Anda di halaman 1dari 58

NASKAH AKADEMIK

TENTANG

PT. JAMKRIDA SULAWESI UTARA

TIM KERJA

MANADO
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
kami sebagai Tim Penyusun dapat menyelesaikan Laporan Akhir kegiatan
Penyusunan Naskah Akademik tentang Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit
Daerah di Provinsi Sulawesi Utara.
. Naskah Akademik ini yang telah dilengkapi dengan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah di Provinsi
Sulawesi Utara merupakan materi yang perlu dibahas bersama oleh beberapa
SKPD dan para pihak yang terkait. Adapun teknik penyusunan dokumen ini telah
sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Setelah pembahasan dan penyempurnaannya, dokumen ini dapat
diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi
Utara untuk dibahas lebih lanjut dan kemudian disahkan menjadi Peraturan
Daerah.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Laporan
Akhir ini, kami selaku Tim Penyusun mengucapkan banyak terima kasih.

Manado, 2022

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….......... i
DAFTAR ISI ………………………………………………………........................ ii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….... 1


1.1. Latar Belakang ……………….………………………………………….. 1
1.2. Identifikasi Masalah ………….…………………………………………. 4
1.3. Tujuan dan Manfaat ……….…………………………………………… 5
1.4. Metode Penysunan … …………………………………………………….. 5

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS ……………………… 6


2.1. Kajian Teoritis ……………………………………………………………. 6
2.1.1. Definisi Penjaminan Kredit ……………………………………….. 8
2.1.2. Alasan Pembentukan Lembaga Penjamin ………………………… 9
2.1.3. Para Pihak dalam Penjaminan …………………………………….. 9
2.1.4. Prinsip dalam Penjaminan ……………………………………….... 10
2.1.5. Prinsip-prinsip Pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit ………… 10
2.2. Praktek Empiris …………………………………………………………… 28
2.1.1. Perkembangan Lembaga Penjaminan Kredit dan Regulasinya 28
2.1.2. Perkembangan Perusahaan Penjamin Kredit Daerah Untuk UMKM 29
2.1.3. Profil Perusahaan Penjamin Kredit Daerah yang Berkinerja Baik 30
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT……………………………………………….…………. 31
3.1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945………….. 31
3.2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ……………… 32
3.3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007tentangPerseroan Terbatas ….. 33
3.4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah ……………………………………………………………….….. 33
3.5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuanga…... 37

iii
3.6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah…… 37
3.7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan ……………. 38
3.8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.05/2017 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjamin………………. 40
3.9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 2/POJK.05/2017 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin …………………………… 40
3.10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3/POJK.05/2017 tentang
Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjamin ……………… 42
42
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS……………. 42
4.1. Landasan Filosofis…………………………………………………..…….. 43
4.2. Landasan Sosiologis………………………………………………..………
4.3 . Landasan Yuridis…………………………………………………..………
45
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP 45
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH………………………… 45
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan …………………………………………
5.2. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah ………………...…….. 50
50
BAB VI PENUTUP …………………………………………………….................. 50
6.1 Kesimpulan……………………………………………………….............
6.2 Saran ……………………………………………………………….…….. 51

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. .. 52
LAMPIRAN: Rancangan Peraturan Daerah tentang Perseroan Terbatas
Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Sulawesi Utara……………………………..

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan perekonomian Sulawesi Utara sangat dipengaruhi aktivitas
para pelaku ekonomi yang komposisinya terdiri dari berbagai jenis usaha dan
skala usaha. Usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi sebagai suatu
kelompok usaha memiliki kedudukan dan peranan yang strategis karena
jumlahnya yang dominan sehingga memiliki potensi yang besar untuk
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat serta mengurangi tingkat kemiskinan. Menurut data Dinas Koperasi
dan UKM Sulawesi Utara, jumlah UMKM di Sulawesi Utara pada tahun 2016
mencapai 72.747 unit dengan komposisi usaha mikro 51.635 unit, usaha kecil
18.551 unit serta usaha menengah 2.565 unit dengan total asset sebesar Rp 4,56
trilyun, total omzet sebesar Rp 12,88 trilyun, dan menyerap tenaga kerja sebanyak
181.396 orang. Di lain pihak, jumlah koperasi pada tahun 2016 tercatat sebanyak
6.483 unit, namun yang aktif hanya sejumlah 2.904 unit, dengan jumlah anggota
sebanyak 400.421 orang dan volume usaha sebesar Rp 130.770 milyar.
Walaupun posisi UMKM dan koperasi dipandang strategis dan peranannya
tergolong besar dalam perekonomian daerah, UMKM dan koperasi di Provinsi
Sulawesi Utara masih menghadapi banyak permasalahan yang perlu segera
ditangani agar kinerja dan perkembangannya menjadi lebih optimal. Secara
umum, permasalahan tersebut mencakup:
1. Modal sendiri yang terbatas dan kesulitan dalam memperoleh akses terhadap
sumber-sumber pembiayaan,
2. Kurang memiliki akses terhadap informasi pasar serta lemah dalam
memanfaatkan peluang-peluang pasar,
3. Kemampuan dalam manajemen organisasi dan kualitas sumberdaya manusia
yang relatif rendah,
4. Tidak memiliki jaringan kerjasama dan kemitraan usaha yang memadai,
5. Keterbatasan dalam penguasaan teknologi, suplai bahan baku dan dukungan
infrastruktur, serta

1
6. Iklim usaha yang sering kurang kondusif.
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dan koperasi,
permodalan merupakan permasalahan utama yang perlu dicarikan solusinya
dengan segera agar UMKM dan koperasi dapat memenuhi kebutuhan investasi
dan kebutuhan modal kerja, khususnya dalam rangka mengembangkan usahanya
dan melakukan ekspansi pasar. Permasalahan kekurangan modal merupakan
permasalahan nyata yang dihadapi oleh banyak UMKM dan koperasi sehingga
akibat kekurangan modal tersebut cukup banyak UMKM dan koperasi yang
usahanya tergolong baik mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar
dan melakukan ekspansi usaha.
Sebenarnya ada beberapa kendala permodalan yang dihadapi UMKM dan
koperasi, yaitu:
a. Ketersediaan lembaga pembiayaan. Kendala ini dialami oleh UMKM dan
koperasi yang berada di wilayah yang relatif terpencil dengan jumlah
penduduk yang relatif sedikit. Pada wilayah-wilayah tersebut, keberadaan
bank dan lembaga keuangan lainnya relatif terbatas, sehingga pelaku usaha
UMKM dan pengurus koperasi harus melakukan perjalanan yang relatif jauh
untuk mencapai kantor bank atau lembaga keuangan lainnya.
b. Kemampuan mengakses lembaga pembiayaan. Kendala ini dialami oleh
banyak UMKM dan koperasi yang sulit memperoleh kredit karena tidak
melaksanakan sistem manajemen yang baik, seperti pencatatan transaksi atau
pembukuan. Demikian pula, UMKM dan koperasi juga sering tidak memiliki
agunan yang cukup, sementara bank dan lembaga keuangan lain tidak
diperkenankan memberikan kredit tanpa adanya agunan. Akibat yang sering
terjadi, permohonan kredit UMKM dan koperasi kepada bank, lembaga
keuangan lain seringkali ditolak.
Pemberian kredit kepada UMKM dan koperasi yang memiliki usaha yang
layak untuk dibiayai sebenarnya memiliki dampak yang sangat positif bagi
pertumbuhan ekonomi wilayah. Selama ini, sumber pembiayaan utama bagi
UMKM dan koperasi adalah perbankan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar
karena sistem perbankan masih menguasai sekitar 80% aset dari sistem keuangan
di Indonesia.

2
Kondisi yang dialami oleh sebagian besar UMKM dan koperasi,
khususnya yang berkaitan dengan ketidakmampuan mengakses sumber
pembiayaan dari bank atau lembaga keuangan lainnya perlu dicarikan solusi yang
tepat. Kurangnya kemampuan UMKM dan koperasi dalam hal manajemen usaha
telah diantisipasi oleh dinas-dinas terkait dengan memberikan berbagai jenis
pelatihan, terutama kemampuan melakukan pencatatan transaksi dan pembukuan.
Namun demikian, kekurangan UMKM dan koperasi dalam menyediakan agunan
yang dipersyaratkan oleh bank dan lembaga keuangan lain di masa lalu seringkali
tidak ada solusinya. Kondisi ini melahirkan gagasan perlunya lembaga
penjaminan kredit yang berperan memberikan jaminan kredit terhadap bank dan
lembaga keuangan lain atas kredit yang diterima oleh UMKM dan koperasi.
Sejarah mengenai skema penjaminan kredit di Indonesia dimulai pada
tahun 1970 pada saat pemerintah melalui Departemen Transmigrasi dan Koperasi
membentuk Lembaga Jaminan Kredit Koperasi, yang pada saat itu dikhususkan
untuk menjamin kredit program yang disalurkan oleh Bank BRI kepada koperasi-
koperasi. Kemudian, pada tahun 1996, Pemerintah melalui Departemen Keuangan
membentuk Perum Penjaminan Kredit Koperasi dan PT. Penjaminan Kredit
Pengusaha Indonesia. Karena kapasitasnya yang terbatas, maka kedua lembaga
penjaminan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan penjaminan kredit bagi
UMKM dan koperasi, khususnya di daerah-daerah di luar ibukota provinsi.
Selanjutnya, pada tahun 2008 Pemerintah melalui Menteri Keuangan
membuat regulasi tentang pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Dengan terbitnya Peraturan Menteri
Keuangan tersebut, maka semakin banyak perusahaan penjamin kredit yang
berdiri, termasuk di beberapa daerah.
Dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011, maka kewenangan pengawasan terhadap lembaga
penjaminan beralih dari Menteri Keuangan kepada OJK. Setelah OJK terbentuk
dan menjalankan fungsinya, pengaturan terhadap Lembaga Penjaminan dilakukan
berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Untuk memperkuat dasar
hukum atas peraturan tentang penjaminan, Pemerintah bersama-sama dengan
DPR telah menerbitkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang

3
Penjaminan. Dengan terbitnya undang-undang tersebut, keberadaan perusahaan
penjaminan dan operasinya memiliki dasar hukum yang lebih kuat. Pada saat ini
terdapat 23 perusahaan penjamin kredit di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 1
BUMN, 4 perusahaan swasta, dan 18 BUMD.
Mengingat semakin banyak UMKM dan koperasi yang membutuhkan
kredit untuk mengembangkan usahanya, dan di lain pihak kemampuan perusahaan
penjaminan yang beroperasi di Sulawesi Utara masih terbatas, maka perlu
dibentuk Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Sulawesi Utara
yang berlandaskan pada Peraturan Daerah. Terbentuknya perseroan tersebut
diharapkan dapat membantu UMKM dan koperasi dalam mengakses sumber
pembiayaan sehingga tingkat inklusifitas keuangan di Sulawesi Utara meningkat
melalui kegiatan penjaminan. Disamping itu, keberadaan perseroan tersebut
diharapkan dapat menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi daerah dan
mendorong berkembangnya kewirausahaan yang mandiri dan berdaya saing.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian pada Latar Belakang, maka dapat diidentifikasi
permasalahan yang dihadapi sebagai berikut:
a. Banyak UMKM dan koperasi di wilayah Provinsi Sulawesi Utara yang
potensial, mengalami kendala dalam mengembangkan usahanya, terutama
karena kekurangan modal dan kesulitan untuk memperoleh akses terhadap
sumber-sumber pembiayaan.
b. Salah satu faktor utama yang menyebabkan UMKM dan koperasi di wilayah
Provinsi Sulawesi Utara sulit untuk memperoleh akses terhadap sumber-
sumber pembiayaan adalah ketidakmampuan menyediakan agunan sesuai
persyaratan administrasi yang ditetapkan oleh bank.
c. Jangkauan operasi Perum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) dalam
memberikan dukungan penjaminan terhadap UMKM dan koperasi di wilayah
Provinsi Sulawesi Utara yang mengajukan permohonan kredit ke pihak
perbankan masih terbatas dan belum optimal.
d. Beberapa regulasi yang telah diberlakukan sebelumnya dan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan memberikan ruang bagi Pemerintah

4
Daerah untuk memiliki atau mendirikan Perseroan Terbatas Penjaminan
Kredit Daerah. Bahkan di Indonesia pada saat ini sudah 16 provinsi telah
mendirikan Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah guna mendukung
pengembangan UMKM dan koperasi dari sisi penjaminan kredit.
Peraturan Daerah tentang Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah
Provinsi Sulawesi Utara diperlukan sebagai solusi atas permasalahan tersebut di
atas karena:
1. Pendirian Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Sulawesi
Utara memerlukan dasar hukum yang kuat dalam bentuk Peraturan Daerah.
2. Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Sulawesi Utara dapat
berperan besar dalam menjamin penyaluran kredit kepada UMKM dan
koperasi yang potensial untuk berkembang.

