Anda di halaman 1dari 33

PROPOSAL PENELITIAN

PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN


NEGERI OELAMASI (STUDI KASUS PENETAPAN NO
5/PDT.P/2023/PN OLM)

OLEH :

NUR FADHILAH
NIM: 1902010644

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2023
A. LATAR BELAKANG

Anak merupakan karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa pada
setiap pasangan suami istri yang telah menikah. Selain itu anak juga merupakan
amanah yang diberikan kepada setiap orang tua dalam suatu ikatan perkawinan.
Sesuai Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengatur bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.1 Berdasarkan pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap anak
memiliki hak untuk menjalankan kehidupannya dan mendapatkan perlindungan
dari kekerasan dari siapapun termasuk keluarganya. Dengan banyaknya kebutuhan
yang dibutuhkan oleh anak tidak semua anak memiliki keberuntungan dalam hal
pemenuhan kebutuhan tersebut. Anak menjadi salah satu alasan setiap orang
memutuskan untuk menikah, karena anak diharapkan akan melanjutkan garis
keturunan dari orang tuanya dan dengan adanya anak maka suatu keluarga
dianggap lengkap. Namun pada kenyataan yang terjadi bahwa tidak semua
pasangan suami istri yang telah berumah tangga dikaruniai anak dikarenakan
beberapa faktor. Beberapa usaha telah dilakukan oleh orang tua untuk
mendapatkan anak namun tidak juga mendapatkan anak. Oleh karena itu beberapa
orang tua memillih untuk mengangkat anak sebagai solusinya.
Pengertian anak angkat menurut Pasal 1 Angka 9 Undang-undang Nomor
35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak adalah” Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan”.2
Terkait dengan pengertian anak angkat, beberapa ahli berpendapat
sebagai berikut:

1
Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
 Wirjono Pradjodikoro menyatakan bahwa anak angkat adalah seorang bukan
turunan dua orang suami dan istri, yang diambil, dipelihara, dan
diberlakukan oleh mereka sebagai anak keturunannya sendiri.
 A Farid menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu
perbuatan dari seseorang mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya
tanpa melepaskan ikatan kekeluargaan anak itu dari orang tua aslinya, baik
ia masih kanak-kanak (belum dewasa) maupun sudah dewasan mempunyai
kewajiban yang sama dengan adopsi ini.3
Asal status anak angkat berasal dari proses pengangkatan anak.
Pengangkatan anak merupakan proses pemindahan tanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkat dari orang tua kandung.4 Pengangkatan anak harus
dilakukan dengan proses hukum, yaitu dengan produk penetapan pengadilan.
Kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengesahkan pengangkatan anak tersebut
tercantum dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum yang menyatakan: “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
memeriksa,memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat
pertama”. Jadi, pada dasarnya semua perkara pidana dan perdata merupakan
kewenangan peradilan umum, kecuali ada ketentuan lain dalam Undang-undang
yang menentukan bahwa terhadap perkara-perkara perdata tertentu menjadi
kewenangan pengadilan dalam lingkup peradilan lain. Termasuk permohonan
untuk mendapatkan penetapan terhadap pengangkatan anak.
Dalam peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah RI
No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran
No.02/1979 Tentang Pengangkatan Anak, dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
No.2 Tahun 2009 Tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan
Anak Dengan Akta Kelahiran terdapat syarat-syarat mengenai pengajuan
permohonan penetapan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, seperti isi surat

3
Fajar Sugianto & Syofyan Hadi, Hukum Pengangkatan Anak, PT Anggota Ikatan Penerbit
Indonesia,JawaTimur,2016,hlm.8-10
4
Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak
permohonan, syarat anak yang akan diangkat, syarat calon orang tua angkat, serta
surat-surat lain yang harus dilengkapi.
Dalam prosedur untuk memperoleh untuk memperoleh penetapan
pengangkatan anak, para calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat seperti
yang telah diatur dalam pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yaitu:
“Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a) Sehat jasmani dan rohani;
b) Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima
puluh lima) tahun;
c) Beragama sama dengan calon anak angkat;
d) Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e) Berstatus menikah paling singkat 5 (lima tahun);
f) Tidak merupakan pasangan sejenis;
g) Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h) Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i) Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orangtua atau wali anak;
j) Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k) Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l) Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam bulan), sejak
izin pengasuhan diberikan; dan
m) Memperoleh izin Menteri dan atau kepala instansi sosial.”
Syarat-syarat calon orang tua angkat tersebut merupakan salah satu
komponen penting dalam pengangkatan anak. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yakni, pengangkatan anak harus berdasarkan kepentingan terbaik bagi si
anak angkat serta dilakukan sesuai dengan adat setempat dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pengangkatan anak, serta tidak boleh
memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandungnya
karena akan bertentangan dengan kepentingan si anak itu sendiri.
Berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak terdapat beberapa syarat bagi oleh calon orang
tua angkat yang telah disebutkan di atas yang salah satunya adalah “berumur
paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun”.
Namun dalam Penetapan Permohonan Nomor 5/Pdt.P/2023/PN Olm, terdapat
permasalahan di dalamnya. Pada permohonan tersebut terlihat bahwa para
pemohon masing-masing berusia 73 (tujuh puluh tiga) tahun dan 66 (enam puluh
enam) tahun. Permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim meskipun syarat-syarat
sebagai orang tua angkat sebenarnya tidak terpenuhi oleh Pemohon melihat dari
ketentuan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak huruf b yaitu orang tua angkat berumur paling
rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.
Sedangkan pemohon yang merupakan calon orang tua angkat sudah melewati
batas maksimal bagi calon orang tua angkat untuk mengangkat anak.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat
pertentangan antara peraturan perundang-undangan terkait dengan kenyataan yang
ada, dengan dikabulkannya permohonan tersebut. Kenyatannya bahwa dalam
prosedur pengangkatan anak pada pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus memenuhi syarat
salah satunya adalah berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling
tinggi 55 (lima puluh lima tahun) tidak dipenuhi oleh para pemohon, sehingga
menurut penulis perlu untuk melakukan penelitian mengenai “PROSEDUR
PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI OELAMASI (STUDI
KASUS PENETAPAN NO 5/PDT.P/2023/PN OLM)”.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Oelamasi?
b. Apakah pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan
pengangkatan anak dengan calon orang tua berumur di atas 55 Tahun?

