Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Materi ‘Hukum dan Penyelesaian Sengketa’ merupakan subjudul yang wajar
dibahas dalam mata kuliah Sosiologi Hukum dimana dari sini mahasiswa dapat
mengetahui beberapa cara yang digunapakai oleh masyarakat secara umum dalam
menyelesaikan persengketaan yang timbul. Selain itu, mahasiswa dapat mengetahui
cara-cara yang digunapakai oleh masyarakat terdahulu dalam menyelesaikan sengketa
mengikut kebudayaan dan adat pada masa dan tempat-tempat tertentu yang pastinya
saling berbed antara satu sama lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum?
2. Apa yang dimaksud dengan ‘dispute resolution’ atau penyelesaian sengketa’?
3. Apa saja metode-metode penyelesaian sengketa yang pernah ada?
4. Apa saja macam-macam penyelesaian sengketa yang ada di Indonesia?

1
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum

Menurut kamus besar bahasa Indonesia hukum merupakan peraturan atau adat,
yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau
otoritas. Adapun pengertian hukum menurut para ahli hukum yaitu 1 :

1. Leon Duguit : hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan
yang daya pengunaannya pada saat tertentu di indahkan oleh suatu masyarakat
sebagai jaminan darikepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan
reaksi bersama terhadap orangbyang melakukan pelanggaran itu.

2. Immanuel Kant: hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini


kehendak bebasdari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.

Adapun penegrtian hukum secara umum, hukum adalah peraturan yang berupa
norma dan sanksi yang dubuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku kemanusian,
menjaga ketertiban, keadilan, dan mencegah terjadinya kekacawan. Dan hukum adalah
ketentuan atau peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan
masyarakat dan menyediakan sanksi bagi yang melanggarnya.

Dari beberapa definisi yang di ungkapkan oleh para ahli diatas dapat diambil
kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat


b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah harus tegas. 2

1
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H Dan Charistine S.T. Kansil, S.H., M.H. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia
(Jakarta:Rineka Cipta, 2014) hlm. 31
2
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H Dan Charistine S.T. Kansil, S.H., M.H. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia
hlm. 34

2
B. Pengertian Dispute Resolution (Penyelesaian Sengketa)

Dispute resolution atau penyelesaian sengketa merupakan upaya penyelesaian


sengketa di luar litigasi (non-litigasi). Terdapat beberapa bentuk penyelesaian sengketa
diantaranya adalah: (1) konsultasi; (2) negosiasi; (3) mediasi; (4) konsiliasi; (5)
arbitrase; dan lain-lain.3
Bentuk penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Tidak dijabarkan lebih lanjut pengertian dari
masing-masing bentuk penyelesaian sengketa tersebut dalam UU No.30/1999.
Adapun, arbitrase dikeluarkan dari lingkup penyelesaian sengketa dan diberikan
definisi tersendiri dalam UU No.30/1999 yakni “cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa
(APS) merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan di Amerika Serikat. Konsep
ini merupakan jawaban atas ketidakpuasan yang muncul di masyarakat Amerikat
Serikat terhadap sistem pengadilan mereka. Ketidakpuasan tersebut bersumber pada
persoalan waktu yang sangat lama dan biaya mahal, serta diragukan kemampuannya
menyelesaikan secara memuaskan. Pada intinya ADR/APS dikembangkan oleh
praktisi hukum maupun pada akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih
memiliki akses keadilan.4

3
Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia Dwi M, and Winda Rizky Febrina, “Efektivitas dan Efisiensi
Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Indonesia”,
Privat Law 1 2, No. 4 (2014), hlm 7.
4
Ahmad Santosa, Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta, 1995, hlm.
1.

