Anda di halaman 1dari 20

Pembatalan Pengangkatan Anak Demi Kepentingan Anak Angkat Pada Putusan

Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor: 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn

Zaslyn Annisa, 1906328231, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas


Indonesia,
zaslynannisa@gmail.com

Abstrak
Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi
Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang- undangan. Prinsip utama pengangkatan anak adalah untuk kesejahteraan
anak angkat lahir dan bathin. Guna memenuhi prinsip dan tujuan utama dari
pengangkatan anak tersebut, maka Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
sebagai pelaksana dari Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh calon orang tua angkat, salah satunya mampu ekomi dan
social. Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor: 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn.
mengabulkan gugatan pembatalan adopsi yang diajukan oleh orang tua kandung atas
adopsi yang dilakukan oleh orang tua angkat dengan alasan bahwa keadaan ekonomi
orang tua angkat sangat memprihatinkan pasca perceraian orang tua angkat, sehingga
tidak mampu lagi memikul biaya hidup dan pendidikan anak angkatnya dan
menyatakan Gross Akta Adopsi dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum. Tulisan
ini menjelaskan mengenai pentingnya melihat tujuan utama pengangkatan anak, yaitu
untuk kepentingan terbaik bagi anak, dalam memutuskan gugatan pembatalan anak
angkat;
Abstract;
Adoption can only be conducted for the Adoptee best interest and to be carried
out based on the local customs and prevailing laws. The main principle of adoption is
intended for the best interests of Adoptee’ physics and mental. In order to fulfill such
principle and main purpose of adoption, the Government Regulation Number 54 Year
2007 as the implementer of Child Protection Law regulates the conditions that has to
be fulfilled by Adoptive Parents, one of those is socially and economically sufficient.
On the verdict on Bojonegoro Religious Court Decision Number
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn, the court grant the cancellation of adoption submitted by
the birth parent, on the basis that after the divorce the adoptive parents economical
situtation has gotten worse, hence can no longer provide for the living cost and
education fee for the Adoptee and the Court also stipulated to declare the Adoption
Deed is not legally enforceable. This article explains about the importance to
perceive the main purpose of adoption, which is to provide the best interest of the
Adoptee, in deciding the adoption cancellation lawsuit.

Kata Kunci: Hukum Keluarga, Adopsi, Pembatalan Adopsi


I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara terminologi, istilahnya anak angkat atau adopsi dapat diartikan dalam
kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu “anak orang lain
yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”, dalam Ensiklopedia Umum
disebutkan bahwa adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang
tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi
dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang
tua yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang
diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak
dan kewajiban. 1 Sementara itu pengangkatan anak atau adopsi anak menurut E.E.A.
Lujiten adalah adopsi harus dilakukan di muka Hakim dan berakibat bahwa
hubungan-hubungan hukum antara anak dengan keluarga yang lama menjadi putus.2
Penulis dalam penelitian ini membatasi lingkup perkawinan yang dilakukan
diantara warga negara Indonesia, sehingga kajian dan penelitian mengenai lembaga
Pengangkatan Anak yang akan dibahas pada Tesis ini pun hanya terbatas pada
lingkup Pengangkatan Anak yang dilakukan antar Warga Negara Indonesia.3
Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan
menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan
orang per orang dalam keluarga. Bushar Muhammad, membagi pengangkatan anak
dalam dua macam, yaitu: adopsi langsung (mengangkat anak), dan adopsi tidak
langsung (melalui perkawinan).4 Dr. Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara
ringkas oleh Drs. Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, beliau membedakan
dua macam arti anak angkat, yaitu, Pertama: Penyatuan seseorang terhadap anak yang
diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain. Ia diperlakukan sebagai anak dalam
segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala

1
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal.
174.
2
R. Subekti, Perbandingan..., hal. 20.
3
Kementerian Sosial, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak, Permensos Nomor 110/HUK/2009, Pasal 1.
4
Bushar Muhammad, Pokok–Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1981) hal. 30.
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri. Kedua: yakni yang
dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara mutlak). Menurut
syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan
anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada
pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan
ketentuan hukum sebagai anak.5
Adopsi anak adalah salah satu upaya secara langsung dalam perlindungan hak-
hak anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur
masalah adopsi atau pengangkatan anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak di
Indonesia yang diatur pertama kali dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu
pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem hukum di Indonesia. Dari
ketentuan dalam stbl. 1917 No. 129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki agar
setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan tertentu yang bersifat memakasa
(Compulsory), sehingga tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan mengakibatkan
batalnya pengangkatan itu. Ordonansi dalam stbl.1971 No.129 mengatur tentang
pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala “Van adoptie”. Adopsi anak adalah
salah satu upaya secara langsung dalam perlindungan hak-hak anak. Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur masalah adopsi atau
pengangkatan anak. Tetapi aturan tersebut hanya memperbolehkan pengangkatan
anak bagi anak laki-laki. Kemudian hari, pengangkatan anak bagi anak perempuan
diperbolehkan dengan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor
907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto Nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober
1963.6
Di dalam BAB I Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pada Ketentuan Umum, pada Pasal 1 ayat 2
mengatur bahwa:7


5
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1999), hal. 5.
6
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2009), hal. 63.
7
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak,
“Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkat”.
Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi
Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang- undangan. 8 Permasalahan timbul apabila dikemudian hari, orang tua
kandung mengajukan gugatan pembatalan pengangkatan anak. Pembatalan
pengangkatan anak tidak diatur pada Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun
1983 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. Namun diatur dalam
BAB II Pasal 15 ayat 1 Staatblad 1917 Nomor 129, yaitu pembatalan dapat dilakukan
dengan persetujuan. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa pengangkatan anak
dapat dinyatakan batal apabila bertentangan dengan Pasal-pasal 5,6,7,8,9 atau pasal
10 ayat 2 dan ayat 3 dari staatsblad 1917 Nomor 129.
Kasus yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah gugatan pembatalan adopsi
yang diputus dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn. Adapaun kasus yang diputus adalah mengenai gugatan
pembatalan adopsi yang diajukan oleh orang tua kandung atas adopsi yang dilakukan
oleh orang tua angkat dengan alasan bahwa keadaan ekonomi orang tua angkat sangat
memprihatinkan pasca perceraian orang tua angkat, sehingga tidak mampu lagi
memikul biaya hidup dan pendidikan anak angkatnya. Lebih lanjut, orang tua
kandung selaku pemohon meminta majelis hakim untuk menyatakan Gross Akta
Adopsi dinyatakan dibatalkan atau setidak tidaknya dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Kemudian menurut pendapat majelis Hakim yang
memutuskan orangtua angkat harus memenuhi beberapa persyaratan yang antara lain
adalah orangtua angkat tersebut harus dalam keadaan mampu secara ekonomi dan
social, sehingga tidak terpenuhinya persyaratan tersebut menyebabkan dibatalkannya
pengangkatan anak tersebut serta Gross Akta Adopsi pengangkat anaknya.
Oleh sebab itu, proposal penelitian tesis ini akan membahas mengenai faktor
ekonomi dan sosial orang tua angkat menjadi dasar pembatalan pengangkatan
anak dan kedudukan akta pengangkatan anak yang telah dinyatakan tidak memiliki

8
Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39
kekuatan hukum. Dengan demikian judul penelitian tesis ini adalah “Pembatalan
pengangkatan anak demi kepentingan anak angkat pada Putusan Pengadilan Agama
Bojonegoro Nomor: 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan rumusan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa faktor ekonomi dan sosial orang tua angkat menjadi dasar pembatalan
pengangkatan anak pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn?
2. Bagaimana kedudukan akta pengangkatan anak yang telah dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn?
1.3 Metode Penulisan

Bentuk Penelitian dalam artikel ini menggunakan metode penitilian hukum


yuridis normatif. Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan
menggunakan data-data yang diperoleh dan dianalisis oleh penulis. Tipe penelitian
yang digunakan dalam penulisan tesis ini untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian, menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. 9 Data yang
digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan studi
dokumen dari buku atau bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan alat
pengumpulan data studi dokumen, tanpa melakukan interview atau wawancara baik
dengan informan maupun narasumber.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengangkatan Anak di Indonesia
Adopsi anak adalah salah satu upaya secara langsung dalam perlindungan hak-
hak anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur
masalah adopsi atau pengangkatan anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak di
Indonesia yang diatur pertama kali dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu
pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem hukum di Indonesia. Dari


