Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Bontang, 23 Desember 2021
Rahmayanadiah. R
NAMA MAHASISWA : RAHMAYANADIAH. R
NOMOR INDUK MAHASISWA/NIM : 043412226
KODE/NAMA MATA KULIAH : HKUM4204 / HUKUM ADAT
HARI/TANGGAL UAS THE : KAMIS / 23 DESEMBER 2021
No SOAL
1 Masyarakat hukum adat di Indonesia tersusun atas dua faktor dominan, yakni faktor
genealogis dan teritorial. Pada mulanya faktor genealogis mempunyai dominasi yang
sangat kuat terhadap pembentukan suatu masyarakat hukum adat, disebabkan oleh
hubungan daerah antara satu dengan lainnya di antara mereka terikat dan terbentuk
dalam satu ikatan yang kokoh.
Pertanyaan:
a. Silakan Anda analisis, apakah masyarakat hukum adat yang terbentuk karena
faktor genealogis dapat bergeser menjadi faktor teritorial!
JAWABAN
Masyarakat merupakan istilah yang dalam bahasa Inggris disebut society (berasal dari
kata Latin socius yang berarti „kawan‟). Kata masyarakat itu sendiri berasal dari akar
kata Arab syaraka yang artinya, „ikut serta‟ atau „berperan serta‟. Menurut
Koentjaraningrat (1996: 119-120), Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling
berinteraksi, yang memiliki unsurunsur: 1) adat istiadat, norma-norma, hukum, serta
aturan yang mengatur pola tingkah laku warga; 2) kontinuitas dalam waktu
(berkesinambungan dalam waktu yang lama); 3) rasa identitas yang kuat yang mengikat
semua warga. Walaupun demikian, tidak semua kesatuan manusia yang saling
berinteraksi merupakan masyarakat. Oleh karena itu, suatu negara, kota, atau desa
dapat disebut masyarakat karena memiliki ciri-ciri di atas. Jadi tidak semua kumpulan
manusia yang saling berinteraksi dapat disebut masyarakat, penonton sepak bola, siswa
di suatu sekolah, penghuni suatu asrama, atau kerumunan orang tidak dapat disebut
masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto (2012: 91-92), Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang
menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun
hubungan antarkelompok sosial. Dalam mempelajari Hukum Adat harus memahami
tentang Masyarakat Hukum Adat, karena di dalam masyarakat itulah ditemukan hukum
(adat) yang menjadi dasar pola-pola interaksi tersebut.
Ter Haar mengemukakan tentang pengertian Masyarakat Hukum Adat dalam bukunya
Beginselen En Stelsel van Het Adatrecht yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, sebagai berikut:
“Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup
di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar,
lahir batin. Golongan-golongan / kelompok itu mempunyai tata susunan yang tetap dan
kekal dan orangorang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam
golongan sebagai hal yang sewajarnya, dalam hal menurut kodrat alam. Tidak ada
seorang pun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran
kelompok itu. Golongan masyarakat tersebut mempunyai pengurus sendiri dan harta
benda, milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan yang demikian yang bersifat
persekutuan hukum“ (Djamanat Samosir, 2013: 69-70).
Ter Haar merumuskan Masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan manusia sebagai satu
kesatuan, menetap di daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, mempunyai
kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud, di mana para anggota kesatuan hidup
dalam masyarakat yang merupakan kodrat yang para anggotanya tidak berpikir untuk
membubarkan ikatan tersebut atau melepaskan diri dari ikatan itu.
Deskripsi yang dikemukakan oleh Ter Haar tentang Masyarakat Hukum Adat
menunjukkan adanya interaksi antara manusia sebagai suatu kesatuan, yang bertalian
dengan alam sekitarnya dan memiliki kultur yang berbeda dengan masyarakat lainnya.
Masyarakat Hukum Adat memiliki cara pandang hidup yang menyeluruh (holistik),
komunal, transendental dan temporer. Masyarakat yang dimaksud merupakan bagian
terintergrasi dengan alam semesta.
Dari berbagai uraian tentang pengertian Masyarakat Hukum Adat di atas dapat
disimpulkan bahwa unsur utama keberadaan Masyarakat Hukum Adat, yaitu:
1. adanya sekelompok orang yang hidup bersama teratur sebagai satu kesatuan
bersama;
2. sekelompok orang tersebut terikat dan tunduk pada tatanan Hukum Adatnya;
3. adanya pimpinan/penguasa dari kelompok tersebut;
4. adanya wilayah dengan batas-batas teritorial tertentu;
5. keterikatan kelompok tersebut didasarkan pada kesamaan tempat tinggal atau
keturunan
Apabila setiap Masyarakat Hukum Adat ditelaah secara seksama maka masing-masing
mempunyai dasar dan bentuknya. Soepomo mengatakan masyarakat-masyarakat
hukum adat Indonesia dapat di bagai menjadi 2 (dua) golongan menurut susunannya,
yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (Genealogi) dan yang berdasarkan
lingkungan daerah (Teritorial) dan yang berdasarkan keturunan dan lingkungan daerah
(genealogis dan teritorial) (Soerjono Soekanto, 2012: 95).
