Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PIDANA

A. Pendahuluan
Hukum pidana sebagai aturan hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan
umum pada dasarnya memiliki beberapa pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ahli. Istilah “hukum pidana”
mulai dipergunakan pada zaman pendudukan Jepang untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk
membedakannya dari istilah “hukum perdata” untuk pengertian burgerlijk recht atau privaatrecht dari bahasa Belanda
(Prodjodikoro, 2014: 2). Melalui berbagai pengertian tentang hukum pidana, dapat dirumuskan tujuan dibentuknya hukum
pidana bagi kepentingan umum.
Berlakunya hukum pidana di Indonesia mengalami sejarah panjang yang dimulai sejak masa sebelum Belanda
datang ke Indonesia. Selanjutnya perkembangan hukum pidana di Indonesia berlanjut pada masa kolonial Belanda, di
mana hukum pidana Belanda diberlakukan juga di Indonesia (Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Perkembangan hukum pidana yang sebagian besar mengadopsi aturan hukum pidana Belanda terus berlanjut hingga
masa setelah kemerdekaan. Kondisi demikian didukung oleh berbagai aturan hukum yang menjadi dasar berlakunya
hukum pidana di Indonesia baik yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa
kemerdekaan.
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai berbagai sumber hukum yang melandasi berlakunya hukum pidana di
Indonesia. Penerapan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai asas yang menyebabkan efektivitas berlakunya
hukum pidana. Melalui asas-asas dalam hukum pidana dapat ditentukan ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut
ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subjek.
Hukum pidana sebagai suatu sistem yang sangat penting dalam tatanan sistem sosial, di mana dalam lingkaran
interaksi sosial terkadang muncul pelanggaran terhadap hak-hak sosial. Melalui pemahaman terhadap hukum pidana,
dapat digambarkan macam-macam delik yang diatur dalam ketentuan hukum pidana serta sistem hukuman yang
diterapkan dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia.

B. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana


Hukum Pidana merupakan keseluruhan aturan yang menentukan perbuatan yang dilarang dan termasuk ke dalam
tindak pidana, serta menentukan hukuman yang dapat dijatuhkan. Hukum Pidana dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut.
1. Hukum Pidana Materiil merupakan aturan tertulis yang memuat tindakan-tindakan apa saja yang dilarang dan apa
yang dikerjakan.
2. Hukum Pidana Formil merupakan aturan yang digunakan untuk mempertahankan Hukum Pidana Materiil dan
pelaksana dari Hukum Pidana Materiil.

Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang
sehat. Di samping itu juga sebagai sarana pengobatan bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. Adapun tujuan dari
hukum pidana yaitu:
a. menegakkan nilai kemanusiaan;
b. memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya;
c. untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; dan
d. untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima
kembali dalam kehidupan lingkungannya.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Dengan harapan apabila
seseorang takut untuk dipidana maka semua orang dalam masyarakat akan merasa tentram dan aman.

C. Sejarah Hukum Pidana Indonesia

1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda


Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah
mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal,
dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam Antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan
hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia. Dalam
ketentuannya, persoalan dalam kehidupan seharihari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan
secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan
agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana
adat Aceh, Palembang, dan Makassar yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana
adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Hindu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk,
karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang
tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-
kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara,
hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai
contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum
pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda

a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-


1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu
ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie). VOC
sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.
Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.
Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah jajahannya di kepulauan Nusantara.
Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk
ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakat, tetapi pengumuman itu
tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak
dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan
keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai
Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai
hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut
sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang Gubernur Jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan
untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat. Alasan VOC mencampuri urusan peradilan
pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: a) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak
memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturanperaturan; b) sistem peradilan pidana
adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan c) adanya
perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang
dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai
kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang
setimpal.
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para
hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti
pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab
Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost
Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris.
Gubernur Jenderal Raffles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara
tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati
hukum adat. b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada
masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi
dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD
Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Dengan demikian Negara
Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun
kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris
jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout,
Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris
dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik
agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid). Dengan adanya
keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian,
beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de
Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau
Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.

c. Masa Regering Reglement (1855-1926)


Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di Negara Belanda, dari monarki
konstitusional menjadi monarki parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam
Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen
(Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundangundangan di wilayah jajahan Negara
Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan dibagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan
pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang
menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang”. Dengan
ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan Raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang.
Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun
harus melalui mekanisme perundangundangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan
parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-
undang dan diundangkan dengan Staatblad Nomor 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah
Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil
diundangkan, yaitu sebagai berikut.
1) Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan
dengan Staatblad Nomor 55 Tahun 1866.
2) Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
3) Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan
Staatblad Nomor 85 Tahun 1872.
4) Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5) Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang
diundangkan dengan Staatblad Nomor 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)