9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:
Rajawali Pers, 2015), hlm. 15.
ketentuan dalam stbl. 1917 No. 129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki agar
setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan tertentu yang bersifat memakasa
(Compulsory), sehingga tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan mengakibatkan
batalnya pengangkatan itu. Ordonansi dalam stbl.1971 No.129 mengatur tentang
pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala “Van adoptie”. Adopsi anak adalah
salah satu upaya secara langsung dalam perlindungan hak-hak anak. Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur masalah adopsi atau
pengangkatan anak. Tetapi aturan tersebut hanya memperbolehkan pengangkatan
anak bagi anak laki-laki. Kemudian hari, pengangkatan anak bagi anak perempuan
diperbolehkan dengan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor
907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto Nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober
1963.10
Di dalam BAB I Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pada Ketentuan Umum, pada Pasal 1 ayat 2
mengatur bahwa:11
“Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat”.
Peralihan tersebut menyebabkan status hukum baru bagi seorang anak, yang
mana ia memiliki hak dan kewajiban juga selaku anak sah terhadap orang tua
angkatnya, akan tetapi anak tersebut juga tidak terputus hubungan darah dengan orang
tua kandungnya. Berarti terdapat suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang
tua angkat nantinya yaitu memberitahukan kepada anak angkat mengenai asal usul
anak angkat tersebut. Dan yang tidak kalah penting adalah juga pasca dilakukan suatu
perbuatan hukum pengangkatan anak (setelah putusan atau penetapan pengadilan


10
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2009), hal. 63.
11
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak,
diperoleh pihak pemohon)12, sudah menjadi kewajiban bagi para pihak melaksanakan
hak dan kewajiban yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, karena
prinsip utama pengangkatan anak adalah untuk kesejahteraan anak angkat lahir dan
bathin.13
Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi
Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang- undangan.14 Guna memenuhi prinsip dan tujuan utama dari pengangkatan
anak tersebut, maka Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 sebagai pelaksana
dari Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh calon orang tua angkat, antara lain:15
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi

12
Lihat Pasal 9 jo. Pasal 10 jo. Pasal 20 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak: Permohonan pengangkatan
anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan pengadilan.
13
Uranous Yarositayana, Urgensi Akta Notaris Dalam Proses Pengangkatan
Anak Analisis Penetapan Pengadilan Negeri Depok Tahun 2010, (Depok: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2011), hal. 10
14
Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39
15
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak, Pasal 13
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
Para pihak baik yang mengalihkan maupun yang menerima peralihan seorang
anak angkat sudah barang tentu menginginkan suatu kepastian hukum sehingga jelas
batasan hak yang harus diterima dan kewajiban apa yang harus dilaksanakan sesuai
hukum pengangkatan anak yang berlaku di negara Indonesia dan kedepannya tidak
akan menimbulkan sengketa hukum bagi para pihak, dan yang terpenting menegaskan
kedudukan hukum anak angkat tersebut sehingga tujuan yang dimaksud dalam UU
Perlindungan Anak mengenai pengangkatan anak pun akan tercapai. Para pihak pun
harus yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan tata cara pengangkatan anak yang
diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari UU Perlindungan
Anak, sehingga jelaslah yang terpenting adalah kepastian hukum tercipta dari mulai
proses pengangkatan anak dilakukan sampai dengan diperolehnya suatu Penetapan
Pengadilan sebagai pengesahan (legalitas) atas pengangkatan anak.16
Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
hakim yang berkekuatan tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah
lagi. Dengan putusan ini hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara
ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud supaya, apabila tidak ditaati secara
sukarela dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara (“dengan kekuatan hukum”).17
Prosedur untuk mendapatkan mendapatkan pengesahan pengangkatan anak dari
pengadilan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 yang menegaskan
prosedur:18
a. Dimulai dengan suatu permohonan kepada ketua pengadilan yang berwenang
dan karena itu termasuk prosedur yang dalam hukum acara perdata dikenal

16
Uranous Yarositayana, Urgensi,hal.9
17
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1989), hal. 124

18
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, (Bandung: Nuansa
Aulia, 2012); Hal. 79
sebagai yurisdiksi volunteer (jurisdiction voluntaria);
b. Petitum Permohonan harus tunggal, yaitu minta pengesahan pengangkatan anak,
tanpa permohonan lain dalam petitum permohonan;
c. Atas permohonan pengesahan pengangkatan antar Warga Negara Indonesia
(domestic adoption) pengadilan akan menerbitkan pengesahan dalam bentuk
“Penetapan”, sedangkan atas permohonan pengesahan pengangkatan anak
Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing atau sebaliknya
pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia (inter-
country adoption) pengadilan akan menerbitkan “Putusan” Pengesahan
Pengangkatan Anak;
Penetapan anak angkat di Indonesia termasuk dalam kategori Putusan
Deklarator yaitu putusan yang bersifat menyatakan atau menegaskan suatu keadaan
hukum semata-mata.19
Putusan yang bersifat deklarator atau deklaratif (declaratoir vonnis) adalah
pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu
merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status.
Dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atu diktum putusan, dengan adanya
pernyataan itu, putusan telah menentukan dengan pasti siapa yang berhak atau siapa
yang mempunyai kedudukan atas permasalahan yang disengketakan. Putusan
“declaratoir”, yaitu yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan
yang sah menurut hukum.20
2.2 Faktor Ekonomi dan sosial sebagai dasar pembatalan pengangkatan anak
pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn

Dalam prakteknya pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia


mempunyai beberapa macam tujuan dan/atau motivasinya. Tujuannya antara lain
adalah untuk meneruskan keturunan, apabila dalam suatu perkawinan tidak
21
memperoleh keturunan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


19
Dessy Balaati, “Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia”, Lex
Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013, (Jan-Mar 2013), hal. 143
20
R. Subekti, Hukum…, hal. 127
21
UU Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 39 ayat 1.
Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak,
motivasi pengangangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.22
Disamping untuk melanjutkan keturunan, kadang kala pengangkatan anak
bertujuan juga untuk mempertahankan ikatan perkawinan dan menghindari
perceraian. Sepasang suami isteri yang telah memiliki anak tidak akan mudah untuk
memutuskan bercerai. Karena kepentingan akan keutuhan perkawinan tersebut tidak
hanya untuk kedua belah pihak saja, namun termasuk pula kepentingan untuk anak-
anak yang terikat dalam perkawinan tersebut.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa sekarang menunjukkan
bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas motivasi
meneruskan keturunan ataupun mempertahankan perkawinan saja tetapi lebih
beragam dari itu. Ada berbagai motivasi yang mendorong orang mengangkat anak
bahkan tidak jarang pula karena faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik.24
Berdasarkan sumber-sumber yang ada, dalam hal ini terdapat beberapa alternatif
yang digunakan sebagai dasar dilaksanakannya suatu pengangkatan anak. Antara lain
seagai berikut:23
1. Dilihat dari sisi adoptant, karena adanya alasan:
a) keinginan mempunyai anak atau keturunan;
b) keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya;
c) kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain
yang membutuhkan;
d) adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan
suatu pengangkatan anak;
e) adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak
untuk kepentingan pihak tertentu.
2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena adanya alasan:
a) perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri;
b) kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada


22
Ibid.
23
Irma Setyowati Soemitro, SH., Aspek Hukum Perlindunga Anak cet 1,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 40.
pihak yang ingin mengangkat anaknya;
c) imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak;
d) saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain;
e) keinginan agar anaknya dapat hidup lebih baik dari orang tuanya;
f) ingin anaknya terjamin materiel selanjutnya;
g) masih mempunyai anak-anak beberapa lagi;
h) tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak
sendiri;
i) keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat dari
hubungan yang tidak sah;
j) keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang
tidak sempurna fisiknya.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak mengatur bahwa pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan
anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kemudian dipertegas pada Pasal 13 huruf h yang
mengatur bahwa calon orang tua angkat harus dalam keadaan mampu ekonomi dan
sosial.
Pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor: 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn
dijelaskan bahwa Penggugat I dan II selaku orang tua kandung menjelaskan bahwa
Para Penggugat menyetujui pengangkatan anak mereka, dikarenakan Tergugat I dan II
telah menikah selama 6 (enam) tahun dan belum dikaruniai anak, serta Para
Penggugat beranggapan bahwa para Tergugat merupakan keluarga baik-baik yang
memeluk agama yang sama dengan Para Penggugat serta dianggap mampu secara
ekonomi. Bahwa meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan, namun dapat
disimpulkan bahwa salah satu alasan Para Penggugat menyetujui pengangkatan anak
mereka ialah karena faktor ekonomi.
Beberapa tahun kemudian Para Tergugat bercerai dan setelah perceraian anak
angkat berada dibawah asuhan Tergugat I selaku ibu angkatnya, namun pasca
perceraian keadaan ekonomi Tergugat I menjadi menurun sehingga tidak dapat lagi
menanggung biaya hidup serta biaya pendidikan sang anak angkat. Majelis hakim
mengabulkan gugatan Para Penggugat dengan alasan bahwa Para Tergugat tidak
memenuhi syarat sebagai orangtua angkat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
13 huruf (h) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007.
Bahwa pada dasarnya, ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia
mengenai pengangkatan anak tidak mengatur mengenai prosedur ataupun dasar untuk
pembatalan pengangkatan anak selain dari apa yang diatur pada Staatsblad 1917
Nomor 129 yang mengatur mengenai pembatalan suatu adopsi. Pembatalan suatu
adopsi diatur dalam Pasal 15 Staatsblad 1917 Nomor 129. menyebutkan bahwa : “
...(1) Adopsi tidak dapat dihapus oleh saling persetujuan kedua belah pihak...” Dari
ayat tersebut tersebut terlihat bahwa adopsi tidak dapat dibatalkan baik pembatalan
secara sepihak oleh adoptan, atau oleh adoptandus maupun pembatalan secara
bersama antara adoptan dan adoptandus, namun demikian Staatsblad 1917 Nomor 129
mengatur bahwa adopsi dapat dinyatakan batal demi hukum jika memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 atau Pasal 15 ayat
3. Pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa :
“...(2) Adopsi terhadap anak-anak perempuan dan dengan cara lain daripada
dengan akta notaris, adalah batal demi hukum...” Latar belakang timbulnya ketentuan
bahwa adopsi menjadi batal jika adopsi dilakukan terhadap anak perempuan adalah
karena pada waktu berlakunya Staatsblad tersebut, adat masyarakat golongan
Tionghoa pada saat tersebut adalah menganut garis keturunan laki-laki (patrilinial),
sehingga adopsi anak perempuan sama sekali tidak sesuai dengan tujuan diadakannya
lembaga tersebut.24 Dari pasal-pasal tersebut diatas, maka pembatalan suatu adopsi
menurut Staatsblad 1917 Nomor 129 dapat terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-
syarat untuk adopsi. Namun ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai pembatalan
adopsi tidak diatur di dalam Staatsblad tersebut seperti: pembatalan adopsi dapat
dilakukan setelah berapa lama adopsi dilakukan, bagaimana prosedur pembatalan
adopsi, kapan pembatalan adopsi berlaku efektif.25
SEMA No 6 Tahun 1983, UU No 23/2002 dan PP No 54/2007 sama sekali tidak
mengatur mengenai pembatalan adopsi. Apabila kita melihat kepada tujuan dari

24
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-
Undang, cet. 2, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 250.
25
Melania Desfiana Artiani, Yuridis Atas Pengajuan Pembatalan Adopsi
(Analisis Putusan Nomor : 500/Pdt.G/1999/PNJak.Sel3an Putusan Nomor:
47/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel), (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009),
hal. 33
pengangkatan anak sebagaimana diuraikan sebelumnya yaitu pengangkatan anak
bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi Anak Halam rangka mewujudkan
kesejahteraan anak. Selain itu pada prosedur permohonan dan persyaratan
pengangkatan anak antar WNI pada SEMA No. 6 Tahun 1983 pada salah satu
syaratnya adalah membuat surat permohonan pengangkatan anak yang didalamnya
diuraikan secara jelas bahwa motivasi pengangkatan anak adalah untuk kebaikan
dan/atau kepentingan calon anak angkat. Dengan demikian, pembatalan adopsi
berakibat pada tidak sesuainya pada maksud dan tujuan dari adopsi itu sendiri. Selain
itu pembatalan adopsi mengakibatkan kedudukan anak angkat yang semula
dipersamakan sebagai anak kandung menjadi tidak dipersamakan lagi sebagai anak
kandung, atau dengan kata lain anak angkat tersebut tidak mempunyai hubungan
apapun lagi dengan orang tua angkatnya. Hal ini berakibat juga pada hak-hak yang
tadinya melekat pada anak angkat tersebut menjadi hilang.26
Sebagaimana pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn dimana tidak terpenuhinya salah satu syarat pengangkatan
anak yang dimaksud pada Pasal 13 huruf h PP No 54/2007 yaitu orang tua angkat
harus mampu secara ekonomi dan sosial dapat menjadi dasar untuk pembatalan
pengangkatan anak karena dalam hal orang tua angat tidak lagi mampu secara
ekonomi dan sosial, maka keadaan tersebut tidak lagi memenuhi tujuan utama dari
pengangkatan anak yaitu untuk kesejahteraan anak angkat.

2.3 Akta pengangkatan anak yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn
Akibat hukum dari pembatalan suatu akta akta notaris terhadap isi akta itu
sendiri ada dua, yaitu :
1. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan;
2. Akta Notaris menjadi batal demi hukum.
Pembatalan atau batalnya suatu perbuatan hukum, ditemukan istilah-istilah
"batal demi hukum", "membatalkannya" (Pasal 1449 KUHPerdata), "menuntut
pembatalan" (Pasal 1450 KUHPerdata), "pernyataan batal" (Pasal 1451- 1452


26
Ibid.
KUHPerdata), "gugur" (Pasal 1545 KUHPerdata), dan "gugur demi hukum" (Pasal
1553 KUHPerdata). Kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum baik perbuatan
hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak. Dengan mengatakan suatu
perbuatan hukum batal, berarti bahwa karena adanya cacat hukum mengakibatkan
tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku. Masalah kebatalan dan
pembatalan oleh para sarjana dimasukkan dalam genus

nullitas (nulliteiten), yaitu suatu keadaan di mana suatu tindakan hukum tidak
mendapatkan atau menimbulkan akibat hukum sebagai yang diharapkan.27
Menentukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dan ditentukan dari:
1. Ketentuan Pasal-Pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika
notaris melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk
akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan.
2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam Pasal yang bersangkutan
sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan, maka dikembalikan kepada ketentuan-ketentuan dalam
KUH Perdata mengenai akta batal demi hukum.
Akta notaris batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat- syarat yang
sudah ditentukan menurut hukum, tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu dari
yang bersangkutan yang berkepentingan. Oleh karena itu, kebatalan bersifat pasif,
artinya tanpa ada tindakan aktif atau upaya apapun dari para pihak yang terlibat dalam
suatu perjanjian, maka akan batal atau batal demi hukum karena secara serta merta
ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi.
Istilah pembatalan bersifat aktif, artinya meskipun syarat-syarat perjanjian telah
dipenuhi, tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berkehendak agar
perjanjian yang dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi dengan alasan tertentu,
baik atas dasar kesepakatan atau dengan mengajukan gugatan pembatalan ke
pengadilan umum, misalnya para pihak telah sepakat untuk membatalkan akta yang


27
J. Satrio, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2, Cet. I,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 165.
pernah dibuatnya, atau diketahui ada aspek formal akta yang tidak dipenuhi, yang
tidak diketahui sebelumnya, dan para pihak ingin membatalkannya.28
Jika para pihak ada yang tidak sepakat dengan pembatalan akta tersebut, atau
terdapat sengketa terkait dengan pembatalan akta itu, maka salah satu pihak dapat
menggugat pihak lainnya ke pengadilan umum untuk membatalkan isi akta yang
bersangkutan agar tidak mengikat lagi. Bahwa yang dibatalkan oleh para pihak, baik
karena kesepakatan ataupun melalui putusan pengadilan adalah isi akta. Karena isi
akta merupakan kehendak para pihak itu sendiri.
Menurut ketentuan Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata, syarat batal selalu
dianggap tercantum dalam perjanjian timbal balik, apabila salah satu pihak dalam
perjanjian tersebut mengingkari apa yang telah diperjanjikan. Pasal 1266 ayat (2)
KUHPerdata menyatakan bahwa untuk membatalkan suatu perjanjian harus dengan
putusan hakim. Selanjutnya Pasal 1266 ayat (3) KUHPerdata menegaskan bahwa
permintaan pembatalan tersebut harus dilakukan meskipun syarat batal telah
dicantumkan dalam perjanjian. Dalam praktik di lapangan para pihak yang membuat
suatu perjanjian sering mengabaikan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) tersebut.
Sebagaimana telah diketahui bahwa ketiadaan pemenuhan syarat subyektif
mengakibatkan dapat dibatalkannya suatu perjanjian. Untuk meminta pembatalan
perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan cara antara lain yaitu:
a. Pihak yang berkepentingan secara aktif menggugat atau meminta kepada
Hakim supaya perjanjian itu dibatalkan.
b. Menunggu sampai adanya gugatan di depan Hakim untuk memenuhi
perjanjian itu. 29
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1420
K/Sip/1978 tanggal Mei 1979 menyebtkan bahwa : “Pengadilan tidak dapat
membatalkan suatu akta Notaris, tetapi hanya dapat menyatakan akta Notaris yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.” Artinya dalam putusan sengketa


28
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refiko Aditama
Bandung 2013.
29
Muh. Taufiq Amin, Jurnal, Konsekuensi Hukum Pembatalan Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ( Ppjb) Dalam Praktek Jual Beli Properti Di Makassar.
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar 2015. hlm 16.
akta Notaris di pengadilan, hakim tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan
akta yang diyakini mengandung cacat hukum, melainkan hakim hanya menyatakan
bahwa akta yang menjadi sengketa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga
pembatalan suatu akta Notaris bukan berdasarkan putusan pengadilan, hakim hanya
memiliki kewenangan untuk memutus mengenai kekeuatan hukum akta Notaris itu.
Mengenai pembatalan akta sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang terikat dan
memiliki kepentingan dalam akta Notaris tersebut.
Dalam putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn, majelis hakim menyatakan bahwa Akta Adopsi Nomor
492/2005, bertanggal 25 Agustus 2005 yang dibuat dan ditandatangani oleh Notaris
Yatiman Hadisuparjo, S.H. (Turut Tergugat I) yang disahkan oleh Pengadilan Negeri
Bojonegoro No.10/Ad/2005, tanggal 24 November 2005 tidak perlu dibatalkan
melainkan cukup dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibat
hukumnya. Hal tersebut disebabkan hakim menyatakan bahwa pengangkatan anak
tidak lagi memenuhi syarat pengangkatan anak sebagaimana diatur pada PP No
54/2007, sehingga atas alasan tersebut majelis hakim menyatakan Akta Adopsi
Nomor 492/2005, bertanggal 25 Agustus 2005 tidak memiliki kekuatan hukum yang
artinya akta tersebut tidak lagi dapat dijadikan dasar hukum dalam melakukan
tindakan hukum apapun lagi.
Lebih lanjut, pada amar putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn hakim hanya memutuskan: “Menyatakan Akta Adopsi
nomor 492/2005, tanggal 25 Agustus 2005 yang dibuat dan ditandatangani oleh
Notaris Yatiman Hadisuparjo,S.H., di Bojonegoro yang disahkan oleh Pengadilan
Negeri Bojonegoro nomor 10/Ad/2005, tanggal 24 November 2005 tidak mempunyai
kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya”, tanpa memberikan perintah
kepada notaris atau para pihak terkait untuk melakukan tindakan hukum lebih lanjut
seperti akta pembatalan. Dalam hal ini, notaris berperan penting untuk bersikap
proaktif dan berinisiatif untuk menindaklanjuti putusan hakim tersebut dalam suatu
akta autentik terpisah, agar menghindari penyalahgunaan maupun perselisihan dimasa
depan, serta memberikan kepastian hukum bagi pihak yang terkait.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa kesimpulan dari analisis terhadap rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bahwa meskipun SEMA No 6 Tahun 1983, UU No 23/2002 dan PP No
54/2007 sama sekali tidak mengatur mengenai pembatalan adopsi, namun
tidak terpenuhinya syarat pengangkatan anak yaitu kecukupan sosial dan
ekonomi orang tua angkat dapat menjadi dasar pembatalan pengangkatan
anak, karena tujuan dari pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak, sebagaimana tercantum pada pertimbangan hakim di
putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor: 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn;
2. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
1420 K/Sip/1978 menyatakan bahwa pengadilan tidak dapat membatalkan
suatu akta Notaris, tetapi hanya dapat menyatakan akta Notaris yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sehingga pertimbangan
hakim pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn telah tepat dan akta pengangkatan anak tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum yang artinya akta tersebut tidak lagi dapat
dijadikan dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum apapun lagi.
3.2 Saran
Bahwa saran terhadap putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor:
0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn adalah sebagai berikut:
1. Meskipun hakim telah tepat dalam menerapkan pertimbangan hukum untuk
memutuskan pembatalan pengangkatan anak pada putusan Pengadilan Agama
Bojonegoro Nomor: 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn, namun tetap diperlukan
peraturan dan ketentuan yang dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang ketentuan dan dasar pembatalan
pengangkatan anak, agar kepentingan anak angkat tetap dilindungi oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Bahwa pembatalan akta notaris pada putusan Pengadilan Agama Bojonegoro
Nomor: 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn bukan disebabkan oleh kesalahan notaris,
melainkan merupakan kehendak pihak yang berkepentingan pada akta
tersebut. Pada amar putusannnya hakim hanya menyatakan akta tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum, namun tidak memerintahkan notaris untuk
melakukan sesuatum, sehingga untuk akta yang dibatalkan dengan demikian
notarislah yang harus berinisiatif dan proaktif untuk menindaklanjuti
pembatalan akta notaris tersebut, seperti membuat akta pembatalannya, untuk
menghindari penyalahgunaan akta dan memberikan kepastian hukum bagi
para pihak yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
I. PUTUSAN
Pengadilan Agama Bojonegoro. “Putusan No. 0840/Pdt.G/2018/PA.Bjn”
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan. Nomor 54


Tahun 2007.

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974. Nomor 9 Tahun 1975.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Indonesia. Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun


1974, TLN No. 3019.

Kementerian Sosial, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Tentang


Persyaratan Pengangkatan Anak, Permensos Nomor 110/HUK/2009,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh


R.Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.

Staatsblad 1917 No 129 (bab II Pengangkatan Anak).

III. BUKU, ARTIKEL, JURNAL


Balaati, Dessy “Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia”, Lex Privatum,
Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Jan-Mar. 2013.

Budiarto, M.. Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Jakarta: Aka Press,
1991.

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi


Teori Hukum. cet.2. Jakarta: Prenada Media Group, 2017.

Mamudji, Sri. et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Meliala, Djaja S. Hukum Perdata dalam Perspektif BW. Bandung: Nuansa Aulia,
2012.

Meilala, Djaja S.. Pengangkatan Anak (adopsi) berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan peraturan perundangan di Indonesia, Bandung : Nuansa Aulia, 2016.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Plito. BAB-BAB Tentang Penemuan Hukum, Jakarta:
PT. Citra Adytia Bhakti, 1993.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya


Bakti, 2004.

Muhammad, Bushar. Pokok–Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.

Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya


Bakti, 2009.

Soekanto, Soerjono Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia, 2015.

Soeroso, R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Subekti, R. Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta, 1989.

Subekti, R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.


Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.

Yarositayana, Uranous. Urgensi Akta Notaris Dalam Proses Pengangkatan Anak


Analisis Penetapan Pengadilan Negeri Depok Tahun 2010. Depok: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2011.

Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika, 1999.

Anda mungkin juga menyukai