Anda di halaman 1dari 8

PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN DALAM

PANDANGAN HUKUM POSITIF, BUDAYA DAN


AGAMA ISLAM

Irfan Rifandi1, Najiroh Nurkhotijah2.


1
Universitas Pamulang, Irfanrifandi1990@gmail.com, 087889582215
2
Universitas Pamulang, Alamat Surel

Abstrak
Perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia tunduk pada ketentuan dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menetapkan prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan
diantaranya adalah sebagai berikut : Pertama,tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri saling membantu dan melengkapu agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material. Kedua,suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan samping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika
perkawinan tidak dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaannya serta dicatatkan di
KUA (untuk yang beragama Islam) atau di Kantor Catatan Sipil (bagi yang beragama selain
Islam) maka perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak sah dan tidak diakui negara.
Kata Kunci : Perkawinan; Agama; Keluarga

Abstract
Marriages carried out in Indonesia are subject to the provisions of Law no. 1 of 1974
concerning Marriage (UUP) which stipulates the principles or principles of marriage,
including the following: First, the purpose of marriage is to form a happy and eternal family.
For that husband and wife help and complement each other so that each can develop his
personality to help and achieve spiritual and material welfare. Second, a marriage is valid if it
is carried out according to the law of each religion and belief, and besides that each marriage
must be recorded according to the applicable laws and regulations. If the marriage is not
carried out based on religion and belief and is registered at the KUA (for those who are
Muslim) or at the Civil Registry Office (for those of a religion other than Islam), then the
marriage carried out is invalid and is not recognized by the state.
Keyword : Marriage; Religion; Family

PENDAHULUAN
Fenomena saat ini banyak masyarakat yang tidak melaksanakan perkawinan berdasarkan
persyaratan tersebut diatas dengan berbagai macam alasan : pada saat perkawinan
dilaksanakan secara agama pihak laki-laki masih terikat perkawinan dengan orang lain baik
dengan kesadaran dari pihak perempuan sendiri maupun ada unsur janji-janji dari pihak laki-
laki bahwa dia sedang dalam proses perceraian dengan isterinya dan segera dinikahi, disisi
lain untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu mereka tidak mencatatkan
perkawinannya karena kendala biaya yang harus dikeluarkan untuk pencatatan perkawinan
ini, atau calon isteri tidak mengetahui bahwa calon suaminya telah terikat perkawinan dengan
perempuan yang lain dan lain-lain. Apapun alasannya hendaknya perempuan menyadari
dampak dari perkawinan dibawah tangan atau nikah siri terhadap hak-haknya sebagai isteri
dan anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut dan siap atas resiko yang akan
dihadapinya. UUP dan peraturan perkawinan sebelumnya tidak mengatur perkawinan di
bawah tangan atau perkawinan siri. Istilah perkawinan dibawah tangan atau perkawinan siri
biasa digunakan masyarakat untuk orang-orang yang melakukan perkawinan tanpa prosedur
yang diatur UUP. Biasanya perkawinan dibawah tangan dilaksanakan berdasarkan agama
atau adat istiadat calon suami atau calin isteri. Secara agama dan adat, perkawinan tersebut
sah namun secara hukum perkawinan tersebut tidak diakui secara resmi oleh negara. Secara
huku, perkawinan di bawah tangan dianggap tidak pernah ada sehingga dampaknya sangat
merugikan bagi isteri atau anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Isteri tidak berhak
mendapatkan nafkah dan harta gono-gini jika terjadi perceraian. Selanjutnya jika suami
meninggal dunia maka isteri tidak berhak untuk mendapatkan warisan dari suaminya. Anak
yang sah berdasarkan UUP adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari
perkawinan yang sah. Perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang tidak sah karena
tidak dilakukan menurut agama dan kepercayaannya tersbeut sehingga anak yang dilahirkan
adalah anak di luar perkawinan adalah anak di luar perkawinan. Anak ini hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan tetap
bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran dan hanya tercantum nama
ibunya saja.
Sebelum putusan MK, menurut pasal 43 ayat (1) UUP jo pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam anak tidak berhak mewaris dari ayahnya karena anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
VIII/2010 telah memungkinakan anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan ayah biologinya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan
perdata dengan ayah biologisnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Untuk membuktikan asal-usul dari orang tua si
anak yang lahir diluar pekawinan maka dilaksanakan tes DNA.
1.1 Latar Belakang
. Tentang perkawinan dibawah tangan, mungkin ada yang berasumsi bahwa yang
dipersoalkan adalah : "hidup bersama tanpa nikah" yang sering diberitakan dalam media pers,
baik itu majalah maupun surat kabar, seperti lazimnya telah merupakan mode masa kini di
Eropah, lebih konkrit lagi di Swedia. Dimana para remaja (putra/putri) melakukan observasi
(menjajaki) sampai seberapa jauh diantara mereka terdapat persesuaian paham baik ideal
maupun praktis dalam membina rumah tangga yang harmonis kelak. Untuk itu mereka
melakukan froof marriage (kawin percobaan), dalam jangka waktu tertentu (samenleven).
Bila ternyata diantara mereka dalam jangka waktu tertentu itu, baik dalam soal kesukaan
(hobby) pribadi maupun dalam masalah sexual, terdapat keserasian atau persesuaian paham
maka hubungan mereka secara formal ditingkatkan dalam ikatan perkawinan, Bila tidak,
mereka mencoba lagi dengan pasangan yang lain dan seterusny dan seterusnya. Peningkatan
dalam hubungan perkawinan yang formal ini, apabila dalam jangka waktu tertentu itu
siwanita dapat melahirkan seorang atau sekurang-kurangnya telah hamil. Penulis melihat
fenomena perkawinan bawah tangan seperti sudah merambah Indonesia dengan acuan budaya
Kebarat-baratan, sehingga penulis merasa perlu untuk membahas hal ini. Kyai Ma'ruf yang
juga sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI menambahkan, Komisi Fatwa MUI sengaja memakai
istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk membedakan dengan pernikahan siri yang
sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ia
menambahkan, nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun,
nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan. Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Kyai Ma'ruf menegaskan
bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah, menjadi
haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, Haramnya itu datangnya belakangan.
Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan,
sehingga dia berdosa karena mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai
terjadi korban. Inilah uniknya, ujarnya.

1.2 Perumusan Masalah


Hal yang menjadi pemicu adalah budaya kebarat-baratan yang diserap oleh sebagian
masyarakat Indonesia yang mana hal ini bertentangan dengan budaya ketimuran terkait
perkawinan. Masyarakat juga masih banyak yang belum mengetahui betul akan dampak dari
perkawinan bawah tangan terutama bagi perempuan. Selain itu penulis juga meneliti apakah
selama kedua pasangan ini melakukan perkawinan dibawah tangan pihak penghulu senantiasa
memberi masukkan akan dampak perkawinan bawah tangan?
Kemudian dalam hukum positif bagaimana langkah konkret negara dalam menyikapi
perkawinan bawah tangan? Bagaimana juga Agama menyikapi hal ini baik dalam segi
keyakinan, maupun spiritual?

METODE
Metode yang dipakai penulis adalah menggunakan metode Yuridis normatif dengan
mengedepankan fakta-fakta berlandaskan data-data yang ada sehingga dapat menyimpulkan
permasalahan ini memang krusial dalam Hukum Keluarga dan juga layak untuk dibahas.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan, pernikahan juga banyak terjadi pada anak dibawah
umur yang notabene belum dianggap dewasa menurut hukum positif.

Data perkawinan anak dibawah umur (Pernikahan Dini)