Indische Staatregeling (IS) adalah pembaruan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan
pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet Negara Belanda pada tahun 1922. Perubahan
Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat
(1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS
yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka
hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor NetherlandsIndie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk
Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda
semenjak diberlakukan 1 Januari 1918. e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakikatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia
tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali
peraturan zaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer
Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undangundang tersebut menyebutkan bahwa semua
badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk
sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.
Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum
pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische
Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang
ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163
Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di
Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan GunSeirei Nomor
14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor Istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum
pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di
Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi
menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia Timur di bawah
kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makassar, dan wilayah Indonesia Barat di bawah kekuasaan
Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan
yang berlaku di masing-masing wilayah.

3. Masa Setelah Kemerdekaan


Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi
empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi
Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia
menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan
konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945. a. Tahun 1945-1949
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal
mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya.
Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Konstitusi tersebut adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal
pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat
dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matan g dan
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada sekadar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan,
maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini
menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang
telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru,
segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945
tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu Pasal 1: Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan
yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
tersebut. Pasal 2: Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia,
keluarlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undangundang tersebut
secara tegas menyatakan, “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-
peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.
Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua
peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi
bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-
undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van hetmiliter gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut. Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala
tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia
dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum
menjawab persoalan.
Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai.
Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de
facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda
maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya
di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul
Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum
Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain
mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan
ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar
peraturan ini dapat berlaku surut. Tampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.
Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini,
maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya
dua hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP. b. Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan
kemerdekaan dari Negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti
dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:
“Peraturanperaturan, undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai
berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia
Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah
oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini”. Dengan adanya ketentuan ini maka
praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah
kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini. c. Tahun 1950-1959
Setelah Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara
republik kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD
Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD
Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan: “Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-
ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
atas kuasa Undang Undang Dasar ini”.
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama
dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian,
permasalahan dualisme KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini
diselesaikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan
mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan: “adalah dirasakan
sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab
Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia
(Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan.
Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia. Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah
selesai dengan ketetapan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. d. Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD
1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD1945 sebagai
konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali,
termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia
telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak
mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun
pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.

D. Sumber-sumber Hukum Pidana di Indonesia


Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di
Indonesia belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-undang
Hukum Pidana antara lain:
1. Buku I tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2. Buku II tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3. Buku III tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan
antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi.
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Norkoba.
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun Tahun 2003 tentang Anti Terorisme.
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun UU
Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan sebagainya.

E. Asas-asas Hukum Pidana


Dalam pelaksanaan hukum pidana di Indonesia, terdapat beberapa asas yang menjadi pedoman atau dasar
berlakunya aturan-aturan hukum pidana, antara lain sebagai berikut.
1. Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak
dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundangundangan yang
telah ada terlebih dahulu. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan,
maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi Terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP). Dalam
perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-
undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, artinya untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak
pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
3. Asas Teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah
yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia,
pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.
4. Asas Nasionalitas Aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak
pidana di mana pun ia berada.
5. Asas Nasionalitas Pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang
merugikan kepentingan negara

F. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana


Pada bagian ini, akan diuraikan berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang
atau subjek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat yaitu:

a. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang
menyatakan: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
suatu tindak pidana di Indonesia”. Pasal ini dengan tegas menyatakan asas teritorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya
berlaku bagi negara yang berdaulat. Asas teritorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam
wilayah negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua
(asas personal atau asas nasional yang aktif) menitikberatkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak
mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas teritorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-
negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara
harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum negara di mana yang bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam Pasal 3 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan pidana perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Ketentuan ini memperluas berlakunya Pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti
bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah
supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada
di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah teritorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu
perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di atas alat pelayaran Indonesia di luar wilayah Indonesia. Alat
pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di
laut bebas dan laut wilayah negara lain.

