TUGAS AKHIR
1606878202
DEPOK
DESEMBER 2018
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah ikatan suci antara lelaki dan perempuan dewasa. Dalam
Islam, pernikahan diatur dengan sedemikian rupa, berdasarkan hukum agama Islam
demi terwujudnya ikatan yang baik. Salah satu tujuan pernikahan adalah
membentuk keluarga Sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketiga hal tersebut
memiliki peran penting demi keberlangsungan rumah tangga yang sehat dan
terjaga. Lebih jauh lagi, pernikahan adalah sarana untuk mencegah diri dari berbuat
maksiat, sebagai upaya membentuk generasi baru atau keturunan yang saleh dan
solehah. Tujuan-tujuan tersebut akan sulit, atau bahkan mustahil dicapai bila rumah
tangga tidak berjalan dengan baik dan jauh dari nilai sakinah, mawaddah dan
rahmah.
B. Landasan Teori
1
Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender dalam Islam: Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Shafi’i
(Jawa Timur: Kelompok Intrans Publishing, 2015), hal. 52.
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa dan
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Negara diharapkan dapat
melakukan penghapusan adat istiadat dan kebiasaan tersebut demi terwujudnya
kebebasan memilih pasangan yang tidak terikat batasan ras, kewarganegaraan atau
agama.2 Di Indonesia, hukum mengenai pernikahan yang ditawarkan dalam
deklarasi ini tidak berlaku. Indonesia tetap menggunakan hukum pernikahan yang
termaktub dalam undang-undang No.1 tahun 1974
Counter Legal Draft (CLD) KHI adalah naskah yang berisi tentang
tandingan bunyi hukum terhadap KHI. Pada pasal 54, CLD menawarkan jalan bagi
2
Perisai Perempuan; Kesepakatan Internasional untuk perlindungan perempuan (Jakarta: LBH
APIK, 1999), hal. 138.
3
Masthuriyah Sa’dan, Jurnal berjudul MEMILIH PASANGAN BAGI ANAK PEREMPUAN: KAJIAN
FIQIH & HAM. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), hal. 3.
pernikahan beda agama dengan tiga poin. Pertama, pernikahan muslim dengan non-
muslim dibolehkan. Kedua, pernikahan muslim dengan non-muslim dibolehkan
dilakukan dengan prinsip saling menghargai agama masing-masing. Ketiga,
sebelum melakukan pernikahan, pemerintah menjelaskan segala risiko atau
kemungkinan yang terjadi akibat pernikahan tersebut. CLD hanya melarang
pernikahan beda agama yang didasari dengan upaya konversi agama, human
trafficking, dan niat jahat lainnya.4 Pada akhirnya, hukum pernikahan di Indonesia
yang berlaku sampai saat ini adalah undang-undang No.1 tahun 1974.
Perspektif MUI
Majelis Ulama Indonesia merujuk pada surat an-Nisa ayat 3, ar-Rum ayat
21, at-Tahrim ayat 6, al-Maidah ayat 5, al-Baqarah ayat 221, al-Mumtahanah ayat
10, dan an-Nisa ayat 25. Juga merujuk pada satu hadis Nabi yang berisi tentang
anjuran menikahi perempuan karena agamanya dibandingkan karena harta,
keturunan, dan kecantikannya. Dan merujuk pada kaidah fikih yang berbunyi
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik
kemaslahatan.”.
Terdapat dua poin yang disahkan dalam Munas tahun 2005. Pertama,
perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki
muslim dengan wanita Ahli Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak
sah. Namun perlu diketahui bahwasanya Fatwa MUI tidak menjadi jenis peraturan
4
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan
Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 167-168.
5
FATWA MAJELIS ULAMA Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN
BEDA AGAMA
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetapi hanya
menjadi acuan hukum bagi umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap
MUI. Fatwa MUI tidak mempunyai legalitas untuk memaksa harus ditaati oleh
seluruh umat Islam di Indonesia.
6
Alquran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka Alhidayah (Banten: Kalim, 2010), hal.551.
