Anda di halaman 1dari 14

TUGAS FILSAFAT PANCASILA

ANALISIS KASUS YANG TERJADI DALAM KEHDUPAN SEHARI-HARI DI


INDONESIA

Disusun Oleh :

Prabowo Tri Sukma

NIM 51418058

FAKULTAS EKONOMI/BISNIS

JURUSAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA MADIUN

MADIUN 2018
A. Kasus korupsi e-KTP
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_korupsi_e-KTP

Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan KTP elektronik
untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya proyek ini berjalan lancar
dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta
oleh Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun
kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP
membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan
Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu KPK
melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik
kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai
dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah
Anggraini.

Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta
bahwa negara harus menanggung keruigan sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan
berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai
tersangka korupsi, beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi
Dewan Perwakilan DPR. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus
Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto. Miryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK. Namun statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi,
melainkan sebagai pembuat keterangan palsu saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan
Irman dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan
pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara sidang perdana atas tersangka pada kasus
ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan sidang yang berjalan setelah itu untuk
para tersangka KPK.
Kronologi Awal

Gamawan Fauzi, menteri dalam negeri yang menangani proyek e-KTP

Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri RI dalam pembuatan
e-KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang digunakan
untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional dan dana
senilai Rp 258 milyar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-KTP
berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.[1][2] Pada 2011
pengadaan e-KTP ditargetkan untuk 6,7 juta penduduk sedangkan pada 2012 ditargetkan
untuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia.

Perkembangan Kasus
Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, pada Selasa, 22 April 2014 KPK akhirnya menetapkan
Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan
Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-
KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada
proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013, melanggar Pasal 2 Ayat
1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55
Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000
dollar AS dan Rp 460 juta. Untuk mengusut kasus ini lebih dalam KPK kemudian
melanjutkan pemenuhan berkas-berkas dengan memeriksa berbagai saksi terkait kasus e-KTP
di Kementerian Dalam Negeri pada 25 April 2014. Beberapa di antaranya adalah Drajat
Wisnu Setyawan, Pringgo Hadi Tjahyono, Husni Fahmi, dan Suciati. Sugiharto pun tak luput
dari pemeriksaan oleh KPK pada 14 Juli 2014 dan 18 Mei 2015.
Sugiharto saat ditahan oleh KPK pada 19 Oktober 2016

Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Per 30
September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman
sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan Sugiharto, yakni demi
memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp 2,9 milyar
dan 6.000 dollar Singapura.

Pencarian bukti baru

Irman dan Sugiharto saat menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor pada 9 Maret 2017(dok. Kompas)

Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana
Korupsi kemudian mengadakan sidang. Dalam perjalanannya, ada lebih dari 10 sidang yang
dilaksanakan. Namun sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017. Dalam sidang pertama, hadir dua orang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sugiharto dan Irman dengan agenda
pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan tebal sekitar 120 halaman.[12]

Tersangka Ketiga
Andi Narogong usai ditahan KPK pada 24 Maret 2017

Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK
akhirnya memutuskan untuk menetapkan tersangka baru: Andi Narogong pada Rabu, 23
Maret 2017. Ia adalah orang ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka pada kasus korupsi e-
KTP setelah Irman dan Sugiharto. Tanpa pikir panjang, keesokkan harinya penyidik KPK
lalu menangkap Andi Narogong untuk pemeriksaan lebih lanjut melalui Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan (Sprindik). Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi berperan dalam
meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun.

Miryam S Haryani

Sidang kasus e-KTP belum selesai. Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan pada
Senin, 3 April 2017. Kali ini hadir 9 saksi untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru
terhadap kasus ini, salah satunya adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan baru pada
sidang ini. Menurut penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang
untuk proyek e-KTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua
Umum Partai Demokrat 2010. Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang
sebesar Rp 20 miliar dari Andi Narogong. Masih menurut pengakuan Nazar, Jafar Hafsah
juga telah menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul
Umam Wiranu telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS.

Kecurangan lelang dan rekayasa konsorsium


Setya Novanto saat datang pada sidang perdana atas terdakwa Irman dan Sugiharto pada 6
April 2017

Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas yang berlangsung pada 27 April
2017. Selain adanya keterlibatan Irvan Pambudi, keponakan Setya Novanto, dalam sidang itu
terungkap bahwa salah satu saksi, yakni Presiden Direktur PT Avidisc Crestec
Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek e-KTP
karena ada nama Setya Novanto. Sementara itu mantan anggota Badan Anggaran DPR, Olly
Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan Anggaran
DPR dan menyanggah tentang terjadinya penerimaan uang sebesar 1,2 juta dollar AS dalam
proyek e-KTP.

Peran Markus Nari dan Anang Sugiana

Markus Nari, politisi golkar yang ditetapkan sebagai tersangka kelima kasus korupsi e-KTP

Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam penambahan
anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 milyar kepada Irman
dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping itu ia
juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 milyar.
Anang Sugiana saat ditahan KPK pada 9 November 2017

Dua bulan setelah penetapan Markus, barulah pada 27 September 2017 KPK
menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama PT Quadra Solutions sebagai
tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan
dua bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh
Irman, Sugiharto dan Andi Narogong dalam persidangan. Anang terbukti terlibat dalam
penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi
Narogong. Hal itu membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang
tentang pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Keterlibatan Setya Novanto

Setya Novanto

Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai
Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP untuk
2011-2012. Penetapannya menjadikan ia sebagai tersangka keempat yang ditetapkan oleh
KPK sebagai tersangka setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya Novanto diduga
melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP
sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor. Tindakan Setya Novanto disangkakan
berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Sidang Praperadilan

Rencananya sidang praperadilan pertama akan dilaksanakan pada Selasa, 12 September 2017.
Namun karena Novanto masih sakit dan atas permintaan KPK, maka hakim kemudian
memutuskan untuk menggeser jadwal sidang pada 20 September 2017. KPK kemudian
merespon bahwa KPK tidak akan memenuhi permintaan Novanto dan tetap melakukan
penyidikan kepadanya. Hal itu sesuai dengan tiga dasar hukum yang dimiliki Indonesia,
yakni Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.[79]

Hakim Cepi Iskandar saat memimpin sidang praperadilan perdana di Pengadilan Tipikor pada
20 September 2017.

Proses praperadilan Setya Novanto berlanjut pada 20 September 2017 saat sidang perdana
digelar. Dalam sidang tersebut Agus Trianto yang saat itu berperan sebagai pengacara
mengajukan keberatan karena ia menilai ada keanehan atas penetapan status tersangka pada
Novanto yang dilakukan oleh KPK. Novanto ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017
namun Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru diterima Novanto pada 18 Juli
2017. Ia menilai bahwa KPK telah melanggar KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 tentang KPK dan seharusnya KPK menetapkan tersangka setelah keluarnya SPDP. Ia
juga beranggapan bahwa tuduhan terhadap Novanto atas kasus e-KTP tidak berdasar karena
nama Novanto tidak disebutkan dalam putusan sidang Irman dan Sugiharto.

Kembalinya status tersangka


KPK memberikan keterangan terkait penetapan Setya Novanto sebagai tersangka untuk
kedua kalinya pada 10 November 2017

Sebulan setelah pembatalan status tersangka oleh Hakim Cepi, tepatnya pada 31 Oktober
2017 KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Setya Novanto.
Setya Novanto disangkakan pada Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun
2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keputusan ini dibuat
oleh KPK setelah melakukan penyelidikan lebih dalam dengan mengumpulkan berbagai bukti
dan minta keterangan dari para saksi.

Kondisi Setya Novanto saat ditahan paksa oleh KPK di RSCM pada 19 November 2017

Berdasarkan aturan yang mengacu pada Pasal 82 ayat 1 huruf c, putusan praperadilan harus
diselesaikan maksimal 7 hari setelah sidang diadakan. Itu artinya, putusan maksimal
dibacakan pada 14 Desember 2017 mengingat sidang diselenggarakan pada 7 Desember
2017. Namun berhubung sidang pokok perkara akan diselenggarakan pada 13 Desember
2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka secara otomatis praperadilan Novanto pun
gugur. Hal itu dinyatakan oleh hakim tunggal praperadilan Setya.[100][101]
B.TEORI TUJUAN DAN LEGITIMASI
NEGARA PANCASILA
Legitimasi politis/konstitusional adalah dimensi konstitutif pemerintahan politik. Legitimasi
moral merupakan dimensi efektifnya. Suatu pemerintahan hanya dapat melakukan tugasnya apabila
menik- mati persyaratan efektivitas. Jika kekurangan legitimasi konstitusional seseorang tidak bisa
disebut presiden. Sedangkan, jika kehilangan legitimasi moral,seorangpresiden pastitidalk bisa
menjalankan tugasnya. Keputusan mengundurkan diri sangat sering merupakan jalan terbaik. Pidato
pengunduran diri Suharto menunjukkan kebenaran

Reformasi harus bertolak pada komitmen pandangan bahwa apa etak kan han gara ang yang
sel adalah budaya politik Machiavellian, yaitu pe di segala bidang kehidupan. Politik semacam ini m
ama ini membuat runtuhnya bangunan kesejahteraan rakyat nomorsatuan kekuasaan engalirkan secara
langsung mentalitas pemujaan kekuasaan secara berlebihan. Mentalitas arto tusi ada ita) kan ini, esia
kan memuja kekuasaan artinya segala kebijakan yang mengalir dari para pemegang kekuasaan di
tingkat apa pun (termasuk di dalamnya keluarga, kerabat, atau yang berkaitan dengan mereka) pasti
tak terbantahkan Kendati dalam kenyataan, kebijakan tersebut tidak efektif, tidak pas tidak jantan.
Aneka musuh bebuyutan keadilan, seperti nepotisme, monopoli, korupsi, kolusi, ABS (asal bapak
senang), MPB (menurut petunjuk bapak), dan yang sejenisnya, adalah buah-buah dari mentalitas ini.

Cara berpikir yang menandai mentalitas semacam ini ialah benar karena diperintahkan, salah
karena dilarang (oleh yang berkuasa). Cara berpikir era reformasi sebaliknya: benar atau salah karena
dimengerti dan diyakini sendiri sebagai demikian. Mentalitas reformasi ialah pemujaan keadilan,
kemanusiaan, kebenaran, kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab. Juga pengupayaan
kelincahan dalam manajemen untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
C.MENGANALISA KASUS DENGAN TEORI/
MENEROPONG TEORI FILSAFAT
PANCASILA

Ditinjau dari teori pancasila sebagai filsafat mengenai kasus masalah tikus berdasi
(Korupsi) E-KTP yang belum juga terselesaikan. Bahkan salah satu orang yang terlibat kasus
korupsi E-KTP ini adalah Ketua DPR RI Setya Novanto. Masalah korupsi E-KTP ini sangat
merugikan banyak orang, termasuk seluruh warga negara Indonesia. Korupsi adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun peawai negeri, serta pihak lain yang telibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-
unsur berikut :

o perbuatan melawan hukum,
o penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
o memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
o merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

o Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah


o memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
o penggelapan dalam jabatan,
o pemerasan dalam jabatan,
o ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
o menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dari kasus ini termasuk melanggar sila pertama pancasila, Ketuhanan yang Maha
Esa. Sila ini mengajarkan agar semua rakyat Indonesia taat dalam beragama sesuai
dengan agama yang dianut. Dalam ajaran beragama tidak ada agama yang
mebenarkan umatnya untuk mencuri, serakah. Korupsi sama halnya dengan mencuri,
mencuri uang rakyat. Dan pastinya merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran
beragama.

Dari kasus ini juga termasuk pelanggaran Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Korupsi dikatakan melanggar sila kedua karena telah membuat semakin
terpuruknya masyarakat miskin. Bagaimana tidak, uang yang seharusnya digunakan
untuk kepentingan masyarakat umum digunakan untuk kepentingan pribadi oknum-
oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya mengakibatkan stratifikasi sosial
yang begitu tampak kehidupan bangsa ini. Yang kaya makin kaya yang miskin makin
miskin

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, sekecil apapun uang yang dikorupsi itu sama
sekali tidak mengedepankan kepentingan negara. Karena sebagai masyarakat
Indonesia kita harus mampu menem- patkan persatuan, kesatuan serta kepentingan
bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau
golongan

Sila keempat, yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat


Kebijaksanaan Dalam Permusyawa-ratan Perwakilan. Sila ini sangat mengajarkan
kepada wakil-wakil rakyat maupun lembaga-lembaga lainnya yang dipercayai untuk
melakukan permusyawaratan, artinya korupsi sangat melanggar Sila keempat
Pancasila termasuk kasus korupsi E-KTP.

Sila kelima, yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam kasus ini kita tahu bahwa korupsi juga melanggar sila kelima Pancasila karena
tidak mengedepankan keadilan untuk warga Indonesia, namun untuk kepentingan
pribadi. Indonesia adalah Negara hukum. Semua perkara yang terjadi di Indonesia
harus diputuskan secara adil dan tidak memihak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Namun realitanya penegakan hukum di Indonesia belum seadil yang diharapkan.
sebagai perbandingan kasus E-KTP ini adalah perbuatan yang seharusnya dana untuk
seluruh masyarakat Indonesia namun hanya untuk kepentingan pribadi.

UUD 1945, dalam kasus korupsi juga melanggar UUD 1945 yang berbunyi
“masyarakat adil dan makmur”. Kehidupan rakyat kecil makin memburuk karena
orang miskin harus susah payah banting tulang untuk sekedar makan sehari, namun
ketidakadilan pejabat korupsi yang mementingkan kepentingan pribadi menyebabkan
orang yang kaya makin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.

Perbuatan korupsi (tikus berdasi) ini juga melanggar UU Republik Indonesia


nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia.

D.KESIMPULAN
Dari kasus korupsi E-KTP dapat disimpulkan bahwa kita sebagai manusia harus
bertanggung jawab atas kepercayaan masyarakat dan juga harus mengedepankan aturan
sila-sila Pancasila. Filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi tertentu bernuansa khas
filsafat yaitu keraguan rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti
perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh
disiplin ilmu lain dengan sikap yang mempertanyakan segala hal. Jadi saya merasa ilmu
filsafat ini ilmu yang sangat tinggi dan perlu juga pemahaman tinggi untuk
memahaminya. Lalu kita sebagai manusia yang beragama dan bernegara haruslah saling
terbuka terhadap masyarakat maupun golongan politik karena bangsa kita memiliki sila
Pancasila yang salah satunya berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
yang artinya hukum dan budaya di seluruh Indonesia hendaknya harus mematuhi dan
serta tidak bertentangan dengan Pancasila.

Referensi

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_korupsi_e-KTP
Diakses tanggal 28/11/2018

Dewantara, Agustinus W. 2017. Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.


Yogyakarta: PT. Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai