sebagai soft law, perintah penegakan (order for implementation) ini dinyatakan
dalam bentuk bahasa yang deklaratif antara lain pada Pasal 28 dikatakan bahwa setiap
orang berhak atas tatanan sosial dan internasional yang di dalamnya hak dan kebebasan
dapat dipenuhi. Pada Pasal 29 dinyatakan bahwa (a) setiap orang mempunyai
kewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk mengembangkan pribadinya
sepenuhnya, (b) dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh .andang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-
syarat yang adil dalam kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat demokratis, (c) hak dan kebebasan ini dengan jalan bagaimanapun tidak
boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB.
Deklarasi diakhiri dengan pernyataan bahwa tidak satupun di dalam Deklarasi
ini boleh ditafsirkan memberikan suatu negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk
terlibat di dalam kegiatan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk
merusak hak dan kebebasan-kebebasan yang manapun yang termaktub dalam
Deklarasi.
58

B. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

1. Sejarah Pengesahan

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau KIHSP (International
Covenant on Civil and Political Rights or ICCPR) disahkan oleh General Assembly
Resolusion atau GA. Res. 2200A (XXI) pada 16 Desember 1966 dan diberlakukan
pada 23 Maret 1976. Saat ini kurang lebih 170 negara telah meratifikasinya. Di Asia
Tenggara, Kovenan ini diratifikasi pertama kali oleh Vietnam (1982), diikuti oleh
Filipina (1986), Kamboja (1992), Thailand (1996), Laos (2000), dan Indonesia (2005).
Negara yang belum meratifikasi adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, dan
Singapura.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yang ditandatangani pada 28 Oktober 2005 dan diundangkan pada Lembaran Negara
Tahun 2005 Nomor 119. Di dalam pertimbangannya, Indonesia meratifikasi Kovenan
karena beberapa alasan yaitu bahwa hak asasi manusia adalah: (a) hak yang melekat
pada manusia secara kodrati, (b) Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional
yang harus menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
tujuan PBB, (c) substansi Kovenan pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD NRI 1945 dan Pemerintah Indonesia menyatakan keinginannya untuk terus
memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Kovenan Internasional tentang Hak


Sipil dan Poitik (KIHSP) merupakan penjelasan lebih terperinci atas Pasal 3-21 dari
DUHAM. Prinsip-prinsip penting pada Kovenan ini adalah non-diskriminasi,
pemenuhan secara serta merta, dan tanggung jawab negara.
Prinsip non-diskriminasi dimaknai bahwa semua hak yang ada dalam Kovenan
berlaku bagi semua orang tanpa dipengaruhi oleh pembedaan atas dasar apa pun seperti
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, dan lain-lain. Kovenan juga
meminta agar Negara Pihak berjanji untuk menjamin hak yang sederajat antara laki-laki
dan perempuan untuk menikmati seluruh kategori hak sipil dan politik. Prinsip
pemenuhan secara serta merta dimaknai bahwa ketika negara meratifikasi Kovenan,
maka langsung sejak saat itu negara tersebut memiliki kewajiban untuk menghormati
seluruh kategori hak yang diakui dalam Kovenan tanpa memilah memilih, atau
mendahulukan hak yang satu daripada hak yang lain. Prinsip ini juga terkait dengan
doktrin kewajiban bertindak (obligation of conduct) . Artinya hal yang harus
dipertanggungjawabkan oleh Negara Pihak adalah tindakan segera penghormatan
sepenuhnya atas hak sipil dan politik. Penilaian dilakukan atas tindakan serta merta dan
bukan pada hasil akhirnya. Sedangkan prinsip tanggung jawab negara dimaknai
59

bahwa penghormatan atas seluruh hak sipil dan politik adalah menjadi tanggung jawab
negara.
Ketiga prinsip tersebut dapat dibaca dan dipahami berdasarkan Pasal 2 Kovenan
yang berbunyi:
(1) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin
hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam
wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apa pun
serperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik dan opini lain, asal-
usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
(2) Dalam hal belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan
lainnya yang ada, setiap Negara Pihak pada Kovenan berjanji untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-
undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak yang
diakui dalam Kovenan ini.
(3) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk:
(a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasannya sebagaimana
diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapatkan pemulihan yang
efektif, meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam
kapasitas resmi;
(b) Menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan demikian, hak
atas perbaikan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administratif,
atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga lain yang berwenang, yang
ditentukan oleh sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan
kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum;
(c) Menjamin bahwa pejabat yang berwenang akan melaksanakari pemulihan
tersebut apabila dikabulkan.
Selain beberapa prinsip di atas, Kovenan juga menekankan dua hal penting
lainnya yaitu adanya kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
(non-derogable rights) dan tidak diperbolehkannya melakukan penafsiran dan
pembatasan atau pengurangan untuk menghancurkan hak dan kebebasan yang diakui
dalam Kovenan.
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa negara memiliki
kewenangan untuk menyimpangi (derogate) kewajiban internasional dalam
penghormatan hak sipil dan politik dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan
bangsa. Namun penyimpangan tersebut tidak dapat dilakukan terhadap hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak
diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena ketidakmampuan memenuhi kewajiban
kontraktual, hak atas asas legalitas, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Kovenan ini juga meminta semua Negara Pihak untuk memastikan bahwa tidak
ada satupun klausul Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada
60

negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk
menghancurkan hak dan kebebasan yang diakui oleh Kovenan. Jikalaupun suatu negara
akan melakukan pengurangan atau pembatasan, maka tindakan tersebut harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kovenan.

3. Kategori Hak

Kovenan ini berisi serangkaian kategori hak-hak klasik yang sebagian besarnya
terkait kebebasan individu dari perlakuan yang tidak adil dan merendahkan martabat.
Secara umum, penulis membagi kategori hak yang diakui oleh Kovenan ke dalam 11
(sebelas) kelompok antara lain sebagai berikut.
Kelompok pertama adalah hak paling dasar yaitu hak untuk hidup dan hak
untuk tidak dirampas kehidupannya (Pasal 6). Kovenan masih memberikan
kemungkinan bagi Negara Pihak untuk menerapkan hukuman mati dengan persyaratan
yang sangat ketat.
Kelompok kedua adalah kategori integritas fisik (Pasal 7 dan 8). Kategori
haknya adalah hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji dan
merendahkan martabat; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk tidak diperhambat dan
hak untuk tidak dipekerjakan secara paksa. Pada prinsipnya Negara Pihak harus
memastikan adanya larangan kerja paksa atau kerja wajib. Namun, dikecualikan dari
larangan tersebut adalah kerja wajib sebagai pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan
oleh pengadilan dan hal itu adalah bentuk hukuman resmi atas kejahatan yang
dilakukan. Kerja wajib sebagaimana dimaksud bagian ini antara lain seperti kerja wajib
atas perintah yang sah dari pengadilan atau bagi orang yang menjalani pembebasan
bersyarat, kerja wajib kemiliteran, dan kerja wajib dalam mengatasi keadaan darurat
yang mengancam kehidupan bangsa.
Kelompok ketiga adalah hak-hak hukum (Pasal 9, 10, 11, 15 dan 16). Beberapa
kategori hak pada kelompok ini antara lain hak untuk tidak ditangkap atau ditahan
sewenang-wenang; hak untuk segera diberitahu tuduhan atas penangkapan yang
dialaminya; hak untuk segera dibawa ke hadapan hakim; hak setiap orang yang ditahan
atau ditangkap untuk segera dibawa ke sidang pengadilan agar hakim segera dapat
menentukan keabsahan penangkapan atau penahanannya; hak atas ganti rugi bagi orang
yang menjadi korban salah tangkap; hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan
bermartabat bagi orang yang dirampas kebebasannya; terdakwa berhak untuk
dipisahkan dari orang yang telah dijatuhi pidana, dan diperlakukan secara berbeda
sesuai statusnya yang belum dipidana; terdakwa anak berhak untuk dipisahkan dari
orang dewasa; dan penjara harus didesain untuk melakukan pembinaan dan bertujuan
untuk memperbaiki dan rehabilitasi sosial. Pada Pasal 11 diatur secara khusus bahwa
tidak seorangpun dapat dipenjara semata karena tidak mampu membayar utang. Pasal
15 dan 16 memberikan penekanan pada pentingnya penerapan asas legalitas dan asas
equality before the law.
61

Kelompok keempat adalah kebebasan bergerak (Pasal 12 dan 13). Kategori hak
pada kelompok ini antara lain hak untuk memilih tempat tinggal; hak untuk
meninggalkan negaranya; dan hak untuk tidak dirampas kebebasannya ketika ingin
kembali pulang ke negaranya. Pasal 13 memberi jaminan bahwa orang asing tidak
boleh diusir tanpa alasan hukum yang jelas.
Kelompok kelima adalah jaminan peradilan yang fair (Pasal 14). Beberapa
kategori hak pada kelompok ini antara lain hak untuk diperlakukan sama di hadapan
hukum; hak atas peradilan yang adil; hak atas penerapan asas praduga tidak bersalah;
dan hak atas jaminan minimum prosedur peradilan.
Kelompok keenam adalah integritas pribadi dan keluarga (Pasal 17, 18, 19 dan
23). Beberapa hak yang masuk kelompok ini antara lain hak atas privasi atau hak untuk
tidak dicampuri urusan pribadinya; hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak untuk bebas berpendapat termasuk mencari, menerima dan memberikan
informasi. Pasal 23 memberikan jaminan kebebasan membentuk keluarga dan
perlindungan atas hak laki-laki dan perempuan di dalam atau karena perceraian.
Kelompok ketujuh adalah larangan propaganda perang dan ujaran kebencian
(Pasal 20). Segala macam propaganda untuk perang harus Setiap orang juga dilarang
menganjurkan kebencian atas dasar bangsa, ras, agama dengan tujuan untuk melakukan
diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
Kelompok kedelapan adalah kebebasan berserikat (Pasal 21 dan 22). Setiap
orang bebas berkumpul dan/atau bergabung pada serikat pekerja. Pembatasan atas hak
tersebut hanya boleh dilakukan dengan terpenuhinya arat untuk melakukan pembatasan
(limitation) sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Kelompok kesembilan hak anak (Pasal 24). Setiap anak berhak atas
perlindungan khusus karena statusnya sebagai anak. Setiap anak yang lahir juga berhak
untuk segera diberi nama serta berhak atas status kewarganegaraan dari negara.
Kelompok kesepuluh terkait hak politik (Pasal 25). Setiap orang tanpa
diskriminasi berhak untuk turut serta dalam pemerintahan; hak untuk dan dipilih; dan
hak atas pelayanan publik yang memadai.
Kelompok kesebelas adalah non-diskriminasi dan perlindungan khusus Pasal 26
dan 27). Semua negara harus menghapus dan melarang segala macam kebijakan dan
tindakan diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal usul kebangsaan, kekayaan, kelahiran dan status
lain. Negara juga memberikan mekanisme perlindungan khusus bagi kelompok
minoritas seperti mengamalkan ajaran agama mereka atau menggunakan bahasa
mereka sendiri.

4. Isu Penting

Pada bagian ini akan dijelaskan 3 (tiga) kategori hak yang penting. Ketiga isu
ini penting karena dua alasan yaitu tingkat kontroversi dan tingkat kepentingan bagi
ahli hukum. Isu tersebut antara lain hak untuk hidup dan hukuman mati, hak atas
62

peradilan yang fair, dan hak atas kebebasan beragama. Penjelasan terperincinya sebagai
berikut.

a. Hak untuk Hidup dan Hukuman Mati

Pada dasarnya Kovenan menggariskan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Di Indonesia
hingga saat ini hukuman mati masih merupakan satu dari sekian banyak jenis
hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim untuk beberapa kejahatan seperti
pembunuhan berencana, kejahatan terorisme, kejahatan penyalahgunaan narkoba,
dan korupsi khusus terhadap dam bantuan bencana alam. Hukuman mati ini pernah
dimohonkan untuk dinyatakan inkonstitusional melalui judicial review di
Mahkamah Konstitusi. Pada putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
hukuman mati masih dapat diterapkan di Indonesia dan tidak bertentangan dengan
Konstitusi." Di dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi merujuk pada Pasal
3 DUHAM dan Pasal 6 ayat (2) KIHSP.

Adalah benar bahwa Kovenan memberikan kemungkinan bagi Negara Pihak yang
masih menerapkan hukuman mati, hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan pada
kejahatan yang sangat serius dan dengan persyaratan yang sangat ketat. Komite
Hak Asasi Manusia menyimpulkan bahwa perampokan, perdagangan sampah
beracun, bersekongkol untuk bunuh diri, pelanggaran yang terkait obat-obatan,
pelanggaran kepemilikan, pengulangan tindakan menghindari dinas militer,
kemurtadan, melakukan tindakan homoseksual, penggelapan oleh pejabat negara,
pencurian dengan kekerasan, perzinaan, korupsi, dan kejahatan-kejahatan yang
tidak berujung pada hilangnya nyawa adalah bukan termasuk kejahatan serius.
Mashood Baderin kemudian merujuk pendapat Joseph, Schultz dan Castan bahwa
makna kejahatan serius adalah `pembunuhan terencana atau percobaan
pembunuhan, atau penyiksaan terencana yang menimbulkan derita jasmani yang
besar' sesuai Pasal 6 ayat (2) KIHSP.

Persyaratan atas penerapan hukuman mati juga telah di atur secara ketat, yaitu
sebagai berikut.
1) Hukuman mati dijatuhkan terhadap kejahatan yang sangat serius berdasarkan
hukum yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan.
2) Hukuman mati dijatuhkan dengan menghormati dan melaksanakan semua
perintah Kovenan dan tidak bertentangan dengan Konvensi tentang Pencegahan
dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
3) Hukuman mati hanya boleh dilakukan setelah mendapatkan putusan akhir dari
pengadilan yang berwenang.
4) Hukuman mati dilakukan setelah terpidana mengakses hak atas pengampunan
atau penggantian hukuman atau amnesti.
63

5) Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada anak yang belum berusia 18 tahun
pada saat melakukan kejahatan.
6) Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan pada perempuan yang tengah hamil.

Pertanyaannya, apakah saat ini menurut hukum hak asasi manusia internasional,
hukuman mati masih dianggap sebagai hukuman yang sah? Jawabannya adalah
tidak. KIHSP disahkan pada tahun 1966. Dua puluh tiga tahun kemudian, yaitu
pada tahun 1989, PBB telah mengesahkan Protokol Tambahan II pada KIHSP
dengan Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res. 44/128 pada 15 Desember 1989 dan
efektif berlaku pada 11 Juli 1991. Pada pertimbangan Protokol ini dinyatakan
bahwa Pasal 6 Kovenan sesungguhnya memiliki pesan yang kuat untuk
menghapuskan hukuman mati dan langkah penghapusan hukuman mati adalah
kemajuan penting dalam menikmati hak untuk hidup. Pasal 1 Protokol ini berbunyi:
(1) Tidak seorangpun dalam wilayah hukum Negara-negara Pihak pada Protokol
ini dapat dihukum mati.
(2) Setiap Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk menghapuskan hukuman mati di dalam wilayah hukumnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa hukuman mati masih diterapkan di


Indonesia? Jawabannya adalah karena Indonesia belum meratifikasi Protokol
Tambahan II walaupun telah meratifikasi Kovenan utamanya dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005.

b. Hak Atas Peradilan yang Fair

Prinsip peradilan yang fair (fair trial principle) akan dijelaskan dengan merujuk
pada penjelasan Manfred Nowak tentang Pasal 14 Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik. Penjelasan ini dilakukan dengan membuat penjelasan dari
berbagai unsur yang terkandung di dalam Pasal 14 tersebut. Penjelasan lengkapnya
sebagai berikut.
1) Semua orang berhak untuk diperlakukan sama di muka pengadilan
Prinsip ini diusulkan oleh Uni Soviet yang didukung oleh negara-negara sosialis
dan negara berkembang yang beroposisi terhadap negara Barat. Semua negara
bersepakat bahwa hak untuk diperlakukan sama di muka pengadilan merupakan
hak yang sangat esensial dan merupakan prinsip umum dari 'rule of law'.
Terminologi yang digunakan pada ketentuan Kovenan adalah 'in full equality'
atau dalam persamaan yang penuh. Hal ini menunjukkan bahwa semua orang
memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sama di muka pengadilan. Tidak
boleh ada pembedaan atas dasar apa pun, baik ras, suku, agama, identitas
kelamin, kekayaan, dan lain sebagainya. Pasal 14 Kovenan memberikan
ketentuan 'equality before the court and tribunals'. Pembedaan penggunaan
istilah 'court' dan 'tribunals' padahal makna bahasanya sama memiliki maksud
64

tersendiri. 'Court' dimaksudkan sebagai kualifikasi otoritas menurut sistem


hukum domestik, sedangkan 'tribunals' dimaknai sebagai persyaratan substantif
antara lain independensi dan imparsialitas.

2) Semua orang berhak untuk didengar keterangannya di muka peradilan


Hak untuk didengar keterangannya pada semua tipe peradilan merupakan
indikator utama 'due process of law'. Seluruh Negara Pihak berkewajiban
menyediakan peradilan (tribunals) yang independen dan imparsial, dan
menyediakan perangkat yang kompeten untuk mendengar dan memutuskan
tuduhan/dakwaan serta menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak
sesuai ketentuan hukum. Hal ini dimaksudkan salah satunya untuk mempertegas
pemisahan antara proses peradilan dan administrasi peradilan sebagaimana
ditegaskan dalam Roman Law.

Ketentuan ini juga bermakna bahwa proses peradilan pidana tidak boleh
ditentukan oleh lembaga politik dan pejabat administratif, peradilan harus
dilaksanakan oleh institusi yang kompeten, independen dan imparsial yang
seluruhnya ditentukan oleh hukum. Peradilan harus dilaksanakan secarafair
dengen mengedepankan 'the principle of equality of arms'. Prinsip ini
mengatakan bahwa harus ada keseimbangan hak untuk didengar antara jaksa
penuntut umum, hakim dan terdakwa (atau `audiatur et altera pars'). Tidak
boleh ada satu pihak yang selalu mendominasi persidangan dengen
menghabiskan waktu untuk bicara namun tidak mau mendengar pihak lain.

Peradilan juga harus dilaksanakan secara terbuka (prinsip publisitas). Secara


khusus, prinsip publisitas ini berkaitan dengan transparansi administrasi
peradilan. Prinsip publisitas ini dimaknai bahwa seluruh catatan persidangan,
termasuk dakwaan, tuntutan dan bahkan putusan harus diumumkan atau dapat
diakses oleh masyarakat umum khususnya terdakwa, dan juga komposisi hakim
harus diumumkan termasuk jika ada penggantian di tengah persidangan.

3) Semua orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak mendapatkan


jaminan perlindungan minimal. Jaminan tersebut antara lain:

a) Praduga Tidak Bersalah.


Prinsip praduga tak bersalah merupakan prinisip yang esensial bagi
peradilan yang fair. Di dalam hak asasi manusia, hak ini disebut sebagai hak
untuk dianggap tidak bersalah (the rights to be presumed innocent). Semua
orang memiliki hak tersebut hingga dinyatakan bersalah oleh mekanisme
hukum yang sah. Seorang jaksa penuntut umum harus yakin bahwa
terdakwa adalah bersalah, namun jika dia ragu atas dakwaannya, maka
terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah. Hal ini sesuai dengan prinsip
65

hukum kuno in dubio pro reo. Seorang hakim juga hanya boleh
menjatuhkan hukuman karena terdakwa terbukti bersalah, tanpa ada
keraguan sedikitpun atas putusannya. Jika hakim merasa ragu walaupun
hanya sedikit, maka terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah. Praduga tak
bersalah ini berlaku dalam semua keadaan. Walaupun proses peradilan
berada di bawah tekanan media, tekanan kelompok masyarakat tertentu,
atau bahkan tekanan dari aktor kekuasaan, maka prinsip praduga tak
bersalah harus tetap dijalankan dan ditegakkan.

b) Terdakwa berhak untuk mendapatkan informasi tentang apa yang


dituduhkan kepadanya.
Terdakwa memiliki hak untuk mengetahui dakwaan apa yang dituduhkan
kepadanya. Kewajiban untuk menginformasikan ini berkaitan dengan sifat
dan penyebab adanya dakwaan. Atas alasan apa seseorang ditahan, mengapa
seseorang ditahan dan pasal apa yang didakwakan harus diinformasikan
kepada terdakwa sejak awal penangkapan. Informasi mengenai dakwaan
tidak saja berkaitan dengan pasal apa yang dituduhkan, tetapi juga fakta
hukum (perbuatan rill) yang dianggap bertentangan pasal yang dituduhkan.
Informasi tentang dakwaan ini sangat penting karena berkaitan dengan hak
terdakwa untuk mempersiapkan pembelaan atau mencari pembela atas
tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Informasi tentang dakwaan juga
harus disampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh terdakwa, jika jaksa
atau penyelidik/ penyidik tidak mampu berbahasa sesuai bahasa terdakwa,
maka mereka harus mencarikan seorang penerjemah untuk
mengalihbahasakan dakwaan sesuai bahasa terdakwa. Fasilitas
pengalihbahasaan ini bersifat gratis, sehingga tidak boleh
penyelidik/penyidik menuntut bayaran atas jasa penerjemah. Yang ada
adalah justru aparat sebagai apartur negara harus menyediakan dan
membayar jasa penerjemah dimaksud.

c) Terdakwa berhak untuk mendapatkan pembelaan.


Hak atas pembelaan ini berkaitan dengan tiga hal. Pertama, terdakwa berhak
atas waktu yang cukup (adequate time) untuk mempersiapkan pembelaan.
Waktu yang cukup ini berarti bahwa antara penangkapan dengan
persidangan harus ada cukup waktu bagi terdakwa untuk mengkonsultasikan
kasusnya dengan pembela, sehingga pembela memiliki informasi versi
terdakwa dengan cukup lengkap dan memadai. Kedua, terdakwa berhak atas
fasilitas yang cukup (adequate facilities) untuk mempersiapkan pembelaan
atas dirinya. Fasilitas ini berkaitan dengan hak terdakwa atau tim
pembelanya untuk mengakses dokumen, rekaman penyidikan dan dokumen-
dokumen lain yang digunakan untuk mempersiapkan pembelaan. Ketiga,
terdakwa berhak untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan tim
66

pembela sesuai dengan pilihannya sendiri. Hal ini berkaitan dengan tidak
boleh ada paksaan bagi terdakwa untuk menggunakan tim pembela tertentu,
sehingga terdakwa memiliki kebebasan untuk memilih pembela sesuai
pilihan dia sendiri.

d) Terdakwa berhak untuk tidak ditunda-tunda persidangannya.


Hak ini berkaitan dengan kewajiban bagi pengadilan untuk segera
mengumumkan anggota majelis hakim yang akan menangani perkara.
Begitu terdakwa diserahkan ke pengadilan, maka majelis hakim yang pasti
harus segera dibentuk tanpa ada penundaan tanpa alasan yang dibenarkan
oleh hukum. Jika proses peradilan memungkinkan adanya mekanisme
dismissal, maka antara putusan dismissal dengan penyerahan kepada
pengadilan yang sesungguhnya tidak harus dalam waktu yang terlalu lama.
Tidak ada patokan pasti mengenai toleransi waktu maksimal, namun jika
merujuk pada putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, seharusnya
waktunya tidak lebih dari 2 bulan.

Hak untuk disidang tanpa ada penundaan yang tidak tepat tidak hanya
berkaitan dengan kapan persidangan dimulai, tetapi juga dengan kapan
persidangan akan berakhir dan putusan dijatuhkan. Semua tahapan
persidangan harus dilakukan tanpa ada penundaan yang tidak tepat. Proses
peradilan harus dipastikan di dalam hukum acaranya bahwa tidak akan
terjadi penundaan yang tidak tepat, baik pada saat mulai persidangan
ataupun pada saat proses persidangan hingga selesai dengan penjatuhan
putusan.

e) Terdakwa berhak untuk membela diri.


Hak untuk membela diri ini berkaitan dengan empat hal, yaitu: (1) hak
untuk membela diri sendiri, (2) hak untuk memilih pembela sesuai
keinginannya sendiri, (3) hak untuk diberi informasi bahwa dia berhak atas
pembelaan, dan (4) hak untuk mendapatkan pembelaan yang gratis (free
legal assistance).

Secara prinsip terdakwa berhak membela dirinya sendiri, namun dia juga
berhak meminta pembela untuk mewakili dan membela kepentingannya.
Dalam hal ini pengadilan harus selalu memberikan informasi kepada
terdakwa bahwa dia berhak atas pembelaan. Secara prinsip juga bahwa
terdakwa berhak memilih pembela sesuai pilihannya, namun jika terdakwa
tidak memiliki cukup uang untuk membayar, maka terdakwa berhak atas
bantuan hukum gratis, dan pengadilan wajib menyediakan pembela bagi
terdakwa. Hal ini berkaitan dengan kewajiban administratif dari pengadilan.
67

f) Terdakwa berhak untuk memanggil dan menyanggah kesaksian saksi.