1.3. Tujuan dan Manfaat


Tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah menyediakan kajian
ilmiah dalam bentuk kajian pustaka, kajian regulasi, dan kajian empiris sebagai
materi dasar untuk perumusan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perseroan
Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Sulawesi Utara.
Adapun manfaat Naskah Akademik ini adalah sebagai pedoman dalam
perumusan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perseroan Terbatas Penjaminan
Kredit Daerah Provinsi Sulawesi Utara dan selanjutnya menjadi acuan atau
referensi dalam proses pembahasan dengan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi
Sulawesi Utara sebelum diputuskan dan ditetapkan sebagai Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Utara.

1.4. Metode Penyusunan


Penyusunan Naskah Akademis ini menggunakan metode yuridis normatif
yang bersumber dari bahan hukum primer (Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri) dan bahan hukum
sekunder (buku, makalah dan artikel yang terkait dengan substansi penjaminan
kredit).

5
Selanjutnya, tim penyusun melakukan penelitian dengan pendekatan
kualitatif multidisiplin untuk merumuskan permasalahan dan mengumpulkan data
serta menganalisis secara deskriptif berbagai aspek yang terkait dengan
penjaminan kredit.
Pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Identifikasi permasalahan yang dihadapi di lapangan, termasuk menjaring
aspirasi pihak-pihak yang terkait dengan penjaminan kredit bagi UMKM dan
koperasi.
b. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penjaminan kredit.
c. Diskusi dengan para nara sumber untuk mengetahui berbagai permasalahan
aktual dan alternatif solusi dalam penjaminan kredit.

6
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

2.1. Kajian Teoritis


Bebczuk (2003) menjelaskan bahwa dalam setiap pemberian kredit
sebenarnya terdapat ketidakpastian (uncertainty) yakni, pertama, terhadap
kemampuan membayar debitur. Ketidakpastian ini diantisipasi melalui melakukan
estimasi kemungkinan kembalinya pinjaman secara penuh (probability of full
reimbursement) dan penyesuaian pengenaan suku bunga. Kedua, kemungkinan
debitur untuk melanggar perjanjian kredit yang sulit untuk diketahui oleh lender.
Dalam hal ini, debitur dapat berupaya untuk mengelabui lender mengenai kondisi
usahanya sebenarnya, atau ketika pinjaman sudah diberikan maka debitur
kemungkinan dapat saja menggunakan dana tersebut untuk kepentingan yang lain
atau menyembunyikan hasil usaha yang sebenarnya dari proyek atau bidang
usahanya yang di biayai. Permasalahan-permasalahan dimaksud dikenal sebagai
masalah asimetri informasi (asymmetric information problem).
Masalah asimetri informasi terdiri dari beberapa bentuk yakni: (i) adverse
selection, (ii) moral hazard, dan (iii) monitoring cost. Adverse selection adalah
permasalahan pada lender ketika lender atau dapat juga disebut bank, tidak
mampu membedakan proyek-proyek dengan masing-masing risiko yang melekat.
Moral hazard adalah permasalahan yang terjadi ketika debitur menggunakan dana
dari bank untuk kepentingan penggunaan lain di luar yang telah diperjanjikan
dengan bank. Selanjutnya, monitoring cost, adalah permasalahan dimana debitur
mengambil keuntungan atas ketidakmampuan bank dalam menilai pendapatan
sebenarnya dari usaha yang dibiayai bank, dengan mengatakan pendapatan yang
diterima lebih rendah dari pada kondisi sebenarnya (Bebczuk, 2003).
Dalam kondisi terjadi masalah asimetri informasi, terdapat beberapa
mekanisme proteksi yang biasa dilakukan oleh bank dalam rangka memitigasi
risiko, masing-masing sebagai berikut: (i) credit rationing, (ii) signalling yang
dalam bentuk agunan (collateral), internal funds, dan contractual clauses.
Credit rationing merupakan kondisi bahwa bank secara sengaja tidak
merespon permintaan kredit antara lain dengan cara menaikkan suku bunga

7
dikarenakan bank merasa proyek-proyek yang akan dibiayai beresiko tinggi atau
secara ekstrim melakukan penjatahan penyaluran kredit. Credit rationing
merupakan mekanisme yang tidak efisien, namun merupakan cara yang paling
mudah bagi bank untuk meminimalisasi resiko. Mekanisme yang lain untuk
menghilangkan asymmetric information adalah agunan, internal funds, dan credit
rationing. Debitur yang mempunyai agunan biasanya menggunakannya agar
proyeknya menjadi lebih prospektif di mata bank. Kemampuan debitur
menyediakan agunan merupakan salah satu signal dari debitur bahwa proyeknya
cukup aman untuk dibiayai oleh bank. Penggunaan sebagian dana pribadi debitur
(internalfunds) dalam pembiayaan sebuah proyek juga merupakan signal dari
debitur bahwa resiko proyeknya sebagian sudah dimitigasi. Terakhir, contractual
clauses adalah bentuk mekanisme memitigasi asymmetric information. Dalam
perjanjian kredit pada umumnya berisi beberapa klausula yang dirancang untuk
mengamankan hak dari bank. Bunyi klausula-klausula dari perjanjian kredit biasa
sangat tergantung pada sifat resiko yang melekat dari proyek yang dibiayai bank
(low risk atau high risk). Signal untuk proyek yang beresiko rendah biasanya
berupa pengenaan tingkat suku bunga yang relatif rendah, atau yang disebut
sebagai klausula positif (positive clauses). Di sisi lain, untuk proyek yang
beresiko tinggi maka biasanya terdapat klausula negatif (negative clauses),
misalnya dimungkinkannya bank untuk mengatur debitur untuk meminta
persetujuan terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan strategis perusahaan,
semisal membagikan deviden, pemindahan aset, atau penerbitan surat utang. Pada
grafik di atas, dijelaskan bahwa asymmetric information problem terjadi pada titik
merah yang ditandai dengan rendahnya pasokan kredit dan tingginya suku bunga.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terjadinya asymmetric
informationproblem disebabkan oleh adverse selection, moral hazard, atau
monitoring cost. Asymmetric information problem menyebabkan mekanisme pasar
tidak berjalan sempurna sehingga faktor produksi, dalam hal ini sumber
pembiayaan, tidak teralokasi sebagaimana semestinya. Jika kondisi tersebut tidak
dikoreksi maka terjadilah apa yang disebut dengan kegagalan pasar (market
failure). Untuk meniadakan kegagalan pasar harus dilakukan koreksi. Koreksi atas

8
kegagalan pasar dalam pasar keuangan adalah tugas pemerintah (pusat maupun
daerah) dan pihak-pihak terkait termasuk Bank Indonesia.
Skema Penjaminan Kredit telah dijalankan di banyak negara, baik negara
berkembang maupun negara maju. Tercatat lebih dari 2.250 (dua ribu dua ratus
lima puluh) skema penjaminan kredit di dunia dan dijalankan di 100 (seratus)
negara (Green, 2003). Ditilik dari sejarahnya, Penjaminan Kredit sudah dikenal
sejak dari abad 3 SM, sebagaimana tertulis dalam peninggalan bangsa
Mesopotamia (KODIT,1998).
Penjaminan kredit didesain untuk membantu Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) mengakses sumber permodalan baik yang berasal dari
Perbankan maupun Lembaga Keuangan Non Bank. UMKM memegang peran
yang sangat strategis di hampir semua negara. Rata-rata presentase jumlah
UMKM di semua negara berkisar antara 90%-99% (OECD, 2006, hal. 34).
Ironisnya, hampir di semua negara masalah yang dihadapai UMKM adalah sama
yaitu kesulitan mengakses pembiayaan. Salah satu contohnya adalah Indonesia,
data BI pada Februari 2015 menunjukkan bahwa pangsa kredit UMKM terhadap
total kredit hanya sebesar 19,5% (Bank Indonesia, 2015). Kesulitan tersebut
disebabkan karena informasi yang bersifat asimetris antara UMKM dengan
Kreditur (Damilano et al., 2008). Damilano (2008) menyebut informasi bersifat
asimetris karena informasi yang dimiliki calon peminjam terhadap kreditur lebih
banyak dibandingkan informasi yang dimiliki kreditur terhadap calon peminjam.
Informasi asimetris ini menurut Stiglitz dan Weiss (1981) menimbulkan dua
kelemahan yaitu adverse selection dan moral hazard, untuk itu Stiglitz dan Weiss
menyarankan penyaluran kredit berbasiskan kolateral. Persyaratan kolateral
menjadi problem baru bagi UKMK, hampir semua UMKM didunia tidak
memiliki kolateral yang cukup . Untuk memberi solusi atas permasalahan
ketiadaan kolateral ini maka diciptakan skema penjaminan kredit (Beck, 2007).
Menurut Riding dan Haines, 2001, (hal.596) skim Penjaminan Kredit
setidaknya melibatkan 3 (tiga) pihak yaitu debitur, kreditur dan penjamin. Debitur
mengajukan pinjaman kepada kreditur. Karena alasan informasi yang asimetris
pengajuan pinjaman tersebut seringkali ditolak oleh kreditur. Peran Penjamin

9
kredit diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada kreditur sehingga mau
menyalurkan pinjaman kepada debitur.

2.1.1. Definisi Penjaminan Kredit


Menurut Deelen dan Molenar (2014) penjaminan kredit didefinisikan sebagai
berikut:
Penjaminan kredit adalah suatu produk finansial yang bisa dibeli pelaku
usaha kecil sebagai pengganti sebagian dari agunan. Penjaminan yang
dimaksud adalah janji oleh penjamin untuk membayar semua atau
sebagian pinjaman jika peminjam gagal membayar.

Secara terminologi, penjaminan atau penanggungan berdasarkan Pasal


1820 KUH Perdata (Burgelijk Wet Boek) ialah suatu persetujuan dimana pihak
ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan
debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.

2.1.2. Alasan Pembentukan Lembaga Penjamin


Dalam industri keuangan, terdapat beberapa kondisi ketidaksempurnaan.
Diantaranya adalah informasi asimetris, biaya transaksi yang tinggi, potensi
kebangkrutan dan adanya beberapa larangan. Beberapa ketidak sempurnaan
tersebut meningkatkan biaya dana (Gittel dan Kaen, 2003, hal.309). Lembaga
Penjaminan didirikan untuk mengatasi kondisi ketidak sempurnaan tersebut.
Informasi asimetris menyebabkan penjatahan kredit (credit rationing)
sebagaimana yang disebut oleh Stiglitz dan Weiss (1981). Creditrationing adalah
kondisi di mana kreditur tidak mau menyalurkan kredit walaupun calon debitur
bersedia membayar dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Credit rationing
merupakan dampak dariadverse selection dan moral hazard. Penulis lain yang
menyebutkan informasi asimetris sebagai penyebab credit rationing antara lain
Mankiw (1986, hal. 455), Gittel dan Kaen (2003, hal. 299), Craig (2008, hal.346),
European Comission (2006, hal. 7).
Kreditur tidak pernah memiliki informasi yang sempurna tentang kapasitas
dan kemauan membayarnya calon debitur. Informasi asimetris ini lebih banyak
mempengaruhi UMKM dibandingkan dengan usaha besar. Kebanyakan UMKM
tidak memiliki laporan keuangan yang terbuka dan dapat diakses oleh publik.

10
Kondisi ini menyebabkan jumlah kredit yang disalurkan kreditur baik perbankan
maupun lembaga keuangan non bank kepada UMKM jauh lebih kecil
dibandingkan dengan kredit yang disalurkan kepada usaha besar, walaupun dalam
beberapa pengalamana menunjukkan UMKM lebih sehat dan mampu bertahan
dibandingkan dengan usaha besar. Lembaga Penjamin diharapkan dapat
mengatasikondisi tersebut di atas (Dellan dan Molenaar, 2004, hal.14).

2.1.3. Para Pihak dalam Penjaminan


Banyak masyarakat yang menganggap bahwa penjaminan masih identik
dengan asuransi. Bahkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa
penjaminan merupakan bagian dari asuransi. Namun jika dikaji lebih mendalam
lagi, maka terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penjaminan dan asuransi.
Perbedaan yang cukup mendasar yaitu keterlibatan para pihak di masing-masing
kontrak. Pada penjaminan pihak yang terlibat di dalamnya ada 3 (tiga) pihak,
yaitu:
a. Penerima jaminan adalah Lembaga Keuangan atau diluar Lembaga Keuangan
yang telah memberikan fasilitas finansial kepada Terjamin;
b. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh fasilitas finansial dari Lembaga
Keuangan atau diluar Lembaga Keuangan yang dijamin oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah;
c. Penjamin adalah perusahaan penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
yang melakukan kegiatan dalam bentuk pemberian jasa yaitu terjamin,
penjamin dan penerima jaminan.