2. Asas Personal (Nasional Aktif)


Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga negara yang
sedang berada dalam wilayah negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga negara asing
yang berada dalam suatu wilayah negara telah melakukan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut
hukum negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu kejahatan
terhadap keamanan negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dan lain-lain.
Selanjutnya dalam Pasal 5 KUHP menyatakan bahwa, ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan: salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan
Bab II Buku Kedua dan Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan
negara di mana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. Selanjutnya menyatakan bahwa, penuntutan perkara
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika Terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan
perbuatan”.
Sekalipun rumusan Pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga negara Indonesia yang di luar wilayah
Indonesia”, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya Pasal 5 KUHP memuat asas
melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga negara di
luar wilayah teritorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai
perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh
perundangundangan hukum pidana bagi warga negara yang melakukan kejahatan di luar teritorial wilayah Negara.
Ketentuan Pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga negara asing yang berbuat kejahatan di
negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga negara Indonesia (naturalisasi). Bagi Jaksa maupun hakim Tindak
Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang di sana merupakan kejahatan atau
pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia,
yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di negara asing tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana,
sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan Pasal 6 KUHP yang berbunyi, “Berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak
dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati”. Latar belakang ketentuan Pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan
nasional timbal-balik (mutual legal assistance).
3. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya
hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah negara. Pasal 4 KUHP (seteleh diubah
dan ditambah berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976), Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
a. Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan
131;
b. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai
materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
c. Pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk
pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau
dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;
d. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-Pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang Pembajakan Laut dan
Pasal 447 tentang Penyerahan Kendaraan Air Kepada Kekuasaan Bajak Laut dan Pasal 479 huruf j tentang
Penguasaan Pesawat Udara secara melawan hukum, Pasal 479 l, m, n dan o tentang Kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.

Dalam Pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan
melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap
orang (baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang
disebutkan dalam pasal tersebut. Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan
perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan -
perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu sebagai berikut.
a. Kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan terhadap martabat/ kehormatan Presiden Republik Indonesia
dan Wakil Presiden Republik Indonesia (Pasal 4 ke-1).
b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel/materai dan merek yang
digunakan oleh pemerintah Indonesia (Pasal 4 ke-2).
c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat utang atau sertifkatsertifikat utang yang dikeluarkan oleh Negara
Indonesia atau bagianbagiannya (Pasal 4 ke-3).
d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (Pasal 4 ke-4).

4. Asas Universal
Berlakunya Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 dan Pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam
hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran
bahwa setiap negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan Pasal 4 ke-2 KUHP
(mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan Pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal
laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas negara mana yang dipalsukan atau
kapal laut dan pesawat terbang negara mana yang dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud
dalam Pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin
menyangkut mata uang atau uang kertas negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud
dalam Pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga
menyangkut kapal laut atau pesawat terbang negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional
pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).

G. Macam-macam Pembagian Delik


Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik yaitu sebagai berikut (Samidjo, 1985: 156).
1. Menurut cara penuntutannya
a. Delik aduan (klacht delict) yaitu suatu delik yang dapat diadili apabila pihak yang dirugikan/berkepentingan
mengadukan kejadian tersebut.
b. Delik biasa, yaitu suatu delik yang dapat diadili tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu.
2. Menurut jumlahnya
b. Delik tunggal (enkelvouding delict) yaitu delik yang terdiri dari satu perbuatan saja.
c. Delik jamak (samengesteld delict) yaitu delik yang terdiri dari beberapa perbuatan pidana.
3. Menurut tindakan/akibatnya
a. Delik materiil, yaitu suatu delik yang dilarang oleh undang-undang karena akibat yang ditimbulkan, misalnya delik
pembunuhan Pasal 338 KUHP.
b. Delik formil, yaitu suatu delik dinyatakan selesai apabila perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam peraturan
pidana telah dilakukan, misalnya delik pencurian Pasal 363 KUHP.
Berdasarkan ketentuan KUHP, macam-macam delik terdiri atas:
1. Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran
2. Delik Materiil dan Delik Formil
3. Delik Komisi dan Delik Omisi
4. Delik Dolus dan Delik Culpa
5. Delik Biasa dan Delik Aduan
6. Delik yang Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut
7. Delik Selesai dan Delik yang Diteruskan
8. Delik Tunggal dan Delik Berangkai
9. Delik Sederhana dan Delik Berkualifikasi; Delik Ber-privilage
10. Delik Politik dan Delik Komun (Umum)
11. Pembagian delik menurut kepentingan yang dilindungi.
Di samping itu, delik dapat pula dibedakan dalam bentuk kejahatan (misdrijf) yang diatur dalam buku II KUHP
dan pelanggaran (overtreding) yang diatur dalam buku III KUHP.

2. Hukuman tambahan (Bijkomende straffen)


a. pencabutan beberapa hak yang tertentu;
b. perampasan barang yang tertentu;
c. pengumuman keputusan hakim.