3
C. Metode-Metode Penyelesaian Sengketa

Persengketaan merupakan sesuatu yang tidak disangkal lagi keberadaannya di


dalam setiap masyarakat di setiap tingkat dan terdapat berbagai macam cara untuk
menyelesaikannya. Kebanyakan masyarakat biasanya menggunakan cara yang sama;
perbedaan antara mereka terkait cadangan yang diajukan kepada seseorang dari orang
lain. Faktor kultural dan kesediaan institusi-institusi dalam mengendalikan
persengketaan akan biasanya menentukan kecenderungan-kecenderungan tersebut
(metode yang mana satu yang ingin dipilih). Terdapat dua bentuk prinsip dalam
menyelesaikan persengketaan hukum sepanjang zaman. “Sama ada pihak-pihak yang
terlibat itu menentukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui negosiasi
dimana tidak menghalang pihak ketiga bertindak sebagai mediator yang mungkin dapat
membantu mereka dalam proses negosiasi mereka. Atau, konflik tersebut diajudikasi,
yang mana bermaksud pihak ketiga yang secara idealnya netral (tidak berpihak kepada
mana-mana pihak) menentukan pihak yang manakah yang lebih berhak”. Bentuk-
bentuk penyelesaian ini biasanya digunakan dalam urusan penyelesaian masalah sivil
(perdata), kriminal (pidana), dan administratif. Untuk persengketaan bukan berkaitan
hukum, terdapat berbagai cara lain untuk menyelesaikannya. 5
Seorang antropologis terkenal, Simon Roberts berpendirian bahwa, di dalam
beberapa masyarakat, keganasan antara individu yang secara langsung menetapkan itu
merupakan satu cara yang diizinkan daripada penyelesaian sengketa. Sepertinya
keganasan antara individu boleh jadi menjadi suatu cara untuk membalas dendam untuk
keganasan yang telah dialami atau suatu reaksi terhadap beberapa bentuk ketidakadilan
yang terlihatkan. Kadangkala, keganasan fisik boleh dikaitkan dengan suatu bentuk
yang cegah dan konvensional seperti perlawanan atau peraduan. Di Jerman, sebelum
terjadinya Perang Dunia Kedua, contohnya, perlawanan saat itu merupakan satu bentuk
penyelesaian sengketa yang popular antara mahasiswa, anggota kepolisian dan tentara
dan orang-orang bangsawan secara umum. Perlawanan itu dilaksanakan berdasarkan
syarat-syarat yang terkawal dan berpandukan pada aturan-aturan yang spesifik. Para
peserta dilengkapi dengan pakaian perlindungan, dan biasannya dengan tanda tumpah

5
Steven Vago, Law and Society, New Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 236.

4
darah yang pertama menunjukkan tamatnya persengketaan tersebut. Manakala di dalam
suatu acara yang padanya terjadi persengketaan atau ketidakadilan, apa yang perlu
dilakukan oleh pihak yang dirugikan adalah menampar (slap) pihak yang merugikan.
Tindakan ini merupakan suatu cabaran untuk suatu perlawanan, dan pihak-pihak yang
bersangkutan terpaksa menyelesaikan pada waktu dan tempat itu juga. Bekas tamparan
yang berbekas pada wajah seseorang menunjukkan simbol keberanian dan ketinggian
statusnya.
Bentuk yang lain daripada keganasan fisik (physical violence) adalah
perbalahan keluarga/kelompok. Ia merupakan suatu keadaan di mana berlakunya
ketidakmesraan antara keluarga dan kelompok tertentu yang bertitik tolak dari
keinginan untuk membalas sesuatu kesalahan atau dosa (kekerasan, kecederaan,
kematian dan seumpamanya) yang telah terjadi terhadap salah satu anggota kelompok
tersebut. Ciri unik dari perbalahan ini adalah kebertanggungjawaban untuk menuntut
bela itu dilakukan atau dilaksanakan oleh kesemua anggota dari kelompok tersebut. Ini
bisa dicontohkan melalui suatu filem Inggeris yang judulnya “Murder on the Orient
Express”. Pembunuhan terhadap siapa pun anggota dari kelompok yang merugikan
(offender’s group) dilihat sebagai suatu pembalasan yang benar atau absah karena
kelompok tersebut secara keseluruhan dianggap bertanggungjawab.
Dalam beberapa waktu, perbalahan (keluarga/kelompok) itu bisa membawa
kepada perbalahan atau peperangan berskala besar bilamana, masuknya ke dalam
keluarga tersebut, komuniti atau masyarakat ikut terlibat di dalam persengketaan. Ini
telah terjadi dari masa ke masa dalam perbalahan yang popular yang terpacukan oleh
periode roman antara keluarga Hatfields dari Virginia dan keluarga McCoys dari
Kentucky. Perbalahan tersebut terjadi pada tahun 1882 dan berlangsung sehingga
berberapa tahun.6
Dalam percobaan untuk menyelesaikan persengketaan, pihak-pihak yang
bersangkutan boleh memilih untuk meminta atau mengabdi kepada bomoh (hal-hal
ghaib seperti santet). Persepsi atau pikiran bahwa hal-hal ghaib bisa dilibatkan untuk
menghukum pesalah telahpun tersebarluas. Persepsi ini seringkali bersamaan dengan
kepercayaan yang mana bahayanya itu bisa dilakukan oleh ahli sihir (witches) atau