Dari sudut bentuknya, Masyarakat Hukum Adat ada yang berdiri sendiri, ada yang
menjadi bagian dari Masyarakat Hukum Adat yang lebih tinggi dan ada yang merupakan
perserikatan dari beberapa Masyarakat Hukum Adat yang sederajat. Masing-masing
bentuk Masyarakat Hukum Adat tersebut, dapat dinamakan sebagai Masyarakat Hukum
Adat tunggal, bertingkat, dan berangkai sebagaimana skema berikut:
Faktor genealogis masih dominan dalam masyarakat hukum adat di Indonesia, yang
kemudian melahirkan masyarakat yang patrilineal, yaitu masyarakat yang bercorak
„kebapakan‟ atau matrilineal, yaitu masyarakat yang bercorak „keibuan‟, atau parental,
masyarakat yang berdasarkan garis keturunan orang tua (bapak dan ibu).
Jadi dapat saja masyarakat hukum adat yang terbentuk dari faktor genealogis bergeser
menjadi faktor territorial.
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat terdapat dalam penjelasan Pasal 18 UUD
1945, berbunyi:
“Dalam teritorial negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende
Landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan yang asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa”.
Negeri di Minangkabau dianggap sebagai salah satu daerah yang istimewa, karena sudah
berabad-abad yang lalu dikenal orang, yang sering disebut republik kecil karena
peraturan tentang sistem pemerintahannya ada pengaturannya di dalam Hukum Adat
masyarakat Minangkabau, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif. Sistem
pemerintahannya di atur menurut keselarasan masing-masing, demikian juga di bidang
peradilan, dikenal dengan Kerapatan Anak Nagari (KAN).
Pasal 18 ayat 2 UUD 1945: “Negara mengakui, menghormati, dan mengakui kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Hukum Adat mengakar kuat di dalam masyarakat di daerah. Walaupun saat ini
kekuatannya melemah, tetapi mayoritas masyarakat di daerah yang ada di Indonesia
masih sangat menghargai Hukum Adat di mana mereka hidup. Hukum Adat melekat
dengan budaya setempat. Kata budaya menunjukkan adanya ikatan emosional-
tradisional yang kuat dari Hukum Adat. Di dalam Hukum Adat mengandung banyak nilai-
nilai moral dalam pergaulan hidup yang tidak ada dalam sistem hukum lain. Di beberapa
wilayah tertentu di Indonesia, seperti Aceh Hukum Adat identik dengan hukum agama
sehingga menjalankan Hukum Adat orang sekaligus merasa berbudaya.
Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 mengandung 4 (empat) syarat bagi eksistensi Hukum Adat,
sebagai berikut:
1. Kalimat “sepanjang masih hidup”, mensyaratkan bahwa Hukum Adat harus betul-
betul dan faktual masih hidup di tengah masyarakat.
2. Kalimat “ sesuai perkembangan masyarakat“, mensyaratkan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam Hukum Adat masih diakui sepanjang nilainilai tersebut sesuai dengan
situasi dan kondisi dan aktual.
3. Kalimat “ sesuai dengan prinsip NKRI “, mensyaratkan bahwa negara RI dan seluruh
wilayahnya di mana masyarakat hidup merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Bahwa masyarakat adat adalah bagian dari NKRI itu sendiri.
4. Kalimat “di atur dalam undang-undang“, mengisyaratkan bahwa Indonesia adalah
negara berdasarkan hukum.
2 Perkawinan merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang, baik kebutuhan biologis
maupun kebutuhan untuk mendapatkan keturunan. Upacara suatu perkawinan sangat
penting bagi suatu kehidupan. Khususnya di Indonesia upacara suatu perkawinan
merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan, karena tanpa ada suatu upacara
perkawinan maka anak atau keturunan yang dilahirkan dianggap tidak sah. Oleh
karena itu di Indonesia perkawinan diatur melalui Undang- Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Pertanyaan:
JAWABAN
Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal
perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi
dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap
pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah
dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk
keluarga.
Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini
menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau
dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Batas minimal umur
perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi
pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
sehat dan berkualitas.
Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi
wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan
menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak
anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang
tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.
a. bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh
kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak
seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak
kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak;
c. bahwa sebagai pelaksanaan atas putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017 perlu melaksanakan perubahan atas
ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Dasar Hukum
Dasar hukum UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019);
Dalam ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dicantumkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan
hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, ketentuan tersebut memungkinkan
terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena dalam Pasal 1 angka
1 Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Pelindungan Anakdidefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini
menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau
dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini batas
minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur
perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah
matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari
16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat
terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk
pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi
mungkin.
Untuk mengesahkan suatu perkawinan menurut hukum Hindu, harus dilakukan oleh
Brahmana atau pendeta/pejabat agama yang diketahui memenuhi syarat untuk
melakukan perbuatan itu. Karena menurut hukum Hindu tidak semua Brahmana atau
pendeta mempunyai tugas yang sama. Pembatasan kewenangan ada diantara para
pendeta itu dan bahkan terhadap pendeta itupun ada ancaman hukuman jika ia
melakukan tugas yang bukan menjadi kewenangannya. Ada hal-hal yang perlu
diperhatikan untuk dijadikan patokan dalam melaksanakan ketentuan hukum Hindu
sebelum pengesahan itu dilakukan oleh seorang Brahmana pemimpin upacara, yaitu
bahwa suatu perkawinan menurut hukum Hindu, bila memenuhi syarat berikut : a. Pada
waktu akan pengesahan, mereka tidak terikat oleh ikatan perkawinan lainnya; b. Mereka
tidak mempunyai penyakit jiwa; c. Yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat
umur yang membolehkan untuk kawin, menurut berbagai pendapat penulis hukum
Hindu menetapkan syarat umur 18 sebagai umur minimum untuk pria dan 15 untuk
wanita. Ketentuan ini bersifat mengikat, artinya bila umur kedua mempelai masih
dibawah itu apapun alasannya Brahmana pemimpin upacara dapat menolak untuk
melakukan pengesahannya; d. Antara kedua mempelai tidak mempunyai hubungan
darah dekat yang dilarang menurut ketentuan agama. Batasan ini yang disebut sapinda.
Masyarakat Bali merupakan penganutan patrinial atau garis keturunan laki-laki. Anak
laki-laki merupakan waris utama pada masyarakat Bali baik orang Bali yang masih tinggal
di Bali maupun orang Bali yang berada di luar bali termasuk Lombok. Masyarakat
tradisional bali wanita bukan merupakan ahli waris. Pengertian atau pemahaman waris
bagi masyarakat bali bukan sekedar mewarisi harta benda kekayaan orang tua sebagai
haknya, melainkan juga mewarisi segala kewajiban yang diemban oleh orang tuanya
dalam hal ini bapak (ayah).
Disamping itu ada pendapat bahwa kawin dengan sistem lari ini mencerminkan jiwa
kesatria, karena dalam pelaksanaannya akan dapat beresiko yang cukup berbahaya.
Yaitu apabila saat melarikan di ketahui atau di pergoki oleh orang tua atau keluarganya
maka akan dapat berakibat perang. Demikian pula ada alasan atau pendapat lain kenapa
menempuh kawin dengan sistem lari karena ada pendapat apabila dilakukan dengan
cara di minta kepada orang tuanya mereka beranggapan seperti meminta anak ayam
atau anak kucing. Oleh karena itu akan lebih terhormat dirasakan kalau putrinya itu
dilarikan dalam rangka menuju perkawinan.
Tahap Pertama
Proses melarikan sampai di Tempat Pesangidan dan Selabar
Sebelum pelaksanaan sang gadis melarikan diri dalam rangka kawin, sebelumnya
diadakan kesepakatan antara sang gadis dengan sang pacar tentang hari dan waktu
pelaksanaan lari. Pada jaman dahulu pelaksanaan melarikan ini biasanya pada malam
hari walaupun tidak menutup kemungkinan dapat dilaksanakan pada siang hari, sangat
tergantung dengan situasi dan kondisi yang ada. Setelah sang gadis tiba ditempat
persembunyian maka dikirim utusan sebanyak 2 orang sebagai petugas untuk
memberitahukan orang tua pihak wanita bahwa putrinya telah dilarikan untuk kawin
dengan si Anu putra dari si Anu. Petugas ini disebut selabar/pejati untuk etnis Bali
Lombok. Selabar ini datang ke rumah pihak wanita pada senjakala atau setelah matahari
tenggelam dengan berpakaian adat. Dalam viii pelaksanaan melarikan sang gadis bisa
langsung oleh laki-laki yang berstatus sebagai pacarnya namun bisa juga tidak, untuk
menghindari kecurigaan pihak keluarga wanita atau demi keamanan. Setelah yakin
bahwa sang gadis yang dimaksud sudah berada di persembunyian maka 2 orang petugas
selabar/pejati bisa diberangkatkan, yang seorang sebagai juru bicara langsung dan yang
seorang sebagai saksi. Biasanya selabar atau pejati ini ke rumah keluarga yang wanita
dalam jarak waktu tidak lebih dari 1 x 24 jam sejak sang gadis berada di tempat
persembunyian. Pelaksanaan selabar/pejati ini tidak boleh sebelum matahari tenggelam.
Petugas pada zaman dahulu pasti memakai pakaian adat lengkap dengan senjata
kerisnya, dan bobok yaitu daun kelapa kering yang dinyalakan sebagai obor penerangan.
Mesayut Ketelun
Menurut adat etnis Bali di Lombok, begitu sang gadis tiba ditempat
persembunyian/pengkeban pada saat itu pula sudah boleh berada dalam satu kamar,
dan 3 hari kemudian harus dilangsungkan upacara ritual agama yang disebut mesayut
ketelun dalam rangka pensucian atau pembersihan karena dalam kurun waktu 3 hari
dianggap dalam keadaan kotor.
Tahap kedua
Ngendek
Petugas ngendek ini terdiri dari dua orang yang bertugas menyampaikan bahwa
besoknya ada petugas peradang akan datang mohon kesediannya untuk menunggu.
Peradang Pertama
Dalam peradang pertama ini hanya untuk minta maaf atas perbuatan pihak calon
penganten laki-laki ( Purusa ) yang berani melarikan putrid kesayangan dari pihak
perempuan ( perdana ). Di Cakranegara ada ketentuan apabila peradang sudah
dilaksanakan tiga kali tetapi pembicaraan belum bisa selesai maka berlaku waneng
bawak yaitu pihak purusa boleh melaksanakan upacara perkawinannya tanpa
pemberitahuan kepada pihak perdana. Menurut Gde Wangsa SH, SU mengatakan bahwa
untuk peradang-peradang berikutnya katakata maaf atau nunas ampura harus tetap
disampaikan sebagai pernyataan sangat menyadari akan kesalahan karena berani
melarikan anak gadisnya dalam rangka kawin.
