Anda di halaman 1dari 20

TUGAS

TINDAK PIDANA KORUPSI

“ANOTASI PUTUSAN”

Perkara Nomor : 130/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst

Disusun Untuk Memenuhi Nilai Pada Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi

Dosen Pengampu : Dr. Ufran,SH.,MH.

Disusun Oleh :

Nama : Zausan Maulia Lestari

NIM : D1A020541

Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi

Kelas : F1

Semester : 5 (lima)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2022
Anotasi Putusan

Perkara Tindak Pidana Korupsi


Terdakwa Setyo Novanto
Informasi Perkara

1. Identitas Terdakwa
Nama lengkap : SETYA NOVANTO
Tempat lahir : Bandung
Umur/Tanggal lahir : 62 Tahun / 12 November 1955
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Ketua DPR-RI/Mantan Ketua Praksi Golkar DPR-RI
Tempat tinggal : Jalan Wijaya XIII No. 19 RT. 003/RW.003 Kelurahan
Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

2. Kasus Posisi
Bahwa Terdakwa SETYA NOVANTO selaku Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2009-2014 yang juga selaku Ketua Fraksi
Partai Golkar bersama-sama dengan IRMANselaku Direktur Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan SUGIHARTO selaku Pejabat yang
Melakukan Tindakan Yang Mengakibatkan Pengeluaran Anggaran Belanja atau Pejabat
Pembuat Komitmen di Lingkungan Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi
Kependudukan (PIAK) pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementerian Dalam Negeri sekaligus selaku Direktur PIAK, ANDI AGUSTINUS Alias
ANDI NAROGONG dan ANANG SUGIANA SUDIHARDJO selaku Penyedia
Barang/Jasa pada Kementerian Dalam Negeri, ISNU EDHI WIJAYA selaku Ketua
Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), IRVANTO HENDRA
PAMBUDI CAHYO selaku Direktur PT Murakabi Sejahtera dan selaku Ketua
Konsorsium Murakabi, MADE OKA MASAGUNG selaku Pemilik OEM
Investment,Pte. Ltd dan Delta Energy,Pte. Ltd, DIAH ANGGRAENI selaku Sekretaris
Jenderal Kementerian Dalam Negeri,danDRAJAT WISNU SETYAWAN selaku Ketua
Panitia Pengadaan Barang/Jasa diLingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan
Catatan Sipil,pada waktu antara bulan November 2009 sampai dengan Desember 2013
atau pada suatu waktu dalam tahun 2009 sampai dengan 2013, bertempat di Gedung
DPR RI Jalan Jenderal Gatot Subroto Senayan Jakarta Selatan, Hotel Gran Melia Jalan
H.R. Rasuna Said Nomor Kav X-0 Jakarta Selatan, Jalan Wijaya XIII No. 19 Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, Equity Tower Jalan Jenderal Sudirman Kav 52-53 Senayan
Kebayoran Baru Jakarta Selatan,Kantor Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri Jalan Taman Makam Pahlawan No. 17 Jakarta Selatan,
Graha Mas Fatmawati Blok B No. 33-35 Jakarta Selatan, Hotel Sultan Jalan Gatot
Subroto Jakarta Pusatatau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,
yang melakukan atau yang turut serta melakukan, secara melawan hukum.
Terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan intervensi
dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket Pekerjaan Penerapan KTP
Berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun
Anggaran 2011-2013 yang bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Juncto
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,JunctoUndang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
JunctoUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, juncto Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, JunctoPeraturan DPR RI Nomor 1
tahun 2009 tentang Tata Tertib, JunctoKeputusan DPR RI Nomor: 16/DPR RI/I/2004-
2005 tentang Kode Etik DPR RI sebagaimana diganti dengan Peraturan DPR RI Nomor
1 tahun 2011 tentang Kode Etik,melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Terdakwa dan memperkaya orang lain
yakni Irman, Sugiharto, Andi Agustinus Alias Andi Narogong, Gamawan Fauzi, Diah
Anggraeni, Drajat Wisnu Setyawan beserta 6 (enam) orang anggota Panitia Pengadaan
Barang/Jasa, Johannes Marliem, Miryam S. Haryani, Markus Nari, Ade Komarudin, M.
Jafar Hapsah, beberapa anggota DPR RI periode tahun 2009 s/d 2014, Husni Fahmi, Tri
Sampurno, Yimmy Iskandar Tedjasusila Alias Bobby beserta 7 (tujuh) orang Tim
Fatmawati, Wahyudin Bagenda, Abraham Mose beserta 3 (tiga) orang Direksi PT LEN
Industri, Mahmud Toha, Charles Sutanto Ekapradja serta memperkaya korporasi yakni
Manajemen Bersama Konsorsium PNRI, Perusahaan Umum Percetakan Negara
Republik Indonesia (Perum PNRI), PT Sandipala Artha Putra, PT Mega Lestari Unggul,
PT LEN Industri, PT Sucofindo, dan PT Quadra Solution, yang merugikan keuangan
negaraatau perekonomiannegara yaitu merugikan keuangan negara sebesar
Rp2.314.904.234.275,39 (dua triliun tiga ratus empat belas miliar sembilan ratus empat
juta dua ratus tiga puluh empat ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah tiga puluh
sembilan sen) atau setidak-tidaknya sejumlah itu, yang dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
- Bahwa pada akhir November 2009, Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri
mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor : 471.13/4210.A/SJ perihal Usulan
Pembiayaan Pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Penerapan KTP
Berbasis NIK Secara Nasional. Dalam surat tersebut Gamawan Fauzi meminta
kepada Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk merubah sumber pembiayaan
Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik yang semula dibiayai dengan menggunakan
Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari anggaran rupiah
murni. Perubahan sumber pembiayaan tersebut kemudian dibahas dalam Rapat Kerja
dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II
DPRRI.
- Dengan perubahan sumber pembiayaan ke anggaran rupiah murni dalam APBN
maka dibutuhkan persetujuan DPR RI atas rancangan anggaran Pembiayaan
Pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Penerapan KTP Berbasis NIK
Secara Nasional yang akan diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Pada awal
bulan Februari 2010 guna mempermudah proses pembahasan anggaran tersebut,
Irman dan Andi Agustinus Alias Andi Narogong membuat kesepakatan dengan
Burhanudin Napitupulu selaku Ketua Komisi II DPR RI, yang pada pokoknya pihak
yang akan memberikan fee kepada anggota DPR RI untuk memperlancar
pembahasan anggaran proyek penerapan KTP Elektronik adalah Andi Agustinus
Alias Andi Narogong. Kesepakatan tersebut juga telah diketahui oleh Diah
Anggraeni selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
- Selanjutnya Irman mengarahkan Andi Agustinus Alias Andi Narogong untuk
langsung berkoordinasi dengan Sugiharto,dan menyarankan untuk menghubungi
Winata Cahyadi selaku Direktur PT Karatama yangmenjadi pemenang dalam proyek
uji petik E-KTP pada tahun 2009. Selain membuat kesepakatan dengan Burhanudin
Napitupulu, Andi Agustinus Alias Andi Narogong yang memiliki kedekatan dengan
Terdakwa, mengajak Irman untuk menemui Terdakwa selaku Anggota DPR RI yang
juga selaku Ketua Fraksi Partai Golkar karena Terdakwa selaku Ketua Fraksi Golkar
dipandang sebagai kunci keberhasilan pembahasan anggaran Pekerjaan Penerapan
KTP Elektronik. Atas ajakan tersebut, Irman menyetujuinya.
- Masih pada bulan Februari 2010 pukul 06.00 WIB bertempat di Hotel Gran Melia,
Terdakwa bersama Andi Agustinus Alias Andi Narogong melakukan pertemuan
dengan Irman, Sugiharto, dan Diah Anggraeni terkait persiapan proses penganggaran
Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik. Pada pertemuan tersebut Terdakwa
menyampaikan, “Di Depdagri akan ada program E-KTP yang merupakan program
strategis nasional, ayo kita jaga bersama-sama.” Selain itu Terdakwa menyatakan
dukungannya dalam pembahasan anggaran Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik.
- Beberapa hari kemudian Terdakwakembali memanggil Andi Agustinus Alias Andi
NarogongkeLantai 12 Gedung DPR RI di ruang kerjanya. Dalam pertemuan itu,
Terdakwa memperkenalkan Andi Agustinus Alias Andi Narogongsebagai salah satu
pengusaha yang akan ikut Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik kepada Mirwan
Amir yang merupakan Wakil Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat.
Selanjutnya Mirwan Amir mengarahkan Andi Agustinus Alias Andi Narogong untuk
berkoordinasi dengan seorang pengusaha yang bernama Yusnan Solihin. Arahan
Mirwan Amir tersebut kemudian ditindaklanjuti Andi Agustinus Alias Andi
Narogong dengan beberapa kali melakukan pertemuan dengan Yusnan Solihin,
Aditya Suroso, dan Ignatius Mulyono di Tebet Indrayana Square (TIS). Dalam
pertemuan-pertemuan tersebut Yusnan Solihin menginginkan dibentuknya
perusahaan gabungan untuk menentukan harga barang dalam proyek Penerapan KTP
Elektronik
- Pada akhir April 2010, setelah pergantian Ketua Komisi II, Terdakwa
memperkenalkan Andi Agustinus Alias Andi Narogong kepada Chairuman Harahap
selaku Ketua Komisi II DPR RI di ruang Fraksi Golkar Lantai 12 Gedung DPR RI,
sebagai pengusaha yang akan ikut mengerjakan proyek E-KTP. Perkenalan tersebut
kemudian ditindaklanjuti oleh Andi Agustinus Alias Andi Narogong dengan
menemui Chairuman Harahap di ruang kerjanya. Dalam pertemuan dimaksud, Andi
Agustinus Alias Andi Narogong menyampaikan keinginannya untuk ikut dalam
Pekerjaan Penerapan KTP Berbasis NIK Secara Nasional, untuk itu Andi Agustinus
Alias Andi Narogong bersedia memberikan.
- sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR RI guna memperlancar pembahasan
anggaran.  Terdakwa kembali melakukan pertemuan di Lantai 12 Gedung DPR RI
dengan Andi Agustinus Alias Andi Narogong, Johannes Marliem, Iftikar Ahmad, dan
Greg Alexander untuk meyakinkan pihak L-1 atau Johannes Marliem bahwa
Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik benar-benar adadan anggaran sudah tersedia.
Dalam pertemuan itu Terdakwa membagikan kartu namanya kepada Johannes
Marliem, Iftikar Ahmad, dan Greg Alexander.
- Bahwa antara bulan Mei-Juni 2010, Andi Agustinus Alias Andi Narogong
menghadiri rapat yang diadakan oleh Irman bertempat di Hotel Sultan. Selain Andi
Agustinus Alias Andi Narogong, rapat tersebut dihadiri oleh Johanes Richard
Tanjaya selaku Direktur PT Java Trade Utama dan Husni Fahmi selaku Ketua Tim
Teknis. Dalam pertemuan itu Irman memperkenalkan Andi Agustinus Alias Andi
Narogong sebagai orang yang akan mengurus penganggaran di DPR RI dan
melaksanakan Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik.Sebagai tindaklanjutnya Irman
meminta Johanes Richard Tanjaya membantu memperkenalkan Andi Agustinus Alias
Andi Narogong kepada pihak prinsipal dan mempersiapkan desain proyek KTP
Elektronik. Andi Agustinus Alias Andi Narogong juga mendapat penjelasan dari
Husni Fahmi mengenai peranan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
(SIAK) dalam pekerjaan uji petik KTP Elektronik, yang rencananya juga akan
dipergunakan dalam Pekerjaan Penerapan KTP Elektronik. Untuk menindaklanjuti
hasil pertemuan itu, Andi Agustinus Alias Andi Narogong menyampaikan bahwa
untuk pertemuan berikutnya akan dilakukan di Ruko milik Andi Agustinus Alias
Andi Narogong yang beralamat di Graha Mas Fatmawati Blok B No. 33-35 Jakarta
Selatan (selanjutnya disebut Ruko Fatmawati
- Bahwa pertemuan Tim Fatmawati tersebut berlangsung kurang lebih selama 10
(sepuluh) bulan dan menghasilkan beberapa output diantaranya adalah Standard
Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja,
dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga
Perkiraan Sendiri (HPS) yang pada tanggal 11 Februari 2011 ditetapkan oleh
Sugiharto. HPS tersebut disusun dan ditetapkan tanpa melalui survey berdasarkan
data harga pasar sehingga terdapat mark up ataukemahalan harga didalamnya yakni
sejumlah Rp18.000,00 (delapan belas ribu rupiah) per keeping.
- Bahwa pada tanggal 21 Juni 2011 Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium PNRI
sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5.841.896.144.993,00 (lima
triliun delapan ratus empat puluh satu miliar delapan ratus sembilan puluh enam juta
seratus empat puluh empat ribu sembilan ratus sembilan puluh tiga rupiah).
Penetapan tersebut ditindaklanjuti dengan menandatangani Kontrak Nomor :
027/886/IK tanggal 1 Juli 2011 dengan jangka waktu pekerjaan sampai dengan 31
Oktober 2012, dengan nilai pekerjaan sejumlahRp5.841.896.144.993,00 (lima triliun
delapan ratus empat puluh satu miliar delapan ratus sembilan puluh enam juta seratus
empat puluh empat ribu sembilan ratus sembilan puluh tiga rupiah), menggunakan
harga lumsump dan secara multiyears(tahun jamak)dengan perincian nilai pekerjaan
tahun 2011 sejumlah Rp2.262.583.432.951,00 (dua triliun dua ratus enam puluh dua
miliar lima ratus delapan puluh tiga juta empat ratus tiga puluh dua ribu sembilan
ratus lima puluh satu rupiah) dan nilai pekerjaan tahun 2012 sejumlah
Rp3.579.896.144.993,00 (tiga triliun lima ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan
ratus sembilan puluh enam juta seratus empat puluh empat ribu sembilan ratus
sembilan puluh tiga rupiah).
- Setelah ditandatanganinya kontrak tersebut, Kementerian Dalam Negeri tidak
memberikan uang muka pekerjaan. Hal itu dilaporkan kepada Terdakwa oleh Andi
Agustinus Alias Andi Narogong, Johannes Marliem,Anang Sugiana Sudihardjo, dan
Paulus Tannos pada sekira bulan September s/d Oktober 2011 di rumah Terdakwa
Jalan Wijaya XIII No. 19 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan
tersebut Paulus Tannos melaporkan bahwa Konsorsium PNRI tidak mendapatkan
uang muka pekerjaan sebagai modal kerja. Paulus Tannos kemudian meminta
petunjuk Terdakwa. Atas penyampaian tersebut,Terdakwa akan memperkenalkan
“orang”nya atau “perwakilan”nya yaitu Made Oka Masagung yang mempunyai relasi
ke banyak bank. Terdakwa juga menyampaikan adanya komitmen fee yang
merupakan jatah untuk Terdakwa dan anggota DPR RI sebesar 5% dari nilai proyek
- Guna melaksanakan kesepakatan tersebut, selanjutnya Johannes Marliem dan Anang
Sugiana Sudihardjo mengirimkan uang kepada Terdakwa dengan terlebih dahulu
disamarkan menggunakan beberapa nomor rekening perusahaan dan money changer
baik di dalam maupun diluar negeri. Uang tersebut selanjutnya diterima oleh
Terdakwa dengan cara dan perincian sebagai berikut:
1. Diterima oleh Terdakwa melalui Made Oka Masagung seluruhnya berjumlah
USD3,800,000 (tiga juta delapan ratus ribu dolar Amerika Serikat), dengan
perincian diterima melalui rekening OCBC Center Branch Nomor Rekening
501029938301 atas nama OEM Investment, Pte. Ltd.sejumlah USD1,800,000
(satu juta delapan ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan melalui rekening Delta
Energy, Pte. Ltd. di Bank DBS Singapura Nomor Rekening 0003-007277-01-6-
022 sejumlah USD2,000,000 (dua juta dolar Amerika Serikat).
2. Diterima oleh Terdakwa melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo pada tanggal 19
Januari 2012 s/d 19 Februari 2012 seluruhnya berjumlah USD3,500,000 (tiga juta
lima ratus ribu dolar Amerika Serikat).
Sehingga total uang yang diterima Terdakwa baik melalui Irvanto Hendra Pambudi
Cahyo maupun melalui Made Oka Masagung seluruhnya berjumlah USD7,300,000
(tujuh juta tiga ratus ribu dollar Amerika Serikat).
- Bahwa selain menerima uang-uang tersebut, sekira November 2012, Terdakwa juga
menerima pemberian barang berupa 1 (satu) buah jam tangan merk RICHARD
MILLE seri RM 011 seharga USD135,000 (seratus tiga puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat)yang dibeli oleh Andi Agustinus Alias Andi Narogong bersama
dengan Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Terdakwa telah
membantu memperlancar proses penganggaran.

3. Amar Putusan

Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan.

MENGADILI:

1. Menyatakan Terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, sebagaimana Dakwaan Kedua.
2. Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa Setya Novanto berupa pidana penjara
selama 16 (enam belas) tahun dan pidana denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) dengan ketentuanapabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengnan
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan.
4. Menetapkan terdakwa teteap berada dalam tahanan.
5. Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Terdakwa Setya Novanto untuk membayar
uang pengganti sejumlah USD7.435.000 (tujuh juta empat ratus tiga puluh lima
dollar Amerika Serikat) dikurangi uang yang dikembalikan oleh Terdakwa sejumlah
Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) selambat-lambatnya satu bula setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika dalam jangka waktu
tersebut Terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya disita oleh
Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana
tidak mempunyai harta benda yang memcukupi untuk membayar uang pengganti
maka dipidana penjara selama 3 (tiga) tahun.
6. Menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak Terdakwa untuk menduduki
dalam jabatan publik selama 5 (lima ) tahun terhitung sejak terpidana selesai
menjalani masa pemidanaan..
7. Menyatakan Barang bukti berupa : Uang sejumlah Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah) yang telah disetorkan ke Bank Mandiri Nomor Rekening 1240029969996
atas nama KPK QQ RPL 175 KPK UTK PDT IDR Titipan pada tanggal 15 Maret
2018 yang merupakan uang pengambilan dari Terdakwa Dirampas Untuk Negara.
8. Membebankan kepada Terdakwa Setya Novanto untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim


Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada hari
Selasa : tanggal 17 April 2018 oleh kami Dr. Yanto, S.H., M.H., sebagai Hakim Ketua,
Frangki Tambuwun, S.H., M.H., Emilia Djajasubagia, S.H., M.H, sebagai Hakim
Anggota, Dr. Anwar, S.H., M.H., dan Sukartono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut
diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 24 April
2018 oleh Hakim Ketua tersebut dengan didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota
dibantu oleh Roma Siallagan S.H., M.H., Martin Turnip, SH,MH, Yuris Detiawan, S.H.,
M.H., masing-masing sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dihadiri oleh Penuntut Umum
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Terdakwa didampingi oleh Tim Penasihat
Hukumnya

4. Pihak Yang Terlibat Dalam Perkara


1. Irman sebesar Rp2.371.250.000,00 (dua miliar tiga ratus tujuh puluh satu juta dua
ratus lima puluh ribu rupiah) dan USD877,700 (delapan ratus tujuh puluh tujuh ribu
tujuh ratus dolar Amerika Serikat) dan SGD6,000 (enam ribu dolar Singapura)
2. Sugiharto sejumlah USD3,473,830 (tiga juta empat ratus tujuh puluh tiga ribu
delapan ratus tiga puluh dolar Amerika Serikat)
3. Andi Agustinus alias Andi Narogong sejumlah USD 2,500,000 (dua juta lima ratus
ribu dolar Amerika Serikat) dan Rp.1.186.000.000,00 (satu miliar seratus delapan
puluh enam juta rupiah).
4. Gamawan Fauzi sejumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan menurut
keterangan Andi Agustinus dan Anang Sugiana Sudihardjo yang didengar dari Paulus
Tannos diberikan juga 1 (satu) unit Ruko di Grand Wijaya dan sebidang tanah di
Jalan Brawijaya III melalui Asmin Aulia, akan tetapi di depan persidangan Asmin
Aulia menunjukkan bukti-bukti adanya jual beli antara Asmin Aulia dengan Paulus
Tannos.
5. Diah Anggraeni sejumlah USD500.000,00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat)
dan Rp22.500.000,00 (dua puluh dua juta lima ratus ribu rupiah).
6. Drajat Wisnu Setyawan sejumlah USD40,000 (empat puluh ribu dolar Amerika
Serikat) dan Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
7. (enam) orang Anggota Panitia Lelang masing-masing sejumlah Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
8. Tri Sampurno sejumlah Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
9. Husni Fahmi sejumlah USD20,000 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
10. Miryam S. Haryani sejumlah USD1,200,000 (satu juta dua ratus ribu Dolar Amerika
Serikat).
11. Markus Nari sejumlah USD400,000 (empat ribu dolar Amerika Serikat).
12. Ade Komarudin sejumlah USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
13. M. Jafar Hapsah sejumlah USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
14. Charles Sutanto Ekapradja sebesar USD800,000 (delapan ratus ribu dolar Amerika
Serikat).
15. Beberapa Anggota DPR RI yang seluruhnya berjumlah USD12.856.000,00 (dua
belas juta delapan ratus lima puluh enam ribu dolar Amerika Serikat) dan Rp.
44.000.000.000,00 (empat puluh empat miliar rupiah).
16. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam dan Darma Mapangara selaku
Direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) serta untuk kepentingan gathering dan SBU masing-masing
sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), yang merupakan uang operasional
untuk para Direktur yang diberikan setiap tahun oleh perusahaan.
17. Wahyudin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri sejumlah
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
18. Johannes Marliem sejumlah USD14.880.000,00 (empat belas juta delapan ratus
delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat) dan Rp25.242.546.892,00 (dua puluh lima
miliar dua ratus empat puluh dua juta lima ratus empat puluh enam ribu delapan ratus
sembilan puluh dua rupiah).
19. Beberapa anggota Tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby,
Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu, Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Mudji Rahmat
Kurniawan masing-masing sejumlah Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
20. Mahmud Toha sejumlah Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
21. Manajemen bersama Konsorsium PNRI sejumlah Rp.137.989.835.260,00 (seratus
tiga puluh tujuh miliar sembilan ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus tiga
puluh lima ribu dua ratus enam puluh rupiah).
22. Perum PNRI sejumlah Rp107.710.849.102,00 (seratus tujuh miliar tujuh ratus
sepuluh juta delapan ratus empat puluh sembilan ribu seratus dua rupiah).
23. PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp145.851.156.022,00 (seratus empat puluh lima
miliar delapan ratus lima puluh satu juta seratus lima puluh enam ribu dua puluh dua
rupiah).
24. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha
Putra sejumlah Rp148.863.947.122,00 (seratus empat puluh delapan miliar delapan
ratus enam puluh tiga juta sembilan ratus empat puluh tujuh ribu seratus dua puluh
dua rupiah).
25. PT LEN Industri sejumlah Rp3.415.470.749,00 (tiga miliar empat ratus lima belas
juta empat ratus tujuh puluh ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah).
26. PT Sucofindo sejumlah Rp8.231.289.362,00 (delapan miliar dua ratus tiga puluh satu
juta dua ratus delapan puluh sembilan ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah).
27. PT Quadra Solution sejumlah Rp.79.000.000.000,00 (tujuh puluh sembilan miliar
rupiah).
ANALISIS KASUS

Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang


No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang mnerubah UU No
31Tahun 1999 daIam Penjelasan undang-undang korupsi tersebut ditegaskan bahwa “tindak
pidana korupsi selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas dan dilakukan secara sistematis, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberatasanya harus dilakukan secara sungguh-sungguh”.
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia cenderung
dilakukan secara sistematis dan meluas, sehingga pembertasanya harus dilakukan secara luar
biaa. Sehingga dapat dikatakan seakan-akan tindak pidana korupsi di Indonesia hampir
mempunyai kesamaan dengan pelanggaran HAM berat sebagai delik extra-ordinary crime,
meskipun keduanya tidak dapat disamakan. Penegasan dalam pembukaan UU No 20 Tahun
2001 tersebut di atas bukanlah rangkaian huruf mati, namun memang mencerminkankondisi
Indohesia yang sarat dengan korrpsi. Sebagaimana diketahui di berbagai daerah Indonesia
sekarang ini baik institusi kejaksaan maupun KPK sedang sibuk menyidik korupsi yang
dilakukan oleh lembaga eksekutif, legislatif bahkan yuidikaIif sampai ke tingkat RT seperti
korupsi dana sosial dengan pengajuan proposal fiktif.
The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(UNCATOC) tahun 2000. Konvensi Perserikatan BangsaBangsa melawan Kejahatan
Terorganisir Transnasional, yang diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 55/25 tanggal 15
November 2000, adalah instrumen internasional utama dalam memerangi kejahatan
transnasional. Konvensi ini dilengkapi oleh tiga Protokol, yang menargetkan secara spesifik
wilayah dan manifestasi kejahatan terorganisir: Protokol untuk Mencegah, Menekan dan
Menghukum Perdagangan Manusia, Terutama Perempuan dan Anak-anak. Protokol terhadap
Penyelundupan Migran menurut Darat, Laut dan Udara dan Protokol terhadap Manufaktur
dan Perdagangan Bebas di Senjata Api. Bagian dan Komponen dan Amunisi mereka. Negara
harus menjadi pihak dalam Konvensi itu sendiri sebelum mereka dapat menjadi pihak dalam
Protokol manapun.
Dimasukkannya tindak pidana korupsi dalam Konvensi Palermo 2000 tentang
Transnational 0rganized Crime, menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
kejahatan yang tidak saja menimbulkan dampak secara nasional, tapi berdampak
transnasional, karena selama ini korupsi ini diidentifikasikan sebagai kejahatan asal
(predicatecrime) yang berkaitan erat dengan money laundering (pencucian uang). Di samping
itu dalam paragraf 2 menekankan bahwa negara wajib mengkriminalisasikan terhadap
kejahatan korupsi yang berkaitan dengan pejabat publik asing atau pelayan civil
intemasional.Ketentuanini merupakan ketentuan baru dalam pengaturan tindak pidana
korupsi. Kejahatan Terorganisir yang dimaksud yaitu adanya kelompok terstruktur yang
terdiri lebih dari 3 orang, melakukan kejahatan sesuai degan konvensi ini, mempunyai tujuan
memperoleh finansilal secara langsung maupun tidak langsung. Korupsi dapat
dikuaIifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional terorganisir khususnya
korupsi yang dilakukan dalam skala besar, karena korban akibat tindak pidana korupsi tidak
hanya terbatas dalam suatu negara saja, namun juga melibatkan dan mengakibatkan kerugian
pada negara Iain. Hal ini akan lebih jelas terlihat dalam pengaturan korupsi dalam Konvensi
Korupsi 2003, terdapat ketentuan tentang pengaruh perdagangan international berkaitan
dengan korupsi dan pengaturan mengenai penyuapan lembaga publik internasional termasuk
pejabat diplomatik.
Bahwa terdakwa SETYA NOVANTO telah melakukan Tindak Pidana dan telah
melanggar pasal Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan: Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau
penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yakni: “Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau
orang lain atau suatu korporasiyang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paliong sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).”
Jika diteliti lagi dalam tindak pidana korupsi pada pasal 3 diatas, maka dapat
ditemukan beberapa unsur, yaitu:
1) Setiap orang;

Sebagai pelaku tindak pidan korupsi ditentukan “setiap orang”. Sehingga


seolah-olah bahwa pelaku tindak pidan korupsi harus memangku suatu
“jabatan dan kedudukan” sehingga hanya orang perseorangan, sedangkan
korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tersebut..
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
Yang dimaksud dengan unsure “menguntungkan diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung
untuk dirinya sendiri, orang lain atau suatu korporasi.

