Anda di halaman 1dari 35

UNIVERSITAS INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS HUKUM PERKAWINAN


MENGANAI PEMBATALAN PERKAWINAN
KARENA KELAINAN SEKSUAL
(Studi Kasus Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS)

SKRIPSI

Gideon Mario
0806342176

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
Januari 2013

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


ABSTRAK

Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat, dapat diajukan permohonan


pembatalan ke Pengadilan. Pada kenyataannya banyak sekali alasan yang dapat diajukan
untuk melakukan pembatalan perkawinan. Bentuk penulisan ini adalah penelitian yuridis
normatif yaitu penelitian yang secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat
di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan.
Pada penulisan ini, penulis berusaha melakukan analisis apakah pertimbangan hakim
dalam putusan nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS sudah sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku mengenai pembatalan perkawinan. Alasan pembatalan
perkawinan dalam kasus ini adalah karena kelainan seksual. Kelainan seksual dalam
kasus ini baru diketahui setelah pernikahan berjalan 3 bulan. Sehingga dalam penulisan
ini penulis mencoba untuk menganalisis apakah kelainan seksual termasuk dalam klausa
penipuan dan salah sangka seperti yang terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang
No. 1 tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Ternyata dapat
ditemukan bahwa kelainan seksual dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan karena
termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka. Penulis menyarankan kepada setiap
pasangan yang akan melangsungkan perkawinan untuk lebih terbuka kepada
pasangannya.

Kata Kunci : perkawinan, pembatalan perkawinan, kelainan seksual.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuhan yang Maha Esa menciptakan isi alam semesta ini senantiasa berpasang-
pasangan. Misalnya siang dan malam, langit dan bumi, positif dan negatif, terang dan
gelap. Begitu pula setiap makhluk hidup termasuk manusia, ada pria (laki-laki) dan
wanita (perempuan). Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu ingin hidup bersama sejak
lahir sampai meninggal dunia, sehingga pada diri manusia terdapat hasrat untuk
berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok.
Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk menyendiri
tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia harus
bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam
1
masyarakat. Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah
kepercayaan, kesusilaan, sopan santun, dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu
kepentingan manusia dilindungi oleh ke-empat macam kaidah tersebut. Untuk menelaah
perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya
dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi.2
Sudah kodratnya juga diantara laki-laki dan perempuan memiliki rasa ketertarikan
antara satu dengan yang lainnya. Dari rasa ketertarikan tersebut timbul rasa cinta dan
kasih sayang yang kemudian melembagakannya dalam sebuah ikatan suci perkawinan.
Perkawinan merupakan hubungan hukum sebagai pertalian yang sah antara seorang pria
dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu
yang selama mungkin. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung
jawab antara suami dan istri. Oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan.3
Sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap
mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini sudah tentu yang paling tepat
untuk merealisasikannya adalah dengan melangsungkan sebuah perkawinan. Perkawinan

1
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, cet 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.
2
Ibid  
3
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Aksara. 1988), hlm. 97.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak
diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga. Sebuah perkawinan dimulai
dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak, suami dan
istri, yang senantiasa diharapkan dapat berjalan dengan baik, kekal abadi, yang
didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
perkawinan itu sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan (untuk selanjutnya disebut UU Perkawinan).4
Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana dan
dipertahankan oleh anggota masyarakat serta para pemuka agama. Peraturan ini
mengalami berbagai macam penyesuaian sesuai dengan perkembangan dalam
masyarakat, di antaranya dipengaruhi oleh pengetahuan, kepercayaan, dan keagamaan
yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Peraturan hukum yang mengatur
perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pada
pembedaan penduduk di Indonesia yaitu sebagai berikut.5
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah
diresapi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang
beragama Islam jika melakukan sebuah perkawinan berlaku ijab kabul antara
mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini merupakan
budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang.
2. Bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie
Christen Indonesia (HOCI) S. 1933 Nomor 74.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan
Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan
asing lainnya berlaku hukum adat mereka.

4
Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Trisakti,
1990), hlm. 10.
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
(Bandung: Mandjar Maju, 1990), hlm. 5.  

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


6. Bagi orang Eropa dan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Eropa dan
yang dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
Peraturan dan budaya dalam perkawinan yang berlaku dalam masyarakat tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada. Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama membutuhkan suatu aturan
yang bersifat nasional. Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya UU
Perkawinan. UU Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman dalam
penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dengan tetap
menampung kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat.6
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
UU Perkawinan menganut sejumlah asas (prinsip) sebagai berikut.7
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.
2. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
3. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.
4. Perkawinan bebas monogami terbuka.
5. Calon suami dan calon istri harus sudah matang secara kewajiban untuk
melangsungkan perkawinan.
6. Batas usia perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.
7. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan (Hanya sesuai
ketentuan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam).
8. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
Dalam Islam pengertian perkawinan terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 2. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang

6
Malik, Op. Cit., hlm.2.
7
Ibid., hlm. 6.  

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


sangat kuat mistaqon ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Suatu hubungan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan
pembatalan. Perkawinan yang putus karena adanya suatu pembatalan dapat terjadi
sekalipun dari perkawinan tersebut telah lahir seorang anak. Pembatalan dapat terjadi
terhadap perkawinan yang ternyata tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan, namun perkawinan sudah dilangsungkan.8
Bagaimanapun ketatnya pengawasan, namun kemungkinan terjadinya perkawinan
yang dilarang oleh hukum dapat saja terjadi. Sudah selayaknya perkawinan tersebut dapat
dibatalkan oleh karena tidak ada manfaatnya. Pembatalan dapat diajukan lewat
pengadilan agar suatu perkawinan tertentu dinyatakan sah atau batal. Pembatalan
perkawinan dengan putusan pengadilan itu dianggap seolah-olah sama sekali tidak terjadi
perkawinan. Sehingga akibat hukum yang terjadi sebelum putusan itu tetap
dipertahankan. Misalnya bila sudah ada anak dari perkawinan itu, maka anak tersebut
tetap merupakan anak sah dari suami istri yang bersangkutan.9
Sebuah perkawinan yang didasari ikatan lahir batin dapat dikatakan sah jika telah
memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yaitu apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 2
ayat (1) di atas, dapat dimengerti bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan
keagamaan. Oleh karena itu sah atau tidaknya suatu perkawinan sepenuhnya pada hukum
masing-masing agama. Hal ini mengakibatkan apabila ada suatu perkawinan yang
dilaksanakan bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya menurut Undang-
Undang Perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai
ikatan perkawinan.
Apabila dalam pelaksanaan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat sahnya
perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan, pembatalan perkawinan
menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau
dianggap tidak pernah ada.

8
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hlm. 284.
9
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Karya Gemilang, 2007), hlm. 24.  

