Anda di halaman 1dari 32

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : Rahmayanadiah. R

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 043412226

Tanggal Lahir : 12 Juni 1990

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4102 / Hukum dan Masyarakat

Kode/Nama Program Studi : 311 / Ilmu Hukum (S1)

Kode/Nama UPBJJ : 50 / UPBJJ Samarinda

Hari/Tanggal UAS THE : Kamis, 30 Desember 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Rahmayanadiah. R


NIM : 043412226
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4102/ Hukum dan Masyarakat
Fakultas : 311 / Ilmu Hukum (S1)
Program Studi : Ilmu Hukum (S1)
UPBJJ-UT : UPBJJ Samarinda

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Bontang, 30 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

Rahmayanadiah. R
NAMA MAHASISWA : RAHMAYANADIAH. R
NOMOR INDUK MAHASISWA/NIM : 043412226
KODE/NAMA MATA KULIAH : HKUM4102 / HUKUM DAN MASYARAKAT
HARI/TANGGAL UAS THE : KAMIS / 30 DESEMBER 2021

No JAWABAN
1 Desakan mundur kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang marak menggema
terutama di media sosial belakangan ini dinilai dilakukan oleh segelintir elite
yang tak kuasa menahan syahwat untuk berkuasa di republik. Diketahui
sebelumnya ada ajakan aksi unjuk rasa dengan nama gerakan 'Jokowi End Game'.
Namun belakangan aksi tersebut tidak terbukti dan pihak kepolisian kini sedang
menyelidiki siapa pihak-pihak yang menghembuskan ajakan tersebut di media sosial.
Potensi penyebaran Covid-19 saat unjuk rasa sangat besar, karena ada kerumunan
orang. Terlepas dari itu semua, berita pro kontra tentang adanya tunggangan politis
masih berhembus sampai sekarang

https://www.tribunnews.com/nasional/2021/07/25/ajakan-demo-jokowi-end-game-
diduga dilakukan-oleh-orang-lama-yang-ingin-berkuasa.

Pertanyaan:

a. Berdasarkan kasus di atas tentang desakan Presiden Joko Widodo mundur,


bagaimana analisa Anda jika dikaitkan dengan teori “The Pure Theory of law’?

Jawaban :

Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli
hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada
11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke
Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.

Kelsen memulai kariernya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh
Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh
ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu
pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah
melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian
teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

ans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir
400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh
Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi juga
dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori politik, dan kritik ideologi.
Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam
hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya
tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum
internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang
diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional,
pembuatan dan aplikasinya.

Kelsen menemukan bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah terkontaminasi
oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu
pengetahuan di sisi yang lain, dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh
karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya
untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum. Yurisprudensi ini
dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri,
sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya.

Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi
melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai
sebuah praktik normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus
dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi
saja.

Ajaran dari Hans Kelsen ini menimbulkan reaksi terhadap mazhab-mazhab hukum lain
yang telah memperluas batas-batas Ilmu Pengetahuan hukum. Ajarannya didasarkan
pada konsepsi Immanuel Kant, yang memisahkan secara tajam antara pengertian hukum
sebagai Sollen, dan pengertian hukum sebagai Sien. Oleh karena itu ajaran dari Hans
Kelsen disebut sebagai Neo Kantiaan.

Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-unsur pikiran yang filosofis-metafisis,
dan ingin memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud
untuk memperoleh Ilmu pengetahuan hukum yang murni. Ia tidak sependapat dengan
definisi hukum yang diartikan sebagai perintah. Karena itu ajarannya dianggap reaksi
terhadap mazhab-mazhab lain.

Menurut Kelsen, hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi
menentukan peraturan-peraturan tertentu yaitu meletakkan norma-norma bagi
tindakan yang harus dilakukan orang.

Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum, yaitu:
sifat keharusan untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi
pokok persoalan ilmu pengetahuan hukum adalah: Norma hukum yang terlepas dari
pertimbangan-pertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena
itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre).

Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib hukum
menjadi suatu negara apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badan-badan
atau lembaga-lembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan
hukum. Dinamakan tertib hukum, apabila ditinjau dari sudut peraturan-peraturan yang
abstrak. Dinamakan negara, apabila objek diselidiki adalah badan-badan atau lembaga-
lembaga yang melaksanakan hukum. Setiap perbuatan hukum harus dapat dikembalikan
pada suatu norma yang memberi kekuatan hukum pada tindakan manusia tertentu itu.
Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofis-metafisis,
dan ingin memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud
untuk memperoleh Ilmu pengetahuan hukum yang murni. Pandangan Kelsen tentang
tata hukum sebagai suatu bangunan norma-norma yang disusun secara hierachis yang
disebut Stufenbau teori. Menurut teori ini, karena ada ikatan asas-asas hukum, hukum
menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu dengan obyek yang
bisa ditelaah secara empirik, dengan analisa yang logis rational. Yang menjadi objek
studi adalah hukum positif.

Hukum positif, menurut Hans Kelsen, harus dipahami sebagai suatu sistem norma.
Pemahaman ini penting artinya untuk mencegah terjadinya kontradiksi atau
pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih
rendah, sehingga hukum dapat berguna bagi masyarakat. Norma-norma yang
terkandung dalam hukum positif harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma
yang paling dasar yaitu Grundnorm.

jika dikaitkan dengan desakan Presiden Joko Widodo mundur, Harus dipahami bahwa
menuntut presiden mundur merupakan bagian dari aspirasi warga bangsa. Hal yang
biasa di alam demokrasi. Di masa lalu pun hal-hal demikian sering terjadi dan bukan
merupakan delik. Namun kritik harus tetap disampaikan secara etis, berdasar fakta yang
dapat dipertanggungjawabkan dan tidak merendahkan martabat seseorang. Tidak pula
didasari imajinasi untuk membungkus kebencian. Setiap perbuatan hukum harus dapat
dikembalikan pada suatu norma yang memberi kekuatan hukum pada tindakan manusia
tertentu itu.
b. Jika unjuk rasa besar-besaran dilakukan, maka penyebaran Covid-19 sangatlah
besar karena adanya kerumunan banyak orang, bagaimana analisa Anda
tentang dogmatif hukum yang mengajarkan manusia taat hukum, dalam hal
ini taat hukum protokol kesehatan di saat penyebaran Covid 19 sedang
melambung tinggi di Indonesia?

Jawaban :

Sebagai upaya menanggulangi COVID-19, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri


Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga
terinfeksi COVID-19 untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19.[1]

PSBB paling sedikit meliputi:[2]

a. peliburan sekolah dan tempat kerja;


b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

PSBB diberlakukan di suatu daerah setelah permohonan PSBB oleh


gubernur/bupati/walikota disetujui oleh Menteri Kesehatan dengan mempertimbangkan
pendapat Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19[3].

Lebih lanjut, Kementerian Kesehatan menerbitkan protokol kesehatan yang secara


umum memuat:[4]

a. Menggunakan masker;
b. Mencuci tangan secara teratur, baik dengan sabun dan air mengalir atau
menggunakan cairan antiseptik seperti hand sanitizer;
c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari terkena
droplet dari orang yang bicara, batuk, atau bersin, serta menghindari
kerumunan, keramaian, dan berdesakan;
d. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS).

Aksi demonstrasi dengan jumlah massa yang besar berpotensi melanggar protokol
kesehatan dalam hal menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain serta
menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan.

Sebelumnya melalui Maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor


Mak/2/III/2020 Tahun 2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam
Penanganan Penyebaran Virus Corona, kegiatan unjuk rasa dilarang sebab akan
menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah yang banyak.

Namun maklumat tersebut telah dicabut sebagaimana diberitakan di laman Direktorat


Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dalam artikel Pasca Maklumat Kapolri
Dicabut, Polri Pastikan Tetap Awasi Protokol Kesehatan yang tertuang dalam Surat
Telegram Rahasia Nomor STR/364/VI/OPS.2/2020 tanggal 25 Juni 2020.

Sedangkan kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi itu sendiri dilindungi oleh Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum.

Meski demikian, dikutip dari Kliping Berita Ketenagakerjaan pada laman Kementerian
Ketenagakerjaan tertanggal 6 Oktober 2020, kepolisian telah mengeluarkan Surat
Telegram Rahasia Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 (“STR 645/2020”) tanggal 2
Oktober 2020 (hal. 99).

Dalam STR 645/2020 itu disebutkan unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada
faktor kesehatan, perekonomian, moral, dan hukum di tatanan masyarakat (hal. 99).

Masih bersumber dari kliping tersebut, Kadiv Humas Polri Irjen


Argo Yuwono menjelaskan memang dalam UU 9/1998 aksi penyampaian aspirasi atau
demonstrasi tidak dilarang. Namun, di situasi pandemi ini keramaian massa sangat
rawan terjadi penyebaran virus lantaran mengabaikan penerapan standar protokol
kesehatan (hal. 99).

Sehingga itulah alasan mengapa Polri tidak memberikan izin aksi demonstrasi atau
kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang (hal. 99).

Senada dengan hal tersebut, dilansir dari artikel Polda Metro Jaya Tak Izinkan Unjuk
Rasa Omnibus Law Karena PSBB, Polda Metro Jaya tidak akan mengeluarkan izin untuk
unjuk rasa dan kegiatan keramaian apa pun selama masa PSBB.

Kombes. Pol. Drs. Yusri Yunus selaku Kabid Humas Polda Metro Jaya menegaskan hal ini
dilakukan karena saat ini sedang dalam masa PSBB dan kasus COVID–19 di DKI Jakarta
cukup tinggi.

Meskipun demikian, perlu kami luruskan bahwa pelaksanaan demonstrasi tidak


memerlukan izin dari pihak kepolisian, sebab untuk dapat melaksanakan aksi
demonstrasi, pemimpin/penanggungjawab kelompok hanya wajib menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada Polri.

Pemberitahuan itu dilakukan selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai


telah diterima oleh Polri setempat.[6]

Jika dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia (“HAM”), masih bersumber pada Kliping Berita
Ketenagakerjaan di atas, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”)
menegaskan tidak ada pelanggaran HAM dengan tindakan pemerintah melarang
masyarakat berkumpul akibat adanya penyebaran virus (hal. 100).

Menurut Taufan Damanik Ketua Komnas HAM, standar HAM internasional maupun
nasional memberikan wewenang pada pemerintah untuk membatasi, mengurangi, atau
menunda hak asasi terkait kemerdekaan untuk berkumpul jumlah besar demi
kepentingan keselamatan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas (hal. 100).

Sanksi Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan

Di sisi lain, aksi demonstrasi yang mengakibatkan kerumunan masa yang rawan akan
penyebaran COVID-19 berpotensi melanggar atau abai terhadap protokol kesehatan.

Sebagai contoh, Pemerintah DKI Jakarta memberikan sanksi kerja sosial membersihkan
sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi selama 60 menit atau denda
administratif paling banyak sebesar Rp250 ribu bagi yang tidak menggunakan masker.

Selain itu, selama pemberlakuan PSBB di Jakarta penduduk dilarang melakukan kegiatan
dengan jumlah lebih dari 5 orang di tempat atau fasilitas umum.

Atas pelanggaran berkerumun lebih dari 5 orang selama PSBB dikenakan sanksi berupa:

a. administratif teguran tertulis;


b. sosial berupa membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi;
atau
c. denda administratif paling sedikit Rp100 ribu dan paling banyak Rp250 ribu.

2 Acuy adalah seorang petani yang juga merupakan ketua RT di daerahnya terpilih
menjadi kepala desa di Desa Sukasenang, tidak banyak pamphlet, baliho, foto tentang
Acuy yang terpasang di sekitar desa Sukasenang atau selebaran visi misi seorang Acuy
ketika manggung ke dunia politik kontestasi pemilihan kepala desa, tapi nyatanya
Acuy mengalahkan lima calon kepala desa yang mencalonkan diri, bahkan Acuy
mengalahkan petahana kepala desa yang memiliki elektabilitas tertinggi di antara
calon kepala desa dan juga mengalahkan tokoh masyarakat yang terkenal di desa
Sukasenang dan memiliki elektabilitas tertinggi kedua. Panitia Pemilihan Kepala
Desa Sukasenang langsung menetapkan Acuy sebagai Kepala Desa terpilih dengan
suara terbanyak, dengan perolehan 80 % suara. Tentu berita ini mengagetkan banyak
pihak, tanpa diduga Acuy yang merupakan petani dan ketua RT mampu
mengalahkan Petahana dan Tokoh Masyarakat yang terkenal dan juga mematahkan
hasil survey terbaru lembaga survey yang ternama.

Pertanyaan:

a. Melihat kasus di atas, bagaimana akuntabilitas dan transparansi


penghitungan suara pemilihan kepala desa Sukasenang yang memenangkan
Bapak Acuy?

Jawaban :

Konsep dan pengertian Akuntabilitas

Pada dasarnya konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep


pertanggungjawaban sendiri dapat dijelasakan dari adanya wewenang. Wewenang di
sini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe ideal wewenang,
pertama wewenang tradisional kedua wewenang karismatik dan ketiga wewenang legal
rational. Yang ketigalah ini yang menjadi basis wewenang pemerintah. Dalam
perkembanganya, muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh
Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang harus
dapat dipertanggungjawabkan.

Darwin sebagaimana dikutip Joko Widodo, membedakan konsep pertanggungjawaban


menjadi tiga .
1. Pertama , akuntabilitas (accountability),
2. Kedua, responsibilitas (responsibility) dan
3. Ketiga responsivitas (responsiveness).
Sebelum menjelaskan tentang pertanggungajawaban sebagai akuntabilitas
(accountability), di sini akan dijelaskan lebih dahulu pertanggungjawaban sebagai
responsibilitas (responsibility) dan sebagai responsivitas (responsiveness).

Responsibilitas (responsibility) merupakan konsep yang berkenaan dengan standar


profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam
menjalankan tugasnya. Administrasi negara dinilai responsibel apabila pelakunya
memiliki standard profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi. Sedangkan
konsep responsivitas (responsiveness) merupakan pertanggungjawaban dari sisi yang
menerima pelayanan (masyarakat). Seberapa jauh mereka melihat administrasi negara
(birokrasi publik) bersikap tanggap (responsive) yang lebih tinggi terhadap apa yang
menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan aspirasi mereka.

Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang


pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara
tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara
ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas digunakan juga bagi pemerintah untuk
melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha – usaha tadi berusaha untuk
mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau tidak, tidak efisien apa
tidak prosedur yang tidak diperlukan.
Akuntabilitas menunjuk pada pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem
administrasi. Mohamad Mahsun membedakan akuntabilitas dan responsibilitas,
menururtnya keduanya merupakan hal yang saling berhubungan tetapi akuntabilitas
lebih baik dan berbeda dengan akuntabilitas. Akuntabilitas didasarkan pada
catatan/laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan.
Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang
diawasai dengan yang mengawasi, agen dengan prinsipal atau antara yang mewakil
dengan yang diwakili. Dari segi fokus dan cakupanya, responsibility lebih bersifat internal
sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal.

Mohamad Mahsun juga membedakan akuntabilitas dalam arti sempit dan arti luas,
akuntabilitas dalam pengertian yang sempit dapat dipahami sebagai bentuk
pertanggungjawban yang mengacu pada siapa organisasi (atau pekerja individu)
bertangungjawab dan untuk apa organisasi bertanggngjawab. Sedang pengertian
akuntabilitas dalam arti luas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang
amanah (agen) untuk meberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada
pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut.

Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary sebagaimana dikutip oleh Lembaga
Administrasi Negara, akuntabilitas diartikan sebagai “required or excpected to give an
explanation for one’s action” Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk meberikan
penjelasan atas apa yang telah dilakukan.

Dengan demikian akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan


pertanggungajwaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan
seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak
atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.Miriam
Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi
kuasa mandat untuk memerintah kepada yang membeeri mereka mandat Akuntabilitas
bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi
kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan
kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi .

Sedang Sedarmayanti mendefinsiskan sebagai sebagai suatu perwujudan kewajiban


untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaba yang dilaksanakan secara periodik.Lembaga
Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas sebagai kewajiban seseorang atau unit
organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalaian
sumberdaya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik.

Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe, Jabra & Dwidevi sebagaiman
dijelaskan oleh Sadu Wasistiono mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas
yaitu ;
1. Akuntabilitas administ atif/organisasi adalah pertanggungajwaban antara pejabat
yang berwenang dengan unit bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.
2. Akuntabilitas legal, akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik dikaitkan
dengan proses legislatif dan ydikatif. Bentuknya dapat berupa peninjauan
kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat publik maupun pembatalan
suatu peraturan oleh institusi yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal adalah
peraturan perundang undangan yang berlaku
3. Akuntabilitas politik, Dalam tipe ini terkait dengan adanya kewenangan
pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan
pendistribusian sumber – sumber dab menjamain adanya kepatuhan
melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal . Akuntabilitas ini
memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh administrasi publik
4. Akuntabilitas profesional hal ini berkaitan dengan pelaksnaan kinerja dan
tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang sejenis.
Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas kinerja dan tindakan.
5. Akuntabilitas moral. Akunatabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di
kalagan masyarakat . Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik atau buruknya
suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang/badan
hukum/pimpinan kolektif berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat.

Konsep dan pengertian Transparansi

Menurut Mardiasmo, transparansi berarti keterbukaan (opennsess) pemerintah dalam


memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan seumberdaya publik
kepada pihak – pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban
memberikan informasi keuangan dan informasi lainya yang akan digunakan untuk
pengambilan keputusan oleh pihak – pihak yang berkepentingan .

Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara


pemerintah daerah dengan masyarakat sehingga tercipta pemerintahan daerah yang
bersih, efektif, efisien ,akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat. Transparansi adalah prinsip yang menjamain akses atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan ,
yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil –
hasil yang dicapai.

Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang


dimaksud dengan infoermasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan
pemerintah yang dapat dijangkau publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan
menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat beradsarkan
preferensi publik.Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dapat dilihat dalam dua hal yaitu
1. salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan
2. upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme
(KKN).
Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hubungannya
dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa hal berikut ;
1. publikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah,
2. publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang
berbagai perizinan dan prosedurnya, (3) publikasi dan sosialisasi tentang
prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah, (4) transparansi dalam
penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek pemerintah
daerah kepada pihak ketiga, dan
3. kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak
diskriminatif dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.

Selanjutnya dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat hidup orang
banyak hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. Hal
ini disamping untuk mewujudkan transparansi juga akan sangat membantu pemerintah
daerah dan DPRD dalam melahirkan Peraturan Daerah yang accountable dan dapat
menampung aspirasi masyarakat. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua
pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait --seperti berbagai
peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang
minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala
haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa
yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus
informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat
dipantau.

Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan


keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai
informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan
kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan.
Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga
relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk
mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya”
segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

Dalam impelmentasi di pemerintah daerah Seringkali kita terjebak dalam “paradigma


produksi” dalam hal penyebarluasan informasi ini; seakan-akan transparansi sudah
dilaksanakan dengan mencetak leaflet suatu program dan menyebarluaskannya ke
setiap kantor kepala desa, atau memasang iklan di surat kabar yang tidak dibaca oleh
sebagian besar komponen masyarakat. Pola pikir ini perlu berubah menjadi“paradigma
pemasaran”, yaitu bagaimanamasyarakat menerima informasi dan memahaminya.

Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan administrasi publik sehari-hari, terdapat


beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:.

1. Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-program


pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya - upaya khusus untuk
mendorong keingintahuan mereka terhadap data/informasi ini. Untuk itu,
dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif kepada
seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses
masyarakat terhadap informasi belaka.
2. Kedua, pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan
substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung pada segmen
sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat awam sangat
berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi,
dan anggota DPRD, misalnya. Selain itu, seringkali cara-cara dan media yang
sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai sasaran daripada
“media modern” seperti televisi dan surat kabar.
3. Ketiga,seringkali berbagai unsur nonpemerintah –misalnya pers, lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM)– lebih efektif untuk
menyebarluaskan informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu,
penginformasian kepada berbagai komponen strategis ini menjadi sangat
penting.

b. Lakukanlah analisa terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri No 72


Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Desa dikaitkan dengan Pemilihan
Kepala Desa Sukasenang yang memenangkan Acuy sebagai kepala desa
terpilih?
Jawaban :

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 72 Tahun 2020

Menimbang :

a. bahwa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tahapan pemilihan


Kepala Desa perlu melakukan penegakan protokol kesehatan untuk
mencegah aktivitas yang menimbulkan penyebaran/penularan Corona
Virus Disease 2019 yang membahayakan kesehatan masyarakat;
b. bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Kepala Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Kepala Desa, perlu disesuaikan dengan dinamika sosiologis
akibat bencana nonalam yaitu pandemi Corona Virus Disease 2019
sehingga perlu diubah;
c. c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa;

Berkaitan dengan pemilihan Kepala Desa Sukasenang yang memenangkan Acuy


sebagai kepala desa terpilih, seharusnya pemilihan di laksanakan dengan melakukan
penegakan protokol kesehatan untuk mencegah aktivitas yang menimbulkan
penyebaran/penularan Corona Virus Disease 2019 yang membahayakan kesehatan
masyarakat.

Pada pasal 5 poin 4 yaitu :

Tugas panitia pemilihan di kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


meliputi:

a. merencanakan, mengoordinasikan dan menyelenggarakan semua


tahapan pelaksanaan pemilihan di kabupaten/kota;
b. melakukan bimbingan teknis pelaksanaan pemilihan Kepala Desa
terhadap panitia pemilihan Kepala Desa di Desa;
c. menetapkan jumlah surat suara dan kotak suara;
d. memfasilitasi pencetakan surat suara dan pembuatan kotak suara serta
perlengkapan pemilihan lainnya;
e. menyampaikan surat suara dan kotak suara dan perlengkapan pemilihan
lainnya kepada panitia pemilihan;
f. memfasilitasi penyelesaian permasalahan pemilihan Kepala Desa di
kabupaten/kota; g. melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan
Kepala Desa dan melaporkan serta membuat rekomendasi kepada
bupati/wali kota; dan
g. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan.

Jika pasal tersebut diterapkan pada saat pemilihan Kepala Desa Sukasenang, maka
apapun hasil yang diperoleh akan diterima dengan baik karena telah dilakukan dengan
proses yang benar.

3 Alex adalah sarjana seni yang jujur merupakan seorang pebisnis di bidang alat
tulis kantor, karena keuletannya Alex membuka banyak cabang perusahaan di bidang
alat tulis kantor tidak hanya di satu kabupaten saja tapi perusahaannya sudah
menjamur di berbagai kota dan daerah, sehingga membuatnya terkenal menjadi
orang terkenal di kabupaten dimana Alex tinggal. Dan dengan modal terkenal
Alex dicalonkan oleh beberapa partai politik untuk maju di Pilkada Kabupaten,
dengan berbagai dukungan dan kerja keras partai pengusung Alex yang buta politik
dan juga buta hukum tetap saja Alex menjadi pemenang di Kabupaten tempat Alex
tinggal. Dua tahun roda pemerintahan Kabupaten berjalan di bawah kepemimpinan
Alex berjalan mulus dan lancar, dimana pembangunan kabupaten sudah
dilakukannnya, tapi menjelang Tahun ketiga Alex kena OTT (Operasi Tangkap Tangan)
karena telah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) pembangunan sekolah
swasta sehingga Negara dirugikan akibat kebijakan Alex sekitar 2.3 Milyar
Rupiah, dan akhirnya Alex digiring penyidik KPK untuk dimintai kesaksian dan
pertanggungjawabannya, dan Alexpun kooperatif dengan penyidik KPK tidak
berbelit dalam memberikan keterangan, berkata jujur dan apa adanya.

Pertanyaan:

a. Berdasarkan kasus di atas, dimana Alex yang jujur dan akhirnya kena OTT
KPK karena abuse of power, coba Anda analisa tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi Alex melanggar hukum?

Jawaban :

Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Praktik- praktik tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia hampir setiap hari
diberitakan oleh media massa. Kenyataan praktik korupsi yang terjadi di Indonesia
bukan hanya melibatkan personal, tetapi juga instansi politik dan hukum.

Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik oleh para
saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan
sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara
kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-
lain.

Tindak pidana korupsi digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam golongan tindak pidana khusus, sehingga
memerlukan langkah-langkah yang khusus untuk memberantasnya.

Hukum positif Indonesia mengatur pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berbagai upaya pemerintah untuk meminimalisasi penyebaran tindak pidana ini


tampaknya belum memperoleh hasil yang signifikan. Berikut pembahasan lebih lanjut
mengenai penyebab korupsi di Indonesia serta tantangan yang dihadapi dalam upaya
pemberantasannya.

Penyebab Korupsi di Indonesia

Mengutip dari Jurnal Keadilan Progresif Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung,
penyebab korupsi di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 2, yakni penyebab internal
dan eksternal. Berikut penjelasan selengkapnya;

1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Persepsi
terhadap korupsi atau pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda.
Salah satu penyebab korupsi di Indonesia adalah masih bertahannya sikap primitif
terhadap praktik korupsi karena belum ada kejelasan mengenai batasan bagi istilah
korupsi. Sehingga terjadi beberapa perbedaan pandangan dalam melihat korupsi.

Kualitas moral dan integritas individu juga berperan penting dalam peyebab korupsi di
Indonesia dari faktor internal. Adanya sifat serakah dalam diri manusia dan himpitan
ekonomi serta self esteem yang rendah dapat membuat seseorang melakukan
korupsi. Adapun beberapa pernyataan ahli yang menyimpulkan beberapa poin
penyebab korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:

 peninggalan pemerintahan kolonial.


 kemiskinan dan ketidaksamaan.
 gaji yang rendah.
 persepsi yang popular.
 pengaturan yang bertele-tele.
 pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.

Menurut bidang psikologi, terdapat dua teori yang menyebabkan terjadinya korupsi,
yaitu teori medan dan teori big five personality. Teori medan adalah perilaku manusia
merupakan hasil dari interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan lingkungan
(environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri dari orang itu
sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya.
Melalui teori ini, jelas bahwa perilaku korupsi dapat dianalisis maupun diprediksi
memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.

Teori yang kedua adalah teori big five personality. Teori ini merupakan konsep yang
mengemukakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima faktor kepribadian, yaitu
extraversion, agreeableness, neuroticism, openness, dan conscientiousness. Selain
faktor-faktor internal di atas, terdapat faktor-faktor internal lainnya, faktor tersebut
yaitu :

 Aspek Perilaku Individu:


1. Sifat tamak atau rakus
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer atau kebutuhan pangan.
Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak, rakus,
mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi berasal dari
dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus.

2. Moral yang kurang kuat


Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi.
Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja,
bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan.

3. Gaya hidup yang konsumtif


Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku konsumtif. Perilaku
konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang
bagi seseorang untuk melakukan tindak korupsi.

 Aspek Sosial
Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku korup. Menurut kaum
bahviouris, lingkungan keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak
korupsi, mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya.
Lingkungan justru memberi dorongan, bukan hukuman atas tindakan koruptif
seseorang.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Faktor eksternal
yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut;

 Hukum
Sistem hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi masih sangat lemah. Hukum
tidak dijalankan sesuai prosedur yang benar, aparat mudah disogok sehingga
pelanggaran sangat mudah dilakukan oleh masyarakat.

 Politik
Monopoli Kekuasaan merupakan sumber korupsi, karena tidak adanya kontrol oleh
lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat. Faktor yang sangat dekat dengan
terjadinya korupsi adalah budaya penyalahgunaan wewenang yang berlebih dalam hal
ini terjadinya KKN. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang masih sangat tinggi dan
tidak adanya sistem kontrol yang baik menyebabkan masyarakat meng anggap bahwa
korupsi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi.

 Sosial
Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi.
Korupsi merupakan budaya dari pejabat lokal dan adanya tradisi memberi yang
disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Aspek-Aspek Penyebab Korupsi di Indonesia

Terdapat aspek-aspek yang menjadi penyebab orang-orang melakukan tindak pidana


korupsi, terutama di Indonesia. Aspek-aspek penyebab korupsi di Indonesia tersebut
meliputi:

1. Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi


Aspek pertama yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah sikap masyarakat
terhadap praktik korupsi. Misalnya, dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering
ditutupi demi menjaga nama baik organisasi. Demikianlah tindak korupsi dalam sebuah
organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan
mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat
yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:

 Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya


korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang
dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap kondisi,
seperti dari mana kekayaan itu berasal.

 Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat


tindak korupsi adalah negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian
terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya, akibat korupsi
anggaran pembangunan menjadi berkurang, pembangunan transportasi
umum menjadi terbatas.

 Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi.


Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat
justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara
terbuka namun tidak disadari.

 Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas


bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa pencegahan dan
pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah.

2. Aspek Ekonomi
Aspek kedua yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah ekonomi. Kondisi
ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka
ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah dengan
melakukan korupsi.

3. Aspek Politis
Aspek ketiga yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah masalah politis. Politik
uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu
seseorang atau golongan tertentu membeli suatu atau menyuap para pemilih/anggota
partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang
merupakan fenomena yang sering terjadi.

Terkait hal itu, Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang
sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence
(menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik).
Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara
penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri Ekonomi,
dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang
menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi.

4. Aspek Organisasi
Aspek ke empat yang menjadi penyebab korupsi di Indonesia adalah
organisasi. Organisasi dalam arti yang luas adalah yang dimaksud, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi biasanya memberi andil pada
praktik terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya
korupsi. Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:

 Kurang adanya sikap keteladanan pemimpin.


 Tidak adanya kultur budaya organisasi yang benar.
 Kurang memadainya sistem akuntabilitas.
 Kelemahan sistem pengendalian manajemen.
 Pengawasan yang terbagi menjadi dua, yakni pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan
pengawasan eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal ini antara lain
KPKP, Bawasda, masyarakat dll).

b. Bagaimana jika kasus di atas dikaitkan dengan teori law compliance,


lakukanlah analisa Anda?

Jawaban :

Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang berarti tunduk, taat, dan turut. Mematuhi
berarti menunduk, menuruti, dan menaati. Kepatuhan berarti ketundukan, ketaatan,
keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau seseorang. Jadi, dapatlah dikatakan
kepatuhan hukum adalah keadaan seseorang warga masyarakat yang tunduk patuh
dalam satu aturan main (hukum) yang berlaku.

Kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang tertulis.
Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Hukum dalam hal ini hukum
tertulis atau peraturan perundang-undangan mempunyai pelbagai macam kekuatan,
yaitu kekuatan berlaku atau “rechtsgeltung”.

Kalau suatu undang-undang memenuhi syarat-syarat formal atau telah mempunyai


kekuatan secara yuridis, tetapi secara sosiologis dapat diterima oleh masyarakat, kondisi
itu disebut kekuatan berlaku secara sosiologis. Masih ada kekuatan berlaku yang
disebut filosofische rechtsgetung, yaitu apabila isi undang-undang tersebut mempunyai
ketiga kekuatan berlaku sekaligus.

Di dalam konteks kepatuhan hukum, ada sanksi positif dan negatif. Ketaatan merupakan
variabel tergantung yang didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengan dukungan
sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga faktor yang menyebabkan masyarakat
mematuhi hukum:

1. Kepatuhan (compliance), yaitu harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk
menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin timbul apabila seseorang
melanggar ketentuan hukum. Ada pengawasan yang ketat terhadap kaidah
hukum tersebut.
2. Identifikasi (identification), yaitu bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada
bukan karena nilai intrinsiknya, melainkan agar keanggotaan kelompok tetap
terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk
menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut.
3. Internalisasi (internalization), yaitu bila seseorang mematuhi kaidah-kaidah
hukum karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai
dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.

Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah ia
memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah menyadari
ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak. Oleh karena itu, dasar
kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan, dan identifikasi kelompok.
Karena pendidikan, kebiasaan, kesadaran akan manfaat, dan identifikasi dirinya dalam
kelompok, manusia akan patuh.

4 Berbagai tanggapan terus muncul setelah disahkannya omnibus law Rancangan


Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja
dalam rapat paripurna, Senin (5/10/2020) sore. Pro dan kontra terkait
pengesahan RUU ini masih terus tumbuh. Beragam penolakan, mulai dari media
sosial hingga unjuk rasa di sebagian wilayah dilakukan. Merangkum berbagai
pemberitaan Kompas.com, berikut ini pro kontra dari keputusan pengesahan
omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja: Kadin Melansir Kompas.com,
Senin (5/10/2020), para pengusaha menyambut baik pengesahan UU Cipta Kerja
ini, menurutnya UU Cipta Kerja dapat menjawab permasalahan di dunia usaha,
terutama terkait aturan yang tumpang tindih dalam perizinan.

Di sisi lain, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM)
menilai bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan, baik secara
formil maupun materiil. Ketua Pukat UGM Oce Madril menyebut bahwa proses
pembentukan RUU Cipta Kerja ini berlangsung sangat cepat, tertutup, dan minim
partisipasi publik.

Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/07/143101665/ini-


pro-kontra-yang- muncul-setelah-omnibus-law-uu-cipta-kerja-disahkan?page=all.

Pertanyaan:

a. Dengan munculnya pro kontra pengesahaan UU Cipta Kerja, bagaimana analisa


Anda atas kasus Pengesahan UU Cipta yang mengundang perdebatan di
kalangan masyarakat jika dikaitkan dengan teori sweep legislation (Undang-
Undang Sapu)?

Jawaban :

Arti Omnibus Law atau Undang-Undang Sapu Jagat menjadi perbincangan hangat di
Indonesia usai DPR, DPD, dan perwakilan pemerintahan Jokowi menyetujui agar
Omnibus Law RUU Cipta Kerja ditetapkan menjadi Undang-Undang pada Senin
(5/10/2020).

Pengertian Omnibus Lawa secara Umum

Ada banyak pengertian soal Omnibus Law. Secara harfiah, kata omnibus berasal dari
bahasa Latin omnis yang berarti banyak. Umumnya hal ini dikaitkan dengan sebuah
karya sastra hasil penggabungan beragam genre, atau dunia perfilman yang
menggambarkan sebuah film yang terbuat dari kumpulan film pendek.

Paulus Aluk Fajar dalam Memahami Gagasan Omnibus Law menulis, di dalam Black Law
Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus: relating to or dealing with
numerous object or item at once ; inculding many thing or having varius purposes.

Sehingga dengan definisi tersebut jika dikontekskan dengan UU maka dapat dimaknai
sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam
dalam berbagai UU, ke-dalam satu UU payung.

Dari segi hukum, kata omnibus lazimnya disandingkan dengan kata law atau bill yang
berarti suatu peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan
dengan substansi dan tingkatannya berbeda.

Daftar Pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja yang Bisa Merugikan Buruh

Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan DPR RI pada Senin (5/10/2020),
meski banyak mendapat penolakan dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat.

Banyak kajian yang diterbitkan oleh berbagai lembaga menunjukkan pengesahan UU


Cipta Kerja akan merugikan buruh/pekerja. Beberapa pasal yang dinilai akan merugikan
buruh/pekerja adalah:

1. Masuknya Pasal 88B

Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja berbunyi :

(1) Upah ditetapkan berdasarkan:

a. satuan waktu; dan/atau

b. satuan hasil,

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan
hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Menurut Amnesty Internasional, pasal tersebut memberikan kebebasan kepada


pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai
dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan).

Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah
minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.

2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan

Pasal 91 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 berbunyi:

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal tersebut mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh
lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan.

Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam
peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para
pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.

Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan


pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang.

Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih
rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang
mengharuskan mereka melakukannya.

3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi


PKWTT

Jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan
maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi
disebutkan akan diatur dalam PP.

Sebagai catatan, aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus
jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status
pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.

Dalam UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tadinya terbatas


untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Dalam UU Cipta Kerja, PWKTT menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana
tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU.

Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan
waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para
pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi
jangka waktu PKWT.
Output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja
kontrak. Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan
kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum
bagi pekerja.

4. Pasal 77

Pasal 77 dalam UU Cipta Kerja berbunyi:

(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor
usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu.
Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut
melalui peraturan pemerintah (PP).

Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor
tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu,
karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran
untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.

Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas, dinilai menjadi celah semakin
terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Selama ini saja banyak kasus pekerja yang
upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat
kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja.

Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya menimpa pekerja, walau instrumen
hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh
perusahaan.

Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja
terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan
tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum. Hal ini akan semakin
menjerumuskan nasib pekerja di bawah jurang eksploitasi.

b. Bagaimana analisa anda terhadap faktor identifikasi hukum, dan


internalisasi hukum jika dikaitkan dengan pengesahan UU Cipta Kerja yang
dilakukan DPR RI?

Jawaban :

DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disahkan
menjadi UU. Di dalamnya, diatur tentang klaster ketenagakerjaan yang bertujuan
meningkatkan lapangan kerja serta perlindungan bagi pekerja.

UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

 Pemberian uang kompensasi PKWT sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh.

 PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu dan tidak dapat diadakan
untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

2. Alih Daya/Outsourcing

 Pekerja/buruh pada perusahaan alih daya tetap mendapat perlindungan atas


hak-haknya.

 Dalam hal terjadi pergantian perusahaan alih daya, pekerja/buruh tetap dijamin
kelangsungan kerjanya dan hak-haknya.

3. Upah Minimum (UM)

 UM wajib ditetapkan di tingkat Provinsi (UMP), sedangkan UM Kab/Kota dapat


ditetapkan dengan syarat tertentu (pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta
diatas UMP).

 Kenaikan UM mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi


daerah.
 UM yang telah ditetapkan sebelum UU CK tidak boleh diturunkan.

4. Tenaga Kerja Asing (TKA)

 TKA hanya untuk jabatan tertentu, waktu tertentu dan harus punya kompetensi
tertentu

 Kemudahan RPTKA hanya untuk TKA Ahli.

5. Pesangon

 Pekerja/buruh yang mengalami PHK tetap mendapatkan uang pesangon, uang


penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai peraturan perundang-
undangan.

 Pekerja/buruh yang mengalami PHK akan mendapatkan kompensasi PHK 25 kali


upah, yang terdiri atas 19 kali ditanggung pemberi kerja dan 6 kali ditanggung
Pemerintah melalui Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

6. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)

 Diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan Pemerintah.

 Tidak mengurangi manfaat JKK, JKm, JHT, dan JP.

 Pembiayaan JKP bersumber dari pengelolaan dana BPJS Ketenakerjaan dan


APBN.

7. Waktu Kerja

 Ketentuan waktu kerja tetap sesuai dengan UU 13/2003, dan terdapat


penambahan pengaturan waktu kerja yang lebih fleksibel untuk pekerjaan
tertentu (misalnya pekerjaan paruh waktu, pekerjaan dalam ekonomi digital dll).

Perjalanan UU Ciptaker

Perjalanan UU Ciptaker dimulai saat pertama kali disebutkan oleh Presiden Joko Widodo
dalam pidatonya saat dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan
yang kedua pada tanggal 20 Oktober 2019. Pada saat memberikan keterangan pers,
presiden mengatakan bahwa UU Ciptaker bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi dengan menyederhanakan sekelumit aturan yang menghambat peningkatan
investasi dan penciptaan kerja yang berkualitas.

Masalah regulasi masih menjadi salah satu penghambat utama pertumbuhan ekonomi
nasional. Salah satu kendalanya adalah ego sektoral.

Ego sektoral merupakan kecenderungan berbagai lembaga pemerintah untuk


memprioritaskan kepentingan mereka sendiri daripada berkolaborasi dengan
kementerian atau lembaga lain. Masalah lebih lanjut dalam manajemen peraturan di
Indonesia adalah tidak adanya prosedur yang ketat untuk menyelaraskan, memantau,
dan mengevaluasi peraturan sehingga banyak yang bertentangan atau saling tumpang
tindih.

Selain itu, saat ini masalah yang kerap menghambat peningkatan investasi dan
pembukaan lapangan kerja, antara lain proses perizinan, administrasi dan birokrasi yang
rumit dan lama, dan persyaratan investasi yang memberatkan. Belum lagi soal
pengadaan lahan yang sulit, hingga pemberdayaan UMKM dan koperasi yang belum
optimal. Sejumlah substansi dalam UU Ciptaker disusun sedemikian rupa dengan
harapan terjadi perubahan struktur ekonomi yang mampu menggerakkan semua sektor
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyelesaikan hambatan perizinan
berusaha.

Penyusunan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus law untuk


membenahi regulasi yang tumpang tindih, di mana satu UU dapat menyinkronisasikan
puluhan UU secara serempak. Sehingga antar UU bisa selaras memberikan kepastian
hukum.

Penerapan omnibus law dimulai dengan UU Ciptaker yang memiliki cakupan sangat luas
dan memperbaiki banyak undang-undang sehingga menimbulkan berbagai diskursus
karena kompleksitas materi yang diatur. Metode baru tersebut digunakan, karena tidak
mungkin melakukan reformasi berbagai peraturan perundang-undangan yang tumpang
tindih, menghambat, dan menyulitkan dengan metode legislasi biasa, sebab standar dan
metode legislasi biasa membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pada dasarnya, melalui UU Ciptaker pemerintah berupaya untuk melakukan deregulasi


dan debirokratisasi. Deregulasi sangat diperlukan oleh Indonesia saat ini untuk memuat
ketentuan mengenai persyaratan investasi, ketenagakerjaan, perizinan berusaha,
peraturan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pengembangan kawasan
ekonomi, pelaksanaan proyek pemerintah, pengadaan lahan, serta ketentuan mengenai
administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi pidana yang diatur dalam berbagai
undang-undang.

Penyusunan peraturan dengan omnibus law mencakup hampir semua materi yang
berhubungan sehingga peraturan tersebut dapat berdiri sendiri. Peraturan dengan
omnibus law seperti UU Ciptaker, mencerminkan sebuah integrasi di mana tujuan
akhirnya adalah mengefektifkan penerapan peraturan tersebut di lapangan.

UU Cipta Kerja memberikan kemudahan dan kepastian kepada para pelaku usaha dalam
mendapatkan perizinan berusaha dengan penerapan perizinan berbasis risiko (risk based
approach) dan penerapan standar. Selama ini pendekatan yang diterapkan adalah
pendekatan berbasis izin (license based approach) yang berlapis-lapis, baik level kantor
administrasinya maupun tingkat regulasinya, tanpa melihat besar-kecil kompleksitas
dampaknya dan dipukul rata untuk semua jenis usaha.

Saat ini UU Ciptaker sudah disahkan dan diundangkan, yang berarti bahwa undang-
undang tersebut mengikat secara umum. Keberadaan UU Ciptaker menuai pro dan
kontra, dan hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam kehidupan berdemokrasi di
Indonesia. Namun demikian, dialektika untuk menakar efektivitas dari UU Ciptaker terus
dilakukan oleh berbagai pihak melalui berbagai kegiatan untuk mendapatkan masukan-
masukan yang konstruktif.

Untuk menunjang efektivitas UU Ciptaker tersebut, tentu harus ditunjang dengan


Peraturan Pelaksana baik berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda), dan Peraturan
lainnya. Peraturan pelaksanaan ditetapkan dengan kuat untuk memastikan
pertumbuhan ekonomi yang inklusif daan berkelanjutan. Sampai saat ini, Pemerintah
telah menerbitkan 51 peraturan pelaksana yang terdiri atas 47 PP dan 4 Perpres yang
tentu berdampak pada perundang-undangan di daerah.

UU Ciptaker dan Pemda

Banyak isu hukum menarik dalam UU Cipta Kerja yang terkait dengan pemerintahan
daerah, salah satunya adalah adalah perihal kewenangan. Pasal 174 UU Ciptaker
menambahkan satu aturan soal hubungan pemerintah pusat dan daerah.

Pasal ini mengatur kewenangan pemerintah daerah sebagai bagian dari kewenangan
presiden, “Dengan berlakunya undang-undang ini, kewenangan menteri, kepala
lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk
menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai
pelaksanaan kewenangan Presiden”.

Pasal 176 UU a quo juga mengubah sejumlah kewenangan pemda. Misalnya,


kewenangan soal perizinan pada pasal 350 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal 350 ayat (1) UU Pemda
menyebutkanbahwa pemda wajib memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

UU Cipta Kerja menambahkan kewenangan pemerintah pusat dalam urusan ini, “Kepala
daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat,” beleid pasal 350 ayat (1) UU Pemda setelah diubah
oleh UU Ciptaker. Kemudian UU Ciptaker juga memberi kewenangan ekstra bagi
pemerintah pusat dalam urusan perizinan. Mereka boleh mengambil alih urusan
perizinan jika ada pemda yang tidak menjalankannya dan tidak mengindahkan dua kali
teguran.

Selama ini, ada pembagian kewenangan yang tegas termasuk standar dan syarat-
syaratnya ditentukan yang ditentukan oleh pemerintah. Sebelum adanya UU Ciptaker,
kewenangan Pemda untuk mengeluarkan izin untuk bidang usaha tertentu, Norma
Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) ditentukan oleh daerah tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan diatur oleh Pemda yang
bersangkutan. Dengan UU Ciptaker, maka NSPK ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Artinya kewenangan tetap berada di pemda yang bersangkutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada, tetapi NSPK ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan
demikian, pekerjaan pemda lebih sederhana sepanjang pelaksanaannya sesuai dengan
NSPK. Namun demikian, apabila pemda tidak melaksanakan atau melaksanakan tetapi
tidak sesuai dengan NSPK, maka pemerintah pusat mengambil alih perizinan tersebut
dalam batas tertentu. Latar belakang ketentuan tersebut adalah proses perizinan yang
stagnan dan menuai banyak persoalan di daerah. Dengan demikian, UU Ciptaker juga
menegaskan peran dan fungsi pemda sebagai bagian dari sistem pemerintahan, di mana
kewenangan yang telah ada, tetap dilaksanakan oleh pemda, sesuai dengan NSPK yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sehingga akan tercipta adanya suatu standar
pelayanan yang baik untuk seluruh daerah.Penataan ulang kewenangan daerah ini
sejalan dengan filosofi UU Ciptaker yakni untuk menarik investasi, memberikan
kemudahan perizinan dan berusaha, dan menciptakan lapangan kerja.

Selain itu, dalam konteks ketenagakerjaan, produk hukum daerah juga terdampak oleh
UU Ciptaker dan peraturan pelaksananya, misalnya PP Nomor 34 Tahun 2021 yang
mengatur mengenai Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pemda mempunyai peran terkait
dengan pendapatan daerah yang berasal dari DKPTKA, Perda dan Perkada yang
mengatur mengenai retribusi perpanjangan izin mempekerjakan TKA wajib disesuaikan
paling lambat 3 bulan sejak PP ini berlaku, dan pemerintah daerah melakukan
pembinaan dan pengawasan dalam penggunaan TKA sesuai dengan kewenangan
masing-masing.

Selanjutnya dalam PP Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur mengenai Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja, Pemda mempunyai peran menerima pencatatan PKWT di disnaker
kabupaten/kota, dan menerima pelaporan PHK bagi daerah yang belum tersedia sarana
jaringan/daring. Kemudian dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 yang mengatur mengenai
Pengupahan, pemda berperan melaksanakan kebijakan pengupahan.

Dalam pelaksanaannya, pemda wajib berpedoman pada kebijakan pemerintah pusat,


penetapan upah minimum provinsi (wajib), dan penetapan upah minimum
kabupaten/kota (tidak wajib). Peran lainnya yaitu mencabut upah minimum sektoral
yang ditetapkan setelah tanggal 2 November 2020 selambat-lambatnya satu tahun sejak
ditetapkan, pembentukan Dewan Pengupahan Provinsi (wajib) dan kabupaten/kota
(tidak wajib), dan pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum (pengenaan sanksi).

Selain berdampak terhadap perizinan berusaha dan ketenagakerjaan, UU Ciptaker dan


peraturan pelaksananya juga berdampak pada penataan ruang di daerah, UMK-M,
BUMDes, PDRD, lingkungan hidup, perikanan dan kelautan, dan lain sebagainya.

Sumber :
https://kumparan.com/bayu-susena-1610948772562471754/teori-hukum-murni-1vXP6Y1BK7e/full

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5f90360865def/apakah-demonstrasi-dilarang-saat-
pandemi-/

https://www.merdeka.com/jatim/ketahui-penyebab-korupsi-di-indonesia-dan-tantangan-dalam-
pemberantasannya-kln.html

https://proxsisgroup.com/grc/apa-itu-kepatuhan-hukum-compliance-iso-19600/

https://tirto.id/pengertian-omnibus-law-isi-uu-cipta-kerja-yang-bisa-rugikan-buruh-f5Du

Anda mungkin juga menyukai