C. TUJUAN PENELITIAN
a. Untuk mengetahui seperti apa prosedur pengangkatan anak di Pengadilan
Negeri Oelamasi.
b. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan pengangkatan anak dengan calon orang tua
berumur di atas 55 Tahun.

D. KEGUNAAN PENELITIAN
a. Sebagai masukan dan menambah pengembangan ilmu pengetahuan yang
telah penulis peroleh selama di bangku kuliah.
b. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk lebih
memahami tentang proses pengangkatan anak secara legal yang telah diatur
di dalam peraturan perundang-undangan serta beberapa hal yang menjadi
pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan pengangkatan anak,
sekalipun mungkin bisa bertentangan dengan peraturan yang ada.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur dan sumber referensi
bagi mahasiswa hukum khususnya perdata yang akan melakukan penelitian-
penelitian selanjutnya.

E. KEASLIAN PENELITIAN
Untuk memudahkan dan meyakinkan bahwa penulis tidak melakukan
plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi terdahulu yang
berkaitan dengan persoalan yang ingin diteliti sebagai berikut:
1. Yohana Riani Tube, 1802010284, Fakultas Hukum Universitas Nusa
Cendana, dengan skripsinya yang berjudul “ Perbandingan Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Adat dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak di Desa Lerek, Kecamatan
Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur”. Penelitian ini
mengulas tentang bagaimana prosedur dan tata cara pengangkatan anak yang
sah menurut hukum adat dan PP No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak serta yang menjadi perbedaan antara pelaksanaan
pengangkatan anak dari keduanya.
2. Bondan Akhidaputra Nurhadi, 14410246, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, dengan skripsinya yang berjudul “Pelaksanaan
Pengangkatan Anak di Kabupaten GunungKidul Menurut Hukum di
Indonesia”. Dalam skripsi ini Bondan Akhidaputra mengulas tentang
bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak di Gunungkidul dan apakah
pelaksanaannya sudah sesuai dengan aturan pengangkatan anak yang
berlaku di Indonesia.
3. Muhammad Rakha’ Wisnu Aditoro, 175010101111002, Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya,Malang, dengan skripsi berjudul “ Dasar
Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Pengangkatan Anak
dengan Calon Orang Tua Berumur di Atas 55 Tahun (Studi Kasus Penetapan
Pengadilan Negeri Mandailing Natal Nomor 6/Pdt.P/2016/PN.MDL). Dalam
skripsinya Muhammad Rakha fokusnya menganalisis apakah pertimbangan
hakim dalam penetapan No. 6/Pdt.P/2016/PN.MDL dapat bertentangan
dengan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

F. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Tipe penelitian yang akan digunakan penulis adalah Yuridis- empiris,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data yang diperoleh
di lapangan serta data yang diperoleh dari referensi atau buku-buku dan
peraturan perundang-undangan, jurnal, artikel ilmiah serta lain-lain yang
berkaitan dengan penelitian.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pengadilan Negeri Oelamasi Kelas II
yang beralamat di Jln. Timor Raya Km. 36, Komplek Civic Centre,
Kabupaten Kupang, Oelamasi, NTT.
3. Aspek Penelitian
a) Prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Oelamasi
b) Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan
pengangkatan anak dengan calon orang tua berumur di atas 55 tahun.
4. Sumber Data
c) Data Primer, yakni data yang diperoleh secara langsung dari instansi
atau pihak terkait melalui teknik wawancara atau pengamatan di
lapangan.
d) Data Sekunder, yakni data yang diperoleh dari literatur yang berkaitan
dengan objek penelitian.
5. Populasi, Sampel, dan Responden
a) Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam proses
pengangkatan anak sebanyak, orang tua kandung 1 orang, pihak orang tua
angkat 2 orang, Pekerja Sosial, Hakim dan Panitera yang masing-masing
berjumlah 1 orang sehingga semuanya berjumlah 6 orang.
b) Sampel
Teknik sampel yang digunakan adalah teknik sampel jenuh. Dalam artian
semua anggota populasi ditetapkan menjadi anggota sampel.
c) Responden
Orang Tua Kandung : 1 orang
Pihak Orang Tua Angkat : 2 orang
Pekerja Sosial : 1 orang
Hakim : 1 orang
Panitera : 1 orang
Jumlah : 6 Orang