2.1.4. Prinsip dalam Penjaminan


Pada usaha penjaminan memiliki prinsip-prinsip yang meliputi kelayakan
usaha, pelengkap perkreditan (accesoir kredit), pengganti agunan, pengambil
alihan sementara risiko kredit macet, piutang subrogasi, keterlibatan pihak ketiga,
dan kerjasama pengendalian. Prinsip-prinsip tersebut harus ada dalam penjaminan
sebagai usaha kehati-hatian (prudent) karena risiko dari penjaminan yang besar.
Selain itu, dalam hal terjadi kesalahan/wanprestasi dilakukan oleh Penerima
Jaminan, maka pembayaran klaim tidak dapat dilakukan namun sebaliknya

11
apabila wanprestasi dilakukan oleh siterjamin, maka Perusahaan Penjamin
melakukan pembayaran klaim sesuai kontrak penjaminan yang disepakati.

2.1.5 Prinsip-prinsip Pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit


Lembaga Penjamin memerankan dua hal, yang pertama peran Lembaga
Penjamin ketika berhubungan dengan UMKM dan yang kedua adalah peran
Lembaga Penjamin ketika berhubungan dengan kreditur sebagai Penerima
Jaminan (European Commission, 2006).
Peran Lembaga Penjamin terhadap UMKM:
a. Memfasilitasi akses UMKM kepada kreditur tanpa menghilangkan kewajiban
UMKM;
b. Menerbitkan penjaminan kredit setelah melalu analisis baik secara kuantitatif
maupun kualitatif;
c. Memperkaya analisis dengan memperoleh informasi daripesaing lokal, dll;
d. Memberikan bantuan konsultasi dan supervisi dalam hal manajemen
keuangan;
Peran Lembaga Penjamin terhadap kreditur sebagai Penerima Jaminan:
a. Menetapkan prosedur penjaminan yang standar;
b. Memberikan penjaminan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan;
c. Memberikan jaminan kepastian pembayaran klaim apabila debitur
wanprestasi.

Menurut World Bank (2015), Perusahaan Penjaminan Kredit (PPK) harus


didirikan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Perusahaan Penjaminan Kredit (PPK) harus ditetapkan sebagai badan hukum
independen berdasarkan pada undang-undang yang kuat dan lugas agar
dapat beroperasi dengan efektif dan mencapai tujuan-tujuan kebijakan.
PPK harus didirikan oleh pemerintah sebagai suatu badan hukum
independen berdasarkan pada undang-undang. Dengan fondasinya yang kuat
diharapkan lembaga ini dapat meningkatkan kredibilitas dan reputasinya.
Pemerintah berhak mempertahankan kepemilikan dan/atau kontrol terhadap
PPK. Namun demikian, di lain pihak PPK harus dapat beroperasi secara
efisien dan berkelanjutan. Undang-undang PPK harus menegaskan kebijakan

12
kepemilikan oleh pemerintah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan investasi
pemerintah, serta cara pemerintah melaksanakan wewenang sebagai pemilik,
termasuk siapa yang bertanggung jawab dan mewakili pemerintah.
Undang-undang tersebut harus pula menetapkan dengan jelas sumber
dana PPK, batas-batas kewenangan pemerintah dan hubungan pemerintah
sebagai pemilik dengan dewan komisaris dan dewan direksi PPK, yaitu
memisahkan kontrol pemerintah dari operasi harian, untuk memastikan bahwa
PPK dapat melaksanakan otonomi manajerial yang diperlukan dalam
pengambilan keputusan. Undang-undang tersebut juga dapat berperan sebagai
landasan untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi yang tepat
untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan PPK. Satu hal yang perlu dihindari
adalah PPK tidak boleh didirikan secara situasional dengan basis anggaran
tahunan pemerintah dan dilaksanakan sebagai bagian dari program salah satu
instansi pemerintah.
2. PPK harus memiliki dana yang cukup untuk mencapai tujuan kebijakan, dan
semua sumber pendanaan, termasuk ketergantungan pada subsidi yang
eksplisit maupun implisit, harus disampaikan ke publik dengan transparan.
PPK harus memiliki modal yang cukup dan dukungan finansial dari
pemerintah agar dapat beroperasi dengan efektif secara berkesinambungan dan
mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Alokasi dana yang cukup bagi PPK harus
ditetapkan berdasarkan tujuan-tujuan kebijakan dan target volume usaha yang
harus dicapai agar PPK dapat tetap mampu melaksanakan kewajibannya dan
dapat beroperasi secara berkelanjutan dalam jangka panjang.
Tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan modal awal serta
komitmen pemerintah untuk menyediakan modal tambahan selama PPK
beroperasi harus dinyatakan secara jelas. Agar struktur modalnya dapat
dikelola dengan baik, PPK seharusnya tidak diberikan peluang untuk
meminjam dana dari pasar uang. Undang-undang yang melandasi pendirian
PPK harus menetapkan standar minimum kecukupan modal bagi PPK serta
jadwal dan besaran tahapan alokasi dana dari anggaran pemerintah.
Penggunaan dana oleh PPK harus dievaluasi secara berkala, dan jika
diperlukan dapat dilakukan tindakan penyesuaian berdasarkan suatu proses
yang transparan, serta diaudit oleh lembaga yang diberikan mandat.

13
3. Undang-undang PPK harus mempromosikan kepemilikan campuran, serta
memastikan perlakuan yang sama terhadap pemegang saham minoritas.
PPK dapat dimiliki secara eksklusif oleh pemerintah, namun dapat
juga dimiliki secara bersama dengan melibatkan sektor swasta, termasuk bank
dan UMKM, dalam suatu kemitraan strategis. Partisipasi sektor swasta
tersebut dapat berperan penting dalam mengembangkan pengetahuan terhadap
pasar sasaran, serta memperkenalkan praktek-praktek tata kelola yang baik
agar manajemen PPK dapat berjalan efisien. Disamping itu, kepemilikan
campuran juga dapat mengurangi niat jahat (moral hazard) dalam lingkup
organisasi PPK, bank, dan UMKM melalui mekanisme tekanan sesama (peer
pressure), tanggung jawab bersama dan transparansi dalam pengambilan
keputusan. Undang-undang pendirian PPK seharusnya mendorong dan tidak
memaksa partisipasi sektor swasta dalam kepemilikan PPK.
4. PPK harus diawasi oleh pihak independen secara efektif berdasarkan
peraturan yang mempertimbangkan resiko proporsional, skala usaha serta
produk dan jasa yang ditawarkan.
Tanggung jawab dewan komisaris seharusnya dinyatakan secara jelas
dalam undang-undang dan dipisahkan dari tanggung jawab dewan direksi.
Dewan komisaris seharusnya berperan melakukan pengawasan untuk
memastikan bahwa PPK dijalankan secara efisien dan di lain pihak
meminimumkan resiko kerugian yang dapat terjadi dalam kondisi operasi
yang normal. Dewan komisaris harus diberi wewenang untuk mengevaluasi
dan membatasi tindakan dewan direksi yang bersifat kebijakan di luar dari
yang telah digariskan dalam anggaran dasar dan anggaran fiskal. Dewan
komisaris harus diberi tanggung jawab untuk memonitor kegiatan PPK sesuai
pernyataan misinya dalam bidang usaha yang sesuai dengan anggaran dasar,
dan memastikan bahwa manajemen telah menjalankan PPK sesuai tata kelola
yang baik dan sistem pengendalian resiko yang wajar. Dewan komisaris juga
perlu memonitor bahwa PPK memenuhi persyaratan kecukupan modal atau
ungkitan maksimum (maximum leverage) sesuai prinsip kehati-hatian, yaitu
rasio modal terhadap besarnya nilai penjaminan (outstanding guarantees),
sebagaimana dinyatakan dalam anggaran dasar atau peraturan yang dibuat
oleh dewan komisaris. Standar modal minimum yang memenuhi prinsip

14
kehati-hatian tersebut harus ditetapkan sesuai dengan tujuan-tujuan kebijakan
dan tingkat resiko yang dihadapi oleh PPK dalam lingkungan bisnisnya.
Dewan komisaris juga harus dapat memastikan bahwa PPK menerapkan
kebijakan dan prosedur yang dapat mengidentifikasi secara dini dan mengelola
aset yang bermasalah, serta mempertahankan likuiditas dalam tingkat yang
wajar.
5. PPK harus mendapatkan mandat yang jelas serta didukung oleh strategi dan
tujuan operasional yang konsisten dengan tujuan kebijakan.
Manajemen PPK perlu diberikan mandat dan tanggung jawab yang
jelas, termasuk ruang lingkup kegiatan dan sasaran-sasaran khusus. Mandat
tersebut harus dinyatakan dalam undang-undang pembentukannya, paling
tidak mencakup UMKM yang menjadi sasaran dan jenis-jenis penjaminan
kredit yang dapat diberikan. Disamping menyediakan penjaminan kredit, PPK
juga dapat diberikan mandat lain, seperti bantuan teknis, penyediaan
informasi, pelatihan dan konseling. Mandat tersebut harus menyatakan dengan
jelas level efisiensi yang perlu dicapai oleh PPK, dan selanjutnya menentukan
tujuan-tujuan dan kendala-kendala bagi keberlanjutan finansial. Mandat
tersebut harus juga mempertimbangkan kondisi perekonomian yang bersifat
siklikal, khususnya dalam menjangkau UMKM sasaran. Pada saat
perekonomian mengalami krisis, PPK dapat meminta pendanaan khusus dari
pemerintah yang berbasis pada kontrak khusus. Mandat yang diberikan kepada
PPK harus dievaluasi secara berkala dengan mekanisme yang transparan.
Sesuai mandat yang diterimanya, PPK harus mengembangkan strategi
yang sesuai dan program-program yang bersifat khusus untuk berbagai sektor
dan kelompok sasaran. Pengembangan strategi tersebut hendaknya juga
melibatkan dewan komisaris dan pemerintah. PPK kemudian berperan untuk
mengimplementasikan strategi, sedangkan dewan komisaris berperan
menyetujui dan memantau implementasi strategi. Penetapan strategi tersebut
juga mencakup sasaran-sasaran operasional khusus untuk memastikan
tercapainya kinerja dan keberlanjutan finansial serta memenuhi tujuan-tujuan
kebijakan. Sasaran-sasaran operasional harus jelas dan realistis, serta dapat
diukur berdasarkan indikator-indikator dan sasaran kinerja utama.

15
6. PPK harus memiliki struktur tata kelola perusahaan yang sehat, dengan
pengurus yang independen dan kompeten yang diangkat sesuai dengan
kriteria yang jelas.
Kerangka tata kelola PPK harus memastikan bahwa manajemen
operasional dapat dilaksanakan secara independen. Dalam hal ini, keputusan-
keputusan bisnis dibuat berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
ekonomi dan finansial yang sejalan dengan mandat dan tujuan-tujuan
kebijakan PPK, serta bebas dari pengaruh dan intervensi politik. Kerangka
tersebut harus dinyatakan dalam undang-undang pendirian PPK, anggaran
dasar dan dokumen-dokumen pendukung lainnya. Kerangka tersebut harus
memastikan ada pembagian peran dan tanggung jawab, khususnya di antara
pemerintah, pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
Untuk mencegah terjadinya intervensi politik, maka perlu ada proses
yang jelas untuk menetapkan anggota-anggota dewan komisaris dan dewan
direksi. Pemerintah atau para pemegang saham harus menerapkan suatu proses
rekruitmen yang transparan dan terstruktur serta tunduk pada kebijakan-
kebijakan dan prosedur yang berlaku untuk memastikan dewan komisaris dan
dewan direksi dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara independen.
Dalam hal ini perlu ada transparansi dalam proses nominasi untuk memastikan
bahwa keahlian manajerial dan teknis mereka yang terpilih sesuai dengan
bidang usaha PPK. Standar minimum kompetensi dan proses pemilihan
anggota dewan komisaris dan dewan direksi harus dinyatakan secara eksplisit
dalam peraturan pendirian PPK.
Para anggota dewan komisaris dan dewan direksi harus diatur untuk
menjabat dalam periode waktu tertentu dan harus bertindak demi kebaikan
PPK tanpa ada konflik kepentingan. Mereka juga harus bertindak dengan
penuh tanggung jawab dan integritas yang tinggi. Secara umum, mereka yang
terpilih seharusnya mencakup minimum satu anggota independen yang berasal
dari sektor swasta. Dalam hal PPK dimiliki secara bersama oleh pemerintah
dan swasta, maka semua pihak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
proses nominasi hingga pengangkatan anggota-anggota dewan komisaris dan
dewan direksi.

16
7. PPK harus memiliki kerangka pengendalian internal yang mantap untuk
menjaga integritas dan efisiensi dalam tata kelola dan operasi.
PPK seharusnya memiliki sistem pengendalian internal yang kuat,
yang proporsional dengan ukuran dan kompleksitas usahanya. Pengendalian
internal yang efektif memungkinkan manajemen PPK mengetahui apa yang
sedang terjadi dalam organisasi dan apakah instruksi mereka telah
ditindaklanjuti. Manajemen PPK harus mendesain proses pengendalian
internal dengan beberapa tujuan, yaitu: (i) menjaga aset dari tindakan oknum
yang berniat menyalahgunakan wewenang, (ii) melaksanakan prosedur
akuntansi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan (iii) memastikan
reliabilitas informasi finansial dan non-finansial. Prosedur pengendalian harus
memastikan bahwa proses bisnis dan kegiatan-kegiatan lainnya dilaksanakan
dengan cara yang sesuai norma, meminimumkan potensi penyalahgunaan
wewenang, serta mampu mendeteksi semua tindakan menyimpang yang telah
terjadi. Dewan komisaris, baik secara langsung atau melalui komite yang
ditunjuk, harus memikul tanggung jawab untuk secara berkala mengevaluasi
unit pengendalian internal yang dibentuk oleh manajemen.
PPK juga harus memiliki unit audit internal dan dan fungsi kepatuhan.
Untuk memastikan objektivitas, unit audit internal dan fungsi kepatuhan harus
melaporkan secara langsung ke dewan komisaris atau komite audit /
kepatuhan. Unit audit internal dan fungsi kepatuhan harus memberikan
penekanan khusus pada pemantauan sistem pengendalian dan harus
mengevaluasi paparan resiko yang terkait dengan tata kelola, operasi, dan
sistem informasi PPK. Selain itu, unit audit internal dan fungsi kepatuhan
harus mampu melakukan penyelidikan ad hoc atas permintaan, baik dari
dewan komisaris atau komite audit / kepatuhan. Audit internal dan fungsi
kepatuhan juga harus memiliki wewenang yang diperlukan untuk memastikan
bahwa isu-isu yang diangkat dalam penyelidikan akan dibahas, dan dewan
komisaris atau komite audit / kepatuhan harus memastikan audit internal dan
fungsi kepatuhan memiliki sumberdaya yang memadai untuk melaksanakan
tugasnya.

17
8. PPK harus memiliki kerangka manajemen resiko perusahaan yang efektif dan
komprehensif melalui identifikasi, penilaian dan serta pengelolaan resiko
yang terkait dengan operasinya.
Kemampuan PPK untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan resiko yang dihadapinya serta untuk menentukan bahwa PPK
memiliki modal yang memadai dalam menghadapi resiko-resiko tersebut
adalah komponen penting dari kerangka tata kelola perusahaan secara
keseluruhan. Kepatuhan yang tinggi terhadap standar manajemen resiko
melalui pengendalian operasional dan sistem yang mantap merupakan faktor
penentu utama kinerja PPK dan kemampuan PPK untuk melaksanakan
mandatnya. PPK harus mengadopsi kerangka manajemen resiko perusahaan
yang mantap sebagai bagian dari lingkungan pengendalian internal. Kerangka
resiko ini harus mencakup informasi yang dapat dipercaya dan akurat,
termasuk yang disediakan oleh pemberi pinjaman, peminjam UMKM, dan
pihak ketiga. Hal ini juga harus mencakup sistem pelaporan yang tepat waktu
sehingga memungkinkan untuk melakukan pemantauan dan pengelolaan
resiko yang relevan dalam parameter yang dapat diterima oleh dewan direksi.
Kerangka manajemen resiko perusahaan harus disetujui oleh dewan komisaris
dan tunduk pada evaluasi berkala untuk menilai relevansi keberlanjutannya.
Secara minimum, kerangka manajemen resiko perusahaan harus
mengidentifikasi, menilai, dan mengelola resiko kredit, likuiditas dan resiko
pasar, serta resiko operasional.
Resiko kredit adalah resiko utama yang dihadapi oleh PPK. Meskipun
praktek manajemen resiko kredit dapat berbeda tergantung pada karakteristik
khusus PPK dan metode pelaksanaannya, semua PPK harus tetap
mengembangkan manajemen resiko kredit komprehensif yang jelas
mendefinisikan tanggung jawab dan akuntabilitas. Pengukuran dan
pengelolaan resiko kredit harus didasarkan pada teknik kuantitatif dan
kualitatif yang sesuai. Manajemen resiko kredit yang efektif harus menetapkan
dan memberlakukan batas-batas paparan yang relevan (misalnya, untuk
subsektor, wilayah geografis, dan sebagainya) serta menggunakan teknik atau
instrumen yang tepat dan tersedia, seperti counter-guarantees atau co-
guarantees, untuk mengurangi resiko konsentrasi. Kerangka ini juga harus

18
mencakup kebijakan dan praktek evaluasi jaminan yang mantap. Akhirnya,
kerangka tersebut harus mencakup sistem untuk mengidentifikasi resiko-
resiko lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan yang terkait dengan
bisnis penjaminan PPK untuk mendorong pengembangan bisnis yang
berkelanjutan dan bertanggung jawab sosial, baik oleh UMKM maupun
pemberi pinjaman.
Tipe kedua dari resiko yang dihadapi oleh PPK adalah likuiditas dan
resiko pasar. PPK harus mengembangkan kerangka manajemen likuiditas dan
resiko pasar yang efektif untuk memastikan bahwa PPK dapat memenuhi
klaim dan bertindak melindungi nilai aset sebagai antisipasi terhadap gejolak
perubahan harga-harga pasar. Pengaturan tata kelola, sistem informasi
manajemen, analisis kebutuhan likuiditas, dan perencanaan kontingensi
merupakan elemen-elemen penting untuk likuiditas yang kuat dan manajemen
resiko pasar. PPK juga harus memiliki kebijakan investasi yang transparan
yang membentuk kerangka investasi yang konsisten dengan mandat dan
tujuan strategis PPK, profil resiko yang disetujui, dan prosedur pemantauan.
Kriteria manajemen portofolio yang tepat untuk meminimumkan resiko harus
menjadi pedoman dalam menetapkan kebijakan investasi, termasuk penetapan
kelas aset yang diizinkan untuk investasi, resiko konsentrasi, profil likuiditas,
serta konsentrasi sektoral dan geografis.
Jenis resiko ketiga yang dihadapi oleh PPK adalah resiko operasional.
Hal ini mengacu pada resiko kerugian, baik karena kegagalan sistem dan
prosedur PPK, atau dari peristiwa diluar kendali organisasi. Kebanyakan
resiko operasional timbul dari ketidakmampuan dan penipuan, resiko
keberlanjutan bisnis, resiko proses, resiko teknologi, resiko reputasi, dan
resiko hukum. Untuk menilai dan mengendalikan resiko operasional, PPK
harus menetapkan dan mendokumentasikan kerangka yang mengidentifikasi
lini tanggung jawab, pemisahan tugas, dan mekanisme kontrol yang handal.
Kode etik dan kebijakan perekrutan karyawan adalah penting untuk
memastikan perilaku profesional dan etika para staf yang terlibat dalam
operasi PPK. Untuk memastikan bahwa PPK dapat beroperasi dalam hal
terjadi gangguan teknologi atau bencana alam, perencanaan untuk kembali

19
melanjutkan usaha harus menjadi bagian penting dari kerangka resiko
operasional.
9. PPK harus mengadopsi kriteria yang jelas dan transparan untuk menentukan
kelayakan dan eligibilitas UMKM, pemberi pinjaman dan instrumen kredit.
PPK harus mengadopsi kriteria kelayakan dan kualifikasi yang jelas
untuk memandu operasinya agar sejalan dengan mandat PPK. Kriteria tersebut
harus dikomunikasikan secara terbuka dan berkala. Pertama, UMKM sasaran
harus jelas dinyatakan dalam kebijakan PPK atau dokumen operasional
lainnya yang relevan. Kriteria kelayakan tersebut mencakup ukuran
perusahaan, sektor/sub-sektor, dan lamanya perusahaan beroperasi sejak
didirikan. Ukuran perusahaan biasanya dinilai dengan jumlah karyawan, nilai
aset, dan penjualan. PPK dapat memprioritaskan beberapa sektor/sub-sektor
yang potensial tetapi kurang mendapatkan pendanaan dari perbankan, atau
mendesain program untuk menjamin kredit beberapa kelompok usaha, seperti
usaha yang baru didirikan, usaha yang bergerak di bidang ekspor, atau usaha
yang menerapkan teknologi tinggi. PPK juga dapat secara langsung maupun
tidak langsung menetapkan sasaran penjaminan kredit bagi usaha yang
dimiliki oleh kelompok etnis tertentu, wanita atau pemuda dengan maksud
untuk mendorong semangat kewirausahaan pada segmen-segmen populasi
tertentu. PPK juga dapat menetapkan daftar negatif (negative list) bagi
UMKM yang bergerak pada sektor/sub-sektor tertentu atau yang tidak
memenuhi syarat untuk mendapatkan penjaminan kredit karena profil kredit
atau reputasinya yang buruk. Terakhir, PPK juga dapat menetapkan kriteria
kualifikasi bagi bank atau lembaga keuangan lain sebagai pemberi kredit yang
berhak mendapatkan penjaminan kredit, seperti kapasitas dan besarnya
perhatian dalam melayani UMKM, tingkat NPL untuk kredit kepada UMKM,
dan kapabilitas manajemen resiko mereka.
Selain menentukan kualifikasi UMKM dan bank/lembaga keuangan,
PPK juga harus menetapkan jenis-jenis kredit yang akan dijaminnya. Jenis-
jenis kredit yang dijamin oleh PPK biasanya meliputi modal kerja dan
pembiayaan investasi. PPK harus memberikan jaminan untuk kedua jenis
kredit tersebut. Penjaminan terhadap kredit modal kerja dapat menolong

20
UMKM yang mengalami kekurangan modal kerja agar tidak merumahkan
sebagian karyawannya, dan di lain pihak, penjaminan terhadap kredit investasi
bermanfaat untuk penciptaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi
jangka panjang. PPK seharusnya menjamin pokok dari kredit yang diberikan
kepada UMKM, dan membatasi penjaminan terhadap tunggakan bunga. PPK
juga dapat menjamin kredit yang dijadwalkan kembali pembayarannya atau
direstrukturisasi berdasarkan prospek bisnis UMKM dan besarnya tambahan
pendanaan dari bank/lembaga keuangan lain.
10. Pemberian jaminan kredit oleh PPK harus dilaksanakan dengan
mempertimbangkan manfaat bagi UMKM, kelangsungan hidup PPK, dan
perkembangan sektor finansial di wilayah operasionalnya.
Bentuk-bentuk penjaminan kredit oleh PPK harus sesuai dengan
tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai. Secara umum ada dua bentuk
penjaminan kredit oleh PPK, yaitu berdasarkan pendekatan individu dan
pendekatan portofolio.
Pada pendekatan individu, jaminan kredit diberikan kepada UMKM
secara satu per satu. Ada beberapa variasi dalam pendekatan ini. Pertama,
PPK memberikan jaminan terhadap kredit yang diajukan oleh UMKM setelah
bank memeriksa kelayakannya. Dalam hal ini, bank akan memberikan kredit
kepada UMKM asalkan PPK bersedia menjamin kredit tersebut. Kedua, PPK
memeriksa kelayakan usaha UMKM dan menerbitkan surat persetujuan
penjaminan kredit kepada UMKM sampai jumlah tertentu, dan memberikan
kebebasan kepada UMKM untuk menegosiasikan kredit tersebut dengan bank/
lembaga keuangan lain. Dalam kedua kasus, ada suatu hubungan langsung
antara PPK dan UMKM karena PPK ikut memeriksa kelayakan UMKM dan
memilih UMKM sendiri UMKM yang akan diberikan penjaminan kredit.
Pendekatan ini dapat mengurangi moral hazard pada pihak pemberi kredit
serta dapat memastikan bahwa UMKM yang menerima penjaminan kredit
termasuk dalam sektor atau kelompok sasaran. Namun, pendekatan individu
tersebut memiliki kelemahan, yaitu jangkauan PPK relatif rendah, tetapi biaya
operasionalnya tinggi, sehingga pendekatan ini dapat mempengaruhi efisiensi
dan keberlanjutan finansial PPK.

