Anda di halaman 1dari 13

PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM DALAM NIKAH BEDA AGAMA

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fikih Madzhab Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. H. Mughni Labib M.S.I

Disusun oleh:
Qorri Maftukhah 1917304026
Weka Halim Muktabar 1917304039

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K. H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
2022
A. Pendahuluan
Perkawinan adalah sunnatullah yang berlaku secara umum, agar dengan perkawinan
kehidupan di dunia ini bisa berkembang dan untuk meramaikan alam yang luas ini dari
generasi ke generasi berikutnya. Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhtumbuhan. Oleh karena manusia
sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan salah satu
budaya guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya.1
Perkawinan juga merupakan suatu cara yang dipilih Allah Swt. untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia di muka bumi dengan tujuan menjaga kehormatan dan
martabat kemuliaan manusia. Bagi umat Islam perkawinan disyari’atkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di
akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Ilahi. Perkawinan dilakukan dengan cara
akad nikah, yaitu suatu ijab yang dilakukan oleh pihak wali perempuan yang kemudian
diikuti dengan qabul dari bakal suami dan disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua pria
dewasa.
Hubungan beda umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia.
Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk,
khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan beda umat beragama
ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen
lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non
Islam. Di tengah-tengah masyarakat apalagi di kalangan orang yang berkecukupan dan
kalangan selebriti sering terjadi pernikahan beda agama, bedaa pria muslim menikah dengan
wanita non muslim atau sebaliknya si wanita muslim menikah dengan pria non muslim.
Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat
mengagungkan perbedaan agama. Dari fenomena di atas penulsi akan menjelaskan
problematika hukum Islam tentang Nikah beda agama dari sudut pandang MUI dan para
ulama.
B. Syarat rukun nikah
Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh
manusia, hewan bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karena menurut para Sarjana Ilmu Alam
1
Nur Paikah, Studi Komparasi Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional dan Fikih, ALSYAKHSaHIYYAH:
Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, Vol. 1; No. 1; Juni 2019, hlm. 86.
mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan. Manusia diciptakan
dengan jenis yang berbeda, yaitu lelaki dan perempuan, dimana keduanya ini diberi naluri
untuk saling tertarik dan mencintai.2
Perkawinan dalam perspektif ajaran Islam, dipahami sebagai sarana yang sangat sacral
dan sarat dengan kemuliaan, keagungan, dan keutamaan dalam upaya menjaga marwah, dan
kehormatan. Karena melalui media pernikahan, seseorang dapat menjaga dan memelihara
diri dari pelbagai hal yang di haramkan. Dalam kaitan itu, Rasulullah SAW memberikan
ajaran agar umat Islam segera menikah dan mempermudah jalan untuk menuju pernikahan.3
Perkawinan sebagai salah satu syariat Islam merupakan ketetapan Allah atas segala
makhluk. Perkawinan merupakan cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia
untuk berkembang biak dan melestarikan kehidupannya setelah masing - masing pasangan
siap melakukan perannya yang aktif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Secara
etimologis, perkawinan adalah pencampuran, penyelarasan, atau ikatan. Adapun secara
terminologis, perkawinan dan pernikahan menurut para fuqaha adalah sama. Inti dari
keduanya yaitu suatu akad demi suatu kenikmatan secara sengaja maupun suatu akad yang
dilakukan oleh suami dan istri untuk dapat menjalani kehidupannya dengan nikmat dan tetap
sesuai ketentuan syariat.
Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan
adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad, dari lima rukun nikah,
pertama, adanya mempelai laki-laki. Kedua, adanya mempelai perempuan. Ketiga adanya
wali. Keempat ada dua orang saksi dan kelima ijab qabul, Rukun nikah yang harus dipenuhi
sebelum pernikahan itu dilaksanakan, antara lain adalah wali nikah. Wali ada yang umum
ada yang khusus, yang khusus ialah wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam
pernikahan. Meskipun wali merupakan sesuatu yang mutlak dalam pernikahan namun tidak
semua orang dapat menjadi wali dalam suatu pernikahan. Ada beberapa syarat yang harus
terpenuhi sehingga orang tersebut berhak menjadi wali dalam suatu pernikahan.4
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 menyatakan bahwa suatu perkawinan baru sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Ini berarti
bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah

2
Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, 2nd edn (Yogyakarta: Pro -U Media, 2007). 23
3
Oyo Sunaryo Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, 1st edn (Bandung: Refika Aditama, 2015).hlm 94 4
4
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003).hlm 150
dilaksanakan, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan
kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada
Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan. Menurut pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan,
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pencatatan pernikahan sebagai bentuk ijtihad sebagai syarat tertibnya administrasi
perkawinan di Indonesia.5
C. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Nikah Beda Agama
Atas dasar pertimbangan maslahat dan mafsadat MUI mengeluarkan fatwa pengaharaman
seorang Muslim/Muslimah menikah dengan non Muslim/non Muslimah. Fatwa MUI
tersebut dianggap resisten dan dinilai oleh sebagian pemerhati gender sebagai sebuah bentuk
ketidakadilan gender. Hal tersebut memunculkan sederetan pertanyaan: Apakah fatwa MUI
yang berisi larangan bagi wanita Muslimah menikah dengan pria non Muslim (dan
sebaliknya) dan larangan bagi lelaki Muslim untuk menikahi wanita Ahl al-Kitāb itu sesuai
dengan konsep maslahat (al-maslahah al-mursalah) yang dikehendaki oleh tujuan syariat?
Sejauhmana kontribusi fatwa MUI tersebut dalam membangun kemaslahatan dan mencegah
muḍārat dalam konteks negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945?
Makna al-maṣlaḥah al-mursalah menurut al-Shāṭibī, yaitu maslahat yang tidak
ditunjukkan oleh dalil yang mendukung kebenarannya atau membatalkannya, dan ia sesuai
dengan syarak. Artinya, di dalam maslahat itu ada aspek atau jenis yang dibenarkan oleh al-
Shāri‘ dalam masalah lain tanpa adanya dalil tertentu, yaitu istidlāl al-mursal yang
dinamakan juga dengan almaṣlaḥah al-mursalah.6 Ini dapat dimaknai bahwa tidak mungkin
ada pertentangan antara nas yang sahih dan maslahat, karena nas itu merupakan petunjuk
untuk kemaslahatan.
Fatwa MUI yang berisi pelarangan bagi Muslim menikah dengan non Muslimah dan wanita
Muslimah dengan pria non Muslim perlu dilihat dengan mempertimbangkan beberapa
aspek. Pertama, teks Alquran yang melarang dan yang terkesan membolehkannya, serta
informasi historis dari praktek Rasulullah dan sebagian sahabat. Kedua, posisi MUI sebagai

5
Harpani Matnuh, ‘Perkawinan Dibawah Tangan Dan Akibat Hukumnya Menurut Hukum Perkawinan Nasional’,
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 6.11 (2016).hlm 899
6
Abū Isḥāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Lakhmī al-Shāṭibī, alI‘tiṣām II, (Riyāḍ: Maktabah al- Riyāḍ alḤadīthah, t.th.), hlm.
115.
pelayan ummat (khādim al-ummah). Ketiga, konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keempat, pasal-pasal dalam Undang-Undang
yang mengatur perkawinan. Kelima, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur
perkawinan bagi umat Islam. Menyimak Fatwa MUI tentang larangan perkawinan beda
agama dalam merespon berbagai tantangan perkembangan iptek modern yang memudahkan
terjadinya interaksi dan komunikasi umat manusia. Dengan perkembangan iptek, manusia
mudah melakukan interaksi dan komunikasi dengan berbagai pihak yang tidak hanya sesama
suku bangsa atau sesama pemeluk agama yang sama, dan pada perkembangan selanjutnya
mereka ada yang berkeinginan mengikat hubungannya secara legal melalui pernikahan. 7

Selain karena tantangan iptek, masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah
apabila telah mendapat pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu
sering berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang lain. Mengingat di
Indonesia diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan
apabila sering dijumpai atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda
agama atau kepercayaan. Namun, Islam sebagai agama dakwah menghadapi peluang -
berdakwah melalui pernikahan- di satu sisi, dan tantangan di sisi yang lain (ancaman
terhadap akidah). Dalam merespon hal tersebut, maka MUI mengeluarkan fatwa: (1)
Perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non Muslim adalah haram hukumnya. (2)
Seorang lelaki Muslim dilarang berkawin dengan wanita non Muslimah. Tentang
perkawinan antara lelaki Muslim dengan wanita Ahl alKitāb terdapat perbedaan pendapat.
Setelah memperhatikan mafsadatnya lebih besar daripada mashlahatnya, maka MUI
menfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.
Akar historis pengharaman tersebut dapat ditemukan pada kebijaksanaan ‘Umar ibn al-
Khaṭṭāb, yaitu ketika ia memerintahkan Ḥudhaifah ibn al-Yaman untuk menceraikan wanita
Yahudi yang telah dinikahinya karena menimbulkan kesan negatif, dan tidak dapat
direalisasikan tujuan perkawinan. Oleh karena itu, fatwa MUI tersebut didasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan, yakni untuk menutup jalan timbulnya sesuatu yang
membahayakan (tindak preventif), khususnya pada tujuan syariat untuk memelihara akidah.
Fatwa MUI tentang pelarangan seorang Muslim dan atau Muslimah menikah dengan non
7
Muhammad Yusuf, Pendekatan Al-Maslahah Al-Mursalah Dalam Fatwa Mui Tentang Pernikahan Beda Agama,
Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013, hlm. 102.
Muslim adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai institusi dan sebagai pelayan masyarakat
(khādim al-ummah) yang mewakili orang banyak, sehingga pertimbangannya didasarkan
pada mashlahat ḍarūriyyat al-‘āmmat. Jika MUI mengeluarkan fatwa berdasarkan hal-hal
yang bersifat kasuistik, malah justru akan menimbulkan mafsadat yang sejatinya diantisipasi
oleh syariat. Mafsadat itu bisa dalam bentuk rusaknya tatanan masyarakat, kacaunya
lembaga perkawinan dan terjadinya pemurtadan melalui perkawinan.
Dapat dipahami bahwa pernikahan seorang Muslim dan non Muslimah, khususnya Ahl
al-Kitāb pada awalnya boleh dan legal, tetapi karena suatu pertimbangan siyāsah shar‘iyyah,
dan demi menutup pintu munculnya fitnah dan bahaya yang lebih besar yang bertentangan
dengan maqāṣid al-syar’iyyah, maka kebolehan itu diperketat, bahkan ditutup. Bagi pihak
tertentu yang mempunyai pemahaman dan komitmen keislaman yang lebih baik dan atas
dasar pertimbangan maslahat yang lebih besar serta langkah preventif terhadap mafsadat,
maka hal itu tetap dibolehkan dengan syarat yang ketat. Akan tetapi demi maslahat pula,
MUI tidak patut menfatwakan kebolehan tersebut. Fatwa pelarangannya dapat dipahami,
yaitu karena posisinya sebagai lembaga yang tidak hanya mewakili individu atau kasus
tertentu saja, melainkan sebagai pelayan masyarakat (khādim alummah) Muslim Indonesia.
Berdasar Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang
Perkawinan Beda Agama mentapkan Fatwa Tentang Perkawinan Beda Agama 1.
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2. Perkawinan laki-laki muslim dengan
wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.8
D. Pendapat Ulama tentang Hukum Seorang Muslim Nikah dengan Wanita Ahl alKitab
Dalam masalah perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab, dikalangan ulama
terjadi perbedaan pendapat mengenai status hukumnya disebabkan perbedaan pendapat
mereka tentang kedudukan wanita ahli kitab tersebut. Menurut Ibnu Hasan, hukum
menikahi wanita ahli kitab yang merdeka dan tidak berzina berdasarkan zhahir ayat adalah
halal, baik wanita itu kitabnya dzimmiyyah maupun harbiyyah. Lafal almusyrikin tidak
mencakup ahli kitab. Oleh sebab itu, kehalalan menikah dengan wanita ahli kitab adalah
takhshis atau istitsna dari larangan menikahi wanita-wanita musyrik pada umumnya.
Para empat imam mazhab pada prinsipnya juga mempunyai pandangan yang sama bahwa
wanita ahli kitab boleh dinikahi, walaupun ia berkeyakinan bahwa Isa adalah tuhan atau
8
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan
Beda Agama, dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M
menyakini kebenaran trinitas. Padahal yang terakhir ini jelas syirik yang sangat nyata. Akan
tetapi karena ia mempunyai kitab samawi, ia pun halal dinikahi sebagai takhshis dari surat
al-Baqarah: 221 dengan pen-takhshis-nya suarat al-Maidah: 5. Walaupun boleh, para
fuqaha’ tersebut tampaknya juga kurang menghendaki kebolehan tersebut diberlakukan
secara massal. Mereka menambahkan, kendati pada dasarnya boleh, tetapi lebih cenderung
kepada makruh bila si laki-laki muslim tidak aman dari usaha—usaha istrinya yang kitabnya
dari fitnah dan cobaan pemalingan dan pengubahan keyakinan agama.
Begitu juga dengan Mahmud Syaltut bahwa laki-laki muslim yang kuat imannya, baik
budi pekerti, maupun memimpin rumah tangganya dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan
yang diridai Tuhan, dibolehkan menikah dengan wanita ahli kitab. 9Namun sebaliknya, tidak
dibolehkan menikahi ahli kitab bagi laki-laki muslim yang lemah imannya, tidak baik budi
pekertinya, tidak mampu memimpin rumah tangganya, dan tidak mampu membimbing anak-
anaknya dan keluarganya ke jalan yang diridahi Tuhan. Bahkan Syaltut memandang wajib
untuk melarang perkawainan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, bila si suami
muslim yang karena merasa lemah, melepaskan hak dan kedudukannya, serta
menyerahkannya kepada istrinya yang bukan islam itu. Dalam hal ini, pemerintah yang
berpegang pada ajaran islam wajib mencegah dan melarang perkawinan laki-laki muslim
dengan wanita ahli kitab karena kebanyakan suami muslim saat ini tunduk pada istri-istrinya
dapat merusak kelurga dan kebangsaan mereka.
Sementara Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa setelah turun ayat “Dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi alkitab sebelum
kamu” (al-Ma’idah: 5), maka beberapa orang sahabat menikahi wanita nasrani. Dengan
berpegang dengan ayat ini, mereka menganggap bahwa hal itu tidak buruk karena mereka
menjadikan ayat tersebut sebagai mukhassis terhadap ayat “Dan janganlah kau menikahi
wanita musyrik sebelum mereka beriman” (al-Baqarah:221) Selanjunya, dalam tafsir al-
Manar dijelakan bahwa para ulama memang mempermasalahkan apakah hukum menikahi
wanita ahli kitab tersebut boleh secara mutlak sebagaimanapun keadaan dan keturunan
mereka atau boleh dengan syarat yaitu sebelum adanya perubahan atau penyimpangan.
Keharaman menikahi wanita ahli kitab yang sudah penyimpangan. Keharaman menikahi