6. Proses Pengumpulan Data


a) Wawancara (interview)
Penulis melakukan tanya jawab terhadap responden mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan permasalahan yang ingin diteliti.
b) Studi Kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan menelaah
bahan-bahan literatur berupa buku, dokumen, internet, jurnal, artikel
ilmiah, yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
c) Studi Dokumen
Yaitu dengan meneliti peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan proses pengangkatan anak.
7. Teknik Pengolahan Data
a. Editing, yaitu dilakukan setelah data terkumpul baik melalui wawancara
maupun studi dokumen. Data tersebut diperiksa satu persatu sehingga
tercapai tujuan dari penelitian ini.
b. Coding, merupakan tahap pemberian kode-kode atau tanda- tanda
terhadap data yang sudah terkumpul, tujuannya adalah untuk
mempermudah proses pengolahan data.
8. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data
seperti di atas yang telah disebutkan baik data primer, sekunder maupun
tersier, serta juga semua informasi yang diperoleh akan diolah dan
dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggunakan data yang
diperoleh kemudian secara sistematis diimplementasikan guna menjawab
permasalahan.
G. KERANGKA BERPIKIR

Pelaksanaan Pengangkatan Anak

Prosedur Pengangkatan Dasar Pertimbangan


Anak Hakim

1. Prosedur Pengangkatan Anak di


Pengadilan Negeri Oelamasi
2. Dasar Pertimbangan Hakim
dalam Mengabulkan
Permohonan Pengangkatan
Anak dengan Calon Orang Tua
Berumur di Atas 55 Tahun

Penjelasan :

Pengangkatan anak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun


2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Pengertian anak angkat terdapat di
Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan anak dan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 54 Tahun
2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak, yaitu: “Anak angkat adalah anak
yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua ,wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan Pengadilan”.
Pengertian mengenai pengangkatan anak terdapat di Pasal 1 angka 2 PP
No.54 Tahun 2007 dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Sosial Nomor
110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, yaitu: “Pengangkatan
anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat”. Dalam hal ini pengangkatan anak
bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan dan perlindungan anak, yang dilakukan menurut adat setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan anak terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
calon orang tua angkat, yang diantaranya adalah syarat berumur paling rendah 30
tahun dan paling tinggi 55 tahun,namun dalam Penetapan NO 5/PDT.P/2023/PN
OLM hakim mengabulkan permohonan pengangkatan anak dengan calon orang
tua yang sudah melebihi batas umur untuk mengangkat anak.
Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana prosedur
pengangkatan anak yang ada di Pengadilan Oelamasi serta bagaimana dasar
hakim dalam mempertimbangkan dan mengabulkan permohonan pengangkatan
anak yang tidak memenuhi salah satu syarat di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
H. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Pengangkatan Anak


1. Pengertian Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak di Indonesia sendiri awalnya dimulai pada masa
penjajahan Belanda dimana bidang hukum perdata di Indonesia yang hingga kini
masih mengalami pluralisme, pada masa penjajahan hukum perdata masih
berdasarkan penggolongan penduduk Indonesia menurut pembagian yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dan untuk setiap golongan itu berlaku
sistem hukum perdata yang berbeda dari segi perkembangan hukum nasional,
rumusan dari pengertian pengangkatan anak secara formal dan berlaku bagi
seluruh pengangkatan anak di Indonesia tanpa membedakan golongan penduduk
dan juga tanpa membedakan domestic adoption atau intercountry adoption
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Anak.5
Pengertian pengangkatan anak secara terminologi dikemukakan oleh para
ahli maupun dalam Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, antara
lain sebagai berikut: Menurut Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 sebagai
pelaksanaan dari Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun
2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, bahwa:
1. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan seseorang yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat,
mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan adat kebiasaan. Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan

5
Rusli Pandika,Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta:Sinar Grafika,2014),hlm.105
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
2. Menurut Soedharyo Soimin: Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri, sehingga dengan
demikian antara orang yang mengambil anak dengan yang diangkat timbul
suatu hubungan hukum.
3. Menurut Soerjono Soekanto: Pengangkatan anak (adopsi) adalah
mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau secara umum berarti
mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan
timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan
darah.6
4. Menurut Muderis Zaini, Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
pengambilan anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri sedemikian rupa,
sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu
timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama , seperti yang ada antara orang
tua dan anak kandungnya sendiri.7
5. Menurut Djaja S. Meliala, Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukum yang memberi kedudukan kepada seseorang anak orang lain yang
sama seperti anak yang sah.8
6. Menurut Soepomo, Pengangkatan anak adalah mengangkat anak orang lain
atau anak ini timbul hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak
angkat seperti hubungan orang tua dengan anak kandung.9
1. Alasan dan Tujuan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak pada umumnya dilakukan atas dasar kesepakatan
antara calon orang tua kandung anak yang akan diangkat dengan calon orang
tua yang ingin mengangkat anak. Hal ini disebabkan orang tua kandung anak
yang akan diangkat merasa tidak mampu ekonominya untuk membesarkan
dan mendidik serta mencukupi segala kebutuhan anaknya. Pelaksanaan
pengangkatan anak yang terjadi di Indonesia, pada umumnya diawali dari

