Anda di halaman 1dari 6

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : GITHA PELANGI RAMADHANTY

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030203317

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4206 / HUKUM


INTERNASIONAL

Kode/Nama UPBJJ : TEGAL

Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban :

1. Jawaban Soal Nomor 1

a. Self determination merupakan hak yang tidak dapat ditarik dari setiap
bangsa dan memiliki kewajiban timbal balik dimana penerapan dari hak ini tidak
dapat dilepaskan dengan aturan hukum internasional lainnya.
Dasar hukum internasional yang diakui dimuat dalam Covenant on Civil and
Political Rights 1966 and Covenant on Economic,Social and Cultural Rights 1966
melegalkan bahwa hak suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri melalui
internal self determination dilakukan agar suatu bangsa memperoleh pengakuan
status politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam kerangka negara yang
berdaulat.
b. Bahwa referendum Timor Leste tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk self
determination.
Hak menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) rakyat Timor Leste,
tidak dapat dikatakan mengurangi kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), karena secara historis Timor Leste bukan merupakan bagian
dari NKRI. Wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari NKRI adalah wilayahwilayah
yang dulunya merupakan jajahan dari Pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan
Timor Leste tidak termasuk daerah jajahan Pemerintahan Hindia Belainda,
melainkan merupakan daerah jajahan Portugis.

Hak menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) rakyat Timor Leste,
juga tidak bertentangan dengan hukum internasional. Karena hak untuk
menentukan nasib sendiri merupakan hak fundamental yang dimiliki oleh setiap
Negara di dunia. Selain itu hak ini dicantumkan sebagai Pasal pertama oleh
masyarakat internasional dalam dua instrument utama hak asasi manusia
(Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Perjanjian
Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pasal 1 ayat 1
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa
semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut
mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar
kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Perjanjian Internasional mengenai
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga mengatur xi hal yang sama Pasal 1 ayat
1 perjanjian internasional tersebut menyatakan bahwa semua bangsa berhak untuk
menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk
menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi,
sosial dan budaya mereka.Selain itu, di dalam Piagam PBB khususnya Pasal 1 ayat
2 juga mengatur tentang hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. PBB juga
mengeluarkan berbagai resolusi diantaranya Resolusi Majelis Umum PBB nomor
1514 pada tanggal 14 Desember tahun 1960 atau yang lebih dikenal dengan judul
Declaration on the Granting of the Independence to Colonial Countries and People,
deklarasi ini sebagai interpretasi dari Piagam PBB dan pengimplementasian hak
penentuan nasib sendiri sebagai dasar perjuangan suatu bangsa, selanjutnya
Majelis Umum PBB juga mengeluarkan Resolusi Nomor 1541 tentang penentuan
nasib sendiri pada tahun 1960, resolusi tersebut mencantumkan alternatif pilihan
bagi wilayah yang belum berpemerintahan sendiri untuk menentukan status politik
sendiri.

2. Jawaban Soal Nomor 2

a. Hukum yang lebih banyak digunakan dalam penuntutan tersebut adalah Hukum
Internasional.

Pengadilan Pidana Internasional atau yang lebih dikenal dengan International


Criminal Court (ICC) terbentuk pada tanggal 11 April 2002 yang merujuk pada
Statuta Roma sebagai landasan. Hal ini menjadi sejarah baru untuk perkembangan
dan penegakan hukum internasional khususnya bagi penghormatan terhadap nilai-
nilai luhur yang diadopsi oleh hukum humaniter.
Statuta ICC mengatur kewenangan mengadili kejahatan paling serius yang
mendapatkan perhatian internasional yang dilakukan secara individu. Kejahatan
yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu the crime of genocide (pemusnahan
etnis/suku bangsa), crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan),
war crimes (kejahatan perang), dan the crime ofaggression (agresi). Kejahatan yang
dilakukan memberikan kewenangan bagi Pengadilan pidanan internasional untuk
dapat melakukan fungsinya memberikan jaminan dan penegakan hukum
sebagaimana yang diamanatkan oleh konvensi Jenewa 1949.
Kedua, pembentukan mahkamah kejahatan internasional setelah usai perang
dingin, yaitu International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan
International Criminal Tribunal for Rwanda(ICTR). Keempat mahkamah kejahatan
internasional tersebut bersifat ad hoc. 9 Sesuai dengan mandat dari DK PBB
tentang pendirian pengadilan pidana internasional untuk bekas negara Yugoslavia
tahun 1991, telah berhasil menyidangkan dan menjatuhkan hukuman kepada
beberapa yang didakwa melakukan kejahatan selama perang berlangsung,
beberapa diantara yaitu :