9
Basorudin, SKRIPSI, “Pernikahan Beda Agama dalam Pemikiran Muslim (Studi Komparasi antara Mahmūd Syalţuţ
Dan Quraish Shihab), (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004)
wanita ahli kitab yang sudah menyimpang disebabkan kemusyrikan mereka sebagaimana
disebut dalam al-Qur’an.

‫اِتَّخَ ُذ ْٓوا اَحْ بَا َرهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم اَرْ بَابًا ِّم ْن ُدوْ ِن هّٰللا ِ َو ْال َم ِسي َْح ا ْبنَ َمرْ يَ ۚ َم َو َمٓا اُ ِمر ُْٓوا اِاَّل لِيَ ْعبُ ُد ْٓوا‬
َ‫احد ًۚا ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل هُ ۗ َو ُسب ْٰحنَهٗ َع َّما يُ ْش ِر ُكوْ ن‬
ِ ‫اِ ٰلهًا َّو‬
“mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah
Swt. Dan (jangan mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka
hanya disuruh menyembah tuhan yang Esa, tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah Swt. Dari apa yang mereka persekutukan” (at-Taubah:31).

Adapun Ibrahim Hosen, sebelum menyimpulkan status hukum pernikahan pria


muslim dengan wanita ahli kitab, ia mengemukakan terlebih dahulu perbedaan pendapat
para ulama terdahulu yang secara garis besar dikelompokkan pada tiga golongan.10

Pertama, golongan yang berpendirian bahwa menikahi Wanita ahli Kitab


(Yahudi dan Nasrani) halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini ialah
Jumhur’Ulama. Pendirian mereka disadarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:

‫ب ِحلٌّ لَّ ُك ْم َۖوطَ َعا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَّهُ ْم‬ َ ‫ت َوطَ َعا ُم الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ ُ ۗ ‫اَ ْليَوْ َم اُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّ ٰب‬
‫ب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم اِ َذٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ هُ َّن‬َ ‫ت ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ُ ‫ص ٰن‬ ِ ‫ت ِمنَ ْال ُمْؤ ِم ٰن‬ ُ ‫ص ٰن‬ َ ْ‫َۖو ْال ُمح‬
ٗ‫ي اَ ْخدَا ۗ ٍن َو َم ْن يَّ ْكفُرْ بِااْل ِ ْي َما ِن فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُه‬
ْٓ ‫صنِ ْينَ َغي َْر ُم َسافِ ِح ْينَ َواَل ُمتَّ ِخ ِذ‬ ِ ْ‫اُجُوْ َرهُ َّن ُمح‬
َ‫َۖوهُ َو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين‬

“Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara


orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum islam), maka hapuslah amalnya dan ia di hari kiamat termasuk orang-
orang yang merugi”. (al-Maidah:5).

10
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumudin Indonesia, 1971), hlm. 201.
Ayat di atas mengemukakan tentang halalnya menikahi wanita ahli Kitab. Selain
itu sejarah telah membuktikan bahwa beberapa sahabat nabi pernah menikahi wanita ahli
Kitab. Hal ini menunjukkan bahwa menikahi wanita ahli Kitab halal hukumnya.

Kedua, golongan yang berpendirian bahwa menikahi wanita ahli Kitab hukumnya
haram. Pendapat ini dipelupori oleh Ibnu Umuar dan perndapat ini juga menjadi
pegangan golongan Syi’ah Imammiyah. Adapun dalil-dalil yang menjadi pegangan
mereka sebagai berikut:

‫َواَل تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َح ٰتّى يُْؤ ِمنُوْ ا‬

“Dan janganlah kamu wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman..”(Al


Baqarah:221).

 ‫ص ِم ْال َك َوافِ ِر‬


َ ‫َواَل تُ ْم ِس ُكوْ ا بِ ِع‬

“…Dan janganlah kamu tetap berpegangan pada tali (perkawinan) dengan


perempuan-perempuan kafir…”(Al Mumtahanah:10).

Kedua ayat diatas secara tegas mengandung larangan menikahi wanita-wanita


kafir. Ahli Kitab temasuk golongan orang yang kafir Musyrik karena orang Yahudi
menuhankan ‘Uzair dan orang Nasrani menuhankan Isa ibn Maryam, Sedangkan dosa
syirik tidak diampuni oleh Allah SWT. Jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT,
sebelum mereka mati.

Adapun ayat “wa al-muhshanat minalladzina utu al-Kitab..” menurut golongan ini
hendaklah di-ihtimal-kan kepada pengertian bahwa kebolehan menikahi ahli kitab adalah
pada masa (keadaan) wanita-wanita islam yang sedikit jumlahnya.

Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa menikahi wanita ahli kitab halal
hukumnya, tetapi siyasat tidak menghendakinya. Padangan ini berdasarkan peristiwa
Umar ibn al-Khattab ra yang pernah berkata para sahabat yang menikahi ahli
Kitab.:”Ceraikanlah mereka itu!” perintah Umar ini dipatuhi oleh para sahabat, kecuali
Hudzaifah. Karena itu Umar mengulangi lagi perintah agar Hudzaifah menceraikan
istrinya. Lalu Hudzaifah berkata: “Maukah engkai menjadi saksi bahwa menikahi wanita
ahli kitab hukumnya haram?” Umar berkata: “Ia akan menjadi fitnah, ceraikanlah!”
kemudian Hudzaifah berkata lagi: “Maukah engkau menjadi saksi bahwa ia adalah haram
?” Umar menjawab lagi dengan singkat: “Ia akan menjadi fitnah.” Akhirnya Hudzaifah
berkata: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia adalah fitnah.” Tetapi ia adalah halal bagiku.”
Setelah Hudzaifah meninggalkan Umar, barulah istrinya itu di cerainya. Lantas
Hudzaifah ditanya orang “mengapa engkau tidak men-thalaq istrimu ketika diperintah
oleh Umar?” Huzaifah menjawab: “karena aku tidak ingin diketahui orang bahwa aku
melakukan sesuatu yang tidak layak.”