3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena


jabatan atau kedudukan Menggunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh
pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
kewenangan, kesempatan, atau sarana hal tersebut yang dimaksud dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukan.
4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Yang berarti “merugikan” sama artinya dengan rugi atau menjadi berkurang,
dengan demikian yang dimaksud dengan unsur “merugikan keuangan
negara” ialah merugikan perekonomian negara menjadi rugi atau
perekonomian Negara menjadi kurang berjalan.

Bila ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) diatas di amati, dapat ditemukan beberapa
unsur, yakni setiap orang, tidak ditentukan adanya syarat yang meliputi orang perorangan,
dan/atau korporasi.
5) Memperkaya diri sendiri, orang lain atausuatu korporasi;

Yang dimaksud dengan “memperkaya” merupakan perbuatan dengan


menambah kekayaan harta benda, dengan syarat tentunya dilakukan secara
melawan hukum, jika akan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi
sebagaimana ddimaksud pada Pasal 2 ayat (1).
6) Secara melawan hukum

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud melawan hukum


mencakup dalam ruang lingkup perbuatan melawan hukum formil dan
materii, yakni perbuatan yang dianggap tercela dan dianggap tidak sesuai
dengan nilai keadilan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
7) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Merugikan keuangan negara artinya rugi atau menjadi kurang . maka
perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang
berjalan

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan ada 2 (dua) macam pidana. Yang
pertama adalah pidana pokok berupa pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan yang
kedua adalah pidana tambahan yang berupa uang pengganti. Uang pengganti sebelumnya
telah dijelaskan adalah uang yang dibayarkan oleh terpidana korupsi kepada negara yang
jumlahnya sama dengan banyaknya harta yang didapat dari hasil korupsi yang dilakukan.
Pelaksanaan pidana tambahan berupa uang pengganti diatur dalam pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang mengantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan Seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan Seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah
kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana. penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Sedangkan mekanisme pelaksanaannya termuat dalam Keputusan Jaksa Agung


Nomor : Kep-518/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001, berikut adalah mekanisme
pelaksanaan pembayaran uang pengganti:
1. Dibuatkan surat penagihan (D-1) dengan perihal penagihan uang pengganti kepada
terpidana untuk menghadap jaksa eksekutor di kantor kejaksaan setempat.
2. Terpidana dipanggil dan menghadap jaksa eksekutor ditanya tentang kesanggupan
membayar uang pengganti yang telah dijatuhkan oleh pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Pada tahap ini dubuatkan surat pernyataan (D-2) yang
isinya sanggup atau tidak sanggup membayar uang pengganti. Apabila tidak sanggup
membayar disertai dengan surat tidak mampu dari kelurahan/kepala desa.
3. Pada ada saat membayar uang pengganti, maka dibuatkan tanda terima pembayaran
(D-3) uang yang telah diterima dari terpidana dan ditanda tanggani oleh kasi Pidsus
atas nama Kepala Kejaksaan Negeri.
4. Setelah diterima uang pengganti dari terpidana maka kepala Kejaksaan Negeri /
Tinggi setempat membuat surat perintah (D-4) yang memerintahkan jaksa eksekutor /
Kasi Pidsus / Kasubsi Penuntutan Pidsus untuk menyerahkan uang pengganti atas
mana terpidana yang bersangkutan kepada Kasubagbin Kejaksaan setempat Cq.
Bendahara Khusus/penerima setelah menerima uang pengganti dalam waktu 1x24 jam
harus menyetorkan uang pengganti dengan blangko Surat Setoran Penerima Negara
Bukan Pajak dengan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) 423473 melalui bank.
Berdasarkan surat JAM BIN Nomor.005/C/Cu/01/08 dan PermenKeu
Nomor./19/PMK.05/2007, MAP diubah menjadi N omor: 423614 berlaku sejak
januari 2008.
Apabila terpidana tidak membayar uang pengganti maka harus ada bukti bahwa
terpidana telah menjalani pidana pengganti. Hal ini harus dibuktikan bengan berita acara
pelaksanaan hukuman pengganti (BA-8). Tujuan dari pidana tambahan berupa uang
pengganti ini adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku-pelaku koruptor maupun
oknum-oknum yang berniat untuk melakukan korupsi. Selain itu, dengan dengan
mengembalikan uang atau aset negara yang telah dikorupsi oleh koruptor merupakan wujud
tanggung jawab mereka atas apa yang telah mereka lakukan, walaupun kerugian negara tidak
dapat dikembalikan sepenuhnya. Maka dari itu, dalam pelaksanaannya perlu adanya
efektivitas agar apa yang menjadi tujuan dari kebijakan ini dapat dicapai secara optimal.
Dapat diketahui bahwa korupsi adalah suatu perilaku memperkaya diri secara ilegal dari
kelompok lain yang membahayakan negara dan bangsa. Banyaknya kasus korupsi yang
terjadi di Indonesia membuat masyarakat semakin sadar mengenai apa itu korupsi. Namun
menurut Melgar, Rossi, & Smith presepsi korupsi tingkat tinggi justru dapat menimbulkan
dampak yang lebih buruk dari korupsi itu sendiri; hal itu menghasilkan “budaya
ketidakpercayaan” terhadap beberapa institusi dan dapat menciptakan tradisi budaya
pemberian hadiah yang diamana karenanya dapat meningkatkan korupsi. Dengan adanya
efektivitas kebijakan dalam pelaksanaan uang pengganti ini diharapkan tidak hanya untuk
tujuan ekonomi saja tetapi juga diharapkan dapat membangun presepsi dan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dan penegak hukum.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium adanya potensi dugaan tindak
pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP di
Kementerian Dalam Negeri. Indikasi adanya pencucian uang menguat, melihat jumlah
kerugian negara yang mencapai Rp2,3 triliun. Penggunan pasal pencucian uang ini bukan
tanpa alasan, melihat jumlah kerugian negara yang mencapai Rp2,3 triliun. Namun uang yang
baru diterima KPK dari pengembalian sejumlah pihak sekitar Rp236,930 miliar, US$1,3 juta
dan SG$ 368. Anggaran e-KTP yang bersumber dari pemerintah, masuk ke rekening
konsorsium pelaksana bentukan Andi Narogong lewat Tim Fatmawati. Setelah dari
konsorsium, uang itu mengalir lagi ke anggota konsorsium, yang melaksanakan pengerjaan
masing-masing. Dalam proyek e-KTP, setiap anggota memiliki tugas yang berbeda dalam
pengadaan ini. Anggota konsorsium itu di antaranya Perum PNRI, PT LEN Industri, PT
Quadra Solution dan PT Sucofindo (Persero), PT Sandipala Arthaputra. Perum PNRI dan PT
Sandipala Arthaputra bertanggung jawab melaksanakan pekerjaan pembuatan, personalisasi
dan distribusi blangko e-KTP. PT Quadra Solution dan PT LEN Industri bertanggung jawab
melaksanakan pekerjaan pengadaan hardware dan software termasuk jaringan komunikasi
dan data. Sedangkan PT Sucofindo bertanggung jawab melaksanakan pekerjaan pengadaan
helpdesk dan pendampingan. Uang itu mengalir lagi ke perusahaan lain, karena sebagian
pengerjaan proyek e-KTP ini diserahkan ke pihak ketiga atau di-subkontrakan. Uang-uang itu
disinyalir sudah disamarkan menjadi aset-aset, baik di dalam negeri ataupun luar negeri.
KESIMPULAN

Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sampai saat ini masih tetap terjadi malah
dengan intensitas yang makin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dengan
demikian bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 sebagai alat dalam
memberantas tindak pidana korupsi belum efektif. Penerapan sistem pembuktian terbalik
dirasakan sangat efektif dalam menangani tindak pidana korupsi, paling tidak pembuktian
tersebut untuk meminimalisir adanya kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Sebab
pada prinsipnya tujuan dari pembuktian terbalik adalah untuk melacak keuangan negara yang
dialihkan menjadi milik pribadi.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan: Dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggaran
negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pada dasarnya pembuktian terbalik dapat diterapkan semua delik pidana korupsi baik
dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 atau UU Nomor 20 Tahun 2001. Adapun unsur unsur agar
penerpan pembalikan dengan beban terbalik dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama,
adanya kerugian negara yang ditandai dengan peralihan uang atau kekayaan negara kepada
terdakwa. Adapun setiap perbuatan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 31 Tahun 1999
atau UU Nomor 20 Tahun 2001, yang terbukti menyebabkan kerugian uang dan kekayaan
negara, dan diduga terjadi peralihan kekayaan, maka dapat diperiksa dengan pembuktian
terbalik

Anda mungkin juga menyukai