Anda di halaman 1dari 4

DELIK ADAT

Kelompok 7
Achmad Zulfikar Luthfi (3016210
Bernadetha Febriana (3016210
Yesica Amalia (3016210314)
DELIK ADAT

Hukum adat delik (adatdelicten recht) dan dapat juga disebut Hukum Pidana Adat, atau
Hukum Pelanggaran Adat, ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau
perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu
diselesaikan agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.

(1) Pengertian Delik Adat


Menurut Van Vollenhoven yang dimaksud dengan delik adatadalah perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, walaupun kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu
hanya sumbang (kesalahan) kecil saja (Hilman Hadikusuma, 1979: 19).
Menurut Ter Haar delik(pelanggaran) itu ialah setiap gangguan dari suatu pihak
terhadap keseimbangan, dimana setiap pelanggaran itu dari suatu pihak atau dari
sekelompok orang yang berwujud atau tidak berwujud,berakibat menimbulkan reaksi
(yang besar kecilnya menurut ketentuan adat), suatu reaksi adat, dan dikarenakan
adanya reaksi itu maka keseimbangan harus dapat dipulihkan kembali (dengan
pembayaran uang atau barang) (Ter Haar 1950:218)
Jadi, hukum delik adat adalah keseluruhan hukum tidak tertulis yang menentukan
adanya perbuatan2 pelanggaran adat beserta segala upaya untuk memulihkan kembali
keadaan keseimbangan yg terganggu oleh perbuatan tersebut.

(2) Sifat Hukum Adat Delik


Secara umum sifat Delik Adat juga bisa di klasifikasikan berikut :

1. Tradisional magis & religius


Perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan mengganggu keseimbangan masyarakat
yang bersifat turun-temurun dan dikaitkan dengan dengan keyakinan dan
kepercayaan, tidak saja dianggap mengganggu keseimbangan kosmis (alam, manusia,
makhluk lain) melainkan juga akibat buruk dari yang ghaib. Misalnya: anak patuh
pada kehendak orang tua, adik tidak boleh mendahului kakaknya menikah.
2. Menyeluruh dan Menyatukan
Menyeluruh & menyatukan artinya tidak memisah-misah antara pelanggaran bersifat
pidana (publik) ataupun perdata (privat), begitu juga tidak dibedakan apakah
perbuatan kesalahan tersebut termasuk kesengajaan atau kelalaian, tidak juga
membedakan antara pelaku(dader), kesemuanya disatukan sebagai suatu rangkaian
peristiwa yang mengganggu keseimbangan dan keseluruhannya dijadikan satu dalam
penyelesaiannya di peradilan adat.
3. Non Pra-Existente
Artinya, apakah ada peraturan yang telah ditetapkan dahulu ataukah belum ada
aturannya, apabila akibat perbuatan itu menggangu keseimbangan masyarakat, maka
pelaku perbuatan pelanggaran adat tersebut dapat di hukum. Dengan kata kali, sifat
Non Pra Existente tidak seperti adagium Montesquieu yang dianut oleh hukum pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHPidana (WvS), S.1951-732, yaitu Nullum
delicum nulla poena sine praevia lege poenali (tiada suatu delik melainkan atas
kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari
perbuatan ).

4. Terbuka dan Lentur (Fleksibel/Dinamis)

Hukum adat tidak menolak perubahan dan perkembangan masyarakatnya dimana


aturan adat itu berlaku, asalkan tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang
hidup dalam komunitas adat tersebut. Contoh: Dahulu tarian adat hanya bagi kalangan
bangsawan, sekarang dapat diadakan siapapun.

5.Terjadinya Delik Adat

Terjadinya Delik Adat apabila tata tertib adat setempat dilanggar, atau dikarenakan
adanya suatu pihak merasa dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan
keseimbangan masyarakat menjadi terganggu. Contoh: perbuatan mencuri buah di
aceh jika pelakunya memetik buah-buahan itu dari pohon yang tidak dipelihara maka
si pencuri dihukum dengan membayar harga buah tsb.

6. Pelanggaran Adat / Delik Aduan

Untuk menyelesaikan tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan harus ada
pengaduan, berupa pemberitahuan dan permintaan untuk diselesaikan kepada kepala
adat. Tanpa adanya pengaduan, pemeriksaan tuntutan tidak dilakukan.

7. Reaksi dan Koreksi

Tujuan adanya tindakan reaksi dan koreksi terhadap peristiwa atau perbuatan delik
adalah untuk dapat memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.

Di dalam Pandecten van het Adatrecht (Bab X 1936:695-720, juga Soepomo,


1967:94-95) dikatakan bahwa tindakan reaksi atau koreksi itu dapat berupa sebagai
berikut:

a. Ganti kerugian mmaterial, misalnya paksaan menikah bagi gadis yang telah
tercemar kehormatannya;
b. Membayar uang adat (denda) kepada pihak yang dirugikan atau berupa denda suci
sebagai kerugian rohani;
c. Mengadakan selamatan (sedekah,kurban) untuk membersihkan masyarakat dari
segala kekotoran ghaib;
d. Memberi penutup malu, permintaan maaf;
e. Berbagai macam hukuman badan, hingga hukuman mati (di masa sekarang sudah
tidak berlaku lagi;
f. Di asingkan dari masyarakat serta menempatkan orangnya diluar tata hukum.
(dilanjutin lagi ya)
Sumber: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia edisi revisi karangan Prof. H.
Hilman Hadikusuma, SH.

Anda mungkin juga menyukai