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Pembatalan perkawinan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU
Perkawinan yang menentukan bahwa : “Perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Perkawinan dapat
dibatalkan di sini menurut Penjelasan atas Pasal 22 UU Perkawinan, diartikan bisa batal
atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak
menentukan lain. Alasan-alasan dalam UU Perkawinan yang dapat diajukan untuk
pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan.
Pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh : (1) salah satu dari suami atau istri
yang bersangkutan, (2) keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri,
(3) pejabat yang berwenang, (4) pejabat yang ditunjuk.10Apabila perkawinan tersebut
merupakan perkawinan kedua kalinya dari suami atau istri, maka pembatalan dapat
diajukan oleh orang yang masih terikat perkawinan dengan salah satu dari pasangan
suami istri tersebut.11
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dalam pasal 27 Undang-undang nomor 1
tahun 1974 dijelaskan mengenai alasan bagi suami atau istri untuk melakukan
pembatalan perkawinan yaitu :
a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum.
b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai calon suami atau istri.
Menurut Pasal 25 jo Pasal 63 UU Perkawinan, permohonan pembatalan
perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan, Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam
dan Pengadilan Negeri bagi Non-Islam. Pembatalan Perkawinan mempunyai arti yang
sangat penting karena dari perkawinan yang dibatalkan akan berdampak bukan hanya
kepada pasangan perkawinan saja, namun juga berdampak bagi pihak-pihak yang
berhubungan dengan perkawinan tersebut. Misalnya seperti harta benda dalam
perkawinan (Pasal 35 UU Perkawinan) dan apabila pembatalan dilakukan setelah

10
Indonesia (a), Undang-undang tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, LN No. 1
Tahun 1974, TLN NO. 3019, Pasal 23.
11
Ibid.,Pasal 24.  

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


mempunyai keturunan atau anak, maka berdampak pula pada anak yang dilahirkan dari
suatu perkawinan yang dibatalkan (Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan).
Pada faktanya, banyak terjadi kasus mengenai pembatalan perkawinan yang
terjadi di Indonesia. Seperti yang terjadi pada tahun 2008 lalu antara Montassya Uly Basa
Hutauruk dan Adrianus Herman Henok, dimana orang tua dari Montassya memintakan
pembatalan perkawinan kepada pengadilan negeri Jakarta selatan karena perkawinan
anaknya yang dianggap tidak jelas. Selain itu ada kasus pembatalan perkawinan yang
disebabkan karena poligami, pemalsuan identitas, dan sebagainya. Bahkan kasus
pembatalan perkawinan sudah merambat ke aparat kepolisian seperti yang terjadi di
Bone, Sulawesi Selatan yaitu pada Bripka FA.
Penulis tidak mengangkat kasus tersebut karena penulis mendapatkan kasus yang
lebih menarik untuk dibahas yaitu antara Dwi Patra dengan Endar Bayu Asmoro. Penulis
membahas topik pembatalan perkawinan karena pada dasarnya perkawinan itu
berlangsung hanya sekali seumur hidup dan tidak dapat dipisahkan oleh apapun kecuali
oleh kematian. Maka dari itu penulis berpikir bahwa seharusnya sebelum melangsungkan
sebuah perkawinan, kedua calon mempelai harus mengenal setiap pasangan mereka. Hal
ini dikarenakan perkawinan merupakan suatu ikatan yang bersifat abadi dan hanya dapat
dipisahkan oleh kematian.
Dalam kasus ini Dwi Patra memohon pembatalan perkawinan kepada pengadilan
agama Jakarta Selatan dengan alasan Endar Bayu mengalami kelainan seksual yang
membuat Bayu tidak tertarik dengan lawan jenis melainkan lebih tertarik dengan sesama
jenis. Menarik bagi penulis untuk membahas kasus ini mengingat alasan pembatalan
perkawinan yang diajukan oleh Dwi Patra adalah karena Bayu mengalami kelainan
seksual. Kelainan seksual disinilah yang membuat penulis merasa kasus ini menarik
untuk ditinjau secara yuridis dan dibahas lebih mendalam. Penulis akan meninjau apakah
alasan kelainan seksual dapat dijadikan alasan untuk dilakukannya pembatalan
perkawinan. Selanjutnya penulis juga akan membahas akibat dari pembatalan perkawian
itu sendiri. Hal ini dikarena pada dasarnya pembatalan perkawinan itu sangat merugikan
banyak pihak. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini dapat membantu dan
mengurangi kasus-kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di Indonesia. Penulis akan
membahas kasus ini ditinjau dari dua peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.
Dengan melihat latar belakang permasalahan di atas, maka penulis akan
membahas permasalahan ini dalam penulisan skripsi dan dikemukakan satu judul
penulisan sebagai berikut : “Tinjauan Yuridis Hukum Perkawinan Mengenai
Pembatalan Perkawinan Karena Kelainan Seksual (Studi Kasus Putusan Nomor
0294/Pdt.G/2009/PA.JS)”

1.2 Pokok Permasalahan


1. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan pada umumnya berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimanakah proses pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya
berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam?
3. Apakah pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS
telah memenuhi prosedur pembatalan perkawinan di Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami
apakah kelainan seksual dapat dijadikan alasan terjadinya pembatalan
perkawinan?

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai
berikut :

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


1. Untuk memaparkan pengertian perkawinan pada umumnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1874 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Untuk menjelaskan pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
3. Untuk menganalisis apakah pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor
0294/Pdt.G/2009/PA.JS terkait pembatalan perkawinan di Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.

1.4 Metode Penelitian


Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian yang
secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Metode yang dipakai
dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan karena dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka. Selanjutnya, dilihat dari tipologi penelitian yaitu dari sudut sifatnya,
penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis,
yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan kaidah hukum dan informasi
yang diperoleh dan kemudian dianalisis. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan
menganalis, yakni menggambarkan dan menganalisa masalah hukum yang terdapat
dalam putusan tersebut, sehingga pada akhirnya dapat ditarik sebuah
kesimpulan.12Dilihat dari tujuannya, penelitian ini bersifat untuk mengevaluasi masalah
hukum yang terdapat dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS, kemudian dianalisis
dan dibuat kesimpulannya yang disebut dengan penelitian problem identification.13
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku
dan segala peraturan perundang-undangan atau dokumentasi. Data sekunder yang

12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43.
13
Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
UI, 2005), hlm. 5.  

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


digunakan adalah data sekunder yang bersifat umum, yaitu data yang berupa tulisan-
tulisan dan berbagai data lain yang diperlukan untuk penelitian ini yang terdiri dari hal
berikut.
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yang meliputi peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi, merupakan bahan utama sebagai dasar landasan hukum yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain adalah UU Perkawinan, KHI, dan beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan
hukum primer. Bahan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
buku-buku dan tesis.
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan
antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi studi dokumen atau bahan
pustaka. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif.
Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara
tertulis.

1.5 Definisi Operasional


Untuk menghindari kesalahpahaman mengenai hal-hal yang dimaksud dalam
penelitian ini, berikut definisi tentang hal-hal tersebut yang diambil peruturan perundang-
undangan, pendapat para ahli, ataupun kamus yang ada. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan :

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


1. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 14
2. Akibat hukum adalah suatu akibat yang timbul karena adanya suatu peristiwa
hukum.15
3. Status hukum adalah keadaan atau kedudukan seseorang di mata hukum.16
4. Batal Demi Hukum adalah null and void, yaitu suatu kondisi di mana tidak
terpenuhinya syarat objektif dari suatu perjanjian. Dalam hal demikian, secara
yuridis dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak ada
pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian
itu.17
5. Dapat dibatalkan adalah voidable, yaitu kondisi di mana tidak terpenuhinya syarat
subjektif dari suatu perjanjian. Dalam hal demikian, perjanjian tersebut bukan
batal demi hukum, melainkan dapat dimintakan pembatalan.18
6. Pembatalan Perkawinan adalah suatu tindakan pengadilan yang berupa keputusan
yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, dan oleh
karenanya dianggap tidak pernah ada.19 Pembatalan perkawinan dapat dilakukan
bila para pihak tidak memenuhi syarat dalam melangsungkan perkawinan.20

1.6 Sistematika Penelitian


Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah dan memberikan gambaran
yang jelas mengenai hal-hal yang akan diteliti, maka pelaporan hasil penulisan ini
akan dibagi menjadi beberapa bab, yang urutannya adalah sebagai berikut .
BAB 1 : Pendahuluan

14
Indonesia (a), Op. Cit., Pasal 1.
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Balai Pusata,
1991). Hlm. 17.
16
Ibid., hlm. 962.
17
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 22.
18
Ibid.
19
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata
Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 59.
20
Indonesia (a), Op. Cit., Pasal 22.  

