Sandingkan surat edaran Mahkamah Agung mulai dari tahun 1979 sampai dengan 2009 !?
Dalam hal pengangkatan anak, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran Nomor 2 tahun
1979 tentang pengangkatan anak. Surat edaran Mahkamah Agung ini ditujukan kepada para
ketua, dan juga hakim-hakim di pengadilan tinggi maupun juga pengadilan negeri di seluruh
Indonesia, Surat edaran Mahkamah Agung ini juga dikeluarkan karena seiring dengan
perkembangan dan dinamika yang terjadi didalam masyarakat terkait tentang pengangkatan
anak yang semakin bertambah dan juga berbagai motif yang berbeda.
Bahwa sebelumnya pengangkatan anak hanya dilakukan secara adat saja, masih belum
banyak yang melakukan secara sah dimata hukum.
Bahwa selanjutnya juga pada kesempatan ini banyak dari Pegawai Negeri Sipil yang
mengambil kesempatan dalam hal pengangkatan anak ini untuk mendapatkan tunjangan dari
pemerintah.
Bahwa selama ini tidak ada menonjolkan kepentingan dari sang anak baik itu terkait hak
maupun juga kewajiban bagi sang anak.
Bahwa sebelumnya juga memungkinkan berubahnya status warga negara anak yang diangkat
tersebut, dan memungkinkan terjadinya penyelundupan.
Dalam hal ini Mahkamah Agung juga mengeluarkan surat edaran nomor 4 tahun 1989 terkait
pengangkatan anak, yang mana isinya menyatakan bahwa masih ada putusan/penetapan
pengadilan negeri yang menyimpang dan tidak mengikuti aturan yang ada, dan juga
diharuskan untuk orang tua angkat WNA untuk berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia
sekurang-kurangnya 3 tahun.
SOAL
1. Dalam suatu perkawinan di indonesia telah diatur dalam uud no 1 th 1974 tentang
perkawinan dan uud no 16 th 2019 tentang perubahan atas uu no 1 tahun 1974.
Jelaskan esensi uu no 16 tahun 2019 dimana yg diubah adalah ketentuan pasal 7 uu
perkawinan 1974 dan pasal 65 a !
Jawaban:
1. Esensi dikelurkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mana hanya 2 pasal saja dalam Undang-
Undang tersebut yaitu perubahan dari pasal 7 dan ditambahkannya pasal 65 A.
Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan dalam pasal 7
membahas terkait batasan usia dalam perkawinan yang mana bunyi isinya sebagai berikut
“ Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.
(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti
pendukung yang cukup.
(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan.
(4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (41 berlaku juga ketentuan
mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).”
Dikeluarkannya ketentuan baru dalam Undang-Undang ini tentunya memiliki tujuan yang
penting, yaitu untuk mengantisipasi atau menghindari pernikahan dini atau pernikahan
dibawah umur.
Dan juga sebelumnya didalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan bahwa batasan usia perkawinan bagi pria berumur 19 tahun,
sedangkan bagi wanita sudah mencapai 16 tahun, tentu hal ini menyebabkan polemik
dimasyarakat salah satunya terkait pernikahan usia dini dan juga terkait pandangan
persamaan didepan hukum tentu ini mendiskreditkan pihak wanita yang mana terdapat
perbedaan batasan usia.
Mengingat dalam hal melaksanakan perkawinan diperlukan kematangan usia atau
kedewasaan terhadap psikis maupun psikologisnya. Pernikahan usia dini juga merugikan
pihak terkait mengingat lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.
Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diatas maka diterbitkanlah pasal tersebut diatas
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ini.
Akan tetapi ada pengecualian dari ketentuan tersebut diatas yang mana orang tua pihak
pria maupun orang tua pihak wanita mengajukan dispensasi ke pengadilan dengan
mencantumkan bukti-bukti pendukung yang cukup.
2. Kedudukan anak luar kawin yang dapat diakui yaitu perlu diketahui penjelasan-
penjelasan pasal berikut ini:
Diseburkan dalam pasal Pasal 42
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.”
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
Maka oleh sebab itu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan MK Nomor 46/PUU-
VIII/2010, yang mana isinya menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang ayat tersebut dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah sebagai ayahnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah terjadi perubahan makna dalam
pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menegaskan
bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja akan tetapi dengan laki-laki atau ayah
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya.
Dalam hal ini anak diluar nikah dapat diakui apabila ayah dan ibu dari anak tersebut
melaksanakan pengesahan nikah.