Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS INDONESIA

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM MEWUJUDKAN


KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH, DAN RAHMAH

TUGAS AKHIR

FERNANDO JUSTICIANO SUBANDI

1606878202

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI ARAB

DEPOK

DESEMBER 2018
A. Latar Belakang

Makalah ini dilatarbelakangi oleh fenomena pernikahan beda agama, antara


pemeluk Islam dengan non-Islam, yang sampai saat ini masih berlangsung.
Terdapat pro kontra mengenai hal ini. Deklarasi hak asasi manusia menyatakan
bahwa pernikahan lintas agama adalah kebebasan manusia, juga sebagai wujud
toleransi dalam perspektif kemanusiaan. Namun undang-undang No.1 tahun 1974
menyatakan, meski tidak secara eksplisit bahwa pernikahan dilarang jika lelaki atau
perempuan yang akan menikah terikat suatu hukum agama atau hukum lain yang
melarang menikah. Terdapat pula ulama dan cendekiawan, seperti Imam Ahmad
dan Quraish Shihab yang menjelaskan bahwa pernikahan lintas agama antara
muslim/muslimah atau dengan non-muslim/non-muslimah adalah haram,
sedangkan yang diperbolehkan adalah hanya antara lelaki muslim dengan
perempuan ahli kitab, pernikahan ini dihukumi makruh karena, meski
diperbolehkan, menikahi perempuan ahli kitab dapat berisiko terjerumus ke dalam
kekafiran.

Pendapat Quraish Shihab selaras dengan Imam Ahmad, tetapi dengan


perspektif kehidupan rumah tangga yang menjelaskan bahwa pernikahan beda
agama dapat menggagalkan tujuan terbentuknya keluarga, yaitu sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Sedang Majelis Ulama Indonesia dalam Munas tahun
2005 sepakat bahwa haram hukumnya pernikahan beda agama antara
muslim/muslimah dan non-muslim/non-muslimah, termasuk pernikahan antara
muslim dan perempuan ahli kitab. Hukum haram tersebut disepakati demi
kemaslahatan umat.

Pernikahan adalah ikatan suci antara lelaki dan perempuan dewasa. Dalam
Islam, pernikahan diatur dengan sedemikian rupa, berdasarkan hukum agama Islam
demi terwujudnya ikatan yang baik. Salah satu tujuan pernikahan adalah
membentuk keluarga Sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketiga hal tersebut
memiliki peran penting demi keberlangsungan rumah tangga yang sehat dan
terjaga. Lebih jauh lagi, pernikahan adalah sarana untuk mencegah diri dari berbuat
maksiat, sebagai upaya membentuk generasi baru atau keturunan yang saleh dan
solehah. Tujuan-tujuan tersebut akan sulit, atau bahkan mustahil dicapai bila rumah
tangga tidak berjalan dengan baik dan jauh dari nilai sakinah, mawaddah dan
rahmah.

Pada makalah ini penulis akan membahas dan menganalisis pernikahan


beda agama dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Penulis
menyadari bahwasanya, dalam kehidupan rumah tangga, terdapat permasalahan
dan kemungkinan gagalnya terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah
yang diakibatkan oleh berbagai macam sebab, salah satunya adalah perbedaan
prinsip. Perbedaan agama dalam hubungan rumah tangga adalah perbedaan prinsip
yang fundamental, dan tentu saja dapat memengaruhi kehidupan rumah tangga.
Pemahaman tentang kemungkinan yang akan timbul dari pernikahan beda agama
diharapkan dapat menjadi rujukan bagi siapa pun yang ingin memulai bahtera
rumah tangga dan mewujudkan sebuah keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

B. Landasan Teori

1. Hukum Pernikahan Beda Agama

Perspektif Hukum Internasional

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 menyatakan dua poin


tentang pernikahan. Pertama, dibebaskan bagi laki-laki dan perempuan dewasa
untuk menikah dan membangun keluarga tanpa pembatasan menurut ras,
kewarganegaraan atau agama. Kedua, persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para
calon pengantin menjadi syarat utama dalam melangsungkan pernikahan.1

Pada poin pertama, secara tidak langsung dijelaskan bahwa pernikahan


lintas agama dibolehkan. Banyak kasus yang membenarkan atau menjadi bukti
bolehnya pernikahan beda agama berdasarkan poin tersebut. Di Indonesia, terdapat
selebriti yang menikah di luar negeri karena mereka tidak bisa menikah di Indonesia
akibat hukum yang termaktub dalam undang-undang No.1 tahun 1974.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa adat istiadat, kebiasaan, dan aturan-aturan


lama yang berhubungan dengan pernikahan dan keluarga tidak sejalan dengan

1
Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender dalam Islam: Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Shafi’i
(Jawa Timur: Kelompok Intrans Publishing, 2015), hal. 52.
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa dan
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Negara diharapkan dapat
melakukan penghapusan adat istiadat dan kebiasaan tersebut demi terwujudnya
kebebasan memilih pasangan yang tidak terikat batasan ras, kewarganegaraan atau
agama.2 Di Indonesia, hukum mengenai pernikahan yang ditawarkan dalam
deklarasi ini tidak berlaku. Indonesia tetap menggunakan hukum pernikahan yang
termaktub dalam undang-undang No.1 tahun 1974

Perspektif Hukum Positif Indonesia

Dalam undang-undang no.1 tahun 1974, dijelaskan bahwa pernikahan


adalah ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.3 Pernikahan antara dua orang dilarang jika masing-masing memiliki
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Di sini dapat dipahami bahwa undang-undang tersebut bersandar pada setiap
keyakinan yang dianut seseorang, dan terdapat di dalamnya hukum larangan
menikah lintas agama. Seperti dalam agama Katolik, umat kristiani tidak
diperbolehkan menikah dengan non-Kristiani, maka hukum dalam agama inilah
yang menjadi sandaran undang-undang no.1 tahun 1974.

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya pengaruh mayoritas muslim di


Indonesia telah dan masih mengambil peran penting dalam pembentukan fondasi
hukum di Indonesia. Adanya hukum larangan menikah lintas agama dalam undang-
undang No.1 tahun 1974 secara langsung terpengaruh oleh KHI pasal 40, kompilasi
hukum Islam. Di dalamnya terdapat hukum-hukum Islam yang mengatur tentang
pernikahan, kewarisan, dan pewakafan. Namun hukum yang termaktub dalam KHI,
khususnya tentang pernikahan mendapat kritikan dan pengajuan perubahan.

Counter Legal Draft (CLD) KHI adalah naskah yang berisi tentang
tandingan bunyi hukum terhadap KHI. Pada pasal 54, CLD menawarkan jalan bagi

2
Perisai Perempuan; Kesepakatan Internasional untuk perlindungan perempuan (Jakarta: LBH
APIK, 1999), hal. 138.
3
Masthuriyah Sa’dan, Jurnal berjudul MEMILIH PASANGAN BAGI ANAK PEREMPUAN: KAJIAN
FIQIH & HAM. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), hal. 3.
pernikahan beda agama dengan tiga poin. Pertama, pernikahan muslim dengan non-
muslim dibolehkan. Kedua, pernikahan muslim dengan non-muslim dibolehkan
dilakukan dengan prinsip saling menghargai agama masing-masing. Ketiga,
sebelum melakukan pernikahan, pemerintah menjelaskan segala risiko atau
kemungkinan yang terjadi akibat pernikahan tersebut. CLD hanya melarang
pernikahan beda agama yang didasari dengan upaya konversi agama, human
trafficking, dan niat jahat lainnya.4 Pada akhirnya, hukum pernikahan di Indonesia
yang berlaku sampai saat ini adalah undang-undang No.1 tahun 1974.

Perspektif MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada musyawarah nasional (Munas) tahun


2005 telah mengeluarkan fatwa tentang pernikahan beda agama. Hal ini didasari
oleh empat pertimbangan yang menjadi fenomena di Indonesia. Pertama, sering kali
terjadi pernikahan lintas agama di Indonesia. Kedua, pernikahan beda agama
memicu perdebatan di kalangan umat Islam dan menimbulkan keresahan di
masyarakat. Ketiga, telah muncul pemikiran membenarkan pernikahan beda agama
dengan alasan hak asasi manusia dan kemaslahatan umat.5

Majelis Ulama Indonesia merujuk pada surat an-Nisa ayat 3, ar-Rum ayat
21, at-Tahrim ayat 6, al-Maidah ayat 5, al-Baqarah ayat 221, al-Mumtahanah ayat
10, dan an-Nisa ayat 25. Juga merujuk pada satu hadis Nabi yang berisi tentang
anjuran menikahi perempuan karena agamanya dibandingkan karena harta,
keturunan, dan kecantikannya. Dan merujuk pada kaidah fikih yang berbunyi
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik
kemaslahatan.”.

Terdapat dua poin yang disahkan dalam Munas tahun 2005. Pertama,
perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki
muslim dengan wanita Ahli Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak
sah. Namun perlu diketahui bahwasanya Fatwa MUI tidak menjadi jenis peraturan

4
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan
Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 167-168.
5
FATWA MAJELIS ULAMA Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN
BEDA AGAMA
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetapi hanya
menjadi acuan hukum bagi umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap
MUI. Fatwa MUI tidak mempunyai legalitas untuk memaksa harus ditaati oleh
seluruh umat Islam di Indonesia.