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Bab ini menjelaskan alasan penelitian ini dilakukan oleh penulis dan hal-
hal yang telah dan belum diketahui oleh penulis berkaitan dengan penelitian ini.
Penulis menguraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, definisi operasional, dan
sistematika penulisan.
BAB 2 : Tinjauan Yuridis Mengenai Perkawinan
Bab ini membahas tinjauan yuridis mengenai perkawinan, yang meliputi
pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat sah nya perkawinan, dan akibat
hukum perkawinan ditinjau dari UU Perkawinan dan KHI.
BAB 3 : Tinjauan Yuridis Mengenai Pembatalan Perkawinan
Bab ini menjelaskan tinjauan yuridis mengenai pembatalan perkawinan
dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan itu sendiri ditinjau dari UU
Perkawinan dan KHI.
BAB 4 : Analisis Terhadap Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS
Pada bab ini penulis melakukan analisis terhadap Putusan Nomor
0294/Pdt.G/2009/PA.JS dalam analisis yuridis mengenai hal-hal yang
menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan, pertimbangan hakim untuk
menolak permohonan dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS, dan
kesesuaian pengaturan mengenai pembatalan perkawinan dalam Putusan Nomor
0294/Pdt.G/2009/PA.JS dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan KHI.

BAB 5 : Penutup
Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan yang
berisi kesimpulan dan saran. Penulis akan memberikan kesimpulan dan saran-
saran yang diambil berdasarkan analisis terhadap perkara ini.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


BAB 2
ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN
KARENA KELAINAN SEKSUAL
Studi kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS

4.1 Kasus Posisi


4.1.1 Kronologi Kasus
Kasus ini diajukan oleh Penggugat yaitu seorang wanita selaku istri yang bernama
Dwi Patriati, S.E, binti Tjuk Raharjdjo, berumur 27 tahun beragama Islam, bekerja
sebagai pegawai swasta, dan memiliki pendidikan terakhirnya strata 1. Penggugat
bertempat tinggal di Jl. Rambutan No. 101 Rt. 01/01, Keluruhan Pondok Labu,
Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Dimana yang sebagai Tergugatnya adalah
suaminya sendiri yang bernama Endar Bayu Asmoro, S.E, berumur 28 tahun, beragama
Islam, bekerja sebagai pegawai swasta. Tergugat bertempat tinggal di Jl. Amal Bakti No.
19 Rt. 03, Kelurahan Pondok Ranji, Kecamatan Ciputat, Tangerang.
Kasus ini berawal dari diajukannya surat gugatan pada tanggal 11 Februari 2009
oleh Dwi Patra, S.E, yang mana telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dan surat gugatan yang telah di daftar itu bernomor register
0294/Pdt.G/2009PAJS tanggal 12 Februari 2009. Isi tersebut menyatakan bahwa antara
Dwi Patra dan Endar Bayu Asmoro telah melangsungkan perkawinan yang mana
dilakukan pada tanggal 2 Nopember 2008 yang dicatat di PPN Kantor Urusan Agama
Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan kutipan nikah yang dikeluarkan KUA bernomor
1180/12/XI/2008 tanggal 3 Nopember 2008.
Dwi Patra juga menyatakan dalam surat gugatannya bahwa selama perkawinan
belum pernah sekalipun berhubungan badan dengan suaminya yaitu Endar Bayu Asmoro
atau dalam Islam disebut qabla dukhul. Selama perkawinan berlangsung selama satu
minggu, pernah ada kemauan antara Dwi dan Endar untuk melakukan hubungan suami
isteri namun Endar sebagai suami tidak dapat melakukannya. Setelah perkawinan
berjalan selama dua bulan Endar dan suami mengaku kepada Dwi atau isterinya bahwa

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


dia memiliki kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis. Ternyata alasan inilah yang
membuat tidak dilakukannya hubungan suami isteri.
Setelah adanya pengakuan dari Endar kepada Dwi, Dwi sebagai isteri merasa
telah dibohongi oleh Endar. Begitu pula dengan orang tua Dwi dan keluarganya tidak
menerima atas kebohongan yang dilakukan oleh Endar. Oleh karena alasan itu, Dwi
mengajukan gugatan pembatalan nikah dengan alasan bahwa dalam pernikahan telah
terjadi penipuan yang dilakukan Endar kepada Dwi, sesuai yang diatur dalam Pasal 72
ayat (2) KHI yang berbunyi “seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan
atau salah sangka pada diri suami atau isteri.”
Adanya dalil-dalil dan alasan tersebut diatas maka diajukanlah gugatan
pembatalan nikah tersebut kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Penggugat meminta kepada majelis hakin untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut :
1. mengabulkan gugatan Dwi untuk seluruhnya.
2. membatalkan perkawinan antara Dwi Patriati , S.E dengan Endar Bayu Asmoro,
S.E, yang mana perkawinan tersebut dilaksanakan di KUA Kecamatan Tanah
Abang Jakarta Pusat, pada tanggal 2 Nopember 2008 dengan akta nikag nomor
1180/12/XI/2008 tertanggal 3 Nopember 2008.
3. menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Setelah gugatan dimohonkan, maka pada hari sidang yang telah ditentukan
dengan surat surat panggilan yang telah disampaikan resmi dan patut Dwi maupun Endar
hadir di persidangan. Majelis Hakim yang berwenang dalam perkara ini sebelumnya
sudah melakukan upaya-upaya yaitu menasehati dan mencoba mendamaikan Dwi dan
Endar. Namun hal tersebut tidak berhasil dan Dwi menyatakan ingin tetap pada
gugatannya.
Gugatan yang diajukan oleh Dwi telah memberikan jawaban dari Endar dengan
lisan bahwa Endar mengakui dan membenarkan dalil Dwi. Dalil yang dimaksud adalah
bahwa benar selama pernikahan belum terjadi hubungan suami isteri antara Dwi dan
Endar yang dikarenakan Endar dalam hal seksual lebih suka dengan sesama jenis.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Sebelum pernikahan pun Endar tidak memberitahukan kepada Dwi. Atas gugatan
tersebut, Endar tidak merasa keberatan untuk membatalkan perkawinannya dengan Dwi.
Di dalam persidangan, Dwi menyampaikan bukti-bukti sebagai berikut.

1. Bukti Surat
Salah satu bukti surat yaitu Foto copy Kutipan Akta Nikah No. 1180/12/XI/1989
tanggal 3 Nopember 2008 dari KUA, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat,
bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, bukti lainnya yaitu
potocopy Kartu Tanda Penduduk Dwi, Endar, yang bermaterai cukup dan telah
dicocokkan dengan aslinya.
2. Saksi-saksi
a. Ibu Kandung Dwi Patriati, SE
Dalam kesaksiannya dia membenarkan bahwa anaknya yaitu Dwi telah
melangsungkan pernikahan dengan Endar pada tanggal 2 Nopember 2008
dan belum dikaruniai anak. Ibu Dwi mengatakan bahwa pada awalnya
rumah tangga Dwi dan Endar rukun-rukun saja. Tetapi Dwi bercerita
kepada saksi bahwa ia tidak bahagia bersuamikan Endar karena Endar
tidak bisa memberikan nafkah batin yaitu berhubungan suami isteri. Hal
ini disebabkan Endar tidak memiliki gairah dan tidak mampu melakukan
hubungan suami isteri karena lebih menyukai sesama jenis. Setelah itu
saksi mengkonfirmasi kepada Endar dan ia mengakuinya. Tergugat tidak
mengetahui mengenai diri Endar yang mengalami kelainan seksual
tersebut. Saksi juga mengetahui bahwa selama satu setengah bulan ini Dwi
dan Endar sudah pisah tempat tinggal.

b. Yenny Agustina Hermandi binti Sudibyo (ibu kandung Endar Bayu


Asmoro, SE)
Saksi mengaku bahwa Dwi dan Endar telah menikah pada tanggal 2
Nopember 2008 dan belum memiliki anak. Sebelum menikah Dwi dan
Endar telah berkenalan kurang lebih selama 5 tahun. Yenny mengatakan
bahwa Endar bercerita kepadanya bahwa ia tidak bisa memberikan nafkah

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


bathin kepada Dwi karena Endar lebih suka dengan sesama jenis. Kelainan
seksual pada Endar diketahui Yenny setelah Endar dan Dwi menikah.
Yenny juga mengetahui bahwa Endar dan Dwi telah pisah tempat tinggal.

Keterangan dari bukti-bukti yang ada maka pertimbangan hakim dalam


melakukan putusan adalah sebagai berikut.
1. Hakim menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Endar yang diperkuat dengan
bukti foto copy akta pernikahan maka terbukti bahwa benar antara Dwi dan Endar
telah terjadi perkawinan yang sah sejak tanggal 2 Nopember 2008.
2. Hakim menimbang karena yang menjadi permasalahan dalam gugatan Dwi yaitu
ingin membatalkan perkawinannya dengan Endar yang dilangsungkan pada
tanggal 2 Nopember. Hal ini dikarenakan Endar telah membohongi Dwi dan
keluarga, yaitu menderita kelainan seksual yakni menyukai sesama jenis, yang
sebelum pernikahan tidak pernah diberitahukannya.
3. Hakim juga menimbang dari dalil Dwi bahwa Endar mengakui dan membenarkan
bahwa dia memiliki kelainan seksual yang menyukai sesama jenis. Dan sebelum
menikah, Endar tidak pernah menceritakannya kepada Dwi dan keluarganya.
4. Hakim melakukan pertimbangan berdasarkan Pasal 174 HIR yang mana
pengakuan Endar bahwa ia memiliki kelainan seksual telah mempunyai kekuatan
pembuktian.
5. Hakim mempertimbangkan berdasarkan pengakuan Endar, keterangan saksi-saksi
terbukti bahwa Endar sebelum melangsungkan pernikahan dengan Dwi, Endar
tidak pernah memberitahukan tentang keadaan dirinya kepada Dwi maupun
keluarga.
6. Adanya bukti surat keterangan dari dokter Ahli terbukti bahwa Endar mengalami
kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis dalam melakukan hubungan badan.
7. Hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan jo Pasal
72 ayat (2) KHI, maka perkawinan Dwi dan Endar tersebut harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu gugatan Dwi dapat dikabulkan.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


8. Hakim menimbang bahwa menurut Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun
1989 yang diamandemen dengan Undang-Undang no. 3 tahun 2006, Penggugat
dibebani untuk membayar biaya perkara.

4.1.2 Hasil Putusan


Setelah Hakim mempelajari segala permasalahan dan menimbang berdasarkan
bukti dan fakta yang ada, maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan memutuskan sebagai
berikut.
1) Mengabulkan gugatan Dwi.
2) Membatalkan perkawinan antara Penggugat yaitu Dwi Patriati, SE dengan
Tergugat yaitu Endar Bayu Asmoro, SE yang dilaksanakan di wilayah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada tanggal 2
Nopember 2008 dengan kutipan akta nikah No. 1180/12/XI/2008 tanggal 3
Nopember 2008.
3) Membebankan Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
161.000,- (seratus enam puluh satu ribu rupiah).

Demikian putusan tersebut dijatuhkan dalam musyawarah Majelis Hakim


Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pada hari Kamis tanggal 16 April 2009.

4.2 Analisis Menganai Perkawinan


Merujuk pada pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan sah apabila dilakukan
menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, maka harus
ditinjau terlebih dahulu apakah perkawinan yang dilangsungkan oleh Penggugat dan
Tergugat telah sah di mata hukum agama kedua calon mempelai. Sebagaimana diketahui
bahwa keduanya menganut agama Islam, maka perkawinan tersebut haruslah memenuhi
5 (lima) syarat rukun nikah, yaitu : calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali,
saksi, dan ijab kabul.
Calon mempelai wanita dalam kasus ini sudah jelas terlihat yaitu Dwi Patriati.
Sedangkan calon mempelai pria nya adalah Endar Bayu Asmoro, yang dalam kasus ini
tidak memenuhi persyaratan menjadi seorang suami karena mengalami kelainan seksual.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Namun pada saat dilangsungkannya proses perkawinan, Dwi tidak mengetahui bila Endar
mengalami kelainan seksual. Menurut Hukum Islam juga dijelaskan bahwa salah satu
syarat untuk melangsungkan perkawinan adalah kedua pasangan tersebut harus beragama
Islam. Dalam kasus ini Dwi dan Endar sama-sama beragama Islam. Selain itu, usia
mereka pada saat melangsungkan perkawinan adalah 26 (dua puluh enam) untuk Dwi dan
27 (dua puluh tujuh) tahun untuk Endar. Sehingga Endar dan Dwi sudah dalam usia yang
layak untuk melangsungkan perkawinan. Dalam kasus ini Dwi dan Endar juga telah
berpacaran selama 5 tahun. Seharusnya, baik Dwi dan Endar telah mengetahui kondisi
dan mengenal baik pasangannya. Maka dari itu sungguh sangat disayangkan dalam kasus
ini Dwi tidak mengetahui bahwa Endar mengalami kelainan seksual, mengingat mereka
sudah berpacaran selama 5 tahun. Dengan demikian penulis menganggap syarat calon
mempelai pria dan wanita sudah terpenuhi walaupun Endar sebagai pria mempunyai
kecenderungan menyukai sesama pria.
Selanjutnya dalam kasus ini juga terdapat wali bernama Yenny Agustina Hernani
yang merupakan ibu kandung Tergugat. Yenny Agustina sendiri mengetahui dengan
benar bahwa perkawinan antara Endar dan Dwi dilaksanakan pada tanggal 2 Nopember
2008. Menurut Pasal 6 ayat (4) UU Perkawinan dijelaskan bahwa yang dapat menjadi
wali adalah yang memiliki hubungan darah dengan calon mempelai. Dengan demikian
karena wali disini adalah ibu kandung Tergugat, maka syarat wali sudah terpenuhi.
Apabila dilihat dari KHI, dalam Pasal 21 terdapat empat kelompok wali nasab. Penulis
beranggapan bahwa syarat wali juga sudah terpenuhi karena kedua orangtua mereka
mengetahui perkawinan tersebut dan menjadi wali dalam proses perkawinan ini.
Dalam proses perkawinan antara Endar dan Dwi, penulis yakin bahwa syarat ijab
kabul dan saksi sudah terpenuhi. Dalam KHI Pasal 24 dijelaskan bahwa saksi adalah hal
yang terpenting dalam proses akad nikah. Sehingga penulis beranggapan bahwa proses
akad nikah dalam kasus ini juga sudah berjalan dengan benar sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya bukti Akad Nikah No.
1180/12/XI/2008 tertanggal 3 Nopember 2008 yang tertulis dikeluarkan oleh KUA Tanah
Abang, Jakarta Pusat. Dengan dikeluarkannya akta ini menunjukan bahwa perkawinan
tersebut telah tercatat dengan resmi, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dan telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Sehingga penulis berkesimpulan

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


bahwa Pasal 27, 28, 39 KHI juga sudah terpenuhi, karena proses ijab kabul telah
dilakukan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penulis berpendapat bahwa perkawinan antara Dwi dan Endar telah memenuhi
syarat perkawinan dalam UU Perkawinan. Adapun syarat tersebut terdiri dari syarat
materil umum, syarat materil khusus, syarat formil sebelum dilangsungkannya
perkawinan dan syarat formil saat dilangsungkannya perkawinan.
Perkawinan antara Dwi dan Endar telah memenuhi syarat materil umum. Hal ini
dikarenakan sudah adanya persetujuan kedua calon mempelai untuk melangsungkan
pernikahan. Sehingga telah memenuhi Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Selanjutnya
Endar dan Dwi telah memenuhi syarat batas usia untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam Pasal 7 UU Perkawinan batas usia untuk nikah adalag 19 (Sembilan belas) tahun
bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
Pernikahan Endar dan Dwi juga terbukti tidak ada dasar untuk berpoligami.
Maksudnya adalah baik Endar dan Dwi tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
Sehingga memenuhi asas monogami relatif. Penulis juga yakin bahwa Dwi tidak dalam
waktu tunggu karena terbukti Dwi belum pernah menikah dengan siapapun.
Perkawinan Endar dan Dwi juga sudah memenuhi syarat materil khusus. Hal ini
dikarenakan telah terdapat persetujuan dari wali untuk melangsungkan pernikahan.
Dalam kasus ini dibuktikan bahwa Yenny Agustina (ibu kandung Tergugat) mengakui
bahwa Endar dan Dwi menikah pada tanggal 2 Nopember 2008. Dengan demikian Pasal
6 ayat (4) UU Perkawinan telah terpenuhi. Selanjutnya pernikahan antara Dwi dan Endar
tidak terkena larangan perkawinan. Hal ini dikarenakan diantara mereka tidak terdapat
hubungan darah. Sehingga perkawinan mereka tidak terkena larangan perkawinan sesuai
yang terdapat pada Pasal 8 UU Perkawinan.
Selanjutnya Perkawinan antara Dwi dan Endar juga sudah memenuhi syarat
formil perkawinan. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Akta Nikah No.
1180/12/XI/1989 tanggal 3 Nopember 2008. Dengan demikian telah memenuhi syarat
pemberitahuan, penelitian, pencatatan, dan pengumuman. Dengan dikeluarkannya akta
nikah tersebut, maka baik Endar dan Dwi telah melakukan penandatanganan akta
perkawinan tersebut. Sehingga semua syarat formil perkawinan telah

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


terpenuhi.Berdasarkan penjelasan diatas, perkawinan Endar dan Dwi sudah memenuhi
semua syarat perkawinan baik menurut KHI dan UU Perkawinan.
Apabila dilihat dari tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan, tujuan
perkawinan disini tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tetapi sekaligus terdapat
adanya suatu ikatan batin antara suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal. Sayangnya dalam kasus ini, Endar tidak bisa memberikan nafkah batin kepada
Dwi karena Endar sendiri mengalami kelainan seksual. Sehingga dalam kasus ini, tujuan
perkawinan itu sendiri pun jelas tidak tercapai.

4.3 Analisis Pembatalan Perkawinan


4.3.1 Analisis Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Dalam Pasal 22 UU Perkawinan merumuskan : “Perkawinan dapat dibatalkan,
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Selanjutnya dalam Pasal 23 dan Pasal 24 UU Perkawinan diatur mengenai orang-orang
yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan terus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau Isteri.
c. Pejabat yang berwewenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk pada ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi
hanya setelah perkawinan itu putus.
Dalam kasus ini, pihak yang mengajukan pembatalan perkawinan adalah Dwi
Patra (Penggugat) selaku isteri dari Endar Bayu Asmoro (Tergugat). Pernikahan
Penggugat dan Tergugat diperjelas dengan adanya akta perkawinan nomor :
1180/12/XI/2008 tanggal 3 Nopember 2008. Dengan adanya akta ini membuktikan
bahwa perkawinan antara Dwi Patra dan Endar Bayu Asmoro adalah sah di mata hukum
dan agama. Maka dari itu, Dwi Patra adalah orang yang berhak untuk mengajukan
gugatan pembatalan perkawinan kepada suaminya.

4.3.2 Analisis Prosedur Pembatalan Perkawinan

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Mengenai tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan adalah harus
diajukan kepada Pengadilan yang berwenang. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 37 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi “batalnya suatu perkawinan hanya dapat
diputuskan oleh pengadilan”. Selanjutnya mengenai tatacara memajukan permohonan
dan panggilan untuk pemeriksaan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 38 PP No. 9
Tahun 1975. Dalam kasus ini Penggugat mengajukan gugatannya di Pegadilan Agama
Jakarta Selatan. Perlu diingat terdapat asas personalitas keislaman yang bermakna bahwa
yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama
hanya mereka yang beragama Islam.21 Mengingat Agama dari Penggugat dan Tergugat
adalah Islam, maka menurut analisis kompetensi kewenangan peradilan kasus ini dapat
diajukan ke Pengadilan Agama. Mengingat Pasal 38 diatas, maka Pengadilan Agama
Jakarta Selatan berhak mengadili kasus ini.
Dalam Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan dijelaskan bahwa apabila setelah jangka
waktu 6 bulan, mereka mengetahui telah terjadi salah sangka dan tetap hidup bersama,
maka upaya untuk mengadakan pembatalan perkawinan menjadi gugur. Dalam kasus ini,
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat terjadi pada tanggal 2 Nopember 2008.
Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama pada
tanggal 11 Februari 2009. Maka dengan demikian jangka waktu untuk mengajukan
gugatan pembatalan perkawinan belum melewati batas waktu.

4.3.3 Analisis Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan


Dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan dijelaskan mengenai alasan-alasan
diajukan pembatalan perkawinan yaitu sebagai berikut.P
a. Pihak yang melakukan perkawinan kedua kali masih terikat dirinya dalam suatu
perkawinan yang sah dengan orang lain.
b. Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang.
c. Perkawinan tanpa izin dari orang yang harus memberi izin perkawinan.
d. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.

21
Sulaikin Lubis, et.al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),
hlm. 61.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


e. Adanya ancaman yang melanggar hukum.
f. Alasan salah sangka (dwaling) mengenai “diri” suami atau isteri.