Selain itu ditambah juga bahwa menikahi wanita ahli kitab tersebut akan
berbahaya karena dikhawatirkan kalau nantinya si suami akan terikat hatinya, apalagi
setelah mereka mempunyai keturunan. Dalam menanggapi pendapat-pendapat dari ketiga
golongan di atas, Ibrahim Hosen tampaknya cenderung pada pendapat terakhir dengan
tambahan argumen yang maksud dengan wanita ahli Kitab ialah tidak membayar jizyah
tetap berlaku padanya hukum perang sebagimana dimaksud oleh surat at-Taubah ayat 29.

ٗ‫قَاتِلُوا الَّ ِذ ْينَ اَل يُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َواَل بِ ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ِر َواَل ي َُحرِّ ُموْ نَ َما َح َّر َم هّٰللا ُ َو َرسُوْ لُه‬
َ‫اغرُوْ ن‬
ِ ‫ص‬َ ‫ب َح ٰتّى يُ ْعطُوا ْال ِج ْزيَةَ ع َْن يَّ ٍد َّوهُ ْم‬ َ ‫ق ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ ِّ ‫َواَل يَ ِد ْينُوْ نَ ِد ْينَ ْال َح‬

“Perangilah orang-orang yang tidak beiman kepada Allah Swt, dan tidak (pula)
kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan yang
benar(agama Allah Swt), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk” (at-Taubah: 29)
Selain itu, ia memperkuat pandangannya dengan mengambil qaul mu’tamad
dalam mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa wanita ahli kitab yang halal dinikahi
oleh orang muslim ialah wanita yang menganut agama Nasrani dan yahudi sebagai
agama keturunan dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut
semenjak sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi rasul (yakni sebelum al-Qur’an
diturunkan). Tegasnya, orang yang baru menganut agama Yahudi dan Nasrani
sesudah al qur’an diturunkan, mereka itu tidaklah dianggap ahli kitab karena terdapat
perkataan “min Qablikum” (dari masa sebelum kamu) dalam ayat “wa al-Muhanat...
(al-Maidah:5)”. Perkataan “min Qablikum” tersebut menjadi Qaid bagi ahli kitab
yang dimaksud. Jadi jalan pikiran dari mazhab Syafi’i ini mengakui bahwa ahli kitab
itu bukan kerana agamanya, melainkan karena kehormatan asal keturunannya.
Oleh sebab itu Ibrahim Hosen menegaskan bahwa kalau diterapkan di Indonesia,
maka mereka akan menganut Yahudi dan Nasrani sesudah tutunnya alQur’an tidak
termasuk kedalam hukum ahli kitab. Tidak halal bagi muslim Indonesia menikahi
wanita-wanita Yahudi atau Nasrani seperti itu, termasuk juga tidak halal memakan
makanan yang dipotong atau (disembelih) oleh mereka.
Dengan demikian dalam hal ini Ibrahim Hosen telah melakukan tarjih antara
pendapat yang membolehkan secara mutlaq (Jumhur), yang mengharamkan secara
mutlaq (Ibnu Humar dan Syi’ah Imamiah), dan yang menghalalkan tapi syiasat tidak
menghendakinya, di sini ia memperkuat pandapat yang terakhir melalui pendekatan
sejarah dengan kriteria ahli kitab sebagi yang disebutkan langsung dalam al-Qur’an
(alMaidah: 5), yaitu keturunan wanita ahli kitab sebagai terdahulu sebelum turunnya
alQur’an jadi ahli kitab yang diakui hanyalah ahli kitab sebelum turunnya al-Qur’an.
sementara keterunannnya setelah itu, bagi yang tinggal di negara Islam atau
pemerintahan Islam tapi tidak membayar Jizyah, maka merekapun juga tidak
dianggap golongan ahli kitab.
Oleh sebab itu, wanita beragama Nasrani dan Yahudi yang seperti itu tidak
termasuk kedalam kriteria ahli kitab dan haram untuk dinikahi. disamping itu,
menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani tersebut juga mengandung resiko besar
yang bisa mempengaruhi kecendrungan suami pada agama istri dan berubahnya
akidah anakanaknya kelak hal itu disebabkan mereka termasuk golongan kafir
musyrik sebagai mana dijelakan dalam surat al-Mumtahanah ayat 20 dan al-Baqarah
ayat 221 karena orang Yahudi menuhankan ‘Uzair dan orang Nasrani orang Yahudi
menuhankan ‘Uzair dan orang Nasrani menuhankan Isa Ibn Maryam jadi kalupun ada
wanita ahli kitab masa kini yang tinggal di negara islam yang telah membayar jizyah,
wanita itupun haram untuk dinikahi, hanya saja status keharamannya li sadd al-
adzari’ah.11

