Anda di halaman 1dari 24

Pertemuan ke-3:

SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA


(Kuliah ke-1 dari 2 kuliah)

Hukum Pidana
Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi
Manado
A. Sumber Hukum dalam Arti Formal untuk
Hukum Pidana Indonesia

Sumber hukum dalam arti formal adalah forum


(wadah, bentuk) di mana kita dapat melihat
hukum yang berlaku. Pada umumnya yang
dipandang sebagai sumber hukum dalam arti
formal, yaitu undang-undang, kebiasaan, traktat,
yurisprudensi, dan doktrin.
Undang-undang merupakan sumber hukum
dalam arti formal yang utama untuk hukum
pidana Indonesia. Indonesia memiliki
KUHPidana dan sejumlah undang-undang
pidana di luar KUHPidana.
Kebiasaan merupakan sumber hukum dalam arti
formal untuk hal-hal tertentu. Dua hal dapat
dikemukakan, yaitu:
1. Kebiasaan setempat memiliki pengaruh untuk
delik susila. Pasal 281 KUHPidana
mengancamkan pidana terhadap barangsiapa
dengan sengaja dan terbuka melanggar
kesusilaan. Apakah suatu perbuatan bersifat
melanggar kesusilaan harus dilihat dari sudut
kebiasaan setempat.
2. Sejumlah pengadilan negeri di Indonesia
masih berwenang mengadili delik adat. Hal ini
diatur dalam UU No.1/Drt/1951, yang akan
dibicarakan nanti.
Traktat, pada umumnya tidak merupakan sumber hukum
dalam arti formal untuk Indonesia. Traktat yang memuat
hukum pidana perlu melalui 2 tahap untuk memberlakukan
isinya bagi orang-orang di Indonesia, yaitu:
Traktat diratifikasi melalui undang-undang. Contoh,
dengan UU No.2 Tahun 1976 diratifikasi Konvensi
Tokyo 1963, Konvensi de Hague 1970, dan Konvensi
Montreal 1971.
Dibuat undang-undang yang lain lagi untuk
memberlakukan sejumlah isi dari traktat yang
bersangkutan sebagai bagian dari hukum pidana
Indonesia. Contoh, dengan UU No.4 Tahun 1976
dilakukan perubahan dan penambahan beberapa
pasal dalam KUHPidana bertalian dengan perluasan
berlakunya ketentuan perundang-undangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
Dengan undang-undang ini ditambahkan sejumlah
pasal ke dalam KUHPidana.
Yurisprudensi, di Indonesia sekarang ini
dipandang sumber hukum dalam arti formal
untuk hukum pidana. Oleh karenanya, secara
berkala Mahkamah Agung menerbitkan
Yurispsrudensi Indonesia, yang memuat antara
lain putusan perkara pidana dari Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung, serta kaidah-kaidah yang ditarik dari
putusan-putusan tersebut.
Doktrin (pendapat ahli hukum), juga merupakan
sumber hukum dalam arti formal untuk hukum
pidana. Ada kalanya hakim mengutip suatu
tulisan ahli hukum dalam putusannya dan
digunakannya keterangan ahli di sidang
pengadilan.
B. Sejarah Hukum Pidana Indonesia

Ternyata selain undang-undang, baik KUHPidana


maupun undang-undang pidana di luar KUHPidana,
Indonesia juga memiliki sumber hukum pidana yang
berupa hukum pidana adat, khususnya delik-delik adat.
Bagaimana terjadinya kenyataan ini perlu dipelajari dari
sejarah hukum pidana Indonesia.
Sejarah hukum pidana di Indonesia pada pokoknya
dapat dibagi atas tiga masa, yaitu masa sebelum
kedatangan bangsa Belanda, masa pendudukan
Belanda dan masa kemerdekaan. Inggris dan Jepang
pernah menduduki Indonesia, tetapi kaena waktunya
singkat dan menetapkan tetap berlakunya hukum pidana
yang ada maka pengaruh mereka boleh dikataka tidak
ada terhadap hukum pidana Indonesia.
1. Masa sebelum kedatangan bangsa Belanda.
Pada mulanya, sebelum kedatangan bangsa
Belanda, wilayah yang sekarang dinamakan
wilayah negara Republik Indonesia, terpecah
atas banyak kerajaan dan kelompok-kelompok
masyarakat yang berdiri sendiri karena jauh
dari pusat-pusat kerajaan.
Kerajaan-kerajaan tersebut hanya sedikit
membuat peraturan tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.
Kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia
kebanyakan hidup menurut hukum adat
mereka masing-masing yang berbeda-beda
antara satu masyarakat hukum adat dengan
masyarakat hukum adat lainnya.
2. Masa pendudukan Belanda. Sepanjang masa
pendudukan Belanda, tidak ada penyatuan
sepenuhnya hukum pidana yang berlaku,
karena untuk golongan Indonesia tetap diakui
berlakunya hukum pidana adat mereka sendiri
sekalipun untuk mereka ini ditertapkan juga
hukum pidana yang dikodifikasikan.
Masa ini dapat dibagi atas beberapa tahap
perkembangan sehubungan dengan soal
kodifikasi hukum pidana, yaitu:
a. pra-kodifikasi. Hukum pidana di masa pra-
kodifikasi ini berbeda antara orang Belanda
dengan Indonesia.
Bangsa Belanda datang dengan membawa hukumnya
sendiri, di mana hukum pidana yang berlaku bagi mereka
di Indonesia sebelum kodifikasi tahun 1867, yaitu:
a) Hukum dalam Statuta Betawi. Pada mulanya oleh
VOC dibuat peraturan-peraturan yang diumumkan dalam
palakat-palakat. Tahun 1642 palakat-palakat itu
dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten van
Batavia (Statuta Betawi).
b) Hukum Belanda yang kuno. Menurut suatu palakat
tahun 1625, hakim dan administrasi harus menjalankan
hukum Belanda yang kuno bila hukum statuta tidak dapat
menyelesaikan suatu perkara;
c) Asas-asas hukum Romawi, yang mengatur
kedudukan para budak;
d) Sejumlah perundang-undangan pidana
tersendiri, seperti peraturan pidana tentang
pemalsuan uang logam (Staatsblad 1822 No.32)
dan peraturan pidana tentang perdagangan
budak (Staatsblad 1825 No.44).
Untuk orang Indonesia dan yang dipersamakan,
sebelum kodifikasi yang berlaku bagi mereka
tahun 1873, tunduk pada hukum pidana adatnya
masing-masing.
b. dualisme kodifikasi
Bagi golongan Eropa berlaku het Wetboek van
Strafrecht voor de Europeanen (Staatsblad 1866
No.55, mulai berlaku 1 Januari 1867).
Bagi golongan Indonesia dan yang dipersamakan
berlaku:
1) het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en
Daarmede Gelijkgestelden, Staatsblad 1872 No.85,
yang mulai berlaku 1 Januari 1873. Kodifikasi ini
diterapkan oleh peradilan gubeernemen, yaitu
peradilan negara.
2) Bagi kaula daerah swapraja yang tunduk pada
peradilan swapraja dan orang-orang yang tunduk pada
peradilan adat, selain diberlakukan kodifikasi juga
diterapkan hukum pidana adat.
c. unifikasi kodifikasi. Tahun 1918, dua kodifikasi hukum
pidana yang berlaku sebelumnya digantikan oleh
Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie,
Staatsblad 1915 No.732, yang mulai berlaku 1 Januari
1918.
Kodifikasi yang baru ini berlaku untuk semua orang di
Indonesia tanpa membeda-bedakan golongan
penduduk. Dengan demikian boleh dikata telah
tercapai unifikasi dalam kodifikasi hukum pidana di
Indonesia.
Tetapi, bagi golongan penduduk Indonesia di sejumlah
tempat masih juga diberlakukan hukum pidana adat.
Dasar hukumnya, yaitu:
1) Peradilan adat (inheemse rechtspraak), staatsblad
1932 No.80;
2) Peradilan swapraja (zelfbestuur rechtspraak) di luar
Jawa dan Madura berdasarkan Zelfbestuursregelen
1938 (staatsblad 1938 No.529).
3. Masa kemerdekaan.
Setelah merdeka, dibuat UU No.1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang ini
menentukan bahwa dengan menyimpang seperlunya
dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal
10 Oktober 1945 No.1, menetapkan, bahwa peraturan-
peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada
tanggal 8 Maret 1942.
Undang-undang ini pada mulanya hanya berlaku untuk
Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah
lain akan ditentukan kemudian. Pemerintah Hindia
Belanda yang menguasai daerah luar Jawa dan
Madura tidak mengakui undang-undang ini. Tetapi,
secara material, baik Pemerintah Republik Indonesia
Yogyakarta maupun Pemerintah Hindia Belanda,
kedua-duanya melanjutkan keadaan sebelum
pendudukan Jepang.
Sekarang ini, hukum pidana yang berlaku di
Indonesia, yaitu:

Kitab Undang-undang Hukum Pidana;


Berbagai peraturan perundang-undangan di
luar KUHPidana, seperti UU No.7/Drt/1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi;
Di sejumlah pengadilan negeri, selain hukum
pidana tertulis, juga masih diberlakukan hukum
pidana adat berdasarkan Pasal 5 ayat (3) b
UU No.1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan
Sementara Untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil.
C. Sejarah KUHPidana
Pada mulanya, kelompok-kelompok masyarakat di
Indonesia kebanyakan hidup menurut hukum adatnya
masing-masing yang berbeda-beda antara satu
masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum
adat lainnya
Kedatangan bangsa Belanda, yang pertama kali
mendarat di Banten tahun 1596, secara berangsur-
angsur mulai membawa perubahan. Bangsa Belanda
yang mulanya datang sebagai pedagang dan kemudian
digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak 1
Januari 1800, menguasai banyak wilayah dan membuat
peraturan-peraturan tertulis. Salah satu di antaranya
adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek
van Strafrecht).
Dengan demikian, KUHPidana yang digunakan di
Indonesia sekarang ini pada dasarnya adalah kodifikasi
peninggalan masa Pemerintah Hindia Belanda.
Kodifikasi tersebut pertama kali diundangkan dalam
Staatsblad 1915-732 dengan nama Wetboek van
Strafrecht voor Nederlands Indie, yang mulai berlaku
sejak 1 Januari 1918.
Dengan Undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor
Nederlands Indie ini dinyatakan tetap berlaku dengan
sejumlah perubahan, penambahan dan pencabutan,
antara lain nama Wetboek van Strafrecht voor
Nederlands Indie diganti menjadi Wetboek van
Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pada saat diundangkan, UU No.1 Tahun 1946 ini hanya
berlaku untuk wilayah Pemerintahan RI Yogjakarya saja.
Dengan demikian, semula ada dua dasar hukum
berlakunya KUHPidana di Indonesia, yaitu untuk wilayah
Pemerintah RI Yogyakarta dasar hukumnya UU No.1
Tahun 1946 jo Staatsblad 1915-732 sedangkan untuk
wilayah lainnya tetap langsung berdasarkan Staatsblad
1915-732. Nanti kemudian dengan UU No.73 Tahun
1958, maka UU No.1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Ditinjau dari aspek sejarah hukum, WvS voor
Nederlands Indie ini dibuat dengan berpedoman pada
KUHPidana Belanda yang diundangkan di tahun 1881.
KUHPidana Belanda 1881 itu sendiri mendapat banyak
pengaruh dari Code Penal Perancis karena Perancis
pernah menjajah Belanda dan memberlakukan Code
Penal mereka untuk negeri Belanda.
Untuk memahami bagaimana jiwa dari KUHPidana yang
sekarang berlaku di Indonesia ini perlu diketahui
bagaimana lahirnya Code Penal Perancis tersebut.
Di Perancis, dan di banyak negara Eropa, sejak abad
ke-16 telah muncul raja-raja dengan pemerintahan yang
bersifat absolut (mutlak). Masalah kenegaraan dan
hukum pidana dipandang bukan merukan bidang para
ahli hukum melainkan sebagai wewenang penuh dari
raja. Para hakim mengadili berdasarkan wewenang raja
dan memutus berdasarkan apa yang dipandang benar
oleh para hakim itu sendiri.
Akibatnya, para terdakwa tidak memiliki dasar atau titik
tolak yang jelas dalam melakukan pembelaan diri di
depan pengadilan, sebab perbuatan apa yang
dipandang tidak boleh dan diancam pidana tergantung
sepenuhnya kepada para hakim. Dengan demikian,
telah terjadi kesewenang-wenangan para hakim.
Terhadap keadaan hukum pidana dan hukum acara
pidana yang buruk di banyak negara Eropa waktu itu,
maka pada abad ke-18 di Perancis muncul sejumlah
penulis. Penulis-penulis ini dalam karya-karya mereka
telah menentang kesewenang-wenangan raja dan
kebebasan yang terlalu luas dari para hakim. Di antara
para penulis itu yang terkenal antara lain adalah J.J.
Rousseau (1712 1778) dan Montesquieu (1689
1755).
Khususnya dalam bidang hukum pidana, dikenal Cesare
Beccaria (1738 1794), seorang ahli hukum bangsa
Italia. Beccaria menerbitkan bukunya yang berjudul Dei
delitti e delle pene (Tentang kejahatan dan
pemidanaannya) di tahun 1764. Dalam bukunya ini
Beccaria memberikan kritik terhadap keadaan hukum
pidana yang berlaku pada waktu itu dan
memperjuangkan terbentuknya hukum pidana dan acara
pidana yang baru yang bersifat ilmiah.
Salah satu doktrin Beccaria yang terkenal adalah bahwa
hukum pidana harus tertulis dengan rumusan yang tepat
dan tegas mengenai perbuatan-perbuatan yang
merupakan delik. Karenanya para ahli hukum pidana
pada waktu itu terutama berkonsentrasi pada upaya
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
Pandangan ini telah mempengaruhi Code Penal
Perancis, selanjutnya dari Code Penal mempengaruhi
KUHPidana Belanda 1881 kemudian juga WvS voor
Nederlands Indie dan sekarang KUHPidana Indonesia.
Walaupun KUHPidana telah mengalami sejumlah
perubahan, pencabutan dan penambahan, tetapi dasar
pikiran yang menjadi latar belakang KUHPidana tersebut
masih tidak berubah.
Sebagai bangsa yang telah merdeka, maka
Indonesia juga telah mulai berupaya menyusun
rancangan KUHPidana Nasional sejak tahun
1963. Pada waktu itu, karena Indonesia
memiliki kedekatan dengan Uni Soviet, telah
dibuat suatu rancangan yang mengacu pada
ketentuan-ketentuan umum dalam hukum
pidana Uni Soviet. Sesudah itu telah disusun
pula beberapa rancangan KUHPidana Nasional.
Rancangan yang terakhir yakni rancangan tahun
1999/2000.
D. Sistematika KUHPidana

KUHPidana terdiri dari 3 (tiga) bagian


yang dinamakan Buku (Bld.: boek), yaitu:
Buku Kesatu: Ketentuan-ketentuan
Umum (Algemene Bepalingen)
Buku Kedua : Kejahatan-kejahatan
(Misdrijven)
Buku Ketiga : Pelanggaran-pelanggaran
(Overtredingen)
Dalam Buku Kesatu dimuat pengertian-pengertian dan
asas-asas yang pada umumnya menjadi dasar seluruh
hukum pidana positif, baik hukum pidana positif dalam
KUHPidana sendiri maupun hukum pidana positif di luar
KUHPidana.
Buku Kesatu ini terdiri dari 9 (sembilan) bab. Bab IX
adalah tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam
kitab undang-undang. Dalam Bab IX ini juga dimasukkan
Aturan Penutup, yakni Pasal 103.
Ditempatkannya pengertian-pengertian dan asas-asas
hukum pidana ini dalam satu bagian tersendiri, yaitu
dalam Buku Kesatu, mempunyai tujuan praktis, yaitu agar
pembentuk undang-undang tidak perlu harus berulang-
ulang menyebutnya dalam merumuskan ketentuan-
ketentuan pidana dalam Buku Kedua dan Buku Ketiga
KUHPidana.
Contoh mengenai hal tersebut yaitu tentang
percobaan melakukan tindak pidana.
Percobaan diatur dalam Buku Kesatu, Pasal 53
dan 54. Jika tidak dicantumkan dalam Pasal 53
dan 54, maka semua rumusan tindak pidana
harus diikuti dengan ketentuan mengenai
percobaan. Misalnya rumusan tindak pidana
pembunuhan, Pasal 338 KUHPidana, harus
diikuti dengan ketentuan mengenai percobaan
melakukan pembunuhan.

Materi pertemuan ini selesai

Anda mungkin juga menyukai