Disusun Oleh:
2210118110
Kelas Malam A
BAB l
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
BAB ll
ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI
7. Kriminologi
Kriminologi (sebagai ilmu pengetahuan) mempelajari sebab- sebab timbulnya
suatu kejahatan dan keadaan-keadaan yang pada umumnya turut mempengaruhinya, serta
mempelajari cara-cara memberantas kejahatan tersebut. Batasan pertama berbeda dengan
iphp yang mengartikan kejahatan sebagaimana ia dirumuskan dalam hukum pidana
positif, kriminologi merumuskan kejahatan sebagai setiap tingkah laku yang merusak dan
tidak susila (dalam arti luas), yang menimbulkan ketidaktentraman dan keresahan dalam
suatu masyarakat tertentu, karena mana masyarakat tersebut tidak menyenangi tingkah
laku tersebut.
BAB lll
SEJARAH HUKUM PIDANA
BAB V
PENAFSIRAN
16. Perumusan Undang-Undang Harus Sederhana Tetapi Jelas
Merumuskan bunyi Undang-undang adalah suatu pekerjaan yang berat dan sulit.
Yang harus dirumuskan bukan sesuatu kejadian yang konkrit, melainkan sedapat
mungkin perumusan itu harus sedemikian rupa sehingga meliputi segalanya dan dalam
segala keadaan, agar tiada suatu perbuatan atau kesempatan yang tersisa untuk dapat
lolos, bagaimanapun telitinya mencari kelemahan perumusan peraturan tersebut. Namun
perumusan tersebut harus sederhana akan tetapi jelas dan terang.
Seperti diketahui, hakim pada khususnya, penegak hukum pada umumnya terikat
pada ketentuan perundang-undangan. Hakim mengucapkan ke- adilan melalui putusannya
harus berdasarkan perundang-undangan dan keyakinannya sendiri. Namun di samping
hakim harus memutus suatu perkara, walaupun "Undang-undangnya kurang jelas" atau
mungkin harus memper- timbangkan hukum yang berlaku dalam masyarakat (hukum
adat), ada kalanya diperlukan untuk memberikan penafsiran (interpretasi) kepada istilah-
istilah tertentu dalam perundang-undangan. Selanjutnya bukan hanya penegak hukum dan
keadilan saja yang berkepentingan mengenai perumusan perundang-undangan, melainkan
setiap rakyat yang mencari keadilan. Selain daripada itu sangat penting untuk kepastian
hukum.
BAGIAN II
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
BAB VI
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
18. Asas-asas yang Terkandung dalam Pasal 1 KUHP
Asas-asas hukum pidana yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 adalah:
1) Bahwa hukum pidana bersumber atau berdasarkan peraturan-peraturan tertulis
(undang-undang dalam arti luas). Dengan perkataan lain ketentuan pidana sudah ada
terlebih dahulu (dari pada tindakan tertentu) dalam peraturan tertulis.
2) Ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Asas kedua ini adalah merupakan makna
atau amanat dari ketentuan "terlebih dahulu".
3) Dilarang menggunakan analogi, dalam penerapan hukum pidana. Asas ini adalah
merupakan makna dari "peraturan tertulis".
19. Asas-asas yang Terkandung Pasal 1 KUHP, Bukan Merupakan Asas Konstitusi
untuk dapat mempelajari sampai seberapa jauh batas atau kemutlakannya.
Sekiranya asas-asas tersebut merupakan asas konstitusi/undang-undang Dasar, maka
penyimpangan atau perkecualian terhadapnya menurut sistim perundang-undangan
(pembuatan atau perubahan undang-undang), hanya dibenarkan atas dasar ketentuan yang
diatur secara tegas dalam Undang- undang Dasar tentang kemungkinan pengecualiannya.
Jika ketentuan itu tidak ada, maka pembuat Undang-undang Dasar yang berwenang untuk
mengatur perkecualiannya. Sekiranya asas-asas tersebut merupakan asas undang- undang
(hukum pada umumnya atau hukum pidana pada khususnya), maka pembuat undang-
undang yang bersangkutan yang berwenang membuat ketentuan yang dapat menyimpang
dari padanya. Wewenang tersebut tidak boleh dilakukan oleh pembuat perundang-
undangan yang lebih rendah derajatnya.