Terdakwa memiliki hak untuk memanggil saksi yang dapat meringankan
bagi dirinya, dan juga berhak menyanggah kesaksian orang yang
memberatkan atau bertentang dengan kebenaran yang sesungguhnya.

g) Terdakwa berhak mendapatkan penerjemah dalam hal dia tidak


mampu berbahasa seperti yang digunakan oleh aparat pengadilan.
Hak untuk mendapatkan penerjemah ini mengandung perdebatan yaitu
apakah penerjemahan itu hanya dilakukan pada saat terjadi persidangan,
atau termasuk menerjemahkan seluruh dokumen seperti BAP, barang bukti,
keterangan tertulis dan lain sebagainya. Hak ini ditujukan untuk memastikan
bahwa terdakwa mendapatkan proses peradilan yang fair. Penerjemahan
juga dibutuhkan untuk membantu terdakwa yang tidak mampu membaca
surat dakwaan, sehingga dia mengerti dokumen surat dakwaan yang
dituduhkan kepadanya.

Mengingat pentingnya terdakwa mengetahui seluru, proses persidangan,


maka Pengadilan Hak Asasi Manusi Eropa (European Court of Human
Rights) memutuskan bahwa penerjemahan harus dilakukan terhadap seluruh
dokumen tertulis dan percakapan lisan di dalam persidangan Pemberian
penerjemah secara gratis ini bersifat absolute, pengadilan harus memberikan
penerjemah karena hal ini berkaitan dengan hak terdakwa untuk
mendapatkan peradilan yang fair. Hal ini lebih ditekankan bagi negara-
negara yang memiliki kelompok suku minoritas yang memiliki bahasa
sendiri yang berbeda dengan bahasa nasional.

h) Terdakwa tidak boleh dipaksa bersaksi yang memberatka dirinya


sendiri (non-self incrimination).
Hak untuk tidak boleh dipaksa bersaksi untuk dirinya sendiri ini berasal dari
tradisi English Common Law. Hak ini muncul sebagai respons atas
terjadinya berbagai macam bentuk tekanan fisik maupun mental, seperti
penyiksaa dan perlakuan yang tidak manusiawi atau berbagai macam
tindakan kekerasan yang dilakukan untuk memaksa terdakwa untuk
mengakui kesalahan.

i) Terdakwa yang masih di bawah umur harus mendapatka perlakuan


khusus.
Seorang anak yang berada di bawah umur 18 tahu memiliki hak untuk
diperlakukan secara khusus dalam proses peradilan. Perlakuan itu antara
lain negara harus menghapuskan hukuman mati bagi anak di bawah umt 18
tahun, anak harus dipisahkan dari orang dewasa tahanan dan di penjara.
Pengadilan juga dianjurkan untuk mengedepankan proses rehabilitasi
68

daripada hukuman. Kovenan ingin memastikan bahwa persidangan bagi


orang harus berbeda dengan persidangan bagi orang dewasa. Pengadilan
harus mengedepankan proses rehabilitatif dan lebih mengedepankan
pendekatan pendidikan bagi anak yang berurusan dengan hukum.

j) Terdakwa berhak mengajukan banding ke pengadilan yang lebih


tinggi.
Seorang terdakwa yang telah diputus bersalah oleh pengadilan berhak
mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Seluruh prinsip
peradilan yang fair juga harus dilaksanakan di pengadilan tingkat banding.
Pengadilan, dalam hal ini adalah hakim, berkewajiban untuk
menginformasikan bahwa terpidana memiliki hak untuk mengajukan
banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Hak untuk banding ini tidak hanya
bagi terpidana dalam kasus kejahatan, namun juga pada kasus-kasus
pelanggaran.

k) Terdakwa berhak mendapatkan kompensasi dalam hal terjadi


Miscarriage of Justice.
Miscarriage ofJustice biasa diartikan kegagalan atau kekeliruan pengadilan.
Terdakwa berhak atas ganti rugi atas kekeliruan pengadilan dalam
menangani perkara.

Kompensasi dapat dituntut berdasarkan beberapa persyaratan di bawah ini:


(1) Telah ada vonis atas dakwaan akhir dari tindakan pidana;
(2) Putusan yang sebaliknya dan pengampunan atas orang yang telah
divonis didasarkan atas alasan di bawah ini:
(a) Adanya pengakuan bahwa telah terjadi kekeliruan pengadilan
(Miscarriage of Justice).
(b) Tidak adanya kesalahan atas orang yang divonis karena
pertimbangan pengungkapan yang terlambat.
(c) Telah menjalani hukuman atas putusan dari kekeliruan pengadilan
(Miscarriage of Justice).

Putusan haruslah putusan final yang tidak ada peluang upaya hukum lagi.
Putusan yang dimaksud hanyalah terhadap putusan atas perkara pidana.
Kompensasi yang diberikan karena adanya kekeliruan pengadilan harus
dibarengi dengan pengampunan atau pembebasan dari segala dakwaan
kepada terdakwa. Atau kompensasi juga dapat diberikan kepada terdakwa
yang telah dijatuhi hukuman, yang kemudian ditemukan bukti baru yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah. Bentuk hukuman ini tidak
hanya hukuman penjara tetapi segala bentuk hukuman yang lain.
69

l) Prinsip "ne bis in idem".


Prinsip ne bis in idem bermakna bahwa kasus yang sama tidak dapat
diajukan dua kali ke pengadilan. Usulan atas prinsip ini diajukan oleh
Jepang dan Italia yang pada pokoknya mengatakan bahwa no one shall be
tried twice for the same offece (tidak boleh satu orang diadili dua kali untuk
kesalahan atau perkara yang sama). Prinsip ini dapat dilanggar ketit
ditemukan dokumen atau bukti baru atas seseorang. Artinya jika ditemukan
dokumen atau bukti baru, maka kasus serur bisa diangkat kembali untuk
diadili.

c. Hak Atas Kebebasan Beragama

Hak atas kebebasan beragama termasuk salah satu hak yang tidak dapat dikurangi
(non-derogable rights). Di Indonesia, kebebasan beragam masih menjadi salah satu
isu yang masih sangat kontroversia. Kontroversi itu terkait apakah negara perlu
mengakui beberapa agama dan tidak mengakui sebagian yang lain? Kemudian
bagaimana sikap negara bagi warga negara yang sesungguhnya memang beragama
di luar agama yang diakui. Perdebatan ini sempat mengemuka ke publik yaitu pada
saat sekelompok orang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
terhadap Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penodaan Agama. Pasal 1 tersebut berbunyi:
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan kegiatan agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama
itu".

Para pemohon mendalilkan bahwa substansi Pasal 1 di atas tersebut bertentangan


dengan Pasal 28A dan Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29
ayat (2) 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
yang pada pokoknya mengakui kebebasan beragama. Pertentangan itu terjadi,
menurut pemohon, salah satunya adalah karena di dalam penjelasannya, negara
yang disebut hanyalah enam yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghucu. Oleh karenanya, undang-undang tersebut telah melanggar hak-hak dasar
warga negara dalam kebebasan beragama dan oleh karenanya harus dinyatakan
sebagai inkonstitusional. Menyikapi persoalan di atas, bagaimana jawaban hukum
hak asasi manusia internasional? Ketentuan mengenai kebebasan beragama diatur
di dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan juga Pasal 18
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Bunyi lengkap dari pasal-
pasal tersebut adalah sebagai berikut:
70

Pasal 18 DUHAM
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya,
mempraktikkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 18 KIHSP ayat (1) dan ayat (3):
Ayat (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
individu maupun secara bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
menjalankan kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Ayat (3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan
dasar orang lain.

Berdasarkan Pasal di atas, hukum hak asasi manusia memaknai kebebasan


beragama dalam dua bentuk yaitu kebebasan internal (forum internum) dan
kebebasan eksternal (forum eksternum). Penjelasan sederhananya adalah sebagai
berikut:
1) Forum Internum, yaitu kondisi batin seseorang ketika meyakinkan ajaran agama
tertentu. Dalam bahasa agama, forum internum ini adalah iman. Hal ini
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (1) KIHSP.
2) Forum Eksternum, yaitu ekspresi lahir dari agama yang diyakini. Dalam bahasa
agama hal ini disebut sebagai rukun ekspresi agama. Bagi komunitas Muslim
adalah seperti cara sholat, cara haji, membayar zakat. Bagi komunitas
Katolik/Kristen adalah cara beribadah/berdoa. Hal ini sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3), yaitu "kebebasan untuk menjalankan (freedom to
manifest)".

Pasal 18 Kovenan menggariskan bahwa kebebasan internal (forum internum)


adalah hak yang tidak dapat dibatasi dan/atau dikurangi. Pembatasan hanya
dapat dilakukan pada aspek kebebasan eksternal (forum eksternum), yaitu
kebebasan untuk memanifestasikan keyakinan dan agama. Pembatasan dapat
dilakukan dengan syarat pembatasan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan
hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau
moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain. Pada situasi apa
pun, kebebasan internal (forum internum) dianggap sebagai kebebasan absolut.
Negara memiliki kewajiban absolut untuk menghindari turut campur pada
wilayah kebebasan internal (forum internum) melalui doktrinasi ideologi agama,
71

cuci otak atau bentuk manipulasi lainnya.

Bagaimana akhir dari putusan Mahkamah Konstitusi? Pada pertimbangannya,


Mahkamah Konstitusi secara eksplisit menyatakan bahwa kebebasan internal
(forum internum) maupun kebebasan eksternal (forum eksternum) kedua-duanya
dapat dibatasi oleh negara. Oleh karena itu, Mahkamah memutuskan bahwa
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan
Agama tidak melanggar hak asasi manusia dan harus dinyatakan sebagai tidak
bertentangan dengan Pasal 28 UUDNRI 1945.

Bagaimana sikap hukum hak asasi manusia internasional? Dengan tetap


menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai putusan yang final, hukum
hak asasi manusia internasional menawarkan konsep tidak ada pembatasan
dalam kebebasan beragama pada aspek kebebasan internal (forum internum).
Pembatasan hanya dapat dilakukan pada aspek eksternal (forum eksternum).

5. Mekanisme Pengawasan

Kovenan memberikan ketentuan mengenai bagaimana substansi Kovenan


dijalankan oleh Negara Pihak dan bagaimana menguji penerapan (compliance) dari
Negara Pihak pada Kovenan. Terdapat lima mekanisme untuk mengawasi penegakan
substansi Kovenan, yaitu:

a. Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee)


Komite berisi 18 (delapan belas) orang ahli, bermoral tinggi dan diakui keahliannya
di bidang hak asasi manusia, diangkat dalam kapasitas pribadi mereka dan bukan
mewakili Negara Pihak. Anggota Komite dicalonkan oleh Negara Pihak, tidak lebih
dari dua orang dari satu negara, dan akan dipilih secara rahasia. Proses pemilihan
dilakukan oleh Sekretaris Jenderal PBB pada persidangan di Markas Besar yang
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Negara Pihak. Salah satu
pertimbangan untuk menentukan anggota Komite adalah terkait perwakilan
geografis yang merata dan perwakilan berbagai bentuk kebudayaan dan sistem
hukum yang dianut. Anggota Komite ini dapat diangkat dalam jangka waktu 4
(empat) tahun dan separuhnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

b. Laporan Negara (State Report)


Satu tahun setelah suatu negara meratifikasi Kovenan, Negara Pihak tersebut
berkewajiban untuk menyusun dan menyampaikan laporan negara (state report)
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Laporan ini akan
dikirimkan ke Komite Hak Asasi Manusia untuk didalami dan jika perlu dimintakan
klarifikasi kepada Negara Pihak. Laporan negara ini berisi tindakan dan kebijakan
apa saja yang telah dilakukan oleh Negara Pihak dalam rangka memenuhi
72

kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Kovenan. Juga berisi faktor-faktor dan


kesulitan-kesulitan yang dihadapi Negara Pihak di dalam mengimplementasikan isi
Kovenan. Komite akan mempelajari dan jika dipandang perlu akan mengeluarkan
Komentar Umum yang nantinya akan diserahkan kembali kepada Negara Pihak.

c. Komentar Umum (General Comment)


Komentar Umum adalah produk dari penelaahan Komite atas laporan-laporan yang
disusun oleh Negara Pihak. Komentar Umum ini bisa berisi saran dan masukan bagi
Negara Pihak untuk memberikan perhatian lebih pada isu-isu tertentu. Komentar
Umum juga bisa berisi indikator atas hak-hak tertentu yang dapat digunakan oleh
Negara Pihak dalam mengukur tingkat penerapan/pencapaian negara tersebut atas
semua kewajiban yang dibebankan oleh Kovenan. Komentar Umum ini juga sering
disebut sebagai interpretasi asli (autentic interpretation) atas substansi pasal-pasal
tertentu pada Kovenan.

d. Komunikasi Antar Negara (Inter State Communication)


Negara Pihak memiliki kesempatan untuk mengirimkan komunikasi kepada Komite
melalui Sekretaris Jenderal PBB atas potensi atau dugaan pelanggaran hak-hak
yang diakui Kovenan oleh Negara Pihak lainnya. Prosedur yang harus ditempuh
adalah Negara Pihak mengirimkan komunikasi kepada Negara Pihak lain yang
diduga melanggar ketentuan Kovenan.
Di dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, Negara Pihak penerima harus membalas dan
memberi jawaban berisi mekanisme domestik atas komunikasi yang dikirimkan
Negara Pihak pengirim. Jika dengan penggunaan prosedur ini belum mencapai
kesepakatan, maka dalam waktu 6 (enam) bulan sejak penerimaan oleh Negara
Pihak yang menerima komunikasi awal, masing-masing Negara Pihak berwenang
untuk mengirimkan komunikasi tersebut kepada Komite.
Syaratnya adalah Negara Pihak pengirim dan Negara Pihak penerima, kedua-
duanya harus menyatakan tunduk pada kewenangan Komite. Komite hanya akan
menerima komunikasi dan membahasnya setelah seluruh mekanisme domestik
telah ditempuh.

e. Komunikasi Individual (Individual Communication)


Komunikasi Individual ini diatur secara khusus pada Protokol Opsional I Kovenan.
Protokol ini memberikan hak kepada individu setiap orang yang merasa haknya
dilanggar oleh Negara Pihak untuk mengirimkan komunikasi kepada Komite.
Komunikasi Individual hanya dapat diterima oleh Komite setelah pengirim
komunikasi menempuh semua mekanisme domestik dan komunikasi dikirim
dengan jelas seperti identitas, jenis dan bukti-bukti pelanggaran hak yang dihadapi.
Apakah Komunikasi Individual ini sudah berlaku di Indonesia? Jawabannya belum.
Indonesia memang telah meratifikasi Kovenan, namun belum meratifikasi Protokol
Opsional I.
73

C. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

1. Sejarah Pengesahan

Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau KIHESB
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights or ICESCR)
disahkan oleh dengan General Assembly Resolusion atau GA. Res. 2200A (XXI) pada
16 Desember 1966 dan diberlakukan pada 3 Januari 1976. Saat ini kurang lebih 168
negara telah meratifikasinya. Di Asia Tenggara, Kovenan ini diratifikasi pertama kali
oleh Filipina yaitu pada 1976 kemudian dua negara lain dekade ini juga melakukan
ratifikasi yaitu Indonesia (2005) dan Laos (2007). Negara yang belum meratifikasi
adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, dan Singapura.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya yang ditandatangani pada 28 Oktober 2005 dan diundangkan pada
Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118. Konsideran pada undang-undang ini sama
persis dengan Konsideran pada undang-undang ratifikasi Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Merujuk pada penjelasan sebelumnya, Kovenan ini merupakan penjabaran dari


Pasal 22-27 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Prinsip-prinsip penting pada
Kovenan ini adalah prinsip pemenuhan maju (progresive realisation), non-diskriminasi
dan tanggung jawab negara.
Berbeda dengan prinsip yang dianut pada Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik yang mengharuskan pemenuhan serta merta, Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik menawarkan konsep pemenuhan maju (progresive
realisation). Prinsip pemenuhan maju dimaknai sebagai negara diberi peluang untuk
memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya secara bertahap namun harus bergerak maju
dan Dukan mundur. Pemenuhan bertahap ini disesuaikan dengan kapasitas ekonomi
Negara Pihak. Contoh sederhananya adalah Negara Pihak boleh menyatakan tahun
2017 baru bisa memberikan pendidikan gratis bagi sekolah dasar. Pemerintah berjanji
bahwa pada tahun 2020, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama juga akan
digratiskan. Penilaian atas pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya adalah
menggunakan doktrin kewajiban mencapai basil (obligation of result). Penilaian
dilakukan terhadap nasil apakah hak ekonomi, sosial dan budaya dapat terpenuhi atau
tidak. Pembuktian bahwa kebijakan pemerintah suatu Negara Pihak bahwa mereka
telah secara bertahap mengimplementasikan pemenuhan hak yang dijamin oleh
Kovenan akan membantu Negara Pihak bertanggung jawab Kepada organ PBB. Namun
demikian, pemenuhan ini harus dilakukan secara konkret, efektif dan dengan target
74

yang jelas untuk secara cepat merealisasikan hak secara penuh.


Prinsip non-diskriminasi dimaknai bahwa pemenuhan atas hak ekonomi,
sosial dan budaya tidak boleh dilakukan dengan membeda-bedakan orang atas dasar
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan identitas lainnya. Prinsip tanggung
jawab negara dimaknai sebagai pemenuhan atas hak ekonomi, sosial dan budaya
adalah kewajiban negara.
Ketiga prinsip di atas dapat ditemukan pada Pasal 2 Kovenan yang berbunyi:
(1) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-
langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerja sama
internasional, khususnya di bidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber
dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak yang diakui
oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan
langkah-langkah legislatif.
(2) Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak yang diatur
dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

3. Kategori Hak

Kovenan ini diawali dengan meminta kepada Negara Pihak untuk menjamin
kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan dalam penikmatan hak ekonomi, sosial dan
budaya. Setelah itu, Kovenan menegaskan bahwa pembatasan atas hak yang diakui
dalam Kovenan hanya dapat dilakukan secara hukum dan pembatasan itu dilakukan
justru untuk menaikkan kesejahteraan umum. Tidak diperkenankan sama sekali
melakuka penafsiran yang justru bertentangan dengan semangat Kovenan dan bertujuan
untuk menghancurkan substansi hak dan kebebasan yang diatur dalam Kovenan. Secara
kategoris, hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dibagi ke dalam 5 (lima) kelompok
yang penjelasannya adalah sebagai berikut.
Kelompok pertama adalah hak atas dan dalam pekerjaan (Pasal 6, 7 dan 8).
Beberapa hak yang termasuk kelompok ini antara lain hak atas pekerjaan; hak atas
pembinaan dalam rangka mencari pekerjaan; hak atas kondisi kerja yang layak dan adil
yang di dalamnya termasuk hak atas upah yang layak untuk dirinya dan keluarganya,
kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk promosi, hak atas
istrirahat dan liburan serta jam kerja yang layak; hak untuk membentuk dan/atau
bergabung ke serikat pekerja termasuk hak untuk melakukan mogok kerja
Kelompok kedua adalah terkait jaminan perlindungan (Pasal 9 dan 10; Kategori
haknya antara lain hak atas jaminan sosial termasuk asuransi sosial; perlindungan
khusus bagi keluarga termasuk bagi ibu yang aka melahirkan, hak ini terkait hak cuti
dengan gaji yang memadai.
Kelompok ketiga adalah kehidupan yang layak (Pasal 11 dan 12, Kategori
haknya antara lain hak atas standar kehidupan yang layak diri dan keluarga; hak bebas
dari kelaparan; hak atas standar tertinggi pemenuhan fasilitas kesehatan fisik dan
75

mental termasuk penurunan angka kematian bayi dan perkembangan anak yang baik,
perbaikan fasilita kesehatan dalam dunia industri, dan pencegahan penyebaran penyakit
endemik menular.
Kelompok keempat adalah pendidikan (Pasal 13 dan 14). Kategori haknya
antara lain hak atas pendidikan, termasuk promosi nilai-nilai partisipasi aktif, saling
pengertian antarmasyarakat, toleransi dan persahatan antarbangsa; pembiayaan
pendidikan termasuk pendidikan dasar yang gratis, pendidikan lanjutan yang dipenuhi
secara bertahap menuju gratis, pendidikan tinggi yang tersedia dan dapat diakses oleh
masyarakat dan pengembangan sistem beasiswa; hak dan kebebasan orang tua untuk
memilih sekolah bagi anak-anaknya; dan Kovenan meminta kepada Negara Pihak
untuk memenuhi pendidikan dasar gratis dalam angka waktu dua tahun setelah
ratifikasi.
Kelompok kelima adalah partisipasi budaya (Pasal 15). Setiap orang memiliki
hak dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya; menikmati hasil dari
kemajuan ilmu pengetahuan; hak atas perlindungan dan penikmatan atas kekayaan
intelektual; dan hak atas kebebasan melakukan kegiatan ilmiah.

4. Isu Penting

Pada bagian ini akan diuraikan dua isu penting di dalam Kovenan yaitu hak atas
pendidikan dan hak atas kesehatan. Kedua kategori hak ini dipilih karena keduanya
merupakan hak paling dasar yang harus sekuat tenaga dipenuhi oleh negara. Kedua hak
tersebut juga merupakan hak yang tidak memunculkan kontroversi apa pun. Semua
orang bersepakat bahwa hak atas pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar yang
harus dinikmati oleh semua orang tanpa ada diskriminasi berdasarkan apa pun.

a. Hak Atas Pendidikan

Hak atas pendidikan diakui di dalam Pasal 13 Kovenan. Hak atas pendidikan,
termasuk beberapa hak dasar seperti kebebasan kependidikan dan kebebasan akademik
(academic freedom) merupakan isu utama dalam diskursus hak asasi manusia modern.
Pendidikan merupakan prakondisi bagi terpenuhinya hak asasi manusia. Pendidikan
juga merupakan alat untuk memperkuat bangunan struktur hak asasi manusia.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tujuan
pendidikan adalah untuk memperkuat jalinan kemanusiaan universal tanpa diskriminasi
dan menjaga perdamaian. Bunyi lengkap Pasal tersebut adalah:
Pendidikan hendaknya diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia secara
penuh dan untuk memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan dasarnya. Pendidikan tersebut harus memajukan pemahaman,
toleransi, dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok-kelompok agama.
dan ras, dan hendaknya melanjutkan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk mempertahankan perdamaian.
76

Konvensi Hak Anak telah memberikan ketentuan paling rinci mengenai tujuan
pendidikan. Konvensi Hak Anak memiliki rekor paling baik dalam hal negara
peratifikasi. Hanya kurang dan dua tahun, hampir semua negara anggota PBB telah
melakukan ratifikasi. Hal ini sebagai penanda bahwa Konvensi Hak Anak merupakan
salah satu instrumen hak asasi manusia yang universalitasnya paling diakui. Menurut
Pasal 29 ayat (1) Konvensi Hak Anak, pendidikan diselenggarakan hendaknya
bertujuan:
(a) Mengembangkan kepribadian, bakat dan mental dan kemampuan fisik untuk
mencapai potensi penuh mereka.
(b) Mengembangkan penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental,
serta prinsip-prinsip yang tertera atau dinyatakan dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
(c) Mengembangkan penghormatan anak-anak terhadap orang tua, identitas
kebudayaannya, bahasa, dan nilai-nilainya sendiri, serta bagi nilai-nilai nasional
negaranya tempat di mana anak itu hidup, atau terhadap negara darimana ia
berasal dan bagi peradaban-peradaban yang berbeda dari yang dimilikinya.
(d) Menyiapkan anak untuk hidup secara bertanggung jawab dalam masyarakat
yang bebas, dengan semangat saling memahami. perdamaian, toleransi dan
kesetaraan jenis kelamin, dan persaudaraan di antara semua orang, etnis,
kelompok bangsa dan agama serta orang indigenos.
(e) Mengembangkan penghormatan terhadap lingkungan alam.

