Anda di halaman 1dari 4

Nama: sri hartati

Nim: 201110102
kelas: HKIC/VI
Mk:hukum keluarga kontemporer
jawaban uts
1. Dalam Islam, pernikahan atau perkawinan itu sendiri dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan seksual seseorang secara halal serta melangsungkan keturunannya dalam suasana
yang saling mencintai atau biasa disebut mawaddah dan kasih sayang atau biasa disebut rahmah
antara suami dan istri. Di masa yang modern dan kontemporer ini ada salah satu fenomone
hukum yang menarik untuk dikaji yaitu  mengenai persoalan hukum keluarga di Negara-negara
muslim. Contohnya, di Indonesia terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya
perniakah beda agama yang dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia.
Kasus Poligami, di mana kasus ini merupakan perkawinan yang terjadi bila suami dapat memiliki
lebih dari seorang istri. Ketentuan jumlah istri dalam wkatu yang bersamaan hanya sampai empat
orang dan suami harus mampu bersikap adil terhadap istri-itsrinya dan anak-anaknya.
Kasus Nikah Siri, di mana kasus ini merupakan pernikahan yang memenuhi rukun nikah dan sah di
mata agama, tetapi tidak dicatatkan di kantor urusan agaa sehingga dianggap telah melanggar
hukum Negara, tepatnya  UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Kasus Nikah Lintas Agama, di mana kasus ini merupakan pernikahan yang diselenggarakan oleh
kedua belah pihak yang berbeda agama, yaitu muslim dengan non muslim secara legal. Apabila
non muslim bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani, maka pernikahan itu hukumnya haram
menurut ulama.
Kasus KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), di mana kasus ini merupakan “setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” berdasrkan UU RI No. 23 Tahun 2004 Pasal 1
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kasus Wanita Karier, di mana kasus ini merupakan wanita yang bekrecimpung langsung dalam
profesi atau pekerjaan yang hasil usahanya nanti mendapatkan uang. Wanita tersebut memiliki
peran rangkap, yaitu kodrat dengan rumah tangga, hakikat keibuan, dan pekerjaannya di luar
rumah. Sama halnya dengan pendapat Prabuningrat dalam Muallamah (2013:25), yaitu
menyatakan bahwa wanita karier berperan dalam pekerjaan untuk memajukan dirinya sendiri.
Kasus Nikah Dini, di mana kasus ini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasnagan dari
perempuan dan laki-laki yang usianya masih terkategori muda atau anak-anak di bawah delapan
belas tahun. Begitu pula dengan pendapat Puspitasari (2015:15) menyatakan bahwa terjadinya
pernikahan dini yang sering terjadi di lingkungan masyarakat, yaitu faktor ekonomi, pendidikan,
orang tua, media massa, dan adat.