 Tihomir Blaskic (Jenderal Bosni-Kroasia)


Atas dakwaan 6 jenis pelanggaran HAM berat seperti yang diatur dalam Konvensi
Jenewa 1949, mantan Jenderal besar tersebut kemudian dijatuhi hukuman sampai
45 tahun penjara. Namun, pada tahun 2004, Mahkamah Kejahatan Perang untuk
bekas Yugoslawia, dalam sidang banding melonggarkan sanksi terhadap mantan
Jendral Bosnia-Kroasia, Tihomir Blaskic. Tadinya Blaskic djatuhi hukuman 45 tahun
penjara. Sekarang majelis hakim menurunkan sanksinya menjadi 9 tahun penjara.
Dalam kebanyakan butir-butir gugatan, Blaskic dinyatakan tidak bersalah. Pada
instansi pertama, Blaskic dijatuhi hukuman 45 tahun penjara dengan tuduhan
memerintahkan serangan terhadap masyarakat sipil. Para pengacaranya kemudian
mengajukan naik banding dan menyatakan kliennya tidak bersalah.

 Anto Furundzija (Komandan Lokal)


Atas pelanggaran hukum yang dilakukannya, ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara
pada putusan pertama dan 8 tahun penjara pada putusan akhir, dan harus segera
menjalankannya.
 Zlatko Aleksovski (Komandan penjara)
Ia dinyatakan bersalah karena telah membantu dan bersekongkol (aiding and
abetting) dalam perkara ini. Sidan banding (appeals chamber) menaikkan
hukumannya menjadi 7 tahun penjara.

 Mario Cerkez (Mantan komandan brigade)


Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap
hukum atau kebiasaa perang (laws or customs of war) dan pelanggaran berat
terhadap Konvensi Jenewa 1949. Cerkez dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.

 Drago Josipovic (Tentara HVO)


Ia didakwa oleh sidang pengadilan atas penganiyaan, pembunuhan, dan tindakan
tidak manusiawi seperti kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia dijatuhi hukuman 10,
15, dan 10 tahun penjara. Sidan banding menyetujui permohonan bandingnya dan
mengurangi hukumannya menjadi 12 tahun penjara.

 Dario Kordic (Pemimpin Regional)


Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, serta pelanggaran berat
terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia dijatuhi hukuman selama 25 tahun penjara atas
dakwaan tersebut.

b. Teori Monisme dan Dualisme merupakan dua teori yang mencoba menjawab
bagaimana ketika terjadi praktek hubungan antara hukum internasional dan
hukum nasional. Bagaimana bila sebuah kapal diperkarakan lantaran berada
dalam aturan hukum domestik, dianggap sebagai perairan teritorial namun
menurut hukum internasional dipandang sebagai bagian laut lepas.
Permasalahan ini memunculkan pertanyaan “Hukum Mana yang harus
diutamakan untuk menyelesaikan konflik ini ?”. “Hukum Internasional atau
Hukum Nasional?”

Teori Monisme menjelaskan bahwa ada satu prinsip fundamental yang


mendasari baik hukum nasional maupun internasional, yaitu terletak dalam
hukum pada umumnya. Hal ini menyebabkan Hukum Internasional setara
dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dapat diberlakukan langsung
dalam Hukum Nasional, tanpa perlu diubah dulu ke dalam sistem Hukum
Nasional. Namun dalam perkembangannya, Teori Monisme terpecah menjadi
2 aliran, dimana satu sistem lebih unggul atau lebih rendah dari pada yang
lainnya.

Aliran Monisme Primat Hukum Nasional, menjelaskan bahwa Hukum


Internasional berasal dari Hukum Nasional. Hal ini dapat dilihat, bahwa
kebiasaan internasional terlahir dari praktek-praktek negara. Dengan
demikian, kedudukan Hukum Nasional lebih tinggi daripada Hukum
Internasional. sedangkan dalam, Aliran Monisme Primat Hukum
Internasional, menjelaskan bahwa Hukum Nasional berasal dari Hukum
Internasional. Dengan demikian, segala permasalahan yang terjadi Hukum
Internasional harus didahulukan, karena kedudukannya yang lebih tinggi dari
Hukum Nasional.

