Disusun Oleh :
ANANTA JAYA (221010200313)
PRATAMA
DEDE (221010200307)
KHOLILURAHMAN
FUAD HASAN JOY (221010201259)
RUSBAL
RHANTY FUJIANI (221010201190)
SAFAR (221010201192)
ROSA AMELIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
Jl. Surya Kencana No.1 pamulang telp,
(011)7411566 Tangerang Selatan Banten
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah tentang status hukum nikah siri dan anak yang lahir
diluar perkawinan yang sah.
Kami sadari bahwa dalam penulisan mekalah ini masih jauh dari kata sempurna,
karena keterbatasan pemahaman dan pengalaman , sehingga masih banyak
kesalahan yang di temukan. Oleh sebab itu kami meminta saran dari Dosen dan
Teman-Teman untuk memberikan saran dan kritikan dalam penulisan makalah.
DAFTAR ISI
Kata pengantar...................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................3
BAB I....................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................4
BAB II..................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................6
Tentang Perkawinan..........................................................................6
Tentang Anak.....................................................................................8
Anak sah............................................................................................8
BAB III...............................................................................................13
Kesimpulan.........................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
Tentang Perkawinan
Siri Perkawinan siri berasal dari bahasa Arab yaitu “sirrun” yang artinya
diam-diam atau dirahasiakan. Makna dari nikah siri itu sendiri sesungguhnya
adalah merahasiakan sebuah perkawinan (sengaja tidak mengumumkan) dengan
alasan adanya suatu sebab yang tidak ingin diketahui oleh orang lain4 .
Perkawinan Siri dilakukan dengan memenuhi Rukun dan Syarat Perkawinan,
namun tidak memenuhi syarat perkawinan dimana Perkawinan yang telah
dilakukan harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama sesuai dengan Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan.
Perkawinan siri akan menimbulkan dampak negatif terhadap pasangan suami
isteri yang melaksanakannya, terhadap anak yang lahir didalam perkawinan dan
juga berdampak pada harta dalam perkawinan tersebut. Karena perkawinan siri
yang dilangsungkan tidak memiliki kekuatan hukum dimana perkawinan
tersebut tidak memiliki surat nikah yang merupakan alat bukti yang otentik
dalam perkawinan5 . Sehingga apabila dilaksanakan hanya secara agama, maka
suami dengan mudahnya dapat mengingkari perkawinan tersebut.
Perkawinan yang tidak memiliki bukti otentik atau surat nikah, maka salah satu
pihak yang menjadi korban. Secara yuridis, pihak yang sering menjadi korban
adalah pihak perempuan dan anak yang lahir dalam perkawinan siri. Anak yang
lahir akibat perkawinan siri hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu
dan keluarga ibunya saja sesuai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
Tentang Anak
Anak sah
Berdasarkan beberapa Peraturan Perundang-Undangan mengatur tentang
Pengertian anak sah, antara lain :
1) Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa anak sah adalah
anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
2) Pasal 99 KHI menjelaskan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam dan
akibat perkawinan yang sah dan hasil dari perbuatan suami dan isteri yang sah
dan dilahirkan oleh isteri yang sah.
Anak diluar kawin adalah anak yang lahir diluar perkawinan. Dimana menurut
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, anak diluar kawin hanya
memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarganya saja. Sehingga
hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibunya dan menjadi ahli waris
dari ibunya saja7 selaras dengan Pasal 100 KHI yang mengatakan bahwa anak
yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya Pasal 272 KUHPerdata membagi golongan anak luar kawin
menjadi dua golongan yaitu :
a. Anak zina
Pasal 284 KUHPerdata menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan dalam
hubungan suami isteri yang didalamnya terdapat laki-laki atau perempuan lain
yang terikat dalam perkawinan yang lainnya. Anak zina ini tidak dapat diakui
oleh orang tua biologisnya sehingga secara hukum anak tersebut tidak memiliki
hubungan perdata dari orang tua biologisnya kecuali sebatas hak untuk
mendapatkan nafkah hidup seperlunya dan hal ini diatur dalam Pasal 867 ayat
(2) KUHPerdata.
Anak zina dikategorikan jenis anak luar kawin yang merupakan anak tidak sah.
Karena dipengaruhi oleh asas monogami dalam perkawinan yang berlaku di
Indonesia. Anak zina dilahirkan karena adanya perzinahan dimana seseorang
yang membenihkan anak tersebut sedang dalam ikatan perkawinan dengan
orang lain8 .
b. Anak sambung
Anak sumbang sering dikenal dengan anak hasil penodaan darah dimana anak
yang lahir dari hubungan antara seseorang laki-laki dan seorang wanita yang
dilarang untuk melangsungkan perkawinan dengan banyak alasan antara lain
yaitu memiliki hubungan darah, hubungan persusuan dan lainnya9 .
Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah
pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali yang disaksikan oleh para
saksi, tetapi tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat nikah sebagai aparat
resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak
beragama islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian dikalangan
masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah siri, dikenal juga dengan sebutan
perkawinan bawah tangan.
Sejalan dengan kerangka teoritik maka suatu akad nikah dapat terjadi dalam
dua bentuk. (1), akad nikah yang dilakukan itu hanya semata-mata memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, yakni telah
dilaksanakan dan telah memenuhgi ketentuan agama yang dianut. (2), akad
nikah dilakukan menurut ketentian ayat (1) dan ayat (2) secara simultan, yakni
telah dilaksanakan sesuai aturan agama dan telah dicatatkan pada pegawai
pencatat nikah.
Apabila bentuk akad nikah yang pertama yang dipilih, maka perkawinan
tersebut telah diakui sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran agama, tetapi
tidak diakui sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum oleh
Negara. Oleh sebab itu, perkawinan semacam ini tidak mendapat pengakuan
dan tidak dilindungi secara hukum. Seharusnya, karena pencatatan disini
merupakan perintah Allah SWT, maka umat islam dalam melangsungkan
perkawinan memilih bentuk kedua diatas, yakni memenuhi ketentuan ayat (1)
dan ayat (2) sekaligus. Kedua unsur pada ayat tersebut berfungsi secara
kumulatif, dan bukan alternativ. Unsur pertama berperan memberi label sah
kepada perkawinan itu, sedangkan unsur kedua memberi label bahwa
perkawinan tersebut merupakan perbuatan hukum.
Oleh karena itu, perbuatan itu mendapat pengakuan dan dilindungi oleh hukum.
Dengan demikian, memenuhi unsur kedua (pencatatan) dalam suatu perkawinan
menjadi sangat penting, karena walaupun keberadaannya hanya bersifat
administrativ, tetapi peran dari pada pencatatan (akta nikah) tersebut merupakan
bukti otentik tentang telah dilangsungkannya perkawinan yang sah. Dengan
demikian, melangsungkan perkawinan hanya dengan memenuhi unsur agama
saja sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, itu belum cukup, walaupun
perkawinan tersebut telah dinyatakan sah oleh agama, karena unsur yang
pertama menyangkut yuridis, dan unsur yang kedua menyangkut masalah
administrativ, meskipun akhirnya secara tidak langsung juga akan berkaitan
dengan masalah yuridis, khususnya mengenai hal pembuktian. Jadi, untuk dapat
membuktikan bahwa suatu perkawinan telah dilangsungkan sesuai dengan
ajaran agama adalah melalui akta nikah, karena akta nikah merupakan bukti
otentik.
Jadi, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa perkawinan siri atau perkawinan
dibawah tangan atau perkawinan yang tidak memenuhi unsure ketentuan pada
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan sah menurut agama namun tidak sah menurut Undang-Undang,
karena tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat digunakan sebagai bukti
otentik telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.
Status hukum anak akibat perkawinan siri di Indonesia tergolong anak luar
kawin, karena dalam Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa
anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, dan perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan Pasal 2 UndangUndang
Perkawinan yaitu dilakukan menurut agama dan kepercayaan masingmasing
serta perkawinan yang dilakukan harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau
Kantor Catatan Sipil. Sedangkan perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak
sah, sehingga anak yang lahir dalam perkawinan yang tidak sah adalah anak
luar kawin.
Berdasarkan hasil analisis dan beberapa sumber data yang telah dipaparkan
diatas, maka penulis menarik kesimpulan antara lain :
1. Status hukum anak yang lahir akibat perkawinan siri di Indonesia termasuk
golongan anak luar kawin karena anak tersebut lahir diluar perkawinan yang
sah. Karena perkawinan yang dilakukan oleh orang tua tidak memiliki bukti
otentik dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap karena tidak sesuai dengan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. sehingga anak tersebut tidak
memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya. Anak tersebut hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibu dan pihak keluarga ibunya saja.