Perspektif Mazhab Hanbali

Dalam mazhab Hanbali, pernikahan terbagi menjadi tiga, yaitu sunah,


mubah, dan wajib. Pada dasarnya hukum pernikahan adalah sunah. Pernikahan
menjadi mubah jika seseorang yang bersangkutan tidak memiliki keinginan untuk
menikah dan tidak khawatir terjerumus ke dalam lembah perzinaan. Pernikahan
menjadi wajib jika seseorang yang bersangkutan khawatir jika ia tidak menikah,
maka akan terjerumus ke dalam lembah perzinaan. Jika membicarakan pernikahan
beda agama, maka hukum yang berlaku pun berubah. Persoalan menikah beda
agama dalam perspektif mazhab Hanbali terbagi menjadi tiga, yaitu pernikahan
perempuan muslim dengan lelaki non-muslim pada umumnya, pernikahan lelaki
muslim dengan perempuan non-muslim pada umumnya, dan pernikahan lelaki
muslim dengan perempuan Ahli Kitab.

Pertama, pernikahan perempuan muslim dengan lelaki non-muslim. Imam


Hanbali merujuk pada surat al-Mumtahanah ayat 10 yang menjelaskan bahwa
perempuan-perempuan muslimah tidak halal bagi orang-orang kafir, dan orang-
orang kafir pun tidak halal bagi para perempuan yang sudah menjadi Muslimah.
6
Mazhab Hanbali menjadikan nas Alquran dan hadis Nabi sebagai referensi utama.
Menurut beliau, sumber hukum yang termaktub dalam surat al-Mumtahanah ayat
10 adalah paripurna, dan cukup dipahami secara tekstual tanpa perlu
mempertimbangkan pendapat para sahabat, dan melakukan kajian linguistik
terhadap ayat tersebut. Jika terdapat sahabat yang menyalahi hukum tersebut, maka
itu tidak bisa dijadikan rujukan hukum. Pada akhirnya, dalam setiap nas, khususnya
Alquran, selalu mengandung kebaikan bagi umat manusia, dan akan selalu berlaku
selama manusia menjadikannya pedoman dalam hidup.

6
Alquran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka Alhidayah (Banten: Kalim, 2010), hal.551.
Kedua, pernikahan lelaki muslim dengan perempuan non-muslimah. Pada
kasus ini, Imam Ahmad juga menghukuminya haram, karena telah termaktub jelas
dalam Alquran. Kasus ini juga serupa dengan yang pertama, bahwa nas Alquran
surat al-Mumtahanah ayat 10 tidak dapat dianalisis dengan akal karena yang
termaktub di dalamnya sudah sangat jelas, tetapi cukup dengan memahami apa
yang tertulis.

Ketiga, pernikahan lelaki muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Imam


Ahmad mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sahabat
mengenai dalil bolehnya menikahi perempuan Ahli Kitab dalam surat al-Maidah
ayat 5. Apakah ayat ini adalah pengecualian terhadap surat al-Baqarah ayat 221,
ataukah al-Baqarah ayat 221 adalah ayat yang menaskh al-Maidah ayat 5. Umar bin
Khattab adalah satu dari sahabat yang setuju dengan bolehnya menikahi perempuan
Ahli Kitab, tetapi ia pernah meminta seorang sahabat yang bernama Huzhaifah
untuk menceraikan istrinya yang seorang Ahli Kitab. Hal ini disebabkan oleh
anggapan masyarakat yang tidak menyukai istri Huzhaifah karena anak-anaknya
dikhawatirkan akan terpengaruh oleh istrinya.

Perspektif Quraish Shihab

Dalam surat al-Maidah ayat 5, dijelaskan bahwa Allah menghalalkan bagi


umat Islam untuk memakan makanan para Ahli Kitab, dan juga halal bagi Ahli
Kitab memakan makanan umat Islam. Dilanjutkan dengan dihalalkannya
perempuan-perempuan ahli kitab untuk dinikahi oleh lelaki muslim. Ayat ini
menjadi dalil yang sampai sekarang menjadi rujukan pernikahan beda agama antara
lelaki muslim dengan perempuan ahli kitab. Ayat di atas turun setelah surat al-
Baqarah ayat 221 yang isinya tentang larangan menikahi lelaki dan perempuan
musyrik.