11
Toha andiko, Fiqh Kontemporer, (Bogor: Penerbit IPB Perss, 2014), h.155-162
E. Penutup
Pada realitasnya, pernikahan beda agama di Indonesia sudah banyak terjadi. Ini
menunjukkan bahwa pernikahan beda agama tetap berjalan, walaupun kontroversial.
Di satu sisi dihadapkan dengan hukum Islam, dan di sisi lain ada regulasi sebagai
hukum positif, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.
Didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan, yaitu tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat pernikahan
beda agama, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan haram menikahi orang yang
beda agama baik laki-laki maun perempuan. Para ulama dalam memberikan
pendapatnya mengenai perkawinan beda agama pun bermacam-macam. Ada yang
membolehkan secara mutlak, ada yang mengharamkan, ada yang hanya menghukumi
makruh, dan adapula yang membolehkan secara syraiat tapi mengharamkan secara
siyasah tidak membolehkan.
Secara regulatif, pernikahan beda agama di Indonesia tidak memiliki kekuatan
hukum, sebab ketentuan perundag-undangan tidak melegalkan hal ini. Melakukan
pernikahan beda agama berarti tidak mengindahkan Undang-Undang dan peraturan
yang berlaku di negeri ini. Berdasarkan perspektif hukum Islam dan hukum positif,
pernikahan beda agama dipandang lebih besar madaratnya dari pada maslahatnya.
Multi keyakinan dalam sebuah keluarga dapat menyebabkan banyak gesekan, apalagi
jika sudah menyangkut praktik ibadah yang tidak dapat dicampur adukan.
DAFTAR PUSTAKA
Nur Paikah, Studi Komparasi Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional
dan Fikih, ALSYAKHSaHIYYAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan,
Vol. 1; No. 1; Juni 2019, hlm. 86.
Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, 2nd edn (Yogyakarta: Pro-U
Media, 2007)
Oyo Sunaryo Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, 1st edn (Bandung: Refika
Aditama, 2015)
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003)
Harpani Matnuh, ‘Perkawinan Dibawah Tangan Dan Akibat Hukumnya Menurut
Hukum Perkawinan Nasional’, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 6.11 (2016)
Abū Isḥāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Lakhmī al-Shāṭibī, alI‘tiṣām II, (Riyāḍ: Maktabah
al- Riyāḍ al-Ḥadīthah, t.th.)
Muhammad Yusuf, Pendekatan Al-Maslahah Al-Mursalah Dalam Fatwa Mui
Tentang Pernikahan Beda Agama, Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005
Tentang Perkawinan Beda Agama, dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada
19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M
Basorudin, SKRIPSI, “Pernikahan Beda Agama dalam Pemikiran Muslim (Studi
Komparasi antara Mahmūd Syalţuţ Dan Quraish Shihab), (Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004)
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumudin Indonesia,
1971), Toha andiko, Fiqh Kontemporer, (Bogor: Penerbit IPB Perss, 2014)

Anda mungkin juga menyukai