Anda di halaman 1dari 11

STATUS DAN KEDUDUKAN HUKUM ANAK HASIL HUBUNGAN

TANPA IKATAN PERNIKAHAN(studi kasus perihal nafkah dan warisan


bagi anak diluar pernikahan)

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata

Nama : Widiya Astuti


Kelas : C
Nim : 2022021014295

Jurusan Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Cendrawasih
Jayapura
2023
KATA PENGANTAR
puji dan syukur dipanjatkan kepada tuhan yang mahaesa,karena berkah dan Rahmat-
Nya,tugas mata kuliah hukum perdata yang berjudul “Status Dan Kedudukan Hukum Anak
Hasil Hubungan Tanpa Ikatan Pernikahan(Studi Kasus Perihal Nafkah Dan Warisan Bagi
Anak Diluar Pernikahan)” dapat diselesaikan.
makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliahh.ukum perdata.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna.oleh sebab itu semua saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan guna perbaikan makalah ini selanjutnya.
DAFTAR ISI

Halaman judul…………………………………………………………...…….i
kata pengantar…………………………………………………………………ii
daftar isi……………………………………………………………………….iii

Bab I Pendahuluan…………………………………………………………….1
1.1 latar belakang…………………………………………………….………..2
1.2 rumusan masalah…………………………………………………….…….3
1.3 tujuan penulisan………………………….…………………....…………..4
Bab III Pembahasan……………………………………………………….…..5
2.1 status hukum dari anak hasil hubungan diluar pernikahan………………..6
2.2 kedudukan anak diluar pernikahan………………………………………..7
2.3 studi kasus perihal nafkah dan warisan bagi anak diluar pernikahan……..
Bab III Penutup………………………………………………………………...
3.1 kesimpulan…………………………………………………………………
3.2 saran………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Pengaturan mengenai kedudukan anak luar nikah yang diatur dalam ketentuan Pasal 43 UU
Nomor 1 Tahun 1974 selama ini dianggap tidak cukup memadai dalam memberikan
perlindungan hukum dan cenderung diskriminatif, status anak di luar nikah atau anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya
dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2010 juga mencerminkan prinsip Persamaan di hadapan hukum
(equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam UUD RI 1945 Pasal 28D ayat (1)
yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Di dalam prinsip ini,
terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan
pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi
semua warga Negara. Dengan demikian Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian
hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut peraturan
perundang-undangan.anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari
hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak
terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-
anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
Rumusan masalah
1.status hukum dari anak hasil hubungan diluar pernikahan
2.kedudukan anak diluar pernikahan
3. studi kasus perihal nafkah dan warisan bagi anak diluar pernikahan
Tujuan penulisan
1.agar dapat mengetahui status hukum dari anak hasil hubungan diluar pernikahan
2.agar mengetahui kedudukan anak diluar pernikahan
3.agar mengetahui perihal nafkah dan warisan bagi anak diluar pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
1.Status Hukum Dari Anak Hasil Hubungan Diluar Perkawinan
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan ada dua pengertian anak yang sah.
Pertama, anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Kedua, anak hasil
pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.Anak-anak
yang lahir di luar sebagaimana ketentuan Pasal 99 KHI, dianggap sebagai anak di luar kawin.
Di dalam hukum Islam dan KUHPerdata, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab
dengan ayah biologisnya.
Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lebih lanjut
menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibu.
Sedangkan di dalam Hukum Islam, seorang anak akan dianggap sebagai anak yang sah
apabila anak tersebut lahir dalam waktu enam bulan atau 180 hari dihitung dari akad nikah
kedua orang tuanya.Anak yang lahir di luar ketentuan 180 hari dianggap sebagai anak luar
kawin. Anak luar kawin nasabnya dipertalikan kepada ibunya dan tidak mempunyai
hubungan nasab dengan ayah biologisnya.
Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad pernikahan
yang sah. Status nasab ini kemudian menimbulkan hubungan hak dan kewajiban. Baik
kewajiban orang tua terhadap anak maupun kewajiban anak terhadap orang tua.
Status anak di luar kawin menimbulkan akibat-akibat hukum positif dan akibat-akibat hukum
negatif. Anak di luar kawin bisa mendapatkan hak seperti anak-anak sah perkawinan dengan
memenuhi beberapa syarat. Salah satunya adalah anak harus diakui dengan sah oleh orang tua
yang membenihkannya.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 284 KUHPerdata, dengan pengakuan, maka status anak di luar
kawin dapat diubah menjadi anak luar kawin yang diakui. Hal tersebut harus melalui
pengakuan oleh ayah biologis yang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah orang asing tanpa sepengetahuan ibu
menyatakan diri sebagai bapak biologis atau orang asing dengan sengaja mengakui yang
tidak benar untuk memperoleh keuntungan.

Menurut sistem hukum Burgerlijk Wetboek, asasnya adalah hanya mereka yang mempunyai
hubungan hukum dengan pewaris yang mempunyai hak waris, dengan mendapat waris,
berarti status anak luar kawin telah berubah menjadi anak luar kawin yang diakui.
Namun sebelum melakukan pengakuan, terlebih dahulu melihat Pasal 284 KUHPerdata,
karena tidak semua pengakuan dapat merubah status anak luar kawin menjadi anak luar
kawin yang diakui, pengakuan tersebut harus dilakukan sesuai dengan cara pengakuan yang
telah ditentukan.

Sementara itu didalam Hukum Islam tidak mengenal adanya pengakuan, status anak luar
kawin atau anak zina tidak bisa diubah menjadi anak luar kawin yang diakui seperti dalam
KUHPerdata. Anak luar kawin hanya bisa menuntut nafkah hidup serta biaya pendidikan.
Menentukan status anak menurut hukum Islam dapat ditelusuri dari asal usul anak tersebut.
Pedoman untuk menentukan sah atau tidak sahnya anak adalah jarak waktu perkawinan orang
tua dengan waktu kelahiran anak tersebut, sehingga dapat diketahui status hukumnya.
Batasan yang digunakan untuk menentukan status anak ini adalah dari akad nikah kedua
orang tua.
Perkembangan hukum menjawab status hukum anak di luar kawin, selama ini anak di luar
kawin hanya diakui dengan ibu yang melahirkannya serta keluarga ibu yang melahirkannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, dan telah dikeluarkan
putusan terhadap hal ini yang menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 menegaskan:


1. Pasal 43 ayat(1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 No.1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Hal ini bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata memiliki hubungan darah sebagai
ayahnya.
2. Pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 No.1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.” 
Hal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayah biologis.”

Putusan MK tersebut dengan jelas menyebutkan anak diluar nikah memiliki hubungan
perdata dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayah biologisnya.

1.2 Kedudukan Anak Diluar Perkawinan

Pengaturan mengenai kedudukan anak luar nikah yang diatur dalam ketentuan Pasal 43 UU
Nomor 1 Tahun 1974 selama ini dianggap tidak cukup memadai dalam memberikan
perlindungan hukum dan cenderung diskriminatif, status anak di luar nikah atau anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya
dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya.
MK mencerminkan prinsip Persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat


(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi "Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca,
"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".

Ketika dianalisis, logika hukumnya Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan
nasab anak luar nikah dengan bapak biologisnya; adanya hak dan kewajiban antara anak luar
nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini
tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar
nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya.

1.3 studi kasus perihal nafkah dan warisan bagi anak diluar pernikahan
a.) perihal nafkah
meski ibu dan ayah tidak terikat pernikahan yang sah di mata hukum negara, tetapi hubungan
ayah dengan anak adalah hubungan biologis yang tidak bisa diputus oleh hukum apa pun.
Hal itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
Februari 2012 yang merevisi Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sehingga menjadi:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Tujuan Mahkamah Konstitusi memutuskan hal tersebut adalah menegaskan bahwa anak luar
kawin juga berhak mendapat perlindungan hukum. Menurut pertimbangan Mahkamah
Konstitusi, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap
status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak
yang dilahirkan meskipun perkawinannya masih disengketakan.
apabila ayah biologis tidak mau bertanggung jawab secara keperdataan dengan anaknya
Berikut langkah hukumnya:
1. bisa mengajukan gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri
setempat.
2. menyiapkan bukti-bukti yang kuat secara medis, seperti tes DNA atau tes darah, bila anak
tersebut adalah benar-benar anak dari ayah biologisnya Bukti ini hukumnya wajib
disampaikan di persidangan.
3.bisa meminta hakim agar memutuskan ayah biologis wajib memberikan nafkah bulanan
kepada Anak melalui ibunya, dengan jumlah tertentu tiap bulannya. Jumlah nafkah bulanan
disesuaikan dengan kemampuan finansial ayah.
5.Setelah keputusan berkekuatan hukum tetap,ayah biologis harus sukarela melaksanakan
putusan tersebut. Namun bila tidak, maka ibu harus menempuh upaya hukum mengajukan
proses eksekusi ke Pengadilan Negeri setempat.
b.) perihal warisan
Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 862 s.d. Pasal 866 KUH
Perdata:
·Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka
anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika
mereka sebagai anak-anak yang sah (lihat Pasal 863 KUH Perdata);
·Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi
meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara
laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris
1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka
anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (lihat Pasal 863 KUH Perdata);
Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru dibagi-bagi
antara para waris yang sah (lihat Pasal 864 KUH Perdata);
·Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh
seluruh warisan (Pasal 865 KUH Perdata).
Menurut Pasal 272 KUH Perdata anak luar kawin adalah:
“Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu,
tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah
dengan ibu anak tersebut, dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina atau anak
sumbang”.
Apabila kita menyimpulkan maksud yang terkandung dalam isi pasal tersebut, bahwa Pasal
272 KUH Perdata menegaskan syarat seseorang dinyatakan sebagai anak luar kawin yaitu
anak-anak yang lahir di luar dari ikatan perkawinan. Dalam artian anak luar kawin adalah
anak-anak yang lahir akibat zina.
            Anak luar kawin dapat mewaris sepanjang anak tersebut memiliki hubungan hukum
dengan pewaris. Hubungan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah pengakuan dari si
pewaris, sehingga dengan demikian anak luar kawin tersebut akan disebut dengan anak luar
kawin diakui. Sebab anak luar kawin yang mendapat warisan hanya anak luar kawin yang
diakui oleh ayahnya.
            Amanat yang tercantum dalam Pasal 284 KUH Perdata disebutkan, bahwa:
“Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan
anak luar kawin, yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri
atau suaminya, tak akan merugikan baik bagi istri atau suami maupun bagi anak yang
dilahirkan dari perkawinan mereka”.
            Jadi berdasarkan Pasal 284 tersebut kembali ditekankan bahwa seorang suami atau
istri
yang mengakui anak luar kawinnya tidak boleh merugikan istri dan anak-anak dari
perkawinan pada waktu pengakuan dilakukan. Namun perlu juga diingat bahwa berdasarkan
Pasal 285 KUH Perdata, walaupun anak luar kawin telah diakui dan berhak atas warisan dari
orang tua yang mengakuinya, tetapi ayah atau ibu anak luar kawin tidak mewarisi harta dari
orang yang mengakui.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa,Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang
adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.
Pada dasarnya putusan Mahkamah Konstitusi melindungi hak-hak anak untuk mengetahui
siapa orang tua biologisnya yang mana sangat berguna ketika sang anak dewasa nanti seperti
menjadi wali dalam pernikahan dan juga dalam pembuatan dokumen hukum guna
mendapatkan status hukum dan terdaftar sebagai warga negara Republik Indonesia.

Saran

Kita tidak bisa menyebut bahwa anak diluar pernikahan adalah anak yang berdosa,karena
sesungguhnya anak diluar pernikahan itu suci dari segalah dosa karena kesalahan itu tidak
dapat ditujukan kepada anak tersebut tetapi kepada kedua orang tuanya(yang tidak sah
menurut hukum).

Anda mungkin juga menyukai