21
Dalam pendekatan portofolio, pemberi pinjaman diberikan hak untuk
memberikan penjaminan kredit kepada UMKM dengan spesifikasi tertentu
tanpa konsultasi dengan PPK. Dalam hal ini, hak tersebut dituangkan dalam
perjanjian kontrak antara PPK dan pemberi pinjaman. Dengan pendekatan ini,
PPK dapat menjangkau lebih banyak UMKM dan dapat beroperasi secara
efektif dengan biaya rendah. Di lain pihak, dengan pendekatan ini kredit yang
dijamin oleh PPK dan akhirnya macet akan menjadi lebih besar karena ada
resiko moral hazard pada pihak pemberi pinjaman selama penilaian terhadap
kredit yang diajukan oleh UMKM.
Pendekatan mana yang dipilih oleh PPK harus mempertimbangkan
jangkauan penjaminan kredit, manfaat bagi perekonomian wilayah, dan
kelangsungan bisnis PPK. Idealnya, PPK akan menggunakan kedua
pendekatan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Untuk sasaran
kelompok UMKM tertentu, seperti UMKM yang dikelola oleh wanita atau
pemuda, serta kredit kepada UMKM sampai jumlah tertentu, PPK dapat
menggunakan pendekatan portofolio. Namun demikian, untuk kredit yang
melebihi jumlah tertentu, PPK sebaiknya menggunakan pendekatan individu.
Demikian pula, pada wilayah tertentu yang telah diketahui tingkat kegagalan
kreditnya lebih tinggi, maka PPK seharusnya menggunakan pendekatan
individu. Dalam hal ini, pendekatan individu dapat mengurangi asimetri
informasi dan menciptakan hubungan yang lebih saling percaya antara PPK
dan pemberi pinjaman.
11. Jaminan yang dikeluarkan oleh PPK harus parsial, memberikan insentif yang
sesuai bagi peminjam UMKM dan pemberi pinjaman, serta dirancang untuk
memastikan kepatuhan pemberi pinjaman terhadap persyaratan kehati-hatian.
Untuk menghindari moral hazard pada kedua belah pihak, yaitu
pemberi pinjaman dan UMKM, resiko kredit harus dibagi secara tepat di
antara PPK, pemberi pinjaman, dan UMKM. Membagi resiko kredit berarti
memastikan bahwa insentif yang sesuai diterima oleh masing-masing pihak
sehingga kredit macet dan klaimnya dapat dipertahankan serendah mungkin.
PPK dapat mendistribusikan resiko kepada pemberi pinjaman melalui rasio
cakupan penjaminan (coverage ratio), yang biasanya dinyatakan sebagai
persentase dari besarnya pinjaman beresiko. Di satu pihak, rasio cakupan

22
penjaminan harus cukup tinggi untuk mendorong bank/lembaga keuangan lain
bersedia memberikan pinjaman kepada UMKM, tetapi di lain pihak, rasio
tersebut masih memungkinkan bank untuk ikut menanggung resiko. Pada
prinsipnya, rasio cakupan penjaminan harus lebih besar dari 50%. Rasio
tersebut harus jelas dinyatakan dalam perjanjian kontrak antara PPK dan bank.
Rasio cakupan penjaminan yang sesuai harus ditentukan untuk setiap
sektor atau kelompok sasaran UMKM. Misalnya, cakupan penjaminan yang
lebih tinggi dapat diberikan kepada UMKM yang beroperasi di sektor dengan
potensi yang lebih tinggi untuk menciptakan lapangan kerja, atau bagi UMKM
yang baru saja beroperasi. Rasio cakupan penjaminan juga harus ditentukan
berdasarkan pendekatan yang digunakan oleh PPK dalam memberikan
penjaminan kredit. Pada umumnya, rasio penjaminan harus lebih rendah pada
pendekatan portofolio dibandingkan dengan pada pendekatan individual
karena pada pendekatan terakhir ini PPK ikut melakukan penilaian terhadap
kelayakan UMKM untuk memperoleh kredit. Rasio penjaminan yang tepat
juga harus merefleksikan tingkat perkembangan sektor finansial. Rasio
penjaminan yang lebih tinggi seharusnya diberikan pada wilayah yang sektor
finansialnya belum berkembang baik. Seiring dengan perkembangan pasar,
PPK dapat melakukan penyesuaian terhadap rasio cakupan penjaminan
tersebut, termasuk meminta debitur UMKM untuk menanggung resiko yang
lebih tinggi dengan menyerahkan jaminan pribadi yang lebih besar.
Penjaminan yang diberikan oleh PPK harus mencakup persyaratan dan
ketentuan yang dinyatakan secara jelas melalui perjanjian kontrak antara PPK
dan pemberi pinjaman. Syarat dan ketentuan tersebut harus mematuhi
peraturan kehati-hatian yang relevan sebagai cara mitigasi resiko kredit,
seperti persyaratan Basel, yang harus dipatuhi oleh bank.
12. PPK harus menetapkan kebijakan tarif imbalan berbasis resiko yang
transparan dan konsisten untuk memastikan bahwa program penjaminan akan
berkelanjutan secara finansial serta menarik bagi UMKM dan pemberi
pinjaman.
PPK harus menetapkan imbalan bagi penjaminan kredit yang diberikan
sesuai besarnya resiko dalam pemberian kredit, yang tercermin dalam
kombinasi rasio cakupan penjaminan, besarnya nilai kredit yang berpeluang

23
macet, dan kerugian yang ditanggung apabila kredit tersebut macet. Imbalan
berbasis resiko memberikan sinyal bahwa penjaminan memiliki nilai dan juga
bahwa keberlanjutan finansial merupakan prioritas bagi PPK. Kebijakan
penetapan tarif imbalan tersebut harus transparan dan dinyatakan dalam
pedoman operasional PPK.
Pada saat menentukan besaran dan struktur imbalan, PPK harus juga
mempertimbangkan tujuan yang hendak dicapai dari program penjaminan dan
keberlanjutan finansialnya. Imbalan yang diterima oleh PPK, bersama dengan
pendapatan yang diperoleh PPK dari investasi dan subsidi yang diberikan oleh
pemerintah (jika ada), seharusnya menutup biaya operasi dan biaya resiko
kredit (atau klaim) yang diharapkan. Imbalan yang ditetapkan harus selalu
berdasarkan besarnya kredit yang dijamin. PPK kemudian dapat melakukan
penyesuaian terhadap kebijakan penetapan imbalan berdasarkan riwayat
menanggung kredit macet dan perkembangan dalam pasar finansial.
13. Proses manajemen klaim harus efisien, jelas didokumentasikan dan
transparan agar dapat memberikan insentif bagi pemulihan kerugian kredit,
dan selaras dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Sebuah prosedur yang tepat waktu, efisien, dan transparan untuk
memicu klaim, penting untuk membangun dan mempertahankan pemberi
pinjaman kepercayaan. Keadaan yang tepat di mana klaim dapat dibuat harus
jelas diartikulasikan dalam perjanjian kontraktual antara PPK dan pemberi
pinjaman. Banyak PPK memiliki masa tunggu wajib minimum setelah
pencairan pinjaman sebelum klaim dapat dimasukkan. Kondisi pemicu untuk
klaim harus menentukan jangka waktu maksimum setelah pembayaran
terjawab dan tidak boleh tergantung pada memulai tindakan hukum terhadap
peminjam UMKM. Pemberi pinjaman, bagaimanapun, harus proaktif mencari
solusi alternatif, termasuk penjadwalan ulang, untuk menerima pembayaran
dari peminjam UMKM.
Sebuah proses yang jelas dan transparan harus memastikan bahwa
jaminan pembayaran diselesaikan secara tepat waktu untuk menghindari
perselisihan mahal. kredibilitas A PPK ini sebagian besar tergantung pada
bagaimana klaim ditangani setelah mereka telah diserahkan. perjanjian
kontrak antara PPK dan pemberi pinjaman harus dengan jelas menyatakan

24
kondisi di mana klaim diterima, dan penjelasan tertulis yang rinci harus
menyertai penolakan klaim. Jumlah maksimum bunga yang tertunggak
ditutupi dengan jaminan juga harus jelas ditentukan. Harus ada batas waktu
untuk penyelesaian klaim.
Perjanjian kontrak dengan pemberi pinjaman harus detail proses
ambigu dan efisien untuk pemulihan pasca klaim kerugian. Rugi-diberikan-
default tarif untuk kedua PPK dan pemberi pinjaman dapat dikurangi dengan
mengejar peminjam UMKM yang telah gagal pada pinjaman dijamin setelah
klaim telah dibayar. Karena mungkin ada skala ekonomi dan ruang lingkup
dalam berkonsentrasi kegiatan pemulihan dalam satu organisasi, divisi ex-ante
kerja harus jelas antara PPK dan pemberi pinjaman, dengan tanggung jawab
jelas digambarkan atas dasar keahlian dan sumber daya. Haruskah PPK
mengambil alih tanggung jawab untuk pemulihan utang, subrogasi pinjaman
harus didokumentasikan dan ditegakkan secara hukum. Proses pemulihan
hutang harus konsisten dengan undang-undang dan peraturan negara rumah
ini.
14. PPK harus tunduk pada persyaratan pelaporan keuangan yang ketat dan
menyampaikan laporan keuangan yang diaudit secara eksternal.
Manajemen PPK harus mampu dan memiliki komitmen untuk
menyampaikan laporan keuangan sesuai waktu yang ditentukan, akurat, dan
diaudit dengan layak. Persyaratan ini penting untuk dipenuhi agar PPK dapat
dipandang sebagai lembaga finansial yang akuntabel. PPK harus membuat dan
menyampaikan laporan keuangan yang lengkap (termasuk neraca, laporan arus
kas, laporan rugi-laba, laporan perubahan modal, serta penjelasannya),
minimum sekali dalam setahun. Komentar manajemen harus disertakan dalam
laporan keuangan tahunan, yang dibuat sesuai dengan standar akuntansi yang
berlaku bagi perusahaan swasta yang bergerak di sektor finansial.
Laporan keuangan PPK tersebut harus diaudit oleh akuntan publik yang
profesional. Dengan menyampaikan laporan keuangan yang diaudit oleh
auditor eksternal yang independen, maka PPK akan dipandang kredibel oleh
pemerintah, para pemegang saham yang lain, dan masyarakat umum. Dengan
adanya audit eksternal tersebut, manajemen PPK juga akan memperoleh

25
masukan yang bernilai terkait dengan resiko-resiko utama yang dihadapi,
termasuk proses pengendalian internal dan proses pelaporan.
15. PPK harus secara berkala dan terbuka mengungkapkan informasi non-
finansial yang berkaitan dengan operasinya.
PPK harus terbuka melaporkan informasi non-finansial minimum
sekali setahun. Penyampaian laporan tersebut harus memberikan gambaran
kepada pihak-pihak terkait mengenai operasi PPK, prospeknya, serta
hubungannya dengan pemerintah dan para pemegang saham yang lain (jika
ada). Pelaporan tersebut harus berkaitan dengan tujuan-tujuan kebijakan
pendirian PPK, dan setidak-tidaknya mencakup: (a) komitmen sosial dan
ekonomi yang dibuat, (b) hasil-hasil yang diperoleh dari segi sosial dan
ekonomi, dan (c) semua tindakan dan kebijakan PPK yang berdampak bagi
masyarakat.
PPK juga harus menyampaikan informasi yang terkait dengan struktur
tata kelola perusahaan, termasuk kebijakan-kebijakan yang relevan. PPK juga
harus menyampaikan ke publik besarnya gaji, tunjangan dan bonus secara
agregat yang diberikan kepada dewan komisaris dan dewan direksi, serta
kebijakan yang melandasinya. Latar belakang anggota dewan komisaris dan
dewan direksi, serta karyawan-karyawan yang menduduki posisi strategis
harus juga diungkapkan. Informasi tersebut harus mencakup siapa saja yang
merupakan pejabat pemerintah, serta mereka yang sebelumnya berstatus
pegawai negeri dan pegawai swasta. Jika PPK dimiliki bersama oleh
pemerintah dan sektor swasta, maka perlu diungkapkan struktur kepemilikan
PPK, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan hak-hak khusus yang
dipegang oleh pemerintah. PPK juga harus menyampaikan ke publik semua
perjanjian penting yang dibuat, baik dengan pemerintah maupun sektor
swasta.
16. Kinerja PPK, khususnya jangkauan, manfaat dan keberlanjutan finansialnya,
harus dievaluasi dengan sistematis secara berkala, dan temuan dari evaluasi
tersebut disampaikan kepada publik.
Evaluasi yang menyeluruh terhadap kinerja PPK diperlukan untuk
menjustifikasi penggunaan sumberdaya publik, mengukur pencapaian tujuan
kebijakan PPK, dan menyempurnakan operasi PPK. Berkaitan dengan hal-hal

26
tersebut, PPK harus menetapkan mekanisme yang sesuai untuk menilai kinerja
operasinya secara sistematis. Kerangka evaluasi kinerja tersebut harus sejalan
dengan pengendalian internal yang dilakukan agar dapat menghasilkan data
dan informasi yang relevan. Kinerja PPK harus dievaluasi setidaknya setiap
tiga sampai lima tahun. Metodologi penilaian kinerja harus transparan dan
temuan yang diperoleh disampaikan kepada publik.
Kinerja PPK harus diukur dan dievaluasi bersama dengan jangkauan,
manfaat, dan keberlanjutan finansialnya. Jangkauan yang dinilai merujuk pada
kapasitas PPK untuk memenuhi permintaan penjaminan kredit oleh UMKM,
dan dinilai berdasarkan jumlah dan nilai penjaminan kredit yang diterbitkan
bagi UMKM yang memenuhi persyaratan.
Dampak keberadaan PPK harus dinilai melalui pengukuran dan
evaluasi terhadap manfaat tambahan (additionality) yang dihasilkan dari segi
finansial dan ekonomi. Manfaat finansial mengacu pada tambahan volume
kredit yang diberikan kepada UMKM yang memenuhi persyaratan sebagai
akibat dari keberadaan PPK. Manfaat finansial yang dihasilkan juga mencakup
kondisi finansial yang lebih kondusif bagi UKM yang memenuhi persyaratan
untuk memperoleh kredit, termasuk besaran kredit, suku bunga, jangka waktu
kredit, jaminan kredit, dan waktu untuk memproses permohonan kredit.
Manfaat ekonomi merujuk pada kesejahteraan ekonomi yang dihasilkan oleh
PPK sebagai dampak keberadaan dan operasinya, seperti tambahan lapangan
kerja, investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya, kerangka evaluasi kinerja PPK harus mencakup penilaian
terhadap keberlanjutan finansial, yaitu kapasitas PPK untuk menanggung
kerugian sambil tetap mempertahankan kecukupan modal relatif terhadap
kewajibannya. Keberlanjutan finansial tersebut mengindikasikan derajat
ketergantungan operasi PPK pada dukungan publik (bantuan pemerintah), dan
karena itu penilaian harus dilakukan berdasarkan perspektif jangka panjang.