6
Steven Vago, Law and Society, New Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 237.

5
lewat amalan perdukunan (sorcery). Dalam setengah masyarakat, sihir dan perdukunan
dilihat sebagai kemungkinan yang bisa mengakibatkan kematian dan daripada
kebanyakan apa pun bentuk penyakit atau nasib yang tidak baik secara materil.
Sepertimana yang ditulis oleh Jane Fish Collier, contohnya, mengenali berbagai jenis
kepercayaan sihir dalam kalangan kelompok atau suku Zinacantecos di Mexico.
Mereka percaya bahwa ahli sihir itulah yang mengirim kesakitan atau musibah,
meminta musibah itu dikirim, mempraktik amalan tertentu (seperti menyebabkan
korbannya mereput), mengawal cuaca, berbicara dengan malaikat atau menyebabkan
ditimpa penyakit dengan mata jahat (pandangan). Akibatnya, didalam masyarakat,
prosedur-prosedur untuk mengenalpasti ahli-ahli sihir atau dukun-dukun yang
bertanggungjawab dalam kasus-kasus tertentu atau kemalangan dapat memberi dugaan
yang besar kepentingannya dalam mengendalikan konflik tersebut.
Pastinya, tidak semua persengketaan itu dikendalikan atau dizahirkan lewat
keganasan, ritual, penistaan, atau meminta kepada hal ghaib. Kebanyakan masyarakat
mempunyai kewenangan atau kecakapan dalam beberapa cara alternatif dalam
penyelesaian sengketa. Alternatif-alternatif ini berbeda dalam beberapa jalan, termasuk
sama ada pengelibatan itu adalah secara sukarela, kehadiran atau ketidakhadiran pihak
ketiga, kriteria yang digunapakai oleh intervensi pihak ketiga, macam-macam hasil dan
bagaimana ia bisa dilaksanakan, dan sama ada prosedur-prosedur yang digunakan
adalah formal atau tidak formal. Sebelum berpikir tentang itu, ayuh kita lihat dua cara
popular dalam menghadapi persengketaan yaitu : melenyeh (lumping it) dan
penghindaran (avoidance). 7
“Lumping it” secara mudahnya dapat dipahami sebagai tidak berbuat apa-apa
(inaction), untuk tidak melakukan apa-apa pengakuan atau komentar. Kata Galanter
sebagaimana yang telah dikutip oleh Steven Vago dalam bukunya : “Perbuatan ini
dilakukan setiap masa oleh ‘korban’ yaitu sesiapa yang kurang informasi atau akses
atau sesiapa aja yang sudah tahu hasilnya nanti didapatkan adalah rendah (sedikit), dan
memakan biaya yang tinggi (termasuk biaya fisik dalam urusan litigasi dimana
aktivitas-aktivitas seperti itu tidak begitu disukai -rumit-). Dalam “lumping it” isu
tersebut atau kesusahan yang telah memberi peningkatan pada ketidaksetujuan adalah