Peradang kedua
Dalam pelaksanaan peradang ke dua ini adalah untuk meminta maaf dan keledangan (
keikhlasan ) pengantin untuk di izinkan pulang dari pesangidan atau tempat
persembunyian ke rumah keluarga purusa
Peradang ketiga
Dilaksanakan untuk meminta maaf dan keledangan ( keihlasan ) agar diizinkan keluar
dari rumah dalam rangka keperluan bekerja ( tugas ) dan untuk mencari dewasa/hari
baik dalam kaitannya pengesahan perkawinan.
Mencari Dewasa
Khusus untuk mencari dewasa atau hari baik dalam rangka upacara perkawinan
kebiasaan etnis Bali yang beragama Hindu di Lombok mempertimbangkan Penanggal
dan panglong atau bulan hidup dan bulan mati, yang dimaksud dengan bulan hidup
adalah setelah Tilem yaitu pada saat bulan sama sekali tidak kelihatan, sehari setelah itu
disebut penanggal dan sampai hari ke 14 yang disebut Prawani atau purwani yaitu sehari
sebelum bulan Purnama, pada hari-hari tersebut digunakan dalam rangka upacara
perkawinan ( Manusa Yadnya ) dan tidak tertutup kemungkinan digunakan juga dalam
upacara atau yadnya-yadnya yang lain. Tetapi tidak setiap penanggal di anggap dewasa.
Sedangkan yang disebut bulan mati adalah sehari-hari setelah bulan Purnama sampai
dengan Tilem atau sama sekali tidak terlihat bulan. Untuk menentukan hari baik atau
hari kurang baik dalam rangka upacara pawiwahan atau perkawinan maupun upacara-
upacara lainnya ditentukan oleh Pandita ( Sulinggih ). Jika dewasa sudah diberikan atau
ditentukan oleh sulinggih maka sesuai hari dan tanggal yang disepakati itulah menjadi
hari H upacara mesayut/mawidhi widhana dalam rangka/pengesahan perkawinannya.
Tahap ketiga
Mesayut ( Widhi Widana )
Mewidhi Widana adalah proses upacara yang dilakukan dalam rangka pengesahan
perkawinan sang penganten di pimpin oleh seorang sulunggih (Dwijati) yang dihadiri
oleh keluarga, sidikara maupun undangan lainnya. Widhi widana dapat terlaksana jika
sudah mendapatkan hari baik untuk melangsungkan pengesahan perkawinan, hari baik
yang dimaksud adalah sasih kelima atau sehabis mati bulan (Tilem).
Membawa Parikrama
Parikrama merupakan prosedural maupun sarana terdiri dari jaja penyongkol beserta
runtuttannya, pisuguh, wakul bersama runtuttannya, tegen-tegenan, tebu, ceraken,
rantasan, kunyit keladi, panak biyu, dan aji gama berupa uang. Kesemuanya itu akan di
bawa ke rumah pihak perdana pada hari mesayut pagi harinya.
Nyongkol
Pelaksanaan nyongkol ini dilakukan pada sore hari setelah kedua pengantin
melaksanakan Widhi Widana dalam rangka pengesahan perkawinannya. Pengantin
diiringi oleh keluarga dan para tamu undangan berangkat dari rumah pihak purusa ke
rumah pihak perdana
Mejanguk
Mejanguk yang disertai dengan upacara Mekunyit Keladi. Upacara ini biasanya
dilaksanakan secara kekeluargaan tanpa disertai oleh para tamu undangan, biasanya
acaranya sangat sederhana namun penuh humor dan romantic. Waktunya dapat
dilakukan pada malam harinya setelah upacara Nyongkol atau hari lain sesuai
kesepakatan kedua belah pihak yaitu antara keluarga penganten laki dengan keluarga
penganten wanita.
Sistem perkawinan ngerorod (kawin lari) merupakan sistem perkawinan yang sudah ada
sejak zaman dahulu, dan merupakan tradisi adat atau budaya yang masih dapat diterima
secara turun temurun bahkan sampai saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem
perkawinan ini masih dihargai oleh masyarakat Hindu.
Apakah perkawinan ngerorod dalam hukum adat Bali memenuhi syarat sahnya
perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan?
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia
pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat
adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum
agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat. Kecuali bagi mereka
yang belum menganut agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang
masih menganut kepercayaan agama lama (kuno) seperti “sipelebegu” (pemuja roh)
dikalangan orang batak atau agama “kaharingan” dikalangan orang-orang dayak
Kalimantan Tengah dan lainnya, maka perkawinan yang dilakukan menurut tata tertib
adat/agama mereka itu adalah sah menurut hukum adat setempat.
Perkawinan Ngerorod dapat diartikan yaitu dengan cara kawin “lari bersama”, di mana si
laki dan wanita yang akan kawin, pergi bersamaan (biasanya secara sembunyi-sembunyi)
meninggalkan rumahnya masingmasing dan bersembunyi pada keluarga lain (pihak ke
III) dan menyatakan diri sedang Ngerorod. Perkawinan seperti ini, umumya tidak
diketahui oleh orang tua sebelumnya. Kalupun mungkin diketahui, orang tua purapura
tidak tahu, karena perkawinan Ngerorod persyaratan adatnya lebih ringan dari yang lain.