Kedua, pernikahan lelaki muslim dengan perempuan non-muslimah. Pada
kasus ini, Imam Ahmad juga menghukuminya haram, karena telah termaktub jelas
dalam Alquran. Kasus ini juga serupa dengan yang pertama, bahwa nas Alquran
surat al-Mumtahanah ayat 10 tidak dapat dianalisis dengan akal karena yang
termaktub di dalamnya sudah sangat jelas, tetapi cukup dengan memahami apa
yang tertulis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahli kitab adalah sebutan bagi kalangan
bani Israel yang diberi kitab, yaitu Yahudi, umat nabi Musa, dan Nasrani, umat nabi
Isa. Sebagian lagi mengatakan bahwa ahli kitab adalah sebutan bagi bani Israel pada
masa kenabian nabi yang diutus bagi mereka. Hal ini disebabkan karena setelah
nabi mereka wafat, mereka mengganti perintah-perintah yang ada sehingga ajaran
yang awalnya lurus menjadi sesat. Yahudi kembali menyembah selain Allah, dan
Nasrani menuhankan Isa. Hal ini pula yang menjadi argumen sebagian ulama
bahwa pada masa kini tidak ada ahli kitab yang dimaksud dalam surat al-Maidah
ayat 5. Saat ini semua orang, lelaki dan perempuan Nasrani dan Yahudi sudah
masuk ke dalam golongan musyrik dan hukum menikahi mereka adalah haram.
7
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 321-322
2. Hakikat Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah
Sakinah berasal dari huruf sin, kaf, dan nun, yang berarti tenang setelah
gejolak. Derivasi kata tersebut selalu berkaitan dengan ketenangan. Terwujudnya
sakinah dalam keluarga harus didahului dengan gejolak.9 Dalam kehidupan rumah
tangga, gejolak atau konflik biasa terjadi. Tetapi hal ini tidak boleh berlangsung
terus-menerus. Suami dan istri harus segera mencari solusi untuk mengatasi gejolak
yang mereka alami. Dengan begitu, setelah gejolak teratasi, maka timbullah rasa
tenang pada keduanya. Tenang yang dimaksud di sini bukan sekadar ketenangan
zahir saja, melainkan juga ketenangan batin yang dirasakan dalam hati dan benak
suami dan istri, dan diimplementasikan ke dalam kehidupan rumah tangga. Dalam
keluarga sakinah, akan terjalin pengertian yang seimbang antara suami dan istri,
dan terhindar dari perbuatan yang berlebihan, seperti posesif yang berlebihan.
Dalam sudut pandang Islam, suami-istri tidak memiliki hak untuk saling
mengekang. Suami dan istri memiliki kedudukan yang setara tetapi memiliki
perbedaan. Setara bukanlah sama bentuk atau wujudnya, tetapi sama-sama
memiliki esensi yang tinggi dan penting, tidak lebih rendah, juga tidak lebih unggul.
Sesuai dengan kandungan surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi “Mereka adalah
pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.”, dijelaskan bahwa
kaum lelaki adalah pakaian bagi kaum perempuan, dan kaum perempuan adalah
pakaian bagi kaum lelaki. Ayat tersebut menjelaskan kesetaraan kedudukan suami
dan istri. Suami tidak lebih unggul dari istri, juga sebaliknya, dan istri tidak lebih
rendah dari suami, dan juga sebaliknya. Suami dan istri adalah manusia yang
dipersatukan dalam ikatan suci untuk saling menutupi kekurangan. Maka dari itu
tiada ruang bagi suami maupun istri untuk saling mengekang
8
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 135.
9
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 136.
Suami dan istri, meski telah terikat pernikahan, tetap memiliki ruang pribadi
yang tidak bisa dipaksakan untuk dibagi kepada manusia lain. Kekuatan hubungan
tidak sepenuhnya ditentukan oleh kedekatan yang terus-menerus. Terkadang
manusia butuh waktu untuk sendiri, entah untuk merenungkan berbagai macam hal
dalam hidupnya mau pun berpikir dan mencari solusi atas suatu masalah.
Kedekatan satu sama lain yang berlebihan sehingga mengganggu ruang pribadi
dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi keduanya. Jika hal ini terus
berlangsung, maka hilanglah kenyamanan dalam rumah tangga.
Suami dan istri ibaratkan pilar. Pilar yang terlalu berdekatan akan
menghasilkan bangunan yang timpang, tidak kokoh, dan berbahaya bagi manusia.