7
Steven Vago, Law and Society, New Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 238.

6
dengan mudahnya diabaikan dan hubungan dengan pihak yang merugikan itu tetap
terjalin. Misalnya, seorang dosen univsersitas mungkin tidak mahu menyatakan
sebarang pengakuan tertentu (komentar atau membuat pernyataan di media sosial dan
sebagainya) terhadap pihak administrasi universitas dan tetap meneruskan
hubungannya (tetap bekerja) dengan universitas tersebut.
Manakala penghindaran (avoidance) membawa arti membatasi hubungan
dengan pihak yang disengketakan secukupnya supaya persengketaan itu tidak lagi
kekal kelihatan. Albert O. Hirschman (1970) menyebut perangai jenis ini sebagai
‘keluar’ (exit), dimana ujungnya nanti dapat menghilangkan dari suatu situasi atau
menghapuskan atau mengurangkan sesuatu perhubungan. Misalnya, seorang pengguna
(consumer) bisa saja pergi ke toko lain daripada menyatakan atau meratapi
ketidakpuasan hati. Dalam hal sengketa kepenggunaan, contohnya, “pilihan keluar ini
telah secara meluas dipraktikkan secara unik dan berpotensi besar: dengan
mengakibatkan kerugian kewangan dalam pengurusan yang tidak legal, ia dapat
dianggap bukan saja situasi didalam penyelesaiam sengketa tetapi juga suatu cara
dalam mengenakan sanksi. Penghindaran pada akhirnya merupakan pembatasan atau
suatu perhentian didalam perhubungan antara pihak-pihak yang bersengketa, dimana
“lumping it” bisa dikatakan sebagai kurangnya penyelesaian dari suatu konflik,
ketidakpuashatian, atau sengketa untuk sebab itu dimana salah satu pihak cenderung
untuk mengabaikan isu didalam persengketaan itu. Penghindaran tidak selalunya
merupakan suatu alternatif, terutamanya didalam situasi-situasi dimana hubungan
tersebut harus tetap terjalin - contohnya, dengan perusahaaan-perusahaan tertentu yang
mempunyai monopoli seperti perusahaan gas atau listrik, atau dengan Administrasi
Sekuriti Sosial atau Departemen Kesejahteraan. Suatu aspek yang penting dari
penghindaran adalah pengurangan dalam perhubungan sosial atau penghapusannya.
Lumping pula membawa hasil dengan pengabaian terhadap isu dalam sengketa tersebut
dalam waktu yang sama masih menjalinkan hubungan dengan pihak tersebut.8
Mekanisme atau cara utama penyelesaian sengketa boleh digambarkan melalui
garis waktu dari proses negosiasi hingga ajudikasi. Dalam proses negosiasi,
penglibatan adalah secara sukarela dan para pihak yang bersengketa menyusun

8
Steven Vago, Law and Society, New Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 238.

7
penyelesaian untuk diri mereka. Seterusnya dalam garis waktu adalah mediasi, dimana
pihak ketiga membantu menawarkan penyelesaian dan setidaknya membantu para
pihak dalam mendapat suatu kesepakatan secara suka sama suka. Pada ujung yang satu
lagi dari garis waktu adalah ajudikasi (keduanya secara yudisial dan administrastif),
dimana para pihak dipaksa untuk ikut serta, kasus tersebut diputuskan oleh seorang
hakim, para pihak diwakili oleh pengacara masing-masing, prosedur-prosedur tersebut
bersifat formal, dan hasil yang didapatkan dikuatkuasakan dengan hukum. Yang
mendekati ajudikasi adalah arbitrase, dimana ianya lebih tidak formal dan dimana
putusan atau hasil boleh atau tidak boleh mengikat. Negosiasi, mediasi, dan arbitrase
merupakan komponen-komponen prinsip dari apa yang dinyatakan sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) dalam kelompok atau kebiasaan ahli hukum. Faktanya,
ternyata terdapat beberapa bukti dimana firma-firma hukum berasa kurang enak dengan
tersebar luasnya penggunaan tujuan alternatif ini karena padanya penghematan waktu
dan uang bagi para pihak bisa diperkirakan apabila kemampuan litigasi kurang
meyakinkan.
Negosiasi didalam persengketaan terjadi apabila para pihak yang bersengketa
berusaha untuk menyelesaikan kesepakatan mereka tanpa melibatkan pihak ketiga.
Negosiasi adalah pengelolaan atau kesepakatan antara dua pihak dimana para pihak
yang bersengketa berusaha untuk membujuk antara satu sama lain, menemukan titik
dasar untuk diskusi, dan menjiwai jalan mereka melalui proses give-and-take ke arah
mencari penyelesaian.9
Mediasi pula merupakan satu metode penyelesaian sengketa yang melibatkan
campur tangan pihak ketiga yang bersifat netral, yaitu mediator, antara pihak yang
bersengketa. Tidak sama dengan litigasi. dimana putusan akhir diputuskan oleh oleh
hakim, mediator tersebut tidak berwenang membuat apa-apa putusan. Daripada jika
penyelesaian itu diupayakan secara sendiri antara pihak-pihak yang bersengketa. Ianya
bisa jadi suatu jalan yang efektif dalam menyelesaikan berbagai persengketaan jika
kedua pihak saling berminat untuk mencari titik temu dalam persengketaan mereka.
Peran mediator dalam persengketaan tersebut adalah sebagai pembimbing, pembantu
dan pemangkin. Seseorang mediator boleh dipilih oleh para pihak yang bersengketa