27
2.2 Praktek Empiris
2.2.1 Perkembangan Lembaga Penjaminan Kredit dan Regulasinya
Di Indonesia, pemerintah telah mengenalkan skema penjaminan kredit
sejak tahun 1970 dengan dibentuknya Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK)
dengan tugas menjamin kredit Program yang disalurkan kepada koperasi.Untuk
lebih mengoptimalkan fungsi dan peran lembaga penjaminan kredit pemerintah
menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan nomor : 486/KMK.017/1996 tentang
Perusahaan Penjaminan. Hal ini menandai dimulainya industri penjaminan kredit
di mana tidak hanya Perum PKK (d/h LJKK) tetapi juga PT. Penjaminan Kredit
Pengusaha Indonesia (PT. PKPI). Dalam perkembangannya kapasitas kedua
lembaga penjaminan tersebut masih belum mampu memenuhi kebutuhan
penjaminan kredit bagi UMKM. Kantor Menko Perekonomian yang berkoordinasi
dengan kementerian terkait terus mendorong terbentuknya lembaga penjaminan
kredit khususnya di daerah-daerah. Pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
Dalam rangka meningkatkan kapasitas UMKM dan koperasi untuk
mengakses modal perbankan, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan. Perpres tersebut untuk
menjawab kebutuhan perlunya lembaga penjamin untuk keperluan  UMKM
mengambil kredit di lembaga perbankan  agar dapat mengembangkan usahanya.
Pada saat ini regulasi yang mengatur Perusahaan Penjaminan Kredit di
Indonesia adalah
a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2017 tentang Perizinan
Usaha Dan Kelembagaan Lembaga Penjamin
c. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.05/2017 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin
d. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2017 tentang Tata
Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjaminan.

28
2.2.2 Perkembangan Perusahaan Penjamin Kredit Daerah Untuk UMKM
Secara umum UMKM dan koperasi menghadapi kendala baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Permasalahan tersebut antara lain adalah
permodalan, manajemen, teknologi, bahan baku, informasi dan pemasaran,
infrastruktur,  pungutan yang tidak jelas, dan kemitraan.
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi UMKM tersebut, permodalan
merupakan permasalahan utama yang harus dituntaskan agar UMKM ini  mampu
menjalankan usahanya dengan lancar, terutama untuk memenuhi  kebutuhan
modal kerja maupun dalam rangka investasi. Kekurangan  modal adalah nyata
karena walaupun permintaan produk  atas usaha UMKM  meningkat namun
karena  modalnya  kurang maka UMKM  sering kali menolak permintaan akibat
tidak dapat  memenuhinya. Masalah yang terkait dengan modal adalah tidak
adanya jaminan ketika UMKM berhubungan dengan  perbankan untuk pencairan
kredit. Upaya menanggulangi permasalahan tersebut adalah  dibentuknya
Perusahaan Penjamin Kredit Daerah  (PPKD).
PPKD  dibuat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang UMKM khususnya Bab VII Pasal 23 ayat (1) huruf b serta Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
(khususnya huruf O). Kemudian Menteri Keuangan telah mengeluarkan
peraturana terkait dengan PPKD ini melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor
99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas PMK No.222/PMK.010/2008 Tahun
2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Kredit. Terjadinya peralihan kewenangan pengawasan terhadap lembaga
penjaminan dari Menteri Keuangan kepada OJK berdasarkan UU No. 21 Tahun
2011. Kemudian setelah terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perizinan
Usaha dan Kelembagaan berdasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 5/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga
Penjaminan (5/POJK.05/2014), mulai berlaku pada tanggal 8 April 2014.
Lembaga Penjaminan hanya dapat melakukan kegiatan usaha setelah mendapat
izin usaha dari OJK.

29
Pembentukan PPKD berangkat dari masalah masih rendahnya akses
pembiayaan UMKM terhadap perbankan. Sedangkan tujuan PPKD adalah
memberi akses pada UMKM terhadap pembiayaan.
Perkembangan PPKD saat ini semakin menggembirakan. Hal ini nampak
dari jumlah PPKD yang telah terbentuk. Dari 34 provinsi di Indonesia, 18 provinsi
telah mendirikan PPKD, sedangkan sisanya sebanyak 16 provinsi saat ini sedang
merencanakan atau sedang memproses pembentukan PPKD.

2.2.3 Profil Perusahaan Penjamin Kredit Daerah yang Berkinerja Baik


PT. Jamkrida Bali Mandara dapat menjadi contoh perusahaan penjaminan
kredit daerah yang berhasil dalam mencapai visi dan misinya serta mampu
mencapai kinerja finansial yang baik. Visi dan misi perusahaan ini adalah:

Visi Perusahaan:
“Menjadi Perusahaan Penjaminan yang sehat, kompetitif, terpercaya dan
berkembang dalam penguatan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi
menuju terciptanya struktur perekonomian daerah Bali yang seimbang dan
mantap.”

Misi Perusahaan:
1. Melakukan kegiatan usaha penjaminan kredit dan bantuan konsultasi
manajemen bagi penguatan usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi agar
menjadi pelaku ekonomi yang tangguh.
2. Meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan sehingga
mampu berkembang sekaligus memperoleh keuntungan guna memberikan
pelayanan kepada UMKMK, mitra bisnis serta kemanfaatan bagi perusahaan
dan pemilik perusahaan (shareholders).
3. Proaktif terhadap segala bentuk perubahan dan tetap memperhatikan
kepentingan terkait (stakeholders).

Perusahaan ini didirikan oleh Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2011
dengan menggunakan dasar hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 tahun

30
2010 tentang Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Bali. Modal
dasar pada saat pendirian sebesar Rp 50 milyar yang berasal dari APBD Provinsi
Bali. Pada akhir tahun 2016, modal perusahaan ini telah mencapai Rp 128,38
milyar dengan pemegang saham pengendali Pemerintah Provinsi Bali yang
memiliki saham sebesar Rp 120,00 milyar, sedangkan modal selebihnya sebesar
Rp 8,38 milyar dimiliki oleh sembilan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Bali.
Pada saat mulai beroperasi pada tahun 2011, aset perusahaan tercatat
sebesar Rp 54,92 milyar, pendapatan operasional Rp 4,29 milyar, imbal jasa Rp
774 juta, laba Rp 161 juta, nilai penjaminan Rp 31,90 milyar dan jumlah terjamin
sebanyak 464 debitur. Dalam periode lima tahun, yaitu sampai akhir tahun 2016,
aset perusahaan telah mencapai Rp 157,81 milyar, pendapatan operasional Rp
16,14 milyar, imbal jasa Rp 8,93 milyar, laba Rp 3,13 milyar, nilai penjaminan Rp
1,09 trilyun, dan jumlah terjamin mencapai 25. 713 debitur.
Dengan demikian, keberhasilan PT. Jamkrida Bali Mandara setelah
beroperasi selama lima tahun tidak hanya membantu meningkatkan akses UMKM
dan koperasi terhadap sumber dana finansial di perbankan dan lembaga keuangan
lainnya, tetapi juga menjadi sumber penghasil PAD bagi Pemerintah Provinsi
Bali.

31
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN TERKAIT

Evaluasi dan analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui peraturan


perundang-undangan yang mengatur tentang materi yang akan diatur dalam
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit
Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan kajian ini dapat diketahui posisi
dari Peraturan Daerah yang akan dibuat, khususnya sinkronisasi dan harmonisasi
dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Berikut ini adalah peraturan perundang-undangan yang mempunyai
keterkaitan dengan kelembagaan dan/atau kegiatan penjaminan kredit:

3.1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Untuk meningkatkan kemampuan pendanaan dan memperlancar kegiatan
dunia usaha dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, maka
akses dunia usaha kepada sumber pembiayaan menjadi hal yang sangat penting.
Dengan adanya perusahaan penjaminan maka diharapkan akan bermunculan para
pengusaha-pengusaha baru. Hal ini akan membawa dampak mengurangi
pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan. Kegiatan semacam ini adalah
merupakan kegiatan yang dapat menggerakkan perekonomian di Indonesia.
Hal ini sangat sesuai denganyang tercantum dalam Pembukaan dan Materi
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:
1. Alinea 2 Pembukaan menyatakan bahwa negara Indonesia yang dicita-citakan
adalah Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Istilah adil dan makmur terkait erat dengan aspek ekonomi.
2. Alinea 4 Pembukaan menyatakan pula salah satu tujuan pokok dalam
ekonomi, ialah untuk memajukan kesejahteraaan umum dan dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial.
3. Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
merupakan landasan kebijakan ekonomi, hal ini terlihat antara laindalam Pasal
33 UUD Republik Indonesia dicantumkan sebagai berikut:

32
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pengaturan mengenai materi dalam suatu peraturan perundang-undangan,
secara prinsip dan mutlak harus mengikuti syarat atau kaedah tata urutan
(hierarki) peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu antara lain bahwa
peraturan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
tingkatannya lebih tinggi. Demikian pula halnya dengan pengaturan usaha
penjaminan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUD NRI Tahun 1945.
Bahkan Undang-Undang tentang Usaha Penjaminan ini harus mengacu
kepada UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasarnya, karena pada hakekatnya
setiap undang-undang yang dibuat adalah merupakan penjabaran atau pelaksanaan
UUD 1945.

3.2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan


Peranan Perbankan nasional sebagai mana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, berfungsi untuk menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat dengan memperhatikan pembiayaan pada kegiatan
di sektor perekonomian nasional yang memprioritaskan kepada koperasi,
pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa
diskriminasi sehingga dapat memperkuat struktur perekonomian nasional. Salah
satu implementasi dari penyaluran dana masyarakat adalah kredit. Kredit
berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

33
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

3.3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007tentangPerseroan Terbatas


Salah satu bentuk badan hukum yang diperkenankan untuk Perusahaan
Penjaminan adalah Perseroan Terbatas. Dengan demikian,berbagai aturan seperti
pendirian, anggaran dasar, RUPS, direksi, merger dan akuisisi mengikuti Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan PerseroanTerbatas
adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Kemudian dalam Pasal 4 disebutkan bahwa terhadap perseroan terbatas
berlaku Undang-Undang perseroan terbatas, anggaran dasar perseroan, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya dalam pasal 15
ayat (1) huruf b disebutkan bahwa dalam anggaran dasar perseroan harus
menyebutkan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan.
Berdasarkan beberapa ketentuan pokok dalam UU 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas tersebut, beberapa aturan turunan-turunan, seperti peraturan
Presiden, peraturan menteri, dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan memberikan
kewenangan kepada Perusahaan Umum untuk menyelenggarakan usaha
penjaminan.

3.4. Undang-Undang Noomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,


Kecildan Menengah
Bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah perlu
diselenggarakan secara menyeluruh, optimal dan berkesinambungan sehingga
mampu meningkatkan kedudukan, peran dan potensi UMKM dalam mewujudkan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat,
penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Atas dasar itulah, lahir

34
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Usaha Mikro adalah usaha
produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang
memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diaturdalam Undang-Undang UKM.
Kemudian pada angka 2 disebut kanbahwa Usaha Kecil adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha
Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang UMKM. Selanjutnya pada
angka 3 disebutkan bahwa Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang
bukanmerupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan
Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersihatau hasil penjualan
tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang UMKM.
Dalam Pasal 1 angka 12 juga disebutkan definisi Penjaminan sebagai
pemberian jaminan pinjaman Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh lembaga
penjamin kredit sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh
pinjaman dalam rangka memperkuat permodalannya.
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No 20 Tahun 2008 Pemerintah diberi
amanat untuk menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:
a. pendanaan;
b. sarana dan prasarana;
c. informasi usaha;
d. kemitraan;
e. perizinan usaha;
f. kesempatan berusaha;
g. promosi dagang; dan
h. dukungan kelembagaan.

35
Dalam Pasal 8, aspek pendanaan ditujukan untuk:
a. memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah untuk dapat mengakses kredit perbankandan lembaga keuangan
bukan bank;
b. memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga
dapat diakses oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
c. memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat,
murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
d. membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mendapatkan
pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnyayang disediakan oleh perbankan
dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem
konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh
Pemerintah.
Dalam Pasal 10, aspek informasi usaha ditujukan untuk:
a. membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank data dan jaringan informasi
bisnis;
b. mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber
pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan
c. memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua pelaku
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atas segala informasi usaha.
Secara khusus, bab VII UU No. 20 tahun 2008 mengatur tentang Pembiayaan dan
Penjaminan. Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa:
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha
Mikro dan Kecil.
(2) Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan
bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam
bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.
(3) Usaha Besar nasional dan asing dapat menyediakan pembiayaanyang
dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian
pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.