Sama halnya dengan suami dan istri yang harus tahu kapan mesti menjaga jarak
atau saling memberikan ruang untuk beberapa waktu. Hubungan akan bertahan dan
terjaga jika terjadi keseimbangan di dalamnya, tidak terlalu dekat, juga tidak terlalu
jauh. Dalam sudut pandang Islam, kedekatan yang berlebihan sehingga
terganggunya ruang pribadi tidak dapat dibenarkan, meskipun tidak tertulis secara
detail dalam hukum syariat. Hal ini lebih mengarah pada tujuan utama pernikahan,
yaitu membentuk keluarga yang sakinah. Telah dijelaskan di paragraf sebelumnya
bahwa kedekatan yang berlebihan dapat mengganggu kenyamanan. Kenyamanan
adalah bagian dari sakinah. Jika kenyamanan terganggu, maka sulit untuk
merasakan ketenteraman.
Dalam Islam, umat yang dicintai Allah adalah yang berbaris rapi, yang dapat
diartikan kompak dan kerja sama yang apik. Suami dan istri memiliki peran masing-
masing. Jika berhasil bekerja sama maka akan tercapai keluarga yang bahagia.
Masing-masing pilar memiliki perannya masing-masing untuk menopang titik-titik
lemah suatu bangunan. Pilar harus berdiri tidak terlalu dekat maupun jauh. Jika satu
titik tidak tertopang, maka bangunan akan runtuh. Sama halnya dengan suami istri,
menjadi pilar yang berbeda untuk menopang titik bangunan rumah tangga yang
berbeda pula, dan juga kadang kala harus rela terpisah untuk sementara demi
mempertahankan kehidupan keluarga.
Secara garis besar, mawaddah terdiri dari perhatian dan tanggung jawab.
Perhatian dibutuhkan dalam rumah tangga agar suami dan istri semakin saling
mengenal. Perhatian adalah bukti dalamnya seseorang dalam mencintai. Dengan
memperhatikan, orang mampu mengenal sesuatu dan memahami sesuatu lebih
dekat. Perhatian juga tidak lepas dari tanggung jawab. Tanggung jawab terkadang
dipahami dengan keliru oleh sebagian orang sehingga menimbulkan diskriminasi
dan ketidakadilan dalam rumah tangga.
Setelah semua itu berhasil diperjuangkan, akan timbul secara alami rasa
kasih antara suami dan istri. Engkau adalah aku, aku adalah engkau. Kurang lebih
itulah yang dapat menggambarkan suami dan istri yang berlangsung di dalamnya
rahmah. Mereka telah berhasil mencapai tujuan utama penyatuan dua insan yang
berbeda, yaitu saling melengkapi kekurangan satu sama lain.
C. Analisis
10
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 138-139.
Memilih calon pasangan dalam berumah tangga sama dengan menentukan
fondasi bangunan rumah tangga. Fondasi suatu bangunan haruslah kuat agar
mampu menopang dan bertahan dalam guncangan. Jika fondasi lemah, maka
bangunan akan mudah sekali roboh. Fondasi yang kokoh adalah yang didasari
dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, yaitu dengan wujud mencintai
karena Allah dan demi menjalankan syariat. Kurang lebih inilah kandungan yang
berusaha disampaikan dalam al-Quran mengapa pernikahan beda agama dilarang,
yaitu demi terwujudnya kebahagiaan hakiki bagi seluruh umat manusia.
Perceraian disebabkan oleh dua hal, yaitu keputusan atau kemauan diri
sendiri, dan kematian. Dalam Islam, Allah adalah Yang Menghidupkan dan Yang
Mematikan manusia. Terdapat banyak sekali ayat yang menceritakan kekuasaan
Allah ketika Dia menghidupkan makhluk yang mati. Seorang suami dan istri
tiadalah mungkin mampu hidup berdampingan selamanya. Kelak satu dari mereka
akan saling meninggalkan menuju ke alam yang lain. Allah juga Sang Pembolak-
balik hati dan Maha Mengetahui juga Maha Menguasai hati manusia. Terdapat doa
yang menyanjung Allah sebagai pembolak-balik hati, serta permintaan agar Allah
mengarahkan hati manusia kepada agama Islam. Juga ada hadis Nabi yang kurang
lebih isinya menyatakan bahwa hati manusia berada di antara jari-jemari Allah dan
Dia mampu mengubahnya sesuai dengan kehendak-Nya.
Jika terjadi perceraian antara seorang muslim dan seorang non-muslim dan
sudah mempunyai anak, maka hal ini dapat menjadi musibah. Dalam peradilan
hukum Indonesia, hak asuh ditentukan oleh pengadilan dengan didasari bermacam
pertimbangan dari sebab-musabab perceraian, kondisi ekonomi, dan keluarga besar.
Jika ternyata hak asuh jatuh ke tangan pihak non-muslim, maka muslim akan,
setidaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan sang
anak. Kemungkinan besar sang anak akan tumbuh dalam lingkungan dan penerapan
nilai-nilai non-islami. Hal ini akan berujung kepada lepasnya atau tersesatnya sang
anak dari ajaran Islam yang lurus. Dapat dikatakan bahwasanya, pihak muslim telah
menjerumuskan anaknya menjadi murtad atau keluar dari Islam. Jika hak asuh jatuh
ke tangan pihak muslim, maka selamatlah sang anak dari lembah kesesatan menuju
jalan yang diridai Allah, agama Islam.
Pernikahan yang diawali dengan rasa cinta saja, tanpa agama, hanya akan
bertahan pada awal perjalanan rumah tangga. Seiring berjalannya waktu, iman dan
kebutuhan rohani suami dan istri bertambah besar. Masing-masing ingin
memberikan pengaruh keyakinannya pada keturunan mereka. Hal ini dapat
menyebabkan konflik batin yang tidak dapat diatasi dengan toleransi sekali pun.
Meski ada yang mampu memisahkan antara agama dan perasaannya, dan menjalani
hidup dengan penuh toleransi, hal ini tidak bertahan lama. Pernikahan tidak terbatas
pada hubungan sebadan saja, melainkan sehati dan sepikiran, yang akan sulit
tercapai jika pandangan hidup masing-masing berbeda.
Pada masa lalu, menikahi perempuan ahli kitab adalah bagian dari dakwah
Islam. Bahkan tidak sedikit sahabat Nabi dan para Tabi ’in yang menikahi
perempuan ahli kitab, seperti Utsman bin Affan, Thalhah, dan Zubair. Tetapi perlu
diketahui bahwa pada masa itu, para sahabat yang ikut berperang sulit sekali
kembali ke rumahnya. Demi mencegah zina, mereka mengawini perempuan ahli
kitab, dan ada pula perempuan ahli kitab yang masuk Islam, seperti istri Utsman
bin Affan yang sebelumnya adalah seorang Nasrani.
Ada pun pernikahan beda agama yang di lakukan oleh para Tabi ‘in dan
sesudahnya disebabkan karena pada masa itu, perempuan belum memiliki pengaruh
yang kuat terhadap lelaki. Budaya taat pada suami masih sangat kental. Istri akan
mengikuti suami, dan menaati perintahnya, sehingga lelaki muslim dapat
memberikan pengaruh pada perempuan ahli kitab agar masuk Islam. Tetapi pada
masa kini, pengaruh perempuan tidak kalah dengan lelaki, bahkan bias
mengungguli pengaruh lelaki. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan
kebalikannya, yaitu lelaki muslim menjadi murtad karena terpengaruh oleh istrinya
yang ahli kitab.
Pernikahan beda agama bagi para sebagian ulama adalah boleh dengan
catatan, lelaki muslim dengan perempuan ahli kitab. Katakanlah seorang lelaki
muslim menikah dengan perempuan Nasrani, maka hemat penulis, berdasarkan
pendapat ulama, boleh. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, pernikahan beda
agama adalah penyatuan perbedaan yang sangat fundamental. Pasangan suami-istri
harus memahami betul risiko dan segala kemungkinan yang akan terjadi selama
berumah tangga. Jangan sampai pernikahan mereka berakhir sia-sia karena
penyesalan di akhir, juga jangan sampai keturunan mereka menjadi korban karena
perbedaan yang mereka coba satukan.
D. Kesimpulan
Alquran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka Alhidayah (Banten: Kalim, 2010)
Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender dalam Islam: Konvensi PBB dalam Perspektif
Mazhab Shafi’i (Jawa Timur: Kelompok Intrans Publishing, 2015)
Mahmuda, Azzam. Jurnal yang berjudul "Konsep Ideal/ Utama (Al-Madinah Al-
Fadilah) menurut Al-Farabi". Medan.