Sebagian ulama membolehkan menikahi perempuan ahli kitab dengan


catatan, jika perempuan tersebut adalah perempuan yang menjaga kehormatannya.
Dalam konteks saat ini, yang dimaksud adalah para biarawati dan perempuan alim
dalam agama mereka. Tidak diperbolehkan menikahi sembarang perempuan ahli
kitab, terlebih lagi jika perempuan ahli kitab pezina. Pernikahan antara lelaki
muslim dan ahli kitab harus berlangsung dengan cara Islam. Pada masa lalu,
menikahi perempuan ahli kitab adalah salah satu jalan dalam menyebarluaskan dan
mendakwahkan ajaran Islam, setidaknya itulah yang bermula di Indonesia pada
abad ke – 7 oleh ulama, saudagar, dan pedagang Arab.

Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahli kitab adalah sebutan bagi kalangan
bani Israel yang diberi kitab, yaitu Yahudi, umat nabi Musa, dan Nasrani, umat nabi
Isa. Sebagian lagi mengatakan bahwa ahli kitab adalah sebutan bagi bani Israel pada
masa kenabian nabi yang diutus bagi mereka. Hal ini disebabkan karena setelah
nabi mereka wafat, mereka mengganti perintah-perintah yang ada sehingga ajaran
yang awalnya lurus menjadi sesat. Yahudi kembali menyembah selain Allah, dan
Nasrani menuhankan Isa. Hal ini pula yang menjadi argumen sebagian ulama
bahwa pada masa kini tidak ada ahli kitab yang dimaksud dalam surat al-Maidah
ayat 5. Saat ini semua orang, lelaki dan perempuan Nasrani dan Yahudi sudah
masuk ke dalam golongan musyrik dan hukum menikahi mereka adalah haram.

Musyrik adalah orang yang melakukan perbuatan syirik, yaitu


menyekutukan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Trinitas dalam ajaran Kristen
termasuk ke dalam perbuatan syirik karena itu merupakan aktivitas yang bertujuan
utama ganda, mereka menyembah Allah dan kepada selain-Nya. Tetapi sebagian
ulama ada yang berpendapat bahwa gelar musyrik hanya ditujukan kepada para
kaum pagan, penyembah berhala, khususnya yang tinggal di Mekah dan hidup pada
masa Nabi Muhammad. Maka dari itu, kaum Nasrani atau Kristen tidak dapat
disebut dengan kata musyrik, tetapi orang-orang yang mempersekutukan Allah.7
Terlebih lagi, ayat yang membolehkan menikahi perempuan ahli kitab turun pada
masa di mana para ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani sudah terlanjur terjerumus
dalam kesesatan. Yahudi menyembah selain Allah dan sudah mengingkari
ketentuan-Nya, serta menyembunyikan kebenaran tentang kenabian Nabi
Muhammad. Juga para umat Nasrani telah mengada-ngadakan trinitas, Bapa, Anak,
dan Roh Kudus. Semua hal itu telah terjadi sebelum masa kenabian Nabi
Muhammad. Sehingga dapat dikatakan bahwa para Yahudi dan Nasrani yang telah
menyimpang adalah ahli kitab yang perempuannya halal dinikahi sesuai dengan
surat al-Maidah ayat 5.

7
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 321-322
2. Hakikat Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah,dan rahmah adalah salah satu


tujuan dari pernikahan antara lelaki dan perempuan. Hal ini terkandung dalam surat
ar-Rum ayat 21 yang menjelaskan tentang penciptaan pasangan bagi manusia agar
ia merasa tenteram dan terwujud rasa kasih dan sayang.8 Ibarat taman tanpa bunga,
suatu keluarga tidaklah lengkap jika tanpa ketiga nilai ini.

Sakinah berasal dari huruf sin, kaf, dan nun, yang berarti tenang setelah
gejolak. Derivasi kata tersebut selalu berkaitan dengan ketenangan. Terwujudnya
sakinah dalam keluarga harus didahului dengan gejolak.9 Dalam kehidupan rumah
tangga, gejolak atau konflik biasa terjadi. Tetapi hal ini tidak boleh berlangsung
terus-menerus. Suami dan istri harus segera mencari solusi untuk mengatasi gejolak
yang mereka alami. Dengan begitu, setelah gejolak teratasi, maka timbullah rasa
tenang pada keduanya. Tenang yang dimaksud di sini bukan sekadar ketenangan
zahir saja, melainkan juga ketenangan batin yang dirasakan dalam hati dan benak
suami dan istri, dan diimplementasikan ke dalam kehidupan rumah tangga. Dalam
keluarga sakinah, akan terjalin pengertian yang seimbang antara suami dan istri,
dan terhindar dari perbuatan yang berlebihan, seperti posesif yang berlebihan.

Dalam sudut pandang Islam, suami-istri tidak memiliki hak untuk saling
mengekang. Suami dan istri memiliki kedudukan yang setara tetapi memiliki
perbedaan. Setara bukanlah sama bentuk atau wujudnya, tetapi sama-sama
memiliki esensi yang tinggi dan penting, tidak lebih rendah, juga tidak lebih unggul.
Sesuai dengan kandungan surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi “Mereka adalah
pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.”, dijelaskan bahwa
kaum lelaki adalah pakaian bagi kaum perempuan, dan kaum perempuan adalah
pakaian bagi kaum lelaki. Ayat tersebut menjelaskan kesetaraan kedudukan suami
dan istri. Suami tidak lebih unggul dari istri, juga sebaliknya, dan istri tidak lebih
rendah dari suami, dan juga sebaliknya. Suami dan istri adalah manusia yang
dipersatukan dalam ikatan suci untuk saling menutupi kekurangan. Maka dari itu
tiada ruang bagi suami maupun istri untuk saling mengekang

8
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 135.
9
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 136.
Suami dan istri, meski telah terikat pernikahan, tetap memiliki ruang pribadi
yang tidak bisa dipaksakan untuk dibagi kepada manusia lain. Kekuatan hubungan
tidak sepenuhnya ditentukan oleh kedekatan yang terus-menerus. Terkadang
manusia butuh waktu untuk sendiri, entah untuk merenungkan berbagai macam hal
dalam hidupnya mau pun berpikir dan mencari solusi atas suatu masalah.
Kedekatan satu sama lain yang berlebihan sehingga mengganggu ruang pribadi
dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi keduanya. Jika hal ini terus
berlangsung, maka hilanglah kenyamanan dalam rumah tangga.

Suami dan istri ibaratkan pilar. Pilar yang terlalu berdekatan akan
menghasilkan bangunan yang timpang, tidak kokoh, dan berbahaya bagi manusia.
Sama halnya dengan suami dan istri yang harus tahu kapan mesti menjaga jarak
atau saling memberikan ruang untuk beberapa waktu. Hubungan akan bertahan dan
terjaga jika terjadi keseimbangan di dalamnya, tidak terlalu dekat, juga tidak terlalu
jauh. Dalam sudut pandang Islam, kedekatan yang berlebihan sehingga
terganggunya ruang pribadi tidak dapat dibenarkan, meskipun tidak tertulis secara
detail dalam hukum syariat. Hal ini lebih mengarah pada tujuan utama pernikahan,
yaitu membentuk keluarga yang sakinah. Telah dijelaskan di paragraf sebelumnya
bahwa kedekatan yang berlebihan dapat mengganggu kenyamanan. Kenyamanan
adalah bagian dari sakinah. Jika kenyamanan terganggu, maka sulit untuk
merasakan ketenteraman.

Dalam Islam, umat yang dicintai Allah adalah yang berbaris rapi, yang dapat
diartikan kompak dan kerja sama yang apik. Suami dan istri memiliki peran masing-
masing. Jika berhasil bekerja sama maka akan tercapai keluarga yang bahagia.
Masing-masing pilar memiliki perannya masing-masing untuk menopang titik-titik
lemah suatu bangunan. Pilar harus berdiri tidak terlalu dekat maupun jauh. Jika satu
titik tidak tertopang, maka bangunan akan runtuh. Sama halnya dengan suami istri,
menjadi pilar yang berbeda untuk menopang titik bangunan rumah tangga yang
berbeda pula, dan juga kadang kala harus rela terpisah untuk sementara demi
mempertahankan kehidupan keluarga.

Jika diartikan secara gamblang, mawaddah berarti cinta. Namun pada


hakikatnya, mawaddah adalah perasaan pada diri seseorang yang tidak rela sesuatu
yang ia cintai tersentuh oleh keburukan apa pun. Orang yang terdapat mawaddah
dalam dirinya akan melindungi yang ia cintai dari keburukan, dan bahkan rela
mengorbankan dirinya sendiri.10 Sebengis apa pun seseorang, jika ia merasakan hal
yang tersebut, maka mawaddah telah terpatri di dalam dirinya.

Secara garis besar, mawaddah terdiri dari perhatian dan tanggung jawab.
Perhatian dibutuhkan dalam rumah tangga agar suami dan istri semakin saling
mengenal. Perhatian adalah bukti dalamnya seseorang dalam mencintai. Dengan
memperhatikan, orang mampu mengenal sesuatu dan memahami sesuatu lebih
dekat. Perhatian juga tidak lepas dari tanggung jawab. Tanggung jawab terkadang
dipahami dengan keliru oleh sebagian orang sehingga menimbulkan diskriminasi
dan ketidakadilan dalam rumah tangga.