Salah satu alasan diatas merupakan alasan dari diajukannya pembatalan perkawinan
yaitu terjadinya salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Salah sangka yang
dimaksud dalam kasus ini adalah bahwa selama perkawinan berlangsung Endar
(Tergugat) sebagai suami telah menutupi keadaan dirinya. Maksudnya adalah bahwa
dirinya (Tergugat) mempunyai kelainan seksual yaitu lebih tertarik dengan sesama jenis.
Kelainan seksual ini disebut Homoseksual. Homoseksual adalah salah salah satu kelainan
seksual pada seseorang yang menyukai sesama jenisnya. Apabila penderita homoseksual
adalah laki-laki, maka sebutannya adalah gay. Sebaliknya jika penderita homoseksual
adalah wanita, maka sebutannya adalah lesbian. Homoseksual sebenarnya bukan penyakit
pada umumnya melainkan cenderung kepada pilihan identitas seseorang.22
Dalam kasus ini, Tergugat tidak memberitahukan kepada Penggugat mengenai
kelainan seksualnya ini sehingga membuat Penggugat telah salah sangka mengganggap
bahwa Tergugat adalah seorang Pria yang tidak memiliki kelainan seksual. Hal ini
dibuktikan dalam kasus ini bahwa setelah perkawinan berlangsung, Penggugat dan
Tergugat belum pernah melakukan hubungan suami isteri. Pada akhirnya Tergugat
mengaku kepada Penggugat bahwa sebenarnya Tergugat memiliki kelainan seksual yaitu
menyukai atau lebih tertarik dalam hal seksual dengan sesama jenis. Selain adanya
pengakuan dari Tergugat bahwa dia mengalami kelainan seksual, ditambah lagi dengan
adanya bukti surat yaitu surat keterangan dokter ahli yang menyatakan bahwa Tergugat
memiliki kelainan seksual. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan pendapat M.
Yahya Harahap di atas, maka alasan kelainan seksual dapat dijadikan alasan pembatalan
perkawinan oleh Penggugat, karena Tergugat mengalami kelainan seksual (sakit).
Penulis berpendapat alasan kelainan seksual yang diderita oleh Endar termasuk
dalam suatu kecacatan. Sehingga apabila dikaitkan dengan para pendapat ulama,
kecacatan yang baru diketahui setelah berlangsungnya perkawinan dapat dimintakan
pembatalan. Sesuai dengan pendapat Syafi’i, Hambali, dan Hanafi yaitu apabila seorang

22
http://kesehatankompas.com/read/2009/07/22/09571320/Kelainan_Seksual_Apa_Penyababnya, diunduh
tanggal 5 Desember 2012.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka istrinya dapat menjatuhkan
pilihan berpisah. Dalam kasus ini Endar tidak bisa menjalankan tugas seksualnya dan
tidak bisa memberikan nafkah batin kepada Dwi. Dengan demikian maka benar Dwi
ingin membatalkan perkawinannya dengan Endar karena Endar mempunyai kelainan
seksual yang membuat Endar tidak bisa menjalankan tugas seksualnya.
Selanjutnya apabila ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, dapat dilihat juga
mengenai alasan diajukannya pembatalan perkawinan seperti yang sudah dijelaskan pada
Bab 3. Salah satu alasan pembatalan perkawinan adalah karena penipuan dan salah
sangka mengenai diri suami atau istri. KHI melalui Pasal 72 ayat (2) menjelaskan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan tidak hanya salah langkah mengenai diri suami atau istri
tetapi juga termasuk “penipuan”. Penipuan yang tersebut di sini tidak hanya dilakukan
oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga dilakukan oleh pihak wanita.
Apabila dikaitkan dengan kasus ini, maka dapat dikatakan bahwa Tergugat telah
menipu Penggugat. Penipuan disini maksudnya adalah Tergugat telah membohongi
Penggugat tentang kelainan seksual yang dideritanya. Karena merasa dibohongi maka
dapatlah Tergugat mengajukan pembatalan perkawinan kepada Tergugat melalui
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Dengan adanya bukti-bukti berupa pengakuan dari Tergugat dan surat keterangan
dokter yang menyatakan bahwa Endar (Tergugat) benar memiliki kelainan seksual yaitu
menyukai sesama jenis, maka alasan kelainan seksual disini dapat dijadikan alasan untuk
diajukannya pembatalan perkawinan. Alat bukti yang ada disini menurut Pasal 174 HIR
telah memiliki kekuatan pembuktian dan alasan diajukan pembatalan perkawinan tersebut
telah sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI. Alasan
yang dikemukakan Penggugat adalah selama berlangsungnya perkawinan, Tergugat telah
menipu Penggugat bahwa ia memiliki kelainan seksual.
Dalam putusan Pengadilan Agama pada kasus ini, memakai kedua undang-
undang yaitu KHI dan UU Perkawinan karena keduanya mempunyai hubungan hukum
yaitu berdasarkan asas lex specialis derograt lex generalis yaitu hukum yang khusus
mengesampingkan hukum yang umum. Hukum khususnya adalah KHI yang berlaku
untuk yang beragama Islam dan hukum yang umumnya adalah Undang-undang
Perkawinan yang berlaku secara nasional tanpa membedakan agama. Namun karena UU

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Perkawinan berlaku nasional maka perlu dicantumkan pula pada putusan. Perkawinan
antara Penggugat dengan Tergugat tersebut harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum, karena hakim Pengadilan Agama telah mengabulkan semua gugatan dari
Penggugat. Dan keputusan yang diambil oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.3.4 Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan


Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0294/Pdt.G/2009/PA.JS
ini, majelis Hakim tidak memberikan atau menjelaskan akibat hukum dari pembatalan
perkawinan antara Endar Bayu dan Dwi Patriati. Maka dari itu penulis akan memberikan
sedikit analisis mengenai akibat hukum yang terjadi akibat pembatalan perkawinan antara
Penggugat dengan Tergugat.
Setelah terjadinya pembatalan perkawinan, maka timbulah akibat – akibat hukum
terhadap suami dan isteri. Namun sebelum membahas meganai akibat hukum dari
pembatalan perkawinan, penulis akan membahas sedikit lagi mengenai akibat-akibat
hukum karena adanya perkawinan. Didalam suatu perkawinan yang sah akan
menimbulkan akibat hukum sebagai berikut.23
1. Terhadap pihak suami dan pihak istri sendiri yaitu berupa timbulnya hak dan
kewajiban di antara mereka berdua dan hubungan mereka dengan masyarakat luas
(Pasal 30 – Pasal 34 UU Perkawinan).
2. Terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan (Pasal 29, Pasal 35 – Pasal 37
UU Perkawinan).
3. Terhadap mereka berdua sebagai orang tua (ayah dan ibu) nantinya dengan anak-
anak mereka yang pada akhirnya akan menimbulkan hak dan kewajiban orang tua
dan anak (Pasal 45 – Pasal 49 UU Perkawinan).

