Anda di halaman 1dari 10

NIKAH BEDA AGAMA

Oleh :
Normawati
Email : normawatichaca@gmail.com
Program Studi Hukum Keluarga Islam IAIN Ternate

Dosen Pengampu
Dr. Muhammad Wardah, M.Ag.

Abstrak
Dewasa ini, perbincangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sangat gencar
dibicarakan. Hal ini berawal dari kuatnya paham liberalisme yang dibawa-
bawa oleh bangsa Barat. Kendati nilai-nilai HAM bersifat universal, namun
beberapa hal masih menjadi perdebatan terkait dengan implementasi HAM
tersebut. Salah satunya ialah hak untuk melangsungkan pernikahan dengan
kondisi pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Allah SWT menciptakan
manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan
pasangan. Kebutuhan akan pasangan tersebut dalam Islam diatur melalui akad
pernikahan. Pernikahan selain dapat mengatur hubungan suami istri, juga
memiliki tujuan melestarikan keturunan. Selain itu, pernikahan mengakibatkan
terjadinya hubungan saling mewarisi. Dengan demikian, adanya ketentuan
hukum atau perundang- undangan pernikahan sangat dibutuhkan. Islam,
selain menjadi fitrah kemanusiaan juga menjadi agama yang sangat
menghargai segala aktifitas manusia, selama tidak bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri. Bahkan aktifitas tersebut seringkali dimasukkan dan diatur
sedemikian rupa di dalam ajarannya, salah satunya adalah masalah
pernikahan.
Kata Kunci : Nikah Beda Agama

Abstract
Today, the conversation about Human Rights (HAM) is very intensively
discussed. This started from the strong understanding of liberalism that was
carried around by Western nations. Even though human rights values are
universal, several things are still being debated regarding the implementation of
these human rights. One of them is the right to enter into a marriage with the
condition that the partner has a different religion. Allah SWT created humans
1
consisting of men and women who need each other's partners. The need for this
partner in Islam is regulated through a marriage contract. Marriage besides
being able to regulate husband and wife relations, also has the aim of preserving
offspring. In addition, marriage results in a mutual inheritance relationship.
Thus, the existence of legal provisions or marriage legislation is needed. Islam, in
addition to being human nature, is also a religion that really appreciates all
human activities, as long as it does not conflict with the teachings of Islam itself.
Even these activities are often included and arranged in such a way in his
teachings, one of which is the issue of marriage.

Keywords: Interfaith Marriage

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan bagi umat manusia merupakan sesuatu yang dianggap sakral
dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari
ketentuanketentuan yang ditetapkan syariat agama. Orang yang
melangsungkan pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu
jasmaniah saja, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap
saling mengayomi diantara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang.
Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada
hukum apa pun nama atau sebutannya yang mengatur pergaulan hidup
mereka. Membahas tentang masalah praktik pernikahan beda agama
merupakan sebuah realitas dan sudah dianggap lazim di mana-mana. Di
Indonesia pun, banyak pasangan suami istri berbeda agama, dan mereka
tampak hidup rukun. Dari sini ada semacam anggapan dan usulan, dari
sementara pihak, bahwa perbedaan agama bukan penghalang bagi seseorang
untuk menikah. Alasannya, perkawinan adalah hak asasi.3 Dalam hal ini,
pernikahan bukan hanya masalah sosial kemanusiaan belaka, tatpi pernikahan
jiga merupakan ibadah, di mana konsekuensinya juga panjang sampai ke
akhirat. Dalam Islam, seorang pemimpin keluarga (suami/istri) bertanggung
jawab terhadap diri, pasangan dan juga keturunannya. Di samping itu, terlepas
dari persoalan pengawasan orang tua, pasangan berbeda agama ini bertekad

