Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

Hukum Perdata Internasional

“Analisa Kasus”

Disusun Untuk Memenuhi Nilai Pada Mata Kuliah Hukum Perdata Internasonal

Dosen Pengampu : Eka Jaya Subadi, SH.,MH.

Disusun Oleh :

Nama : Zausan Maulia Lestari

NIM : D1A020541

Mata Kuliah : Hukum Perdata Internasional

Kelas : E1

Semester : 5 (lima)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2022/2023
Analisa Kasus Hukum Perdata Internasional

Kasus 1 :

Seorang WNA (A) mempercayakan investasi di Indonesia kepada WNI penduduk


pribumi (B). kemudian oleh (B) diinvestasikan dalam bentuk aset berupa benda tidak
bergerak (hotel, tanah dll). A dan B sudah wafat , ahli waris si A kemudian menggugat ahli
waris B, sebelumnya si B sudah meninggalkan wasiat kepada ahli warisnya kalau aset yang
dia kelola ini adalah milik si A (WNA). Analisis kasus hukum!!

Analisa Kasus :

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang dimana memberikan jaminan dan
perlindungan atas hak-hak warga negaranya, seperti hak warga negara untuk mendapatkan,
mempunyai, dan menikmati hak milik. Di dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, selain itu
peruntukan kepemilikan hak atas tanah dibatasi penguasaannya. Dimana bahwa hukum
bertujuan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat, ketertiban, dan mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya hukum tersebut.
Pada kenyataannya, minat orang asing untuk memiliki tanah tanpa bangunan atau beserta
bangunan yang berstatus Hak Milik atau Hak Guna Bangunan ditempuh melalui cara-cara
yang sejatinya merupakan penyelundupan hukum.

Terdapat aturan yang jelas dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan
lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan
oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2) adalah batal karena hukum dan tanahnya
jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hakhak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut
kembali

Dengan demikian jika melihat kasus diatas, bahwa ahli waris si A menggugat ahli waris
si B terkait dengan aset yang dikelola oleh si B, dimana aset tersebut telah dipercayakan
sebelumnya oleh si A. Oleh karena itu, kita harus mengetahui terlebih dahulu hukum mana
yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara ini. Apabila kita merujuk pada Algemene
Bepalingen Van Wetgeving (Ab) pada Pasal 17 AB: mengenai benda tetap harus dinilai
menurut hukum dari negara/tempat di mana benda tetap itu terletak (Lex Resitae). Oleh
karena itu, melalui pasal tersebut dapat diketahui bahwasanya hukum untuk mengadili
perkara tersebut yang digunakan adalah hukum di Indonesia. Selanjutnya terkait dengan
perkara ahli waris si A yang menggugat ahli waris si B, jika kita melihat kasus posisi diatas,
bahwa si A mempercayakan investasinya kepada si B, dimana “mempercayakan” berarti
adanya perjanjian, yang dinamakan perjanjian nominee, dimana perjanjian ini tidak memiliki
kekuatan hukum, karena perjanjian nominee itu merupakan kepercayaan pihak yang
melakukan atau yang membuat perjanjian nominee saja. Sehingga, hal ini melahirkan
penyelundupan hukum. Namun si A dan B telah wafat, sehingga persoalannya adalah ahli
waris si A menggugat si ahli waris si B. Namun, si B sudah meninggalkan wasiat kepada ahli
warisnya kalau aset yang dia kelola ini adalah milik si A (WNA). Menurut analisis saya
terkait hal tersebut, gugatan yang diajukan oleh ahli waris A tidak berkekuatan hukum, sebab
aset-aset benda tidak bergerak tersebut atas nama si B, walaupun si B telah mengeluarkan
wasiat bahwa aset tersebut milik si A. Sebagaimana, yang telah dijelaskan pada Pasal 26 ayat
(2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok
Agraria yang menegaskan bahwa “Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada
suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat
(2) adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang
telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali” Sehingga dapat disimpulkan
bahwasannya menurut regulasi tersebut, Kepemilikan segala aset tersebut jatuh ke tangan
negara.
Kasus 2 :

WNA A dengan WNI B, sebelum mereka melakukan perkawinan ada perjanjian kawin
yang menyebutkan semua aset milik si A dialihkan dan dipercayakan kepada B, kemudian
setelah mereka lama menikah. Si B menggugat cerai si A, kemudian si A menggugat si B
perihal harta kekayaannya yang telah dialihkan kepada B(wni)

Analisa Kasus :

Dilihat dari kasus posisi diatas, si A selaku Warga Negara Asing (WNA) ini tidak
dijelaskan berasal dari negara mana, tetapi si B telah jelas bahwa ia adalah Warga Negara
Indonesia. Apabila kita merujuk pada salah satu prinsip Hukum Perdata Internasional yang
dibuat atas dasar asas genealogis, adalah: Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap
proses penyelesaian sengketa hukum, hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak
tergugat. Maka dari itu, hukum yang digunakan dalam perkara ini adalah hukum Indonesia.
Apabila kita melihat dari hukum Indonesia bahwa kedua belah pihak ini dalam kasus
dijelaskan bahwa telah melakukan sebuah perjanjian perkawinan yang dimana telah terjadi
kesepakatan. Terdapat Putusan MK Nomor 69 Tahun 2015 yang mengatasi keresahan dari
para WNI yang menikah dengan pasangan berbeda kewarganegaraan.

Didalam HPI pengertian perkawinan campuran itu sendiri adalah perkawinan yang
berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domisili atau berbeda kewarganegaraan.
Pengertian ini apabila dihubungkan dengan pengertian perkawinan dalam Pasal 57 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki kesamaan, yaitu perkawinan
yang dilangsungkan antara para pihak yang berbeda kewarganegaraan, namun dalam UUP ini
salah satu pihak harus berkewarganegaraan Indonesia dan dilangsungkan di Indonesia.

Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda merupakan pokok pangkal
yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan dan ketegangan dalam hidup perkawinan.
Sehubungan dengan itu Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memberikan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 35 sampai
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan:

a) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

b) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, harta benda milik bersama berada dibawah penguasaan suami istri sejak
perkawinan dan suami istri hanya dapat bertindak terhadap harta benda milik bersama
berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan). Hukum masing-masing disini adalah hukum hukum lain
yang masih relevan di Indonesia.

Di Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan pembagian
harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam
tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup maupun
cerai mati ini, masing-masing mendapat setengah dari harta bersama tersebut.
Selengkapnya Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi:

(1) Jika terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih

lama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang

harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau mati secara hukum
atas dasar keputusan Pengadilan Agama.

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: "Janda atau duda yang cerai hidup
masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”. Dari uraian di atas, dapat diambil pengertian bahwa pembagian harta
bersama karena cerai hidup dapat dilakukan secara langsung antara bekas istri dan suami
dengan pembagian masing-masing setengah bagian.

Asas-asas HPI yang relevan dengan usaha penentuan status benda-benda tidak
berwujud, menetapkan bahwa yang harus diberlakukan sistem hukum dari tempat :

a) Kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan atau berdomisili (lex

patriae atau lex domicili).


b) Gugatan atas benda-benda itu diajukan (lex fori).

c) Yang sistem hukumnya dipilih para pihak dalam perjanjian yang menyangkut benda-
benda

itu (choice of law).

d) Yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang

menyangkut benda tersebut (the most subtantial connection).

Dalam hal ini ada perbedaan paham mengenai sifat hukum sebenarnya dari harta benda
perkawinan internasional dan hukum mana yang harus digunakan apabila para pihak tidak
membuat syarat-syarat perkawinan, maka ada 3 aliran yang perlu dipahami yakni:

a. Pendirian yang memandang hukum harta benda perkawinan seperti benda tidak
bergerak,

karena itu termasuk dengan apa yang dinamakan status reel.

b. Pendirian bahwa hukum harta benda perkawinan termasuk bidang status personal.

c. Pendirian bahwa hukum harta benda merupakan suatu kontrak diantara para mempelai,

maka kehendak para pihaklah yang menentukkan hukum yang harus dipergunakan.