Akibat yang timbul dari perkawinan yang telah disebutkan diatas salah satunya ada;ah
hak dan kewajiban suami dan isteri. Dalam hal ini terdapat kewajiban bagi suami atau

23
Rusdi Malik, Op.Cit., hlm. 44-45

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


istri memberikan nafkah lahir maupun bathin, dan suami atau isteri tersebut juga
mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah lahir dan bathin.
Permohonan pembatalan perkawinan merupakan salah satu putusnya perkawinan
yang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Menurut Pasal 28 UU
Perkawinan, menjelaskan bahwa keputusan pembatalan perkawinan berlaku surut
terhadap hal sebagai berikut.
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan.
2. Suami atau isteri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta benda bersama
bilamana pembatalan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang terdahulu.
3. Juga terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak
mempunyai akibat hukum yang berlaku surut.24

Didalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor


0294/Pdt.G/2009/PA.JS ini, akibat dari pembatalan perkawinan antara Dwi dan Endar
adalah perkawinan mereka dianggap batal demi hukum atau tidak pernah terjadi. Hal ini
dikarenakan menurut pihak pengadilan, dalam permohonan yang diajukan oleh
Penggugat, Penggugat hanya meminta permohonan pembatalan perkawinannya saja.
Sehingga dengan demikian Buku Nikah dan Akta Nikah antara Dwi dan Endar sudah
tidak berkekuatan hukum tetap lagi oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Mengenai akibat hukum terhadap anak, penulis sempat mewawancarai Bapak
Taufik selaku pihak pengadilan setempat.
Menurut beliau “Mengenai anak yang lahir dalam perkawinan dimana dalam
kasus ini tidak ada anak yang lahir atau pasangan tersebut tidak mempunyai anak. Hal ini
disebabkan suami memiliki kelainan seksual yang menyebabkan tidak terjadinya
hubungan suami isteri, sehingga tidak ada kewajiban diantara kedua belah pihak terhadap
anak.”25
Namun apabila didalam pembatalan perkawinan tersebut terdapat anak, maka
putusan pembatalan perkawinan tersebut berlaku surut seperti yang terdapat pada Pasal
28 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa kedua belah pihak

24
Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 81.
25
Bapak Taufik, Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan, wawancara dengan pihak pengadilan pada
tanggal 20 Desember 2012.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


mempunyai kewajiban untuk merawat anak tersebut walaupun putusan pengadilan
menyatakan batal. Hal ini dinyatakan juga dalam pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan yang
menjelaskan bahwa kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) yaitu kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Apabila dalam perkawinan dilahirkan anak, maka anak yang dilahirkan dalam
perkawinan yang akibat putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tuanya
tetap merupakan anak sah walaupun dengan adanya pembatalan perkawinan, perkawinan
tersebut dianggap tidak pernah ada. Karena anak dan orang tua mempunyai hubungan
kekeluargaan dan keperdataan, sehingga orang tua tetap mempunyai tanggung jawab atas
diri anak tersebut.
Menurut Hukum Islam, terdapat persamaan antara pengaturan menurut UU
Perkawinan dengan KHI. Dalam Pasal 75 KHI dijelaskan bahwa keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak. Dalam Pasal 76 KHI juga dijelaskan
bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya.
Selain dari akibat hukum terhadap anak, ada juga akibat hukum terhadap harta
kekayaan dalam perkawinan tersebut. Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS tidak dibahas mengenai akibat pembatalan perkawinan
terhadap harta kekayaan. Penulis mewawancarai pihak pengadilan dan hasilnya adalah
sebagai berikut.
“Hal ini terjadi karena perkawinan antara Dwi dan Endar hanya berlangsung
selama 2 bulan sehingga belum ada percampuran harta antara merka berdua. Selain itu
kedua belah pihak tidak ingin mempermasalahkan mengenai harta”.26
Apabila dalam suatu pembatalan perkawinan kedua belah pihak
mempermasalahkan mengenai harta, maka pembagian harta sesuai dengan perundang-
undangan yaitu Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Dalam pasal 37 UU
Perkawinan dijelaskan bahwa bila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.

26
Ibid.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Menurut Hukum Islam, dalam Pasal 37 KHI dijelaskan apabila terjadi perceraian,
maka harta perkawinan akan dibagi dua selama tidak dijanjikan dalam perjanjian
perkawinan. Sehingga dalam kasus ini, apabila ada harta kekayaan yang diperoleh selama
perkawinan Dwi dan Endar akan dibagi dua selama tidak ada perjanjian apapun
Penulis merasa perlu adanya sanksi sebagai akibat dari pembatalan perkawinan
ini. Dengan adanya pembatalan ini sangat jelas merugikan pihak penggugat. Kerugian
disini dapat dilihat dimana Penggugat mengalami kerugian biaya, dan yang pasti kerugian
imateril berupa perasaan malu karena kenyataannya suami Penggugat memiliki kelainan
seksual. Perasaan malu disini bisa saja berdasarkan persepsi masyarakat dengan adanya
pembatalan perkawinan ini, Penggugat dianggap sudah janda. Penulis merasa Tergugat
harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat mengingat kerugian yang diderita
Penggugat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan tidak ada
permasalahan terhadap akibat hukum dari pembatalan perkawinan antara Endar dan Dwi.
Putusan ini sudah dengan tegas membatalkan perkawinan antara Endar dan Dwi.
Sehingga perkawinan Endar dan Dwi menjadi batal demi hukum dan Akta Nikah No.
1180/12/XI/1989 tidak berlaku lagi. Selanjutnya dalam kasus ini tidak ada permasalahan
mengenai harta dan anak karena tidak ada anak yang dilahirkan dan pernikahan antara
Endar dan Dwi baru berjalan selama 3 bulan.

4.4 Analisis Pertimbangan Hakim


a. Hakim menimbang bahwa terbukti antara Penggugat dan Tergugat telah terikat
perkawinan yang sah sejak tanggal 2 Nopember 2008. Penulis setuju dengan
pertimbangan hakim mengenai hal ini karena penulis sudah menganalisis pada
poin 4.2 tentang perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Berdasarkan analisis
penulis, benar telah terjadi perkawinan yang sah secara hukum Islam antara
Penggugat dan Tergugat.
b. Hakim menimbang bahwa alasan penggugat membatalkan perkawinannya dengan
Tergugat adalah karena Tergugat mempunyai kelainan seksual yakni menyukai
sesama jenis. Dalam hal ini Tergugat tidak memberitahukan kepada Pengugat