Tanggung jawab adalah pengorbanan. Pengorbanan yang dimaksud adalah


ketulusan yang tidak memaksa dan tidak bersyarat. Layaknya peribahasa yang
berbunyi “orang yang menyukai bunga akan memetiknya, sedangkan yang
mencintainya akan menyirami, merawat, dan menjaganya dari kerusakan”, cinta
adalah pemberian yang tidak mengharap balasan. Suami yang mencari nafkah dan
memberikan kecukupan pada istrinya tidaklah patut baginya meminta imbalan.
Begitu pula istri yang memberikan kehangatan dan pengertian kepada suaminya,
tidak pantas baginya menuntut sang suami untuk memberikan ganjaran bagi dirinya
yang telah mencintai.

Setelah semua itu berhasil diperjuangkan, akan timbul secara alami rasa
kasih antara suami dan istri. Engkau adalah aku, aku adalah engkau. Kurang lebih
itulah yang dapat menggambarkan suami dan istri yang berlangsung di dalamnya
rahmah. Mereka telah berhasil mencapai tujuan utama penyatuan dua insan yang
berbeda, yaitu saling melengkapi kekurangan satu sama lain.

C. Analisis

1. Risiko Pernikahan Beda Agama dalam Rumah Tangga

10
M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 138-139.
Memilih calon pasangan dalam berumah tangga sama dengan menentukan
fondasi bangunan rumah tangga. Fondasi suatu bangunan haruslah kuat agar
mampu menopang dan bertahan dalam guncangan. Jika fondasi lemah, maka
bangunan akan mudah sekali roboh. Fondasi yang kokoh adalah yang didasari
dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, yaitu dengan wujud mencintai
karena Allah dan demi menjalankan syariat. Kurang lebih inilah kandungan yang
berusaha disampaikan dalam al-Quran mengapa pernikahan beda agama dilarang,
yaitu demi terwujudnya kebahagiaan hakiki bagi seluruh umat manusia.

Pernikahan antara perempuan muslim dengan lelaki muslim. Di Indonesia,


perempuan biasanya turut suami, yaitu pergi dari rumah orang tua menuju rumah
suami dalam membangun rumah tangga yang baru. Dalam perspektif agama Islam,
hal ini dapat menjadi beban bagi sang istri yang muslimah, meskipun ia menikahi
lelaki ahli kitab, Yahudi dan Nasrani, dan bukan selainnya. Pada dasarnya, umat
Islam mengimani Musa sebagai rasul yang diutus Allah. Umat Islam juga
mengimani nabi Isa yang dianggap Tuhan oleh umat Nasrani. Tetapi sebaliknya,
umat Yahudi tidak mengakui adanya kerasulan nabi Muhammad karena mereka
menganggap Muhammad bukanlah golongan bani Israel. Begitu pun umat Nasrani,
mereka tidak mengimani nabi Muhammad dengan alasan yang kurang lebih
memiliki kesamaan dengan umat Yahudi. Hal ini dapat menjadi sela diskriminasi
bagi perempuan muslimah oleh keluarga suaminya yang memeluk Yahudi maupun
Nasrani, sebab ia mengimani yang tidak diimani oleh keluarga suaminya. Namun
sebaliknya, jika sang istri adalah ahli kitab dan keluarga suaminya adalah pemeluk
Islam, maka tiada beban bagi perempuan itu, karena keluarga suaminya juga
mengimani yang diimani sang istri.

Pernikahan antara lelaki muslim dengan perempuan non-muslim dan atau


ahli kitab. Perempuan adalah madrasah pertama bagi anaknya. Pendidikan anak
bukanlah perjalanan yang singkat. Dimulai dari masa bayinya, anak-anak, hingga
masa akil balig. Peran perempuan dalam mendidik anaknya sangat signifikan. Di
sini bukan berarti lelaki tidak memiliki peran, akan tetapi perlu diakui bahwa
perempuan memiliki keunggulan dalam memberikan kasih sayang, kehangatan, dan
cinta seorang ibu. Hubungan ibu dengan anak tidak dimulai saat anak lahir,
melainkan dimulai dari dalam rahim. Sang anak dan ibu saling merasakan denyut
jantung. Ke mana pun ibu pergi, sang anak pun ikut pergi. Hal ini berlangsung
selama kurang lebih sembilan bulan.