Cara ini dilakukan karena orang tua pihak perempuan tidak menyetujui hubungan antara
anak perempuannya dengan laki-laki calon suaminya, atau karena keluarga pihak laki-
laki tidak mampu bila menempuh cara perkawinan secara meminang serta alasan
perbedaan wangsa.
Terlepas dari pandangan baik atau tidaknya tindakan perkawinan Ngerorod, pada masa
sekarang bentuk perkawinan ini masih umum dilakukan di Bali, dan mereka yang
melakukannya tidak dapat dipersalahkan, asalkan syarat perkawinan umum sudah
dipenuhi, misalnya tidak melanggar batas umur atau tidak ada unsur paksaan terhadap
si gadis. Walaupun perkawinan Ngerorod ini dapat dibenarkan dalam pelaksanaannya
tetap harus memperhatikan norma-norma adat perkawinan tersebut.
Dalam perkawinan Ngerorod ini unsur yang paling utama yaitu unsur suka sama suka,
apabila tidak dipenuhi atau terbukti adanya pemaksaan terhadap pihak wanita untuk
Ngerorod tersebut, si pria dapat dijerat unsur delik dalam pasal 332 ayat (1) angka 2.
Perlunya unsur suka sama suka ini juga akan memperkuat sifat kawin lari bersama
tersebut. Sebab disini akan terlihat bahwa dalam perkawinan tersebut mereka lari
bersama, tidak ada pihak yang melarikan dan juga tidak ada pihak yang merasa dilarikan.
Bila ketentuan diatas dilaksanakan, tentunya proses perkawinan Ngerorod dapat terus
dilaksanakan.
Adapun jika perkawinan Ngerorod ini terjadi pada PNS/TNI sesuai dengan UU
Perkawinan no. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menegaskan bahwa bagi yang
menempuh cara perkawinan Ngerorod (Selarian), surat persetujuan dari orang tua/wali
kedua belah pihak calon suami/istri bisa dilengkapi kemudian, setelah diadakan upacara
perkawinan (keagamaan). Apabila surat persetujuan orang tua/wali sukar didapat, maka
surat tersebut dapat diberikan oleh Kepala/Pemuka agama Hindu/Budha setempat,
dimana perkawinan itu dilaksanakan. Surat kawin tersebut selanjutnya disampaikan
kepada Bagian Personalia dari kesatuan kedua mempelai. Jangka waktu minimal yang
diperlukan menyelesaikan administrasi persiapan perkawinan tersebut adalah 3 (tiga)
bulan.
Menurut HukumAdat Bali suatu perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukuan
upacara pebiakaonan dan kemudian diikuti oleh upacara mekala-kalaan dan mejamuan.
Upacara beakala atau beakaon adalah mengesahkan perkawinan dari segi hukum adat,
sedang upacara mekalakalaan mengesahkan perkawinan dari segi hukum agama (Hindu)
Adapun alasan-alasan apabila perkawinan Ngerorod ini tetap dilakukan dengan kondisi
kedepannya. Perlu diketahui disini bahwa sampai saat ini eksistensi dalam perkawinan
Ngerorod ini masih diakui keberadaanya dan itu tidak bisa dihilangkan sampai kapanpun
karena memang sudah adatnya. Serta merupakan bentuk perkawinan yang paling
banyak dilakukan. Pada perkembangan sekarang, perkawinan ngerorod ditempuh
walaupun pihak sudah disetujui oleh orang tua, bahkan mereka langsung sudah
memberitahukannya akan kawin lari bersama untuk melangsungkan perkawinan
Perkawinan ngerorod dilakukan berdasarkan pada pertimbangan ekonomis, yaitu
menghindari biaya yang cukup besar yang harus dikeluarkan apabila menempuh
perkawinan secara meminang, disamping tersebut diatas bahwa yang menjadi alasan
yaitu perbedaan wangsa atau kasta. Menurut agama Hindu perkawinan ngerorod itu
tetap diakui sah. Dan keberadaan lembaga perkawinan ngerorod ini telah diakui oleh
pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 43 / PN. Dps / Pdt /
1976, yang antara lain berbunyi : "menimbang pada umumnya kawin lari (ngerorod) itu
ditempuh oleh kedua mempelai apabila keluarga si gadis tidak menyetujui perkawinan
anaknya atas alasan perbedaan wangsa atau latar belakang sosial ekonomi".
3 UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat, namun dapatlah
dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat
pada tiga hal, yakni: adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri
tertentu, sebagai subyek hak ulayat; adanya tuan/wilayah dengan batas - batas
tertentu yang merupakan subyek hak ulayat; dan adanya kewenangan masyarakat
hukum adat untuk melakukan tindakan - tindakan tertentu.
Pertanyaan:
a. Menurut analisis Anda, apakah ciri –ciri tersebut di atas merupakan syarat
kumulatif?
b. Menurut analisis Anda, apakah saat ini hak atas tanah yang dimiliki oleh
masyarakat hukum adat dapat dicabut oleh negara demi pembangunan
untuk kepentingan umum?
JAWABAN
Agraria sebagai sumber daya alam merupakan salah satu bidang yang sangat penting
dalam kehidupan ekonomi Negara Republik Indonesia. Pembangunan yang
dikembangkan oleh pemerintah ditujukan untuk menggerakan berbagai sektor dengan
ditunjang dari berbagai sektor pula. Seperti keterkaitan antara sektor agraria dengan
sektor ekonomi. Bahwa dalam menunjang dan menggerakkan pembangunan yang
begitu cepat sehingga dibutuhkan sumber daya alam, baik sumber daya alam produksi
dan lahan untuk penunjang dan menjadi fondasi dari pembangunan. Pandangan
ekonomi yang melihat agraria sebagai factor produksi. Tanah merupakan bagian
kehidupan masyarakat bahan kehormatan, dan bukan hanya itulah tanah dipandang
sebagai factor produksi tetapi lebih dari itu tanah mempunyai hubungan emosional
dengan masyarakat.
Sector ekonomi dalam kegiatannya makin beragam, hampir tidak ada sumber daya alam
yang tidak tergarap, wilayah agen–agen ekonomi seperti perusahaan yang menjadi misi
pembangunan makin menyebar dan tidak ada wilayah di seluruh negeri ini yang tidak
tersentuh kegiatan pembangunan.
Proses pembangunan yang fenomenal tersebut membuat disatu sisi penguasaan sumber
daya alam terutama wilayah atau lahan menjadi semakin penting, dinamika
pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan
persediaan akan tanah terbatas, sehingga makin banyak timbul benih-benih konflik yang
mewarnai perjalanan pembangunan itu sendiri. Pemecahannya tidak semata-mata
bersifat teknis yuridis tetapi juga menyangkut pertimbangan social ekonomis.
Semasa pemerintahan orde baru terjadi konflik agraria pada awalnya terjadi lewat
instrumen hukum yang berupa ketentuan perundang-undangan yaitu: ketentuan-
ketentuan pokok kehutanan (UU No.5 tahun 1967. 1967, LN No.8), undang-undang
penanaman modal UU No.1 tahun 1970 tentang PMA dan UU No. 6 tahun 1968 yang
dirubah dengan (UU No. 25 tahun 2007. 2007, LN No.67). Selain itu muncul ketentuan
yang sederajat sebanding dengan undang-undang yaitu peraturan pemerintah.
Peraturan pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan,
dan hak pakai atas tanah, serta peeraturan pemerintah No. 4 tahun 1996 tentang
pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di
Indonesia
Globalisasi melalui rezim WTO telah mendorong bagi dunia berkembang untuk memberi
dan mendatangkan kemudahan bagi investasi untuk menikmati sumber-sumber agraria.
Dengan pendekatan seperti itu memunculkan ideology dominan globalisasi dengan
menikmati sebanyak-banyaknya sumber-sumber agraria. Terkait dengan uraian diatas
maka fungsi Negara sangatlah penting sebagai badan yang memiliki otoritas dalam
menguasai sumber-sumber tersebut sebagai fungsi yang fundamental yang telah diatur
dalam konstitusi.
Konsepsi penguasaan Negara atas sumber daya alam terutama terkait dengan tanah
tersebut tidak terlepas dari hak penguasaan atas tanah yang terdiri dari hak bangsa
Indonesia atas tanah, hal menguasai Negara atas tanah, hak ulayat masyarakat hukum
adat, dan hak perorangan atas tanah yang terdiri dari: hak-hak atas tanah, wakaf tanah
hak milik, hak tanggungan yang kesemua berlandaskan hukum adat, sehingga selama
konsep pengusaan tersebut bersumber dan berasaskan hukum adat, yang mana dalam
asas-asas dlam UUPA tersebut karena sebagai wujud dasar maka dengan sendirinya
harus menjiwai pelaksanaan UUPA dan peratran pelaksananya, dengan demikian dalam
pembuatan peraturan pelaksana UUPA harus menjiwai asas yang terdapat dalam UUPA.
Namun dalam era globalisasi kegiatan investasi yang menjadi tulang punggung
pembangunan akan mendistorsi hak ulayat tersebut, hal ini lah yang sering terjadi
konflik antara investor dan masyarakat adat atau pemerintah dan masyarakat adat,
akibat sudut pandang yang berbeda.
Hak ulayat bukan merupakan hak milik perorangan, namun berdimensi privat serta
memiliki hak penguasaan yang dijamin oleh UUPA No.5 tahun 1960, pasal 3 karena
hukum adat sebagai dasar utama, namun tidak semuanya bahwa hukum adat menjadi
dasar utama tetapi juga sebagai pelengkap yakni sifat-sifatnya yang diatur dalam pasal 5,
pasal 56 dan pasal 58 UUPA. Hak ulayat merupakan serangkain wewenang dan
kewajiban masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya merupakan pendukung utama penghidupan dan
kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa, yaitu yang berhubungan
dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut, adapun termasuk hukum public,
berupa tugas dan wewenang untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan
dan penguasaan serta pemeliharaannya.
Menurut van vollehoven didalam bukunya Boedi harsono menyebutkan dengan istilah
”beschikkingrecht ” yang tidak bisa disalin kedalam bahasa indonesia, UUPA memakai
hak ulayat, sebenarnya untuk hak tersebut hukum adat tidak memberikan nama. Nama
yang ada menunjukan kepada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat
hukum yang bersangkutan. Ulayat artinya wilayah. Dalam bukunya Ter Haar, Beginselen
en stetsel van het adat recht banyak daerah yang mempunyai nama untuk lingkungan
wilayah itu, misalnya tanah wilayah sebagai kepunyaan (pertuanan-ambon), sebagai
tempat memberi makan (panyampeto-kalimantan), sebagai daerah yang dibatasi
(pewatasan-kalimantan, prabumian-bali, wewengkon-jawa) atau sebagai tanah yang
terlarang bagi orang lain (totobuan-Bolaang mongondaow), akhirnya dijumpai istilah-
istilah lainnya torluk(angkola), limpo(sulawesi selatan), payar(bali), paer(lombok),
ulayat(minangkabau).
Hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum atau persekutuan hukum
(rechtgemeenschap) atas tanah yang bukan merupakan hak milik. Persekutuan hukum
ini digambarkan oleh Van Diijk sebagai;
Perikatan manusia semacam itu yang mempunyai anggota-anggota yang merasa dirinya
terikat dalam kesatuan yang bersatu-padu dan penuh solidaritas; dalam mana anggota-
anggota tertentu berkuasa untuk bertindak untuk kesatuan itu seluruhnya dan dalam
masa anggota-anggota memepunyai kepentingan bersama, jadi perikatan yang
bertindak dalam pergaulan hukum sebagai kesatuan
Menurut Maria S.W Sumajono yang dikutip Urip santoso , pengertian hak ulayat sebagai
istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat
hukum adat, berupa wewang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah dan seisinya
dengan daya laku kedalam maupun keluar.
Pengertian hak ulayat menurut Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999, pasal 1
angka 1menyebutkan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
wilayah lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.
Pada pasal 1 angka 2 Permen Agraria/Kepala BPN No.5 tahun 1999 disebutkan mengenai
tanah ulayat adalah bidang tanah yang atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu.
Ketentuan dalam pasal 3 UUPA berpangkal adanya pengakuan adanya hak ulayat dalam
hukum tanah nasional, yang disertai 2 syarat, yaitu menganai eksistensinya dan
pelaksanaanya. Bilamana dalam kenyataannya di lingkungan kelompok masyarakat
hukum adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada, palaksanaan harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-
undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi, demikian yang dijelaskan
dalam pasal 3 dan Penjelasan Umum angka II nomor 3 UUPA.
Pengakuan hak ulayat secara fundamental berasal dari pasal 18 ayat 2 UUD 1945
amandemen ke-2, pasal 3 UUPA dan Penjelasan Umum angka II nomor 3 UUPA, dan
didefinisikan dalam pasal 1 angka 1 dan 2 Permen Agraria/Kepala BPN No.5 tahun 1999,
Keppres No.34 tahun 2003, Keppres 36 tahun 2005 menyangkut upaya kepastian
hukumnya
UUPA tidak secara khusus membentuk dan mengatur dalam peraturan perundang-
undangan mengenai hak ulayat, dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung
secara hukum adat setempat. Mengatur hak ulayat berakibat menghambat
perkembangan alamiah hak ulayat sejalan dengan sifat hukum adat yang dinamis, pada
kenyataanya cenderung melemah
Hak ulayat pun tidak didaftar. UUPA tidak memerintahkan tidak merintah
pendaftarannya, dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 secara sadar tidak
dimasukkan kedalam golongan objek pendaftaran tanah. Alasan teknis secara nyata
tidak mungkin terpenuhi dan tidak mungkin, karena batas-batas tanahnya tidak mungkin
dipastikan akan menimbulkan sengketa antar masyarakat hukum berbatasan. Dan akan
bertentangan dengan sifal alamiah dari hak ulayat tersebut.
Hak ulayat yang sudah melemah tidak akan dikembalikan menjadi kuat kembali. Yang
sudah tidak ada, tidak akan dihidupkan kembali. Dan, di daerah yang kenyataanya tidak
pernah ada masyarakat hukum adat yang mempunyai hak ulayat, tidak akan diciptakan
hak ulayat baru.
Dengan demikian hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tidak dapat
dicabut oleh negara untuk kepentingan umum.
Pertanyaan:
a. Menurut analisis Anda, apakah hukum adat dapat menjadi rujukan oleh hakim
dalam memutuskan suatu perkara?
b. Menurut analisis Anda, apakah suatu desa memiliki kewenangan untuk
membentuk aturan yang disesuaikan dengan hukum adat? Berikan dasar
hukumnya!
JAWABAN
Apakah hukum adat dapat menjadi rujukan oleh hakim dalam memutuskan suatu
perkara?
Indonesia menganut tiga sistem hukum yakni sistem hukum Adat, sistem hukum Islam
dan hukum Barat, ketiga hukum tersebut saling berkesinambungan antara satu dengan
yang lain mereka saling beriringan menggapai tujuan yang sama, namun di dalam
perjalananya mereka mengikuti aturan yang terdapat di dalam hukum tersebut.
Tetapi bila di kaji secara logika masing-masing hukum tersebut, memiliki kesamaan di
dalamnya. Mau tidak mau bahwa sistem pluralisme hukum di indonesia telah melekat
dan menjadi darah daging bagi masyarakat kita. Dan kita tidak bisa mengelak bahwa
hukum pluralisme tersebut berkembang di indonesia. Konsep pluralisme hukum bangsa
Indonesia menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang
sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur relasi-relasi
sosialnya, pluralnya hukum yang berada pada indonesia, hukum akan terpakai sendiri
dengan keinginan atau kebutuhan masyarakat tersebut.