Sumber Locadata.id

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Lahirnya undang-undang perkawinan tidak serta merta telah menghilangkan secara
keseluruhan praktek atau pola perkawinan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum negara.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Pemahaman akan pasal ini melahirkan berbagai persepsi mengenai perkawinan menjadi sah
asal hukum menurut agamanya telah dinyatakan sah. Dalam hukum agama Islam, perkawinan
sah apabila syarat-syarat dan rukun-rukunya terpenuhi. Syarat dan rukun perkawinan dalam
hukum agama Islam tidak mencantumkan pencatatan nikah sebagai syarat sah perkawinan,
sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.3 Dari 2 (dua) ayat
dalam Pasal 2 UU Perkawinan ini muncul perdebatan hukum mengenai sah tidaknya
perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai ajaran agama namun tidak dicatatkan dalam
dokumen yg sah dalam negara. Akibat dari permasalahan ini adalah adanya perkawinan yang
sah menurut agama, namun tidak mendapat legalitas yang sah menurut hukum negara.
Sehingga, hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara suami dan isteri tidak mendapat jaminan
secara penuh dari Negara. Sehubungan dengan berbagai problematika yang muncul dari pola
perkawinan tersebut, maka dalam penelitian ini, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang
perkawinan di bawah tangan (kawin sirri) dan akibat hukumnya.
1. POKOK PEMBAHASAN PERTAMA
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kemudian pada Pasal 2 ayat (2) : “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku” berdasarkan dua
pasal diatas, bahwa hukum positif melarang perkawinan dibawah tangan, sehingga setiap
perkawinan memiliki jejak catatan sipil yang sah bagi negara Indonesia. Dalam budaya barat
Samenleven atau hidup bersama tanpa status pernikahan memiliki influensi yang cukup
krusial dikalangan generasi saat ini, oleh karena di Indonesia menentang hal seperti itu maka
mereka seolah-olah mencari alternatif atau jalan pintas yaitu menikah dibawah tangan atau
menikah siri. Tentu ini akan merugikan pihak perempuan. Dampak pernikahan siri bagi
perempuan adalah secara hukum, istri tidak dianggap sebagai isteri sah, tidak berhak
mendapat wariasan jika suami meninggal, tidak berhak mendapat harga gono-gini bila terjadi
perpisahan. Dampak tersebut juga belaku bagi anak kandung hasil pernikahan siri. Kemudian
dalam pandangan Agama Islam Wakil Ketua Umum MUI Kiai Haji Ma'ruf Amin
menjelaskan, pernikahan siri (nikah di bawah tangan) sah dalam Islam, asalkan semua rukun
dan syaratnya terpenuhi. Selama suami bertanggung jawab dan memenuhi kewajibannya
sebagai kepala rumah tangga, maka pernikahan siri sah dan halal secara agama. Bila yang
terjadi adalah sebaliknya, maka pihak istri maupun anak dari hasil pernikahan itu berpotensi
menjadi pihak yang dirugikan.
Ma'ruf juga menambahkan, bila suatu saat suami memberikan perlakuan tak baik,
seperti menimbulkan penderitaan, atau menelantarkan anak-istrinya, perkawinan itu tetap sah,
tapi perbuatan si suami menjadi haram. Di sisi lain, bila istri dan anak ditelantarkan, tidak
bisa menuntut suami atau ayahnya karena tak ada bukti pernikahan. Dengan tak adanya bukti
nikah, berarti istri dan anaknya tak punya kekuatan hukum. Hal inilah yang menjadi
kelemahan pernikahan siri.
2. POKOK PEMBAHASAN KEDUA
Hukum nikah siri dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat negara. Bagi yang beragama Islam, hal
ini berarti pernikahan harus dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Selain melanggar
undang-undang perkawinan pernikahan siri juga melanggar pernikahan siri melanggar
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang menyatakan bahwa setiap pernikahan harus
diawasi oleh pegawai pencatat pernikahan. Dalam hukum Islam, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh calon pengantin yang akan melaksanakan nikah siri. Persyaratan yang
berlaku pun berbeda untuk calon pengantin laki-laki dan perempuan. Simak persyaratannya
berikut ini:
Syarat nikah siri bagi laki-laki:
1. Beragama Islam
2. Berjenis kelamin laki-laki
3. Tidak melakukan nikah siri dalam paksaan
4. Tidak memiliki 4 orang istri
5. Calon istri yang akan dinikahi bukan mahramnya
6. Pernikahan dilakukan bukan dalam masa ihram atau umrah
Syarat nikah siri bagi perempuan:
1. Beragama Islam
2. Berjenis kelamin perempuan
3. Telah mendapat izin nikah dari wali yang sah
4. Mempelai perempuan bukanlah istri orang dan gak dalam masa iddah
5. Calon suami yang akan menikahinya bukan mahram
6. Pernikahan dilakukan bukan dalam masa ihram atau umrah

Dalam pasal 6, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan syarat
sahnya perkawinan diayat 1-2 :
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua Calon mempelai;
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.;
Hal ini menjadi sebuah kejelasan bahwa dalam menikah diperlukan persetujuan kedua calon
mempelai dan jika belum cukup umur, maka perlu meminta izin dahulu kepada orang tua
masing-masing. Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 menyebutkan : “
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun,
da pihak perempuan mencapai umur 16 (Enam belas) tahun. Di beberapa wilayah di
Indonesia seringkali ada budaya menikahkan anak perempuannya yang masih usia dini, tentu
dengan cara menikah dibawah tangan. Menikah muda kerap memunculkan polemik lantaran
dianggap sebagai pemicu tingginya angka perceraian. Sebab, para anak muda yang menikah
muda biasanya bersifat labil dan belum siap membangun rumah tangga.
Kendati banyak ditentang, kebiasaan menikah muda masih banyak ditemui di sejumlah
daerah di Indonesia. Sejumlah kalangan pronikah muda menilai, menikah di usia belia
menjadi solusi kaum muda agar terhindar dari kemaksiatan atau agar hidup mandiri sehingga
tidak banyak membebani keluarga. Tak sedikit ditemukan gadis berusia 15 tahunan bahkan
yang lebih muda sudah memiliki anak. Ada beberapa faktor yang membuat mereka menikah
muda, di antaranya untuk mengikat keluarga yang jauh, hingga dilatari faktor utang budi.
Pernikahan muda di sana juga kerap diawali dengan perjodohan sesuai kesepakatan kedua
orangtua.