6
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung:Alumni,1980),hal.52
7
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta:Sinar
Grafika,1995),hlm.7
8
Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak di Indonesia,(Bandung:Tarsito,1982),hlm.3
9
R Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,(Jakarta:Paradnya Paramita,2007),hlm.15
adanya penyerahan anak dari orang tua kandung kepada calon orang tua
angkat. Penyerahan dilakukan baik secara lisan maupun tertulis. Setelah
terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, dibuatlah surat penyerahan yang
disaksikan keluarga dan tetangga dekat. Selanjunya untuk mendapatkan
pengesahan dari pengangkatan anak tersebut, maka orang tua angkat akan
mengajukan surat permohonan ke Pengadilan Negeri untuk yang beragama
non Islam, sedangkan yang beragama Islam pengajuan permohonannya ke
Pengadilan Agama.10
Tujuan pengangkatan anak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007: “Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi
anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak,
yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebiasaan setempat dan ketentuan
perudang-undangan”.
Menurut Djaja S. Meliala, beberapa alasan yang melatarbelakangi
seseorang untuk melakukan adopsi adalah:
a. Adanya rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang
tuanya tidak mampu memeliharanya. Hal demikian merupakan motivasi
yang positif karena selain membantu meringankan masa depannya juga
membantu meringankan beban orang tua kandungnya.
b. Tidak mempunyai anak, dan ingin memiliki anak yang dapat menjaga dan
merawatnya di masa tua. Motivasi ini secara umum biasa dilakukan karena
satu-satunya jalan bagi mereka yang tidak mempunyai anak hanyalah
dengan cara adopsi, sebagai pelengkap kehidupan rumah tangga suami istri.
Keberadaan anak yang demikian bisa menjadi harapan akan
keberlangsungan masa tua bagi orang tua angkat.
c. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di dalam keluarga akan
cepat mendapatkan anak sendiri. Motivasi ini sangat erat kaitannya dengan
kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat adat. Sebagian masyarakat
Indonesia meyakini dengan cara mengambil anak angkat dengan cepat untuk
mendapatkan keturunan, sehingga status anak seperti ini sebagai pancingan.

10
Cindy Cynthia,Agung Basuki Prasetyo,Sri Wahyu Ananingsih,Tinjauan Yuridis terhadap
Pengangkatan Anak yang Dilakukan Oleh Orang Tua Angkat yang Belum
Menikah,vol.6,Diponegoro Law Journal,2017,No.2
d. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. Motivasi ini
muncul manakala ada kepastian bagi suami istri yang sudah tidak
dimungkinkan lagi memiliki anak karena berbagai faktor, sementara anak
yang telah dimiliki membutuhkan teman sebagai pendamping kehidupannya.
e. Untuk menambah dan mendapatkan tenaga kerja. Mengambil anak dengan
motivasi yang demikian pada awalnya bernilai positif, karena orang tua
angkat ingin meneruskan usaha yang dimilikinya sementara mereka tidak
memiliki anak, akan tetapi dalam perkembangannya motivasi yang demikian
bisa menjadi pemicu timbulnya eksploitasi anak dalam bidang
tenagakerjaan, karena keberadaan anak yang masih dini terkadang sudah
diminta untuk turut membantu usaha orang tua angkatnya.
f. Mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga, manakala
orang tua angkat tidak memiliki anak kandung. Masyarakat masih meyakini
bahwa kehadiran anak dalam keluarga selain untuk meneruskan keturunan
juga berarti sebagai tali yang dapat mempererat jalinan kasih antara suami
dan istri, sehingga setiap pasangan akan berupaya optimal untuk
mendapatkan keturunan tersebut.11
Ada beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar atau alasan
dilaksanakannya suatu pengangkatan anak, antara lain:
A. Dilihat dari sisi adoptant, karena ada alasan sebagai berikut:
1. Keinginan mempunyai keturunan atau anak
2. Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya
3. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang
lain yang membutuhkan
4. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan
suatu pengangkatan anak
5. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak
untuk kepentingan pihak tertentu
B. Dilihat dari orang tua anak, alasannya sebagai berikut:
1. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri

11
Djaja S Meliala,Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia,(Bandung:Tarsito),hlm.3
2. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada
pihak yang mengangkat anaknya.
3. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak
4. Saran-saran dan nasehat dari keluarga atau orang lain
5. Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tua kandungnya
6. Ingin agar anaknya terjamin dalam hal materiil
7. Masih mempunyai anak beberapa lagi
8. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya
sendiri
9. Keinginan untuk melepaskan anaknya karena rasa malu akibat
hubungan tidak sah
10. Keinginan untuk melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai
anak yang tidak sempurna fisiknya.12
Berbeda dengan peraturan perundang-undangan, tujuan pengangkatan
anak dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran calon orang tua
angkat akan kepunahan, maka calon orang tua angkat yang tidak mempunyai
anak mengambil anak dari lingkungan kerabatnya dan berkedudukan sebagai
anak kandung dari ibu dan bapak yang mengangkatnya, terlepas dari golongan
sanak saudaranya semula.13
2. Peraturan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak merupakan kebutuhan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian dan pengaturan agar tata tertib mendapat perhatian dan
mempunyai kekuatan hukum. Sebab tanpa dasar hukum pengangkatan anak,
maka akan menimbulkan keragu-raguan keabsahan pengangkatan anak
tersebut. Adapun beberapa dasar hukum pengangkatan anak adalah sebagai
berikut:
A. Menurut Hukum Islam
Secara faktual pengadilan agama telah menjadi bagian dari
masyarakat muslim di Indonesia. Sebelum terbentuknya Undang-undang yang
mengatur secara khusus, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No.1

12
Irma Setyowati Soemitro,Aspek Hukum Perlindungan Anak,(Jakarta:Bumi Aksara,1990),hlm.38
13
Ahmad Kamil & M.Fauzan,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta:Raja Grafindo,2008),hlm.34
Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 171
huruf h, secara definitive disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang
dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan disebut
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan. Definisi anak angkat dalam Kompilasi
Hukum Islam tersebut jika diperbandingkan dengan definisi anak angkat
dalam Undamg-undang No.34 Tahun 2014 jo UU No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9
menyebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan.
Menyantuni orang miskin, memelihara anak yatim merupakan beberapa
bidang ajaran utama dalam agama Islam. Akan tetapi hukum kekeluargaan
tidak dapat dikesampingkan. Memberi status hukum kepada anak angkat sama
dengan anak kandung merupakan perbuatan yang bertentangan dalam hukum
Islam. Menurut Hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan
kalau memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologis dan keluarganya.
b) Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian
juga orang tua angkat tidak berhak berkedudukan sebagai pewaris dari
anak angkatnya.
c) Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/alamat.
d) Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
anak angkatnya.14
B. Menurut Perundang-Undangan di Indonesia