9
Steven Vago, Law and Society, New Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 239.

8
atau ditunjuk oleh seseorang yang berwenang. Seorang mediator bisa jadi dipilih
berdasarkan statusnya, kedudukannya, kehormatannya, kewenangan yang dimilikinya,
harta, atau kekuasaan yang sah untuk mengenakan sanksi bagi pihak Tuhan atau yang
lainnya daya manusia yang berkuasa. Mediasi secara asasnya berintikan mempengaruhi
para pihak untuk saling bersepakat dengan membujuk kepada kepetingan masing-
masing. Mediator bisa menggunakan berbagai teknik untuk merealisasikan objektif ini.
Arbitrase merupakan suatu jalan lain dalam melibatkan pihak ketiga di dalam
persengketaan. Tidak seperti mediasi, dimana pihak ketiga itu membantu para pihak
yang bersengketa dalam menemukan solusi mereka, arbitrase membutuhkan putusan
akhir dan perikatan dibuat keatas para pihak yang bersengketa oleh pihak ketiga. Kedua
para pihak yang bersengketa bersetuju di awalnya mengenai masuknya pihak ketiga
yang netral dan terhadap putusan akhirnya nanti. Tidak seperti di peradilan, prosiding
didalam arbitrase tetap bisa secara privat dan para peserta bisa memilih untuk
kemudahan dan ketidakformalan. Arbitrase dan cara bukan yudisial lain cenderung
untuk mengurangkan biaya yang dikenakan dalam penyelesaian sengketa karena
kurangnya kesempatan untuk mempengaruhi putusan arbitrator dan terutamanya
apabila pengacara tidak dibayar (diupah). Ianya juga lebih cepat ketimbang ajudikasi
karena para peserta bisa saja melanjutkan kapan pun jika mereka sudah sedia daripada
harus menunggu tanggal persidangan diatur.
Ajudikasi pula merupakan cara formal dan publik dalam penyelesaian konflik
dan yang terbaik dicontohkan oleh peradilan. Peradilan mempunyai kewenangan untuk
campur tangan dalam persengketaan sama ada diinginkan atau tidak oleh para pihak
dan untuk mewartakan putusan serta untuk memaksakan tindakan selanjutnya dari
putusan tersebut. Di dalam ajudikasi, penekanannya adalah pada kebenaran di mata
hukum dan tanggungjawab para pihak, ketimbang pengaruh-pengaruh atau sebab-
sebab atau kepuasan antara dua pihak yang terlibat.10

10
Steven Vago, Law and Society, New Jersey : Printice-Hall, 1988, hlm. 242.

9
D. Macam-Macam Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia11

1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui
diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang
hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Dari pengertian tersebut, Anda dapat
merasakan bahwa negosiasi tampak lebih sebagai suatu seni untuk mencapai
kesepakatan daripada ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari.
Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu: (1) untuk
mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam
transaksi jual beli, pihak penjual, dan pembeli saling memerlukan untuk
menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa); dan (2) untuk memecahkan
perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.

2. Mediasi
Pengertian mediasi antara lain adalah upaya penyelesaian sengketa dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian
(solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Jika Anda perhatikan pengertian mediasi tersebut, sebenarnya mediasi sulit
didefinisikan karena pengertian tersebut sering digunakan oleh para pemakainya
dengan tujuan yang berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan mereka masing-
masing. Misalnya, di beberapa negara karena pemerintahnya menyediakan dana
untuk lembaga mediasi bagi penyelesaian sengketa komersial, banyak lembaga lain
menyebut dirinya sebagai lembaga mediasi. Jadi, di sini mediasi sengaja
dirancukan dengan istilah lainnya, misalnya konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi, atau
bahkan arbitrase.