Hukum Adat
Hukum Adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam kehidupan masyarakat. Sejak
manusia itu di turunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya dalam aturan
hukum adat yang berada di lingkunganya. Maka hukum adat itu lahir adanya suatu
masyarakat yang berada di suatu lingkungan hidupnya. Bila mulai berlakunya, tidak
dapat ditentukan dengan pasti akan tetapi jika di bandingkan dengan hukum-hukum
yang berlaku di indonesia hukum adatlah yang tertua umurnya.
Hukum adat ialah hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman. Walaupun tidak tertulis
di sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang mengetahui dan memahaminya
akan selalu patuh dibawahnya, karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral dan harus
diikuti selama tidak menyimpang dari rasa keadilan. Dalam sistem ketatanegaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hukum adat sudah tercermin di banyak aturan
perundang-undangan. Sebagai contoh ialah pasal 5 dalam UU Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyatakan :
"Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta aturan
perundangan lainnya, segala sesuaHukum adat bersumber pada nilai-nilai keadilan dan
nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat hukum adat itu sendiri dan seorang
pemuka adat yang merupakan pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya
dalam lingkungan masyarakat adat, ada untuk menjaga keutuhan masyarakat dan
mencapai hidup yang sejahtera, aman dan tentram.
Dari penjelasan di atas, sudah jelas bahwa hukum adat merupakan bagian tak
terpisahkan dari Indonesia. Sekarang dengan berbagai macam hukum adat di Indonesia,
kita tidak bisa mengkodifikasikan kesemuanya dalam sebuah kitab undang-undang
karena sifatnya yang fleksibel dan dinamis serta menyesuaikan dengan kejadian yang
terjadi di sekitarnya. tu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada
hukum agama"
Hukum Islam
Secara umum hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama Islam yang
berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Hukum Islam ini baru dikenal di Indonesia
setelah agama Islam disebarkan di tanah air, namun belum ada kesepakatan para ahli
sejarah Indonesia mengenai ketepatan masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang
mengatakan pada abad ke-1 hijriah atau abad ke-7 masehi, ada pula yang mengatakan
pada abad ke-7 Hijriah atau abad ke-13 masehi.Hukum islam mendarat di nusantara di
karenakan adanya suatu sistem perekonomian di masa Hindia Belanda, sistem
perekonomian yang di maksud penulis adalah perdagangan antara bangsa yang sudah
terbentuk adanya suatu ikatan didalamnya. Maka dari perdagangan antara bangsa
itulah, dari sistem perdagangan islam di sebarluaskan di Indonesia.
Jika semenjak agama Islam masuk ke Indonesia, hukum Islam di gunakan oleh
masyarakat Indonesia, maka dalam sistem hukum yang ada di Indonesia pada saat itu
terdapat subsistem hukum Islam. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di
bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Al-quran dan Al-hadist menjadi dasar hukum bagi umat islam, aturanaturan di dalam
kehidupan mayarakat islam khususnya, berbagai aspek kehidupan telah terperinci dan
telah diatur di dalamnya, Al-quran dan Al-hadist menjadi tumpuan hukum hingga
sekarang.
Hukum Barat
a. Civil Law
Civil law dalam satu pengertian merujuk kesuluruh sistem hukum yang saat ini
diterapkan pada sebagian besar negara eropa barat, amerika latin, negara negara timur
dekat dan sebagian besar wilayah afrika, indonesia dan jepang. Sisteme diturunkan dari
hukum romawi kuno, dan pertama kalinya dietrapkan di eropa berdassarkan jus civile
romawi hukum privat yang dapat diaplikasikan terhdapat negara dalam konteks
domestik. Sistem ini juga disebut jus quirtum, sebagai lawan dari jus gentium-hukum
yang diaplikasiakn secara internasional, yakni antar negara.
Pada waktu yang tepat akhirnya hukum ini dikomplikasikan dan kemudian
dikodifikasikan dan banyak pengamat yang sering merujuk pada civil law sebagai negara
hukum terkodifikasi yang paling utama.
b. Common Law
Sistem yang dikembangkan di inggris karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris
karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris disebut common law.
Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam
ketentuan khusus tentang Desa Adat. Berangkat dari sini, maka mekanisme
pembentukan Peraturan Desa Adat merujuk pada mekanisme pembentukan Peraturan
Desa.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa ketentuan mengenai Peraturan Desa Adat hanya
berlaku bagi desa adat.
Oleh karena itu, jika desa Anda adalah desa adat, hukum adat dan norma adat istiadat di
daerah Anda mengenai upacara adat kematian bisa dibentuk menjadi Peraturan Desa
Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai suatu produk hukum, Peraturan Desa Adat itu diakui dan dihormati
keberadaannya oleh negara dan tata cara pembentukannya sama dengan pembentukan
peraturan desa.
Perlu diketahui, mekanisme pembentukan Peraturan Desa Adat tidak diatur rinci dalam
UU Desa. Berangkat dari ketentuan tentang desa berlaku juga untuk desa adat, maka
mekanisme pembentukan Peraturan Desa Adat merujuk pada mekanisme
pembentukan Peraturan Desa.
Hal ini sesuai dengan yang disebut dalam Pasal 30 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa:
(1) Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang
berlaku di Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Teknik dan prosedur penyusunan Peraturan di desa yang diatur dalam Peraturan
Menteri ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik dan prosedur penyusunan
Peraturan di desa adat.