3. POKOK PEMBAHASAN KETIGA


Perkawinan di bawah tangan sama dengan perkawinan tidak dicatat, yang dimaksud
dengan “perkawianan di bawah tangan atau perkawinan tidak dicatat” adalah perkawinan
yang memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan Hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau
belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Istilah “tidak dicatat” tidak sama dengan
istilah “tidak dicatatkan”. Kedua istilah tersebut mengandung makna yang berbeda. Pada
istilah “perkawinan tidak dicatat” bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur
“dengan sengaja” yang mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan
perkawinannya. Adapun istilah “perkawinan tidak dicatatkan” terkandung iktikad atau niat
buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya memang “dengan sengaja”
tidak dicatatkan. Karena itu penulis menyepadankan “perkawinan tidak dicatat” dengan
“perkawinan yang belum dicatatkan” yang berbeda dengan perkawinan tidak dicatatkan. Ibnu
Taimiyah menyampaikan tentang pertanyaan seseorang kepada Syaikhul Islam rahimahullah,
yaitu mengenai seorang laki-laki yang menikahi seoarang perempuan dengan cara
mushafahah nikah sirri yaitu perkawinan tanpa wali dan tanpa saksi, dengan maskawin lima
dinar, dan ia telah tinggal bersamanya dan mencampurinya. Menurut Ibnu Taimiyah, Syakhul
Islam rahimahullah menjawab, bahwa laki-laki yang menikahi perempuan tanpa wali dan
saksi-saksi, serta merahasiakannya, menurut kesepakataan Imam, perkawinan itu bathil. Ibnu
taimiyah mengemukakan bahwa pernikahan sirri adalah sejenis perkawinan pelacur, karena
tanpa wali dan tanpa dua orang saksi, dan perkawinan sirri juga termasuk dzawatil akhdan
yaitu perempuan yang mempunyai laki-laki piaraan (gundik). Perbuatan tersebut adalah
haram dilakukan. Pada mulanya syariat Islam baik dalam Al-Qur’an atau Al- Sunnah tidak
mengatur secara kongkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan ayat
muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya.
Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan. Pencatatn perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan upaya
yang diatur melaui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-
galid) perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Pencatatan perkawinan dibuktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami dan isteri
mendapat salinannya.
SIMPULAN DAN SARAN
Negara Indonesia dalam Hukum Positif menegaskan bahwa perkawinan senantiasa
tetap sah selama mengikuti norma Agama masing-masing, hal ini tertuang dalam Pasal 2
Ayat (1) Undang-undang Nom 1 Tahun 1974 yang berbunyi : “ Perkawinan adalah Sah,
apabila dilakukan menurut Hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya”
perkawinan bawah tangan juga telah diatur dalam Agama Islam Khususnya terkait syarat dan
Rukun nya. Selama itu terpenuhi maka perkawinan adalah Sah. Namun, negara menjaga agar
semua tercatat dengan baik agar dikemudian hari tidak terjadi sengketa yang tidak
diinginkan, baik itu hal Waris atau harta gono-gini. Kita sebagai warga negara yang baik,
tentu akan mentaati peraturan yang ada, maka baiknya perkawinan harus dicatat sebagaimana
mestinya sesuai ketentuan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU / LITERATURE
Buku ajar Hukum Perdata, Verawati Br Sitompul, S.H., Pustaka Mandiri Cetakan ke-1
Januari 2017 Ciledug, Kota Tangerang. Hal. 12
Ibid Hal. 13
Ahmad, Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Kencana, 1977), hal 10
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Tercatat,
(Jakarta : Sinar Garfia, 2010), Hal. 153
Ibid Hal. 154.
Amir, Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana,
2007), hal. 56

UNDANGAN-UNDANG
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2
ayat (1).
Ibid. Pasal 2 ayat (2).

ONLINE WORLDWEB
https://business-law.binus.ac.id/2018/07/09/perkawinan-di-bawah-tangan-nikah-siri-dan-
akibat-hukumnya/

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/938

https://hukumonline.com/berita/baca/hol15651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-status-
hukum
https://www.popbela.com/relationship/married/johanna-elizabeth/fakta-nikah-siri-di-
indonesia

https://news.okezone.com/read/2016/02/04/340/1305079/lima-daerah-di-indonesia-yang-
punya-tradisi-nikah-muda

Anda mungkin juga menyukai