Dalam perkembangannya, Kedua Aliran Monisme ini mendapatkan kritikan.


Aliran Monisme Primat Hukum Nasional memang mengandung fakta bahwa
Hukum Internasional bersumber dari Hukum Nasional. Namun, hal ini menjadi
permasalahan yang berbahaya dalam pelaksanaan hubungan internasional.
Untuk apa ada Hukum Internasional apabila dalam setiap konflik Hukum
Nasional yang diutamakan?

Eksistensi Hukum Internasional dipertanyakan dalam hal ini. Tidak hanya hal
tersebut, Aliran Monisme Primat Hukum Internasional pun juga mendapatkan
kritik karena ketidaksesuaian fakta bahwa Hukum Internasional ada lebih dulu
daripada Hukum Nasional. Realita menjelaskan Hukum Internasional lebih
banyak bersumber pada Hukum Negara yaitu dari praktek negara.

Teori Dualisme menjelaskan bahwa Hukum Internasional dan Hukum


Nasional ada di ranah terpisah dan tidak bisa ditujukan untuk berdampak
pada, atau mengatasi, yang lainnya. Hal ini disebabkan karena karakteristik
dasar yang berbeda dalam hubungan antarnegara dan intra-negara dan
struktur hukum yang berbeda yang digunakan oleh negara di satu sisi dan di
sisi lain di antara negara-negara.

Dengan demikian, dapat dibandingkan bahwa Teori Monisme dan Teori


Dualisme merupakan dua teori yang berbeda pemikiran. Monisme
mengatakan bahwa Hukum Internasional dan Hukum Nasional adalah dua
aspek yang sama, yaitu untuk mengatur kehidupan manusia.

Dualisme mengatakan bahwa Hukum Internasional dan Hukum Nasional


berbeda secara instrinsik, baik dalam Subjek, Sumber Hukum dan Hukum
Nasional memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan
Hukum Internasional. Mengapa demikian? Hal ini didapat dilihat dari
perbedaan hukum nasional dan hukum internasional itu sendiri, sebagai
berikut :

1. Hukum Nasional bersifat Subordinatif, artinya adanya hubungan tinggi


rendah antara yang diperintah (rakyat)) dengan yang memerintah
(penguasa). Sedangkan Hukum Internasional bersifat Koordinatif, artinya
tidak ada yang lebih tinggi, karena dilandasi oleh persamaan kedudukan
antar anggota masyarakat bangsa-bangsa.
2. Memiliki Subjek Hukum yang berbeda, Hukum Nasional memiliki subjek
hukum, baik Individu maupun Badan Hukum yang ada di dalam negara
tersebut (cakupan sempit). Sedangkan Hukum Internasional subjek
hukumnya meliputi, Individu, Negara, Organisasi Internasional,
Perusahan Transnasional, Vatican, Belligerency.
3. Kurang jelasnya aturan-aturan Hukum Internasional, sehingga
mendukung terjadinya berbagai penafsiran di lapangan dan
mengakibatkan kurangnya kepastian hukum (Cakupan Hukum yang
terlalu luas dan kompleks). Berbeda dengan Hukum Nasional yang
memiliki aturan-aturan yang jelas dalam mengatur anggota
masyarakatnya.
4. Hukum Nasional memiliki Badan Supranasional (Legislatif, Eksekutif,
Yudikatif), sedangkan Hukum Internasional tidak memiliki Badan
Supranasional. Walaupun terdapat PBB, tetapi tidak memiliki
kewenangan untuk membuat aturan. PBB tidak bisa memaksa suatu
negara untuk meratifikasi suatu konvensi atau perjanjian Internasional.
5. Hukum Nasional memiliki Aparat Penegak Hukum, sedangkan Hukum
Internasional tidak memiliki Aparat Penegak Hukum yang meliputi Polisi,
Jaksa, Hakim. Walaupun memiliki Mahkamah Internasional, Pengadilan
Pidana Internasional, Pengadilan Ad Hoc, Arbitrase Internasional, tetapi
lembaga-lembaga tersebut tidak dilengkapi Polisi Internasional.

Anda mungkin juga menyukai