Satu hal yang menarik dari Kovenan adalah ia mewajibkan Negara Pihak untuk
membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar. Pasal 14 Kovenan meminta Negara
Pihak dalam waktu dua tahun harus sudah membebaskan biaya pendidikan dasar. Jika
belum, maka negara tersebut wajib menyusun sebuah perencanaan yang baik tentang
bagaimana pemenuhan pendidikan gratis tersebut. Negara Pihak juga diwajibkan utuk
mengusahakan agar pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi juga dibebaskan secara
bertahap.
Hak atas pendidikan ini mengandung banyak aspek terkait pendidikan antara
lain hak untuk mendapatkan pendidikan, kesetaraan akses pada fasilitas pendidikan,
kebebasan memilih pendidikan, kebebasan untuk mendirikan lembaga pendidikan,
memastikan perlindungan bagi anak tindakan tidak manusiawi, dan kebebasan
akademik.
Hak untuk mendapatkan pendidikan terkait dengan kewajiban positif negara
untuk melakukan pemenuhan (state obligation to fulfill). Kewajiban positif ini
dimaknai sebagai kewajiban progresif (progressive obligation) yaitu Negara Pihak
wajib mengambil langkah untuk memanfaatkan sumber dayanya secara maksimal
dalam rangka memenuhi hak atas pendidikan. Hal ini juga terkait kewajiban mencapai
hasil (obligation of result) yang berisi tindakan atau langkah-langkah tertentu yang
diambil oleh negara untuk mencapai hasil yaitu terpenuhinya pendidikan. Tindakan itu
seperti membuat kebijakan eksekutif maupun tindakan legislatif. Di Indonesia, contoh
yang relevan adalah kewajiban bagi pemerintah untuk mengalokasikan paling sedikit
20% anggarannya untuk memenuhi hak atas pendidikan.
77

Kesetaraan akses pada fasilitas pendidikan terkait paling utama dengan prinsip
non-diskriminasi. Setiap orang dengan latar belakang apa pun haruslah memiliki akses
yang sama terhadap fasilitas pendidikan yang disediakan oleh negara. Terkhusus,
negara harus memastikan bahwa kelompok-kelompok marginal juga harus
mendapatkan askes atas fasilitas pendidikan yang memadai. Tidak diperkenankan
memanfaatkan fasilitas pendidikan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu seperti
etnis, agama dan bahasa termasuk mereka yang kelompok rentan seperti penyandang
disabilitas, perempuan atau orang dengan warna kulit yang berbeda.
Kebebasan memilih pendidikan ini terkait dengan peluang bagi individu
memilih apakah akan menggunakan fasilitas yang disediakan negara atau tidak. Hukum
hak asas manusia internasional juga menekankan pentingnya kebebasan orang tua
untuk memilih pendidikan bagi anak-anak mereka menurut agama, moral, filsafat dan
keyakinan masing-masing. Satu hal yang sangat ditekankan adalah bahwa Negara
Pihak wajib memberikan fasilitas pendidikan dasar yang bebas biaya. Hal ini penting
untuk memastikan bahwa setiap anak akan berkembang dengan baik dan mampu
bertanggung jawab atas hidupnya di masa depan.
Kebebasan untuk mendirikan lembaga pendidikan terkait kebebasan setiap
individu untuk mendirikan sekolah swasta sesuai dengan cara pandang dan
keyakinannya. Kebebasan ini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi tunduk pada
standar minimum pendidikan (seperti izin mendirikan sekolah, standar kurikulum,
sertifikasi atau akreditasi). Selain itu, semua sekolah swasta juga berkewajiban
menghomati semua hak dasar anak, khususnya hak untuk diperlakukan secara
bermartabat.
Anak, peserta didik, berhak bebas dari tindakan tidak manusiawi. Negara Pihak
wajib mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin bahwa disiplin sekolah
diatur sedemikian rupa sehingga konsisten dengan martabat kemanusiaan anak.
Kewajiban ini berlaku bagi sekolah negeri maupun swasta. Kewajiban ini juga terkait
bahwa setiap anak berhak untuk bebas dari hukuman fisik dan bentuk penyiksaan lain.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memutuskan bahwa 4 (empat) kali pukulan
dengan kayu kecil ke bokong anak usia 15 tahun yang dilakukan oleh seorang guru
merupakan pelanggaran terhadap hak anak
Kebebasan akademik terkait dengan kebebasan individu untuk melakukan
penelitian dan menyampaikan pandangan akademiknya. Pasal 15 ayat (3) dan (4)
Kovenan menetapkan bahwa Negara Pihak harus menghormati kebebasan-kebebasan
yang tidak dapat dielakkan bagi kegiatan kreativitas serta penelitian ilmiah. Kebebasan
ini juga terkait dengan kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi, kebebasan atas
informasi, dan berserikat serta berkumpul.
Secara teknis, Negara Pihak telah diberi petunjuk mengenai apa yang harus
dilakukan dalam rangka pemenuhan hak atas pendidikan. Petunjuk ini dinamai
indikator yang kemudian dikukuhkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Pada awalnya Dewan Ekonomi dan Sosial menunjuk Catarina Tomasevski sebagai
Pelapor Khusus (Special Rapporteur) untuk menangani isu pendidikan. Kerja
78

panjangnya kemudian diadopsi oleh Komite dan dijadikan indikator hak asasi manusia
dalam Komentar Umum Nomor 13 (1999). Terdapat 4 (empat) indikator hak atas
pendidikan yaitu ketersediaan (availability), dapat diakses (accessible), dapat diterima
(afordable) dan dapat diadaptasi (adaptable). Penjelasan rincinya sebagai berikut.
1) Ketersediaan (availability). Negara Pihak harus memastikan bahwa institusi dan
program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai. Hal ini meliputi
bangunan gedung, fasilitas sanitasi yang memadai, air minum yang sehat, guru
yang terlatih dengan gaji yang memadai, materi pengajaran, dan fasilitas lain seperti
perpustakaan, laboratorium komputer dan teknologi informasi.
2) Dapat diakses (accessible). Negara Pihak harus memastikan bahwa institusi dan
program pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi.
Pendidikan secara fisik harus aman untuk dijangkau. Secara ekonomi, pendidikan
harus terjangkau dan pendidikan dasar harus bebas biaya.
3) Dapat diterima (afordable). Negara Pihak harus memastikan bahwa bentuk dan
substansi pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pengajaran harus dapat
diterima, misalnya sesuai dengan konteks budaya, bahasa dan kualitasnya.
4) Dapat diadaptasi (adaptable). Pendidikan harus fleksibel untuk merespons dan
menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk mengubah masyarakat dan komunitas,
dan merespons kebutuhan para siswa dalam masyarakat dan tatanan budaya yang
beragam.

b. Hak Atas Kesehatan

Hak atas kesehatan diatur dalam Pasal 12 Kovenan. Hak atas kesehatan
merupakan salah satu hak dasar yang menentukan apakar manusia dapat hidup secara
bermartabat atau tidak. Terdapat beberapa istilah yang digunakan antara lain hak atas
kesehatan, hak atas perawatan kesehatan, hak atas perlindungan kesehatan dan hak
kesehatan. Di antara sekian istilah, hak atas kesehatan (right to health) adalah istilah
yang resmi dan sering digunakan dalam hukum internasional hak asasi manusia. Istilah
hak atas kesehatan (right to health) dipilih karena ia tidak hanya mewakili hak atas
layanan kesehatan, tetapi juga termasuk prasyarat dasar bagi kesehatan seperti air
minum bersih, sanitasi memadai, kesehatan lingkungan dan kesehatan di tempat kerja.
Hak atas kesehatan mencakup dua unsur penting yaitu unsur perawatan
kesehatan dan unsur prasyarat dasar bagi kesehatan. Unsur pertama terkait tindakan
perawatan kuratif serta preventif. Sedangkan unsur yang kedua termasuk air bersih
layak minum, sanitasi memadai kecukupan nutrisi, informasi terkait kesehatan,
kesehatan lingkungan dan kesehatan di tempat kerja.
Merujuk pada strategi Organisasi Kesehatan Dunia (World Healt, Organisation)
tentang Kesehatan Bagi Semua Orang dan Perawatan Kesehatan Utama, unsur-unsur
perawatan kesehatan sebagai berikut.
1) Mengenai perawatan kesehatan:
a) Perawatan kehamilan dan kesehatan anak, termasuk keluarga berencana;
79

b) Imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi utama;


c) Perawatan memadai untuk penyakit umum dan luka;
d) Persediaan obat-obatan penting.
2) Mengenai prasyarat dasar bagi kesehatan:
a) Pendidikan mengenai masalah kesehatan umum dan metode pencegahan dan
pengawasan masalah kesehatan tersebut;
b) Peningkatan pasokan pangan dan nutrisi yang tepat;
c) Pasokan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai.
Secara teknis, Negara Pihak diberikan pedoman oleh Komite yang berisi
bagaimana dan indikator apa yang akan digunakan untuk memberikan penilaian atasi
pemenuhan hak atas kesehatan. Indikator ini dirangkum dalam Komentar Umum
Nomor 14 atas Kovenan. Indikatornya adalah sebagai berikut:
1) Ketersediaan (availability). Negara Pihak harus memiliki sejumlah layanan
kesehatan yang mencukupi bagi penduduk secara keseluruhan.
2) Dapat diakses, baik dari sisi keuangan, geografis dan budaya (financial,
geographical and cultural accessibility). Dapat diakses secara keuangan
mempersyaratkan agar layanan kesehatan harus terjangkau khususnya harus ada
skema bantuan bagi mereka yang tidak mampu membayar agar tetap mendapatkan
layanan kesehatan. Dapat diakses secara geografis dimaknai bahwa layanan
kesehatan harus berada tidak jauh dari lokasi masyarakat tinggal. Jikalaupun agak
jauh, maka harus ada skema agar masyarakat dapat mengakses lokasi tersebut.
Dapat diakses secara budaya dimaknai bahwa layanan kesehatan juga harus
memerhatikan aspek kebudayaan setempat.
3) Kualitas (quality). Layanan kesehatan yang tersedia harus sesuai standar, dan dalam
situasi tertentu layanan kesehatan harus sesuai dengan konteks khusus.
4) Kesetaraan (equality). Layanan kesehatan harus dapat diakses secara setara oleh
semua orang dengan memberikan perhatian pada posisi dan kebutuhan kelompok
rentan seperti perempuan, anak, lansia dan penyandang disabilitas.

5. Mekanisme Pengawasan
Kovenan hanya mengakui 3 (tiga) mekanisme pengawasan yaitu komite,
laporan negara dan komentar umum. Penjelasannya sebagai berikut.

a. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic, Social and
Cultural Rights)
Berbeda dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang
memandatkan pembentukan Komite secara tegas dalam Pasal Kovenan, Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya tidak memandatkan
pembentukan Komite. Tidak adanya pembentukan Komite terjadi karena adanya
perbedaan sikap, jika tidak dikatakan sebagai perang ide, antara negara-negara
Eropa dan Soviet. Negara-negara Eropa pada awalnya tidak setuju dengan ide hak
generasi kedua tersebut, di sisi lain Soviet tidak mau ada lembaga yang diberi
80

kewenangan untuk turut campur urusan domestik negara mereka. Ketika negara-
negara Barat berbicar mengenai `pelaksanaan', itu artinya harus ada mekanisme
supervisi atau penegakan internasional (international supervision and enforcement;
sedangkan Soviet hanya berpikir soal perbantuan dan kerja sama internasional dan
bukan memberikan penilaian atas negara. Alhasi tidak ada Komite yang diberi
mandat untuk mengawasi implementasi substansi Kovenan. Mandat pengawasan
diberikan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council) .

Sejak tahun 1976-1985, kerja-kerja penerimaan laporan negara dilakukan oleh


Dewan Hak Ekonomi dan Sosial dengan memanfaatkan Badan Khusus atau
membentuk Kelompok Kerja Persidangan Menyadari beratnya kerja-kerja tersebut,
maka Dewan Ekonomi dan Sosial akhirnya mengeluarkan Resolusi 1985/17
tertanggal 28 Mei 1985 untuk membentuk Komite Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya.

Komite ini terdiri dari 18 (delapan belas) orang ahli yang diangkat dalam
kapasitasnya sebagai pribadi dan terpilih sesuai dengan keterwakilan geografis yang
adil. Masa tugasnya adalah 4 (empat) tahun dan keanggotaannya diatur bergiliran
sehingga setengah keanggotaan diperbarui setiap tahun kedua.

b. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak berkewajiban untuk menyusun dan mengirimkan laporan dalam satu
tahun setelah melakukan ratifikasi. Laporan negara ini berisi tindakan dan/atau
kebijakan Negara Pihak sebagai bentuk pemenuhan atas hak-hak yang diakui oleh
Kovenan. Laporan juga harus berisi faktor berpengaruh dan kesulitan dalam
memenuhi hak-hak dalam Kovenan. Laporan negara ini pada awalnya dikirimkan
kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk dilantukan kepada Dewan Ekonomi dan
Sosial. Namun setelah terbentuknya Komite Hak Eknomi, Sosial dan Budaya pada
tahun 1985, maka laporan akan diteruskan kepada Komite.

c. Komentar Umum (General Comment)


Komentar Umum adalah produk dari telaah yang dilakukan oleh Komite terhadap
laporan-laporan yang disusun oleh Negara Pihak. Komentar Umum ini bisa berisi
saran dan masukan bagi Negara Pihak untuk memberikan perhatian lebih pada isu-
isu tertentu. Komentar Umum juga bisa berisi indikator atas hak-hak terentu yang
dapat digunakan oleh Negara Pihak dalam mengukur tingkat penerapan/ pencapaian
negara tersebut atas semua kewajiban yang dibebankan oleh Kovenan.

D. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminiasi


Rasial
81

1. Sejarah Pengesahan

Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan salah satunya adalah sebagai respons atas


sosialisme nasional. Hal ini disadari dengan benar bahwa sosialisme nasional yang
hendak membangun sebuah negara dengan Keunggulan ras atau etnis tertentu telah
menyebabkan pembasmian etnis atau genosida yang sangat buruk di beberapa negara.
Oleh karenanya semangat untuk membangun peradaban yang nihil dari diskriminasi
berbasis identitas antropologis menjadi tujuan utama bagi PBB. Keseriusan PBB atas
isu ini terlihat dari dibentuknya mekanisme pengawasan sendiri yaitu Komite
Penghapusan Diskriminasi Rasial. Komite ini adalah lembaga pertama yang didirikan
oleh PBB yang tertulis di dalam Konvensi dan diberi tugas khusus untuk mengawasi
implementasi Konvensi.
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination or CERD) diadopsi oleh PBB saw tahun sebelum dua Kovenan Kembar
yaitu dengan Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res. 2106A (XX) tanggal 21
Desember 1965 dan diberlakukan pada tanggal 4 Januari 1969.
Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi Konvensi ini dengan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pengesahan pada Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada 25 Mei 1999.
Pemerintah Indonesia juga, menggunakan mekanisme domestiknya, telah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Pada konsideran pertimbangan, Konvensi memberikan penekanan beberapa hal


antara lain prinsip bahwa semua manusia adalah sederajat dalam martabat dan hak
tanpa pembedaan apa pun khususnya atas dasar ras, warna kulit ataupun asal usul
kebangsaan. PBB juga mengutuk segala bentuk penjajahan dan praktik-praktik
pengucilan dan diskriminasi. Doktrin keunggulan apa pun yang didasarkan pada
pembedaan ras adalah salah dan layak dikutuk dari segi moral, tidak berkeadilan dan
berbahaya, dan tidak ada pembenaran apa pun terhadap diskriminasi rasial, baik dalam
teori maupun praktik. Diskriminasi rasial merupakan hambatan bagi hubungan
antarbangsa yang bersahabat dan damai serta menodai perikehidupan ideal antarumat
manusia. Manifestasi diskriminasi rasial dapat dilihat dari kebijakan yang didasarkan
pada keunggulan ras atau kebencian seperti apartheid, pengucilan dan pemisahan.
Prinsip dasar yang diakui di dalam Konvensi ini ada tiga yaitu non-diskriminasi,
tanggung jawab negara dan diskriminasi positif (affirmative action). Prinsip non-
diskriminasi dipahami sebagai larangan setiap pambedaan, pengucilan, pembatasan
berdasarkan identitas antropologis seperti ras, warna kulit dan lainnya. Prinsip
tanggung jawab negara dipahami sebagai kewajiban Negara Pihak untuk mengambil
82

langkah dalam rangka menghapus segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras.


Sedangkan diskriminasi positif dimaknai sebagai pembedaan dalam rangka
memberikan perlindungan khusus kepada kelompok ras atau etnis atau perseorangan
tertentu semata-mata agar mereka dapat menikmati hak asasi manusia.

3. Kategori Hak

Konvensi ini mengatur satu kategori khusus yaitu hak kelompok masyarakat
berdasarkan identitas ras tertentu. Jika Kovenan Kembar lebih banyak bicara hak, maka
Konvensi ini lebih banyak bicara pemangku hak (rights holder) yaitu kelompok ras
tertentu. Penjelasan pada kategori hak akan dilakukan dengan menjelaskan tiga hal
yaitu definisi diskriminasi rasial, tanggung jawab negara, dan kategori hak khusus.
Diskriminasi rasial dimaknai sebagai setiap pembedaan, pengucilan,
pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau asal usul etnik
atau kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau pengakuan, perolehan
atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dalam suatu
kesederajatan, di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang-bidang kehidupan
kemasyarakatan lainnya.
Dikecualikan dari definisi diskriminasi rasial terhadap dua hal. yaitu (1)
pembedaan yang dilakukan Negara Pihak kepada warga negara dan bukan warga
negara, dan (2) langkah khusus yang diambil untuk menjamin pemajuan kelompok ras
atau etnis tertentu atau perorangan yang memerlukan perlindungan khusus agar mereka
dapat menikmati dan melaksanakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
Bagian selanjutnya adalah terkait tanggung jawab negara. Konvensi membuat
penjelasan rinci mengenai tanggung jawab negara antara lain:
a. Negara Pihak harus menyusun langkah segera berisi kebijakan penghapusan
diskriminasi rasial. Negara Pihak berjanji untuk tidak terlibat dalam kegiatan atau
praktik diskriminasi rasial baik terhadap perorangan maupun kelompok ras tertentu.
Negara Pihak berjanji untuk tidak menyokong, mempertahankan dan membantu
diskriminasi rasial yang dilakukan oleh perseorangan ataupun kelompok. Negara
Pihak berjanji untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengakibatkan terjadinya diskriminasi rasial. Negara Pihak berjanji untuk
mendorong gerakan dan organisasi integrasionis multirasial dan menghapus
hambatan antarras.
b. Negara Pihak berjanji untuk mengambil langkah nyata di bidang ekonomi, sosial dan
budaya agar kelompok-kelompok ras tertentu dapat menikmati seluruh hak asasi
manusia dan kebebasan dasar.
c. Negara Pihak berjanji untuk mengutuk pengucilan rasial dan apartheid, mencegah,
melarang dan menghapuskan segala bentuk praktik diskriminasi rasial.
d. Negara Pihak mengutuk semua propaganda dan organisasi yang didasarkan pada
pemikiran dan teori keunggulan suatu ras atau kelompok perorangan dari warna kulit
atau asal usul etnis tertentu. Negara Pihak juga berjanji untuk mengambil langkah
83

legislatif bahwa segala bentuk penyebaran pemikiran keunggulan rasial, hasutan


untuk melakukan diskriminasi rasial dan juga tindakan kekerasan dengan tujuan
diskriminasi adalah kejahatan dan diancam dengan hukuman. Negara Pihak
berwenang menyatakan tidak sah dan melarang organisasi yang melakukan kegiatan
propaganda terorganisir untuk melakukan diskriminasi rasial. Negara Pihak juga
berwenang melarang pejabat atau lembaga publik untuk mendukung atau melakukan
hasutan diskriminatif.
e. Negara Pihak berjanji untuk memastikan semua kelompok ras dan etnis tertentu
untuk menikmati semua kategori hak asasi manusia.
f. Negara Pihak berjanji menyediakan mekanisme bagi orang atau komunitas yang
menjadi korban diskriminasi rasial untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan
yang efektif misalnya melalui pengadilan yang berwenang atau lembaga lain.
g. Negara Pihak berjanji untuk mengambil langkah efektif dalam bidang pengajaran,
pendidikan, kebudayaan dan informasi guna memerangi segala macam prasangka
yang mengarah pada diskriminasi rasial.
Dari aspek hak-hak dasar, Negara Pihak berjanji untuk memastikan semua
kelompok ras dan etnis tertentu untuk menikmati semua kategori hak asasi manusia dan
kebebasan dasar seperti:
a. Hak atas perlakuan yang setara di hadapan pengadilan dan badan peradilan lain.
b. Hak atas perlindungan negara dari ancaman kekerasan yang dilakukan perorangan
maupun lembaga negara.
c. Hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan (dipilih dan memilih) atas dasar hak pilih
yang universal.
d. Hak-hak sipil seperti hak untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal; hak untuk
meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri dan pulang kembali; hak
atas kewarganegaraan; hak untuk menikah dan memilih pasangan; hak untuk
memiliki harta kekayaan secara sendiri atau bersama-sama dengan orang lain; hak
untuk memperoleh warisan; hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak atas kebebasan berpendapat; dan hak atas kebebasan berkumpul dan
berasosiasi secara damai.
e. Hak ekonomi, sosial dan budaya seperti hak untuk bekerja, bebas memilih
pekerjaan, hak atas kondisi kerja yang layak, perlindungan dari pengangguran, hak
atas gaji yang memadai, hak untuk membentu dan menjadi anggota serikat pekerja,
hak atas perumahan, hak untu memperoleh layanan kesehatan dan pengobatan dan
jaminan sosia hak atas pendidikan dan pelatihan, hak untuk berpartisipasi dalam
kegiatan budaya.
f. Hak untuk mendapatkan pelayanan yang setara pada fasilitas publi seperti
penginapan, restoran, dan tempat hiburan lain.

4. Mekanisme Pengawasan
Konvensi membuat 5 (lima) mekanisme pengawasan yaitu komite laporan
negara, rekomendasi umum, komunikasi antarnegara, dan komunikasi individual.
84

Penjelasannya sebagai berikut.

a. Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Commitee on the Elimination of


Racial Discrimination)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial adalah instrumen pertama yang membentuk lembaga pengawas
khusus bernama Komite. Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial adalah lembaga
yang paling avw mengembangkan prosedur untuk memonitor laporan berkala
Negara negara Pihak. Anggota Komite dinominasikan oleh Negara Piha dan akan
dipilih secara rahasia. Pemilihan akan dilakukan pada masa persidangan PBB di
mana kehadiran kuorumnya adalah dua pertis dari jumlah Negara Pihak. Komite
terdiri dari 18 orang pakar yang memiliki kapasitas dan imparsialitas tinggi serta
dipilih dengan memerhatikan pembagian dan perwakilan geografis yang seimbang.
Komite ini akan bekerja selama 4 (empat) tahun di mana 9 (sembilan) di antara
anggota Komite akan diganti pada masa 2 (dua) tahun setelah bekerja.

b. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak berkewajiban untuk menyusun dan mengirimka kepada Sekretaris
Jenderal PBB untuk dibahas oleh Komite sebuah laporan yang berisi langkah-
langkah legislatif, yudikatif, administrai atau langkah lain guna melaksanakan
ketentuan Konvensi. Laporan pertama harus dikirimkan oleh Negara Pihak dalam
waktu satu tahun setelah melakukan ratifikasi, dan selanjutnya adalah setiap dua
tahun atau jika diminta oleh Komite.

c. Rekomendasi Umum (General Recomendation)


Rekomendasi Umum adalah produk dari telaah yang dilakukan oleh Komite
terhadap laporan-laporan yang disusun oleh Negara Pihak. Rekomendasi Umum
dibuat oleh Komite dalam bentuk laporan tahunan yang disampaikan kepada Sidang
Majelis Umum PBB. Rekomendasi itu akan dilaporkan kepada Sidang Majelis
Umum PBB dengan disertai tanggapan dari Negara-negara Pihak.

d. Komunikasi Antarnegara (Interstate Communication)


Negara Pihak dapat mengirimkan komunikasi/laporan kepada Komite jika ada
Negara Pihak lain tidak melaksanakan ketentuan dalam Konvensi. Komite akan
mengirimkan komunikasi kepada Negara Pihak yang dilaporkan dan dalam waktu
tiga bulan, Negara Pihak terlapor harus mengirimkan jawaban atas apa yang telah
dilakukan dalam menanggapi komunikasi dari negara lain. Jika penyelesaiannya
tidak memuaskan, negara pengirim komunikasi awal berwenang mengirimkan
komunikasinya lagi kepada Komite dan Negara Pihak Lain. Jika permasalahannya
serius dan sulit diselesaikan, Ketua Komite dapat membentuk Komisi Konsiliasi ad
hoc yang terdiri atas lima orang, baik berasal dari dalam atau luar anggota Komite.
Komisi akan bekerja dan melaporkan hasil kerjanya kepada Ketua Komite. Setelah
85

mendapatkan laporan, Ketua Komite akan mengirimkan rekomendasi kepada


negara-negara yang bersengketa. Dalam waktu tiga bulan, negara-negara yang
bersengketa harus mengirimkan tanggapannya berisi menerima atau menolak
rekomendasi Komite. Setelah itu, Komite akan Laporan Komisi dan pernyataan
Negara-negara Pihak yang bersangkutan kepada Negara-negara Pihak Konvensi
lainnya.

e. Komunikasi Individual (Individual Communication)


Komite berwenang menerima dan membahas komunikasi-komunikasi yang
dikirimkan perorangan atau kelompok perorangan di bawah yurisdiksinya yang
telah menyatakan menjadi korban pelanggarar hak yang dinyatakan dalam
Konvensi. Komunikasi Individual yang dapat diterima adalah yang dikirimkan dari
Negara Pihak.

E. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap


Perempuan

1. Sejarah Pengesahan

Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadaf


Perempuan (Convnetion on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women or CEDAW) ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB atau G.A. Res.
34/180 pada tanggal 18 Desember 1979. Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi
terhadap Konvensi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada
24 Juli 1984.
Fenomena diskriminasi terhadap perempuan adalah fenomem universal yang
hampir sama dengan diskriminasi rasial. Komunitas internasional telah sejak lama
memberi perhatian kepada perempuan yang secara umum masih menjadi korban
diskriminasi baik pada level publik maupun privat. Pemberian upah yang lebih rendah
dibanding laki-laki potensi menjadi korban kekerasan seksual, perkawinan paksa,
deskripsi menjadi korban perbudakan seksual pada masa perang, termasuk cerita
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan lainnya menjadi narasi lama yang
selalu muncul pada perbincangan tentang hak perempuan.
Merespons hal-hal di atas, komunitas internasional pernah membuat Komisi
Status Perempuan pada 1946, Konvensi Hak Politik Perempuan tahun 1952, Konvensi
Kewarganegaraan bagi Perempuan yang Menikah pada 1957, dan Persetujuan untuk
Menikah pada 1962, Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
pada 20 Desember 1993. Instrumen yang paling kuat mengikat Negara-negara Pihak
PBB adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
86

2. Prinsip-prinsip Dasar

Pada konsideran pertimbangan, Konvensi memberi penekanan pada beberapa


hal antara lain pengakuan atas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, semua orang
dilahirkan secara bebas dan tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan
jenis kelamin, dan kesepakatan bahwa negara-negara anggota PBB akan memajukan
persamaan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya PBB meyakini bahwa
diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi di berbagai belahan dunia. Diskriminasi
sendiri melanggar prinsip-prinsip persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat
manusia. Pada situasi kemiskinan, perempuan adalah komunitas paling terdampak dan
rentan menjadi korban berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
PBB juga memberi penekanan akan pentingnya penghapusan apartheid,
rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan, dan
dominasi serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri menjadi prasyarat
penting terpenuhinya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sejauh ini, kontribusi
besar perempuan masih belum terakui secara baik, misalnya arti sosial kehamilan dan
peranan orang tua untuk membesarkan anak. Benar bahwa perempuanlah yang dapat
hamil dan melahirkan anak, namun upaya membesarkan anak-anak menghendaki
adanya pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karenanya, diperlukan perubahan tatanan tradisional tentang
peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga dalam rangka
mencapai kesetaraan antara keduanya.
Konvensi ini memperkenalkan 3 (tiga) prinsip penting yaitu prinsir non-
diskriminasi, prinsip tanggung jawab negara dan prinsip diskriminasi positif atau
tindakan afirmasi. Prinsip non-diskriminasi dipahami sebagai larangan melakukan
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat berdasarkan status jenis kelamin
untuk menikmati seluruh kategori hak asasi manusia. Prinsip tanggung jawab negara
dimaknai bahwa penanggung jawab utama dalam pemenuhan, perlindungan dan
penghormatan hak-hak perempuan adalah menjadi tanggung jawa negara. Sedangkan
prinsip diskriminasi positif atau tindakan afirmasi (affirmative action) dimaknai sebagai
memberikan peluang dan fasilita lebih kepada perempuan agar mereka secara cepat
dapat menikmati kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Konvensi ini telah
memberi penjelasan panjang mengenai tanggun jawab negara.
Konvensi meminta Negara-negara Pihak untuk melakukan beberapa hal di
bawah:
a. Negara Pihak wajib mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dan mengambil
langkah progresif tanpa menunda-nunda untuk memuat kebijakan penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan antara lain dengan mencantumkan prinsip
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam konstitusi; jika perlu membuat
undang-undang yang memberi sanksi bagi tindakan diskriminasi; perlindungan
bagi perempuan korban diskriminasi melalui mekanisme pengadilan; memastikan
pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga negara tidak melakukan tindakan
87

diskriminatif; mengambil langkah agar entitas privat seperti perusahaan,


organisasi atau perorangan tidak berperilaku diskriminatif; menghapus undang-
undang yang diskriminatif; dan mencabut jenis hukuman pidana yang bersifat
diskriminatif.
b. Negara Pihak wajib mengambil langkah di segala bidang agar penikmatan atas
seluruh kategori hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat dilakukan
berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
c. Negara Pihak diberikan kewenangan untuk melakukan percepatan persamaan de
facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk di dalamnya tindakan khusus
perlindungan bagi kehamilan.
d. Negara Pihak juga wajib mengambil langkah untuk mengubah pola tingkah laku
sosial dan budaya laki-laki dan perempuan untuk mencapai penghapusan
prasangka dan kebiasaan yang diskriminatif, dan menjamin pendidikan keluarga
akan dilakukan dengan memberikan pemahaman akan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan.
e. Negara Pihak wajib membuat perundang-undangan untuk memberantas segala
bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran perempuan.
f. Negara Pihak wajib mengambil langkah untuk menghapus diskriminasi terhadap
perempuan dalam kehidupan politik dan bermasyarakat antara lain hak untuk
memilih dan dipilih; hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan
pemerintahan serta memegang jabatan publik; dan berpartisipasi dalam organisasi
non-pemerintah.
g. Negara Pihak juga harus memberikan peluang kepada perempuan untuk mewakili
pemerintah dalam forum-forum internasional.

3. Kategori Hak

Pembahasan mengenai kategori hak akan dimulai dengan definisi diskriminasi


terhadap perempuan. Pada Pasal 1 Konvensi disebutkan bahwa:
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar
di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh kaum
perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-
laki dan perempuan.

Konvensi ini memberikan penekanan pada berbagai kelompok hak lagi


perempuan. Hak tersebut terdiri dari hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan
budaya yang diakui. Membaca Konvensi, akan didapat pemahaman bahwa betapa PBB
berusaha kuat untuk memberikan penekanan pada isu-isu tertentu terkait hak-hak
perempuan. Setidaknya, terdapat 8 (delapan) kelompok hak yang secara detail akan
dijelaskan sebagai berikut.
88

Kelompok pertama, kewarganegaraan (Pasal 9). Kategorinya antara lain hak


perempuan untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraan.
Negara Pihak harus memastikan bahwa perkawinan dengan orang asing atau
berubahnya status kewarganegaraan suami tidak berpengaruh pada hilangnya status
kewarganegaraan perempuan atau bahkan menjadikannya tidak memiliki
kewarganegaraan. Hak ini juga mencakup hak perempuan untuk memastikan status
kewarganegaraan anak-anak mereka.
Kelompok kedua, pendidikan (Pasal 10). Kategorinya adalah hak atas
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Perempuan
berhak atas bimbingan karier dan keahlian serta memperoleh pendidikan dan ijazah dari
lembaga pendidikan di semua tingkatan, baik di desa maupun di kota. Perempuan
berhak atas akses terhadap kurikulum, model ujian, dan staf pengajar serta kualifikasi
yang setara dengan yang dinikmati laki-laki. Negara Pihak wajib menghapus segala
stereotip mengenai laki-laki dan perempuan, dan jika perlu dengan merevisi buku-buku
pelajaran. Perempuan juga berhak atas beasiswa, mengikuti pendidikan penyetaraan
seperti program pemberantasan buta huruf. Harus dibuat kebijakan untuk menekan
angka putus sekolah bagi gadis-gadis yang belum waktunya berhenti sekolah.
Kesetaraan untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dan pendidikan jasmani serta
penerangan mengenai keluarga berencana.
Kelompok ketiga, pekerjaan (Pasal 11). Kategorinya antara lain hak untuk
bekerja; hak atas kesetaraan akses terhadap pekerjaan; hak untuk memilih pekerjaan,
promosi dan tunjangan kerja; hak untuk menerima upah yang adil; hak atas jaminan
sosial; hak atas perlindungan kesehatan dan keselataman kerja. Negara Pihak wajib
memberikan perlindungan kepada perempuan dari ancaman dan/atau tindakan
pemecatan karena kehamilan; hak perempuan untuk mendapatkan gaji penuh tatkala
cuti hamil; pengembangan tempat pendidikan anak selama ibunya bekerja; dan
perlindungan khusus bagi perempuan hamil dari bahaya jenis pekerjaan tertentu.
Kelempok keempat, kesehatan (Pasal 12). Setiap perempuan berhak atas
layanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan dalam hal keluarga berencana.
Negara Pihak juga harus menjamin pelayanan pada saat kehamilan, persalinan dan
sesudah persalinan, pemberian tambahan asupan makanan bergizi gratis selama
kehamilan.
Kelompok kelima, penghapusan diskriminasi dalam bidang ekonomi (Pasal 13).
Setiap perempuan berhak atas tunjangan keluarga; pinjaman di bank, hipotek dan kredit
permodalan; hak untuk menikmati kegiatan rekreasi dan olahraga.
Kelompok keenam, partisipasi dalam pembangunan (Pasal 14). Setiap
perempuan, khususnya yang tinggal di pedesaan, berhak untuk menikmati segala hak
dan kebebasan sama seperti yang dinikmati oleh laki-laki. Mereka semua berhak untuk
berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan; memperoleh
fasilitas pemeliharaan kesehatan yang memadai; jaminan sosial; pelatihan dan
penyuluhan; kesempatan membangun koperasi demi peningkatan kesejahteraan
ekonomi; memperoleh kredit dan pinjaman pertanian; dan segala fasilitas standar hidup
89

layak seperti rumah, sanitasi, air, listrik, pengangkutan dan komunikasi.


Kelompok ketujuh, hak hukum (Pasal 15). Perempuan adalah subjek hukum
setara dengan laki-laki. Perempuan adalah subjek hukum penuh yang berhak untuk
menandatangani kontrak, mengurus harta benda, dan berhak atas prosedur yang sama di
depan hakim dan pengadilan. Negara Pihak harus mengatur bahwa dokumen kontrak
yang ditandatangani dengan prinsip pembatasan kapasitas hukum perempuan harus
dinyatakan batal dan tidak berlaku. Perempuan, sebagaimana laki-laki, juga berhak atas
kebebasan mengatur tempat tinggal dan domisili.
Kelompok kedelapan, perkawinan (Pasal 16). Negara pihak harus memastikan
bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dalam hal perkawinan. Kesetaraan itu
antara lain terkait hak perempuan untuk memasuki jenjang perkawinan; hak untuk
bebas memilih pasangan, dan menikah dengan persetujuan bebasnya; hak dan tanggung
jawab yang sama selama dan setelah pemutusan perkawinan; hak dan tanggung jawab
yang sama dalam hal pengurusan anak, dengan mengakui bahwa kepentingan terbaik
anak harus diutamakan; hak dan tanggung jawab yang sama dalam perencanaan,
jumlah dan jarak kelahiran anak; hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian,
pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak; hak sebagai pribadi yang sama
termasuk dalam memilih nama keluarga; hak dan tanggung jawab yang sama dalam
pemilikan, perolehan, pengelolaan, penikmatan dan pemindahan harta kekayaan.
Negara Pihak juga diminta untuk menetapkan usia minimim anak kawin sebagai bentuk
perlindungan bagi perempuan.

4. Mekanisme Pengawasan

Konvensi ini mengatur adanya lima mekanisme pengawasan antara lain Komite,
Laporan Negara, Rekomendasi Umum, Komunikasi Individual; dan Prosedur Inkuiri.
Komunikasi antarnegara tidak diakui dalam Konvensi ini. Penjelasan keempat
mekanisme tersebut sebagai berikut.

a. Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Commitee on the


Elimination of Discrimination against Women)
Berbeda dengan komite pada Konvensi lain, Konvensi ini memberikan penjelasan
spesifik mengenai jumlah anggota Komite. Komite Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan terdiri dari 18 orang dan setelah Konvensi
diratifikasi atau diaksesi oleh 35 negara, anggota Komite akan ditambah sebanyak
23 orang. Anggota Komite akan bekerja atas kapasitas pribadi dan bukan mewakili
Negara Pihak. Anggota Komite dinominasikan oleh Negara Pihak dan akan dipilih
secara rahasia. Pemilihan akan dilakukan pada masa persidangan PBB di mana
kehadiran kuorumnya adalah dua pertiga dari jumlah Negara Pihak. Komite ini akan
bekerja selama 4 tahun di mana 9 di antara anggota Komite akan diganti pada masa
2 tahun setelah bekerja.
90

b. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak berkewajiban untuk menyusun dan menyampaikan laporan kepada
Sekretaris Jenderal PBB untuk dibahas oleh Komite yang berisi langkah-langkah
legislatif, yudikatif, administratif atau langkah lain guna melaksanakan ketentuan
Konvensi. Laporan pertama harus dikirimkan oleh Negara Pihak dalam waktu satu
tahun setelah melakukan ratifikasi, dan selanjutnya adalah setiap empat tahun atau
jika diminta oleh Komite. Laporan ini juga berisi faktor dan kesulitan yang
memengaruhi tingkat pelaksanaan kewajiban dalam Konvensi.

c. Rekomendasi Umum (General Recomendation)


Rekomendasi Umum adalah produk dari telaah yang dilakukan oleh Komite
terhadap laporan-laporan yang disusun oleh Negara Pihak. Rekomendasi Umum
dibuat oleh Komite dalam bentuk laporan tahunan yang disampaikan kepada Sidang
Majelis Umum PBB melalui Dewan Ekonomi dan Sosial. Rekomendasi itu akan
dilaporkan kepada Sidang Majelis Umum PBB dengan disertai tanggapan dari
Negara-negara Pihak.

d. Komunikasi Individual (Individual Communication)


Komite berwenang menerima dan membahas komunikasi-komunikasi yang
dikirimkan perorangan atau kelompok perorangan di bawah yurisdiksinya yang telah
menyatakan menjadi korban pelanggaran hak yang dinyatakan dalam Konvensi.
Komunikasi ini harus dikirimkan secara jelas dan bukan anonim. Ketentuan
mengenai Komunikasi Individual ini tidak diatur dalam Konvensi namun diatur pada
Protokol Tambahan I. Komite hanya akan menerima Komunikasi Individual yang
negaranya telah menjadi pihak pada Protokol Tambahan I ini.

e. Prosedur Inkuiri (Inquiry Procedure)


Prosedur Inkuiri adalah mekanisme penyelidikan yang diinisiasi oleh Komite.
Penyelidikan ini akan dilakukan kepada Negara Pihak jika terdapat informasi yang
dapat dipertanggungjawabkan mengenai dugaan adanya pelanggaran hak atas
perempuan secara meluas dan sistematik. Dalam situasi demikian, Komite dapat
mengirimkan salah satu anggotanya untuk melakukan penyelidikan secara rahasia ke
Negara Pihak dan setelahnya, utusan tersebut harus melaporkan kerjanya kepada
Komite. Setelah itu Komite akan mengirimkai rekomendasi umum kepada Negara
Pihak dan Negara Pihak harus memberikan penjelasan atas langkah-langkah yang
diambi menanggapi rekomendasi dari Komite.

F. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atai Penghukuman Lain yang


Kejam, Tidak Manusiawi dai Merendahkan Martabat
91

1. Sejarah Pengesahan

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang


Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (Conventio Against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmen or CAT) ditetapkan
melalui Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res. 39/4 pada 10 Desember 1984 dan
mulai berlaku pada 26 Juni 1987. Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat pada 28 September 1998.
Penyiksaan dianggap sebagai salah satu pelanggaran hak asas manusia yang
paling serius dan faktanya ia merupakan wujud serangan langsung pada martabat
kemanusiaan. Larangan penyiksaan dan larangai perbudakan merupakan hak yang
absolut tanpa ada perkecualian. Hal ini telah menjadi dan diakui menjadi hukum
kebiasaan internasional (customary international law).

2. Prinsip-prinsip Dasar

Pada konsideran pertimbangan, Konvensi ini menegaskan beberapa seperti


prinsip kesederajatan antara seluruh umat manusia dan pengakuan terhadap Pasal 5
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berisi pengakuan hak atas bebas dari
penyiksaan. Prinsip utama yang diakui dalam Konvensi ini adalah prinsip tanggung
jawab negara, prinsip penghormatan atas hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun (non-derogable right) dan prinsip non-refoulement. Prinsip tanggung
jawab negara dimaknai bahwa Negara Pihak harus mengambil langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tidak
penyiksaan di wilayah hukumnya. "Prinsip penghormatan atas hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun" dimaknai bahwa tidak terdapat
pengecualian apa pun, baik dalam kondisi perang atau ancaman perang, atau
ketidakstabilan politik negeri maupun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan
sebagai pembenaran penyiksaan. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh
digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. Sedangkan prinsip non-refoulement artinya
adalah Negara Pihak tidak boleh mengusir, mengembalikan (refouier), atau
mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat
untuk menduga bahwa orang mungkin akan dalam bahasa karena menjadi sasaran
penyiksaan.

3. Kategori Hak

Konvensi ini hanya berisi dua kategori hak yaitu hak untuk tidak disiksa dan
hak untuk tidak diperlakukan atau dihukum secara kejam, manusiawi, dan
merendahkan martabat kemanusiaan. Selebihnya adalah berisi kewajiban Negara Pihak
92

untuk memastikan tidak terjadi menyiksaan dan penghukuman yang kejam. Bagian ini
akan menjelaskan 8 (delapan) kelompok substansi Konvensi.
Kelompok pertama, definisi. Pada Pasal 1 Konvensi ditegaskan secara limitatif
mengenai definisi penyiksaan. Pasal tersebut berbunyi:
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan
yang hebat, baik jasmani maupun rohani yang dengan sengaja dilakukan pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari
orang ketiga dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau
diduga telah dilakukan oleh orang itu atau oleh orang ketiga, atau mengancam atau
memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan
oleh, atas hasutan dari, atau dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik
atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Hal ini tidak meliputi rasa
sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul daari, melekat pada, atau tambahan
dari sangsi resmi.

Memahami Pasal 1 di atas, maka unsur pokok penyiksaan dan yang menjadi
pembeda dengan bentuk kejahatan lain adalah bahwa penyiksa; dilakukan berupa
perbuatan yang menderitakan, dilakukan untuk mendapatkan pengakuan atau
keterangan dari korban, dan perbuat; itu dilakukan oleh pejabat publik.
Manfred Nowak memberikan penjelasan bahwa penyiksaan haruslah berbentuk
tindakan aktif (bukan perbuatan pasif atau negligence), ia tidak dapat dilakukan oleh
aktor privat/personal, memerlukan tingkat; tindakan yang ditujukan untuk
menderitakan, dan tidak dapat dilakuk tanpa tujuan (misalnya hanya sekadar sadisme
dan bukan untuk menggali informasi) .
Pasal 1 juga memberikan penjelasan bahwa rasa sakit atau penderita yang
timbul dari dijatuhkannya hukuman yang resmi adalah tidak termasuk kategori
penyiksaan. Contohnya adalah tekanan psikologis tatkala seseorang harus menjalani
hukuman penjara karena melakuk kejahatan tertentu.
Kelompok kedua, non-derogable rights dan prinsip non-refoulement (Pasal 2
dan 3). Sebagaimana dijelaskan pada bagian prinsip bahwa hak untuk tidak disiksa
adalah hak yang absolut yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Prinsip non-refoulement berarti bahwa suatu negara tidak boleh memulangkan
seseorang yang patut diduga, ia akan menjadi korban penyiksaan di negaranya.
Kelompok ketiga, kewajiban kriminalisasi (Pasal 4). Konvensi memberikan
kewajiban kepada Negara Pihak untuk melakukan kriminalisasi atas perbuatan
penyiksaan, termasuk percobaan melakukan Denyiksaan, membantu atau turut serta
dalam melakukan penyiksaan. Setiap tindak pidana hanya boleh dihukum dengan
hukuman yang sepadan dengan pertimbangan sifat kejahatannya.
Kelompok keempat, yurisdiksi universal (Pasal 5-8). Secara teoritik, yurisdiksi
universal dimaknai sebagai "hak setiap negara untuk mengadili seseorang yang telah
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tanpa mempersoalkan apakah negara di
93

mana kejahatan tersebut telah terjadi adalah penanda tangan atas Konvesi yang
memberi landasan bagi bertanggungjawaban pidana internasional atas kejahatan
dimaksud". Secara panjang lebar, Konvensi memberikan ketentuan mengenai
pemberlakuan hukum yang menyatakan bahwa penyiksaan haruslah dipandang sebagai
perbuatan pidana. Negara Pihak harus menyatakan yurisdiksinya atas perbuatan
penyiksaan yang dilakukan di dalam wilayah hukumnya atau di atas kapal laut atau
pesawat yang terdaftar pada negara tersebut; atau apabila pelaku adalah warga negara
tersebut; atau apabila Korban adalah warga negara tersebut. Negara Pihak juga harus
menetapkan kewenangannya atas tindak pidana penyiksaan di mana pelakunya berada
di wilayah yurisdiksinya dan negara itu tidak mengekstradisikan pelakunya negara lain.
Negara Pihak juga diberi kewenangan untuk menahan atau mengambil tindakan
hukum lain jika di wilayah hukumnya terdapat pelaku tindak pidana penyiksaan.
Penahanan ini dapat diperpanjang untuk memungkinkan dijalankannya prosedur
pemeriksaan pidana atau ekstradisi dilakukan. Jika suatu Negara Pihak menahan warga
negara lain yang diduga melakukan perbuatan pidana penyiksaan, maka Negara pihak
tersebut harus segera memberi tahu kantor perwakilan negara di mana pelaku menjadi
warga negaranya, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, maka laporan dapat
dikirimkan kepada negara di mana pelaku biasa menetap. Laporan kepada Negara
Pihak lain tersebut berisi informasi pasti bahwa pelaku berada di bawah penahanan dan
alasan penahanannya, dan temuan penyelidikan dan pertanyaan apakah negara tersebut
akan menggunakan kewenangan hukumnya.
Negara Pihak juga diberi kewenangan untuk menuntut pelaku tindak pidana
penyiksaan melalui mekanisme domestiknya jika negara di mana pelaku menjadi warga
negaranya tidak menghendaki untuk memeriksa dan mengadili pelaku. Proses
pemeriksaan dan peradilan bagi pelaku penyiksaan haruslah sama dengan proses
sebagaimana biasa dipraktikkan dalam menangani perkara pidana. Walaupun demikian,
pelaku penyiksaan tetap berhak atas perlakuan yang adil pada semua tahap
persidangan.
Negara Pihak dapat membuat perjanjian ekstradisi atas tindak pidana
penyiksaan. Jika Negara Pihak mempersyaratkan adanya perjanjian ekstradisi namun
Negara Pihak lain tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara tersebut di awal,
maka Konvensi ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi
dan ekstradisi ini semacam ini tunduk pada syarat yang diajukan oleh Negara Pihak
yang menerima permohonan ekstradisi.
Kelompok kelima, kerja sama (Pasal 8). Negara Pihak harus saling membantu
untuk mengungkap tindak pidana penyiksaan termasuk bertukar alat bukti untuk
memudahkan proses pemeriksaan perkara tersebut.
Kelompok keenam, pendidikan dan pengawasan anti penyiksaan (Pasal 10, 11
dan 12). Negara Pihak wajib menjamin dan memastikan bahwa informasi dan
pendidikan anti penyiksaan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan
bagi aparat penegak hukum, sipil (polisi) atau militer, aparat kesehatan, pejabat publik,
dan pejabat publik yang terkait dengan penahanan, interogasi, atau pelayanan kepada
94

orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara. Negara Pihak juga harus mengawasi
peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan dan peraturan tentang
penahanan serta perlakuan terhadap orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara.
Negara Pihak juga harus dengan cepat melakukan penyelidikan jika terdapat informasi
yang layak dipercaya bahwa telah terjadi penyiksaan di negara tersebut.
Kelompok ketujuh, mekanisme komplain (Pasal 13, 14 dan 15). Negara Pihak
harus memastikan terdapatnya mekanisme di mana korban penyiksaan dapat mengadu
dan mendapatkan pemeriksaan yang adil dan tidak memihak. Negara Pihak juga harus
memberikan perlindungan yang memadai kepada korban dan saksi agar tidak
diperlakukan buruk atau intimidasi akibat laporan dan kesaksian mereka. Negara Pihak
juga harus menjamin korban penyiksaan akan mendapakan ganti rugi yang memadai
berupa kompensasi atau rehabilitas. Jika korban meninggal, maka ahli waris korban
harus dinyatakan berhak atas kompensasi.
Kelompok kedelapan, tindakan preventif (Pasal 16). Negara pihak harus
membuat secara aktif mengatur dan mencegah terjadinya perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang termasuk
pada definisi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 Konvensi.

4. Penyiksaan dan Penganiayaan

Komite Menentang Penyiksaan telah memberikan rekomendasi kepada


pemerintah Indonesia agar melakukan kriminalisasi atas penyiksaan dalam sistem
hukum domestiknya. Menanggapi hal itu, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa hal
itu tidak perlu karena Indonesia telah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang telah mengatur tentang larangan penganiayaan.

Di Indonesia, penganiayaan diatur dalam Pasal 351-358 Kitab ndang-Undang


Hukum Pidana. Di dalam pasal-pasal tersebut, diatur engenai penganiayaan, baik
ringan maupun berat, termasuk percobaan penganiayaan dan turut serta melakukan
penganiayaan, juga pemberatan hukuman bagi pelaku penganiayaan. Jika ditelaah lebih
jauh, sesungguhnya semua pasal tersebut mengatur tentang penganiayaan yang
dilakukan eeh seseorang atas nama dirinya sendiri, berupa kekerasan fisik, di ana
korban adalah manusia biasa yang tidak terkait dengan posisinya sebagai tersangka atau
terduga pelaku tindak pidana. Hal inilah yang membedakannya dengan penyiksaan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penyiksaan terjadi ketika perbuatan itu
menyebabkan penderitaan, fisik dan mental, di mana perbuatan itu dilakukan untuk
mendapatkan keterangan dan dilakukan oleh pejabat publik.

Tabel 3.1 Perbedaan antara Penyiksaan dan Penganiayaan

Kategori Penyiksaan Penganiayaan


Jenis Perbuatan dengan sengaja Perbuatan dengan sengaja
95

Akibat Sakit atau Penderitaan Pada dasarnya adalah sakit atau


fisik (jasmani) dan mental penderitaan fisik.
(rohani)
Tujuan Mendapatkan pengakuan Tidak harus bertujuan untuk rnendapatkan
atau keterangan pengakuan atau keterangan
Kategori Korban Korban sendiri Korban sendiri
atau pihak ketiga
Pelaku Orang atas nama pejabat Orang atas nama dirinya sendiri.
publik atau orang privat
atas hasutan dari,
persetujuan,
sepengetahuan pejabat
publik, atau orang lain
dalam kapasitas jabatan
resmi.

Dari skema di atas terlihat jelas perbedaan antara penyiksaan dan penganiayaan.
Salah satu aspek penting yang menjadi pembeda antara keduanya adalah bahwa pelaku
penyiksaan melakukan perbuatannya atas nama otoritas dari negara, sedangkan
penganiayaan dilakukan oleh pelaku atas nama pribadi. Hal ini sesuai dengan
penjelasan dan teori tentans pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pada bab
sebelumnya. Pada intinya pelanggaran hak asasi manusia hanya dapat dilakukan oleh
aktor negara karena tidak mampu atau justru sengaja tidak memenuhi menghormati,
dan melindungi hak asasi manusia.
Berangkat dari penjelasan di atas, contoh penyiksaan adalah sebagai berikut:
a. Seorang penyidik kepolisian menyiksa seorang tersangka agar ia mengakui
perbuatannya.
b. Atau seorang penyidik kepolisian memerintahkan seorang tersangka yang ditahan
untuk menyiksa tersangka lain agar ia mengaku perbuatannya atau memberikan
keterangan mengenai keberadaan atau keterlibatan orang lain dalam perbuatan
pidana yang ia lakukan.
c. Atau seorang penyidik kepolisian menyiksa seorang perempuan dan anaknya agar
suaminya (yang ia adalah tersangka pelaku kejahatan) memberikan keterangan
mengenai keterlibatan pihak ketiga.
Contoh di atas dapat diterapkan kepada pejabat publik lain yang dapat
menggunakan otoritas dan kekuasaannya untuk melakukan penyiksaan. Aparat militer
atau polisi pamong praja misalnya, adalah pejabat negara yang potensial melakukan
pelanggaran atas larangan penyiksaan.
Menyikapi sutuasi ini, seyogianya pemerintah Indonesia kembali
mempertimbangkan pentingnya melakukan kriminalisasi terhadap penyiksaan dan
memberikannya ancaman hukuman yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan, pelaku,
yang notabene adalah pejabat publik, seharusnya memberikan perlindungan kepada
96

warga negara, namun malah justru menjadi pelaku penyiksaan.

5. Mekanisme Pengawasan

Konvensi memberikan mekanisme pengawasan paling lengkap jika


dibandingkan dengan Konvensi lain. Terdapat tujuh mekanisme pengawasan terhadap
implementasi Konvensi antara lain Komite, Laporan Negara, Komentar Umum,
Komunikasi Antarnegara, Komunikasi Prosedur Inkuiri, dan Kunjungan Preventif ke
Penjara. Penjelasan atas mekanisme pengawasan tersebut sebagai berikut.

a. Komite Menentang Penyiksaan (Committe Against Torture)


Komite Menentang Penyiksaan terdiri dari 10 orang pakar yang dipilih atas
kapasitas pribadinya. Mereka dipilih berdasarkan pertimbangan geografis yang adil,
dicalonkan oleh Negara Pihak dan dipilih secara rahasia. Masa jabatan anggota
Komite adalah 4 tahun dan lima orang di antara mereka harus diganti pada dua
tahun pertama dalam masa jabatan mereka. Pembiayaan atas kerja-kerja Komite
ditanggung oleh Negara Pihak, termasuk pembiayaan untuk rapat dan staf
administratifnya." Juga dibentuk Sub Komite Pencegahan yang akan dijelaskan
pada bagian Kunjungan Preventif ke Penjara.

b. Sub Komite Pencegahan Penyiksaan (Sub Committee on the Prevention of


Torture)
Konvensi Menentang Penyiksaan mengakui kewenangan Sub Komite Pencegahan
Penyiksaan (Sub Committee on the Prevention of Torture) yang diatur dalam
Protokol Tambahan Konvensi yang disahkan pada tahun 2006. Sub Komite
memiliki mandat untuk melakukan kunjungan ke suatu negara di mana banyak
orang yang hak-haknya dipasung. Berdasarkan Protokol Tambahan ini, Negara
Pihak harus mendirikan sebuah mekanisme nasional yang bersifat independen
untuk melakukan pencegahan penyiksaan pada level domestik yang juga diberi
mandat untuk melakukan kunjungan ke penjara.

c. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak harus mengirimkan laporan kepada Komite, melalui Sekretaris
Jenderal PBB, berisi tindakan yang telah diambil dalam rangka melaksanakan
ketentuan Konvensi. Laporan ini harus dikirimkan dalam waktu satu tahun setelah
melakukan ratifikasi, dan setelahnya adalah setiap empat tahun sekali.

d. Komentar Umum (General Comment)


Setelah menerima dan menelaah laporan yang diserahkan oleh Negara Pihak,
Komite harus membuat komentar umum yang nantinya akan diberikan kepada
Negara Pihak di mana Negara Pihak kemudian akan memberikan tanggapan
melalui observasi yang dikirimkan balik kepada Komite.
97

e. Prosedur Inkuiri (Inquiry Procedure)


Ketika Komite mendapatkan informasi yang layak dipercaya bahwa telah terjadi
penyiksaan yang sistematik yang dilakukan oleh Negara Pihak, maka Komite dapat
menugaskan seorang atau lebih anggotanya untuk melakukan penyelidikan rahasia
dan melaporkan hasilnya kepada Komite. Laporan penyelidikan akan dikirimkan
kepada Negara Pihak berisi saran atau komentar untuk melakukan perbaikan.
Seluruh proses penyelidikan ini harus dilakukan secara rahasia dan dengan tetap
membangun komunikasi dengan Negara Pihak.

f. Komunikasi Antarnegara (Interstate Communication)


Negara Pihak berwenang mengirimkan laporan atas dugaan pelanggaran ketentuan
Konvensi yang dilakukan oleh Negara Pihak lain. Dalam waktu tiga bulan, Negara
Pihak terlapor harus memberikan jawaban kepada Negara Pihak pelapor berisi
penjelasan dan tindakan perbaikan apa yang telah dilakukan. Jika dalam waktu
enam bulan, perkara ini belum selesai, maka kedua belah pihak dapat mengajukan
laporan kepada Komite. Komite akan melakukan pemeriksaan setelah memastikan
bahwa seluruh mekanisme domestik telah ditempuh oleh kedua belah pihak. Dalam
jangka waktu dua belas bulan, Komite harus memberikan laporan akhir atas perkara
yang diajukan oleh Negara-negara Pihak tersebut.

g. Komunikasi Individual (Individual Communication)


Komite berwenang menerima dan membahas laporan pengaduan orang yang
menjadi korban penyiksaan. Laporan ini hanya akan diterima jika negara di mana ia
menjadi warga negaranya telah menyatakan tunduk pada Konvensi. Laporan juga
harus jelas, terang dan bernama (bukan anonim). Dalam jangka waktu enam bulan,
Negara Pihak terlapor harus memberikan penjelasan tertulis sebagai tanggapan atas
laporan individu tersebut. Komite akan memeriksa jika laporan individu tersebut
belum atau tidak sedang diperiksa melalui mekanisme penyelesaian internasional.
Laporan individu ini juga hanya akan diperiksa setelah dipastikan bahwa seluruh
mekanisme domestik telah ditempuh namun belum memberikan penyelesaian yang
memuaskan (exhausted of local remedies).

h. Kunjungan Preventif ke Penjara (System of Preventive Visit to Detention)


Kunjungan Preventif ke Penjara ini adalah sistem baru yang diaku dalam Protokol
Tambahan I Konvensi yang disahkan melalui Resolusi Majelis Umum atau G.A.
Res. 57/199 pada 18 Desember 2002. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa:
Tujuan protokol ini adalah untuk menetapkan sebuah sister kunjungan berkala
yang dilakukan oleh badan-badan internasional dan nasional yang independen ke
tempat-tempat di mana orana orang tersebut tercabut kebebasannya, dalam rangka
mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
98

Protokol ini juga membentuk Sub Komite Pencegahan Penyiksaan atas


Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia. Anggota Sub Komite Pencegahan terdiri dari sepuluh orang, dan akan
ditambah menjadi 25 orang setelah Protokol ini diratifikai oleh lima puluh negara.
Sebagaimana anggota Komite Menentang Penyiksaan, anggota Sub Komite
Pencegahan juga atas nama pribadi, orang yang memiliki karakter moral yang
tinggi profesional dan berpengalaman di bidang administrasi hukum terutama
hukum pidana dan penjara, atau administrasi kepolisian terkait penangkapan atau
penahanan.

G. Konvensi tentang Hak Anak

1. Sejarah Pengesahan

Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child or CRC)
ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res 44/25 tanggal 20 November
1989 dan dinyatakan berlaku sejak 2 September 1990. Pemerintah Indonesia
melakukan ratifikasi Konvensi ini dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Konvens tentang Hak Anak pada 25 Agustus 1990.
Konvensi ini disahkan oleh PBB sebagai respons atas situasi anak-inak di
seluruh dunia yang sangat rawan menjadi korban segala macam kejahatan. Anak-anak
dilaporkan selalu menjadi korban untuk kepentingan misalnya dipekerjakan di pabrik
tekstil, korban kejahatan seksual pedofilia, diperjualbelikan lintas batas (trafficking),
pelacuran paksa agi anak-anak perempuan, dan segala macam penyerangan terhadap
integritas anak-anak. PBB menyadari benar bahwa traktat yang selama ada belum
memberikan jaminan yang memadai bagi perlindugan Sebenarnya PBB telah memiliki
Deklarasi Hak Anak, 1959, namun Deklarasi ini belum kuat karena tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Dieh karenanya, pada tahun 1989 PBB mengesahkan
konvensi khusus bagi perlindungan anak. Konvensi mana memberikan jaminan legal
dan memiliki kekuatan hukum mengikat bagi negara yang telah menyatakan menjadi
pihak pada Konvensi.
Satu hal yang luar biasa dari Konvensi ini adalah bahwa hanya dalam waktu dua
tahun, 192 negara anggota PBB telah menyatakan diri menjadi negara Pihak. Artinya
semua negara anggota PBB telah menjadi Negara Pihak kecuali dua yaitu Somalia dan
Amerika Serikat yang hingga kini belum menyatakan menjadi Negara Pihak pada
Konvensi. Hal ini menandai penerimaan yang sangat luas terhadap substansi Konvensi
dan hal ini juga enandai universalitas dari substansi Konvensi.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Sebagai konvensi yang spesifik dan menyangkut hajat seluruh umat manusia,
Konvensi ini memperkenalkan lima prinsip yaitu larangan diskriminasi (prohibition of
99

discrimination), kepentingan terbaik anak (best interest of the child), tanggung jawab
negara (state responsibility), hak untuk hidup dan tumbuh kembang secara maksimal
(right to life abd development to the maximum extent), dan hak untuk berpartisipasi
(right to participation). Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Prinsip larangan diskriminasi dimaknai bahwa Negara Pihak memastikan
bahwa setiap anak berhak atas seluruh ketentuan Konvensi tanpa pembedaan atas dasar
apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lain, kewarganegaraan, asal usul etnis atau sosial, harta kekayaan, jenis
disabilitas yang disandan kelahiran atau status lain dari anak, orang tua atau walinya.
Prinsip kepentingan terbaik anak dimaknai Negara Pihak harus selalu
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak dalam skema program kesejahteraan
sosial, pengadilan, urusan administrasi, ataupun kebijakan legislasi. Negara Pihak harus
memberikan perlindungan dan perawata anak-anak dengan membuat tindakan legislatif
dan administratif yang tepat.
Prinsip tanggung jawab negara dimaknai bahwa Negara Pihak wajib
mengambil semua langkah-langkah legislatif, administratif, dan tindakan lain guna
pelaksanaan hak-hak yang diakui oleh Konvensi, baik hak sipil dan politik, maupun
hak ekonomi, sosial dan budaya. Langkah pemenuhan itu harus dilakukan hingga
sampai batas maksimum dari sumber day-: Negara Pihak dan juga dengan melakukan
kerja sama internasional.
Prinsip hak untuk hidup dan tumbuh kembang secara maksimal dimaknai
bahwa Negara Pihak harus mengakui hak setiap anak atas kehidupan. Setiap anak juga
harus diberikan dijamin tumbuh kembangnya semaksimal mungkin. Untuk kepentingan
itu, Negara Pihak wajib memfasilitasi agar setiap anak dapat tumbuh kembang secara
maksimal.
Prinsip hak untuk berpartisipasi dimaknai bahwa Negara Pihak harus
mengakui hak setiap anak untuk membentuk pendapatnya sendiri, mengutarakan
pendapatnya tersebut dengan bebas dan pendapat anak itu diberi bobot sesuai dengan
umur dan kematangan si anak. Setiap anak juga harus diberi kesempatan untuk
didengar pendapatnya dalam persidangan pengadilan dan ruang diskusi administratif,
perdebatan mana akan berpengaruh terhadap kehidupan si anak.

3. Kategori Hak

Konvensi ini termasuk Konvensi yang paling lengkap mengatur tentang hak-hak
yang diakui. Di dalamnya tercakup seluruh kategri hak sipil, politik, dan hak ekonomi,
sosial, budaya. Penjelasan mengenai kategori hak akan dibagi ke dalam 5 kelompok.
Kelompok pertama, definisi (Pasal 1). Konvensi memberikan definisi secara
limitatif bahwa yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun. Dikecualikan dari itu, jika menurut undang-undang yang
berlaku, kedewasaan anak dicapai lebih.
100

Kelompok kedua, kewarganegaraan dan hubungan keluarga (Pasal E-9). Setiap


anak yang dilahirkan berhak untuk diberi nama, memperoleh status kewarganegaraan,
dan hak untuk tahu riwayat orang tuanya. Setiap anak berhak untuk mempertahankan
identitasnya dan hubungan keluarganya. Negara Pihak wajib memberikan perlindungan
kepada anak yang identitasnya dicabut atau hubungan keluarganya dirusak. Setiap anak
memiliki hak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya, kecuali jika melalui penetapan
hukum dengan tetap mempertimbangkan kepentingan bagi anak, pemisahan itu
dianggap sah dan baik. Misalnya, anak sang menjadi korban penelantaran orang tuanya,
atau anak yang hidup keluarga di mana orang tuanya memiliki karakter residivisme,
atau hak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya. Anak juga berhak mendapatkan
informasi jika orang tuanya, berdasarkan putusan hukum sah, ditahan, dipenjara,
diasingkan atau dideportasi, kecuali jika pemberian informasi itu justru akan berakibat
buruk bagi tumbuh sembang anak.
Negara Pihak harus mempermudah permohonan seorang anak yang hendak
keluar atau masuk ke suatu negara dalam rangka penyatuan kembali keluarga yang
terpisah. Permohonan ini harus ditangani secepat mungkin dan tetap dengan cara yang
positif dan manusiawi. Dalam kondisi hidup terpisah negara dengan orang tuanya,
Negara Pihak harus memberikan peluang bagi anak untuk tetap membangun
komunikasi pribadi dengan orang tuanya. Setiap anak juga bebas untuk keluar atau
masuk negara, termasuk negaranya sendiri dan negara lain.
Kelompok ketiga, bebas berpendapat, berpikir, berkeyakinan beragama (Pasal
13, 14). Setiap anak berhak untuk mengeluarkan pendapatnya, termasuk mencari,
menerima dan memberikan informasi. Setiap anak juga berhak atas kebebasan berpikir,
berhati nurani dan beragama. Negara Pihak harus menghormati hak orang tua atau wali
yang sah untuk memberikan arahan kepada anak sesuai dengan kebutuhan dan karakter
tumbuh kembangnya.
Kelompok keempat, berkumpul dan bebas dari campur tangan (Pasal 15). Setiap
anak berhak untuk berserikat dan berkumpul secara damai. Setiap anak juga bebas dari
campur tangan yang tidak sah atas pribadinya, keluarganya, rumahnya, atau hubungan
surat menyurat, dan perlindungan atas serangan atas kehormatan dan nama baiknya.
Kelompok kelima, tanggung jawab negara (Pasal 17-40). Dua puluh empat
pasal dalam Konvensi ini memberikan kewajiban kepada Negara Pihak secara sangat
detail dan komprehensif. Secara umum, kewajiban Negara Pihak tersebut sebagai
berikut.
1. Mendorong media untuk menjadi sarana pemberian informasi kepada publik yang
membantu tumbuh kembang anak.
2. Mendorong bahwa tanggung jawab pemeliharaan dan pengembangan anak adalah
tanggung jawab suami dan istri, kedua belah pihak dan bukan satu pihak saja.
Mendorong munculnya dan melakukan audit atas lembaga pengasuhan anak yang
memadai, untuk mengatasi orang tua yang bekerja.
101

3. Mengambil tindakan legislasi, administrasi, dan sosial urn melindungi anak dari
kekerasan fisik atau mental, penelantaran eksploitasi, termasuk penyalahgunaan
seks yang merusak si anak.
4. Mendorong dimungkinkannya perlindungan khusus seperti penempatan orang tua
angkat, kafalah dalam hukum Islam, adopsi atau penempatan pada lembaga yang
tepat sesuai dengan kepentingi terbaik anak. Kebijakan adopsi harus dibuat secara
ketat di mana hak-hak anak untuk mengetahui asal-usulnya, prasyarat bahwa is
hidup lebih baik menjadi pertimbangan yang sangat penting.
5. Mempermudah prosedur dan proses jika seorang anak akan mengajukan status
sebagai pengungsi. Negara Pihak harus memberikan bantuan maksimal bagi anak
dengan status pengungsi untuk mendapatkan perlindungan, melacak keberadaan
orang tuanya, dan memperoleh informasi untuk dimungkinkannya terjadi
reunifikasi dalam keluarga.
6. Mengakui, memberikan fasilitas, perawatan khusus yang memadai bagi anak yang
menyandang disabilitas. Mereka juga berhak untuk tumbuh kembang dan
berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.
7. Mengakui dan memfasilitasi bahwa setiap anak berhak atas standar paling tinggi
dalam pelayanan kesehatan. Harus disediakan program dan tindakan untuk
mengurangi kematian bayi dan anak, memerangi penyakit dan kekurangan gizi,
perawatan sebelum dan sesudah kelahiran, informasi kesehatan yang memadai
termasuk keunggulan asupan air susu ibu, dan pengembangan model perawatan
kesehatan yang preventif.
8. Menyediakan program jaminan sosial termasuk asuransi social
9. Mengambil langkah dalam rangka pemenuhan hak atas suatu standar kehidupan
yang memadai bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.
10. Mengakui dan menyediakan fasilitas pendidikan. Hal ini termasuk menetapkan
bahwa pendidikan dasar adalah bebas biaya. Pendidikan lanjutan dan pendidikan
tinggi juga harus dibuka seluas-luasnya, dan sesuai dengan kapasitas ekonomi
negara masing-masing, diusahakan untuk juga diberikan secara gratis.
11. Memberikan perlindungan khusus bagi anak yang lahir dan besar dalam kelompok
minoritas, etnis, agama, linguistik atau masyarakat indigenos. Anak-anak tersebut
bebas untuk berbahasa, berbudaya, atau mengamalkan agamanya sesuai dengan
identitasnya sendiri.
12. Mengakui hak anak untuk beristirahat dan menikmati fasilitas rekreasioner
termasuk memberikan fasilitas bagi anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan
budaya dan seni.
13. Memberikan jaminan perlindungan kepada anak yang rentan menjadi korban
eksploitasi ekonomi, termasuk menetapkan usia minimum untuk bekerja, peraturan
ketat mengenai jam kerja, dan menentukan sanksi yang efektif terhadap
pelanggaran ketentuan Konvensi.
14. Menyusun program dalam rangka melindungi anak dari penyalahgunaan narkotika
dan psikotropika.
102

15. Menyusun program dan melaksanakan program kerja sama bilateral atau
multilateral dalam rangka melindungi anak dari eksploitasi seksual, penculikan,
perdagangan anak, dan segala macam bentuk eksploitasi yang merugikan anak-
anak.
16. Negara Pihak wajib menjamin bahwa anak harus bebas penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
17. Negara Pihak wajib memberikan perlindungan yang memadai bagi anak dalam
situasi perang sebagaimana diatur dalam Hukum Humaniter Internasional.
18. Menyusun program reintegrasi sosial bagi anak-anak yang menjadi korban
penelantaran, eksploitasi atau penyalahgunaan dalam bentuk apa pun, penyiksaan,
perlakuan atau penghukuman lain yang kejarn tidak manusiawi dan merendahkan
martabat.
19. Negara Pihak mengakui dan mengatur dalam sistem hukumnya bahwa anak yang
berhadapan dengan hukum berhak atas perlakuan yang baik dan dimungkinkannya
tindakan integratif (keadilan restoratif misalnya) antara korban dan pelaku; hak
untuk tidak dituduh melakukan kejahatan karena kelalaian yang bukan pelanggaran
menurut hukum; hak atas prinsip praduga tidak bersalah; hak untuk diberi informasi
dengan segera mengenai tuduhan terhadapnya; hak untuk secepatnya oleh
pengadilan yang berwenang dan hakim yang kompeten: hak untuk tidak dipaksa
mengaku salah atau memberikan keterangan yang memberatkan dirinya; hak untuk
mangajukan upaya hukum; hak untuk mendapatkan penjuru bahasa gratis, dalam
kasus si anak tidak berbahasa sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh aparat
penegak hukum; dan hak untuk dijaga rahasianya.
20. Negara Pihak juga wajib mengakui dan mengatur dalam sistem hukumnya
mengenai umur minimum anak memiliki kapasitas bertanggung jawab atas
perbuatan pidana yang ia lakukan; sistem penyelesaian hukum yang menghormati
hak-hak anak; serta pengembangan model hukuman yang sesuai dengan kapasitas
anak seperti perawatan, bimbingan, perintah pengawasan, penyuluhan, percobaan,
pengasuhan, pendidikan, dan kerja sosial.

4. Mekanisme Pengawasan

Konvensi ini memiliki mekanisme pengawasan yang unik dibandingkan dengan


Konvensi lain. Mekanismenya antara lain Komite, Laporan Negara, Komentar Umum,
Hari Diskusi Umum, dan Keterlibatan Aktif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
United Nation Children's Fund (UNICEF). Konvensi tidak mengakui mekanisme
komunikasi antarnegara dan komunikasi individual. Penjelasan atas berbagai
mekanisme tersebut sebagai berikut.
a. Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child)
Komite terdiri dari 18 orang ahli yang memiliki rekam jejak yang baik, profesional
dan moral yang tinggi. Mereka bekerja atas nama dirinya sendiri dan diajukan oleh
Negara Pihak dan dipilih secara rahasia berdasarkan pertimbangan geografis yang
103

adil. Anggota Komite akan bekerja selama empat tahun, di mana lima orang
anggotanya akan diberhentikan pada akhir tahun kedua.

b. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak wajib mengirimkan laporan kepada Komite, melalui Sekretaris
Jenderal PBB, berisi langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka memenuhi
ketentuan Konvensi. Laporan ini dikirimkan dua tahun setelah melakukan ratifikasi
dan setelahnya adalah setiap liman tahun. Laporan ini akan berisi faktor pendukung
dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi ketentuan Konvensi.

c. Komentar Umum (General Comment)


Komite dapat membuat Komentar Umum yang memuat saran-saran dan
rekomendasi-rekomendasi umum. Komentar Umum tersebut akan dikirimkan
kepada Negara Pihak dan juga kepada Majelis Umum.

d. Hari Diskusi Umum (Days of General Discussion)


Komite dapat merekomendasikan kepada Majelis Umum untuk meminta Sekretaris
Jenderal melakukan kajian dan penelitian atas tema-tema khusus terkait hak-hak
anak. Hasil kajian tersebut akan menjadi bahan diskusi umum yang dapat
diselenggarakan Komite.

e. Keterlibatan Aktif LSM dan UNICEF (Active Involvement of NGOs and


UNICEF)
Komite dapat mengundang dan bekerja sama dengan Badan-Badan Khusus,
UNICEF dan organ-organ PBB yang lain untuk memberikan nasihat ahli mengenai
pelaksanaan Konvensi di bidang yang ada dalam cakupan mandat mereka. Komite
juga akan mengirimkan Laporan Negara yang berisi permohonan akan nasihat dan
saran dan Badan-Badan Khusus, UNICEF dan organ-organ PBB yang bekerja dan
memiliki informasi memadai mengenai pemenuhan hak anak.

H. Konvensi tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarga Mereka

1. Sejarah Pengesahan

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran


dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of
All Migrant Workers and Members of Their Families or CMW) disahkan melalui
Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res. 45/15. pada 18 December 1990. Pemerintah
Indonesia melakukan ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang
Pengesahan. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekera
Migran dan Anggota Keluarganya pada 2 Mei 2012.
104

Konvensi ini merupakan kodifikasi hukum atas kerja Organisasi Buruh


Internasional (International Labour Organization or ILO) dalam rangka mengadvokasi
hak-hak buruh yang selama ini selalu menjal pihak yang kalah dalam skema negosiasi
pemenuhan hak. Sebelumnya. Organisasi Buruh Internasional telah banyak melahirkan
konvensi pada perburuhan seperti Konvensi tentang Migrasi untuk Bekerja (No.97),
Konvensi tentang Migrasi dalam Kondisi Teraniaya dan Pemajuan Kesetaraan
Kesempatan dan Perlakuan bagi Pekerja Migran (No.143), Rekomendasi mengenai
Migrasi untuk Bekerja (No.86), Rekomendasi mengenai Pekerja Migran (No.151),
Konvensi tentang Kerja Paksa atau Wajib (No.159), dan Konvensi tentang
Penghapusan Kerja Paksa (No.105).
Merujuk pada Konstitusi Organisasi Buruh Internasional, Organisasi ini
dibentuk salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan bagi pekerja yang
bekerja di negara-negara yang bukan negara sendiri. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga
memberi perhatian besar mengenai luasnya wilayah migrasi manusia dan hal ini
melibatkan jutaan manusia. Konvensi ini dibuat sebagai bentuk penyamaan sikap dan
tindakan hukum yang akan dilakukan negara-negara anggota PBB dalam isu-isu
pekerja. Setiap negara memiliki kepentingan agar negara lain memberikan
perlindungan maksimal kepada warga negaranya yang bekerja di negara lain. Untuk
menuju hal itu, maka dibutuhkan persamaan cara pandang dan kelapangan sikap dari
masing-masing negara untuk menerima masukan dari negara lain terkait situasi pekerja
yang bukan warga negaranya.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Pada pertimbangannya, Konvensi ini dibuat selain untuk memperkuat mandat


Organisasi Buruh Internasional juga didasari oleh kesadaran bahwa situasi pekerja yang
bekerja di negara lain sangat rentan menjadi korban. Kerawanan itu terjadi karena
mereka harus bekerja di lingkungan yang baru, di mana struktur kebudayaan, bahasa,
adat dan lainnya adalah benar-benar baru dan asing bagi pekerja. Pada skala yang
makro, potensi munculnya masalah kemanusiaan yang terkait migrasi juga serius.
Migrasi yang tidak ideal akan memunculkan persoalan pergerakan dan perdagangan
pekerja migran secara gelap, dan bentuk-bentuk ekspolitasi ilegal yang lain.
Kondisi lebih parah dialami oleh pekerja ilegal atau pekerja non-regular.
Mereka sering kali dipekerjakan dalam kondisi yang tidak layak. Majikan, secara
umum, lebih suka mempekerjakan mereka karena struktur yang lebih rendah dan posisi
hukum pekerja non-reguler yang lemah.

3. Kategori Hak

Konvensi ini berlaku pada seluruh tahapan dan proses migrasi oara pekerja
migran dan anggota keluarganya, mulai dari persiapan, keberangkatan, transit, masa
tinggal dan aktivitas yang dibayar di negara tujuan. Bagian ini akan menjelaskan 6
105

kelompok mengenai ketentuan Konvensi sebagai berikut.


Kelompok pertama, definisi (Pasal 2, 3 dan 4). Konvensi ini memberikan
penjelasan mengenai sembilan kategori pekerja migran. Penjelasan sederhana dari
kategori tersebut sebagai berikut.
1. Pekerja Migran adalah seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan
pekerjaan yang dibayar di suatu negara di mana ia bukan merupakan warga negara
tempat ia bekerja.
2. Pekerja Lintas Batas adalah pekerja migran yang bertempat tinggal di suatu negara
dan ia bekerja di negara tetangga. Mereka biasa pulang setiap hari atau setidaknya
sekali dalam seminggu.
3. Pekerja Musiman adalah pekerja migran yang sifat pekerjaannya bergantung pada
kondisi musiman dan dilakukan hanya dalam sebagian waktu setiap tahunnya.
4. Pelaut adalah seorang pekerja migran yang dipekerjakan di atas kapal yang terdaftar
di suatu negara yang ia bukan merupakan negara si pekerja.
5. Pekerja Instalasi Lepas Pantai adalah pekerja migran yang dipekerjakan pada suatu
instalasi lepas pantai yang berada di bawah yurisdiksi suatu negara yang ia bukan
merupakan warga negaranya.
6. Pekerja Keliling adalah pekerja migran yang harus bepergian ke negara lain untuk
waktu singkat sehubungan dengan sifat pekerjaannya, sedang ia bertempat tinggal
sehari-hari di negaranya sendiri.
7. Pekerja Proyek adalah pekerja migran yang diterima di suatu negara tujuan kerja
untuk jangka waktu kerja tertentu semata-mata untuk proyek tertentu yang
dilaksanakan di negara tersebut oleh majikannya.
8. Pekerja dengan Pekerjaan Tertentu mencakup tiga makna, yaitu (i) pekerja migran
yang dipekerjakan oleh majikannya untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu
ke suatu negara lain, untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu; (ii) pekerja
migran yang dalam jangka waktu yang terbatas dan tertentu melakukan pekerjaan
yang memerlukan keahlian profesional, komersial, teknis, atau keahlian sangat
khusus lain; atau (iii) pekerja migran yang atas permintaan majikannya di negara
lain, untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu, melakukan pekerjaan yang
bersifat singkat. dan diharuskan pulang, baik pada saat berakhir izin tinggalnya atau
sebelumnya, apabila ia tidak lagi melakukan tugas atau kewajiban tertentu yang
diperintahkan kepadanya.
9. Pekerja Mandiri adalah pekerja migran yang melakukan aktivitas yang dibayar dan
tidak berada di bawah perjanjian kerja, mencari nafkah melalui kegiatan seorang
diri atau bersama anggota keluarganya.
Pada dasarnya setiap orang yang bekerja di negara lain adalah pekerja migran,
namun ada enam jenis pekerjaan yang pekerjanya tidak termasuk definisi pekerja
migran sebagaimana dimaksud oleh Konvensi. Keenam jenis pekerjaan tersebut adalah:
a. Orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh organisasi dan badan-badan
internasional, atau oleh suatu negara di luar wilayahnya untuk menjalankan tugas
106

resmi, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh hukum internasional umum atau
oleh perjanjian internasional atau konvensi khusus.
b. Orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu negara atau atas nama negara di
luar wilayahnya, yang berpartisipasi dalam program pembangunan dan program
kerja sama lain, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh perjanjian dengan
negara tujuan kerja, dan menurut perjanjian tersebut mereka dianggap bukan
sebagai pekerja migran.
c. Orang yang bertempat tinggal di negara yang berbeda dengan negara asalnya
sebagai penanam modal.
d. Pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan, kecuali ketentuan tentang hal ini
ditetapkan dalam ketentuan hukum nasional, atau dalam instrumen internasional
yang berlaku bagi Negara Pihak tersebut.
e. Pelajar dan peserta pelatihan.
f. Pelaut dan pekerja pada suatu instalasi lepas pantai yang belum memperoleh izin
tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja.
Konvensi ini juga memberi definisi siapa yang disebut sebagai anggota
keluarga. Anggota keluarga adalah setiap orang yang kawin dengan pekerja migran,
anak-anak yang menjadi tanggungan mereka, dan orang-orang lain yang menjadi
tanggungan mereka yang diakui sebagai anggota keluarga berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku, atau menurut perjanjian bilateral atau multilateral antara negara-
negara yang bersangkutan.
Kelompok kedua, kategori pekerja migran (Pasal 5). Konvensi ini membagi
kategori pekerja migran menjadi dua yaitu berdokumen (documented) dan tanpa
dokumen (non-documented). Pekerja berdokumen atau berada dalam situasi reguler
apabila pekerja tersebut telah mendapatkan izin masuk, bertempat tinggal dan
beraktivitas yang dibayar di negara tujuan. Sedangkan pekerja tanpa dokumen atau
berada dalam situasi yang tidak reguler adalah ketika mereka masuk, bertempat tinggal
dan beraktivitas yang dibayar di suatu negara tujuan tanpa izin dari negara tersebut.
Kelompok ketiga, kategori negara (Pasal 6). Konvensi membagi negara menjadi
tiga kategori yaitu negara asal (state of origin), negara tujuan kerja (state of
employment), dan negara transit (state of transit). Negara asal adalah negara di mana si
pekerja migran merupakan warga negara. Negara tujuan kerja adalah negara di mana
pekerja migran akan, sedang atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar. Sedangkan
negara transit adalah negara yang disinggahi pekerja migran dalam perjalanan menuju
negara tujuan, atau dari negara tujuan hendak pulang ke negara asal.
Kelompok keempat, hak-hak pekerja migran dan keluarganya (Pasal 8-35).
Ketentuan pada pasal-pasal ini seluruhnya mengatur tentang hak-hak pekerja migran
dan keluarga mereka. Secara berurutan, hak-hak tersebut antara lain:
1. Hak untuk bebas meninggalkan negara manapun, termasuk negara asal mereka, dan
hak untuk memasuki dan tinggal di negara asal.
2. Hak untuk hidup.
107

3. Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum dengan hukuman yang kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
4. Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba. Hak ini termasuk hak untuk tidak
dipaksa melakukan kerja wajib (kerja paksa) dan menjalani hukuman dengan kerja
kasar. Dikecualikan dari istilal "kerja paksa atau kerja wajib" tiga jenis pekerjaan,
yaitu (i) kerja atau jasa yang merupakan perintah wajib berdasarkan putusan
pengadilan yang sah atau bagi orang yang hendak menjalani pembebasan bersyarat,
(ii) kerja atau jasa yang memang harus dilakukan dalam rangka menghadapi
keadaan darurat yang mengancam kehidupan masyarakat, dan (iii) kerja atau jasa
yang merupakan bagian dari kerja sipil yang juga diwajibkan bagi warga negara
yang bersangkutan.
5. Hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama. Mereka tidak boleh
menjadi sasaran pemaksaan kebebasannya untuk memelu atau menganut agama dan
keyakinannya. Hak ini termasuk kebebasan orang tua yang adalah pekerja migran
untuk memilih pendidikan agama sesuai pilihan bebas orang tuanya.
6. Hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, termasuk kebebasan menerima,
mencari dan memberikan gagasan.
7. Hak atas perlindungan prifasinya termasuk hak untuk tidak diganggu urusan
pribadi, keluarga, rumah tangga, surat menyurat dan komunikasi, juga kehormatan
dan nama baiknya.
8. Hak atas perlindungan harta benda dari perampasan yang sewenang-wenang.
9. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, termasuk bebas dari ancaman
kekerasan, intimidasi dan fisik baik dari orang, kelompok orang dan aparat negara.
Pemeriksaan atas identitas pekerja migrasi harus dilakukan secara adil, prosedural
dan proporsional.
10. Hak perlindungan prosedur hukum. Hak ini juga termasuk hak tidak ditangkap
secara sewenang-wenang, dan jikalaupun harus ditangkap, pekerja migran tersebut
harus diberi informasi mengenai alasan penangkapan dalam bahasa yang dimengerti
oleh mereka. Pekerja migran yang ditangkap/ditahan karena tuduhan pidana, berhak
untuk segera dihadapkan ke pengadilan yang kompeten dan berwenang.
11. Jika ada pekerja migran yang ditangkap/ditahan, maka pejabat diplomatik atau
konsuler negara asal harus segera diberi informasi mengenai
penangkapan/penahanan. Pekerja migran yang ditangkap/ ditahan berhak untuk
berkomunikasi secara bebas dengan pejabat diplomatik/konsuler. Pekerja migran
yang ditangkap/ditahan harus diberi tahu hak-hak dasarnya.
12. Pekerja migran atau keluarganya yang ditangkap berhak untuk segera dibawa ke
pengadilan untuk diuji keabsahan penangkapannya. Pada situasi tersebut, mereka
berhak atas penerjemah, dan jika perlu tanpa biaya. Mereka berhak atas ganti rugi
jika menjadi korban penangkapan yang tidak sah.
13. Hak atas perlindungan dari perampasan kebebasan secara sewenang-wenang. Jika
mereka ditahan karena tuduhan perbuatan tertentu, baik pelanggaran hukum pidana
atau pelanggaran keimigrasian, mereka berhak untuk dipisahkan tahanannya dari
108

orang-orang yang telah dihukum berdasarkan putusan pengadilan. Hak ini termasuk
hak untuk dikunjungi keluarga dan pejabat diplomatik/konsuler negara asal ketika
mereka ditahan.
14. Pekerja migran berhak untuk diakui sebagai subjek hukum setara dengan penduduk
di negara tujuan kerja. Pekerja migran berhak atas praduga tidak bersalah. Dalam
hal mereka ditahan, mereka berhak atas seluruh jaminan minimum hukum seperti
hak untuk diinformasikan tuntutan dalam bahasa yang dimengerti, hak untuk
menyiapkan pembelaan, hak untuk diadili tanpa penundaan, hak untuk dibela oleh
penasihat hukum pilihannya, hak untuk menghadirkan saksi yang meringankan (a
de charge), hak atas penerjemah, dan hak untuk tidak dipaksa memberikan
kesaksian yang memberatkan dirinya.
15. Anak, keluarga pekerja migran, yang berumur di bawah 18 tahun berhak atas proses
hukum yang adil dengan prinsip kepentingan terbaik anak.
16. Hak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan pengadilar pidana yang ia
dapatkan. Pekerja migran dan keluarga berhak untu mendapatkan kompensasi atas
menjalani hukuman berdasarkan putusan yang salah. Pekerja migran dan keluarga
untuk tidak diadiil kedua kali dengan tuduhan yang sama (ne bis in idem).
17. Hak untuk tidak dipenjara karena kelalaian yang bukan merupakan kejahatan
menurut hukum negara tujuan dan hukum internasional
18. Hak untuk tidak dipenjara semata karena ketidakmampuan membayar prestasi
perjanjian. Termasuk hak untuk bebas dari pengusiran karena ketidakmampuan
memenuhi prestasi perjanjian kerja.
19. Hak atas perlindungan dari penyitaan dan penghancuran dokumen identitas.
20. Hak untuk tidak diusir secara massal. Segala keputusan pengusiran harus dilakukan
orang per orang. Mereka berhak atas putusan hukurn berupa pengusiran dalam
bahasa yang dimengerti. Jika mereka diusir mereka berhak untuk memasuki negara
yang bukan negara asal Mereka juga berhak atas hak apa pun yang telah diperoleh
selama bekerja.
21. Setiap pekerja migran dan keluarganya yang menjadi korban atas pelanggaran hak-
hak yang diakui oleh Konvensi ini berhak atas pilihan perlindungan dan bantuan
dari pejabat konsuler negara asal. Dalam hal mereka menjadi korban pengusiran,
negara tujuan wajib menginformasikan hal pengusiran tersebut kepada pejabat
konsuler negara asal.
22. Setiap pekerja migran dan anggota keluarga mereka berhak untuk diakui sebagai
subjek hukum di manapun mereka berada.
23. Hak untuk diperlakukan setara dengan pekerja dari negara tujuan dalam hal
penggajian, uang lembur, jam istirahat, liburan, keselamatan. kesehatan, pemutusan
hubungan kerja termasuk hak atas batasan umur minimum untuk bekerja.
24. Hak untuk bergabung dan/atau mendirikan serikat pekerja dan perkumpulan sesuai
dengan kepentingan penjagaan atas kepentingan ekonomi, sosial dan budaya.
25. Hak atas jaminan sosial yang setara dengan pekerja warga negara dari negara
tujuan.
109

26. Hak atas perawatan pekerjaan.


27. Anak yang lahir dari keluarga pekerja migran berhak untuk diberi nama,
pendaftaran kelahiran dan status kewarganegaraan. Mereka juga berhak untuk
mendapatkan pendidikan.
Kelompok kelima, hak pekerja migran berdokumen (Pasal 36-56). Selain
seluruh kategori hak di atas, pekerja migran berdokumen juga beberapa kategori hak
penting di bawah ini:
1. Hak untuk mendapatkan informasi mengenai pekerjaan, tempat tinggal, dan
bayaran atas aktivitas mereka.
2. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan termasuk hak dipilih dan memilih
pada pemilihan umum di negara asal.
3. Hak atas kesetaraan dengan warga negara tujuan untuk mendapatkan pendidikan,
pendidikan kejuruan, pelatihan ulang, perumahan, kesehatan, jaminan sosial, dan
partisipasi dalam kegiatan kebudayaan. Negara Tujuan wajib membangun
mekanisme agar tercipta reunifikasi antara anak dan keluarga pekerja migran,
fasilitas pendidikan bahasa ibu dan budaya bekerja sama dengan negara asal.
4. Hak untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea dan pajak impor dan ekspor
(dengan tetap mempertimbangkan situasi khusus).
5. Hak kebebasan untuk mentransfer dana mereka ke negara asal demi membiayai
kehidupan keluarga mereka di negara asalnya.
6. Hak untuk tetap tinggal di negara tujuan dalam hal kontrak kerjanya yang pertama
telah habis.
7. Hak untuk tetap tinggal di negara tujuan ketika salah satu pasangan meninggal atau
akibat putusnya hubungan perkawinan.
8. Hak untuk tetap dianggap sebagai pekerja berdokumen atau berada dalam situasi
reguler ketika mengalami pemutusan hubungan kerja.
9. Hak untuk secara bebas memilih jenis pekerjaan di negara tujuan. Pada konteks ini,
negara tujuan berwenang untuk membatasi jenis pekerjaan tertentu yang karena
alasan keamanan dan kepentingan nasional, tidak dapat diserahkan kepada pekerja
migran.
10. Hak atas perlindungan dari pemecatan, tunjangan pengangguran dan hak untuk
mengadukan kasusnya apabila haknya dilanggar oleh majikannya.
Kelompok keenam, kewajiban Negara Pihak (Pasal 64-71). Pasal-pasal ini
mengatur tentang kewajiban Negara-negara Pihak pada Konvensi. Beberapa ketentuan
pokok yang harus dilakukan oleh Negara Pihak adalah sebagai berikut.
1. Bekerja sama dengan Negara Tujuan dalam rangka meningkatkan perlindungan dan
kondisi kerja bagi para pekerja migran dan anggota keluarga mereka.
2. Negara-negara Pihak harus bekerja sama dalam menangani masalah-masalah yang
muncul dari proses migrasi seperti perumusan kebijakan makro tentang migrasi,
pertukaran informasi dan konsultasi, penyediaan informasi mengenai pekerjaan dan
majikan dan penyediaan informasi mengenai tata cara perizinan.
110

3. Negara-negara Pihak harus bekerja sama dalam hal membuat kebijakan skema
pemulangan dan kebijakan pengembangan ekonomi dan permukiman dari pekerja
migran di negara asal.
4. Negara-negara Pihak yang menjadi negara transit wajib bekerja sama mencegah
terjadinya pergerakan klandestin untuk mempekerjakar orang secara ilegal dan
tanpa dokumen.
5. Negara-negara Pihak yang di negaranya terdapat pekerja tanpa dokumen atau
berada dalam situasi tidak reguler, wajib mengambil seuruh langkah untuk tidak
memungkinkan situasi itu terus terulang.
6. Negara-negara Pihak wajib memfasilitasi dan bekerja sama dalam rangka
pemulangan jenazah pekerja migran dan keluarganya ke negara asal.

4. Mekanisme Pengawasan

Konvensi ini mengakui dan mendirikan enam mekanisme untuk mengawasi


pemberlakuan ketentuan Konvensi. Mekanisme tersebut adalah Komite, Laporan
Negara, Komentar Umum, Pelibatan NGOs dan Organisasi Buruh Internasional,
Komunikasi Antarnegara, dan Komuninasi Individual. Penjelasan masing-masingnya
sebagai berikut.
a. Komite Perlindungan Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarga
(Committee on the Protection of All Migrant Workers and their Families)
Komite ini terdiri dari 10 (sepuluh) orang pada Konvensi diberlakukan dan akan
digenapi menjadi 14 orang setelah Konvensi diratifikasi ke-empat puluh negara.
Anggota Komite dipilih dalam kapasitas pribadi mereka dan diajukan oleh Negara
Pihak untuk kemudian dipilih oleh Negara Pihak dengan mempertimbangkan
pemerataan secara geografis. Anggota Komite akan bekerja selama empat tahun,
dan lima di antara sepuluh anggota Komite akan berakhir masa jabatannya pada
akhir tahun kedua untuk kemudian digantikan dengan anggota Komite yang baru.

b. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak wajib menyiapkan dan mengirimkan laporan negara kepada Komite
melalui Sekretaris Jenderal PBB. Laporan mana berisi tindakan legislatif, yudisial,
eksekutif dan kebijakan lain untuk memenuhi ketentuan dalam Konvensi. Laporan
juga harus berisi kesulitan dan faktor yang berpengaruh terhadap pemenuhan
ketentuan Konvensi. Laporan ini dikirimkan dalam waktu satu tahun setelah
melakukan ratifikasi dan setelahnya adalah setiap lima tahun.

c. Komentar Umum (General Comment)


Komite wajib menyusun dan menyampaikan komentar kepada Negara Pihak berisi
saran dan masukan setelah menelaah laporan negara. Setelahnya, Negara Pihak
dapat memberikan tanggapan berupa observasinya atas saran dan masukan dari
Komite.
111

d. Pelibatan NGOs dan Organisasi Buruh Internasional (Involvement of NGOs


and International Labour Organisation)
Komite melalui Sekretaris Jenderal PBB dapat mengirimkan salinan laporan Negara
Pihak kepada Direktur Jenderal Organisasi Buruh Internasional untuk
memungkinkan organisasi tersebut membantu Komite dengan kepakaran mereka
dalam isu perburuhan. Selain itu Komite juga dapat mengundang organisasi
antarnegara, badan-badan dan organ khusus di PBB serta wajib mengundang
Organisasi Burun Internasional. Keikutsertaan organisasi-organisasi itu merupakan
bagian dari mekanisme luas untuk memastikan penerapan ketentuan Konvensi oleh
Negara Pihak.

e. Komunikasi Antarnegara (Interstate Communication)


Negara Pihak yang telah menyatakan tunduk pada kewenangan Komite berhak
untuk menggugat Negara Pihak lain yang diduga melanggar ketentuan Konvensi.
Gugatan itu dapat dikirimkan berupa komunikasi tertulis kepada Negara Pihak lain
dengan memberi tahu Komite. Dalam waktu tiga bulan, Negara Pihak penerima
harus menjawab komunikasi yang Negara Pihak pengirim. Jika dalam waktu enam
bulan sejak komunikasi dikirimkan belum ada kesepakatan antar Negara Pihak,
Komite akan menerima dan membahas komunikasi tersebut. Laporan akhir Komite
akan dikirimkan kepada Negara Pihak.

f. Komunikasi Individual (Individual Communication)


Setiap individu pekerja migran atau keluarganya yang merasa menjadi korban
pelanggaran hak-hak dan ketentuan yang diakui dalam Konvensi ini berhak untuk
mengajukan komunikasi kepada Komite. Komunikasi hanya akan diterima jika
negara telah menyatakan diri tunduk kepada yurisdiksi Komite. Komunikasi
tersebut harus ditulis dengan jelas (bukan anonim) termasuk kejelasan mengenai
kronologis pelanggaran yang ia terima. Komite akan menerima komunikasi jika hal
tersebut tidak sedang diproses melalui prosedur lain dan si pengirim komunikasi
telah menempuh semua mekanisme domestik yang tersedia (exhausted of local
remedies).

I. Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas

1. Sejarah Pengesahan

Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of


Persons with Disabilities or CRPD) ditetapkan dengan Resolusi Majelis Umum atau
G.A. Res. A/RES/61/106 pada 13 Desember 2006 dan dibuka untuk penandatanganan
pada 30 Maret 2007. Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ini
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi tentang
112

Hak Penyandang Disabilitas pada 10 November 2011.


Pada pertimbangannya, Konvensi ini menekankan pentingnya prinsip
universalitas, ketidakterpisahkan, kesalingtergantungan, dan kesalingterkaitan dari
semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta kebutuhan bagi penyandang
disabilitas untuk dijamin pemenuhan hak-haknya tanpa diskriminasi. Disabilitas juga
dilihat sebagai siatu konsep yang terus berkembang dan hasil dari interaksi antara
orang-orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap dan Iingkungan yang
rnenghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan
kesetaraan dengan yang lainnya.
Sebelum pengesahan Konvensi, komunitas internasional telah mrumuskan
beberapa dokumen yang akhirnya menjadi cikal bakal pendorong pengesahan
Konvensi. Dokumen itu antara lain Program Aksi Dunia mengenai Penyandang
Disabilitas (World Programme of Action Concerning Disabled Persons) dan
Peraturan-peraturan Standar mengenai Persamaan Kesempatan bagi Penyandang
Disabilitas (Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with
Disabilities). Oleh karenanya utuhkan pengarusutamaan (mainstreaming) isu hak
penyandang abilitas dalam sistem kebijakan negara modern di seluruh dunia.
Pertimbangan Konvensi juga mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki
kontribusi besar bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain mereka, khususnya
penyandang disabilitas anak dan perempuan, adalah komunitas yang paling rentan
menjadi korban diskriminasi yang berular bahkan penuh kebencian. Mereka jugalah
yang sangat berisiko menja korban kekerasan, pelecehan dan eksploitasi lainnya.
Konvensi juga mengakui bahwa penyandang disabilitas, secara umur sering kali
hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan untuk turut ser berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah dokumen yang memberikan
perlindungan agar hak-hak mereka dapat terlindungi dan terpenuhi.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Berbeda dengan konvensi yang lain yang tidak terlalu tegas menyebut prinsip-
prinsip yang diakui, Konvensi ini secara tegas memperkenalkan bahwa prinsip
pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai berikut.
a. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individua termasuk kebebasan
untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaa perseorangan.
b. Nondiskriminasi.
c. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat.
d. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilit sebagai bagian
dari keragaman manusia dan kemanusiaan.
e. Kesetaraan kesempatan.
f. Aksesibilitas.
g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
113

h. Penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari penyandar disabilitas anak dan
penghormatan hak penyandang disabilitas ana guna mempertahankan identitas
mereka.
Selain prinsip dasar di atas, Konvensi juga memberikan penekana pada prinsip
tanggung jawab negara. Negara Pihak wajib menjami realisasi pemenuhan seluruh
kategori hak yang diakui oleh Konvens Realisasi itu dilakukan dengan berbagai
tindakan sebagai berikut.
a. Mengambil langkah legislatif dan administratif dalam pemenuhan hak yang diakui
oleh Konvensi.
b. Mengambil kebijakan untuk mengubah atau mencabut ketentuan hukum, peraturan,
kebiasaan, dan praktik-praktik yang berlaku yang mengandung unsur diskriminasi
terhadap para penyandang disabilitas.
c. Mengambil kebijakan dan program praktis dalam rangka perlindungan dan
pemajuan hak penyandang disabilitas.
d. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan yang
diskriminatif, termasuk menghalangi tindakan diskriminatif dari pihak ketiga.
e. Memajukan penelitian guna peningkatan pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas, termasuk pengembangan teknologi dan peralatan yang membantu
penikmatan hak oleh penyandang disabilitas.
f. Memajukan pelatihan bagi para profesional dan tenaga bantuan yang bekerja bagi
dan untuk penyandang disabilitas.
Konvensi juga mengharapkan diakuinya prinsip diskriminasi positif atau
tindakan afirmasi. Pada dasarnya, Konvensi mendorong agar Negara Pihak
memastikan untuk tidak melakukan dan/atau menghalangi terjadinya diskriminasi
kepada penyandang disabilitas. Namun Konvensi meminta agar Negara Pihak
memberikan percepatan dalam rangka pencapaian kesetaraan antara penyandang
disabilitas dan non-disabilitas. Penyetaraan ini membutuhkan kebijakan yang berpihak
pada realisasi hak penyandang disabilitas. Keberpihakan kebijakan itulah yang
dianggap menjadi tindakan afirmasi yang justru diharapkan untuk dilakukan segera
oleh Negara Pihak.

3. Kategori Hak

Sebelum menjelaskan kategori hak yang diakui di dalamnya, Konvensi ini


memberikan definisi atas beberapa terminologi penting yang khusus terkait dengan hak
penyandang disabilitas.
Disabilitas dimaknai sebagai interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan
kemampuan dan sikap dan lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif
mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Konvensi ini memberikan makna spesifik tentang komunikasi. Jika pada
konteks reguler, komunikasi sering kali hanya dipahami sebagai komunikasi verbal
(lisan) dan non-verbal (selain lisan khususnya tulis) Konvensi ini memberikan makna
114

lebih luas bahwa komunikasi itu mencakup bahasa, tayangan teks, braille, komunikasi
tanda timbul, besar, multimedia yang dapat diakses seperti bentuk-bentuk tertulis audio,
plain-language, pembaca-manusia dan bentuk-bentuk alternatif lainnya seperti
teknologi komunikasi. Bahasa sendiri dimaknai sebagai bahasa lisan, bahasa isyarat
dan bentuk-bentuk bahasa non-lisan yang lain. Konvensi ini juga memberikan makna
spesifik tentang diskriminasi yaitu pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas
dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pengurangan atau peniadaan
pengakuan, penikmatan dan pelaksanaan semua hak-hak asasi manusia. Konvensi ini
memberi contoh salah satu bentuk diskriminasi yaitu tidak dipenuhinya akomodasi
yang patut.
Akomodasi yang patut adalah modifikasi dan penyesuaian yang harus dilakukan
dalam rangka menjamin penikmatan dan pelaksanaan semua hak-hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental berdasarkan kesetaraan penyandang disabilitas. Salah satu
bentuk akomodasi yang patut adalah disediakannya desain universal, yaitu desain
produk, lingkungan, program dan pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang,
semaksimal mungkin, tanpa memerlukan suatu adaptasi atau rancangan khusus.
Selain berbagai definisi atas terminologi khusus di atas, Konvensi ini
memberikan penekanan pada 15 kelompok kategori hak yang secara berurutan
berdasarkan pasal-pasal dalam Konvensi adalah sebagai berikut.
Kelompok pertama, perlindungan bagi perempuan (Pasal 6). Penyandang
disabilitas perempuan adalah komunitas yang paling rentan (vulnerable) menjadi
korban kejahatan dan korban diskriminasi berlipat (multiple discrimination). Mereka
berhak untuk mendapatkan perlindungan, pengembangan, pemajuan, pemberdayaan
agar hak-hak mereka terpenuhi.
Kelompok kedua, anak (Pasal 7). Penyandang disabilitas anak berhak untuk
mendapatkan seluruh kategori hak, baik sipil dan politik maupun ekonomi, sosial dan
budaya dengan tetap mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi mereka.
Kelompok ketiga, aksesibilitas (Pasal 9). Penyandang disabilitas berhak atas
fasilitas publik yang memadai. Fasilitas publik itu meliputi gedung-gedung, jalan-jalan,
sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruang lainnya, termasuk sekolah,
perumahan, fasilitas medis, tempat kerja, informasi, komunikasi termasuk layanan
elektronik dan layanan awat darurat. Negara Pihak wajib mengembangkan skema
program dalam rangka mengubah dan membenahi seluruh fasilitas publik yang telah
ada antuk menjamin aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Kelompok keempat, hak hidup (Pasal 10). Penyandang disabilitas berhak untuk
hidup dan mengembangkan kehidupannya. Tidak boleh ada tindakan dan/atau
kebijakan apa pun yang menghambat hak hidup menyandang disabilitas. Negara Pihak
juga wajib memastikan bahwa pihak ketiga tidak akan mengganggu hak penyandang
disabilitas untuk hidup dan menikmati serta mengembangkan kehidupannya.
Kelompok kelima, hak hukum (Pasal 12-13). Penyandang disabilitas adalah
sama seperti manusia lain. Mereka adalah pribadi manusia utuh hadapan hukum. Maka,
mereka juga berhak untuk berbicara atas nama rinya sendiri dan berdasarkan pilihan
115

bebasnya di depan pengadilan. Mereka juga berhak atas seluruh hak-hak keperdataan
seperti mewarisi mengendalikan keuangan mereka, akses terhadap pinjaman bank,
kredit perumahan, dan bentuk kredit keuangan lainnya. Penyandang sabilitas juga
berhak atas seluruh jaminan prosedur hukum ketika berhadapan dengan proses
peradilan. Negara Pihak wajib melakukan meningkatan kapasitas aparat penegak
hukum, termasuk sipir penjara, rangka memenuhi hak penyandang disabilitas.
Kelompok keenam, penyiksaan (Pasal 15). Penyandang disabilitas berhak bebas
dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat. Pasal ini memberikan penekanan khusus bahwa penyandang
disabilitas tidak boleh menjadi objek percobaan ilmiah atau kedokteran tanpa
persetujuan bebas dari mereka.
Kelompok ketujuh, bebas dari ekspolitasi (Pasal 16). Penyandang disabilitas
berhak bebas dari ekspolitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena. Negara Pihak
wajib mencegah seluruh tindakan yang berujung atau berupa tindakan yang eksploitatif.
Negara juga wajib mengembangkan mekanisme perbantuan dan pelaporan bagi
penyandang disabilitas yang menjadi korban eksploitasi. Akhirnya, Negara Pihak wajib
menyediakan mekanisme pemulihan bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban.
Mekanisme pemulihan itu mencakup pemulihan fisik, kognitif dan psikologis,
rehabilitasi dan reintegritasi sosial termasuk melalui penyediaan pelayanan
perlindungan.
Kelompok kedelapan, kewarganegaraan (Pasal 18). Penyandang disabilitas
berhak untuk bebas keluar masuk suatu negara, termasuk negaranya sendiri dan berhak
atas status kewarganegaraan. Setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas, begitu
lahir berhak untuk diberi nama, memperoleh status kewarganegaraan dan hak untuk
mengetahui orang tuanya.
Kelompok kesembilan, hak sosial dan mobilitas (Pasal 19-20) Penyandang
disabilitas berhak untuk turut serta bermasyarakat dan berinteraksi secara setara, serta
berhak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial masyarakat secara penuh tanpa
hambatan dan rintangan karena disabilitasnya. Mereka juga berhak atas seluruh layanan
publik yang disediakan bagi masyarakat umum lainnya berdasarkan asas kesetaraan.
Penyandang disabilitas juga berhak untuk melakukan mobilitas kemanapun tanpa
hambatan. Maka Negara Pihak wajib menyediakan sarana dan fasilitas agar
penyandang disabilitas tidak terhambat dalam melakukan moblitasnya.
Kelompok kesepuluh, informasi dan ekspresi (Pasal 21). Penyandang disabilitas
bebas untuk mengelurkan pendapat, mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
Negara Pihak oleh karenanya wajib menyediakan sarana yang aksesibel dalam rangka
penikmatan hak tersebut serta penggunaan bahasa isyarat, braile, komunikasi
augmentative termasuk memerintahkan kepada penyedia layanan informasi, manual
ataupur. digital, untuk mengembangkan layanan bagi penyandang disabilitas.
Kelompok kesebelas, integritas pribadi dan keluarga (Pasal 22-23). Penyandang
disabilitas berhak untuk tidak dicampuri urusan pribadinya, termasuk urusan rumah
tangganya, dan korespondensi. Penyandang disabilitas juga berhak untuk secara bebas
116

menentukan status perkawinan termasuk terhadap anak-anak yang mereka lahirkan.


Kelompok kedua belas, pendidikan dan kesehatan (Pasal 24-25). Penyandang
disabilitas berhak atas seluruh fasilitas pendidikan dan Kesehatan. Negara Pihak wajib
menyediakan seluruh sarana dan prasarana termasuk tenaga pendidikan dan kesehatan
yang mampu memberikan layanan yang memadai bagi penyandang disabilitas. Karena
status disabilitasnya, mereka berhak atas layanan yang spesifik sesuai dengan
kebutuhannya demi terpenuhinya hak mereka. Penyandang disabilitas juga berhak atas
layanan pendidikan dan kesehatan yang setara dengan yang diterima oleh orang non-
disabilitas. Jika perlu, justru penyandang disabilitas berhak atas layanan lebih dalam
rangka mencapai kesetaraan penikmatan hak mereka.
Kelompok ketiga belas, pekerjaan dan kehidupan yang layak (Pasal 27-28).
Penyandang disabilitas berhak untuk bekerja. Negara Pihak wajib melindungi dan
memajukan pemenuhan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Diskriminasi
dalam pekerjaan atas dasar disabilitas juga harus dilarang. Hak atas pekerjaan ini terkait
hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Pekerjaan yang baik, struktur
penggajian yang baik akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan ekonomi
penyandang disabilitas. Oleh karenanya, perlu pengembangan skema kebijakan untuk
mewajibkan negara dan pihak swasta dalam mengembangkan pelibatan seluas-luasnya
bagi penyandang disabilitas aalam sektor kerja.
Kelompok keempat belas, politik (Pasal 29). Penyandang disabilitas berhak
untuk turut serta dalam kehidupan publik. Ia berhak untuk memilih dan dipilih. Oleh
karenanya, wajib dilakukan upaya penyetaraan media dan prosedur pemilihan yang
memungkinkan penyandang disabilitas dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara
bebas dan setara.
Kelompok kelima belas , budaya (Pasal 30). Penyandang disabilitas berhal
untuk berpartisipasi dalam kebudayaan, rekreasi, hiburan dan olahraga Mereka berhak
untuk menikmati film, teater, dan kegiatan kebudayaan lain Mereka juga berhak atas
akses ke tempat-tempat pertunjukan atau pelayanar budaya, seperti teater, museum,
bioskop, perpustakaan, jasa pariwisata monumen dan tempat yang memiliki nilai
budaya penting.

4. Mekanisme Pengawasan

Konvensi ini mengakui enam mekanisme pengawasan yaitu Komite Laporan


Negara, Rekomendasi Umum, Kerja Sama Komite dengan Negan Pihak, Pelibatan
Badan atau Organ Khusus, dan Konferensi Negara Pihak Penjelasan masing-masing
mekanisme sebagai berikut.
a. Komite Hak Penyandang Disabilitas (Committee on the Rights of Person. with
Disabilities)
Komite ini terdiri dari 12 orang pakar, pada awal pengesahannya dan akan
ditambah 6 orang lagi sehingga menjadi 18 orang setelah Konvensi diratifikasi oleh
60 negara. Para anggota Komite ini bekerja dalam kapasitas pribadi dengan
117

mempertimbangkan perimbangan geografis, perimbangan gender, dan partisipasi


para ahli disabilitas Para anggota Komite dinominasikan oleh Negara Pihak dan
akan dipilih secara rahasia oleh perwakilan Negara Pihak dengan difasilitas oleh
Sekretaris Jenderal PBB. Anggota Komite akan bekerja selama 4 tahun, dan
setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan, namun 6 orang dari
anggotanya harus diakhiri jabatannya pada akhir dua tahun untuk digantikan
dengan anggota yang baru

b. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak pada Konvensi wajib menyusun dan mengirimkan laporan negara
kepada Komite melalui Sekretaris Jenderal PBB yang berisi langkah legislatif dan
administratif yang telah diambil dalam rangka memenuhi ketentuan Konvensi.
Laporan ini harus diserahkan dalam waktu dua tahun setelah melakukan ratifikasi,
dan setelah itu setiap empat tahun sekali Negara Pihak harus mengirimkan laporan
berkalanya.

c. Rekomendasi Umum (General Recomendation)


Komite wajib menyusun rekomendasi umum berisi saran yang dapat
dipertimbangkan secara layak oleh Negara Pihak. Rekomendasi umum ini disusun
berdasarkan laporan negara yang telah dikirimkan oleh Negara Pihak.

d. Kerja Sama antara Negara Pihak dan Komite (Cooperation between States
Parties and Committee)
Berbeda dengan Konvensi lain, Konvensi ini mengamanatkan adanya kerja sama
antara Negara-negara Pihak dengan Komite dalam rangka memenuhi mandat
mereka. Komite wajib memberikan saran dan pertimbangan dalam rangka
meningkatkan kapasitas Negara Pihak dalam memenuhi ketentuan Konvensi.

e. Pelibatan Badan Khusus PBB (Relationship with other Bodies)


Komite diberi kewenangan untuk bekerja sama dan/atau melibatkan badan-badan
atau organ-organ khusus yang memiliki kompetensi agar mereka memberikan
masukan atas kerja-kerja Komite. Mereka diundang untuk membantu menyusun
rekomendasi umum yang akan diserahkan kembali ke Negara Pihak.

f. Konferensi Negara-negara Pihak (Conference of State Parties)


Konvensi ini juga memiliki satu mekanisme baru yaitu pertemuan reguler antara
Negara-negara Pihak untuk merumuskan berbagai masalah termasuk kerja sama
internasional dalam rangka pemenuhan ketentuan Konvensi. Konvensi memberikan
ketentuan bahwa pertemuan reguler pertama harus dilakukan pada enam bulan
setelah Konvensi disahkan.
118

J. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari


Penghilangan Secara Paksa

1. Sejarah Pengesahan

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan


Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from
Enforced Disappearance or CED) diadopsi dengan Resolusi Majelis Umum PBB
A/RES/61/177 pada 20 Desember 2006. Konvensi ini belum diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia. Konvensi ini dibuat sebagai dokumen yang mengikat secara
hukum (legally binding) dari dokumen deklaratif yang telah ada sebelumnya yaitu
Deklarasi tentans Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan
Secara Paksa yang diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 47/133
tertanggal 18 Desember 1992.

2. Prinsip-prinsip Dasar

Prinsip utama Konvensi ini adalah universalitas. Pasal 1 Konvensi berbunyi


"Tidak ada setiap orang pun boleh dihilangkan secara paksa" Konvensi ini mengakui
bahwa setiap orang, dengan identitas apa pun pilihan politik apa pun, warga negara
manapun dan segala macam identitas lainnya, berhak untuk tidak menjadi korban
penghilangan secara paksa.
Prinsip ini juga dimaknai bahwa tidak ada pengecualian untuk dibolehkan
melakukan penghilangan orang secara paksa. Kondisi perang atau ancaman perang,
situasi politik tidak stabil atau situasi darurat lain apa pun bentuknya tidak dapat
menjadi alasan pembenar untuk melakukan penghilangan orang secara paksa.

3. Kategori Hak

Berdasarkan Konvensi ini, terminologi penghilangan secara paksa dimaknai


sebagai penangkapan, penahanan, penculikan atau tindakan lain yang merampas
kebebasan yang dilakukan oleh aparat negara atau oleh orang-orang maupun kelompok
yang melakukannya dengan mendapat kewenangan, dukungan serta persetujuan dart
negara, yang diikuti dengan penyangkalan pengetahuan terhadap adanya tindakan
perampasan kebebasan atau upaya menyembunyikan nasib serta keberadaan orang yang
hilang sehingga menyebabkan orang-orang hilang tersebut berada di luar perlindungan
hukum.
Kategori hak yang diakui oleh Konvensi ini hanya satu yaitu hak untuk tidak
dihilangkan secara paksa. Sebagai turunan, ada dua hak yang sangat penting yaitu hak
untuk tidak ditahan di tahanan rahasia (Pasal 1 ayat (1)) dan hak untuk mendapatkan
pemulihan yang efektif (Pasal 17, 2(f) dan Pasal 20 ayat (2)). Konvensi juga memberi
perhatian khusus Dada hak korban. Korban sendiri dimaknai sebagai orang yang hilang
119

atau rang lain yang mengalami kerugian sebagai akibat tindakan penghilangan paksa
(Pasal 24).
Sebagian besar pasal yang lain berbicara mengenai kewajiban Negara Pihak,
mulai dari kewajiban advokatif melalui kebijakan legislatif dan administratif, hingga
kewajiban yudisial untuk memastikan proses peradilan kepada pelaku penghilangan
orang secara paksa berjalan secara fair dan adil.
Konvensi memberikan ketentuan bahwa penghilangan orang secara paksa yang
terjadi secara masif dan sistematis harus dimasukkan ke dalam Kategori kejahatan
terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum pidana Internasional sebagaimana diatur
dalam Statuta Roma. Untuk itu, Negara Pihak harus melakukan proses kriminalisasi
terhadap tindakan penghilangan orang secara paksa. Negara juga harus memastikan
bahwa pelaku akan bertanggung jawab secara pidana atas perbuatannya. Pelaku ini
tidak hanya pelaku utama, namun juga semua orang yang diduga terlibat seperti orang
yang memerintahkan, meminta atau mendorong terjadinya tindakan penghilangan
paksa, percobaan untuk melakukan penghilangan paksa, atau semua pihak/kaki tangan
yang terlibat dalarn upaya penghilangan paksa.
Pelaku ini juga termasuk pimpinan yang mengacuhkan informasi bahwa
bawahannya melakukan penghilangan orang secara paksa dan ia gagal mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dan rasional untuk mengantisipasi, menekan dan
memerintahkan untuk menghentikan tindakah penghilangan orang secara paksa.
Pasal 12 Konvensi memberi amanah kepada Negara Pihak untuk memastikan
bahwa setiap orang yang mengadukan dugaan terjadinva penghilangan orang secara
paksa, termasuk saksi, keluarga orang yang diduga hilang, pengacara dan
penyelidik/penyidik berhak atas perlindungan yang memadai. Semua orang itu harus
dipastikan terlindung dari segala macam intimidasi dari pihak manapun. Pasal ini
menjadi penting karena pada banyak kasus, penghilangan orang secara paksa sering
kali dilakukan atau disuruhlakukan oleh seseorang yang memilik kekuasaan dan
kewenangan yang tinggi. Pasal ini juga mengatur bahwa aparat kepolisian harus
mengambil tindakan aktif jika ada dugaan penghilangan orang yang secara paksa
walaupun tanpa aduan dari pihak manapun termasuk keluarga korban.
Konvensi mengatur soal ekstradisi. Pada pokoknya kejahatan penghilangan
secara paksa tidak boleh dianggap sebagai kejahatan politik yang mendapatkan porsi
keistimewaan karena pelakunya adalah pejabat negara. Ia harus dipandang sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan (murni pidana) sehingga pelaku tidak boleh
memanfaatkan jabatannya untuk tnemengaruhi proses ekstradisi antarnegara. Bagi
Negara Pihak, ia harus rnemasukkan kejahatan penghilangan secara paksa ke dalam
perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh Negara Pihak dengan negara lain.
Pasal 16 Konvensi mengatur tentang non-refoulement principle. Prinsip ini
dimaknai bahwa Negara Pihak tidak dapat mengusir, mengembalikan. atau
mengekstradisi seseorang ke negara lain di mana terdapat alasan yang meyakinkan
bahwa seseorang tersebut akan berada dalam bahaya atau dapat dihilangkan secara
paksa. Untuk proses pengembalian orang ke negara asal, maka upaya serius untuk
120

melakukan perkiraan (assesment) semua hal yang relevan, termasuk data pelanggaran
atau potensi pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
mencolok, masif, atau pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional yang
diduga dilakukan oleh negara yang akan dituju.
Konvensi juga memberikan panduan bagi negara untuk mengatur setiap upaya
pengekangan kebebasan seseorang, misalnya syarat dibolehkannya melakukan
pemasungan, pihak yang berwenang melakukan pemasungan, memastikan akses pihak
lain kepada orang yang kebebasannya dipasung oleh negara. Prinsip pokok yang
penting adalah setiap orang tidak boleh ditahan di tahanan rahasia. Jika ada orang yang
dipasung kebebasannya, maka pihak yang berwenang harus membuat informasi yang
dapat diakses mengenai identitas orang yang dipasung termasuk tanggal, waktu dan
lokasi penahanan, dan tanda tangan resmi dari pihak yang berwenang melakukan
penahanan. Informasi ini harus disampaikan kepada pihak keluarga, wali atau
pengacara yang melakukan oembelaan atas kasus tersebut.
Konvensi memberi penjelasan detail tentang hak-hak korban (Pasal 24). Korban
memiliki hak untuk mengetahui kebenaran terkait dengan situasi penghilangan paksa,
kemajuan dan hasil proses penyelidikan dan orang yang hilang. Hak ini menuntut
dilaksanakannya kewajiban Negara Pihak untuk melakukan tindakan dalam rangka
mencari, menemukan, dan melepaskan orang hilang dan, dalam kasus korban sudah
meninggal, untuk menemukan, menghormati, dan mengembalikan jasad atau sisa
mereka. Korban juga berhak atas pemulihan dan kompensasi. Pemulihan tersebut
mencakup aspek material dan psikologis serta aspek lain dari reparasi seperti restitusi,
rehabilitasi, kepuasan termasuk pemulihan martabat dan reputasi, dan jaminan tidak
akan mengalami hal yang sama.

4. Mekanisme Pengawasan

Konvensi mengakui lima jenis metode pengawasan yaitu pembentukan Komite,


laporan individu, dan laporan negara. Penjelasan sederhananya sebagai berikut.
a. Komite untuk Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances)
Komite untuk Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances) terdiri
dari 10 orang ahli dengan moral dan kompetensi yang tinggi dalam bidang hak asasi
manusia dan bekerja dalam kapasitas pribadi mereka, bebas dan tidak memihak.
Anggota Komite dipilih dari Negara Pihak dengan memerhatikan kesetaraan
distribusi geografis dan catatan pengalaman keahlian hukum dan juga pertimbangan
keterwakilan gender. Anggota Komite dipilih secara rahasia oleh Negara Pihak
yang difasilitasi oleh Sekretaris Jenderal PBB. Anggota Komite akan bekerja
selama empat tahun. 5 orang angota Komite akan berhenti pada akhir tahun kedua.
Mereka berhak untuk mendapatkan fasilitas, keistimewaan dan kekebalan layaknya
ahli yang bertugas untuk dan atas nama PBB.
121

Di dalam melaksanakan kewenangannya, Komite dapat bekerja sama dengan


badan-badan terkait, kantor, dan agensi khusus PBB, dengan badan traktat yang
diatur oleh instrumen internasional, dengan prosedur khusus PBB, dan dengan
organisasi inter-pemerintah regional atau badan-badan terkait, sebagaimana dengan
seluruh institusi, agensi, dan kantor negara yang relevan yang bekerja untuk
melindungi orang-orang dari penghilangan paksa.

b. Laporan Negara (State Report)


Negara Pihak berkewajiban untuk menyerahkan sebuah laporan yang berisi
langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak dalam mengimplementasikan
amanah Konvensi serta kendala yang dihadapi. Laporan ini akan dianalisis oleh
Komite untuk dirumuskan komentar, pandangan dan rekomendasi bagi Negara
Pihak. Komite berwenang untuk meminta informasi kepada Negara Pihak atas
pelaksanaan isi Konvensi dalam rangka memperkuat rekomendasi dan masukan
kepada negara tersebut.

c. Permohonan (Request)
Komite berhak menerima pengaduan dan permohonan agar seseorang yang
mengalami penghilangan secara paksa untuk dicari dan ditemukan secara cepat.
Permohonan ini dapat dikirimkan oleh keluarga orang hilang tersebut atau
perwakilan hukumnya, penasihatnya atau setiap orang yang diberi kuasa, maupun
oleh orang lain yang memiliki kepentingan sah. Permohonan ini akan terima
dengan syarat:
1) Permohonan ditulis secara jelas.
2) Tidak menimbulkan penyalahgunaan jaminan normatif hak.
3) Telah dilaporkan kepada pihak yang berwenang di level domestik.
4) Tidak bertentangan dengan substansi Konvensi.
5) Tidak sedang dievaluasi di bawah prosedur hukum internasional yang lain.

d. Komunikasi Individual (Individual Communication)


Komite berwenang menerima dan mempertimbangkan komunikasi yang dikirimkan
oleh individu yang mengklaim diri menjadi korban pelanggaran hak sebagaimana
diatur Konvensi ini." Komite akan menolak komunikasi (inadmissible) yang
dikirimkan jika:
1) Komunikasi tanpa nama.
2) Komunikasi menyebabkan penyalahgunaan hak pengaduan.
3) Komunikasi tersebut sedang dievaluasi melalui prosedur penyelidikan atau
penyelesaian internasional lain.
4) Upaya domestik belum selesai digunakan.
122

e. Kunjungan Negara (Country Visit)


Ketika Komite menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa telah terjadi
pelanggaran terhadap substansi Konvesi, Komite dalam mengirimkan anggotanya
untuk mengunjungi Negara Pihak tersebut dan segera membuat laporan atas hasil
kunjungan tersebut.

K. Mekanisme Berdasarkan Traktat (TrealyBased Mechanism) dan Mekanisme


Berdasarkan Piagam (Charter Based Mechanism) Bagi Pengawasan Penegakan
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Hukum hak asasi manusia internasional dilengkapi dengan mekanisme


pengawasan yang digunakan untuk memastikan bahwa negara anggota PBB, khususnya
mereka yang telah menjadi Negara Pihak pada instrumen tertentu untuk menerapkan
standar norma hak asasi manusia di negara masing-masing. Secara umum, terdapat dua
mekanisme yang tersedia di bawah hukum hak asasi manusia internasional yaitu
mekanism, berdasarkan traktat (treaty based mechanism) dan mekanisme berdasarkan
piagam (charter based mechanism). Penjelasannya sebagai berikut
1. Mekanisme berdasarkan traktat (treaty based mechanism) dimakna sebagai sebuah
mekanisme pengawasan penegakan hukum hak asasi manusia yang disediakan oleh
dan dibentuk berdasarkan trakta internasional tentang hak asasi manusia
(international human right treaties) . Traktat yang dimaksud adalah merujuk pada
kovenan dan konvensi hak asasi manusia internasional.
2. Mekanisme berdasarkan piagam (charter based mechanism) dimakna sebagai
mekanisme pengawasan penegakan hukum hak asasi manusia yang dibentuk
berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Charter).
Dua mekanisme tersebut dibuat sebagai respons dan komitmen internasional
bahwa isu hak asasi manusia adalah isu yang penting khususnya pasca Perang Dunia II
yang memorak-porandakan dunia pada masa itu. Pada beberapa hal, dua mekanisme
tersebut memunculkan kerumitan tersendiri, namun di sisi lain, banyaknya institusi
yang berwenang dan memiliki tugas terkait penegakan hukum hak asasi manusia juga
dapat menjadi alternatif bagi para korban pelanggaran dan aktivis hak asasi manusia
untuk memperjuangkan hak-hak para korban. Penjelasan atas mekanisme tersebut
adalah sebagai berikut.

1. Mekanisme Berdasarkan Traktat (Treaty Based Mechanism)

Merujuk pada penjelasan-penjelasan sebelumnya pada bab ini, maka secara


sederhana dapat dikatakan bahwa mekanisme pengawasan hak asasi manusia
internasional berdasarkan traktat adalah mekanisme yang dibentuk berdasarkan dan
oleh perjanjian internasional tentang hak asasi manusia. Perjanjian itu antara lain
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP); Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB); Konvensi Internasional tentang
123

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminiasi Rasial; Konvensi tentang Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat; Konvensi tentang Hak Anak; Konvensi tentang Perlindungan
Pekerja Migran dan Keluarga Mereka; Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas,
dan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan
Secara Paksa.
Berdasarkan penjelasan huruf B-J BAB III buku ini, dapat disimpulkan bahwa
mekanisme pengawasan berdasarkan traktat berpusat pada pendirian Komite dan
kewenangannya sebagaimana diamanahkan oleh semua Kovenan dan Konvensi.
Sebagai rujukan, berikut adalah penjelasan singkat atas Komite dan kewenangannya
serta beberapa mekanisme khusus yang diamanahkan dibentuk oleh Kovenan dan
Konvensi.

a. Komite (Committee) dan Sub Komite (Sub Committee)

Komite adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan dan


Konvensi. Anggota Komite pada umumnya adalah pakar yang memiliki integritas
moral tinggi dan diangkat berdasarkan kapasitas personal dan tidak mewakili negara
maupun daerah darimana ia berasal. Anggota Komite diusulkan oleh Negara Pihak dan
akan dipilih secara tertutup oleh Negara Pihak tersebut dengan difasilitasi oleh
Sekretaris Jenderal PBB. Anggota Komite dipilih berdasarkan representasi wilayah
Negara-negara Pihak dengan masa jabatan tertentu dan dapat dipilih kembali untuk satu
kali masa jabatan.

Mekanisme hukum hak asasi manusia juga mengenal yang disebut sebagai Sub
Komite Pencegahan Penyiksaan (Sub Committee on the Prevention of Torture) yang
hanya dikenal sebagai lembaga pendukung Komite Menentang Penyiksaan. Hal ini
diatur dalam Protokol Tambahan Konvensi yang disahkan pada tahun 2006.
Berdasarkan penjelasan pada subbab sebelumnya, terdapat sepuluh lembaga
yang memiliki kewenangan untuk melakukan mekanisme pengawasan berdasarkan
traktat. Lembaga ini antara lain:
1) Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee/CCPR).
2) Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic, Social and
Cultural Rights/CESCR).
3) Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on the Elimination of Racial
Discrimination/CERD).
4) Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the
Elimination of Discrimination against Women/CEDAW).
5) Komite Melawan Penyiksaan (Committee against Torture/CAT).
6) Sub Komite Pencegahan Penyiksaan (Sub Committee on Prevention of Torture/
SPT).
124

7) Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child/CRC).


8) Komite Pekerja Migran (Committee on Migrant Workers/CMW).
9) Komite Hak Penyandang Disabilitas (Committee on the Rights of Persons with
Disabilities/CRPD).
10) Komite Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances/CED).

b. Laporan Negara (State/Country Report)

Laporan Negara adalah sebuah dokumen yang harus dibuat oleh sebuah negara
setelah melakukan ratifikasi atas Kovenan maupun Konvensi. Laporan Negara ini pada
pokoknya berisi tindakan legislatif, administratif, maupun yudisial yang telah dilakukan
oleh Negara Pihak sebagai bentuk tindak lanjut atas ratifikasi Kovenan maupun
Konvensi. Laporan Negara ini akan dikirimkan kepada Komite melalui Sekretaris
Jenderal PBB untuk ditelaah dan ditindaklanjuti jika ada temuan-temuan yang menarik
bagi Komite.
Laporan Negara merupakan alat pengawasan berdasar perjanjian yang paling
utama. Fungsi Laporan Negara ini setidaknya ada enam antara lain sebagai berikut.
1) Untuk melakukan supervisi implementasi domestik terhadap kewajiban
internasional pada level nasional dan internasional.
2) Evaluasi reguler terhadap hukum dan praktiknya pada level domestik.
3) Mengidentifikasi masalah.
4) Merumuskan kebijakan hak asasi manusia.
5) Telaah cermat oleh publik pada level internasional.
6) Pertukaran informasi dan komunikatif dialog.

c. Pengaduan Individu atau Komunikasi Individu (Individual Complaint/


Communication)

Pengaduan atau Komunikasi Individu adalah laporan yang dikirimkan oleh


seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh negara di mana negara tersebut telah
menjadi Negara Pihak pada Kovenan atau Konvensi. Hal yang perlu dicatat adalah
bahwa pengaduan individu ini hanya dapat dikirimkan oleh seseorang yang negaranya
telah menyatakan untuk tunduk pada kewenangan Komite. Komite bukanlah
pengadilan, maka basil akhirnya adalah bukan putusan tetapi komentar atau
rekomendasi umum. Walaupun demikian, suatu negara akan merasa dipermalukan di
fora internasional jika banyak laporan pelanggaran hak asasi manusia yang negara
tersebut lakukan. Maka dalam beberapa hal, mekanisme ini lebih banyak ingin member
pengaruh penamaan (naming) dan mempermalukan (shaming) negara yan: dianggap
banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Fungsi dari mekanisme pengaduan individu ini antara lain:
1) Memberi pertolongan kepada seseorang yang menjadi korban pelanggaran hak asasi
manusia.
125

2) Cara untuk menginterpretasikan norma hukum hak asasi manusia yang bersifat
normatif melalui kasus-kasus nyata.
3) Mendorong perubahan hukum dan praktiknya pada level nasional.
4) Efek preventif pada level nasional.

Secara umum, pengaduan individu ini dapat diterima oleh Komite dengan
syarat:
1) Kandas atau buntunya mekanisme pemulihan domestik (exhausted of domestic
remedies).
2) Diajukan oleh korban.
3) Memenuhi asas tertentu seperti alasan materiil (rationemateriae), orang yang
menjadi korban (personae), waktu (temporis), dan tempat (loci).
4) Terpenuhinya alasan/bukti hukum minimal.
5) Tidak diajukan tanpa nama.
6) Tidak sedang diajukan ke mekanisme internasional yang lain.

d. Komentar dan Rekomendasi Umum (General Comment)

Komentar Umum (General Comment) adalah konsekuensi dari kewenangan


Komite untuk menerima laporan negara dan pengaduan individu. Komentar Umum ini
berisi panduan dan interpretasi atas berbagai istilah dan kategori hak yang diatur pada
berbagai Kovenan atau Konvensi. Komentar Umum tidak mengikat secara hukum,
namun komentar tersebut merupakan interpretasi autentik dan panduan mengenai
bagaimana substansi Kovenan atau Konvensi harus diterapkan oleh Negara-negara
Pihak.
Istilah Komentar Umum digunakan hampir semua Kovenan dan Konvensi,
namun Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan menggthiakan istilah Rekomendasi Umum (General Recomendation).

e. Pengaduan Antarnegara (Interstate Complaint)

Pengaduan antarnegara juga diakui oleh seluruh Kovenan atau Konvensi.


Pengaduan ini dimaknai bahwa suatu negara dapat mengadukan negara lain yang
diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia kepada Komite tertentu. Pada
dasarnya, pengaduan antarnegara ini akan diselesaikan secara diplomatik. Negara yang
mengadu dan yang diadukan akan diberi waktu untuk menyelesaikan aduan tersebut.
Namun jika tidak ada respons dan/atau tidak ada jalan keluar, maka Komite dapat
mengambil alih bahkan, dalam situasi ekstrem, Komite dapat melibatkan organ PBB
lain untuk menyelesaikan aduan tersebut.

f. Pelibatan Organisasi Internasional (Involvement of International Non-


Governmental Organisations)
126

Mekanisme ini dikenal dalam Konvensi tentang Perlindungan Pekerja Migran


dan Keluarganya, dan Konvensi Hak Anak. Komite dalam menyelesaikan aduan atau
menyusun komentar umum dapat melibatkan organisasi internasional lain seperti
Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organisation/ILO) atau
Organisasi Dana Anak-anak PBB (United Nation Children's Fund/UNICEF).

g. Sistem Kunjungan (System of Visit)

Mekanisme kunjungan ini dikenal dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan


Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak dan Merendahkan Martabat
melalui Protokol Tambahan Tahun 2002 dan Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa. Anggota Komite
Menentang Penyiksaan dan Komite Penghilangan Paksa, berdasarkan data dan
informasi yarn diterima, dapat secara aktif melakukan kunjungan ke penjara di Negan
Pihak pada Konvensi untuk mengecek dan melakukan klarifikasi atas bagaimana
kondisi dan perlakuan yang diterima oleh para narapidan, selama menjalani masa
pemidanaan di lembaga pemasyarakatan penjara. Setelah melakukan kunjungan,
anggota Komite tersebut akar memberikan masukan kepada pemerintah untuk
melakukan perbaikan atau justru memberikan apresiasi atas kinerja mereka dalam
memenuh hak-hak narapidana di lembaga pemasyarakatan. Sistem kunjungan ini
dilakukan dengan tujuan untuk melakukan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia
yang serius seperti penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan lain-lain.

h. Prosedur Inkuiri (Inquiry Procedure)

Mekanisme Prosedur Inquiri ini dikenal dalam Konvensi tentang Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Prosedur Inkuiri adalah mekanime mencari fakta. Beberapa
kalangan Indonesia sering menggunakan istilah ‘misi pencari fakta'. Prosedur
memungkinkan Komite Menentang Penyiksaan dan Komite Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk membentuk tim ad hoc yang akan
diberi tugas untuk melakukan `penyelidikan' atas dugaan terjadinya penyiksaan atau
diskriminasi yang meluas dan masih di suatu Negara Pihak pada Konvensi. Tim ini
akan bekerja dalan kapasitas pribadi dengan perlindungan sepenuhnya dari PBB dan
merek berkewajiban menyusun laporan yang akan ditelaah oleh Komite dan jika
diperlukan akan dibawa ke mekanisme PBB lain yang lebih kuat, misalnya sidang
Majelis Umum.
127

i. Kerja Sama antara Negara Pihak dan Komite (Cooperation between States
Parties and Committee)

Mekanisme ini diperkenalkan oleh Konvensi tentang Hak Penyandang


Disabilitas. Mekanisme ini berangkat dari pemikiran bahwa pemenuhan hak
penyandang disabilitas membutuhkan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan
(stakeholder). Oleh karena itu, Komite Penyandang Disabilitas akan memberikan
pendampingan/asistensi kepada Negara Pihak yang akan melakukan perbaikan dalam
memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.

j. Pelibatan Badan Khusus PBB (Relationship with other Bodies)

Mekanisme ini juga diperkenalkan oleh Konvensi tentang Hak Penyandang


Disabilitas. Mekanisme ini dibuat untuk memungkinkan Komite dan Negara Pihak
pada Kovenan untuk meminta bantuan kepakaran (expertise) dari lembaga PBB yang
lain dalam rangka meningkatkan standar pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Misalnya, terkait hak atas pendidikan bagi anak yang menyandang disabilitas, maka
Komite Penyandang Disabilitas akan mengundang Organisasi Dana Anak-anak PBB
(United Nation Children's Fund /UNICEF) . Untuk isu hak atas pekerjaan bagi
penyandang disabilitas, Komite akan mengundang Organisasi Buruh Internasional
(International Labour Organisation/ILO) .

k. Konferensi Negara-negara Pihak (Conference of State Parties)

Sama seperti dua mekanisme sebelumnya, mekanisme konferensi ini


diperkenalkan oleh Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas. Mekanisme ini
diajukan dengan alasan bahwa saat ini, penyandang disabilitas adalah komunitas yang
paling rentan di seluruh dunia. Pada sisi lain, masih sedikit pakar yang ahli dalam
memberikan rekomendasi perbaikan layanan publik yang dibutuhkan berdasarkan
prinisp inklusifitas dan partisipasi. Oleh karenanya, Konvensi tentang Hak Penyandang
Disabilitas memperkenalkan sebuah mekanisme di mana seluruh pemangku
kepentingan dapat berkumpul bersama dalam kegiatan konferensi internasional untuk
merumuskan indikator dan rumusan kebijakan yang dapat diaplikasikan di Negara-
negara Pihak pada Kovenan.

2. Mekanisme Berdasarkan Piagam (Charter Based Mechanism)

Mekanisme Berdasarkan Piagam adalah mekanisme yang didasarkar pada


perintah Pasal 7 Piagam PBB. Pada skema makro, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Piagam,
terdapat 6 lembaga yang masuk kategori ini, yaitu:
a. Majelis Umum
b. Dewan Keamanan
128

c. Dewan Ekonomi dan Sosial


d. Dewan Perwalian
e. Mahkamah Internasional
f. Sekretariat
Keenam lembaga di atas tidak secara langsung merupakan instrumen penegakan
hukum hak asasi manusia, namun sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) lembaga-lembaga
tersebut berkewajiban untuk tetap menjadikan asasi manusia sebagai pedoman juga
memastikan tujuan PBB tecapai Piagam PBB menentukan bahwa tujuan didirikannya
PBB adalah untuk mencapai kerja sama internasional dalam rangka menyelesaikan
masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya atau karakter kemanusiaan, dan
mempromosikan dan memperkuat penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental tanpa pembedaan berdasarkan ras, jenis kelamin bahasa, atau agama.
Selain mekanisme di atas, terdapat beberapa lembaga dan mekanism yang
dibangun untuk mengawasi penegakan hak asasi manusia antara lain
a. Dewan Hak Asasi Manusia
b. Telaah Universal
c. Prosedur Khusus pada Dewan Hak Asasi Manusia
d. Prosedur Penanganan Pengaduan pada Dewan Hak Asasi Manusia
Penjelasan sederhana atas berbagai mekanisme dan lembaga di atas sebagai
berikut.
a. Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council)
Dewan Hak Asasi Manusia adalah lembaga antarpemerintah di PBB yang
bertanggung jawab untuk memperkuat promosi dan perlindungan hak asasi manusia
di seluruh dunia dan untuk mencatat situasi pelanggaran hak asasi manusia dan
membuat rekomendasi untuk mengatasinya. Mereka memiliki jadwal pertemuan di
Genewa untuk mendiskusikan tema, isu dan situasi hak asasi manusia di seluruh
dunia. Dewan Hak Asasi Manusia terdiri dari 47 Anggota PBB yang dipilih oleh
Majelis Umum PBB. Dewan Hak Asasi Manusia ini menggantikan Komisi Hak
Asasi Manusia yang telah dibentuk sebelumnya.

Lembaga ini didirikan pada 15 Maret 2006 melalui Resolusi 60/251. Dewan Hak
Asasi Manusia akan bekerja melalui mekanisme Telaah Universal Berkala
(Universal Periodic Review) untuk melihat dan mempertimbangkan situasi hak
asasi manusia di seluruh Negara Anggota PBB. Terdapat juga Komite Pengawas
(Advisory Committee) yang akan berperan sebagai tim inti (think tank) yang akan
menggunakan keahliannya dan nasihatnya melalui isu-isu tematik dan Prosedur
Pengaduan (Complaint Procedure) yang memungkinkan seseorang dan organisasi
yang merasa haknya terlanggar untuk menyampaikan hal tersebut kepada Dewan.
Dewan juga bekerja dengan Prosedur Khusus (Special Procedures), prosedur
warisan dari Komisi Hak Asasi Manusia, yang bertugas untuk mengawasi, menguji,
memberi nasihat dan membuat laporan umum tentang isu dan situasi hak asasi
manusia pada negara-negara tertentu.
129

b. Telaah Universal Berkala (Universal Periodic Review/UPR)


Mekanisme Telaah Universal Berkala adalah mekanisme saling uji antarnegara
dengan bantuan Dewan Hak Asasi Manusia yang memberi ruang kepada seluruh
negara untuk menyatakan tindakan apa saja yang telah mereka lakukan untuk
meningkatkan situasi hak asasi manusia di negara mereka dan untuk memenuhi
kewajiban hak asasi manusia mereka. Mekanisme Telaah Universal Berkala dibuat
sebagai cara untuk memastikan perlakuan yang setara bagi negara anggota PBB
bahwa jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia di negara mereka, maka mereka
akan diuji oleh negara lain.

Mekanisme Telaah Universal Berkala dibuat pada 15 Maret 2005 melalui Resolusi
Majelis Umum PBB 60/251. Hingga saat ini, mekanisme ini adalah mekanisme
paling berpengaruh dan ia menjadi elemen kunci untuk menuntut Negara Pihak
pada berbagai Kovenan/Konvensi untuk menghormati dan mengimplementasikan
kewajiban hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Tujuan utama dari
mekanisme ini adalah untuk meningkatkan situasi hak asasi manusia di seluruh
negara dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.

c. Prosedur Khusus (Special Procedure)


Prosedur Khusus adalah salah satu mekanisme pada Dewan Hak Asasi Manusia
yang independen dengan mandat untuk membuat laporan dan nasihat mengenai isu
tematik atau situasi negara tertentu dengan perspektif tertentu pula. Prosedur
Khusus ini dibuat untuk memastikan bahwa negara anggota PBB wajib membuka
diri untuk atas kehadiran Prosedur Khusus dengan semangat kerja sama, transparan
dan akuntabilitas untuk meningkatkan kapasitas negara anggota dalam menangani
isu hak asasi manusia.

Prosedur Khusus ini memiliki mekanisme pendukung yaitu Pelapor Khusus


(Special Rapporteur), Ahli Independen (Independent Expert) dan Kelompok Kerja
(Working Group). Setiap orang yang dipilih untuk bekerja pada ketiga model
tersebut, mereka bekerja atas nama pribadi, dan tidak mewakili negara, untuk
memastikan independensi, efisiensi, kompetensi dan integritas melalui ketulusan,
imparsialitas, kejujuran, dan sifat amanah mereka.

Anggota Prosedur Khusus ini dapat mengunjungi Negara-negara Pihak, dengan


dukungan dari Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (High Commissioner of
Human Rights/OHCHR), untuk menguji kasus-kasus tertentu dari dugaan
pelanggaran hak asasi manusia atau isu-isu besar lain dengan mengirimkan nota
komunikasi kepada Negara Pihak.
130

d. Prosedur Pengaduan (Complaint Procedure)


Pada 18 Juni 2007, Dewan Hak Asasi Manusia mendirikan sebuah mekanisme baru
yaitu Prosedur Pengaduan melalui Resolusi 5/1 berjudul Institution-Building of the
United Nations Human Rights Council. Prosedur Pengaduan ini menerima
komunikasi yang dikirimkan oleh individu, kelompok, atau lembaga swadaya
masyarakat yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia atau mereka yang
memiliki pengetahuan langsung dan dapat dipertanggungjawabkan tentang
pelanggaran tersebut.

Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar komunikasi yang dikirimkan
dapat diterima oleh Dewan Hak Asasi Manusia melalui mekanisme Prosedur
Pengaduan, antara lain:
a. Tidak didorong oleh kepentingan politik dan konsisten dengan semangat Piagam
PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan instrumen hak asasi manusia
yang lain.
b. Menunjukkan gambaran asli tentang pelanggaran, termasuk kategori hak apa yang
diduga dilanggar.
c. Tidak menggunakan bahasa yang kasar atau berisi kalimat fitnah dan penghinaan.
d. Dikirimkan oleh orang atau kelompok yang menjadi korban pelanggaran hak asasi
manusia, atau oleh/sekelompok orang jujur yang memiliki pengetahuan dan dapat
dipertanggungjawabkan tentang pelanggaran yang terjadi.
e. Tidak hanya didasarkan pada laporan oleh media massa.
f. Tidak dimaksudkan untuk menyangkal proses penyelidikani penyelesaian
pelanggaran serius hak asasi manusia yang sedang dikerjakan oleh Prosedur Khusus
lain, oleh Mekanisme Berdasarkan Perjanjian (Treaty Based Mechanism) atau
mekanisme pengaduan lain yang disediakan oleh PBB dalam bidang hak asasi
manusia.
g. Kandas atau buntunya (exhausted) mekanisme pemulihan domestik.

Anda mungkin juga menyukai