14
Muderis Zaini,Adopsi Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,1995),hlm.54
Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan Republik
Indonesia adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya beradasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.15
Sedangkan pengertian pengangkatan anak dapat ditemukan di dalam
Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, bahwa :”Pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkunga kekuasaan
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkat.
Adapun pengertian anak di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) tidak ditemukan ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau
anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengakuan anak di luar kawin, yaitu
seperti yang diatur dalam Buku 1 bab 2 bagian ketiga BW, tepatnya pada pasal
280 sampai 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan anak-anak di
luar kawin.16 Dengan demikian,sebenarnya BW tidak mengatur pengangkatan
anak sebagaimana dikenal sekarang. Hanya saja kemudian untuk memenuhi
tuntutan masyarakat. Mengingat kebutuhan pengangkatan anak yang semakin
meningkat, disamping budaya masyarakat Indonesia asli dan masyarakat
keturunan Tionghoa telah lama mempraktikan pengangkatan anak, maka
pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Staatblad 17, yang isinya mengatur
secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi
Hukum Perdata Barat(BW).
Beberapa dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Staatsblad 1917 Nomo 129 Pasal 5 s/d Pasal 15.

15
Pasal 1 angka 9 UU Republik Indonesia No.35 Tahun 2014 Perubahan Atas UU No.23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
16
Muderis Zaini,Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,hlm.31
17
Ahmad Kamil & M Fauzan,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta:Rajawali,2010),hlm.20
Aturan ini telah ada pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang
merupakan aturan tersendiri yang mengatur tentang pengangkatan anak.
Khusus ketentuan pada pasal 5 sampai dengan pasal 15 mengatur
pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa, dan tidak berlaku bagi
masyarkat Indonesia asli. Bagi masayarakat Indonesia asli berlaku adat
termasuk di dalamnya adalah ketentuan hukum Islam.18 Dalam ketentuan
Staatsblad ini mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur tentang
siapa-siapa saja yang diperbolehkan melakukan pengangkatan anak, siapa
saja yang boleh diangkat sebagai anak angkat, syarat dan tata cara
pengangkatan anak serta akibat hukum dari pengangkatan anak.
b. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam undang-undang ini, pengangkatan anak terdapat di dalam
Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3), yang pada intinya pengangkatan anak, baik
melalui badan hukum adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak yang lebih lanjut akan
diatur melalui peranan Pemerintah. Pengangkatan anak untuk kepentingan
kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan,
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pada Bab VIII, khususnya Pasal 39 sampai dengan Pasal 41
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan tentang pengangkatan anak.
Untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak di dalam UU
Nomor 23 Tahun 2002 itu maka Pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak.19 Tujuan pengangkatan anak adalah bahwasanya pengangkatan anak
tidak boleh merugikan kepentingan anak dan tidak boleh bersifat negatif
seperti untuk tujuan komersial atau eksploitasi serta harus sesuai dengan
adat atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pengangkatan anak.

18
Ibid hlm.53
19
Rusli Pandika,Hukum Pengangkatan Anak,(Jakarta:Sinar Grafika),hlm.12
d. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
Peraturan ini menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan
pengadilan. Pengaturan ini juga menjelaskan tentang bagaimana tatacara
ataupun prosedur bagaimana melakukan pengangkatan anak berdasarkan
peraturan resmi di Indonesia.
e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983.
Surat edaran ini mengatur tentang pengangkatan anak antar warga
Negara Indonesia(WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang
langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat
(private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat
dilakukan oleh seorang warga Negara Indonesia yang tidak terikat dalam
perkawinan yang sah/ belum menikah (single parent adoption).
f. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 3
Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005.
Secara teknis pengangkatan anak berdasar Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2005 ini merupakan himbauan kepada para
Hakim Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia agar memperhatikan
dengan sungguh-sungguh:
1) Ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak.
2) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Pneyempurnaan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak yang
memberi putusan mengenai persyaratan, bentuk permohonan, tata
cara pemeriksaan, dan bentuk putusan terhadap pengangkatan anak
antar warga Negara Indonesia. Permohonan pengangkatan anak
Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia, dan
permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh
Warga Negara Asing.
g. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal
50 yang menyatakan: “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
memeriksa,memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di
tingkat pertama”. Jadi, pada dasarnya semua perkara pidana dan perdata
merupakan kewenangan peradilan umum, kecuali ada ketentuan lain
dalam Undang-undang yang menentukan bahwa terhadap perkara-
perkara perdata tertentu menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkup
peradilan lain. Termasuk permohonan untuk mendapatkan penetapan
terhadap pengangkatan anak.
h. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap UU
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan selanjutnya diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
i. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 tahun 2009
tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangakatan Anak
dengan Akta Kelahiran.
j. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.
k. Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 13/HUK/1993 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
l. Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak.
m. Peraturan Menteri Sosial Nomor 37/HUK/2010 tentang Pertimbangan
Perizinan Pengangkatan Anak Pusat.
n. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pedoman Teknis Prosedur Pengangkatan Anak.
3. Prosedur Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum melalui
penetapan pengadilan. Selanjutnya secara teknis telah dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yang memberi jaminan masa depan yang baik
kepada anak angkat.
A. Syarat-syarat Pengangkatan Anak
a. Syarat-syarat calon anak angkat
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, menentukan:
1. Syarat anak yang akan diangkat,meliputi:
a) Belum berusia 18 (delapan belas) tahun
b) Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
c) Berada dalam asuhan keluarga atau lembaga pengasuhan anak, dan
d) Memerlukan perlindungan khusus
2. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a) Anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama.
b) Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak, dan
c) Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan
khusus.
b. Syarat calon orang tua angkat.
Pasal 13 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, menentukan:
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
1) Sehat jasmani dan rohani
2) Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima
puluh lima) tahun
3) Beragama sama dengan calon anak angkat
4) Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum, karena melakukan tindak
kejahatan
5) Berstatus menikah paling singkat 5 (lima tahun)
6) Tidak merupakan pasangan sejenis
7) Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak
8) Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial
9) Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak
10) Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan, dan perlindungan anak
11) Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
12) Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak
izin pengasuhan diberikan, dan
13) Memperoleh izin dari Menteri dan atau Kepala Instansi Sosial.
Peraturan Menteri Sosial (Pasal 28) Nomor 110/HUK/2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak, menentukan:
1) Calon orang tua dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali
dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun.
2) Jarak waktu pengangkatan anak yang ke dua sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) data dikecualikan bagi anak penyandang cacat.
3) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat
dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua.

