Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

Pendidikan Kewarganegaraan
Hak Asasi Manusia

Dibimbing oleh: Alpiansyah, S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Amanda Nur Safitri
2. Felix Brillian M.
3. Indra Aditiya Nugraha
4. Muhammad Raysi Safari
5. Nabilla Reysa Adellia
6. Risky Prasdhika Saputra

Tahun ajaran 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat-Nya dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema atau materi
yang kita ambil untuk makalah ini adalah Hak Asasi Manusia.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak guru mata pelajaran PKN yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Kami jauh dari kata sempurna dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat
berguna bagi kelompok saya pada khususnya dan juga pihak lain yang berkepentingan
pada umumnya.
DAFTAR ISI

Contents
Hak Asasi Manusia .............................................................................. 4
Sejarah ............................................................................................... 9
Para Pemikir Pencerahan ................................................................. 11
Menjadi Hukum Positif ................................................................... 13
Abad ke 19 Dan Permulaan Abad 20 .............................................. 15
Pasca Perang Dunia II ..................................................................... 17
Landasan Konseptual ...................................................................... 20
Jenis Jenis Hak ................................................................................ 24
Tipologi Kewajiban HAM .............................................................. 30
Hak Asasi Manusia 1

Hak asasi manusia


(disingkat HAM, bahasa Inggris: human rights, bahasa Prancis: droits de l'homme) adalah
sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak
yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia
berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja, sehingga sifatnya universal.
HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut.

Hak asasi manusia juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling
bergantung. Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata
lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti
pelanggaran yang dilakukan oleh swasta.
2
Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan
politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil
(Misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat),
Serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik
(seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak
atas perumahan).

➢ Hak Untuk Hidup


Hak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa
seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan, terutama, tidak seharusnya dibunuh
oleh manusia lainnya. Konsep mengenai hak untuk hidup timbul dalam pembahasan
tentang isu-isu hukuman mati, perang, aborsi, eutanasia, pembunuhan yang dapat
dibenarkan, dan meluas hingga sarana perawatan kesehatan publik.

➢ Hak Kebebasan Berpendapat


Kebebasan berbicara (Inggris: Freedom of speech) adalah kebebasan yang mengacu pada
sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau
pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan
kebencian.

➢ Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya


Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak asasi manusia yang terkait dengan
aspek sosioekonomi dan budaya, seperti hak pendidikan, hak atas perumahan, hak atas
standar hidup yang layak, hak kesehatan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
budaya. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diakui dan dilindungi oleh instrumen-
instrumen hak asasi manusia internasional dan regional.
3
Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak
tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar.
Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak
asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat.

Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang
tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan
keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada
karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut.

Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia sendiri dapat dibatasi atau
dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh
hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan
dalam suatu masyarakat demokratis.

Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang
mengancam "kehidupan bangsa", dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat
ini. Selama perang, Hukum kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex specialis.

➢ Hukum Kemanusiaan Internasional


Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering
kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (bahasa Inggris: international
humanitarian law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi
Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi,
dan hukum kebiasaan internasional yang mengikutinya.
HHI adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan
dalam hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan
kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang Nürnberg.
Dalam pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan
sejumlah hak permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang
berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak
non-penandatangan. Pelanggaran hukum kemanusiaan internasional disebut kejahatan
perang.
4
Masyarakat kuno tidak mengenal konsep hak asasi manusia universal seperti halnya
masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah
konsep hak kodrati yang dikembangkan pada Abad Pencerahan, yang kemudian
memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis.
Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh,
terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun 1948.
➢ Pernyataan Umum Tentang Hak Hak Asasi Manusia (PUHAM)
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia
(Bahasa Prancis: Déclaration universelle des droits de l'homme, Bahasa
Inggris: Universal Declaration of Human Rights; disingkat sebagai UDHR) adalah
sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh Majelis Umum
Persatuan Bangsa-Bangsa (A/RES/217, 10 Desember 1948 di Palais de
Chaillot, Paris). Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal yang menggarisbesarkan
pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM)
kepada semua orang.
5
Pelaksanaan hak asasi manusia di tingkat internasional diawasi oleh Dewan Hak Asasi
Manusia PBB dan badan-badan traktat PBB seperti Komite Hak Asasi Manusia
PBB dan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sementara di tingkat regional, hak
asasi manusia ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Pengadilan Hak
Asasi Manusia Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk
Afrika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) sendiri
telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia saat ini.

➢ Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR


Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(Bahasa Inggris: International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR)
adalah sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966.
Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976 (tiga bulan setelah penyerahan
instrumen ratifikasi atau aksesi yang ketiga puluh lima kepada Sekjen PBB, seperti yang
diatur oleh Pasal 49).

➢ Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR)


Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Bahasa Inggris: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,
disingkat ICESCR) adalah sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 December 1966 dan mulai berlaku
pada tanggal 3 Januari 1976.
Sejarah 6
Upaya untuk menelusuri sejarah hak asasi manusia terganjal oleh perdebatan mengenai
titik awalnya. Secara umum dan abstrak, nilai-nilai yang mendasari hak asasi manusia
(seperti keadilan, kesetaraan, dan martabat) dapat ditemukan dalam berbagai
masyarakat dalam sejarah.
Konsep-konsep yang terkait dengan hak asasi manusia sudah dapat ditelusuri paling
tidak semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Hammurabi di Babilonia pada abad ke-
18 SM, dan juga dengan munculnya kitab-kitab agama.
Apabila yang dijadikan tolok ukur adalah sejarah gagasan bahwa semua manusia
memiliki hak kodrati, konsep ini sudah ada setidaknya dari zaman Yunani Kuno dengan
munculnya pemikiran filsuf-filsuf Stoikisme.
➢ Stoikisme
Stoikisme, juga disebut Stoa (Bahasa Yunani: Στοά) adalah sebuah aliran atau
mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari
Citium pada awal abad ke-3 SM. Ada pula yang mencatat stoikisme baru resmi pada
tahun 108 SM.
Stoikisme populer hingga kurang lebih lima abad (3 SM-3 M), Selanjutnya
mempengaruhi banyak pemikir Kristen, baik dalam dunia akademis maupun sikap
hidup.] Fokus filsafat stoikisme adalah dalam bidang etika. Stoa memiliki perbedaan
tajam dengan gagasan intelektual tua lainnya, yaitu epikureanisme dan skeptisisme.
Stoikisme merupakan aliran filsafat yang paling berhasil dan sangat berpengaruh dalam
aliran Filsafat Yunani Kuno karena relevansinya terhadap sikap manusia dan sistem
pemerintahan saat itu.

Namun, klaim-klaim historis semacam ini telah menuai kritikan karena dianggap
menyamaratakan gagasan mengenai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dengan
konsep hak asasi manusia modern.
7
Apabila sejarah HAM yang ditelusuri adalah sejarah HAM modern yang ditegakkan
secara hukum di tingkat nasional dan internasional saat ini, dapat dikatakan bahwa
sejarahnya bermula dari piagam-piagam yang mencantumkan kebebasan-kebebasan
yang melindungi pemilik hak dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin, dan
dokumen yang mungkin bisa dianggap sebagai titik awalnya adalah Magna
Carta di Kerajaan Inggris dari tahun 1215.

Piagam Magna Carta

Magna Carta Libertatum (Latin untuk "Piagam Besar untuk Kebebasan") atau sering
disebut Magna Carta ("Piagam Besar") adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada
tanggal 15 Juni 1215 yang membatasi monarki Inggris, sejak masa Raja John, dari
kekuasaan absolut.