36
(4) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah,
mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan
lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.
(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentifdalam bentuk
kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan
bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan kepada duniausaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha
Mikro dan Kecil.
Dalam Pasal 22 disebutkan untuk meningkatkan sumber pembiayaan Usaha
Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukanupaya:
a. pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan danlembaga
keuangan bukan bank;
b. pengembangan lembaga modal ventura;
c. pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang;
d. peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi
simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan
e. pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kemudian dalam Pasal 23 disebutkan bahwa:
(1)Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah:
a. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga
keuangan bukan bank;
b. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga
penjamin kredit; dan
c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk
memperoleh pembiayaan.
(2) Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif meningkatkan akses
Usaha Mikro dan Kecil terhadap pinjaman atau kredit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan cara:
a. meningkatkan kemampuan menyusun studi kelayakan usaha;

37
b. meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pengajuan kredit atau pinjaman;
dan
c. meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis serta manajerial usaha.
Sedangkan untuk melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang
pembiayaan dan penjaminan berdasarkan Pasal 24 UUNo. 20 tahun 2008,
Pemerintah bertugas :
a. memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan
investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar
modal, dan lembaga pembiayaan lainnya; dan
b. mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan meningkatkan fungsi lembaga
penjamin ekspor.
Berdasarkan pada kajian regulasi tentang UMKM, aturan terkait dengan akses
permodalan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengaturan
mengenai penjaminan.

3.5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa


Keuangan
Pasal UU No. 21 Tahun 2011 menyebutkan bahwa OJK melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Adapun dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan cakupan lembaga keuangan
lainnya yaitu: pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor
Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang
menyelenggarakan pengelolaan dan amasyarakat yang bersifat wajib, meliputi
penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana
dimaksuddalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian,
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan
sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta
lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan

38
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka regulasi tentang
penjaminan dan pengawasan serta pelaporan sangat erat dengan kewenangan
OJK.

3.6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah
Dalam era otonomi daerah, pemerintah telah memberikan kesempatan
yang luas bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Pemerintah daerah dapat mengatur sendiri beberapa aspek kehidupan di daerahnya
baik aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, maupun budaya. Dalam aspek
ekonomi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membentuk suatu
BUMD.
BUMD menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Daerah. Terdapat dua bentuk BUMD, yaitu: (1) Perusahaan Umum Daerah adalah
BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas
saham, dan 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau
paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah.
Konsep pengelolaan BUMD non persero (Perusahaan Daerah/Perusahaan
Umum Daerah) dimungkinkan dengan model pengelolaan BUMD dengan sistem
”swakelola mandiri”. Konsep pengelolaan ini menggunakan sistem pengawasan
ataupun pembinaan secara bertanggungjawab dan intensif. Pengelolaan BUMD
dilakukan dengan pengawasan dan pembinaan secara langsung oleh pemangku
kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah selaku pemegang otoritas tertinggi
di pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah selaku pemegang otoritas
dapat melakukan ”intervensi kebijakan” dalam konteks yang positif terkait kinerja
dari BUMD melalui dewan pengawas.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan
bahwa dalam pengelolaan BUMD salah satunya harus mengandung unsur tata
kelola perusahaan yang baik. Namun demikian, peraturan pemerintah maupun
peraturan lain yang mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai tata kelola

39
perusahaan yang baik dalam pengelolaan BUMD tersebut belum dikeluarkan.
Sementara konsep pengelolaan BUMD persero (Perseroan Terbatas/Perusahan
Perseroan Daerah), berdasarkan Permendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Badan
Hukum BUMD, menyatakan bahwa BUMD berbentuk perseroan terbatas tunduk
pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan
pelaksanaannya.

3.7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan


Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 ini secara khusus mengatur
berbagai aspek yang terkait dengan penjaminan, perusahaan penjaminan dan
kegiatan usahanya. Undang-undang ini dirumuskan dengan pertimbangan, antara
lain bahwa negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha demi
mewujudkan kemandirian ekonomi, khususnya UMKM dan koperasi yang sering
kesulitanmendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit atau pembiayaan
karena terbatasnya jaminan. Untuk memudahkan akses permodalan oleh UMKM
dan koperasi, dibutuhkan dukungan penjaminan oleh lembaga penjamin.
Pengaturan dalam UU ini juga dimaksudkan untuk mendorong industri
penjaminan agar dapat beroperasi secara efisien, berkesinambungan, dan berperan
penting dalam pembangunan nasional.
Pasal 2 undang-undang ini menyatakan bahwa usaha penjaminan
diselenggarakan berdasarkan pada beberapa asas, yaitukepentingan nasional,
kepastian hukum,keterbukaan, akuntabilitas, profesionalisme, efisiensi
berkeadilan, edukasi, dan pelindungan konsumen. Selanjutnya dalam pasal 3
dinyatakan bahwa usaha penjaminan bertujuan untuk (a) menunjang kebijakan
pemerintah, terutama dalam rangka mendorong kemandirian usaha dan
pemberdayaan dunia usaha, khususnya UMKM serta koperasi dalam
perekonomian nasional; (b) meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya
UMKM serta koperasi dan usaha prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan;
(c) mendorong pertumbuhan pembiayaan dan terciptanya iklim usaha yang
kondusif bagi peningkatan sektor ekonomi strategis; (d) meningkatkan
kemampuan produksi nasional yang berdaya saing tinggi dan yang memiliki

40
keunggulan untuk ekspor; (e) mendukung pertumbuhan perekonomian nasional;
dan (f) meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional.
Usaha penjaminan yang diatur dalam pasal 4 ayat 1 memiliki ruang
lingkup yang luas, yaitu mencakup:
a. Penjaminan kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
yang diberikan oleh lembaga keuangan;
b. Penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau
koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
c. Penjaminan kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh
badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina
lingkungan.
Selanjutnya, pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa perusahaan penjamin dapat
melakukan:
a. penjaminan atas surat utang;
b. penjaminan pembelian barang secara angsuran;
c. penjaminan transaksi dagang;
d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond);
e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
g. penjaminan letter of credit;
h. penjaminan kepabeanan (customs bond);
i. penjaminan cukai;
j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha
penjaminan; dan
k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Lembaga Penjamin diberikan hak untuk melakukan investasi dalam
mengelola dana yang dimiliki, namun harus tunduk pada persyaratan dan
ketentuan investasi yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (pasal 6).
Mengenai badan hukum, Lembaga Penjamin dapat berbentuk: perusahaan
umum; perseroan terbatas; atau koperasi (pasal 7). Namun pasal 8 membatasi
bahwa Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum hanya

41
dapat dimiliki oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang-undang yang
mengatur mengenai badan usaha milik negara. Oleh karena itu, satu-satunya
pilihan bentuk badan hukum Lembaga Penjamin yang dimiliki oleh Pemerintah
daerah adalah Perseroan Terbatas. Lembaga Penjamin yang berbentuk Perseroan
Terbatas ini dapat juga dimiliki oleh Pemerintah Pusat, warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara
Indonesia, serta badan hukum Indonesia yang dimiliki secara bersama-sama oleh
warga negara Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing.
Mengenai permodalan, jumlah modal disetor Lembaga Penjaminan
ditetapkan sesuai dengan lingkup wilayah operasionalnya, yaitu apakah nasional,
provinsi, atau kabupaten/kota. Ketentuan mengenai modal disetor tersebut diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (pasal 12).

3.8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.05/2017


tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjamin
Secara garis besar peraturan ini mengatur :
1. Izin Usaha, Permodalan, dan Bentuk Badan Hukum;
2. Kepemilikan dan kepengurusan;
3. Unit Usaha Syariah dan Dewan Pengawas Syariah;
4. Pelaporan;
5. Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan;
6. Kantor cabang dan kantor cabang dengan Otoritas Kesyariahan;
7. Sanksi Afdministratif.

3.9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 2/POJK.05/2017


tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin
Secara garis besar peraturan ini mengatur :
1. Kegiatan Usaha dan Pembatasan Lembaga Penjaminan;
2. Persyaratan Pemberian Jasa Penjaminan;
3. Imbal Jasa Penjaminan;
4. Klaim dan Peralihan Hak tagih;
5. Retensi Sendiri;

42
6. Gearing Ratio dan Nilai Penjaminan;
7. Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Ulang BerdasarkanPrinsip Syariah;
8. Laporan;
9. Pengumumam Laporan Keuangan;
10. Sanksi Administratif.

3.10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)Nomor 3/POJK.05/2017


tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjamin
Secara garis besar peraturan ini mengatur :
1. Rapat Umum Pemegang Saham;
2. Pemegang Saham;
3. Direksi;
4. Dewan Komisaris;
5. Dewan Pengawas Syariah;
6. Transparansi kepemilikan saham;
7. Auditor Eksternal;
8. Praktik dan Kebijakan Remunerasi;
9. Tata Kelola Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan
Penjaminan Ulang Syariah;
10. Tata Kelola Teknologi Informasi;
11. Manajemen Risiko dan Pengendalian Internal;
12. Rencana Bisnis Tahunan;
13. Keterbukaan informasi;
14. Etika bisnis;
15. Pelaporan; dan
16. Sanksi Administratif.

43
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

4.1. Landasan Filosofis


Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum, yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Mukadimah UUD
1945. Landasan filosofis peraturan perundang-undangan juga harus bersinergi
dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat.
Landasan filosofis Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi
Sulawesi Utarabersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.Pancasila sebagai falsafah bangsa mengakui dan melindungi hak-hak
individu maupun masyarakat, termasuk dibidang ekonomi. Demikian pula,
Undang-Undang Dasar 1945Pasal 33 Ayat (4) menyatakan bahwa:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasiekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.” Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
Indonesiamerupakan negara yang didirikan untuk mewujudkan kemakmurandan
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat secara berkeseimbangan dan berkeadilan.
di segalabidang kehidupan.Dengan demikian, negara berkewajiban untuk
memperhatikan kemandirian ekonomi semua lapisan masyarakat, termasuk para
pelaku UMKM dan koperasi.

4.2. Landasan Sosiologis


Landasan sosiologis berbasis pada realitas dalam masyarakat, yang
meliputi aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat serta rasa keadilan yang
berkembang dalam masyarakat. Adanya landasan sosiologis akan membuat suatu
produk hukum didukung oleh masyarakat dan mudah diimplementasikan karena
memiliki akar sosial yang kuat.

44
Salah satu pelakuusaha yang memainkan peranan cukup penting dalam
menggerakkan perekonomian nasional adalah UMKM dan koperasi. Namun
demikian, pengembangan UMKM dan koperasi dari waktu ke waktu selalu
menghadapi kendala, khususnya dari segi permodalan. Banyak UMKM dan
koperasi yang sulit untuk mengakses sumber pembiayaan dari perbankan dan
lembaga keuangan lainnya karena terbentur pada tidak adanya agunan atau
agunan yang tersedia tidak memadai. Oleh karena itu, diperlukan peran nyata
suatu lembaga yangdapat memberikan jaminan bagi UMKM serta koperasi di
wilayah Provinsi Sulawesi Utara untuk untukmendapatkan permodalan dari
perbankan atau lembaga keuangan lainnya.Kehadiran lembaga penjamin
dimaksudkan, yaitu PT. Jamkrida Sulut, dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kepada lembaga keuangan dalam memberikan pinjamanataupun memberikan
fasilitas kredit kepada UMKM dan koperasi.

4.3. Landasan Yuridis


Landasan yuridisadalah berbagai ketentuan hukum yang menjadi acuan
bagi pembuatan peraturan perundangundangan. Adanya landasan yuridis menjadi
sangat penting untuk memberikan arah pengaturan dari suatu peraturan
perundangundangan agar tidak terjadi konflik hukum ataupertentangan hukum
dengan peraturan perundangundangan di atasnya.
Dalam kaitan dengan rencana pendirian PT. Jamkrida Sulut, beberapa
peraturan perundangundangan yang dapat dijadikan acuan dalam rangka
penyusunan rancangan peraturan daerah yang melandasinya adalah:
1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
4. Undang-Undang Noomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan

45
8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha danKelembagaan Lembaga Penjaminan;
9. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan UsahaLembaga Penjaminan;
10. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)Nomor 7/POJK.05/2014 tentang
Pemeriksaan LembagaPenjaminan.
11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang
Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk
Hukum Badan Usaha Milik Daerah
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Kerjasama antar Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga

46
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan


Keberadaan Peraturan Daerah sangat diperlukan bagi pembentukan suatu
perseroan milik daerah karena peranannya sebagai landasan hukum. Disamping
itu, peraturan daerah tersebut juga diperlukan karena berkaitan dengan
pertanggungjawaban dana pemerintah daerah yang akan diinvestasikan dan
operasionalisasi perseroan tersebut dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
pembentukannya.
Dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Perseroan Terbatas
Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Sulawesi Utara, jangkauan pengaturannya
meliputi aspek-aspek permodalan, organisasi dan kegiatan perseroan tersebut
sehingga dapat memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat
dalam kegiatan penjaminan kredit, khususnya bagi UMKM dan koperasi. Dengan
jangkauan pengaturan tersebut, maka diharapkan tercipta kegiatan penjaminan
kredit yang baik, fair, dan kompetitif.
Selanjutnya, arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah ini
adalah untuk memudahkan UMKM dan koperasi untuk memperoleh akses
terhadap sumber-sumber pembiayaan melalui skema penjaminan kredit. Dengan
arah pengaturan tersebut, Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi
Sulawesi Utara diharapkan dapat melaksanakan kegiatan usahanya secara efektif
dan efisien dan semakin banyak UMKM dan koperasi yang dapat memperoleh
pembiayaan dari perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.