24. Pengecualian Terhadap Asas Tidak Berlaku Surut (Pasal 1 Ayat 2 KUHP)
Alam pikiran pembuat undang-undang yang sesuai dengan zamannya, semakin
jelas terlihat dalam ayat ini, yaitu menggantungkan keberlakuannya salah satu undang-
undang kepada kepentingan tersangka. Tidak disinggung disini kepentingan terpidana
(pelaku - peserta dari tersangka yang belum diadili karena berhalangan)Juga dalam
rangka penerapan pasal 1 ayat kedua ini, tidak disinggung mengenai kepentingan umum
atau negara. Pada hal jika kepentingan negara atau masyarakat terancam atau dalam
keadaan bahaya, maka kepentingan itu selayaknya didahulukan dari pada kepentingan
perseorangan.
BAB VII
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN TEMPAT DAN
ORANG
30. Uraian Umum untuk Pasal 2 Sampai dengan 8 KUHP
Prof MOELJATNO, pada Seminar Hukum Nasional tahun 1963, sejalan dengan
pendapat POMPE, mengatakan bahwa asas-asas yang terdapat pada pasal 2 sampai
dengan 8 KUHP, dianggap sebagai batas perlintasan antara hukum pidana dan hukum
acara pidana. Tetapi dalam uraian ini, yang diutamakan adalah sudut hukum pidananya.
Dalam hal ini "berlakunya hukum pidana", atau "batas-batas berlakunya hukum pidana
dalam undang- undang". Jika pada pasal 1 KUHP berlakunya dihubungkan dengan waktu,
maka pasal 2 sampai dengan 8 KUHP, dihubungkan dengan tempat dan orang/pelakunya.
Dengan perkataan lain di mana dan kepada siapakah undang-undang hukum pidana
Indonesia berlaku. Atau jika telah terjadi suatu tindak pidana di suatu tempat, berlakukah
undang-undang hukum pidana Indonesia kepada pelaku tersebut? Pertanyaan ini dijawab
oleh pasal 2 sam- pai dengan 8 KUHP.
40. Sebab-akibat, Bersifat Melawan Hukum dan Kesalahan dalam Suatu Tindak
Pidana
ROESLAN SALEH yang mempunyai pendapat yang sama dengan MOELJATNO
mengatakan: "... bahwa dalam makna perbuatan pidana secara mutlak harus termaktub
unsur formal, yaitu mencocoki rumusan undang-undang (tat berstand mazigkeit) dan
unsur material, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan
masyarakat atau dengan pendek, melawan hukum (rechtswirdigkeit), tidak kurang dan
tidak lebih dan itu, maka sampailah kita pada pertanyaan kedua, yaitu ..... unsur
kesalahan, unsur mana karena tidak masuk dalam pengertian perbuatan pidana lagi, harus
merupakan unsur bagi pengertian lain. Pengertian ini dapat kita namakan: pertanggungan
jawab dalam hukum pidana yang seperti dalam bahasa Belanda: strafrechtelijke
toerekening dan bahasa Inggris: Criminal responsibility atau criminal liability".
XI
AJARAN SEBAB-AKIBAT
41. Tujuan mempelajari sebab-akibat
Pembuat Undang-undang tidak merumuskan sesuatu ketentuan dalam KUHP
mengenai sebab-akibat. Tetapi dalam beberapa pasal tertentu dalam Undang-undang
hukum pidana, dirumuskan kelajuan-kelakuan (gedragingen) tertentu yang merupakan
"sebab" (oorzaak, causa) dari suatu akibat tertentu. Misalnya dalam pasal 187 ke-3 KUHP
disebutkan: pembakaran, pele. dakan, pembanjiran; pada pasal 194 (2) KUHP
dicantumkan: membahayakan jalan kereta api yang digunakan untuk lalu lintas umum,
yang merupakan sebab, dan kemudian menimbulkan akibat, berupa matinya orang dan
sebagainya.
Menjadi pemikiran, apakah pengertian sebab-akibat tersebut patal 187 ke-3 dan
pasal 194 (2) sama pula artinya dengan sebab-akibat cantumkan dalam pasal 338 dan 351
(3) KUHP, yaitu kelakuan yang ber- yang di- akibat yang sama, yaitu matinya orang lain
l. Adakah pengaruh jarak waktu antara sebab-akibat yang terdapat pada pasal 187 ke-3
yang relatif lebih jauh, diperbandingkan dengan yang tersirat dalam pasal 338? Menjadi
bahan pemikiran pula perumusan sebab yang berbeda pada pasal 187 ke-2 dan 351 (2)
KUHP akan tetapi menimbulkan akibat yang sama, dalam hal ini baru mengakibatkan
lukanya/berbahayanya jiwa orang lain.
XII
BERSIFAT MELAWAN HUKUM (Wederechtelijk)
53. Istilah melawan hukum dan melawan undang-undang
SIMONS mengatakan, sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah
bertentangan dengan hukum pada umumnya. Tetapi dalam hubungan bersifat melawan
hukum sebagai salah satu unsur dari delik, beliau mengatakan supaya selalu berpegangan
kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Jika
ada perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim
tetap terikat pada perumusan undang-undang. Artinya yang harus dibuktikan hanyalah
yang dengan tegas dirumuskan dalam undang-undang dalam rangka usaha pembuktian
● Dolus determinatus.
● Dolus indeterminatus,
● Dolus generalus,
● Dolus premiditatus was
● Dolus inderectus
75. Culpa lata dan Culpa lavis serta kealpaan disadari dan tidak disadari
Penggradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut. Dilihat dari sudut
kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan gradasi kealpaan dengan:
1) Kealpaan yang berat (culpa lata).
2) Kealpaan yang ringan (culpa levis).
Untuk mengetahui apakah ada kealpaan atau tidak, dilihat dari sudut kecerdasan,
untuk gradasi yang pertama disyaratkan adanya kekurang waspadaan (onvoorzichtigheid).
Dan untuk gradasi kedua, disyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan:
1) Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku (de gemiddelde
mens van de groep, waartoe de dader be- hoort), atau
2) Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam golongan pelaku
(de meest bekwame, verstandigste mens van de groep van de dader).
BAGIAN IV
TINDAK PIDANA
BAB XIV
ISTILAH DAN PERUMUSAN ARTI TINDAK PIDANA
81. "Het Strafbare feit"
Istilah seperti juga perkataan adalah referensi dari suatu referent. Tetapi juga
sering dikatakan orang bahwa istilah itu dianggap merupakan suatu perjanjian antara
orang-orang yang menggunakannya tentang apa yang dimaksud atau yang diartikan
dengan suatu istilah. Dalam hal suatu istilah diadakan terlebih dahulu, lalu
diperjanjikan/ditentukan pula apa yang dimaksud dengan istilah itu maka persoalannya
tidak terlalu sulit. Suatu kenyataan ialah bahwa sesuatu istilah sudah ada dan mempunyai
pengertian tertentu dalam masyarakat. Kapan telah terjadi istilah itu, tidak seorangpun
mengetahuinya dengan pasti. Kemudian kepada istilah yang sudah ada.. Perjanjikan
pengertian-pengertian yang dianggap tercakup di dalamnya. Ada istilah asing (dalam
bahasa asing) yang diambil alih, tanpa atau dengan sedikit perubahan penulisan atau
pengucapannya, yang pengertiannya dianggap sama dengan istilah-asing itu. Ada istilah
yang berasal dari istilah asing, tetapi setelah “diambil alih”, mempunyai pengertian yang
khas, seperti misalnya korup. Si, Ada pula Istilah asing yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, menggunakan istilah yang berbeda dan pada pengertiannya pun
terdapat perbedaan.
82. Pengertian dari "Een strafbaar feit" menurut sarjana- sarjana Barat
a. Perumusan SIMONS.
SIMONS merumuskan bahwa: “Een strafbaar felt” adalah suatu handeling
(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan
dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang
yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalamdua golongan
unsur yaitu: unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan,
aldbat keadaan/masalah tertentu; dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld)
dan kemampuan bertanggung jawab (toerekenings- vatbaar) dari petindak.
b. Perumusan VAN HAMEL.
VAN HAMEL merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang
dirumuskan oleh SIMONS, hanya ditambahkannya dengan kali. Mat “tindakan mana
bersifat dapat dipidana”.
c. Perumusan VOS.
Vos merumuskan: “Strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia
yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
Mengingat bahwa unsur tindak-pidana itu ada lima, sedangkan jika salah satu
unsur tidak ada atau tidak terbukti, sebenarnya dapat juga disimpulkan hal sebagai
berikut:
a. Tiada pidana, tanpa adanya subjek (petindak yang ditentukan).
b. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur objektif lainnya.
88. Orang yang mampu bertanggung jawab sebagai unsur tindak pidan
Berbicara mengenai tindak-pidana, harus ada orang sebagai subjeknya dan orang
itu melakukannya dengan kesalahan. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi
suatu tindak-pidana, berarti ada orang sebagai subjek- nya dan pada orang itu terdapat
kesalahan. Sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi
unsur-unsur c, d dan e, tanpa kesalahan, berarti tidak telah terjadi suatu tindakan yang
dapat dipidana. Demikian pula jika “tenaga alam” telah melakukan suatu “tindakan” yang
memenuhi unsur-unsur c, d dan e, maka tidak telah terjadi suatu tindak pidana, melainkan
yang terjadi adalah suatu bencana (alam) dan dapat dikatakan sebagai “peristiwa” pidana
(seandainya alam dapat dipidana).
BAB XV
SUBJEK TINDAK PIDANA
92. Manusia sebagai subjek
Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa subjek
dari sesuatu tindak-pidana bukan hanya manusia saja, tetapi Juga Dewan. Demikianlah
pada abad pertengahan (tahun 1571) pernah dipidana seekor banteng (sapi), karena
membunuh seorang wanita. Sekarang sudah tidak dianut lagi.
Pernah dikenal pula, dipertanggung-jawab-pidana nya badan hukum sebagai
subjek, tetapi atas pengaruh ajaran-ajaran VON SAVIGNY dan FEU. ERBACH, yang
kesimpulannya bahwa badan-badan hukum tidak melakukan delik (societas delinquere
non potest), maka pertanggungjawaban badan hu- kam tersebut, sudah tidak dianut lagi.
Dalam hal inl yang dipertanggungwabkan pidanakan adalah pengurusnya.
BAB XVII
JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
99. Sejarah Pembagian Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria.
Pembagian ini berhubungan erat dengan berat/ringannya ancaman, sifat, bentuk dan
perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-
ajaran umumn hukum pidana. Dengan membag sedemikian itu sering juga dihubungkan
dengan akibat-akibat hukum penting. yang dalam sejarah pembagian tindak-pidana
pernah dikenal pembagian sebagai berikut:
a. Di Jerman diperbedakan menurut berat/ringannya tindak pidana yang disebut: (1)
Freidenbruche dan (2) Rechtsbruche, Dikenal pula pembagian yang disebut:
1) Verbrechen,
2) Vergehen dan
3) Ubertretungen.
b. Code Penal mengenalkan pula pembagian dalam 3 bagian sebagai ber ikut:
1) crimen (misdaden, kejahatan),
2) elicta (wanbedrijven, perbuatan tak patut),
3) contraventions (pelanggaran),
100. Pembedaan Kejahatan Terhadap Pelanggaran
Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa
delik-hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan
dengan hukum sebelum pembuat-undang-undang menyatakan dalam undang-undang.
Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/di rasakan sebagai tindakan yang
bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.
BAB XX
NON COMPOS MENTIS
108. Jiwa yang cacad atau terganggu karena penyakit
Pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal 44, bertolak pangkal pada
anggapan bahwa setiap orang mampu bertanggung jawab, karena dianggap setiap
orang mempunyai jiwa yang sehat. Itulah sebabnya mengapa justru yang dirumuskan
dalam pasal 44 KUHP mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab.Sebaliknya
dari ketentuan tersebut dapat juga diambil suatu pengertian tentang kemampuan
bertanggungjawab yaitu dengan menggunakan penafsiran secara membalik
(redenering a contrario). Jika yang tidak mampu bertanggung jawab itu adalah
seseorang yang jiwanya cacad dalam pertumbuhannya atau terganggu karena
penyakit, maka seseorang yang mampu bertanggungjawab, adalah yang tidak
mempunyai keadaan-keadaan seperti ditentukan tersebut
BAB XXI
USIA BELUM DEWASA
BAB XXII
DAYA PAKSA
BAB XXIV
KETENTUAN UNDANG-UNDANG DAN PERINTAH JABATAN
BAB XXV
KETENTUAN-KETENTUAN PENIADAAN PIDANA LAINNYA
127. Ketentuan peniadaan pidana di luar Bab III Buku I KUHP, tetapi masih di
dalam KUHP
Tidak berlakunya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 164 dan 165
bagi diri-sendiri dari peserta permufakatan, diperkuat oleh pasal 166. Dapat
disimpulkan bahwa tindakannya yang telah melanggar ketentuan pasal 164 atau 165
itu dapat dibenarkan atau sifat melawan hukumnya ditiadakan. Bahkan
ketidakberlakunya ketentuan-ketentuan tersebut diperluas kepada subyek-subyek yang
mempunyai hubungan: keluarga tertentu, perkawinan, pembebasan sebagai saksi
karena jabatan/pencaharian. Seorang ayah tidak wajib melaporkan anaknya, seorang
istri tidak wajib melaporkan suami- nya, seorang pastor tidak wajib melaporkan
seseorang yang telah menyesali perbuatannya di gereja (biechten), kepada pegawai
kehakiman/polisi yang diketahuinya telah melakukan permufakatan jahat sebagai
ditentukan dalam pasal 164 dan 165 tersebut. Tindakannya untuk tidak melaporkan itu
dapat dibenarkan atau sifat melawan hukumnya ditiadakan.
XXVI
PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA
129. Pengurangan pidana di dalam dan diluar KUHP
Dalam KUHPM misalnya dasar-dasar khusus untuk pengurangan pidana
antara lain ialah jika insubordinasi militer dilakukan “di luar dinas”. (Pasal 110
KUHPM); peserta-peserta dari suatu keonaran militer (militer oproer) yang kembali
tertib sebelum terjadi kenyataan-kenyataan dari keonaran ter- sebut dan lain
sebagainya.
Selain dari pada yang diutarakan tersebut, dikenal beberapa keadaan. Yang
dapat dijadikan dasar untuk pengurangan pidana yang dalam banyak hal telah sering
dilakukan dalam praktek-hukum sebagai kelanjutan dari ada- nya kebebasan bagi
Hakim untuk menentukan putusannya antara ancaman pidana maksimum dan
minimum, dan yang seyogyanya dapat pula ditampung talam rangka pembentukan
hukum pidana nasional. Keadaan-keadaan itu adalah:
a.Seorang yang melakukan suatu tindak-pidana terdorong oleh alasan- alasan yang
patut dihormati/difahami menurut penilaian hakim, Misalnya seorang penjaga
keamanan kepala negara yang karena tidak cukup sabar lagi melakukan
kewajibannya sebagai mana mestinya, telah memukul seseorang/beberapa orang
yang telah bernafsu benar hendak mendekati kepala negaranya karena cinta atau
rindunya;
b. Seorang ibu yang sedang nyidam yang melakukan suatu kejahatan (tindak
pidana tertentu);
c.Seorang yang turut serta melakukan suatu permufakatan jahat yang diancam
pidana, telah melaporkan diri sebelum kejahatan tersebut terjadi. Dan jika
kejahatan tersebut dapat dicegah, maka terhadap mereka yang melaporkan diri itu
dapat ditiadakan pidana terhadapnya. (asas utilitas).
BAGIAN VI
PERCOBAAN
BAB XXVII
DASAR-DASAR PEMIDANAAN PERCOBAAN
BAB XXVIII
PERUMUSAN PERCOBAAN DALAM KUHP
136. Niat
Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan keja hatan. Hal
ini temyata dari perumusan pasal 53 KUHP. Dengan demikian percobaan untuk
melakukan kejahatan, (apabila kejahatan yang diniat itu adalah pembunuhan maka
sehubungan dengan ketentuan tadi) dapat diperinci menjadi Niar untuk dengan
sengaja merampas nyawa orang lain (pasal 338). Dari uraian singkat tersebut sudah
dapat dipastikan bahwa niat tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganti unsur
kesalahan (dolus atau culpa) dari kejahatan itu. Dengan perkataan lain unsur dengan
sengaja pada pasal 338 terbaru tidak digantikan oleh syarat niat.
138. Pelaksanaan tindakan tidak selesai karena keadaan diluar - kehendak petindak
Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi. Suai
dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur
dari kejahatan menurut rumusannya. Dengan perkataan lain niat petindak untuk
melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan de ngan tindakannya terhenti
sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat juga dikatakan, bahwa tindakan untuk
merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang-hukum-
pidana itu terhenti sebelum terjadi “kerugian” yang sesuai dengan perumusan undang-
undang. Yang dimaksud dengan keadaan diluar kehendak petindak, adalah setiap
keadaan baik badaniah (fisik) maupun rokhaniah (psychis) yang datangnya dari luar
yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempuma terselesaikan kejahatan itu.
BAB XXIX
TEORI-TEORI MENGENAI PERCOBAAN
BAB XXX
BENTUK DAN POKOK PERSOALAN PADA PENYERTAAN
145. Bentuk-bentuk penyertaan
Jelas bahwa makna dari istilah ini ialah bahwa ada dua orang atau lebih yang
melakukan suatu tindak pidana atau dengan lain perkataan ada dua orang atau lebih
mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Menjadi persoalan,
berapa besar bagian seseorang untuk melakukan tindak pidana itu, atau sejak kapan
dan sejauh mana pengertian yang terkandung dalam is tilah mengambil bagian itu.
BAB XXXI
PENYERTAAN DALAM ARTI SEMPIT
Pasal 55:
1) Dipidana sebagai petindak-petindak (daders) dari suatu tindak pidana:
Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut
serta melakukan suatu tindak pidana; ke-2 mereka yang dengan suatu pemberian,
suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman
atau penyesatan atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan,
Sengaja menggerakkan orag lain untuk melakukan suatu tindakan.
2) Terhadap penggerak tersebut hanya tindakan yang dengan sengaja digerakkannya
beserta akibat-akibatnya saja yang diperhitungkan.
154. Mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya
upaya tertentu (uitlokking)
Bentuk penyertaan penggerakan mirip dengan bentuk penyertaan menyuruh
melakukan. Perbedaannya ialah, bahwa pada bentuk penyertaan menyuruh melakukan
terdapat syarat-syarat:
a. Peserta yang disuruh (manus ministra) adalah peserta yang tidak dapat dipidana;
b. Bahwa daya-upaya pada penyuruh (manus domina), tidak dirumuskan secara limitatif.
Sedangkan syarat-syarat pada penyertaan penggerakan adalah:
a. Yang digerakkan (materiele/fisike dader) dapat dipidana karena melakukan suatu
tindak pidana seperti halnya penggerak (auctor intellectualis) dapat dipidana karena
menggerakkan;
b. Daya-upaya yang digunakan penggerak dirumuskan secara limitatif.
BAB XXXII
BENTUK-BENTUK YANG MIRIP PENYERTAAN
BAB XXXIII
PEMBANTUAN
BAB XXXIV
MASALAH PRIBADI DAN PENGURUS
BAB XXXV
TINDAK PIDANA PERS
BAGIAN VIII
PERBARENGAN(samenloop/concursus)
BAB XXXVI
PENGERTIAN DAN BENTUK-BENTUK
(1) Jika suatu tindakan masuk dalam lebih dari satu ketentuan pl dana, maka yang
dikenakan hanya salah satu dari ketentuan- ketentuan itu; jika berbeda maka yang
diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu tindakan masuk dalam suatu ketentuan pidana umum, te tapi termasuk
juga dalam ketentuan pidana khusus, maka hanya yang khusus itu yang
diterapkan.
(2) Pidana denda dalam hal ini dihitung sesuai dengan maksimum pidana kurungan
pengganti yang ditentukan untuk tindakan tersebut.
Pasal 70:
(1) Jika ada perbarengan seperti tersebut pasal 65 dan 66, baik perbarengan
pelanggaran dengan kejahatan ataupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka
untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan masing-masing pidana tanpa dikurangi.
(2) Maksimum lamanya pidana kurungan dan kurungan pengganti untuk
pelanggaran adalah satu tahun empat bulan, sedangkan maksimum pidana
kurungan pengganti adalah delapan bulan.
BAB XXXVIII
RESIDIV atau PENGULANGAN
BAGIAN IX
PENGADUAN
BAB XXXIX
TINDAK PIDANA ADUAN
BAGIAN X
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN DAN HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA
BAB XLII
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN PADA UMUMNYA
BAB XLIII
DALUWARSA HAK PENUNTUTAN.
208. Ratio pendaluwarsaan hak penuntutan
Apabila diperhatikan tenggang daluwarsa yang ditentukan dalam pasal 78, kiranya
penentuan lamanya tenggang waktu itu erat hubungannya antara tingkat atau
berat/ringannya tindak pidana dengan ingatan manusia (masyarakat) mengenai
kejadian tersebut dalam hubungannya dengan perasaan keadilan masyarakat tersebut.
Artinya apabila seseorang itu menyingkir sekian lamanya dari masyarakat (termasuk
pejabat-pejabat penyidik/penuntut), maka dapat “disimpulkan” bahwa masyarakat
tersebut sudah akan memaafkan kejadian tersebut seandainya tersangka itu kembali
dalam masyarakat yang bersangkutan. Selain daripada itu dapat dimengerti bahwa
menjadi buronan selama tenggang waktu tersebut, sudah merupakan hukuman
tersendiri bagi tersangka yang bersangkutan. Dari sudut kepastian hukum, sudah
sewajamya apabila dalam waktu tertentu harus dihentikan suatu usaha
pengejaran/penuntutan. Dan yang tidak kurang pentingnya ialah bahwa usaha
penyidikan yang berlarut-larut, tidaklah akan mendidik masyarakat untuk
menunjukkan respeknya kepada hukum.
BAB XLIV
HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA.
BAGIAN XI
PIDANA
BAB XLV
STELSEL PEMIDANAAN
BAGIAN XII
BEBERAPA PENGERTIAN DAN KETENTUAN PENUTUP
BAB XLIX
PENGERTIAN-PENGERTIAN OTENTIK DALAM KUHP
236. Cakupan pengertian
Telah diutarakan juga bahwa suatu per-Undang-undangan, adalah suatu penegasan
dari sesuatu yang dipandang sebagai hukum yang berlaku, Karenanya pembuatan per-
Undang-undangan adalah juga persoalan tekhnis perumusan kata-kata yang harus
dapat dirasakan sebagai perwujudan tertulis dari hukum dan kewajaran. Ketika
membuat perumusan inilah sering terjadi keterbenturan-keterbenturan, apabila
dikehendaki harus mencakup seluruh kebutuhan yang hendak dituangkan dalam
perumusan tersebut. Dalam prakteknya, ternyata sudah dapat dipandang baik, apabila
ketentuan tertulis (perumusan) itu dapat diterapkan dalam pengertian yang abstrak,
karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk merumuskannya secara konkrit.
Namun harus diusahakan sejauh mungkin agar sesuatu yang dirasakan sebagai tindak
pidana, dalam keadaan yang bagaimanapun, harus tercakup dalam perumusan
tersebut. Hal ini terutama karena pada umumnya hakim mengucapkan ke adilan
berdasarkan Undang-undang tersebut.
Ternyata pasal ini mendiamkan Bab IX dari Buku Kesatu. Timbul persoalan, bagaimana
nasib Bab ini dalam hubungannya dengan perundangan hukum pidana di luar KUHP?
Apabila perundangan lainnya itu secara tegas menyatakan berlakunya Bab IX Buku I KUHP
(kecuali ada beberapa penyimpangan) terhadap perundangan lainnya itu seperti temyata
dalam KUHPM, maka tidak ada persoalan. Akan tetapi, jika perundangan lainnya itu juga
mendiamkannya, maka penerapan Bab IX ini dapat dilakukan dengan melalui interpretasi
menurut doktrin, apabila penafsiran itu tidak dapat diterapkan mendasarkan suatu
jurisprudensi. Biasanya dalam praktek hukum ketentuan-ketentuan dalam Bab IX itu juga
dianut dalam penerapan perundangan pidana lainnya, kecuali jika ternyata disimpangi oleh
undang-undang. Selain daripada itu, secara argentum a contrario masih juga dapat ditegaskan,
bahwa pasal 103 KUHP tidak melarang, penerapan Bab IX/Baku I kepada perundangan
pidana lainnya itu. Karenanya dapat disimpulkan, sesuatu yang tidak dilarang dapat saja
dilakukan.