1. Hukuman Pokok (Hoofd straffen)

a. Hukuman mati
Sejak hukum pidana dicantumkan di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie, tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memerhatikan bahwa
pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum. Dengan suatu
putusan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan yang lain yang diancam dengan hukuman
yang sama diharapkan masyarakat menjadi takut. Di samping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum
dengan mempidana mati seseorang yang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan
pemerintah. Oleh karena itu, hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya.
Di Negara Belanda sendiri hukuman mati itu sejak tahun 1870 dihapuskan. Hukuman itu hanya berlaku dalam
Peradilan Militer untuk kejahatan berat yang dilakukan oleh anggota militer dan dalam sidang menurut pendapat hakim
perlu dijatuhkan (diputus) hukuman mati. Dalam perkembangannya pada tahun 1952, hukuman mati berlaku hanya
sebagai tindak pidana perang yang dilaksanakan kalau majelis hakim mempunyai keyakinan sama.
Di Indonesia sistem hukumnya masih mempertahankan hukuman mati, tentu mempunyai pertimbangan tersendiri.
Walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli hukum sarjana hukum, sampai sekarang hukuman
mati masih tetap dilaksanakan. Hal ini tidak berarti di Indonesia ada gejala “homo homini lupus”, pelaksanaan hukuman
mati dicantumkan dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan
dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah
kakinya.”. Ketentuan pasal ini mengalami perubahan yang ditentukan dalam S. 1945: 123 dan mulai berlaku sejak tanggal
25 Agustus 1945. Pasal 1 itu menyatakan bahwa “Menyimpang dari apa yang tentang hal ini yang ditentukan dalam
undang-undang lain, hukuman mati yang dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan
lain oleh Gubernur Jendral dilakukan secara menembak mati”.

b. Hukuman Penjara
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya
sesuai dengan putusan hakim. Tempat terhukum yang digunakan sampai sekarang merupakan tempat peninggalan dari
penjajah. Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi lembaga pemasyarakatan artinya para terhukum
ditempatkan bersama dan proses penempatannya serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga, di
samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur seperti kewajiban mengikuti
bimbingan mental rohaniah dan keterampilan.
Terhukum selama menjalani hukuman ada yang seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12). Hukum terbatas itu
sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun dan tidak kurang dari dua puluh tahun sebagai akibat
dari tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati, seumur hidup atau ada hukuman tambahan karena
rangkaian kejahatan yang dilakukan (Pasal 52).
c. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara, hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang
ringan dan ancam hukumannya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa “lamanya kurungan sekurang-kurangnya
satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan”.

d. Hukuman Denda
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam Pasal 30-33. Pembayaran denda tidak ditentukan
harus terpidana. Dengan begitu dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan
pembayarannya, hal demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.

2. Hukuman Tambahan
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan
hukuman tambahannya. Misalnya, seorang warga Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu. Oleh hakim, ia harus
menjalankan hukuman penjara dan dicabut hak pilihnya dalam pemilihan umum yang akan datang.
I. Perkembangan Hukum Pidana Indonesia
Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, aturan-aturan hukum pidana yang berlaku tidak saja yang termuat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Aturan-aturan itu juga terdapat di dalam undang-undang lain sebagai hukum
tertulis tidak dikodifikasi dan yang dikodifikasi. Undangundang itu merupakan hasil produk pemerintah dalam
menasionalisasikan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mengembangkan aturan hukum pidana
mempunyai dasar hukum yang dicantumkan dalam Pasal 103 KUHP. Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa “ketentuan-
ketentuan dari kedelapan Bab I dalam Buku I berlaku juga atas peristiwa yang padanya ditentukan pidana menurut
ketentuan perundangan lainnya kecuali kalau dalam undangundang atau peraturan pemerintah ditentukan lain”.
Berdasarkan ketentuan ini, dimungkinkan dibuat aturan hukum pidana di luar KUHP dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam KUHP.
Beberapa aturan hukum pidana Indonesia yang perlu diketahui sebagai perkembangan aturan hukum adalah sebagai
berikut.
1. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur di dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971; diubah dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
2. Penertiban Perjudian, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974.
3. Pemberantasan Narkotika, diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976; diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009.
4. Pemberantasan Psikotropika, diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.
5. Perbankan dengan Sanksi Pidana, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998.
6. Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
7. Cyber Crime melalui Informasi dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008.
8. Perlindungan Anak, diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang selanjutnya dicabut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
9. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai