A. Pendahuluan
Hukum pidana sebagai aturan hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan
umum pada dasarnya memiliki beberapa pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ahli. Istilah “hukum pidana”
mulai dipergunakan pada zaman pendudukan Jepang untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk
membedakannya dari istilah “hukum perdata” untuk pengertian burgerlijk recht atau privaatrecht dari bahasa Belanda
(Prodjodikoro, 2014: 2). Melalui berbagai pengertian tentang hukum pidana, dapat dirumuskan tujuan dibentuknya hukum
pidana bagi kepentingan umum.
Berlakunya hukum pidana di Indonesia mengalami sejarah panjang yang dimulai sejak masa sebelum Belanda
datang ke Indonesia. Selanjutnya perkembangan hukum pidana di Indonesia berlanjut pada masa kolonial Belanda, di
mana hukum pidana Belanda diberlakukan juga di Indonesia (Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Perkembangan hukum pidana yang sebagian besar mengadopsi aturan hukum pidana Belanda terus berlanjut hingga
masa setelah kemerdekaan. Kondisi demikian didukung oleh berbagai aturan hukum yang menjadi dasar berlakunya
hukum pidana di Indonesia baik yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa
kemerdekaan.
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai berbagai sumber hukum yang melandasi berlakunya hukum pidana di
Indonesia. Penerapan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai asas yang menyebabkan efektivitas berlakunya
hukum pidana. Melalui asas-asas dalam hukum pidana dapat ditentukan ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut
ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subjek.
Hukum pidana sebagai suatu sistem yang sangat penting dalam tatanan sistem sosial, di mana dalam lingkaran
interaksi sosial terkadang muncul pelanggaran terhadap hak-hak sosial. Melalui pemahaman terhadap hukum pidana,
dapat digambarkan macam-macam delik yang diatur dalam ketentuan hukum pidana serta sistem hukuman yang
diterapkan dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang
sehat. Di samping itu juga sebagai sarana pengobatan bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. Adapun tujuan dari
hukum pidana yaitu:
a. menegakkan nilai kemanusiaan;
b. memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya;
c. untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; dan
d. untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima
kembali dalam kehidupan lingkungannya.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Dengan harapan apabila
seseorang takut untuk dipidana maka semua orang dalam masyarakat akan merasa tentram dan aman.
a. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang
menyatakan: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
suatu tindak pidana di Indonesia”. Pasal ini dengan tegas menyatakan asas teritorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya
berlaku bagi negara yang berdaulat. Asas teritorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam
wilayah negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua
(asas personal atau asas nasional yang aktif) menitikberatkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak
mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas teritorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-
negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara
harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum negara di mana yang bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam Pasal 3 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan pidana perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Ketentuan ini memperluas berlakunya Pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti
bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah
supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada
di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah teritorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu
perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di atas alat pelayaran Indonesia di luar wilayah Indonesia. Alat
pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di
laut bebas dan laut wilayah negara lain.
Dalam Pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan
melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap
orang (baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang
disebutkan dalam pasal tersebut. Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan
perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan -
perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu sebagai berikut.
a. Kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan terhadap martabat/ kehormatan Presiden Republik Indonesia
dan Wakil Presiden Republik Indonesia (Pasal 4 ke-1).
b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel/materai dan merek yang
digunakan oleh pemerintah Indonesia (Pasal 4 ke-2).
c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat utang atau sertifkatsertifikat utang yang dikeluarkan oleh Negara
Indonesia atau bagianbagiannya (Pasal 4 ke-3).
d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (Pasal 4 ke-4).
4. Asas Universal
Berlakunya Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 dan Pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam
hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran
bahwa setiap negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan Pasal 4 ke-2 KUHP
(mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan Pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal
laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas negara mana yang dipalsukan atau
kapal laut dan pesawat terbang negara mana yang dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud
dalam Pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin
menyangkut mata uang atau uang kertas negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud
dalam Pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga
menyangkut kapal laut atau pesawat terbang negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional
pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
a. Hukuman mati
Sejak hukum pidana dicantumkan di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie, tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memerhatikan bahwa
pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum. Dengan suatu
putusan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan yang lain yang diancam dengan hukuman
yang sama diharapkan masyarakat menjadi takut. Di samping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum
dengan mempidana mati seseorang yang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan
pemerintah. Oleh karena itu, hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya.
Di Negara Belanda sendiri hukuman mati itu sejak tahun 1870 dihapuskan. Hukuman itu hanya berlaku dalam
Peradilan Militer untuk kejahatan berat yang dilakukan oleh anggota militer dan dalam sidang menurut pendapat hakim
perlu dijatuhkan (diputus) hukuman mati. Dalam perkembangannya pada tahun 1952, hukuman mati berlaku hanya
sebagai tindak pidana perang yang dilaksanakan kalau majelis hakim mempunyai keyakinan sama.
Di Indonesia sistem hukumnya masih mempertahankan hukuman mati, tentu mempunyai pertimbangan tersendiri.
Walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli hukum sarjana hukum, sampai sekarang hukuman
mati masih tetap dilaksanakan. Hal ini tidak berarti di Indonesia ada gejala “homo homini lupus”, pelaksanaan hukuman
mati dicantumkan dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan
dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah
kakinya.”. Ketentuan pasal ini mengalami perubahan yang ditentukan dalam S. 1945: 123 dan mulai berlaku sejak tanggal
25 Agustus 1945. Pasal 1 itu menyatakan bahwa “Menyimpang dari apa yang tentang hal ini yang ditentukan dalam
undang-undang lain, hukuman mati yang dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan
lain oleh Gubernur Jendral dilakukan secara menembak mati”.
b. Hukuman Penjara
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya
sesuai dengan putusan hakim. Tempat terhukum yang digunakan sampai sekarang merupakan tempat peninggalan dari
penjajah. Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi lembaga pemasyarakatan artinya para terhukum
ditempatkan bersama dan proses penempatannya serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga, di
samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur seperti kewajiban mengikuti
bimbingan mental rohaniah dan keterampilan.
Terhukum selama menjalani hukuman ada yang seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12). Hukum terbatas itu
sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun dan tidak kurang dari dua puluh tahun sebagai akibat
dari tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati, seumur hidup atau ada hukuman tambahan karena
rangkaian kejahatan yang dilakukan (Pasal 52).
c. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara, hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang
ringan dan ancam hukumannya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa “lamanya kurungan sekurang-kurangnya
satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan”.
d. Hukuman Denda
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam Pasal 30-33. Pembayaran denda tidak ditentukan
harus terpidana. Dengan begitu dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan
pembayarannya, hal demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.
2. Hukuman Tambahan
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan
hukuman tambahannya. Misalnya, seorang warga Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu. Oleh hakim, ia harus
menjalankan hukuman penjara dan dicabut hak pilihnya dalam pemilihan umum yang akan datang.
I. Perkembangan Hukum Pidana Indonesia
Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, aturan-aturan hukum pidana yang berlaku tidak saja yang termuat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Aturan-aturan itu juga terdapat di dalam undang-undang lain sebagai hukum
tertulis tidak dikodifikasi dan yang dikodifikasi. Undangundang itu merupakan hasil produk pemerintah dalam
menasionalisasikan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mengembangkan aturan hukum pidana
mempunyai dasar hukum yang dicantumkan dalam Pasal 103 KUHP. Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa “ketentuan-
ketentuan dari kedelapan Bab I dalam Buku I berlaku juga atas peristiwa yang padanya ditentukan pidana menurut
ketentuan perundangan lainnya kecuali kalau dalam undangundang atau peraturan pemerintah ditentukan lain”.
Berdasarkan ketentuan ini, dimungkinkan dibuat aturan hukum pidana di luar KUHP dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam KUHP.
Beberapa aturan hukum pidana Indonesia yang perlu diketahui sebagai perkembangan aturan hukum adalah sebagai
berikut.
1. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur di dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971; diubah dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
2. Penertiban Perjudian, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974.
3. Pemberantasan Narkotika, diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976; diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009.
4. Pemberantasan Psikotropika, diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.
5. Perbankan dengan Sanksi Pidana, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998.
6. Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
7. Cyber Crime melalui Informasi dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008.
8. Perlindungan Anak, diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang selanjutnya dicabut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
9. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004.