Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/356913829

PERIJINAN KAWIN DAN CERAI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Aisyah


Wulandari

Article · December 2021

CITATIONS READS

0 81

1 author:

Aisyah Wulandari
Universitas Pembanguan Nasional "Veteran" Jakarta
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PERIJINAN KAWIN DAN CERAI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL View project

All content following this page was uploaded by Aisyah Wulandari on 10 December 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERIJINAN KAWIN DAN CERAI BAGI PEGAWAI NEGERI
SIPIL
BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 464 K/TUN/2016
Aisyah Wulandari 1910611213

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

aisyahwulandari@upnvj.ac.id

BAB 1 Latar Belakang


a. Kronologis kasus
Penggugat:
Dra. Lisbeth Meiesta Napitupulu, M.Pd.

Tergugat I:
Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Dan
Pendidikan Masyarakat (dahulu Direktorat Jenderal Pendidikan
Anak Usia Dini Non Formal dan Informal) Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan

Tergugat II:
Dr. Ir. I Gede Panca, M.Pd

Putusan Nomor 464/K/TUN/2016


objek sengketa mengenai Surat Keterangan untuk melakukan
perceraian Nomor 492/B.1.3/KP/2014, tanggal 2 Juni 2014 perihal
Permohonan Ijin Cerai yang disampaikan oleh Dr. Ir. I Gede
Panca, M.Pd., NIP. 196512301990021001, Pangkat/Golongan
Ruang : Pembina Tk.1. IV/b, Jabatan Kepala Bagian Perencanaan
dan Penganggaran, Satuan Organisasi : Sekretariat Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

- Pro
Penggugat atas nama Dra. Lisbeth Meiesta Napitupulu, M.Pd.,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan dalih bahwa perceraian antara dirinya dengan Dr. Ir. I
Gede Panca, M.Pd tidak bisa dikatakan sah karena hal tersebut
telah bertentangan dengan Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil yang mengatakan bahwa ijin bercerai tidak diberikan
apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang
dianut oleh Pegawai Negeri Sipil tersebut sedangkan dalam
Matius pasal 19 ayat (6) yang merupakan agama yang dianutnya
dan suaminya mengatakan bahwa “demikianlah, mereka bukan
lagi dua, melainkan satu, karena itulah yang telah dipersatukan
oleh Tuhan tidak boleh diceraikan manusia”. Maka dari itu surat
keterangan untuk melakukan Perceraian Nomor:
492/B.1.3/KP/2014, tanggal 2 Juni 2014 2014 perihal Permohonan
Ijin Cerai yang disampaikan oleh Dr. Ir. I Gede Panca, M.Pd., NIP.
196512301990021001, Pangkat/Golongan Ruang : Pembina
Tk.1. IV/b, Jabatan Kepala Bagian Perencanaan dan
Penganggaran, Satuan Organisasi : Sekretariat Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan
Masyarakat (dahulu Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia
Dini Non Formal dan Informal) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, berkedudukan di Jalan Jenderal Sudirman, Gedung
E Lantai 3, Senayan, Jakarta Selatan (Tergugat) adalah cacat
hukum.

Selain itu Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tenang Ijin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil berbunyi: “ sebelum
mengambil putusan pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan
kembali suami istri yang bersangkutan dengan cara memanggil
mereka secara langsung untuk diberi nasehat”. Bahwa pada
hakikatnya Penggugat telah datang untuk bertemu dengan
Tergugat I untuk memberikan penjelasan/ alasan-alasan bahwa
mereka kawin secara agama Kristen namun Tergugat tidak mau
menerima bukti-bukti tersebut dan tidak mau mendengar alasan-
alasan Penggugat. Penggugat juga mengatakan bahwa hubungan
keduanya adalah baik-baik saja dan rukun dalam membina rumah
tangganya bersama ketiga orang anaknya dan Penggugat
menjelaskan kepada Tergugat BAHWA Idawati Nurdin, SE., yang
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil yang menjadi bawahan
Tergugat bermesraan dengan suami Penggugat, maka jelaslah
surat keterangan untuk melakukan perceraian Nomor :
492/B.I.3/KP/2014 tanggal 2 Juni 2014 perihal Permohonan Ijin
Cerai yang disampaikan oleh Dr. Ir. I Gede Panca, M.Pd NIP.
196512301990021001, Pangkat/Golongan Ruang : Pembina
Tk.1. IV/b, Jabatan Kepala Bagian Perencanaan dan
Penganggaran, Satuan Organisasi : Sekretariat Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan oleh
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan
Pendidikan Masyarakat (dahulu Direktorat Jenderal Pendidikan
Anak Usia Dini Non Formal dan Informal) Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, berkedudukan di Jalan Jenderal Sudirman,
Gedung E Lantai 3, Senayan, Jakarta Selatan (Tergugat) adalah
cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

- Kontra
Isi gugatan sebagian besar mendalilkan seolah-olah perceraian
yang dialami Penggugat adalah kesalahan Tergugat I yang
menerbitkan KTUN objek sengketa hal ini menyebabkan gugatan
menjadi campur aduk dan kabur, tidak jelas apakah menyoal
urusan (cerai perdata) atau penerbitan KTUN objek sengketa.

Penggugat hanya tidak terima dengan adanya perceraian tersebut


padahal Putusan Cerai menjadi anggung jawab Majelis Hakim PN
Jakarta Utara yang sudah selesai dan menjadi Putusan Nomor:
118/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Ut tanggal 15 September 2014.

Dapat diketahui bahwa berdasarkan Putusan tersebut Perceraian


dilakukan karena adanya pertengkaran diantara keduanya, dan
keduanya tidak lagi serumah sejak Januari 2014.

Perkara ini seharusnya diajukan kepada Pengadilan Negeri


setempat karena Pasal yang dihubung-hubungkan oleh
Penggugat pada dasarnya tidak dapat digunakan karena makna
Pasal 7 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil yang mengatakan bahwa ijin bercerai
tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan
agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil tersebut
dikembalikan kembali pada peraturan agama masing-masing.
Sebuah perceraian tidak bisa dipungkiri hanya karena agama
dapat dibuktikan bahwa sudah banyak penganut agama Kristen
yang melakukan perceraian juga.

b. Rumusan masalah
Dalam membahas perkara Putusan Pengadilan a quo yang
ambigu dan akan menjadi pokok bahasan pada jurnal ini adalah
Prosedur Perijinan dan Cerai bagi Pegawai Negeri Sipil dan
pemecahan masalah terhadap perkara Putusan Pengadilan a quo.

Pembahasan juga akan berlanjut kepada pembahasan mengenai


Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil yang
diketahui telah dilakukan perubahan kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.

BAB 2 Konsep penyelesaian masalah


a. Dasar hukum
- Pasal 7 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berbunyi: “Ijin untuk bercerai tidak
diberikan oleh pejabat apabila bertentangan dengan
ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan”

- Pasal 6 ayat (3) a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil “Sebelum mengambil keputusan,
Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri
yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara
langsung untuk diberi nasehat.”

b. Literatur review/artikel hasil penelitian terdahulu

Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini dijelaskan dalam


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada
pasal 1 ayat (3) (amandemen ke-3) yang berbunyi “ Negara
Indonesia adalah Negara hukum”. Makna Negara Indonesia
sebagai Negara hukum esensinya adalah hukum nasional
Indonesia harus tampil akomodatif, adaptif dan progresif. Tampil
Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan
masyarakat yang dinamis, lalu adaptif artinya mampu
menyesuaikan dinamika perkembangan jaman, sehingga tidak
pernah using, dan yang terakhir tampil progresif artinya selalu
berorientasi pada kemajuan1

Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang cukup penting bagi


keberlangsungan hidup manusia demi mengembang dan
menambah keturunan. Melalui perkawinan akan diperoleh
keturunan yang kemudian menjadi manusia-manusia baru yang
akan mempertahankan kehadiran manusia di dunia dan akan
hidup dalam kelompokkelompok masyarakat.2

Di Indonesia perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1


Tahun 1974 tentang perkawinan.Perkawinan menurut Undang-
Undang ini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istridengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Menurut Ter Haar bahwa
perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan
masyarakat, urusan martabat, dan urusan pribadi.3

1
Najiyah Rizki Maulidiyah, Indonesia adalah Negara Hukum, Dalam Najiyah-Rizqi-
Maulidiyahfisip12.we.unair.ac.id/artikel_detail-78872-PPKN-
Indonesia%20sebagai%20Negara%20Hukum.html, Di akses pada hari Rabu, 15 Oktober
2014 pukul 10.00 WIB
2
R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984,
Hlm. 7.
3
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hal 1.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk rumah keluarga tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Perkawinan adalah sebuah ikatan yang menghubungkan dua


insan menjadi satu dalam satu atap dan mengikrarkan janji untuk
hidup bersama, Namun harus kita pahami bahwa kehidupan
perkawinan tidak selalu berjalan dengan harmonis pada kondisi-
kondisi tertentu terkadang ada beberapa hal yang memaksa
seorang suami istri itu bertengkar sehingga berujung perceraian.4