B. Tata Cara Pengangkatan Anak


a. Menurut Staatsblad 1917 Nomor 129
Pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yaitu
pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam sistem hukum di Indonesia.
Dari ketentuan dalam stbl.1917 No.129 tampak bahwa peraturan itu menghendaki
agar setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan tertentu yang bersifat
memaksa (Compulsory), sehingga tidak dipenuhinya persyaratan dimaksud akan
mengakibatkan batalnya pengangkatan itu. Ordonansi dalam stbl.1971 No.129
mengatur tentang pengangkatan anak pada Bab II yang berkepala “Van adoptie”.
Bab II ini terdiri dari 11 pasal, yaitu dari pasal 5 sampai dengan pasal 15 sebagai
berikut:
1. Yang dapat mengangkat anak adalah: suami, istri, janda, atau duda (pasal 5).
2. Yang dapat diangkat anak, ialah: hanya orang Tionghoa laki-laki yang tidak
beristri dan tidak beranak dan yang belum diadopsi oleh orang lain (pasal 6).
3. Yang diadopsi harus sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun lebih
muda dari suami dan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun lebih muda
dari istri atau janda yang mengadopsinya (pasal 7 ayat (1)).
4. Adopsi hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 10 ayat (1)).
5. Anak adopsi demi hukum harus memakai nama keluarga orang tua angkatnya
(Pasal 11).
6. Adopsi menyebabkan putusnya hubungan hukum antara orang tua adopsi
dengan orang tua kandungnya (pasal 14).
7. Adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada
Akta Notaris adalah batal demi Hukum (pasal 15 ayat (2)). 20
b. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Pengangkatan Anak
Prosedur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan anak dari
pengadilan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1979 yang
menegaskan prosedur:
a. Dimulai dengan suatu permohonan kepada ketua pengadilan yang
berwenang dan karena itu termasuk prosedur yang dalam hukum acara
perdata dikenal sebagai yurisdiksi volunteer (jurisdiction voluntaria);
b. Petitum Permohonan harus tunggal, yaitu minta pengesahan
pengangkatan anak, tanpa permohonan lain dalam petitum permohonan;
c. Atas permohonan pengesahan pengangkatan antar Warga Negara
Indonesia (domestic adoption) pengadilan akan menerbitkan pengesahan
dalam bentuk "Penetapan", sedangkan atas permohonan pengesahan
pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing
atau sebaliknya pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga
Negara Indonesia (inter-country adoption) pengadilan akan menerbitkan
"Putusan" Pengesahan Pengangkatan Anak.21
Persyaratan bagi pengangkatan anak antar WNI adalah sebagai berikut:
20
Djaja S Meliala,Hukum Perdata Dalam Perspektif BW,(Bandung:Nuansa Aulia,2012),hlm.79
21
Ibid hal.119
1. Bagi orang tua angkat
- Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung
dengan orang tua angkat diperbolehkan.
- Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat
dalam perkawinan yang sah belum menikah diperbolehkan.
2. Bagi calon anak angkat
- Apabila anak yang akan diangkat berada dalam asuhan Yayasan Sosial
harus dilampiri izin tertulis dari Menteri Sosial bahwa Yayasan yang
bersangkutan telah diberi izin bergerak di bidang pengangkatan anak.
- Anak yang akan diangkat harus pula mempunyai izin tertulis dari
Menteri Sosial bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai
anak angkat.
c. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pengaturan mengenai proses pengangkatan anak di Indonesia diatur
juga di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pengaturan
Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Mengenai hak
dan kewajiban secara umum adalah hak dan kewajiban yang ada antara anak dan
orang tua baik secara agama, moral, maupun kesusilaan di atur di dalam Pasal 39,
40 dan 41 UU No.35 Tahun 2014 Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
d. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Pengaturan mengenai Prosedur lebih lengkapnya tentang permohonan
pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
yaitu dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan
Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagai berikut:
i) Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial
Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
1) Surat penyerahan anak dari orangtua/walinya kepada instansi sosial;
2) Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota kepada
Organisasi Sosial (orsos);
3) Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat;
4) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri
calon orang tua angkat;
5) Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat;
6) Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat;
7) Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter
Pemerintah;
8) Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter
Psikiater;
9) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja.
ii) Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala
Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup;
2) Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-istri);
3) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang ingin diangkat.
iii) Dalam hal calon anak angkat asal usul anak yang akan diangkat tersebut
sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak
berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus
dapat membuktikan kelengkapan surat- surat mengenai penyerahan anak
dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat
yang disahkan oleh instansi sosial tingkat Kabupaten/Kota setempat,
termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data
anak yang diragukan (domisili anak berasal).
iv)Proses Penelitian Kelayakan
v) Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah
vi)Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota
bahwa calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk
mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat.
vii) Penetapan Pengadilan
viii) Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan.22

4. Akibat Hukum Pengangkatan Anak


Pengangkatan anak dapat menimbulkan akibat hukum antara anak angkat
dan orang tua angkat. Dalam hukum Islam kedudukan anak angkat tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya. Demikian juga anak angkat tidak menjadi ahli waris dari ayah
angkatnya, tetapi anak angkat berhak mendapat wasiat wajibah yang jumlahnya
tidak lebih dari 1/3 bagian.
Berbeda dengan BW sebagaimana yang diatur dalam Staatblaad 1927
Nomor 129 yang mengatur bahwa anak angkat secara hukum memperoleh nama
dari ayah angkatnya (Pasal 11), anak angkat dijadikan sebagai anak yang
dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat (Pasal 12 ayat (1)), anak angkat
menjadi ahli waris orang tua angkat; karena pengangkatan anak, terputus segala
hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran (antara anak
dengan orang tua kandung).
Sementara dalam hukum adat kedudukan anak angkat. tergantung pada
daerah hukumnya, karena beberapa daerah adat di Indonesia berbeda dalam
menentukan kedudukan anak angkat. Di Jawa misalnya pengangkatan anak tidak
memutuskan hubungan pertalian darah dengan orang tua kandung anak angkat itu,
hanya anak angkat didudukkan sebagai anak kandung untuk meneruskan
keturunan bapak angkatnya, dan sama sekali tidak memutuskan hak-haknya
dengan orang tua kandungnya. Namun berbeda dengan di Bali, pengangkatan
anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga
asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari
yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya.23
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah mengatur dalam
Pasal 39 terkait hal-hal pokok dalam pengangkatan anak diantaranya yaitu tidak
22
Nuri Apriliani,Pelaksanaan Pengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak di Panti Asuhan Puteri Aisyiah
Muhammadiyah Kota PekanBaru,vol.iii,Jom Fakultas Hukum,2016,Nomor 2
23
Muhammad Rais,Kedudukan Anak Angkat dalam Perspektif Hukum Islam,Hukum Adat,dan
Hukum Perdata(Analisis Komparatif),Vol.14,Jurnal Hukum Diktum,2016,Nomor 2,hlm.183-200
boleh memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya, wajib dicatatkan dalam akta kelahiran dengan tidak menghilangkan
identitas awal anak dan kesamaan agama calon orang tua angkat dan calon anak
angkat. Ketentuan pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dan orang tua kandungnya memiliki akibat hukum yang
sangat besar diantaranya adalah penggunaan nama, proses pewarisan, kedudukan
anak angkat dan lainnya. Terlebih lagi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 ditentukan bahwa pengangkatan anak wajib dicatatkan dalam akta kelahiran
dengan tidak menghilangkan identitas awal anak dan kesamaan agama antara
calon anak angkat dan orang tua angkatnya.24
B. Tinjauan Tentang Dasar Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan bagian yang penting dalam suatu putusan
agar nilai dalam suatu putusan yang memuat keadilan dan juga memuat kepastian
hukum dapat tercipta. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data
yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari bukti surat, saksi,
persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 164 HIR.
Proses pengambilan putusan tidak terlepas dari kegiatan menalar hakim
dengan beragam motivering yang menopangnya. Hakim dalam memutus perkara
selain berdasarkan proses sebagaimana yang telah disebutkan di atas harus
berdasarkan argumentasi atau alasan. Argumen adalah alasan yang dapat dipakai
untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat. Sedangkan argumentasi adalah
pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat.
Menurut Wiryono Kusumo, pertimbangan atau yang sering disebut dengan
konsiderans merupakan asar putusan hakim atau argumentasi hakim dalam
memutus dasar putusan hakim atau argumentasi hakim dalam memutus suatu
perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak pantas, maka orang
kemudian dapat menilai bahwa putusan tersebut tidak benar dan tidak adil." 25
Apabila pertimbangan hakim tidak dilakukan dengan cermat serta teliti, maka

24
Junaidi,Motif dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum
Positif,Vol.10,Humani(Hukum dan Masyarakat Madani),2020,No.2,hlm.192-201
25
S.M Amin,Hukum Acara Pengadilan Negeri,(Jakarta:Pradya Paramita,2009),hlm.41
putusan hakim yang dihasilkan itu akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung atau
Pengadilan Tinggi.26
Memang Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum
tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi kalau
peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat
dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim akan mencari dan
menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber yang lain seperti
yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan, atau hukum tidak tertulis. 27
Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1)
menegaskan: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.28
Seorang hakim dalam merancang suatu putusan haruslah memihak kepada
pihak yang benar yakni sebagaimana yang tercantum pada pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yakni disebutkan bahwa "Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”29

