Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

TUGAS INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU KOMPONEN


PENILAIAN MATAKULIAH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DENGAN MATERI ICC
(INTERNATIONAL CRIMINAL COURT)

DISUSUN OLEH:

ABRAM ERNEST (110 110 120 417)


JEFERSON SIANIPAR (110 110 120 438)
MARULY JESKA (110 110 110 365)
STEVEN WIJAYA (110 110 120 081)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014

ICC (International Criminal Court)


Hukum pidana internasional merupakan salah satu cabang hukum yang
sangat penting dalam pengaruh penegakan keadilan dan keamanan dunia
Internasional dan negara-negara dalam dunia Internasional tersebut. Menurut
Antonio

Cassese,

hukum

pidana

internasional

adalah

aturan-aturan

internasional yang dibuat untuk menghukum kejahatan internasional serta


wewajibkan negara untuk menuntut atau menghukum setidaknya sebagian dari
kejahatan tersebut. Kejahatan Internasional itu sendiri menurut Kriangsak
adalah sebuah tindakan universal yang diakui sebagai pidana serta mendapat
perhatian dari internasional dan untuk alasan yang sah dan tidak bisa
ditinggalkan dalam yuridiksi eksklusif negara yang akan memiliki kontrol atas
hal itu dalam keadaan biasa.
Dalam hal ini, diperlukannya sebuah badan untuk menegakan
pelanggaran atas Kejahatan Internasional yang menjadi perhatian serius dalam
dunia Internasional. Sebelumnya diperlukan sebuah persetujuan kejahatan
seperti apa yang memerlukan perhatian serius dunia Internasional dan untuk
alasan yang sah tidak bisa ditinggalkan ke dalam yuridiksi eksklusif sebuah
negara, dalam hal ini berdasarkan Statuta Roma, ada 4 kejahatan internasional
atau pelanggaran HAM berat, yaitu
1. Kejahatan Perang
2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
3. Genosida
4. Agresi
Badan yang bertugas serta diciptakan untuk hal tersebut adalah ICC, ICC adalah
sebuah pengadilan independen permanen yang bertujuan untuk menuntut
individu yang melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
internasional, yaitu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, agresi. Yurisdiksi dan fungsi ICC diatur oleh Statuta Roma
yang merupakan hasil konferensi internasional di Roma pada Juni 1998.

Dasar hukum yang menjadi landasan ICC adalah


Statuta Roma
The Rules of Procedure and Evidence
The Elements of Crimes
The Regulations of the Court
The Regulations of the Office of the Prosecutor
The Regulations of the Registry
The Code of Professional Conduct for counsel
The Code of Judicial Ethics
Staff rules of the International Criminal Court
The Staff Regulations
The Financial Regulations and Rules
The Agreement on the Privileges and Immunities of the International
Criminal Court
13. Agreement between the International Criminal Court and the United
Nations
14. The Headquarters Agreement with the Host State
15. Setiap bahan lain yang akan diputuskan oleh Presidensi berkonsultasi
dengan Jaksa dan / atau Panitera.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

A. Sejarah Pembentukan International Criminal Court


Persiapan untuk pembentukan International Criminal Court pada tahun 1950,
Majelis Umum PBB membentuk sebuah panitia Committee on International Criminal
Jurisdiction yang bertugas untuk menyiapkan Statuta ICC.1 Pada perkembangannya
ke depannya ternyata panitia ini tidak berjalan baik dikarenakan adanya Perang
Dingin yang terjadi di dunia Internasional. Pada tahun 1989, wacana untuk
membentuk ICC kembali muncul yaitu pada saat Trinidad dan Tobago dalam sidang
Komite IV Majelis Umum PBB dalam mengatasi masalah hukum, mengusulkan
kembali untuk memunculkan ICC tersebut. Trinidad dan Tobago mengusulkan agar
diaktifkannya kembali International Law Commission (ILC) untuk menyusun
rancangan Statuta ICC. Usulan tersebut direspon dengan baik oleh Majelis Umum
PBB sehingga ILC pada tahun 1994 telah menyusun rancangan Statuta ICC dan
dibentuk pula Ad Hoc Committee on The Establishment of International Criminal
Court oleh Majelis Umum. Setahun kemudian Komite Ad Hoc digantikan dengan
1

Bhatara, Ibnu Reza, International Criminal Court: Suatu Analisis Mengenai Order Dalam Hubungan
Internasional, Program Studi Ilmu Politik, Pascasarjana, Universitas Indonesia 2002, hlm. 49.

Prepatory Committee on The Establishment of International Criminal Court untuk


mempersiapkan pembentukan ICC, serta penyelenggaraan Konferensi Diplomatik di
Italia tanggal 15-17 Juli 1998 yang diikuti oleh 130 negara.
A. Pembentukan Pengadilan Internasional Setelah Perang Dunia II
Seiring berkembangnya konsep hak asasi manusia pasca terjadinya perangperang di dunia yang menimbulkan bencana yang sangat besar bagi kehidupan
umat manusia. Muncul Mahkamah-mahkamah internasional yang didirikan
untuk mengadili para pelaku kejahatan saat terjadinya perang. Mahkamahmahkamah tersebut dibagi kedalam tiga periode yaitu periode Nuremberg and
Tokyo Trial, periode International Criminal Tribunal for The former
Yugoslavia dan International Criminal Tribunal for Rwanda, dan periode
International Criminal Court.2
Nuremberg and Tokyo Trial merupakan Pengadilan yang pertama kali
menguraikan kejahatan internasional yang terjadi sampai saat ini yaitu
kejahatan

terhadap

kemanusiaan,

kejahatan

perang,

kejahatan

yang

mengancam perdamaian. Berdasarkan pengadilan ini dikenal pula pertama


kalinya konsep individual criminal responsibility dimana mereka yang
dianggap bertanggung jawab atas tindak pidana secara individu tidak hanya
orang yang melakukannya tetapi juga yang memerintahkan untuk melakukan
tindak kejahatan tersebut.3
Setelah Nuremberg and Tokyo Trial berakhir kemudian dibentuklah
pengadilan bagi penjahat perang modern yang pertama yaitu International
Criminal Tribunal for The former Yugoslavia (ICTY). Pengadilan ini
memberikan sumbangan bagi pengembangan konsep individual criminal
responsibility dan command responsibility.4

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/11/13/LN/mbm.20061113.LN122248.id.html,
diakses pada tanggal 26 November 2014 pukul 21:38.
3
http://www.pusham.uii.ac.id/berkacapadatokyodannuremberg.pdf, diakses pada tanggal 26
November 2014
4
Command responsibility merupakan bentuk pertanggung jawaban seorang pemimpin atas tindak
kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya, baik pemimpin militer maupun sipil.

Pengadilan selanjutnya adalah International Criminal Tribunal for Rwanda


(ICTR) yang dibentuk berdasarkan resolusi DK PBB no.S/RES/955 tahun
1994. Pengadilan ini didirikan bertujuan untuk mengadili mereka yang
bertanggung jawab atas tindak kejahatan internasional yaitu genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap seluruh Konvensi
Jenewa tahun 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 pasal 4.5
B. Berdirinya Pengadilan Permanen International Criminal Court
Pada tanggal 17 Juli 1998 diselenggarakan sebuah Konferensi Diplomatik
PBB di Roma, Italia untuk mendirikan sebuah pengadilan internasional.6
Konferensi tersebut membentuk sebuah Mahkamah yaitu International
Criminal Court hasil itu diperoleh setelah mendapatkan dukungan dari 120
negara, 7 menolak dan 21 abstain. ICC merupakan pengadilan pidana
internasional pertama yang permanen dan independen, tujuan didirikannya
Mahkamah ialah untuk menegakkan keadilan, memutuskan kekebalan
seseorang pelaku kejahatan terhadap hukum, untuk mengakhiri konflik,
memperbaiki pengadilan ad hoc yang kurang berkinerja dengan baik.7

B.

Statuta Roma Sebagai Landasan Hukum International Criminal Court


Pengadilan baru resmi keberadaannya pada tanggal 1 Juli 2002, setelah 60
negara meratifikasi Statuta Roma. ICC memiliki landasan hukum yaitu Statuta Roma,
dan mempunyai badan-badan seperti kepresidenan, divisi banding, divisi pengadilan,
divisi pra-pengadilan, kantor jaksa penuntut serta kepaniteraan.8 Pembukaan Statuta
Roma menjelaskan bagaimana telah terjadinya kekejaman yang tidak dapat
dibayangkan, yang sangat mengguncang dunia. Mengakui bahwa kekejaman yang
5

Konvensi mengenai perlindungan terhadap korban perang sengketa bersenjata non-internasional.


Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional Mengadili: Genosida, Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Agresi, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta,
2000, hlm. ix.
7
William A. Schabas An Introduction to The International Criminal Court, Second Edition,
Cambridge University Press 2004, hlm. 176.
8
Pasal 34 Statuta Roma., Mahkamah terdiri dari organ-organ sebagai berikut: (a)Kepresidenan;
(b)Divisi Banding; Divisi Peradilan, Divisi Pra-Peradilan; (c)Kantor Penuntut Umum; dan
(d)Kepaniteraan
6

terjadi sangat mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan umat manusia di


dunia.
Kejahatan yang menjadi perhatian dari dunia internasional tidak dapat
dibiarkan begitu saja tanpa adanya hukuman, atau tuntutan ke pengadilan. Mahkamah
berupaya untuk menghilangkan impunity atau kekebalan hukum bagi para pelaku
kejahatan yang dinilai bersalah dan bertanggung jawab atas tindakan yang telah
dilakukan. Mahkamah dapat menjalankan tugas, fungsi serta kekuasaannya
didasarkan pada Statuta yang telah diputuskan sebelumnya terhadap suatu wilayah
dari negara anggota maupun suatu wilayah yang bukan anggota dengan adanya
perjanjian-perjanjian khusus.

C. Jurisdiksi Internasional Criminal Court


Statuta Roma merupakan landasan hukum bagi Mahkamah didalam
menjalankan tugas dan fungsinya, menjatuhkan dakwaan kepada individu-individu
yang didakwa bersalah sesuai dengan Jurisdiksi dari Mahkamah. Mahkamah
mempunyai Jurisdiksi atas individu yang melakukan pelanggaran terhadap kejahatan
yang sangat serius, yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Jurisdiksi
perkara (ratione materiae), Jurisdiksi waktu (ratione temporis), Jurisdiksi teritorial
(ratione loci), Jurisdiksi individu (ratione personae).9
a. Jurisdiksi Perkara (Ratione Materiae)
ICC mempunyai Jurisdiksi mengenai pokok perkara yang menjadi perhatian
utama yaitu genosida (genoside), kejahatan perang (war crimes), kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan agresi (agression).

b. Jurisdiksi Waktu (Ratione Temporis)


Perkara-perkara yang akan diadili oleh ICC sesuai Jurisdiksinya setelah mulai
berlakunya Statuta Roma pada tanggal 1 Juli 2002. Pengadilan Pidana internasional
9

Rudi M. Rizki, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1, No.2 April 2006, Beberapa Catatan Tentang
Pengadilan Pidana Internasional AD HOC Untuk Yugoslavia dan Rwanda Serta Penerapan Prinsip
Tanggung Jawab Negara Dalam Pelanggaran Berat HAM, Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak
Asasi Manusia (terAs), Fakultas Hukum Universitas Trisakti, hlm. 383.

merupakan salah institusi yang dimana tidak bisa melakukan jurisdiksi/penututan


terhadap kejahatan yang dilakukan sebelum disahkannya Statuta Roma. Namun ada
pengecualian terhadap aturan umum pada pengaplikasan yurisdiksi temporal dari
Statuta, karena dimungkinkan bagi negara untuk membuat deklarasi/pengakuan
terhadap jurisdiksi dari pengadilan terhadap kejahatan tertentu, walau negara tersebut
bukan negara pihak.
Banyak kritik yang diterima terhadap ketidakmampuan dalam mencapai kejahatan
internasional yang terdahulu dan mengadili kekejaman yang pernah terjadi sebelum
Statuta Roma disahkan. Namun, kegagalan untuk mengadili secara retroacatively
tidak menghapus dan memberikan bentuk impunitas terhadap pelakunya, setiap yang
memiliki tanggung jawab terhadap suatu kejahatan internasional sebelum disahkan
Statuta Roma mungkin dan harus di hukum oleh pengadilan nasional. Apabila negara
menolak unutk mengadili dapat dilakukan opso lain termasuk membuat perjajian
dengan membentuk pengadilan internasiona, seperti pengadilan khusus/Hybrid untuk
sierra Leone, dimana dasar pembentukannya berdasarkan perjanjian antara
pemerintah sierra leone dengan PBB.

c. Jurisdiksi Teritorial (Ratione Loci)

Tindak pidana yang dilakukan di dalam wilayah suatu negara peserta Statuta
dengan tidak melihat kewarganegaraan dari pelaku kejahatan.

Tindak pidana yang dilakukan dalam wilayah negara-negara yang menerima


Jurisdiksi Pengadilan atas pernyataan ad hoc.

Tindak pidana yang dilakukan dalam wilayah suatu negara, atas dasar
pelimpahan perkara oleh DK PBB.

Pengadilan memiliki yurisdiksi terhadapa kejahatan yang dilakukan dalam wilayah


negara pihak Dari Statuta Roma, tanpa menghiraukan asal kewarganegaraan dari
pelaku. Prinsip umum ini terdapat pada pasal 2 ayat 2 huruf a dari Statuta.
Pengadilan juga memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan diwilayah
negara yang mengakui jurisdiksi dari pengadilan.