11
Dr. R.M. Gatot P. Soemartono, S.E., S.H., M.M. LL. M, Mengenal Alternatif Penyelesaian Sengketa dan
Arbitrase, diunduh dari http://repository.ut.ac.id/4132/1/HKUM4409-M1.pdf tanggal 8 Disember 2018,
pukul 22.27WIB, hlm. 1.9.

10
3. Konsiliasi
Hal yang menarik mengenai konsiliasi adalah konsiliasi pada dasarnya
hampir sama dengan mediasi, mengingat terdapat keterlibatan pihak ke-3 yang
netral (yang tidak memihak) yang diharapkan dapat membantu para pihak dalam
upaya penyelesaian sengketa mereka, yaitu konsiliator. Namun demikian, Anda
perlu perhatikan bahwa konsiliator pada umumnya memiliki kewenangan yang
lebih besar daripada mediator, mengingat ia dapat mendorong atau “memaksa”
para pihak untuk lebih kooperatif dalam penyelesaian sengketa mereka.
Konsiliator pada umum dapat menawarkan alternatif-alternatif penyelesaian yang
digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh para pihak untuk memutuskan. Jadi,
hasil konsiliasi, meskipun merupakan kesepakatan para pihak, adalah sering
datang dari si konsiliator dengan cara “mengintervensi”. Dalam kaitan itu,
konsiliasi dalam banyak hal mirip dengan mediasi otoritatif di mana mediator juga
lebih banyak mengarahkan para pihak.

4. Arbitrase
Pada dasarnya, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar
peradilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan
dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.
Arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik, khususnya bagi kalangan
pengusaha. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu "pengadilan pengusaha" yang
independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan mereka.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat UU No. 30
Tahun 1999) disebutkan bahwa: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.” Dengan demikian, sengketa seperti kasus-kasus keluarga atau
perceraian, yang hak atas harta kekayaan tidak sepenuhnya dikuasai oleh masing-
masing pihak, tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.

11
BAB 3
KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang telah dibahas dalam materi ini, maka dapat disimpulkan
bahwa kaidah-kaidah atau metode-metode dalam menyelesaikan sengketa itu bervariasi.
Bermula dari zaman dahulu sampai sekarang ternyata caranya beragam dan berdasarkan
adat dan kebudayaan yang ada pada masa dan tempat tersebut. Kemudian dari masa ke
masa tamadun manusia kian berubah dan kini pada era modern dikenalikan metode-metode
yang sudahpun dipraktikkan secara meluas yang antara lainnya adalah negosiasi, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, ajudikasi dan lain-lain lagi yang tujuan dari semua ini tidak lain tidak
bukan mengarah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat yang tidak terlepas dari konflik dan sengketa. Perbedaan cara dan konsep
dari tiap-tiap metode telah pun dijelaskan sebagaimana diatas dan diharapkan agar
mahasiswa dapat mengambil manfaat dari makalah kecil ini dan dapat dijadikan referensi
untuk kedepannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Kansil, Prof. Drs. C.S.T., S.H Dan Charistine S.T. Kansil, S.H., M.H. Pengantar Ilmu
Hukum Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta, 2014.

Kapindha, Ros Angesti Anas, Salvatia Dwi M, and Winda Rizky Febrina, “Efektivitas dan
Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian
Sengketa Bisnis Di Indonesia”. Privat Law 1 2. No. 4 (2014).

Santosa, Ahmad. Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup.


Jakarta. 1995.

Soemartono, Dr. R.M. Gatot P., S.E., S.H., M.M. LL. M. Mengenal Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Arbitrase, diunduh dari http://repository.ut.ac.id/4132/1/HKUM4409-M1.pdf
tanggal 8 Disember 2018. pukul 22.27WIB.

Vago, Steven. Law and Society, New Jersey : Printice-Hall. 1988.

13

Anda mungkin juga menyukai