C. Tinjauan Tentang Pertimbangan Putusan Hakim


Hukum acara perdata merupakan peraturan yang mengatur bagaimana
menjamin ditaatinya hukum perdata secara materiil dengan hakim sebagai
perantara. Apabila ada orang yang orang tersebut merasa bahwa haknya di langgar
maka, ia dapat mengajukan tuntutan atas hal tersebut melalui pengadilan.
Hakim secara etimologi adalah "orang yang memutus hukum".30
Keputusan pengadilan identik dengan keputusan hakim, Penegakan dan keadilan
suatu putusan terletak pada kemampuan dan kearifan. "hakim dalam sistem
peradilan kita adalah hakim yang bebas dalam memutuskan perkara, tidak dapat
dan tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun, yang bertanggung jawab kepada hati

26
Mukti Arto,Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,(Yogyakarta:Pustaka
Belajar,2004)
27
Ahmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,Sinar
Grafika,2011,hlm.15
28
Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
29
Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
30
Cik Hasan Bisri,Pengadilan Agama Indonesia,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1966),hlm.180
nuraninya sendiri dan kepada Tuhan".31 Hakim dalam proses pembuatan
keputusan, hakim tidak hanya dituntut memiliki integritas dan moral tinggi namun
juga harus mempunyai tingkat keimanan dan ketaqwaan, mampu berkomunikasi
dengan baik, menjaga peran, kewibawaan dan statusnya di hadapan masyarakat,
demi menjamin rasa keadilan, kepastian hukum dan memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Kehidupan bermasyarakat tentunya memiliki banyak permasalahan sosial.
Dari berbagai masalah sosial tersebut hakim diharuskan mampu menemukan atau
menyeleksi masalah hukumnya, yang kemudian dirumuskan dan dipecahkan.
Pekerjaan tersebut tentunya tidaklah mudah karena permasalahan tersebut sering
tumpang tindih dengan masalah hukum dan sulit untuk mencari batasnya.
Menemukan dan merumuskan masalah tidaklah cukup, setelah masalah hukumnya
ditemukan dan dirumuskan harus diketahui terlebih dahulu masalah hukum
tersebut masuk masalah dalam ranah hukum pidana, hukum perdata, hukum
agraria, hukum perselisihan hubungan industrial, dan sebagainya.

I. JADWAL DAN BIAYA PENELITIAN


a. Jadwal Penelitian
1) Tahap persiapan = 10 hari
2) Tahap pengumpulan Data = 20 hari
3) Tahap pengelolaan, analisa dan konstruksi data = 30 hari
4) Tahap penulisan skripsi = 40 hari

Jumlah = 100 hari

b. Biaya Penelitian
1) Biaya Persiapan = Rp. 300.000
2) Biaya Transportasi = Rp. 1.00.000
3) Biaya print dan jilid = Rp. 300.000
4) Biaya tak terduga = Rp. 400.000

31
Khamimudin,Panduan Praktis Kiat dan Teknis Beracara di Pengadilan Agama,
(Yogyakarta:Gallery Ilmu,2010),hlm.66
Jumlah = Rp. 2.000.000

J. ORGANISASI PENELITIAN
1) Pelaksana Penelitian
Nama : Nur Fadhilah
Nim : 1902010644
Semester : VIII
Penasehat Akademik : Dr. Reny Rebeka Masu,S.H.,M.H.
Fakultas : Hukum
Jurusan : Hukum Perdata

2) Dosen Pembimbing Penelitian


a. Nama : Siti Ramlah Usman,S.H.,M.Hum.
Nip : 19600305 198703 2 001
Jabatan : Pembimbing I
b. Nama : Husni Kusuma Dinata,S.H.,M.H.
Nip : 19740914 200501 1 00
Jabatan : Pembimbing II
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Pandika, Rusli. 2014. Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.
Sowekanto, Sowerjono. 1980. Intisari Hukum Keluarga. Jakarta: Alumni
Zaini, Muderis. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika.
Meliala. Djaja S. 1982. Pengangkatan Anak di Indonesia. Bandung: Tarsito
Soepomo., R. 2007. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita
Soemitro, Irma Setiowati. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:Bumi
Aksara.
Kamil Ahmad & M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak
Di Indonesia. Jakarta: Raja Gravindo.
Amin S. M. 2009. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita
Arto Mukti. 2004. Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bisri, Chik Hasan. 1996. Pengadilan Agama Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo
Presada.
Khamimudin. 2010. Panduan Praktis Kiat Dan Teknis Beracara Di Pengadilan
Agama. Yogyakarta: Gallery Ilmu.
Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perfektif Hukum
Progresif. Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun


2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradlan Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahu 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak.
Peratutran Menteri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 Tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun 1979 Tentang
Pengangkatan Anak
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan
Anak
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor 02 Tahun 2012 tentang
Pedoman Teknis Prosedur Pengangkatan Anak

Jurnal
Cindy Cynthia, Agung Basuki Prasetyo, Sri Wahyu Ananingsih. (2017). Tinjauan
Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak Yang Dilakukan Oleh Orang Tua
Angkat Yang Belum Menikah. Diponegoro Law Journal, 6 (2).
Apriliani, Nuri. (2016). Pelaksanaan Pengangkatan Anak Di Panti Asuhan Putri
Aisyiah Muhammdiyah. PekanBaru. Jurnal Fakultas Hukum, 3(2).
Rais, Muhammad. (2016). Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum
Islam, Hukum Adat Dan Hukum Perdata (Analisis Kompratif). Jurnal
Hukum Diktum, 14(2). Hlm: 183-200.
Humani, Junaidi. (2020). Motif Dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak Dalam
Perselektif Hukum Adat Dan Hukum Positif. Universitas Semarang:
10(2). Hlm: 192-201. E-issn:2.580-8.516.

Anda mungkin juga menyukai