5.2. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah


Ruang lingkup materi muatan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perseroan Terbatas Penjaminan Kredit Daerah Provinsi Sulawesi Utara adalah
sebagai berikut:
1. Definisi atau pengertian dalam Ketentuan Umum.
2. Maksud dan Tujuan pendirian PT. Jamkrida Sulut.

47
3. Kedudukan kantor pusat dan kantor-kantor cabang.
4. Modal dan Saham yang memuat ketentuan tentang total modal dasar dalam
bentuk saham-saham perseroan, pihak-pihak yang dapat memiliki saham-
saham perseroan tersebut, besaran modal dasar yang ditempatkan atau
disetor pada waktu pendirian perseroan, nilai nominal saham, jaminan
perlindungan terhadap pemegang saham, dan pernyataan tentang modal
daerah dalam perseroan tersebut sebagai kekayaan daerah yang dipisahkan.
5. Penyertaan Modal oleh daerah yang disetor dilakukan melalui alokasi dalam
APBD Tahun 2017, dan penambahan penyertaan modal dialokasikan secara
bertahap setiap tahunnya dalam APBD tahun-tahun selanjutnya. Penyertaan
modal daerah tersebut dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari
DPRD Provinsi Sulawesi Utara dan jumlah kepemilikan saham Pemerintah
Daerah harus minimal 51% (limapuluh satu persen).
6. Kegiatan Usaha yang dapat dilaksanakan mencakup kegiatan utama dan
kegiatan tambahan. Kegiatan usaha utama adalah penjaminan kredit kepada
UMKM atau koperasi, dan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari
lembaga yang berwewenang. Kegiatan usaha tambahan mencakup bentuk-
bentuk penjaminan lain, dan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan
persetujuan Menteri.
7. Pembatasan terhadap kegiatan perseroan mencakup larangan untuk
memberikan pinjaman, menerima pinjaman dan melakukan penyertaan
langsung dengan beberapa pengecualian.
8. Imbal Jasa Penjaminan ditetapkan tarifnya berdasarkan pada pertimbangan
resiko yang dijamin, jangka waktu penjaminan, biaya-biaya (administrasi
umum, operasional dan pemasaran), dan keuntungan.
9. Laporan Keuangan wajib dibuat oleh perseroan dan diaudit oleh akuntan
publik pada setiap tahun buku untuk dilaporkan dalam RUPS. Dari laba
yang diperoleh setiap tahun, perseroan wajib menyisihkan dana cadangan,
keuntungan yang dibagi kepada pemegang saham, serta jasa yang diberikan
kepada komisaris dan direksi sesuai keputusan RUPS.
10. Klaim dan Peralihan Hak Tagih diatur sebagai berikut. Pengajuan klaim oleh
penerima jaminan kepada penjamin dapat dilakukan apabila terjamin gagal

48
memenuhi kewajibannya. Setelah klaim dibayarkan oleh penjamin, maka
hak tagih penerima jaminan kepada terjamin beralih menjadi hak tagih
penjamin.Upaya penagihan atas hak tagih penjamin dapat dilakukan oleh
penjamin sendiri atau bersama-sama dengan penerima jaminan.
11. RUPS sebagai kekuasaan tertinggi dalam Perseroan terdiri atas RUPS
Tahunan dan RUPS Luar Biasa, dan diadakan sekurang-kurangnya sekali
dalam setahun. RUPS Tahunan harus dilaksanakan dalam waktu paling lama
6 (enam) bulan setelah tahun buku, sedangkan RUPS luar biasa dapat
diadakan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. Pelaksanaan RUPS Tahunan
atau RUPS Luar Biasa dipimpin oleh pemegang saham pengendali,
dankeputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata tertib
penyelenggaraan RUPS ditetapkan dengan berpedoman pada Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perseroan.
12. Dewan Komisaris terdiri dari perwakilan para pendiri PT. Jamkrida Sulut
dengan mengutamakan mereka yang memiliki saham minimal 30% (tiga
puluh persen). Susunan Dewan Komisaris terdiri dari 1 (satu) orang
Komisaris Utama dan maksimum 2 (dua) orang anggota Komisaris. Untuk
pengangkatan pertama kali, Komisaris Utama dan Komisaris ditunjuk oleh
para pendiri dan akan ditetapkan dalam Akta Pendirian PT. Jamkrida Sulut
setelah lulus dalam uji kelayakan dan kepatutan oleh Tim Independen dan
Unit Kerja yang membidangi. Dewan Komisaris dapat berasal dari kalangan
profesional dan independen, yaitu mereka yang tidak memiliki potensi
konflik kepentingan dengan operasional PT. Jamkrida Sulut. Jabatan Dewan
Komisaris selanjutnya diangkat oleh RUPS untuk jangka waktu 4 (empat)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Prosedur,
persyaratan, pengangkatan, masa jabatan, tugas dan wewenang serta
pemberhentian Dewan Komisaris diatur dalam Akta Pendirian dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai Dewan Komisaris diatur dengan Peraturan Gubernur
13. PT. Jamkrida Sulut dipimpin oleh Direksi yang terdiri dari seorang Direktur
Utama dan paling banyak 3 (tiga) orang Direktur. Untuk pengangkatan

49
pertama kali para Direksi ditunjuk oleh para pendiri dan akan ditetapkan
dalam Akta Pendirian perseroan setelah lulus uji kelayakan dan kepatutan
oleh Tim Independen dan Unit Kerja yang membidangi. Jabatan Direksi
selanjutnya diangkat oleh RUPS untuk jangka waktu 4 (empat) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Prosedur,
persyaratan, pengangkatan, masa jabatan, tugas dan wewenang serta
pemberhentian Direksi diatur dalam Akta Pendirian dengan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
Direksidiatur dengan Peraturan Gubernur.
14. Pengangkatan dan pemberhentian pegawai perseroan dilaksanakan oleh
Direksi setelah mendapat pertimbangan Dewan Komisaris sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian pula, hak dan
kewajiban pegawai perseroan diatur oleh Direksi dengan persetujuan Dewan
Komisaris berdasarkan kemampuan PT. Jamkrida Sulut dan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pegawai
perseroan diatur dengan Peraturan Gubernur.
15. Tahun buku PT. Jamkrida Sulut adalah tahun takwim. Direksi menyusun
rencana kerja tahunan paling lambat bulan November sebelum dimulainya
tahun buku yang akan datang. Rencana kerja tahunan tersebut memuat juga
anggaran tahunan PT. Jamkrida Sulut untuk tahun buku yang akan datang
dan harus mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS. Ketentuan
lain mengenai rencana kerja mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
16. Bentuk dan isi Laporan Keuangan perseroan wajib memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan. Laporan Keuangan periode berjalan wajib
disusun dan disampaikan kepada Dewan Komisaris dan pemegang saham
paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali.
17. Pengawasan terhadap kinerja dan kebijaksanaan yang dibuat oleh Direksi
dalam menjalankan dan mengelola perseroan dilakukan oleh Dewan
Komisaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan tersebut dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) bulan sekali.

50
Ketentuan dan tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.
18. PT. Jamkrida Sulut dapat melakukan kerja sama dengan pihak ketiga sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jenis dan syarat kerja
sama tersebut diatur lebih lanjut dalam Anggaran Dasar.
19. Direksi atau pegawai PT. Jamkrida Sulut, baik yang dengan sengaja maupun
tidak sengaja atau karena kelalaiannya menimbulkan kerugian terhadap
perseroan harus bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian tersebut.
Dalam hal kerugian yang diderita oleh perseroan terdapat unsur pidana,
maka penyelesaiannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tata cara penyelesaian ganti rugi tersebut diatur dengan Peraturan Gubernur.
20. Pembubaran dan likuidasi PT. Jamkrida Sulut ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Tata cara pembubaran dan likuidasi perseroan berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
21. Ketentuan Penutup memuat ketentuan bahwa peraturan pelaksana yang
memberikan penjelasan secara lebih lengkap dan rinci tentang PT. Jamkrida
Sulut dan kegiatan usahanya perlu dikeluarkan dalam jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan.

51
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
UMKM dan koperasi di wilayah Provinsi Sulawesi Utara memiliki
peranan yang penting karena jumlahnya yang dominan sehingga memiliki potensi
yang besar untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat serta mengurangi tingkat kemiskinan. Di lain pihak,
banyak UMKM dan koperasi yang potensial mengalami kendala dalam
mengembangkan usahanya karena kekurangan modal dan sulit untuk memperoleh
akses terhadap sumber-sumber pembiayaan sebagai akibat ketidakmampuan
menyediakan agunan sesuai persyaratan administrasi yang ditetapkan oleh bank.
Pendirian PT. Jamkrida Sulut yang ditujukan bagi pengembangan UMKM
dan koperasimelalui kegiatan penjaminan kredit merupakan langkah strategis
dalam rangka meningkatkan kegiatan perekonomian daerah dengan implikasi
langsung terhadap peningkatan PDRB sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Sulawesi Utara. Mengingat besarnya dana yang
diinvestasikan oleh daerah dan pentingnya kelangsungan hidup serta keberhasilan
lembaga penjaminan kredit ini dalam rangka mendukung pengembangan UMKM
dan koperasi di daerah, maka pendirian perseroan ini perlu diatur dalam bentuk
Peraturan Daerah agar memiliki dasar hukum yang kuat.

6.2. Saran
Naskah Akademik tentang pendirian PT. Jamkrida Sulut ini disusun
dengan maksud untuk mendorong pengembangan UMKM dan koperasi melalui
kegiatan penjaminan kredit. Agar perseroan ini dapat berjalan dengan baik dan
terjamin kelangsungan hidupnya, maka Rancangan Peraturan Daerah ini disusun
secara komprehensif, terutama yang berkaitan dengan penyertaan modal daerah,
kegiatan utama dan tambahan yang dapat dilaksanakan, RUPS sebagai kekuasaan
tertinggi dalam perseroan, susunan dan pengangkatan Dewan Komisaris dan
Dewan Direksi, penyusunan Laporan Tahunan dan pembagian laba, pengawasan
terhadap Dewan Direksi oleh Dewan Komisaris, kerjasama dengan pihak ketiga,
sanksi bagi Dewan Komisaris, Dewan Direksi dan pegawai yang melakukan

52
kesalahan sehingga menyebabkan perseroan mengalami kerugian, pembubaran
dan likuidasi, serta perlunya dibuat peraturan pelaksana.

53
DAFTAR PUSTAKA

Beck, Thorsten, 2007. Financing Constrains of SMEs in Developing Countries:


Evidence, Determinations and Solutios.The World Bank, Washington,
D.C.

Deelen, L. and K.Molenaar. 2004. Guarantee Funds for Small Enterprises: A


Manual for

Deelen, L. and Molenaar, K. 2004. Guarantee Funds for Small Enterprises - A


Manual for Guarantee Fund Managers. International Labour Organization
(ILO), Geneva.

European Commission. 2006. BEST Reports on Guarantees and Mutual


Guarantees, Brussels.

Green, Anke, 2003. Credit Guarantee Scheme for Small Enterprises: An Effective
Instrument to Promote Private-Sector-Led Growth? United Nations
Industrial Development Organization, SME Technical Working Paper
Series No. 10.

Guarantee Fund Managers. International Labor Organization. Geneva:


International Labor

KODIT, 1998. Credit Guarantee Programs of the World.

OECD, 2006. The SME Financing Gap, Volume I,Theory and Evidence. Paris.

Riding, A L and Haines Jr, G (2001), “Loan Guarantees: Costs of Default and
Benefits to Small Firms”, Journal of Business Venturing 16(6): 595–612.

Riding, A, J Madill, and G Haines (2007), “Incrementality of SME Loan


Guarantees”, Small Business Economics 29(1): 47–61.

Stiglitz, Joseph E. and Weis, Andrew. 1981. Credit Rationing in Markets with
Imperfect Information.

Vento, Gianluca A., 2012. Credit Guarantee Institutions and SME Finance,
Palgrave McMilan, London.

World Bank. 2015. Principles for Public Credit Guarantee Schemes for SMEs.
Task Force for the Design, Implementation and Evaluation of Public
Credit Guarantee Schemes for Small and Medium Enterprises.
Washington, D.C.

54

Anda mungkin juga menyukai