Saat memasuki masa kanak-kanak, seorang anak mulai menerima dan


menangkap nilai-nilai yang diajarkan oleh kedua orang tuanya. Dalam kehidupan
rumah tangga pada umumnya, suami pergi bekerja, istri mengurus anak. Istri
mendapat waktu lebih banyak bersama anaknya ketimbang suaminya. Perempuan
muslimah tentu akan mengajarkan nilai-nilai Islam. Tetapi jika perempuan
beragama selain Islam, maka yang ditanamkan kepada anaknya tentu tidak
mengandung nilai-nilai islami, melainkan nilai-nilai sesuai ajaran agama yang
dianut perempuan tersebut. Bagaimana mungkin menerapkan dua nilai agama
sekaligus kepada seorang anak, tentu hal ini mustahil. Jika nilai agama seseorang
tidak dipercayai sepenuhnya sehingga ia rela mengorbankan agamanya demi cinta
dengan manusia, tentu tidak ada lagi alasan yang pantas baginya untuk meneruskan
keyakinannya kepada keturunannya.

Pernikahan seagama maupun pernikahan beda agama sama-sama memiliki


kemungkinan terjadinya perceraian. Perlu diingat bahwa, pada hakikatnya, hati
manusia adalah di bawah ketentuan Tuhan. Atas segala kehendak-Nya hati manusia
berubah, dan atas segala kehendak-Nya pula hati manusia tetap dan tidak berubah
selamanya. Suami dan istri harus siap dengan segala kemungkinan, baik dan buruk
yang akan terjadi selama menjalani kehidupan rumah tangga. Hati manusia dapat
berubah, dan hal itu tidak dapat diingkari. Manusia tidak memiliki daya dan upaya
untuk saling mengubah hati karena hati mereka dan hati semua manusia berada
dalam genggaman Tuhan.

Perceraian disebabkan oleh dua hal, yaitu keputusan atau kemauan diri
sendiri, dan kematian. Dalam Islam, Allah adalah Yang Menghidupkan dan Yang
Mematikan manusia. Terdapat banyak sekali ayat yang menceritakan kekuasaan
Allah ketika Dia menghidupkan makhluk yang mati. Seorang suami dan istri
tiadalah mungkin mampu hidup berdampingan selamanya. Kelak satu dari mereka
akan saling meninggalkan menuju ke alam yang lain. Allah juga Sang Pembolak-
balik hati dan Maha Mengetahui juga Maha Menguasai hati manusia. Terdapat doa
yang menyanjung Allah sebagai pembolak-balik hati, serta permintaan agar Allah
mengarahkan hati manusia kepada agama Islam. Juga ada hadis Nabi yang kurang
lebih isinya menyatakan bahwa hati manusia berada di antara jari-jemari Allah dan
Dia mampu mengubahnya sesuai dengan kehendak-Nya.

Jika terjadi perceraian antara seorang muslim dan seorang non-muslim dan
sudah mempunyai anak, maka hal ini dapat menjadi musibah. Dalam peradilan
hukum Indonesia, hak asuh ditentukan oleh pengadilan dengan didasari bermacam
pertimbangan dari sebab-musabab perceraian, kondisi ekonomi, dan keluarga besar.
Jika ternyata hak asuh jatuh ke tangan pihak non-muslim, maka muslim akan,
setidaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan sang
anak. Kemungkinan besar sang anak akan tumbuh dalam lingkungan dan penerapan
nilai-nilai non-islami. Hal ini akan berujung kepada lepasnya atau tersesatnya sang
anak dari ajaran Islam yang lurus. Dapat dikatakan bahwasanya, pihak muslim telah
menjerumuskan anaknya menjadi murtad atau keluar dari Islam. Jika hak asuh jatuh
ke tangan pihak muslim, maka selamatlah sang anak dari lembah kesesatan menuju
jalan yang diridai Allah, agama Islam.

Pernikahan yang diawali dengan rasa cinta saja, tanpa agama, hanya akan
bertahan pada awal perjalanan rumah tangga. Seiring berjalannya waktu, iman dan
kebutuhan rohani suami dan istri bertambah besar. Masing-masing ingin
memberikan pengaruh keyakinannya pada keturunan mereka. Hal ini dapat
menyebabkan konflik batin yang tidak dapat diatasi dengan toleransi sekali pun.
Meski ada yang mampu memisahkan antara agama dan perasaannya, dan menjalani
hidup dengan penuh toleransi, hal ini tidak bertahan lama. Pernikahan tidak terbatas
pada hubungan sebadan saja, melainkan sehati dan sepikiran, yang akan sulit
tercapai jika pandangan hidup masing-masing berbeda.

Pada masa lalu, menikahi perempuan ahli kitab adalah bagian dari dakwah
Islam. Bahkan tidak sedikit sahabat Nabi dan para Tabi ’in yang menikahi
perempuan ahli kitab, seperti Utsman bin Affan, Thalhah, dan Zubair. Tetapi perlu
diketahui bahwa pada masa itu, para sahabat yang ikut berperang sulit sekali
kembali ke rumahnya. Demi mencegah zina, mereka mengawini perempuan ahli
kitab, dan ada pula perempuan ahli kitab yang masuk Islam, seperti istri Utsman
bin Affan yang sebelumnya adalah seorang Nasrani.
Ada pun pernikahan beda agama yang di lakukan oleh para Tabi ‘in dan
sesudahnya disebabkan karena pada masa itu, perempuan belum memiliki pengaruh
yang kuat terhadap lelaki. Budaya taat pada suami masih sangat kental. Istri akan
mengikuti suami, dan menaati perintahnya, sehingga lelaki muslim dapat
memberikan pengaruh pada perempuan ahli kitab agar masuk Islam. Tetapi pada
masa kini, pengaruh perempuan tidak kalah dengan lelaki, bahkan bias
mengungguli pengaruh lelaki. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan
kebalikannya, yaitu lelaki muslim menjadi murtad karena terpengaruh oleh istrinya
yang ahli kitab.

2. Jalan Tengah Terhadap Pernikahan Beda Agama

Pernikahan beda agama bagi para sebagian ulama adalah boleh dengan
catatan, lelaki muslim dengan perempuan ahli kitab. Katakanlah seorang lelaki
muslim menikah dengan perempuan Nasrani, maka hemat penulis, berdasarkan
pendapat ulama, boleh. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, pernikahan beda
agama adalah penyatuan perbedaan yang sangat fundamental. Pasangan suami-istri
harus memahami betul risiko dan segala kemungkinan yang akan terjadi selama
berumah tangga. Jangan sampai pernikahan mereka berakhir sia-sia karena
penyesalan di akhir, juga jangan sampai keturunan mereka menjadi korban karena
perbedaan yang mereka coba satukan.

D. Kesimpulan

Pernikahan beda agama memiliki hukum yang berbeda sesuai dengan


jenisnya. Pernikahan antara perempuan Muslimah dengan semua non-muslim
termasuk ahli kitab adalah mutlak haram. Pernikahan lelaki muslim dengan
perempuan non-muslim adalah haram, tetapi menjadi makruh atau mubah bagi
sebagian ulama jika perempuan yang dinikahi adalah ahli kitab. Tetapi hukum di
Indonesia dan MUI menyatakan pernikahan beda agama antara muslim dengan
semua non-muslimah, termasuk juga ahli kitab adalah dilarang atau haram dengan
dalih kemaslahatan umat Indonesia.
Pernikahan beda agama antara muslim dengan perempuan ahli kitab tidak
selayaknya dihukumi secara hitam dan putih karena di dalamnya terdapat kebaikan
juga keburukan. Pernikahan beda agama antara muslim dengan perempuan ahli
kitab dapat menjadi ladang dakwah dan upaya menyelamatkan kaum yang tersesat
dari jalan yang lurus menuju kebenaran hakiki, yaitu Islam. Tetapi di sisi lain juga
terdapat risiko yang besar, seperti kegagalan rumah tangga, dilema pendidikan
anak, dan risiko terjerumusnya ke dalam kesesatan.

Pada akhirnya, pilihan kembali kepada setiap individu muslim untuk


memilih mana yang lebih sesuai dengan diri mereka. Para muslim bebas memilih
untuk menikahi perempuan ahli kitab yang terjaga dari maksiat, Yahudi maupun
Nasrani. Selama mereka memahami risiko dan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi, serta merasa bahwa diri telah pantas dan sanggup menjalani
perbedaan dalam bahtera rumah tangga, menikahi perempuan ahli kitab tidak
menjadi masalah. Wallahu a’lam.
E. Referensi

Alquran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka Alhidayah (Banten: Kalim, 2010)

FATWA MAJELIS ULAMA Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005


Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA

M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005)

Masthuriyah Sa’dan, Jurnal berjudul MEMILIH PASANGAN BAGI ANAK


PEREMPUAN: KAJIAN FIQIH & HAM. (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2016)

Perisai Perempuan; Kesepakatan Internasional untuk perlindungan perempuan


(Jakarta: LBH APIK, 1999)

Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif


Kesetaraan dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006)

Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender dalam Islam: Konvensi PBB dalam Perspektif
Mazhab Shafi’i (Jawa Timur: Kelompok Intrans Publishing, 2015)

Mahmuda, Azzam. Jurnal yang berjudul "Konsep Ideal/ Utama (Al-Madinah Al-
Fadilah) menurut Al-Farabi". Medan.

Anda mungkin juga menyukai