Solusi pahit bagi pertengkaran dalam rumah tangga yang tidak


harmonis adalah dengan melakukan perceraian, tidak terkecuali
bagi rumah tangga seorang Pegawai Negeri Sipil. Sebagaimana
kita ketahui bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah Aparatur Sipil
Negara yang bertugas menjalankan roda pemerintahan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya. Dalam urusan perkawinan
dan perceraian Pegawai Negeri Sipil diberikan peraturan
tambahan yang mengatur mengenai hal tersebut. Rumah tangga
yang selalu diharapkan rukun dan harmonis akan menjadi contoh
bagi masyarakat di sekelilingnya dan sebagai rangka usaha
meningkatkan disiplin dalam melakukan perkawian dan
perceraian serta tingkahlaku dan ketaatan atas paraturan
perundangan bagi masyarakat.5

Untuk dapat melakukan perceraian pada Pegawa Negeri Sipil


telah di atur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin perkawinan dan
perceraian Pegawai Negeri Sipil. Pasal 3 ayat (1) dan (2)
menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan terlebih
dahulu dari pejabat. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang
berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil
yang berkedudukan sebagai tergugat, untuk memperoleh izin atau
surat keterangan tersebut, maka wajib mengajukan permintaan
secara tertulis.6

Berkas permohonan perceraian harus menjadi satu berkas, dari


mulai izin permohonan, bukti-bukti, pembentukan tim, surat
pemanggilan kepada kedua belah pihak, berita acara
penasehatan, surat pernyataan, keputusan menerima/menolak
izin perceraian, berita acara penyerahan surat keputusan dan/atau

4
Farida Anik, dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Percerian di Berbagai Komunitas
Adat, Jurnal Al-Qodau Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Volume 1, 2007, Hlm. 4
5
Pentaatan Peraturan PNS, Dalam http://www.bkd.jogjapprov.go.id/detail/izin - untuk -
melakukan -perceraian/288, diakses pada 15 Oktober 2019.
6
Muhammad Syarifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahana, Hukum Perceraian, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, Hlm. 453
hal-hal lain yang ada hubungannya dengan permohonan izin
perceraian yang diajukan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah 45 Tahun 1990 juga menyebutkan


permohonan izin dapat diajukan ke pejabat, tetapi pejabat didalam
Peraturan Pemerintah tersebut tidak menjelaskan secara rinci ke
pejabat mana Pegawai Negeri Sipil harus mengajukan
permohonan izin cerai apakah ke atasan Pegawai Negeri Sipil itu
sendiri atau langsung diajukan ke Bupati, adakah akibat hukum
dalam hal tersebut, dan setelah memberikan pertimbangan dari
atasan tidak di atur lagi tenggang waktu untuk di ajuakan ke
pejabat. Dalam hal ini seorang Pegawai Megeri Sipil harus
melakukan pemohonan dan/atau izin perceraian dan
pemberitahuan tentang adanya gugatan cerai yang dilaporkan
oleh Pegawai Negeri Sipil kepada pejabat yang berwenang.
Namun praktek yang terjadi di Kabupaten Kerinci Pegawai Negeri
Sipil yang telah diproses dan dikeluarkan keputusan izin
perceraian oleh pejabat yang berwenang semenjak tahun 2015-
2018 tetapi masih banyak yang terjadi lewatnya tenggang waktu
yang telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan
penelitian awal jumlah tingkat perceraian Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Kerinci cukup tinggi dibandingkan dengan Kabupaten
atau Kota lain. Berdasarkan pendahuluan tersebut

Lalu bagaimana mekanisme bagi Pegawai Negeri Sipil untuk


mengajukan Izin melakukan perceraian?

Mekanisme dalam mengajukan permohonan izin melakukan


perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil haruslah dengan alasan
yang sah yang dinyatakan kepada pejabat berwenang,
selanjutnya pejabat tersebut membentuk tim penasehat dan
memanggil kedua belah pihak suami-istri dalam waktu bersamaan
atau sendiri-sendiri pejabat lalu memberikan penasehatan agar
dapat rukun kembali tetapi apabila kedua belak pihak atau salah
satu pihak ingin bercerai maka keduanya harus membuat
pernyataan ingin bercerai, Pejabat juga berwenang memanggil
pihak lain yang bersangkutan dengan suami maupun istri untuk
menambah keyakinan dalam mengabil keputusan bagi pejabat,
menurut Surat Edaran Nomor.08/SE/1993 Tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Syarat utama untuk Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan


perceraian adalah mendapat izin tertulis dari pejabat yang
berwenang, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 3 angka (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Agar mendapatkan
izin tersebut Pegawai Negeri Sipil harus menyiapkan alasan-
alasan yang akan diajukan kepada pejabat yang berwenang,
karena sebelum memberikan izin pejabat harus terlebih dahulu
memeriksa alasan-alasan yang bisa diterima untuk memberikan
izin kepada Pegawai Negeri Sipil.
Alasan tersebut dijadikan bahan pertimbangan bagi pejabat untuk
memberikan izin atau tidak. Alasan-alasan perceraian yaitu:7
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g) Suami melanggar Ta’lik Talak
h) Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidak
rukunan dalam rumah tangga.

Permohonan izin tersebut diajukan ke pejabat dan dilaksanakan


sesuai dengan proses internal di lingkungan/lembaga/instansi
dengan memperhatikan jenjang jabatan yang ada dalam struktur
lembaga yang bersangkutan. Apabila alasan-alasan dari
permohonan izin perceraian tersebut kurang meyakinkan, maka
pejabat wajib meminta keterangan tambahan dari istri aau suami
dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan Permohonan tersebut
yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan,
sebelum pengambilan keputusan pejabat harus berusaha lebih
dahulu “merukunkan kembali” suami isteri yang bersangkutan
dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi
nasehat.

Permintaan Ijin untuk bercerai diberikan, apabila:8

 Tidak berentangan dengan ajaran/peraturan agama yang


dianutnya
 Ada alasan sebagaimana tercantum dalam Romawi III angka 2 SE
BAKN No. 08/SE/1983
 Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
 Alasan perceraian yang dikemukakan tidak bertentangan dengan
akal sehat.

BAB 3 Analisa penyelesaian masalah


Berdasarkan analisis permasalahan terhadap putusan perkara a
quo dimana Penggugat mengajukan gugatan dengan isi objek
perkara Surat Keterangan untuk melakukan perceraian Nomor
492/B.1.3/KP/2014, tanggal 2 Juni 2014 perihal Permohonan Ijin

7
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
8
http://bkd.sumselprov.go.id/?nmodul=halaman&judul=izin-perceraian-bagi-pns
Cerai yang disampaikan oleh Dr. Ir. I Gede Panca, M.Pd., NIP.
196512301990021001, Pangkat/Golongan Ruang : Pembina
Tk.1. IV/b, Jabatan Kepala Bagian Perencanaan dan
Penganggaran, Satuan Organisasi : Sekretariat Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dengan mempermasalahkan prosedur perceraian bagi Pegawai


Negeri Sipil yang pada hakikatnya telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Pada Pasal 7 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berbunyi: “Ijin untuk
bercerai tidak diberikan oleh pejabat apabila bertentangan dengan
ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan”

Pasal tersebut menjadi acuan bagi Penggugat dengan


mengkaitkan unsur agama yang mana tertulis dalam Matius Pasal
19 ayat (6) “demikianlah, mereka bukan lagi dua, melainkan satu,
karena itu yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh
diceraikan manusia”.

Pada dasarnya bahwa seluruh agama menyetujui bahwa


perceraian adalah hal yang sangat tidak disukai dan tidak
dianjurkan untuk dilakukan, namun dalam hal apabila sebuah
hubungan rumah tangga sudah tidak mampu lagi untuk diperbaiki
maka jalan terbaik adalah mengakhiri dengan melakukan
perceraian. Yang dimaksud dengan Pasal 7 ayat (3) huruf a
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983
tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Apabila prosedur dan tindakan perceraiannya memang bukan hal
yang urgensi untuk dilakukan. Jad i dalam keadaan yang urgensi
maka perceraian boleh dilakukan meski perilaku tersebut tidak
disukai seluruh ajaran agama.

Kemudian membahas mengenai Pasal 6 ayat (3) a Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil “Sebelum
mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu
merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara
memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat.”

Dalam hal tersebut seorang pejabat yang menangani


Permohonan Ijin Perceraian memang diwajibkan untuk
memberikan mediasi terhadap dua belah pihak, namun dalam hal
ini berdasarkan isi Putusan Pengadilan perkara a quo pejabat
telah melakukan mediasi dengan hasil salah satu pihak tetap
menginginkan perceraian maka dari itu, sebagai tindak lanjut
perkara tersebut diserahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Utara.
Adapun persyaratan administrasi dari Permohonan Ijin Perceraian
sudah terpenuhi dengan menyerahakn berkas yang dibutuhkan
berupa:

1. Surat Pengantar dari SKPD


2. Surat Panggilan kedua belah pihak dari SKPD
3. BAP/Keterangan Kronologis Gugat Cerai dari SKPD
4. Surat Keterangan Gugat Cerai dari Lurah diket. Camat (asli)
5. Surat Keterangan Gugat Cerai dari BP4 (asli)
6. Surat Panggilan 1 & 2 untuk kedua belah pihak dari BKD
7. BAP/Keterangan Kronologis Gugat Cerai dari BKD
8. Data Pendukung :

- Fotocopy Surat Nikah, KK, KTP Suami/Istri


- Fotocopy Keputusan Pangkat Terakhir
9. Masing2 dibuat 2 rangkap.

Mengenai hak atas gaji Pegawai Negeri Sipil setelah perceraian


apabila kehendak dari suami:

 1/3 gaji untuk PNS.


 1/3 gaji untuk bekas isteri.
 1/3 gaji untuk anak yang diterimakan kepada bekas
isterinya.

Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak maka gajinya


dibagi dua, yaitu : ½ untuk PNS, ½ untuk bekas isterinya.

Apabila anak mengikuti PNS pria, maka pembagian gaji


ditetapkan sbb :

 1/3 gaji untuk PNS pria.


 1/3 gaji untuk bekas isterinya.
 1/3 gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada PNS pria.

Apabila sebagian anak mengikuti PNS yang bersangkutan dan


sebagian mengikuti bekas isteri, maka 1/3 gaji yang menjadi hak
anak dibagi menurut jumlah anak.

Hak atas bagian gaji untuk bekas isteri sebagaimana dimaksud


di atas tidak diberikan apabila perceraian terjadi karena isteri
terbukti telah berzinah atau isteri terbukti telah melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin
terhadap suami, dan atau isteri terbukti menjadi pemabuk,
pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau isteri
terbukti telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah.
Meskipun perceraian terjadi atas kehendak isteri yang
bersangkutan, hak atas bagian gaji untuk bekas isteri tetap
diberikan apabila ternyata alasan isteri mengajukan gugatan cerai
karena dimadu, dan atau karena suami terbukti telah berzinah,
dan atau suami terbukti telah melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap isteri, dan
atau suami telah terbukti menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi
yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan
isteri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin isteri dan tanpa
alasan yang sah.

BAB 4 Penutup
a. Kesimpulan
Bahwa gugatan yang diajukan bersifat obscuur libel dan tidak jelas
duduk perkaranya, mengenai objek sengketa hanya menjadi
tumpuan atas ketidakterimaan Penggugat terhadap perceraian
yang dihadapinya. Bahwa dalam sebuah ikatan rumah tangga
dapat terjadi pertengkaran yang mengakibatkan hingga ke
perceraian namun Pegawai Negeri Sipil memiliki ketentuan sendiri
dalam mengajukan permohonan ijin Perceraian.

Bahwa pada dasarnya seluruh agama menyetujui bahwa


perceraian adalah hal yang sangat tidak disukai dan tidak
dianjurkan untuk dilakukan, namun dalam hal apabila sebuah
hubungan rumah tangga sudah tidak mampu lagi untuk diperbaiki
maka jalan terbaik adalah mengakhiri dengan melakukan
perceraian. Yang dimaksud dengan Pasal 7 ayat (3) huruf a
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983
tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Apabila prosedur dan tindakan perceraiannya memang bukan hal
yang urgensi untuk dilakukan. Jad i dalam keadaan yang urgensi
maka perceraian boleh dilakukan meski perilaku tersebut tidak
disukai seluruh ajaran agama.
b. Saran
Dalam perkara a quo yang diajukan oleh Penggugat konteks
KTUN tidak dapat di ganggu gugat namun dalam hal ini, perkara
mungkin dapat diajukan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta
Utara.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai