Dengan ini mengajukan judul Skripsi yang berjudul:
“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Ayah yang Tidak Menafkahi
Anaknya Pasca Perceraian”
Adapun Alasan Pemilihan Judul tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Suatu perkawinan yang sudah putus karena perceraian tidaklah
mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan istri yang telah bercerai) dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus. Sebab dengan tegas telah diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban yaitu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Hanya hak asuh yang pindah ke salah satu pihak yaitu beralih ke ayah atau ke ibunya. Pihak yang paling utama menjadi korban akibat perceraian orang tua adalah anak. Akibat perceraian orang tua dapat mempengaruhi prilaku anak seperti prilaku anti sosial, penurunan kualitas pendidikan, kualitas kesehatan rendah, rendah diri, putus sekolah dan sikap negatif kepada keluarga. Realitas yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat, banyak anak-anak korban perceraian tidak mendapatkan haknya dari orang tuanya yang bercerai. Meskipun ada putusan Pengadilan Agama yang telah memutuskan besaran nafkah anak yang harus dibayar tergugat (ayah) setiap bulan, sebahagian besar dari putusan tersebut tidak dipatuhi oleh tergugat. Kalaupun ada yang dipatuhi akan tetapi besarannya tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan. Apalagi jika si ayah sudah menikah dan sibuk dengan keluarga barunya. Kewajiban memberikan nafkah pada anak pasca perceraian semakin tidak dipatuhi. Akhirnya tinggalah si ibu membanting tulang menafkahi anaknya. Melihat fenomena di atas, negara harus hadir untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak yang orang tuanya bercerai, baik melalui penjaminan dari aspek regulasi maupun dari aspek kebijakan dari aparat penegak hukum. Kedua aspek tersebut sangat urgen untuk mewujudkan terciptanya kepatuhan para pihak untuk menjalankan perintah Pengadilan sebagai Lembara Negara yang berwibawa. Mengkaji dari aspek regulasi yang mengatur adanya kewajiban ayah yang bercerai untuk menafkahi anaknya sudah diatur sedemikian rupa dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dalam Pasal 41 ayat 3, serta dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 56 point d. Namun regulasi tersebut hanya bersifat materil dan tidak memiliki upaya paksa yang kuat untuk memaksa para pihak agar menjalankan ketentuan tersebut. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang memiliki daya paksa mengenai uang nafkah di dalam putusan perceraian agar benar-benar dapat dilaksanakan. Karena sanksi yang memiliki kekuatan memaksa ada pada domain hukum pidana, maka disimpulkan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang tua (ayah) yang mengabaikan putusan Pengadilan Agama tentang menafkahi anaknya. Ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan pihak isteri/ibu untuk memperjuangkan haknya yang tidak dipenuhi oleh suami/ayah berdasarkan putusan Pengadilan Agama, di antaranya: mengajukan permohonan sita eksekusi ke pengadilan yang memutus perkara terhadap harta/barang milik suami/ayah baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak sesuai dengan pasal yang diatur dalam Pasal 197 HIR/208 R.Bg dan Pasal 197 ayat (1) HIR/209 R.Bg dan ayat (8) HIR/211 R.Bg. Pada praktiknya, upaya paksa yang lahir dari ketentuan pidana lebih efektif untuk dieksekusi atau dijalankan oleh pihak yang terkait dibandingkan dengan ketentuan perdata yang bersifat sita eksekusi. Upaya pemidanaan cenderung akan memaksa pihak terkait untuk menjalankan isi putusan Pengadilan dibandingkan upaya perdata yang ujungnya hanya bisa memohonkan sita eksekusi yang membutuhkan waktu yang cukup panjang dan biaya yang tidak sedikit. Sangat logis, jika upaya paksa melalui pemidanaan lebih ditakuti oleh pihak terkait, karena dalam pemidanaan dapat dilakukan penahanan fisik yang dapat mengekang kebebasan seseorang. Meskipun upaya menjalankan isi putusan Pengadilan lebih efektif melalui pemidanaan, jika dikaitkan dengan kasus kelalaian ayah yang tidak menafkahi anaknya pasca bercerai, ketentuan pemidanaan yang dapat diancamkan kepadanya sangat sulit ditemukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang mengkaji tentang kajian pemidanaan terhadap ayah yang tidak menafkahi anaknya pasca bercerai, dan menuliskannya dalam sebuah Tesis dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Ayah yang Tidak Menafkahi Anaknya Pasca Perceraian” Adapun rumusan masalah yang akan ditetapkan pada penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana pengaturan hukum tentang nafkah anak ditinjau dari peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap ayah yang tidak menafkahi anaknya pasca bercerai ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak? 3. Bagaimana perlindungan hukum pemenuhan nafkah anak setelah ayah dipidana tidak menafkahi anaknya? Demikianlah permohonan ini saya sampaikan untuk dapat pemeriksaan dan persetujuan serta pengesahan, atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Medan,.....................20....... Hormat Pemohon,