Namun, Magna Carta pun masih dianggap bermasalah, karena dokumen ini hanya
melindungi para bangsawan yang kuat dari kekuasaan Raja Inggris. Maka dari itu, masa
yang dianggap sangat berpengaruh terhadap konsep HAM modern yang mencakup
semua umat manusia adalah Abad Pencerahan pada abad ke-18 dengan munculnya
tulisan-tulisan karya John Locke yang terkait dengan hukum kodrat.

Pakar hak asasi manusia Eva Brems bahkan membuat pernyataan yang lebih keras
dalam bukunya yang berjudul Human Rights: Universality and Diversity (2001) dengan
menyatakan bahwa "Sumber rumusan hak asasi manusia di tingkat internasional saat ini
sulit untuk ditilik kembali ke masa sebelum Abad Pencerahan, atau di tempat di
luar Eropa dan Amerika.
Para Pemikir Pencerahan 8

Thomas Hobbes
Thomas Hobbes menerbitkan karyanya yang berjudul
Leviathan or The Matter, Forme and Power of a
Common Wealth Ecclesiasticall and
Civil (Leviathan) pada tahun 1651. Dalam buku
tersebut, Hobbes berpendapat bahwa kekuasaan
absolut wajib ada, dan ia menolak gagasan mengenai
pembatasan terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu, ia
menyatakan bahwa semua bawahan seyogianya
tunduk kepada penguasanya, dan ia tidak banyak
bersentuhan dengan hak kodrati.

Walaupun begitu, Hobbes meyakini bahwa penguasa harus menjalankan wewenangnya


secara bertanggung jawab dan dengan mengikuti hukum Allah dan hukum kodrat.
Selain itu, Hobbes dianggap berjasa karena telah memperkenalkan gagasan kontrak
sosial yang menyatakan bahwa penguasa punya wewenang untuk berkuasa karena
rakyat sebelumnya sudah menyatakan kesediaan mereka untuk diperintah.

John Locke
John Locke mengembangkan gagasan ini lebih lanjut
dalam karyanya, Two Treatises of Government,
Yang diterbitkan pada tahun 1689. Locke dikenal
dengan pemikirannya mengenai hak kodrati bahwa
manusia terlahir dengan "kebebasan sempurna" dan
penikmatan hak-hak dan keistimewaan yang "tak
terkendali" dalam keadaan alamiah sebelum adanya
negara. Manusia secara alamiah juga memiliki
kekuatan untuk mempertahankan kehidupan,
kebebasan, dan hak-hak pemilikannya dari ancaman
atau serangan manusia lain.

Ia menolak mentah-mentah klaim bahwa manusia dapat melepaskan hak-hak


kodratinya. Menurutnya, tidak ada orang yang bisa menyerahkan wewenang yang lebih
besar daripada yang dimilikinya. Selain itu, berdasarkan pandangan Locke, tidak ada
satu pun insan yang punya kekuasaan mutlak dan sewenang-wenang terhadap dirinya
9
Sendiri maupun terhadap orang lain sampai-sampai mereka dapat membunuh atau
merampas hak milik orang lain.
Maka dari itu, manusia dianggap tidak dapat menundukkan dirinya kepada kekuasaan
sewenang-wenang orang lain. Dari sini, muncul kesimpulan bahwa manusia masih tetap
mempertahankan kebebasan alamiahnya bahkan ketika mereka hidup di suatu negara,
dan perumusan kontrak sosial untuk mendirikan negara bukan dianggap sebagai
penyerahan hak tanpa syarat seperti yang dibayangkan oleh Hobbes.
Gagasan ini membuka jalan bagi kemunculan hak asasi yang melindungi seseorang dari
permintaan-permintaan yang tidak berdasar dari negara. Lebih jauh lagi, Locke
mengatakan bahwa penguasa kadang-kadang perlu dilawan jika mereka sewenang-
wenang dalam menjalankan kekuasaannya atau memakainya untuk mengakibatkan
kehancuran, dan bukannya untuk kebaikan umat manusia dan perlindungan hak
mereka.
Gagasan ini kelak tertuang dalam mukadimah PUHAM: "Menimbang bahwa hak-hak
asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa
memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan
penindasan”.

Pada tahun yang sama, pemerintah Inggris mengeluarkan piagam Bill of Rights yang
memberikan hak-hak yang terbatas, seperti pelarangan pengganjaran hukuman yang
"lalim dan tak lazim". Namun, sumbangsih terbesar piagam ini adalah dalam
menetapkan konsep kedaulatan parlemen secara konstitusional. Berdasarkan
pemahaman masyarakat modern, piagam ini tidak memenuhi syarat sebagai piagam
hak asasi manusia, tetapi dianggap penting karena telah memastikan gagasan bahwa
kekuasaan mutlak di tangan negara perlu dibatasi demi kepentingan individu-individu di
dalamnya.
Menjadi Hukum Positif 10
Gagasan Locke mengenai hak kodrati untuk pertama kalinya diejawantahkan secara
hukum di Amerika Serikat. Deklarasi Hak-Hak Virginia yang dikeluarkan pada tanggal
12 Juni 1776 dianggap sebagai piagam hak pertama yang sejalan dengan konsep
modern; dokumen tersebut tidak hanya mengakui bahwa semua manusia itu setara,
bebas, dan memiliki hak-hak yang melekat pada dirinya, tetapi juga mencantumkan
daftar hak-hak yang dilindungi, seperti hak untuk memperoleh proses hukum yang
semestinya dan kebebasan berekspresi.
Setelah itu, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikumandangkan pada
tanggal 4 Juli 1776 berisi preambul yang sangat tersohor:
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini terbukti
sendiri, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa
mereka dianugerahi oleh Pencipta mereka hak-hak tertentu
yang tidak bisa dipungkiri, di antaranya hidup, kebebasan,
dan mengejar kebahagiaan. Bahwa untuk mengamankan
hak-hak ini, Pemerintahan dilembagakan di antara manusia,
kekuasaan mereka diperoleh dari persetujuan mereka yang
diperintah; bahwa kapan saja setiap bentuk pemerintahan
menghambat tujuan ini, maka hak rakyat untuk mengubah
atau membubarkannya

Pada tahun yang sama, ketika Revolusi Prancis tengah bergelora, Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara dimaklumkan oleh Majelis Nasional Prancis pada tanggal
26 Agustus 1789. Deklarasi ini turut menegaskan bahwa manusia memiliki hak yang
alamiah dan tidak dapat dicabut. Setelah itu, di negara yang sama, muncul
pula Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara 1793 dan Deklarasi Hak-Hak dan
Kewajiban-Kewajiban Manusia dan Warga Negara 1795. Di Amerika Serikat, hak asasi
turut diakui di tingkat negara bagian, seperti di New York pada tahun 1777
dan Massachusetts pada tahun 1780, serta di tingkat federal dalam bentuk Deklarasi
Hak-Hak tahun 1791 yang merupakan sepuluh amendemen pertama
terhadap Konstitusi Amerika Serikat.

➢ Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara 1793


Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara 1793
(Prancis: Déclaration des droits de l'Homme et du citoyen de 1793) adalah sebuah dokumen
politik Prancis yang mendahului konstitusi republikan pertama negara tersebut.
Deklarasi dan Konstitusi diratifikasi pada 1793, dan resmi diadopsi pada 10 Agustus;
namun, tak pernah diberlakukan, dan konstitusi resmi ditangguhkan pada 10 Oktober.

➢ Deklarasi Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Manusia dan Warga Negara 1795


Konstitusi Tahun III adalah konstitusi yang mendirikan Direktori Prancis. Konstitusi
tersebut diadopsi oleh Konvensi pada 5 Fructidor Tahun III (22 Agustus 1795) dan
disepakati oleh plebiscite pada 6 September.
11
Deklarasi-deklarasi ini pada praktiknya tidak memiliki cakupan yang universal. Pada
Abad Pencerahan, "manusia" dianggap sebagai laki-laki yang dapat melindungi dirinya
sendiri, sehingga budak kulit hitam, perempuan, anak-anak, dan bahkan hamba
tani tidak termasuk ke dalam cakupan. Banyak dari para perumus Deklarasi Hak-Hak di
Amerika Serikat yang menerima institusi perbudakan dan menganggap wanita tidak
layak untuk terlibat dalam urusan politik.
Di Prancis, walaupun para perumus Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara
tahun 1789 tidak membatasi cakupannya kepada orang Prancis saja, usulan Deklarasi
Hak Asasi Wanita dan Warga Negara Perempuan yang dicetuskan oleh Olympe de
Gouges pada tahun 1791 tidak digubris. Pada zaman tersebut, wanita juga dianggap
memiliki kodrat irasional, sehingga Konvensi Nasional Prancis menyatakan pada tahun
1793 bahwa anak-anak, wanita, orang gila, dan tahanan tidak akan dianggap sebagai
warga negara (untuk tahanan, sampai ia direhabilitasi).

➢ Deklarasi Hak Asasi Wanita dan Warga Negara Perempuan


Deklarasi Hak Asasi Wanita dan Warga Negara Perempuan
(Bahasa Prancis: Déclaration des droits de la femme et de la
citoyenne) dirumuskan pada tanggal 5 September 1791 oleh
seorang pegiat hak perempuan Prancis yang bernama Olympe
de Gouges sebagai tanggapan terhadap Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara.
Dengan menerbitkan dokumen ini, de Gouges ingin membongkar
kegagalan Revolusi Prancis dalam mengakui kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan, tetapi dokumen ini sama sekali tidak berdampak
terhadap jalannya revolusi.

Pada zaman tersebut, wanita juga dianggap memiliki kodrat irasional,


sehingga Konvensi Nasional Prancis menyatakan pada tahun 1793 bahwa anak-anak,
wanita, orang gila, dan tahanan tidak akan dianggap sebagai warga negara (untuk
tahanan, sampai ia direhabilitasi).
Walaupun begitu, dokumen-dokumen ini tetap berhasil mengubah gagasan Locke dan
filsuf-filsuf pencerahan lainnya menjadi hukum positif. Selain itu, deklarasi-deklarasi ini
juga menjadi terobosan karena mampu membatasi kekuasaan negara dengan berbagai
cara, termasuk dengan melindungi hak-hak individu. Tatanan konstitusi semacam ini
kemudian menyebar ke negara-negara lain, seperti Belanda pada tahun
1798, Spanyol pada tahun 1812, Belgia pada tahun 1831, Liberia pada tahun
1847, Sardinia pada tahun 1848, dan Prusia pada tahun 1850.
Abad ke 19 Dan Permulaan Abad 20 12
Walaupun gagasan mengenai hak-hak dasar telah menyebar ke berbagai negara, konsep
"hak asasi manusia" yang berlaku untuk semua manusia tanpa terkecuali masih jarang
ditemui di hukum nasional maupun internasional pada abad ke-19 dan permulaan abad
ke-20. Selain itu, gagasan hak kodrati sendiri juga tidak banyak menyita perhatian para
pemikir pada abad tersebut; pemikir-pemikir politik seperti Alexis de Tocqueville, Karl
Marx, dan Max Weber hanya menyebut hak asasi manusia secara sepintas dan mereka
malah memandangnya dengan kritis.
Jeremy Bentham
Salah satu pemikir pada masa tersebut yang
mengemukakan kritik yang keras terhadap pendekatan
hak kodrati adalah filsuf Inggris Jeremy Bentham. Ia
menganggap konsep hukum kodrati sebagai suatu "omong
kosong", dan ia menyatakan bahwa "hak yang
sesungguhnya" berasal dari "hukum yang sesungguhnya",
sedangkan hak yang berasal dari "hukum imajiner"
merupakan hak yang juga bersifat "imajiner".

Abad ke-19 juga dikenal dengan munculnya dorongan untuk menghapuskan


perbudakan, dan gerakan abolisionisme sendiri sudah diprakarsai di Inggris pada tahun
1787 dengan didirikannya Society for the Abolition of Slave Trade oleh kaum Quaker.
Pada tahun 1833, Imperium Britania membebaskan semua budaknya, dan Prancis juga
mengambil langkah yang sama pada tahun 1848.
➢ Society for the Abolition of Slave Trade
Society for Effecting the Abolition of the Slave Trade (atau The Society for the Abolition of
the Slave Trade) adalah sebuah kelompok abolisionis Inggris, yang dibentuk pada 22
Mei 1787, oleh dua belas orang yang berkumpul di sebuah toko percetakan di London.

Amerika Serikat sendiri baru berhasil menghapuskan perbudakan pada tahun 1865
seusai perang saudara melawan konfederasi negara-negara bagian selatan yang
mendukung perbudakan, sementara Rusia menghapuskan sistem perhambaan tani pada
tahun 1861.
13
Namun, muncul keraguan bahwa abolisionisme benar-benar dilancarkan atas dasar
moral, apalagi "hak asasi manusia". Diduga Inggris mengambil tindakan tersebut demi
kepentingan ekonomi, karena kelanjutan perdagangan budak dianggap akan
menguntungkan jajahan negara-negara saingan Inggris Selain itu, Inggris juga dinilai
ingin menjalankan "misi pemberadaban" yang akan membuatnya seolah memiliki moral
yang lebih baik daripada negara-negara Eropa lainnya. Setelah itu, pada zaman
Imperialisme Baru, penolakan terhadap perbudakan sering dijadikan dalih oleh negara-
negara Eropa untuk melakukan "campur tangan kemanusiaan".
Konstitusi negara-negara Eropa pada abad ke-19 juga menghindari penyebutan konsep
"hak asasi manusia" maupun "hak kodrati". Hak asasi manusia sudah tidak lagi
disebutkan dalam Konstitusi Prancis setelah tahun 1799 dan baru muncul lagi pada
tahun 1946. Di tengah bergeloranya Revolusi 1848, rancangan Konstitusi
Frankfurt mengandung daftar "hak-hak dasar" (Grundrechte). Namun, seperti konstitusi-
konstitusi lainnya pada zaman itu, hak-hak tersebut hanya dapat dinikmati oleh warga
negara, seperti yang dapat dilihat dari namanya, Grundrechte des deutschen Volkes,
sehingga hak-hak tersebut bukanlah hak yang berlaku secara universal seperti halnya
hak asasi pada zaman modern.
Konstitusi negara-negara Eropa pada abad ke-19 juga menghindari penyebutan konsep
"hak asasi manusia" maupun "hak kodrati". Hak asasi manusia sudah tidak lagi
disebutkan dalam Konstitusi Prancis setelah tahun 1799 dan baru muncul lagi pada
tahun 1946. Di tengah bergeloranya Revolusi 1848, rancangan Konstitusi
Frankfurt mengandung daftar "hak-hak dasar" (Grundrechte). Namun, seperti konstitusi-
konstitusi lainnya pada zaman itu, hak-hak tersebut hanya dapat dinikmati oleh warga
negara, seperti yang dapat dilihat dari namanya, Grundrechte des deutschen Volkes,
sehingga hak-hak tersebut bukanlah hak yang berlaku secara universal seperti halnya
hak asasi pada zaman modern.
Pada masa itu, bangsa Eropa memang masih membedakan antara negara-negara yang
"beradab" dengan masyarakat "tidak beradab" di luar Eropa dan Amerika. Hanya negara
yang dianggap "beradab" yang memiliki hak, sementara wilayah masyarakat yang "tidak
beradab" dapat sewaktu-waktu dicaplok oleh negara Eropa karena dianggap
sebagai terra nullius ("tanah tak bertuan").
Pada masa seusai Perang Dunia I, perlindungan hak asasi manusia sama sekali tidak
masuk ke dalam cakupan Piagam Liga Bangsa-Bangsa.walaupun perlindungan
kelompok minoritas tetap menjadi perhatian dari organisasi internasional tersebut.
Meskipun begitu, di tingkat nasional, muncul pergerakan-pergerakan hak asasi manusia,
seperti Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia yang didirikan di Paris pada
tahun 1922. Organisasi tersebut menuntut dikeluarkannya deklarasi atau piagam hak
asasi manusia dunia yang bersifat mengikat. Di kota yang sama, Académie
Diplomatique Internationale yang didirikan oleh sejumlah pengacara internasional pada
tahun 1926 merumuskan sebuah deklarasi, yang kemudian menginspirasi Deklarasi Hak
Asasi Manusia Internasional yang dikeluarkan oleh Institut Hukum Internasional di New
York pada tahun 1929.
Pasca Perang Dunia II 14
Pada saat berkecamuknya Perang Dunia II, pada Januari 1941, Presiden Amerika
Serikat Franklin Delano Roosevelt mencetuskan Empat Kebebasan yang menurutnya
perlu dijamin oleh semua negara, yaitu "kebebasan mengeluarkan pendapat",
"kebebasan beribadah kepada Tuhan dengan cara masing-masing", "hak untuk bebas
dari kekurangan dan kemiskinan", serta "kebebasan dari ketakutan". Pada tanggal 14
Agustus 1941, Roosevelt dan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill
mengeluarkan Deklarasi Atlantik yang mengungkapkan harapan agar "manusia di
semua negeri dapat menjalani hidup mereka bebas dari rasa takut atau kekurangan."
Kemudian, pada awal tahun 1942, Deklarasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
dikumandangkan. Deklarasi yang menjadi cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) ini ditandatangani oleh 47 negara yang menyatakan kesediaannya untuk
mengikuti asas yang menyatakan bahwa "kemenangan mutlak atas musuh diperlukan
untuk mempertahankan hidup, kebebasan, kemerdekaan, dan kebebasan beragama,
dan untuk memelihara hak asasi manusia dan keadilan di negeri mereka sendiri dan
juga di negeri lain.
Maka dari itu, hak asasi manusia pun menjadi salah satu aspirasi yang ingin diwujudkan
oleh negara-negara Sekutu setelah mengalahkan Blok Poros.

Seusai perang, aspirasi ini untuk pertama kalinya diejawantahkan dalam instrumen-
instrumen hukum internasional. Mukadimah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
ditetapkan pada tahun 1945 mengumandangkan tekad masyarakat PBB untuk:

➢ Menyelamatkan generasi penerus dari bencana perang, yang dua kali dalam hidup
kita telah membawa kesedihan yang tak terhitung kepada umat manusia, dan
menegaskan kembali keyakinan akan hak asasi manusia, atas martabat dan nilai
pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan dan bangsa-bangsa
besar dan kecil.

Dengan ini, hak asasi manusia akhirnya menjadi perhatian masyarakat internasional,
walaupun penyebutan istilah "hak asasi manusia" sebanyak enam kali dalam pasal-pasal
Piagam PBB tidak membebankan kewajiban yang besar kepada negara-negara anggota.
Mereka hanya diharuskan untuk mempromosikan "penghormatan hak asasi manusia
seantero jagat demikian pula pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar
bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama." Sebelumnya,
terdapat usulan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Chili dan Kuba bersedia
menerima pasal-pasal yang menjamin hak-hak spesifik, sementara Panama pernah
mengusulkan agar piagam tersebut mencantumkan daftar hak-hak asasi. Namun,
usulan-usulan ini ditolak akibat kekhawatiran bahwa hal tersebut akan berdampak
buruk terhadap kedaulatan masing-masing negara.
15
Pada tahun 1946, Komisi Hak Asasi Manusia PBB dibentuk dengan tugas untuk
merumuskan Piagam Hak-Hak Internasional yang berlaku di seluruh dunia tanpa
mengecualikan siapa pun.
➢ Komisi Hak Asasi Manusia PBB
Komisi Hak Asasi Manusia PBB (atau dalam bahasa Inggris: United Nations
Commission on Human Rights, disingkat UNCHR) adalah komisi fungsional dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa. UNCHR adalah lembaga di bawah UN Economic and
Social Council (ECOSOC) yang juga dibantu oleh Office of the United Nations High
Commissioner for Human Rights (OHCHR).

Komisi ini kemudian memutuskan agar piagam semacam ini terdiri dari tiga bagian,
yaitu sebuah deklarasi, sebuah konvensi yang berisi kewajiban-kewajiban hukum, serta
bagian yang berisi tentang sistem pengawasan dan pengendalian. Tugas untuk
merumuskan piagam ini diberikan kepada sebuah komite yang terdiri dari delapan
anggota asal Australia, Chili, Tiongkok, Prancis, Lebanon, Britania, Amerika Serikat, dan
Uni Soviet, dan komite ini dikepalai oleh Eleanor Roosevelt, istri mendiang Franklin
Roosevelt. Maka dirumuskanlah Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia
(PUHAM) yang dibuat berdasarkan rancangan dari ahli hukum Kanada John Peters
Humphrey serta berdasarkan sebuah rancangan dari Britania Raya. Pada tanggal 10
Desember 1948, PUHAM diproklamasikan oleh 48 negara anggota PBB di Majelis
Umum
Komisi ini kemudian memutuskan agar piagam semacam ini terdiri dari tiga bagian,
yaitu sebuah deklarasi, sebuah konvensi yang berisi kewajiban-kewajiban hukum, serta
bagian yang berisi tentang sistem pengawasan dan pengendalian. Tugas untuk
merumuskan piagam ini diberikan kepada sebuah komite yang terdiri dari delapan
anggota asal Australia, Chili, Tiongkok, Prancis, Lebanon, Britania, Amerika Serikat, dan
Uni Soviet, dan komite ini dikepalai oleh Eleanor Roosevelt, istri mendiang Franklin
Roosevelt.
Maka dirumuskanlah Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM)
yang dibuat berdasarkan rancangan dari ahli hukum Kanada John Peters Humphrey
serta berdasarkan sebuah rancangan dari Britania Raya. Pada tanggal 10 Desember
1948, PUHAM diproklamasikan oleh 48 negara anggota PBB di Majelis Umum.
16
PUHAM diterima di Majelis Umum PBB tanpa ada negara yang menentang, walaupun
enam negara komunis (Republik Sosialis Soviet Byelorusia, Cekoslowakia, Polandia,
Republik Sosialis Soviet Ukraina, Uni Soviet, dan Yugoslavia), Arab Saudi, dan Afrika
Selatan menyatakan abstain. Namun, deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian
internasional dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Bahkan terdapat kemungkinan bahwa ketiadaan kekuatan hukum adalah hal yang
mendorong 48 negara anggota PBB pada masa itu untuk menerima deklarasi ini.
Walaupun begitu, seperti yang diamati oleh ahli hukum internasional asal Jerman,
Christian Tomuschat, "Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, telah lahir
sebuah dokumen yang menetapkan hak asasi setiap manusia, terlepas dari ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, atau kondisi lainnya.
Bab baru dalam sejarah manusia telah dimulai pada hari itu." Tahun 1948–1949 juga
merupakan momen yang penting bagi upaya untuk memajukan hak asasi manusia
karena Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida sudah dapat
ditandatangani oleh negara-negara dunia pada tanggal 11 Desember 1948, dan begitu
pula dengan Konvensi-Konvensi Jenewa yang berkaitan dengan hukum perang pada
tahun berikutnya.

➢ Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida


Konvensi tentang Penghindaran dan Hukuman Kejahatan Genosida diadopsi
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 9 Desember 1948
sebagai Resolusi Majelis Umum 260. Konvensi tersebut berlaku pada 12 Januari
1951. Konvensi ini mendefinisikan genosida dalam artian hukum, dan merupakan
pencapaian puncak setelah kampanye yang dilakukan oleh Raphael Lemkin selama
bertahun-tahun.

Terkait dengan piagam hak asasi manusia yang memiliki kekuatan hukum, Komisi HAM
PBB baru selesai merumuskan isi dari dokumen-dokumen yang kelak akan dikenal
dengan nama Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Bahasa Inggris:
International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR) dan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (bahasa Inggris:
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR)
pada tahun 1954.
Namun, kedua perjanjian ini baru dapat ditandatangani oleh negara-negara anggota
pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976 setelah diratifikasi oleh 35 negara.
Sejarah perumusan kedua perjanjian ini menunjukkan banyaknya penyesuaian dan
kompromi yang perlu dilakukan agar dapat diterima oleh negara-negara anggota PBB.
Walaupun perkembangannya berlangsung lambat, kini kedua perjanjian ini telah
diratifikasi oleh hampir semua negara dan menjadi bagian dari hukum internasional.
Pandangan masyarakat internasional terhadap hak asasi juga telah mengalami
perubahan besar, Dan hak asasi manusia telah menjadi semacam kode etik yang
diterima dan ditegakkan secara global
Landasan Konseptual 17
➢ Analisis Hak
Berdasarkan pemikiran yang dicetuskan oleh pakar hukum asal Amerika Serikat Wesley
Newcomb Hohfeld, "hak" dapat dianalisis dengan menggunakan empat macam
"fenomena" yang menunjukkan hubungan antara hak dan kewajiban, yaitu "klaim",
"keistimewaan" atau "kebebasan", "kuasa", dan "kekebalan". A dapat dikatakan memiliki
hak-klaim yang menuntut B untuk melakukan sesuatu jika dan hanya jika B memiliki
kewajiban kepada A untuk mengambil tindakan tersebut.
Contohnya adalah hak atas kesehatan, karena hak ini membebankan kewajiban kepada
negara untuk menjamin ketersediaan layanan kesehatan minimal. Kemudian, hak-
kebebasan pada dasarnya adalah ketiadaan hak-klaim. A memiliki hak-kebebasan
terhadap B untuk melakukan sesuatu jika dan hanya jika A tidak memiliki kewajiban
terhadap B untuk tidak mengambil tindakan tersebut. Dalam kata lain, A tidak akan
melanggar kewajiban terhadap B untuk tidak melakukan sesuatu jika A memutuskan
untuk melakukan hal tersebut. Contohnya adalah hak atas kebebasan beragama. Hak
atas kebebasan beragama biasanya dipandang sebagai ketiadaan hak-klaim dari negara
terhadap rakyatnya untuk memeluk agama tertentu, sehingga siapa pun tidak memiliki
kewajiban terhadap negara untuk memeluk agama tertentu.
Hak-klaim dan hak-kebebasan dapat disebut sebagai "aturan primer" (primary rules)
berdasarkan terminologi pakar hukum asal Britania Raya, H.L.A. Hart, sebab keduanya
berkaitan dengan aturan yang mewajibkan seseorang untuk mengambil atau menjauhi
tindakan tertentu.
➢ H.L.A. Hart,
Herbert Lionel Adolphus Hart, FBA (18 Juli 1907 – 19 Desember 1992), umumnya
disebut H.L.A. Hart, adalah seorang filsuf hukum Britania yang pernah menjabat
sebagai Profesor Yurisprudensi di Universitas Oxford dan kepala Kolese
Brasenose, Oxford. Karyanya yang paling dikenal adalah The Concept of Law (1961; edisi
ketiga, 2012), yang telah dipuji sebagai "karya mengenai filsafat hukum paling penting
pada abad ke-20".

Sementara itu, hak-kuasa dan hak-kekebalan dapat dikatakan sebagai "aturan sekunder"
(secondary rules), yaitu aturan yang memberikan kemampuan kepada suatu pihak untuk
mengubah aturan primer. Hak-kuasa pada dasarnya adalah hak apa pun yang
memberikan kemampuan kepada suatu pihak untuk mengubah hak-klaim atau hak-
kebebasan. Contoh dari hak-kuasa adalah hak untuk merumuskan perjanjian
dalam hukum perdata. Hak ini pada dasarnya memberikan kuasa kepada A untuk
menganugerahkan hak-klaim baru kepada B yang membebankan kewajiban kepada A
untuk melakukan hal tertentu. Sementara itu, hak-kekebalan merupakan ketiadaan hak-
kuasa. Contohnya adalah pelarangan perbudakan: pemerintah tidak punya kuasa untuk
memaksa rakyatnya menjadi budak, sehingga rakyat dapat dikatakan memiliki hak-
kekebalan.
18
➢ Hakikat
Di kalangan akademisi, terdapat empat mazhab dengan perbedaan pandangan perihal
hakikat daripada konsep "hak asasi manusia", yaitu mazhab "natural", "deliberatif",
"protes", dan "diskursus".Mazhab "natural" memakai definisi hak asasi manusia yang
paling dikenal, yaitu bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh seseorang
karena ia adalah seorang manusia. Para penganut mazhab ini percaya bahwa hak asasi
manusia "dianugerahkan" secara "alamiah", baik itu oleh Tuhan, Alam semesta,
berdasarkan nalar, ataupun dari sumber-sumber transendental lainnya. Bagi mereka,
hak asasi manusia bersifat universal karena hak tersebut bersifat alamiah. Mereka juga
berkeyakinan bahwa hak asasi manusia itu selalu ada terlepas dari pengakuan oleh
masyarakat, walaupun mereka tetap menyambut kodifikasi hak asasi manusia
dalam hukum positif.

Mazhab natural ini merupakan pandangan "tradisional" dalam bidang hak asasi
manusia, tetapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang beralih ke mazhab
"deliberatif", yaitu sebuah mazhab yang menganggap hak asasi manusia sebagai nilai-
nilai politik yang disepakati oleh suatu masyarakat. Mazhab ini menolak upaya untuk
memasukkan unsur-unsur naturalistik ke dalam konsep hak asasi manusia. Para
pendukung mazhab ini tetap ingin agar hak asasi manusia bersifat universal, tetapi
mereka merasa bahwa hal ini hanya akan tercapai apabila semua orang menerima hak
asasi manusia sebagai standar hukum dan politik terbaik untuk mengatur jalannya hidup
masyarakat. Menurut mazhab deliberatif, salah satu cara untuk mengungkapkan nilai-
nilai hak asasi manusia yang telah disepakati adalah melalui hukum tata negara.

Mazhab yang ketiga, yaitu mazhab "protes", menyatakan bahwa hak asasi manusia
menyampaikan klaim-klaim dari kaum miskin dan tertindas. Maka dari itu, hak asasi
manusia dipandang sebagai klaim dan aspirasi yang berupaya mengubah status
quo demi kepentingan kaum yang terpinggirkan. Sementara itu, mazhab "diskursus"
mengklaim bahwa hak asasi manusia hanya ada karena orang-orang membicarakan
konsep tersebut. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh yang memiliki pandangan seperti ini
merasa bahwa hak asasi manusia tidaklah dianugerahkan secara alamiah. Mereka tetap
mengakui bahwa hak asasi manusia telah menjadi alat untuk mengemukakan klaim-
klaim politik, tetapi mereka merasa khawatir dengan "imperialisme" berupa pemaksaan
hak asasi manusia, dan mereka juga berupaya menunjukkan keterbatasan sistem hak
asasi manusia yang bersifat individualistik. Pada saat yang sama, ada juga dari kalangan
pendukung mazhab ini yang berpandangan bahwa hak asasi manusia kadang-kadang
berdampak positif, tetapi mereka masih tidak percaya kepada hak asasi manusia dan
menginginkan adanya proyek emansipasi yang lebih baik.
19
Ciri-ciri utama dari mazhab-mazhab ini dapat dilihat di tabel berikut:

Hak Asasi
Natural Deliberatif Protes Diskursus
Manusia

Hakikat Dianugerahkan Disepakati Diperjuangkan Dibicarakan

Rupa Hak Asas Klaim/Aspirasi Tergantung pencetusnya

Untuk menjalankan Terutama bagi Seharusnya untuk yang


Fungsi Untuk semua orang pemerintahan mereka yang menderita, tapi pada
dengan adil menderita praktiknya tidak

Tradisi perjuangan
Sumber Alam/Tuhan/nalar Konsensus Bahasa
sosial

Bisa, dan HAM


Bisa Perlu, tetapi hukum Hukum HAM itu ada, tetapi
Memang inilah biasanya memang
Menjadi sering mencederai tidak mengejawantahkan
tujuannya ada dalam bentuk
Hukum? HAM sesuatu yang lebih besar
hukum

Ya, bagian dari Pada dasarnya


Bersifat Bisa jadi, tergantung Tidak, sifat universal hanya
struktur alam karena penderitaan
universal? konsensus berupa dalih
semesta bersifat universal

Sebagai catatan, mazhab-mazhab ini bisa saling bertumpang tindih, atau dalam kata lain,
terdapat pandangan-pandangan yang berupa penggabungan dari berbagai unsur dalam
mazhab-mazhab di atas.
20
➢ Ciri Ciri
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai hakikatnya, berdasarkan makna
harfiahnya, hak asasi manusia umumnya dianggap sebagai hak yang dimiliki seseorang
karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia bersifat "universal", atau dalam
kata lain hak tersebut dimiliki oleh semua orang di seantero jagat. Maka dari itu, konsep
"universal" dalam artian ini berkaitan dengan cakupan penerapan hak asasi manusia
yang memadukan cakupan wilayah (ratione loci) terluas dengan cakupan perorangan
(ratione personae) yang juga paling luas. Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebutan
istilah geografis dalam makna dari konsep "universal" itu berlebihan, karena hak asasi
manusia berlaku kepada semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak masalah orang
itu sedang berada di mana. Dalam konsep ini juga terkandung pemahaman bahwa tidak
ada manusia yang lebih rendah daripada yang lain, dan juga bahwa tidak ada manusia
yang "bukan manusia", sehingga asas universal sangat terkait dengan asas kesetaraan
dan non-diskriminasi. Hal ini juga menandakan bahwa hak asasi manusia tidak dapat
dicabut (inalienable) karena seseorang tidak dapat mengubah ataupun meniadakan jati
diri manusianya.

Hak asasi manusia bersifat subjektif, dalam artian selalu ada yang menjadi pemilik hak.
Setiap hak juga memiliki objek, misalnya "kebebasan berkumpul". Hak selalu
dialamatkan kepada suatu pihak atau pihak-pihak lain, dan hak asasi manusia utamanya
diarahkan kepada negara. Maka dari itu, hak asasi manusia dapat dianggap memiliki
hakikat ganda dalam artian yang dikumandangkan tidak hanya keberadaan hak-hak,
tetapi juga kewajiban serta pihak yang menjadi pemegang kewajiban tersebut. Setiap
hak juga merincikan posisi normatif pemilik hak dan pihak yang dialamatkan oleh hak
tersebut. Sebagai contoh, hak untuk menikah bukan berarti setiap orang bisa mengklaim
bahwa ia harus menikah. Kandungan normatif dari hak tersebut menyatakan bahwa
setiap orang bebas mengubah status hukum mereka untuk hidup bersama dengan orang
lain yang bersedia, dan tidak ada yang bisa dipaksa untuk menikah ataupun menerima
lamaran orang lain. Berbagai hak juga memiliki pengecualian, contohnya adalah
kebebasan berkumpul yang tidak dapat menghentikan negara dalam upaya mereka
untuk memberantas organisasi kriminal.

Dari sudut pandang hukum internasional, penerima hak asasi manusia adalah individu,
dan hak asasi hanya dapat dialamatkan kepada negara. Oleh sebab itu, hak asasi
manusia tidak dapat dialamatkan kepada pihak perorangan ataupun organisasi
masyarakat yang bukan bagian dari pemerintah, walaupun pemerintah tetap diwajibkan
untuk melindungi rakyatnya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh swasta. Hak
asasi manusia pada dasarnya berlaku pada masa damai maupun perang, meskipun
terdapat berbagai hak dapat dikurangi dalam keadaan darurat. Hak asasi manusia
sendiri dilindungi di tingkat internasional dengan tujuan untuk menjaga martabat
manusia, sehingga hak-hak tersebut haruslah hak yang bersifat mendasar.
21
Jenis Jenis Hak

Terdapat berbagai macam hak yang terkandung dalam


instrumen-instrumen internasional, seperti
Hak kesetaraan dan non-diskriminasi, Hak untuk
hidup, Hak atas peradilan yang jujur, kebebasan
berserikat, kebebasan berkumpul, kebebasan
berpikir, kebebasan berekspresi, Hak atas standar
hidup yang layak, hak untuk memperoleh pendidikan,
hak atas pekerjaan, dan lain-lain. Meskipun hak asasi
manusia pada hakikatnya bersifat utuh, pengategorian dapat dilakukan atas dasar
konseptual. Dalam penerapannya, hak asasi manusia tetap tidak dapat
dipecah-pecah dan harus dilihat secara keseluruhan

➢ Hak Untuk Hidup


Hak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa
seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan, terutama, tidak seharusnya dibunuh
oleh manusia lainnya. Konsep mengenai hak untuk hidup timbul dalam pembahasan
tentang isu-isu hukuman mati, perang, aborsi, eutanasia, pembunuhan yang dapat
dibenarkan, dan meluas hingga sarana perawatan kesehatan publik.

➢ Hak Atas Peradilan Yang Jujur


Hak atas peradilan yang jujur (Right to a fair trial) merupakan salah satu jenis hak asasi
manusia yang tertulis dan dibahas dalam berbagai perjanjian HAM Internasional seperti:
• Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia – Pasal 10
• Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) – Pasal 14
• Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 6
• Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 8

➢ Kebebasan Berserikat
Kebebasan berserikat mengacu kepada hak seseorang untuk bergabung dengan suatu
kelompok dan juga keluar dari kelompok tersebut secara sukarela. Hak ini dijamin oleh
instrumen-instrumen hak asasi manusia modern, seperti:
• Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia – Pasal 20 dan 23
• Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik – Pasal 22
• Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 11
• Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 16
• Undang-Undang Dasar 1945 – Pasal 28I ayat (4)
22
➢ Kebebasan Berkumpul
Kebebasan berkumpul adalah hak seseorang untuk
berkumpul dengan orang atau kelompok lain dan
mengemukakan, menyampaikan dukungan, dan
mempertahankan gagasan mereka. Kebebasan
berkumpul telah diakui sebagai hak asasi manusia yang
berkenaan dengan hak sipil dan politik. Hak ini dapat
ditemui dalam instrumen-instrumen berikut:
• Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia – Pasal 20
• Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik – Pasal 21
• Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 11
• Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 15

➢ Kebebasan Berfikir
Kebebasan berpikir (disebut juga kebebasan hati nurani) adalah kebebasan seseorang
untuk memiliki atau mempertimbangkan suatu sudut pandang atau pemikiran yang
terlepas dari sudut pandang orang lain. Konsep ini berbeda dengan konsep kebebasan
berbicara atau berekspresi.[1] Kebebasan berpikir merupakan hal yang mutlak yang
tidak terbantahkan terdapat pada artikel yang pernah diterbitkan oleh media Indonesia.

➢ Kebebasan Berbicara
Kebebasan berbicara (Inggris: Freedom of speech) adalah kebebasan yang mengacu
pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau
pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan
kebencian. Dapat diidentikkan dengan istilah kebebasan berekspresi[1] yang kadang-
kadang digunakan untuk menunjukkan bukan hanya kepada kebebasan berbicara lisan,
akan tetapi, pada tindakan pencarian, penerimaan dan bagian dari informasi atau ide
apapun yang sedang dipergunakan.

➢ Hak Atas Standar Hidup Yang Layak


Hak atas standar hidup yang layak diakui sebagai hak asasi manusia oleh instrumen-
instrumen hak asasi manusia. Hak ini menetapkan standar minimal atas sandang,
pangan, dan papan untuk semua orang. Hak atas pangan dan atas hunian yang layak
telah didefinisikan lebih lanjut di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia.

➢ Hak Atas Pekerjaan


Hak atas pekerjaan adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa semua orang
memiliki hak untuk bekerja atau turut serta dalam kegiatan produktif, dan mereka tidak
boleh dilarang untuk melakukan hal tersebut.
23
"Hak sipil dan politik" dan "hak ekonomi, Sosial, dan Budaya

Hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi "hak sipil dan politik" dan "hak ekonomi,
sosial, dan budaya".Pada dasarnya, hak ekonomi, sosial, dan budaya berupaya
memastikan agar individu dapat mengakses barang publik tertentu seperti perumahan,
pendidikan, atau layanan kesehatan. Oleh sebab itu, hak ekonomi, sosial, dan budaya
membutuhkan investasi yang besar dari negara, sehingga hak-hak tersebut tidak dapat
diwujudkan dalam sekejap. ICESCR mengakui kenyataan ini, dan Pasal 2 ICESCR hanya
mengharuskan negara untuk mengupayakan "perwujudan progresif"
(progressive realization) :

Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik
secara individual maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, khususnya di bidang
ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai
perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai,
termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif.

Di sisi lain, hak-hak sipil dan politik berurusan dengan kebebasan sipil, contohnya
adalah hak untuk hidup, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, kebebasan
berekspresi, atau hak atas peradilan yang jujur. Negara hanya diwajibkan untuk tidak
melanggar kebebasan tersebut. Contohnya, negara dapat dengan mudah menghormati
hak untuk hidup dengan tidak membantai rakyatnya, dan pemerintah juga tidak akan
melanggar hak atas kebebasan berpendapat jika mereka tidak membredel media yang
tidak disukainya. Dalam kata lain, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam ICCPR
bersifat langsung (immediate). Maka dari itu, perbedaan di antara keduanya berkenaan
dengan kewajiban yang diemban oleh negara sehubungan dengan kedua jenis hak
tersebut.

Klasifikasi semacam ini sebenarnya tidak terkandung dalam PUHAM, tetapi ketegangan
antara Blok Barat dan Timur pada masa Perang Dingin mengakibatkan kemunculan
kedua kategori ini. Negara-negara Barat yang memiliki ekonomi pasar mementingkan
hak-hak sipil dan politik, sementara negara-negara komunis di Blok Timur mempunyai
ekonomi yang direncanakan dari pusat dan lebih mengutamakan hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Hasilnya adalah dua perjanjian hak asasi manusia internasional yang
terpisah, yaitu ICCPR dan ICESCR. Saat ini perbedaan di antara keduanya sudah lagi
tidak dianggap besar, dan bahkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi
Manusia (bahasa Inggris: Office of the United Nations High Commissioner for Human
Rights, disingkat OHCHR) menganggapnya sebagai perbedaan yang dibuat-buat dan
kontraproduktif.
24
Sehubungan dengan kewajiban negara, ICESCR juga mengandung berbagai kewajiban
dengan efek langsung (immediate effect). Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
dalam Komentar Umum No. 3 memberikan contoh berupa penghapusan diskriminasi
dalam upaya perwujudan hak-hak dalam ICESCR sesuai dengan Pasal 2(2) dan 3, hak
untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh dan untuk berdemonstrasi
dalam Pasal 8, serta perlindungan anak-anak dan pemuda dari eksploitasi ekonomi dan
sosial dalam Pasal 10(3). Berbagai kewajiban dalam ICCPR juga membutuhkan investasi
dari negara, seperti pendirian sistem peradilan, pembangunan penjara yang memenuhi
standar minimal untuk tahanan, atau pemberian bantuan hukum. Maka dari itu, secara
konseptual, tidak ada lagi batas yang jelas di antara kedua kategori ini.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih sering menuai kritikan karena dianggap sebagai
sekadar "aspirasi" tanpa bisa ditegakkan secara hukum. Walaupun begitu, dalam
beberapa dasawarsa terakhir, semakin banyak pengadilan yang menegakkan hak
semacam ini, contohnya adalah dengan mengeluarkan putusan yang memerintahkan
kepada negara untuk menunda penggusuran, menyediakan layanan medis, atau
menghubungkan kembali persediaan air. Sebagai ilustrasi, dalam perkara Minister of
Health and Others v. Treatment Action Campaign and Others yang berkaitan dengan
hak atas kesehatan dalam Konstitusi Afrika Selatan, pemerintah Afrika Selatan
menerapkan sebuah kebijakan yang membatasi akses terhadap obat antiretroviral (obat
untuk meredam infeksi virus HIV) yang disebut Nevirapin.

Obat yang dipakai untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak ini ini disediakan
secara luas oleh produsennya, tetapi pemerintah Afrika Selatan membatasinya di klinik-
klinik umum tertentu dengan alasan bahwa mereka ingin menguji coba obat ini dan
karena mereka merasa masih kurang petugas yang mampu memberikan obat
ini. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan menolak argumen ini dan menegaskan bahwa
obat ini mujarab, dan bahwa sumber daya tambahan yang perlu digelontorkan untuk
melatih para petugas medis tidaklah besar bila dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh dari pencegahan transmisi HIV dari ibu ke anak. Maka dari itu, Mahkamah
Konstitusi Afrika Selatan memutuskan bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan
pembatasan obat Nevirapin telah melanggar kewajiban untuk mengambil tindakan yang
berada dalam batas wajar (reasonable measure) untuk menyediakan layanan kesehatan.
Walaupun cakupannya hanya di tingkat nasional, perkara ini menunjukkan bahwa hak
atas kesehatan (yang merupakan salah satu hak ekonomi, sosial, dan budaya) dapat
ditegakkan secara hukum.
25
Hak generasi pertama, kedua, dan ketiga

Hak asasi manusia juga dapat digolongkan


berdasarkan generasi. Pengategorian ini pertama
kali dicetuskan oleh pakar hak asasi manusia
Ceko-Prancis Karel Vasak. Berdasarkan
klasifikasi ini, terdapat tiga jenis hak, yakni hak
generasi pertama, kedua, dan ketiga. Hak
generasi pertama adalah hak sipil dan politik
yang melindungi kebebasan sipil. Hak-hak ini
berasal dari deklarasi-deklarasi hak asasi manusia
yang dikeluarkan di Amerika Serikat dan Prancis
pada akhir abad ke-18.
Kemudian, hak generasi kedua pada dasarnya adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya,
yang dimaksudkan agar individu dapat mengakses sumber daya, barang, dan jasa
tertentu, dan mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah progresif untuk
mewujudkan hak-hak ini. Hak-hak ini dikatakan berakar dari tindakan-tindakan yang
diambil pada abad ke-19 untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan eksploitasi
pasca-industrialisasi di Eropa.
Yang terakhir, yaitu hak generasi ketiga, merupakan hak kolektif yang dikembangkan
pada paruh kedua abad ke-20, tetapi hak ini baru belakangan ini mulai dimasukkan ke
dalam hukum internasional, seperti dalam Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia
dan Hak Penduduk. Contohnya adalah hak pembangunan, perdamaian, serta hak untuk
menikmati lingkungan yang bersih dan sehat. Keberadaan hak ini masih
dipertentangkan oleh negara-negara maju, dan aspek hukum dari hak ini pun masih
belum jelas (seperti pertanyaan soal siapa yang dapat menjadi pemilik haknya, dan
kepada siapa kewajiban untuk menghormati hak tersebut dapat dialamatkan).
26
Hak Hak Inti
Tanpa menghapuskan unsur keutuhan dari hak asasi manusia, beberapa hak dianggap
lebih penting untuk mempertahankan nyawa manusia dan menegakkan martabatnya.
Oleh sebab itu, hak-hak tersebut dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi
daripada yang lainnya dan memerlukan tanggung jawab khusus dari negara. Sebagai
contoh, hak untuk hidup dan pelarangan penyiksaan dianggap lebih utama daripada hak
untuk beristirahat seperti yang dicantumkan dalam Pasal 24 PUHAM. Biasanya hak
yang dianggap sebagai "hak inti" adalah hak-hak sipil dan politik, tetapi filsuf Amerika
Serikat Henry Shue juga telah mengidentifikasi sejumlah "hak-hak dasar" yang dianggap
menjadi prasyarat demi tegaknya hak-hak lain, dan salah satu hak yang ia sebutkan
adalah "hak untuk memperoleh sumber penghidupan minimal" yang sangat terkait
dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Perjanjian-perjanjian HAM internasional sendiri mengakui sejumlah hak yang tidak
boleh dikurangi dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaannya, dan hak tersebut boleh dikatakan sebagai "hak inti". Menurut Pasal 4(2)
ICCPR, hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat meliputi hak untuk
hidup, pelarangan penyiksaan atau "perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia", pelarangan perbudakan,
larangan menjebloskan seseorang ke penjara karena tidak mampu memenuhi kewajiban
kontrak, asas legalitas dalam hukum pidana, pengakuan bahwa semua orang setara di
mata hukum, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Namun, Komite
Hak Asasi Manusia PBB menyatakan dalam Komentar Umum No. 24 bahwa pasal ini
tidak dapat dianggap sebagai bukti adanya hierarki dalam ICCPR.
27
Tipologi Kewajiban HAM
Perjanjian-perjanjian HAM internasional sendiri mengakui sejumlah hak yang tidak
boleh dikurangi dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaannya, dan hak tersebut boleh dikatakan sebagai "hak inti". Menurut Pasal 4(2)
ICCPR, hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat meliputi hak untuk
hidup, pelarangan penyiksaan atau "perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia", pelarangan perbudakan,
larangan menjebloskan seseorang ke penjara karena tidak mampu memenuhi kewajiban
kontrak, asas legalitas dalam hukum pidana, pengakuan bahwa semua orang setara di
mata hukum, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Namun, Komite
Hak Asasi Manusia PBB menyatakan dalam Komentar Umum No. 24 bahwa pasal ini
tidak dapat dianggap sebagai bukti adanya hierarki dalam ICCPR.
Pada pertengahan dasawarsa 1980-an, Pelapor Khusus PBB untuk Sub-Komisi tentang
Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, Asbjorn Eide, menggagas bahwa
negara memiliki empat macam kewajiban HAM, yaitu kewajiban untuk menghormati,
melindungi, memenuhi, dan mempromosikan. Kemudian konsep ini direvisi menjadi
tiga kewajiban saja, yaitu kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi. Semenjak itu, tipologi ini telah digunakan untuk menganalisis kewajiban
HAM negara, baik itu untuk hak sipil dan politik maupun untuk hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Pada dasarnya, kewajiban untuk "menghormati" adalah kewajiban negatif yang
mengharuskan negara untuk tidak mengganggu ataupun mencederai hak asasi manusia.
Sementara itu, kewajiban untuk "melindungi" dan "memenuhi" merupakan kewajiban
positif: negara tidak hanya harus "melindungi" individu dan kelompok dari pelanggaran
HAM oleh pihak lain, tetapi juga "memenuhi" dengan mengambil tindakan yang
memfasilitasi hak asasi mereka. Sebagai contoh, sehubungan dengan hak untuk memilih
dan dipilih pada pemilihan umum dalam Pasal 25 ICCPR, negara diwajibkan untuk
mengambil tindakan positif salah satunya dengan memberikan hak suara kepada semua
warga dewasa, dan pada saat yang sama juga mengambil langkah untuk memastikan
bahwa mereka benar-benar bisa memakai hak tersebut.
Sehubungan dengan ICESCR, terdapat pula tipologi khusus yang digunakan untuk hak
ekonomi, sosial, dan budaya, yakni tipologi "4A" yang terdiri dari empat unsur yang
saling berhubungan, yaitu "ketersediaan" (availability), "keterjangkauan" (accessibility),
"keberterimaan" (acceptability), dan "kebersesuaian" (adaptability). Tipologi ini pertama
kali dikembangkan oleh mantan Pelapor Khusus PBB tentang Hak Pendidikan, Katarina
Tomasevski. Kemudian tipologi ini dijabarkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya dalam Komentar Umum No. 13 tentang hak pendidikan. Sehubungan dengan
hak pendidikan, "ketersediaan" berarti lembaga dan program pendidikan yang
fungsional harus tersedia dengan jumlah yang cukup.
PENUTUP

A. Kesimpulan

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita
ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.

HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam Islam, Islam sudah lebih dulu
memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam dapat dijumpai dalam sumber utama
ajaran

Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber ajaran normatif, juga
terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam.

Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI,
dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok
atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan
HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan
HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.

B. Saran

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan


HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM
orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula
HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.

Anda mungkin juga menyukai