2
melanjutkan rencananya untuk menikah. Masalahnya adalah mencarikan jalan
terbaik yang sesuai dengan tuntunan Islam. Yang perlu ditekankan di sini
bahwa pernikahan itu merupakan syari’at, bukan semata-mata urusan
keduniaan. Karenanya, semua masalah harus diselesaikan dalam koridor
syari’at.
Di Indonesia, masalah pernikahan telah diatur dalam Pasal 1 UU No. 16
Tahun 2019 perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di samping itu, pernikahan
bukan hanya hubungan antara dua orang laki-laki dan perempuan yang saling
mencintai, namun terdapat esensi serta aturan yang harus dijalani setiap
individu baik terkait hukum, sosial, maupun agama. Sehingga dengan berbagai
pertimbangan para ulama dan ahli hukum di Indonesia, pernikahan beda
agama adalah dilarang. Namun, realita masalah pernikahan beda agama masih
terjadi di tengahtengan masyarakat sampai saat ini. Maka, tidak bisa
dipungkiri dalam hal tersebut selalu memunculkan banyak perspektif, baik
dari para mufassir, pembuat kebijakan dan negara. Dengan demikian, antara
fenomena, realitas dan teori belum meminimalisir sebuah kenyataan
pernikahan beda agama oleh karena perbedaan penafsiran dan kebijakan baik
secara tertulis di dalam al-Quran atau hukum undang-undang itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam Jurnal ini, Bagaimana
status hukum pernikahan beda agama ?
C. Metode Penelitian
Jenis Penelitian Jika ditinjau dari lokasi sumber datanya, penelitian ini termasuk
penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan merupakan penelitian
yang dilakukan untuk mencari dimana peristiwa-peristiwa yang menjadi objek
penelitian berlangsung, sehingga mendapatkan informasi langsung dan terbaru
tentang masalah yang berkenaan, sekaligus sebagai cross checking terhadap
bahan-bahan yang telah ada.
PEMBAHASAN
A. Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
3
Pada dasarnya pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk
memberikan lakilaki hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan
seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang
hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi perkawinan dalam Islam
memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis
semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis. Karena
didalam pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak,
masyarakat bahkan kepada Allah.
Hukum pernikahan menurut jumhur ulama’ adalah sunnah, sementara
menurut pendapat sebagian besar pengikut Maliki menyatakan bahwa hukum
pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan
sebagian lain menyatakan mubah. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan
adanya shighat amr (tanda perintah) dalam
firman Allah swt, QS an-Nisa:4 (3) yang berbunyi:
Terjemahan: nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi

Selain itu juga ada hadist nabi Muhammad SAW yang mengatakan: “
tanaakahuu fa inni mukatsirun bikumul umam”
Tanda perintah dua dasar hukum dalam Islam inilah yang menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut
mazhab Maliki. Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqoroh :221
yang menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka
beriman. Selain itu didalam surat Al- Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya
larangan mengembalikan wanita Islam yang hijrah dari makkah ke madinah
kepada suami mereka di makkah dan meneruskan hubungan rumah tangga
dengan perempuan kafir.
Meski secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda
agama dalam teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya
kesempatan untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara
umat Islam dengan wanita ahli kitab, pembolehan pernikahan dengan ahli
kitab ini dimuat dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menerangkan bahwa
adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum muslim.
Dari beberapA dasar ayat al-Qur’an diatas, dapat ditarik kesimpulan

4
bahwa pada dasarny hukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama.
Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki pengaturan tersendiri terkait
dengan pernikahan beda agama. Agama Kristen/Protestan memperbolehkan
pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-
masing pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan pernikahan
beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat
tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan
mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu
melarang keras pernikahan beda agama.
Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu: Pernikahan dengan Non Muslim/ kafir dan Pernikahan dengan
ahli kitab. Dalam pembedaan dua kategori antara non muslim/kafir dengan
ahli kitab ini memang terdapat sebuah pembedaan yang menimbulkan
konsekuensi dalam hukumnya, non muslim/ kafir adalah orang-orang yang
mengingkari Tuhan,6 sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang
menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti
Taurat, Injil , dan Zabur.
1. Pernikahan Dengan Non Muslim/ Kafir
Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para
ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh
pakar Al-Qur’an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang
bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak
mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah
agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur’an
menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam
QS. surat Al-Hajj: 17

5
Terjemahan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-
orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari
kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

Dari ayat Al Qur’an diatas, terdapat lima kelompok yang dikategorikan


sebagai non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah atau ashShabiin, al-
Majus, al-Musyrikun. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, Yahudi adalah kaum bangsa Israel yang mengamalkan ajaran nabi
Musa/Taurat. Kedua, Nasrani/Nashara yang diambil dari nama Nashiroh
(tempat lahir nabi Isa), mereka adalah kelompok yang mengajarkan ajaran nabi
Isa. Ketiga, Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh planet
terhadap alam semesta. Keempat, Al-Majus yaitu para penyembah api yang
mempercayai bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan
Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik
dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya, dan Al-
Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah SWT, tapi dalam ritual
mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan berhala,
matahari dan malaikat.
Dari pengertian Non muslim/kafir diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa lawan dari kata kafir adalah mukmin, orang yang mengimani Allah.
Dalam surat Al-Mumtahanah dijelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap
meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka
beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non
muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama. Lebih lanjut, Ibnu
Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir
juga didasarkan pada surat Al-Baqaroh: 221. Beliau menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala.
Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan
Instruksi Persiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim
melakukan perkawinan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf

6
c KHI. Sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam
pasal 44 KHI. Secara Normatif larangan menikah beda agama ini tidak menjadi
masalah, karena hal tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur’an yang
disepakati oleh para fuqaha.
2. Pernikahan Dengan Ahli Kitab
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan
orang Nasrani keturunan orangorang Israel, tidak termasuk bangsabangsa lain
yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh
imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada
bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam
Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa
siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah
diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian
Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab
dan dapat diduga sebagai kitab suci. Pendapat terakhir ini kemudian diperluas
lagi oleh para ulama’ kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama
yang ada di Indonesia seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama’
Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami
dan mepelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama,
beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan
dinikahi yang disebutkan dalam Al-Qur’an QS Al-Baqaroh: 221 adalah wanita
musyrik arab.
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga
didukung oleh pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa QS Al-
Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS Al-Baqaroh: 221,
sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan30. Pendapat ini
juga mendapat dukungan dari Syafi’iyyah yang menolak bahwa QS Al-
Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat Al-Baqaroh:221, akan tetapi
mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria
tertentu.Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan
oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan
bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS Al-baqaroh: 221 yang
kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus. Senada dengan
7
pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman
beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena
keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.
Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya
para ulama’ Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum pernikahan
beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita
non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi
terhadap huku pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram.
Di Indonesia yang dijadikan landasan hukum oleh Majelis Ulama Indonesia
dalam menetapkan larangan nikah beda agama, seluruhnya terdiri atas
kutipan-kutipan dari Al-quran dan Hadis. Ayat Alquran pertama yang dikutip
adalah QS al-Baqarah ayat 221 mengenai larangan pernikahan seorang pria
muslim atau wanita muslimah dengan seorang musyrik. Yang kedua QS al-
Ma’idah ayat 5 tentang diizinkannya seorang pria muslim menikah dengan
wanita ahlulkitab (Yahudi dan Kristen). Yang ketiga QS al-Mumtahanah ayat
10 seputar larangan pernikahan seorang wanita muslimah dengan seorang
kafir. Yang keempat QS al-Tahrim ayat 6 tentang perintah untuk mencegah
diri dan keluarganya agar tidak terjerumus ke neraka. Sedangkan hadis-hadis
yang dikutip antara lain:
“Apabila seseorang telah menikah, ia telah memelihara sebagian dari imannya,
maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam sebagian yang lainnya”. (Riwayat
Thabrani).
Lahirnya fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia yang melarang kaum muslimin
pria dan wanita untuk menikah dengan orangorang bukan Islam, bahkan juga
orang-orang ahlulkitab (Yahudi dan Kristen), rupanya telah didorong oleh
kesadaran akan adanya persaingan keagamaan, kendatipun ada pernyataan
khusus alquran yang memberikan izin kepada kaum pria muslim untuk
menikahi kaum wanita ahlulkitab. Hal ini boleh jadi, bahwa persaingan itu
sudah dianggap oleh para ulama telah mencapai titik rawan bagi kepentingan
pertumbuhan masyarakat Islam, sehingga pintu bagi kemungkinan
dilangsungkannya pernikahan beda agama harus ditutup sama sekali. Maka
dari itu larangan nikah beda agama di Indonesia secara regulatif adalah kuat.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwasanya
8
pernikahan beda agama yang dilakukan dahulu, dimana perempuan masih
dianggap lemah serta selalu tunduk terhadap laki-laki. Sehingga bila laki-laki
muslim menikahi perempuan non muslim (ahlu kitab), hal itu disebabkan
dakwah.
Sedangkan, bila dibandingkan dengan saat ini, dimana perempuan tidak
lagi dibedakan dengan kaum laki-laki. Disamping itu, perempuan saat ini
telah mandiri, bahkan dan bisa tidak bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang telah
merka yakini. Maka dari itu, menyimpulkan bahwa suatu pernikahan bagi
umat Islam bukan hanya masalah cinta, namun harus bertujuan untuk
membangun kebahagiaan bukan hanya di dunia namun juga diakhirat kelak.
Yaitu dengan saling mengiangatkan agar selalu dekat dengan Allah SWT.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mencermati pembahasan ini dari awal sampai akhir pembahasan
dari jurnal ini, penulis menyimpulkan bahwa pernikahan bagi umat manusia
merupakan sesuatu yang sakral dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan syariat agama. Pernikahan juga bukan semata-mata untuk
memuaskan nafsu jasmaniah saja, melainkan untuk meraih ketenangan,
ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami istri. Dalam Islam,
pernikahan beda agama pada dasarnya dilarang. Akan tetapi terdapat
pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan
perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah para ulama’ berbeda
pendapat dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh “idza ijtama’a baina al halal wal
haram ghuliba al haram” bisa dijadikan solusi dalam pengambilan hukum
sebagai bentuk ihtiyaat atau kehati-hatian dalam pelaksanaan syariah Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.

9
RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I

Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,


dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I

Hamim Thohari, Smart Solving; Menjawab 101 Masalah Keluarga, (Pustaka Inti
dan Arga Publishing, 2007), Cet. 1

Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta, 2006),

Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer (alAshri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta :

Multi
Karya Grafika, 2003)

M. Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal KeIslaman yang


Patut Anda Ketahui, (Jakarta : Lentera Hati, 2008 )

Mohammad Atho Mudzhar,, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi


Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, Seri INIS XVII.
1993),

Dimuat dalam artikel berjudul Fakta Empiris Nikah Beda Agama di http://blog.
umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07/faktaempiris-nikah-beda-agama/, diakses pada
tanggal 21 September 2022

10

Anda mungkin juga menyukai