Berdasarkan macam kasus kontemporer yang berhubungan dengan keluarga di atas, kasus
tersebut pernah terjadi di masyarakat dan berdampak ke anggota keluarga lainnya. Berikut
adalah hasil dari analisis dari kasus-kasus kontemporer yang berhubungan dengan
keluarga tersebut, yaitu sebagai berikut:
Kasus Poligami, bila terjadi maka ada 2 hal, yaitu anak tidak mendapatkan nafkah sepenuhnya
dari ayah (tidak sadar), dan anak tetap mendapatkan nafkah sepenuhnya dari ayah (memenuhi
hak).
Kasus Nikah Siri, bila terjadi sebabnya, yaitu restu orang tua, hubungan terlarang, khawatir pada
zina, belum siap materi dan sosial, poligami, menghalalkan hubungan badan saja, prosedur
administrasi, dan beda agama.
Kasus Nikah Lantas Agama, bila terjadi sebabnya, yaitu adanya dalil yang mengharamkan dan
menghalalkan secara bersyarat, yaitu dalil yang Mengharamkan (QS. Al-Baqarah:221) dan dalil
yang Menghalalkan secara Bersyarat (QS. Al-Maidah:5)
Kasus KDRT, bila terjadi pada perempuan yang sering menjadi korban KDRT dipicu adanya
penganiyaan dalam rumah tangga yang dianggap bisa dilechkan dan kurang dihormati dan juga
ideologi patriarki.
Kasus Wanita Karier, bila terjadi sebabnya, yaitu jika keluarga tidak dijadikan prioritas, jika lepas
tanggung jawab sebagai seorang ibu, jika tidak memberikan kasih sayang dan peduli pada anak,
jika tidak percaya dan tidak mendukung antara suami dan istri, serta jika urusan rumah tangga
tidak dipikul.
Kasus Nikah Dini, bila terjadi sebabnya yaitu, kondisi yang labil dan emosi yang belum siap untuk
melahirkan keluarga yang tidak kuat, tanpa tujuan pernikahan menjadikan pondasi keluarga
rapuh untu dijalankan, belum siap untuk mengasuh dan mengurus anak secara lahir dan batin,
kecemasan dan ketakutan anak terhadap pertengkaran orang tua, serta minim dan rendahnya
pendidikan akhlak yang diberikan untuk anak.
Maka dari itu, penutup dari tulisan ini, yaitu perlu diketahui bahwa membangun keluarga bukan
hanya menyatukan dua insan, bukan hanya menyatukan visi dan misi, tetapi keluarga adalah
benteng utama sebuah peradaban. Jika ikatan keluarga retak, maka remuk pula sendi-sendi
peradaban. Dengan begitu, pada hakikatnya eksistensi keluarga dalam kehidupan, yaitu basis
terkecil dalam membangun peradaban
2. Undang-Undang nomor UU Nomor 16 Tahun 2019 perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, menyebutkan Batasan usia nikah, baik laki-laki mapun perempuan adalah
19 tahun. Batasan umur ini bertujuan untuk melindungi Kesehatan calon pengantin pada usia
yang masih muda Namun, ketentuan itu diubah melalui UU Nomor 16 Tahun 2019. UU tersebut
mengatur batas usia minimal laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan adalah 19
tahun. "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun," demikian Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019
sangat relevan karena batas usia 19tahun itu sudah termasuk kedalam usia menginjak dewasa
dan sudah punya identitas yang jelas yaitu KTP
3. Dari sisi hukum islam, Guru Besar Hukum Islam Universitas Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof. Zaitunah Subhan mengatakan dalam agama islam sudah ada prinsip bahwa niat dari
sebuah perkawinan adalah membangun keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawadah,
warahmah. “Poligami dalam islam adalah sebuah solusi bagi kondisi darurat yang membuat
harus berbuat demikian. Namun saat ini banyak kelompok maupun individu yang salah kaprah
dan tidak betul-betul memahami makna dari poligami. Jelas bahwa poligami memberikan banyak
dampak buruk bagi keutuhan sebuah keluarga terutama perempuan. Ada beberapa alasan dari
pemikiran yang menyimpang terjadi poligami saat ini di antaranya anggapan bahwa melakukan
poligami
memberikan banyak dampak buruk bagi keutuhan sebuah keluarga terutama perempuan. Ada
beberapa alasan dari pemikiran yang menyimpang terjadi poligami saat ini di antaranya anggapan
bahwa melakukan poligami karena mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan
menganggap itu termasuk sunah rasul yang harus diikuti, padahal jelas Beliau melakukan
poligami bukan dengan alasan biologis seperti yang kebanyakan terjadi saat ini. Kemudian
penafsiran firman Allah yang tidak sepenuhnya, banyak orang yang tidak memahami arti dan
alasan firman Allah tersebut turun. Selain itu, alasan lain juga karena jumlah perempuan yang
lebih banyak dari laki-laki sehingga masih ada beberapa kelompok yang menjadikan alasan ini
untuk melakukan poligami. Untuk itu, salah satu upaya untuk menghindari perempuan dari upaya
poligami dengan perlu terus dilakukan peningkatan kapasitas perempuan baik dari sisi
keterampilan, kemandirian, pemberdayaan, dan nilai-nilai intelektual. Sehingga perempuan
enggan dan menolak untuk dipoligami dengan alasan apapun,” ujar Prof. Zaitunah.
Pada hakikatnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Perkawinan, salah satu asas
perkawinan adalah monogami, bahwa di dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, dan begitu pula sebaliknya. Namun, sesuai dengan ketentuan dalam
Syariat Islam, negara memberikan ruang untuk dapat menjalankan poligami, tentunya dengan
persyaratan yang ketat. Persyaratan tersebut mencakup bahwa poligami hanya boleh dilakukan
ketika istri tidak dapat memberikan keturunan, serta yang terpenting adalah keadilan bagi istri-
istrinya ketika berpoligami. Diatur pula bahwa dalam menjalankan poligami, suami sudah harus
meminta izin dari istrinya, serta disertai persetujuan dari pengadilan agama
Sejatinya masih banyak masyarakat yang mempunyai interpretasi budaya keliru terhadap makna
poligami yang dimaksud dalam agama islam. Poligami juga semakin disalahartikan dengan
maraknya ajakan berpoligami di masyarakat dan disebarluaskan melalui kemajuan teknologi yakni
media sosial. Hal ini yang harus kita cegah bersama, penafsiran poligami yang sesungguhnya dan
bagaimana penerapan poligami yang diperbolehkan agama. Selain itu, perlunya membangun
karakter positif anak sejak dini mulai dari dalam keluarga dan bagaimana menghargai
perempuan,” ujar Prof. Meutia Hatta
4. dalam pendapat undang udang : Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk
perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan
termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
5. Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:
6. Pasal 4 :
7. "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan".
8.
9. Pasal 40 :
10. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu;
11. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
12. perkawinan dengan pria lain;
13. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
14. pria lain;
15. seorang wanita yang tidak beragam Islam.
Sementara itu dari MUI melalui Keputusan Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan
fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama. Yakni, perkawinan beda agama adalah
haram dan tidak sah; dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaul
mu'tamad adalah haram dan tidak sah
Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa melakukan pernikahan antara seorang laki-laki muslim
dengan perempuan ahli kitab diperbolehkan meskipun ia meyakini adanya trinitas
5.5 keutamaanya adalah
1. Memberikan keabsahan atas adanya pernikahan
2. Memudahkan birokrasi
3. Memastikan istri bisa mendapat haknya
4.Memastikan kesejahteraan anak-anak
5.Memudahkan pengurusan hak asuh anak-anak

Anda mungkin juga menyukai