Terkait mengenai perjanjian Perkawinan yang telah mereka buat itu nantinya berakhir
setelah adanya perceraian.
Kasus 3 :

Si A WNA dia memercayakan kepada si B yang seorang WNI, si B ini adalah seorang
kontraktor yang dipercayakan untuk membangun Tiga (3) Villa senilai total 3 milyar. Si A
kemudian mentransfer 1 milyar kemudian si B baru bisa menyelesaikan 1 bangunan Villa
saja. Bangunan pertama tersebut baru jadi hanya 80%. Dan masalah lain yang terjadi yakni
lokasi Villa tersebut terkena abrasi. Kemudian si A menggugat si B ke Pengadilan Negeri
yang ada di Indonesia dengan gugatan wanprestasi yang pada intinya si A meminta modal
yang telah dberikan kepada si B kembali 100%

notes : kasusnya sudah masuk ke Pengadilan

Analisa Kasus :

Terkait perkara yang ada pada kasus di atas, kita harus mengetahui mengenai hukum
apa yang akan digunakan dalam menyelesaiakan perkara perdata internasional ini.
Berdasarkan kasus tersebut hukum yang akan digunakan adalah hukum Indonesia
sebagaimana telah jelas di paparkan pada kasus diatas, bahwa perkara ini diajukan di
Pengadilan Negeri di Indonesia. Sebagaimana telah termaktub dalam Pasal 18 AB: bentuk
tindakan hukum dinilai menurut hukum di mana tindakan itu dilakukan (LOCUS REGIT
ACTUM). Pada kasus posisi diatas, si A menggugat si B atas perbuatannya dalam gugatan
wanprestasi yang diajukan kepada Pengadilan Negeri. Masalah-masalah hukum yang timbul
dari pelaksanaan suatu perjanjian (hasil kualifikasi) harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat di mana perjanjian itu dilaksanakan (titik taut sekunder).

Menurut kasus posisi diatas, si A selaku WNA telah mempercayakan kepada si B


selaku WNI untuk membangun villa, sehingga hal ini termasuk dalam Perjanjian Nominne,
yang mana menurut analisis saya, si A sejak terjadinya kesepakatan dengan B telah
melakukan kesalahan karena telah melakukan perjanjian nominne dengan si B yang
melahirkan penyelundupan hukum. Perjanjian nominee tidak memiliki kekuatan hukum,
karena perjanjian nominee itu merupakan kepercayaan pihak yang melalukam atau yang
membuat perjanjian nominee saja. Jadi dapat kita simpulkan bahwa perjanjian nominee
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dan apabila diselesaikan di Pengadilan,
maka tidak ada sanksi yang mengikat. Dalam perjanjian nominee syarat objektif suatu sebab
yang halal tidak dipenuhi, maka mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi
hukum.
Apabila merujuk pada Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian
yang dibuat dengan kausa palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Sehingga,
perjanjian itu dianggap sudah batal dari semula karena tidak semua perjanjian yang dibuat
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. Selain itu, masalah lainnya adalah si
A menggugat si B dengan gugatan Wanprestasi karena dianggap telah dirugikan dan meminta
modal yang telah diberikan kepada si B sebesar 100%, namun perlu diketahui bahwa
bangunan villa yang telah didirikan oleh si B terkena abrasi, yang dimana kita ketahui bahwa
hal tersebut berada diluar kontrol si B karena disebabkan oleh abrasi yang merupakan sebuah
bencana. Sehingga, hal ini tidak termasuk dalam unsur kelalaian dan ingkar janji oleh si B
kepada si A, yang mana hal tersebut terjadi karena suatu peristiwa yang membinasakan
benda yang menjadi objek perikatan. Oleh karena itu, gugatan wanprestasi tersebut tidak
layak disematkan/dilayangkan karena tidak memenuhi syarat-syarat wanprestasi.

Anda mungkin juga menyukai