Teritoral dalam yurisdiksi hukum pidana perlu didefinisikan, yaitu perluasan


pengertian terhadap dari wilayah kekuasaan dari Negara. Statuta Roma dalam konsep
teritorial termasuk kejahatan yang dilakukan dalam kapal dan pesawat yang
didaftarkan di negara pihak. Secara logika yurisdiksi teritorial harus diperluas hingga
udara diataa negara, wilayah perairan dan dimungkinkan hingga zona ekonomi
eksklusif yang saat ini pengaturan hal tersebut masih belum jelas, dan bentuk kasus
hukum pengadilan adhoc terdahulu belum dapat memberikan contoh nyata sehingga
jangkauan dari yurisdiksi teritorial masih perlu untuk ditentukan kemudian, maka
solusi dari isu tersebut dikembalikan dalam sistem peradilan nasional untuk
menyelesaikannya.

d. Jurisdiksi Individu (Ratione Personae)

Warga negara dari negara anggota yang melakukan tindak pidana sesuai
dengan pasal 12 ayat 2b.

Warga negara dari negara bukan anggota yang telah menerima Jurisdiksi
Pengadilan berdasarkan pernyataan ad hoc sesuai dengan pasal 12 ayat 3.

Terkait dengan tanggung jawab pidana perorangan, pengadilan dapat


menjalankan Jurisdiksinya terhadap siapa saja, tidak membedakan baik
pejabat pemerintah, kepala negara, anggota parlemen dan lain-lain atau
bukan.

Pengadilan dapat melaksanakan Jurisdiksinya kepada setiap atasan atau


petinggi baik komandan militer atau atasan sipil, yang memiliki komando
serta pengawasan yang efektif terhadap bawahannya sesuai dengan pasal
28 Statuta.

Pengadilan Pidana Internasional juga memiliki jurisdiksi pada setiap warga negara
dari negara pihak yang didakwa sebgai pelaku kejahatan internasional, sesui
pengaturan dalam pasal 12 ayat 2 huruf b Statuta Roma, kemudian pengadilan juga
bisa menuntut warga negara dari bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi dari
Statuta Roma dan yurisdiksi ini mengikuti keputusan dari Dewan Keamanan PBB.

Kembali pada keputusan sebelumnya yang terdapat dalam piagam Nuremberg dan
konvensi jenewa tahun 1948, Statuta menyatakan setiap aturan nasional maupun
internasional yang memberikan immunitas/kekebalan atau dengan kata lain
memberikan perlindungan dari penuntutan pidan tidak memiliki efek terhadap
pengadilan pidana internasional. Secara umum ada 2 bentuk utama imunitas: pertama,
dibeberapa negara melalui konstitusi dan/atau undang-undang memberikan kepala
negara dan dalam kasus lain perangakat pemerintahan atau perwakilan terpilih
memiliki imunitas dari penuntutan; kedua, dalam hukum kebiasaan internasional dan
perjanjian internasional, kepala negara, menteri luar negari, dan diplomat tidak bisa
dituntut oleh pengadilan dari negara lain. Statuta Roma juga menyatakan bahwa
pengadilan pidana internasional juga tidak memiliki turisdiksi terhadap orang yang
masih berumur dibawah 18 tahun saat waktu pelanggaran dilakukan.

Kewenangan Oleh Dewan Keamanan PBB dalam ICC

Pengadilan peinda internasional juga mampu untuk dihentikan dalam melaksanakan


yurisdiksinya ketika saat di perintahkan oleh dewan keamanan, yang berdasar pasal
16 Statuta Roma. Statuta tersebut menyatakan dewan keamanan mampu mengadopsi
resolusi dalam Bab VII dari piagam PBB meminta pengadilan untuk menangguhkan
penuntutan, yang dalam hal ini pengadilan tidak bisa menolak. Ketetapan ini sangat
di kritik, namun ini adalah bentuk perubahan significant dari rancangan awal oleh
komisi hukum internasional, yang dalam dokumen pengadilan tersebut dilarang untuk
segala bentuk penuntutan terhadap kasus Yang ditangani oleh Dewan Keamanan
sebagai ancaman atau pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi berdasarkan Bab
VII Piagam PBB, kecuali Dewan Keamanan memutuskan sebaliknya. Sebuah
ketetapan dimana memperbolehkan suatu negara dalam Dewan Keamanan untuk
menghentikan penuntutan. Namun perlu disadari bahwa tentu akan ada kesulitan

dalam menentukan sebuah keputusan saat kebijakan penuntutan pidana ketika


dihadapkan negosiasi politik yang sensitif.10

10

Op.Cit, William A. Schabas, An Introduction To The International Criminal Court Second edition, hlm
69-82

Anda mungkin juga menyukai