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


sebelum perkawinan ini dilangsungkan. Bukti yang menguatkan atas kelainan
seksual yang diderita Tergugat adalah Tergugat sendiri mengakui bahwa dirinya
mengalami kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis. Selanjutnya
berdasarkan surat keterangan dokter ahli terbukti bahwa Tergugat mengalami
kelainan seksual. Penulis setuju dengan pertimbangan hakim mengenai alasan
pembatalan perkawinan antara Endar dan Dwi yaitu karena menyukai sesama
jenis (kelainan seksual). Dalam kasus ini artinya telah terjadi salah sangka dalam
diri Tergugat. Pengertian salah sangka disini adalah Tergugat tidak menyukai
lawan jenis melainkan lebih menyukai sesama jenis. Dengan demikian Pasal 27
ayat (2) UU Perkawinan dapat dikenakan dalam kasus ini. Selanjutnya dalam
kasus ini juga terjadi penipuan mengenai ‘diri’ yang menurut Pasal 72 ayat (2)
KHI dapat dijadikan alasan untuk melangsungkan pembatalan perkawinan.
Penipuan mengenai ‘diri’ jelas terlihat dimana Tergugat menipu Penggugat
karena Tergugat mempunyai kelainan seksual berupa menyukai sesama jenis.
Akibat dari kelainan seksual yang diderita Tergugat, Tergugat tidak bisa
memberikan nafkah batin kepada Penggugat.
c. Hakim juga menimbang bahwa Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72
ayat (2) KHI adalah alasan pembatalan perkawinan antara Endar dan Bayu.
Berdasarkan pasal ini juga, maka perkawinan antara Endar dan Bayu dinyatakan
batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Penulis juga
setuju mengenai pertimbangan hakim dalam hal ini. Hal ini dikarenakan
berdasarkan analisis penulis pada poin 4.3, kedua pasal ini sangat tepat untuk
dikenakan dalam kasus ini. Sehingga memang benar jalan keluar terhadap kasus
ini adalah dilakukannya pembatalan perkawinan. Karena pada kenyataannya
dalam kasus ini tujuan perkawinan itu sendiri tidak dapat terpenuhi. Tujuan
27
perkawinan adalah untuk kekalnya kehidupan keluarga bersangkutan.
Sedangkan dalam kasus ini, bagaimana kehidupan rumah tangga Endar dan Dwi
bisa kekal dan memiliki keturunan apabila Endar tidak bisa memberikan nafkah
batin kepada Dwi. Selanjutnya mengingat pendapat Sayuti Thalib dalam bukunya
seperti yang sudah dijelaskan pada bab 2, sudah selayaknya perkawinan ini

27
Thalib, Op.,cit, hlm. 120.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


dibatalkan karena perkawinan disini berubah hukumnya menjadi haram. Dalam
kasus ini, Endar memang tidak menganiaya Dwi, tetapi terkesan seperti
meperolok-olok pernikahan. Dapat dilihat bahwa akibat perbuatan Endar yang
tidak memberitahu kepada Dwi bahwa dirinya mengalami kelainan seksual adalah
membuat kerugian immateril bagi Dwi. Sudah jelas juga dengan kelainan seksual
yang diderita Endar, maka Endar tidak dapat memberikan nafkah batin kepada
Dwi. Sehingga sudah selayaknya dan sepantasnya pernikahan antara Dwi dan
Endar dibatalkan. Menurut penulis seharusnya Majelis Hakim juga memberikan
pertimbangan akibat hukum dari pembatalan perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat terhadap harta kekayaan mereka serta menjatuhkan sanksi kepada
Tergugat atas kerugian yang dialami Penggugat.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


BAB 3
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan yang penulis telah uraikan di atas, maka penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Perkawinan menurut Undang – undang nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dilihat dari hukum Islam, maka
perkawinan tersebut harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan syariat Islam.
2. Pembatalan perkawinan menurut Undang – undang nomor 1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam adalah tindakan pengadilan berupa keputusan yang
menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, dan sesuatu
yang dinyatakan tidak sah itu dianggap tidak pernah ada. Sehingga setiap
perkawinan yang dibatalkan akan menjadi batal demi hukum. Akibat hukum dari
pembatalan perkawinan itu sendiri yaitu bisa terhadap anak yang lahir dari
perkawinan, suami istri itu sendiri, dan harta kekayaan.
3. Pertimbangan hakim dalam Putusan No. 0294/Pdt.G/2009/PAJS telah memenuhi
ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan dan KHI.
Penggunaan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI juga
sudah tepat. Alasan kelainan seksual dapat diterima sebagai salah satu bentuk
penipuan yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat. Akibat dari kelainan
seksual ini membuat tujuan perkawinan itu sendiri tidak dapat terpenuhi yaitu
menghasilkan keturunan. Maka dari itu perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat memang harus dibatalkan dan dinyatakan tidak sah. Dengan demikian
keputusan majelis hakim dalam kasus ini sudah tepat dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


5.2 Saran
Setelah penulis mengadakan pembahasan secara keseluruhan, maka dapat
diberikan beberapa saran sebagai berikut.
1. Hendaknya setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan untuk lebih
terbuka dan mengenal kondisi setiap pasangannya. Hal ini dikarenakan mengingat
tujuan perkawinan itu sendiri baik menurut UU Perkawinan dan KHI yaitu untuk
menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal. Sikap terbuka disini maksudnya
mau menceritakan kondisi psikis dari masing-masing pasangan dan menceritakan
latar belakang setiap pasangan. Dengan demikian untuk kedepannya kasus seperti
ini tidak terulang lagi.
2. Hendaknya majelis Hakim memberikan pertimbangan yang lebih lengkap dalam
mengambil keputusan. Misalnya dalam kasus ini, majelis hakim tidak
memberikan pertimbangan terhadap akibat hukum dan sanksi dari pembatalan
perkawinan itu sendiri. Maka dari itu penulis menyarankan agar majelis hakim
melengkapi setiap pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan.
3. Hendaknya pemerintah lebih memberikan perhatian pada Undang-Undang nomor
1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pada Kompilasi Hukum Islam. Perhatian
disini maksudnya agar permerintah perlu memberikan penjelasan lebih detail
mengenai pembatalan perkawinan, penjelasan mengenai klausa penipuan atau
salah sangka, dan perlu juga ditambahkan mengenai sanksi sebagai akibat dari
penipuan itu sendiri.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


DAFTAR PUSTAKA

A. Undang-Undang

Indonesia (a). Undang-undang tentang Perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun


1974. LN No. 1 Tahun 1974.

B. Peraturan Pemerintah

Indonesia (b). Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975. LN No. 9 Tahun 1975.

C. Putusan

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Nomor 0294/Pdt.G/2008/PA.JS.


tertanggal 16 April 2009.

D. Buku

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo.


Arrasjid, Chainur. Dasar-dasar Ilmu Hukum. cet. 3. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Cahyono,
Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: Gitama Jaya,
2008.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2004.

Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005.

Fyzee, Asaf A.A. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Tinta Mas, 1955.

Hadikusuma, Hilman Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum


Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990.

Hamid, Zahry. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang


Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Binacipta, 1978.

Ichsan, Achmad. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam (Suatu Tinjauan
dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum). Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Harahap, Yahya, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. cet. 1.
Medan: Zahir Trading, 1975.

Kartasapoetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Jakarta: Bina Aksara,


1988.

Lubis, Sulaikin. et. al. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2005.

Malik, Rusdi. Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:


Universitas Trisakti, 1990.

Mamudji, Sri. et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2006. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: Kencana,
2004.

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azaz-azas Hukum Perkawinan di Indonesia.


Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Prodjohamidjojo, Martiman Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Karya


Gemilang, 2007.

Ramulyo, Mohammad Idris. Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta:
Bumi Aksara, 1999.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Rusyadi, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayul Muqtashid. Bandung: Trigenda Karya,


1996.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.


Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty,
1986).

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013


Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1983.
Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mandi. Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Syarifuddin, Amir Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 1986.
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

E. Tesis

Djubaedah, Siti. "Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan UndangUndang


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Analisis Kasus Perkara Nomor
48/PA/1984 Jakarta Timur dan Kasus Perkara Nomor 391/PA/1986 Jakarta Pusat)."
Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2006.

F. Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. 2. Jakarta:
Balai Pustaka, 1991.

G. Website
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50df765e9b48d/banyak-sebab-perkawinan-
tak-dicatat. Banyak Sebab Perkawinan tak Dicatat.
http://kesehatankompas.com/read/2009/07/22/09571320/Kelainan_Seksual_Apa_Penyab
abnya. Penyebab Kelainan Seksual.

Tinjauan yuridis ..., Gideon Mario, FH UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai