Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado A. Sumber Hukum dalam Arti Formal untuk Hukum Pidana Indonesia
Sumber hukum dalam arti formal adalah forum
(wadah, bentuk) di mana kita dapat melihat hukum yang berlaku. Pada umumnya yang dipandang sebagai sumber hukum dalam arti formal, yaitu undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, dan doktrin. Undang-undang merupakan sumber hukum dalam arti formal yang utama untuk hukum pidana Indonesia. Indonesia memiliki KUHPidana dan sejumlah undang-undang pidana di luar KUHPidana. Kebiasaan merupakan sumber hukum dalam arti formal untuk hal-hal tertentu. Dua hal dapat dikemukakan, yaitu: 1. Kebiasaan setempat memiliki pengaruh untuk delik susila. Pasal 281 KUHPidana mengancamkan pidana terhadap barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan. Apakah suatu perbuatan bersifat melanggar kesusilaan harus dilihat dari sudut kebiasaan setempat. 2. Sejumlah pengadilan negeri di Indonesia masih berwenang mengadili delik adat. Hal ini diatur dalam UU No.1/Drt/1951, yang akan dibicarakan nanti. Traktat, pada umumnya tidak merupakan sumber hukum dalam arti formal untuk Indonesia. Traktat yang memuat hukum pidana perlu melalui 2 tahap untuk memberlakukan isinya bagi orang-orang di Indonesia, yaitu: Traktat diratifikasi melalui undang-undang. Contoh, dengan UU No.2 Tahun 1976 diratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi de Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Dibuat undang-undang yang lain lagi untuk memberlakukan sejumlah isi dari traktat yang bersangkutan sebagai bagian dari hukum pidana Indonesia. Contoh, dengan UU No.4 Tahun 1976 dilakukan perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHPidana bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Dengan undang-undang ini ditambahkan sejumlah pasal ke dalam KUHPidana. Yurisprudensi, di Indonesia sekarang ini dipandang sumber hukum dalam arti formal untuk hukum pidana. Oleh karenanya, secara berkala Mahkamah Agung menerbitkan Yurispsrudensi Indonesia, yang memuat antara lain putusan perkara pidana dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, serta kaidah-kaidah yang ditarik dari putusan-putusan tersebut. Doktrin (pendapat ahli hukum), juga merupakan sumber hukum dalam arti formal untuk hukum pidana. Ada kalanya hakim mengutip suatu tulisan ahli hukum dalam putusannya dan digunakannya keterangan ahli di sidang pengadilan. B. Sejarah Hukum Pidana Indonesia
Ternyata selain undang-undang, baik KUHPidana
maupun undang-undang pidana di luar KUHPidana, Indonesia juga memiliki sumber hukum pidana yang berupa hukum pidana adat, khususnya delik-delik adat. Bagaimana terjadinya kenyataan ini perlu dipelajari dari sejarah hukum pidana Indonesia. Sejarah hukum pidana di Indonesia pada pokoknya dapat dibagi atas tiga masa, yaitu masa sebelum kedatangan bangsa Belanda, masa pendudukan Belanda dan masa kemerdekaan. Inggris dan Jepang pernah menduduki Indonesia, tetapi kaena waktunya singkat dan menetapkan tetap berlakunya hukum pidana yang ada maka pengaruh mereka boleh dikataka tidak ada terhadap hukum pidana Indonesia. 1. Masa sebelum kedatangan bangsa Belanda. Pada mulanya, sebelum kedatangan bangsa Belanda, wilayah yang sekarang dinamakan wilayah negara Republik Indonesia, terpecah atas banyak kerajaan dan kelompok-kelompok masyarakat yang berdiri sendiri karena jauh dari pusat-pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan tersebut hanya sedikit membuat peraturan tentang perbuatan- perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia kebanyakan hidup menurut hukum adat mereka masing-masing yang berbeda-beda antara satu masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat lainnya. 2. Masa pendudukan Belanda. Sepanjang masa pendudukan Belanda, tidak ada penyatuan sepenuhnya hukum pidana yang berlaku, karena untuk golongan Indonesia tetap diakui berlakunya hukum pidana adat mereka sendiri sekalipun untuk mereka ini ditertapkan juga hukum pidana yang dikodifikasikan. Masa ini dapat dibagi atas beberapa tahap perkembangan sehubungan dengan soal kodifikasi hukum pidana, yaitu: a. pra-kodifikasi. Hukum pidana di masa pra- kodifikasi ini berbeda antara orang Belanda dengan Indonesia. Bangsa Belanda datang dengan membawa hukumnya sendiri, di mana hukum pidana yang berlaku bagi mereka di Indonesia sebelum kodifikasi tahun 1867, yaitu: a) Hukum dalam Statuta Betawi. Pada mulanya oleh VOC dibuat peraturan-peraturan yang diumumkan dalam palakat-palakat. Tahun 1642 palakat-palakat itu dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten van Batavia (Statuta Betawi). b) Hukum Belanda yang kuno. Menurut suatu palakat tahun 1625, hakim dan administrasi harus menjalankan hukum Belanda yang kuno bila hukum statuta tidak dapat menyelesaikan suatu perkara; c) Asas-asas hukum Romawi, yang mengatur kedudukan para budak; d) Sejumlah perundang-undangan pidana tersendiri, seperti peraturan pidana tentang pemalsuan uang logam (Staatsblad 1822 No.32) dan peraturan pidana tentang perdagangan budak (Staatsblad 1825 No.44). Untuk orang Indonesia dan yang dipersamakan, sebelum kodifikasi yang berlaku bagi mereka tahun 1873, tunduk pada hukum pidana adatnya masing-masing. b. dualisme kodifikasi Bagi golongan Eropa berlaku het Wetboek van Strafrecht voor de Europeanen (Staatsblad 1866 No.55, mulai berlaku 1 Januari 1867). Bagi golongan Indonesia dan yang dipersamakan berlaku: 1) het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en Daarmede Gelijkgestelden, Staatsblad 1872 No.85, yang mulai berlaku 1 Januari 1873. Kodifikasi ini diterapkan oleh peradilan gubeernemen, yaitu peradilan negara. 2) Bagi kaula daerah swapraja yang tunduk pada peradilan swapraja dan orang-orang yang tunduk pada peradilan adat, selain diberlakukan kodifikasi juga diterapkan hukum pidana adat. c. unifikasi kodifikasi. Tahun 1918, dua kodifikasi hukum pidana yang berlaku sebelumnya digantikan oleh Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie, Staatsblad 1915 No.732, yang mulai berlaku 1 Januari 1918. Kodifikasi yang baru ini berlaku untuk semua orang di Indonesia tanpa membeda-bedakan golongan penduduk. Dengan demikian boleh dikata telah tercapai unifikasi dalam kodifikasi hukum pidana di Indonesia. Tetapi, bagi golongan penduduk Indonesia di sejumlah tempat masih juga diberlakukan hukum pidana adat. Dasar hukumnya, yaitu: 1) Peradilan adat (inheemse rechtspraak), staatsblad 1932 No.80; 2) Peradilan swapraja (zelfbestuur rechtspraak) di luar Jawa dan Madura berdasarkan Zelfbestuursregelen 1938 (staatsblad 1938 No.529). 3. Masa kemerdekaan. Setelah merdeka, dibuat UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang ini menentukan bahwa dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No.1, menetapkan, bahwa peraturan- peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Undang-undang ini pada mulanya hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditentukan kemudian. Pemerintah Hindia Belanda yang menguasai daerah luar Jawa dan Madura tidak mengakui undang-undang ini. Tetapi, secara material, baik Pemerintah Republik Indonesia Yogyakarta maupun Pemerintah Hindia Belanda, kedua-duanya melanjutkan keadaan sebelum pendudukan Jepang. Sekarang ini, hukum pidana yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
Berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHPidana, seperti UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; Di sejumlah pengadilan negeri, selain hukum pidana tertulis, juga masih diberlakukan hukum pidana adat berdasarkan Pasal 5 ayat (3) b UU No.1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. C. Sejarah KUHPidana Pada mulanya, kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia kebanyakan hidup menurut hukum adatnya masing-masing yang berbeda-beda antara satu masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat lainnya Kedatangan bangsa Belanda, yang pertama kali mendarat di Banten tahun 1596, secara berangsur- angsur mulai membawa perubahan. Bangsa Belanda yang mulanya datang sebagai pedagang dan kemudian digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak 1 Januari 1800, menguasai banyak wilayah dan membuat peraturan-peraturan tertulis. Salah satu di antaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Dengan demikian, KUHPidana yang digunakan di Indonesia sekarang ini pada dasarnya adalah kodifikasi peninggalan masa Pemerintah Hindia Belanda. Kodifikasi tersebut pertama kali diundangkan dalam Staatsblad 1915-732 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918. Dengan Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie ini dinyatakan tetap berlaku dengan sejumlah perubahan, penambahan dan pencabutan, antara lain nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie diganti menjadi Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pada saat diundangkan, UU No.1 Tahun 1946 ini hanya berlaku untuk wilayah Pemerintahan RI Yogjakarya saja. Dengan demikian, semula ada dua dasar hukum berlakunya KUHPidana di Indonesia, yaitu untuk wilayah Pemerintah RI Yogyakarta dasar hukumnya UU No.1 Tahun 1946 jo Staatsblad 1915-732 sedangkan untuk wilayah lainnya tetap langsung berdasarkan Staatsblad 1915-732. Nanti kemudian dengan UU No.73 Tahun 1958, maka UU No.1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Ditinjau dari aspek sejarah hukum, WvS voor Nederlands Indie ini dibuat dengan berpedoman pada KUHPidana Belanda yang diundangkan di tahun 1881. KUHPidana Belanda 1881 itu sendiri mendapat banyak pengaruh dari Code Penal Perancis karena Perancis pernah menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal mereka untuk negeri Belanda. Untuk memahami bagaimana jiwa dari KUHPidana yang sekarang berlaku di Indonesia ini perlu diketahui bagaimana lahirnya Code Penal Perancis tersebut. Di Perancis, dan di banyak negara Eropa, sejak abad ke-16 telah muncul raja-raja dengan pemerintahan yang bersifat absolut (mutlak). Masalah kenegaraan dan hukum pidana dipandang bukan merukan bidang para ahli hukum melainkan sebagai wewenang penuh dari raja. Para hakim mengadili berdasarkan wewenang raja dan memutus berdasarkan apa yang dipandang benar oleh para hakim itu sendiri. Akibatnya, para terdakwa tidak memiliki dasar atau titik tolak yang jelas dalam melakukan pembelaan diri di depan pengadilan, sebab perbuatan apa yang dipandang tidak boleh dan diancam pidana tergantung sepenuhnya kepada para hakim. Dengan demikian, telah terjadi kesewenang-wenangan para hakim. Terhadap keadaan hukum pidana dan hukum acara pidana yang buruk di banyak negara Eropa waktu itu, maka pada abad ke-18 di Perancis muncul sejumlah penulis. Penulis-penulis ini dalam karya-karya mereka telah menentang kesewenang-wenangan raja dan kebebasan yang terlalu luas dari para hakim. Di antara para penulis itu yang terkenal antara lain adalah J.J. Rousseau (1712 1778) dan Montesquieu (1689 1755). Khususnya dalam bidang hukum pidana, dikenal Cesare Beccaria (1738 1794), seorang ahli hukum bangsa Italia. Beccaria menerbitkan bukunya yang berjudul Dei delitti e delle pene (Tentang kejahatan dan pemidanaannya) di tahun 1764. Dalam bukunya ini Beccaria memberikan kritik terhadap keadaan hukum pidana yang berlaku pada waktu itu dan memperjuangkan terbentuknya hukum pidana dan acara pidana yang baru yang bersifat ilmiah. Salah satu doktrin Beccaria yang terkenal adalah bahwa hukum pidana harus tertulis dengan rumusan yang tepat dan tegas mengenai perbuatan-perbuatan yang merupakan delik. Karenanya para ahli hukum pidana pada waktu itu terutama berkonsentrasi pada upaya merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. Pandangan ini telah mempengaruhi Code Penal Perancis, selanjutnya dari Code Penal mempengaruhi KUHPidana Belanda 1881 kemudian juga WvS voor Nederlands Indie dan sekarang KUHPidana Indonesia. Walaupun KUHPidana telah mengalami sejumlah perubahan, pencabutan dan penambahan, tetapi dasar pikiran yang menjadi latar belakang KUHPidana tersebut masih tidak berubah. Sebagai bangsa yang telah merdeka, maka Indonesia juga telah mulai berupaya menyusun rancangan KUHPidana Nasional sejak tahun 1963. Pada waktu itu, karena Indonesia memiliki kedekatan dengan Uni Soviet, telah dibuat suatu rancangan yang mengacu pada ketentuan-ketentuan umum dalam hukum pidana Uni Soviet. Sesudah itu telah disusun pula beberapa rancangan KUHPidana Nasional. Rancangan yang terakhir yakni rancangan tahun 1999/2000. D. Sistematika KUHPidana
KUHPidana terdiri dari 3 (tiga) bagian
yang dinamakan Buku (Bld.: boek), yaitu: Buku Kesatu: Ketentuan-ketentuan Umum (Algemene Bepalingen) Buku Kedua : Kejahatan-kejahatan (Misdrijven) Buku Ketiga : Pelanggaran-pelanggaran (Overtredingen) Dalam Buku Kesatu dimuat pengertian-pengertian dan asas-asas yang pada umumnya menjadi dasar seluruh hukum pidana positif, baik hukum pidana positif dalam KUHPidana sendiri maupun hukum pidana positif di luar KUHPidana. Buku Kesatu ini terdiri dari 9 (sembilan) bab. Bab IX adalah tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang. Dalam Bab IX ini juga dimasukkan Aturan Penutup, yakni Pasal 103. Ditempatkannya pengertian-pengertian dan asas-asas hukum pidana ini dalam satu bagian tersendiri, yaitu dalam Buku Kesatu, mempunyai tujuan praktis, yaitu agar pembentuk undang-undang tidak perlu harus berulang- ulang menyebutnya dalam merumuskan ketentuan- ketentuan pidana dalam Buku Kedua dan Buku Ketiga KUHPidana. Contoh mengenai hal tersebut yaitu tentang percobaan melakukan tindak pidana. Percobaan diatur dalam Buku Kesatu, Pasal 53 dan 54. Jika tidak dicantumkan dalam Pasal 53 dan 54, maka semua rumusan tindak pidana harus diikuti dengan ketentuan mengenai percobaan. Misalnya rumusan tindak pidana pembunuhan, Pasal 338 KUHPidana, harus diikuti dengan ketentuan mengenai percobaan melakukan pembunuhan.