Anda di halaman 1dari 99

RESUME BUKU

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA DI INDONESIA DAN PENERAPANNYA

UNIVERSITAS PANCA BHAKTI PONTIANAK

Disusun Oleh:

Ridho Kurnia Putra

2210118110

Kelas Malam A
BAB l
PENGERTIAN HUKUM PIDANA

1. Arti dan Pembagian Hukum


Tergantung dari sudut penglihatan tertentu, pembagian dapat diadakan dengan
mempelajari atau mengamati syarat, hakekat dan tujuannya, cita-cita manusia,
kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai insan bermasyarakat yang
perlu dilindungi, hak-hak berimbal kewajiban yang timbul dari padanya dan cara
pelaksanaannya.

2. Arti dan Pembagian Hukum Pidana


Kata pidana adalah istilah bagi kata-kata seperti derita, nestapa, pendidikan,
penyeimbangan dan lain sebagainya. Dalam hal ini, hukuman pidana berarti hukuman
sebagai akibat dari dilanggarnya suatu norma hukum pidana dan seterusnya. Satauchid
Kartanegara merumuskan bahwa hukum pidana adalah sejumlah peraturan-peraturan
yang merupakan bahagian dati hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang
untuk menentukan peraturan-peraturan pidana yang disertai ancaman pidana, dan apabila
hal ini dilanggar timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan, menjalankan
pidana dan melaksanakan pidana.

3. Sifat Hukum Pidana


Dewasa ini pada umumnya dikatakan bahwa hukum pidana bersifat hukum
publik. Artinya pada hukum pidana juga terdapat ciri-ciri yang terdapat pada hukum
publik. Adapun ciri-ciri hukum publik, dalam hubungannya dengan hukum pidana yaitu
a. mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang
perseorangan; b. kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan;
c. penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang) tidak
tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya, negara atau
penguasa wajib menuntut seseorang tersebut.

4. Norma dan Sanksi


Ketentuan-ketentuan atau pengaturan disebut sebagai norma atau kaidah. Sedikit
atau banyak, norma mempunyai sifat memaksa, tergantung pada kesadaran dan keinginan
bersama yang tidak terlepas dari bentuk dan susunan masyarakat yang bersangkutan
(keluarga, famili, serikat kerja, gereja, agama, partai, bangsa dan lain sebagainya).

BAB ll
ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

5. Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana


Tugas utama dari ilmu pengetahuan hukum pidana (iphp) adalah untuk
mempelajari dan menjelaskan (interpretasi) hukum (tindak) pidana yang berlaku pada
suatu waktu dan negara (tempat) tertentu. Ia mempelajari norma-norma dalam
hubungannya dengan pemidanaan (konstruksi), dan kemudian menerapkan hukum pidana
yang berlaku secara teratur dan berurutan (sistematika).

6. Hubungan Kriminologi dengan IPHP


Pada dasarnya objek dari iphp adalah hukum (ketentuan-ketentuan, peraturan-
peraturan) mengenai kejahatan dan pidana, dan objek Kriminologi adalah orang yang
melakukan kejahatan itu sendiri sebagai gejala dalam masyarakat (bukan sebagai norma
hukum positif semata-mata). Tugas iphp adalah untuk menjelaskan (interpretasi) hukum
pidana, mengkaji norma hukum pidana (konstruksi) dan penerapan ketentuan yang
berlaku terhadap suatu tindak pidana yang terjadi (sistematika), sedangkan tugas
kriminologi ialah untuk mencari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan serta
menemukan cara-cara pemberantasannya. Tujuan iphp adalah untuk memahami
pengertian yang objektif dari peraturan hukum pidana yang berlaku, sedangkan tujuan
dari kriminologi adalah untuk mengamankan masyarakat dari penjahat.

7. Kriminologi
Kriminologi (sebagai ilmu pengetahuan) mempelajari sebab- sebab timbulnya
suatu kejahatan dan keadaan-keadaan yang pada umumnya turut mempengaruhinya, serta
mempelajari cara-cara memberantas kejahatan tersebut. Batasan pertama berbeda dengan
iphp yang mengartikan kejahatan sebagaimana ia dirumuskan dalam hukum pidana
positif, kriminologi merumuskan kejahatan sebagai setiap tingkah laku yang merusak dan
tidak susila (dalam arti luas), yang menimbulkan ketidaktentraman dan keresahan dalam
suatu masyarakat tertentu, karena mana masyarakat tersebut tidak menyenangi tingkah
laku tersebut.
BAB lll
SEJARAH HUKUM PIDANA

8. Perkembangan Hukum Pidana ke Arah Bersifat Hukum Publik


Hukum pidana yang bersifat hukum publik yang kita kenal sekarang, telah melalui
suatu perkembangan yang lama dan lamban. Dalam pra sejarah perkembangan hukum
pidana, suatu tindakan/perbuatan hanya dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau
merugi- kan kepentingan orang lain, yang kemudian disusuli dengan pembalasan.
Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan kewajiban dari seseorang yang
dirugikan atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh
keluarga, famili dan bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari masyarakat.

9. Hukum Pidana di Negara Barat


Hukum pidana tertua sekitar abad ke-V yang dikenal di negara-negara Barat
adalah hukum pidana Jerman yang dinamakan LEGES BARBARORUM yang terutama
terdiri dari Lex Salica, Lex Frisionum dan Lex Saxonum. Kemudian Undang-undang dari
Raja-raja Perancis yang dinamakan CAPITULARIA. Hukum-hukum inilah juga yang
ditiru oleh negeri Belanda pada zaman itu.
Pada abad pertengahan, Hukum CANNONIK (Corpus iuris CANNONICI) yang
dibuat sekitar tahun 1140, yaitu hukum gereja, banyak mempengaruhi hukum pidana.
Sejak resepsi dari Hukum ROMAWI sampai waktu revolusi Perancis meletus,
pelaksanaan penghukuman sangat kasar dan kejam. Dasar dari penghukuman pada waktu
itu adalah perbuatan pembalasan yang dilakukan oleh Penguasa demi nama Tuhan.
Tujuan satu-satunya adalah untuk menakut-nakuti (afschrikking)Hukum pidana pada
ketika itu belum merupakan suatu ketentuan yang dipegang dan dipedomani.
10. Hukum Pidana di Indonesia Sebelum Proklamasi 17-8-1945
Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di Indonesia, hukum
yang berlaku di daerah-daerah Indonesia pada umum- nya adalah hukum yang tidak
tertulis yang disebut hukum adat. Dalam sistim hukum adat tidak dikenal pemisahan
hukum pidana dan hukum privaat. Di berbagai daerah hukum adat tersebut dipengaruhi
oleh agama Islam (Aceh, Palembang, Ujung pandang) dan agama Hindu. Tetapi pada
sebagian besar daerah-daerah Indonesia masih bersifat asli.
Kedatangan pedagang-pedagang Belanda (VOC) di Indonesia membawa suasana
"penjajahan". Untuk kepentingan-kepentingan perdagangan mereka, berdasarkan oktrooi
Staten Generaal di negeri Belanda, VOC telah melaksanakan berlakunya peraturan-
peraturannya sendiri di Indonesia. Semula peraturan-peraturan tersebut berbentuk
Plakaat-plakant. Kemudian plakat-plakat itu dihimpun dan diumumkan dengan nama
STATUTEN VAN BATAVIA (Statuta Betawi) pada tahun 1642, tetapi belum
merupakan kodifikasi. Kemudian pada tahun 1848 diadakan INTERIMAIRE
STRAFBEPALINGEN. Di samping kedua peraturan tersebut berlaku juga Oud Hollands
Recht dan Romeins recht (hukum Belanda kuno dan hukum Romawi).
11. Zaman Indonesia Merdeka
Sejak tanggal 29-9-1958, undang-undang no. 1 Tahun 1946 berlaku di seluruh
wilayah Indonesia. Ini berarti bahwa semua peraturan-peraturan Hukum Pidana sebagai
berikut tidak berlaku lagi, yaitu:
1) Peraturan-peraturan hukum pidana yang dibuat pemerintah pendudukan Jepang;
2) Peraturan-peraturan hukum pidana yang dibuat Penguasa militer Belanda;
3) Dan peraturan-peraturan hukum pidana lainnya yang tidak dibuat oleh Pemerintah RI,
menurut makna dari Undang-undang no. 1 Tahun 1946, kecuali ditentukan lain karena
sesuatu pertimbangan.

12. Hukum Pidana di Indonesia Sekarang dan Sistematikanya


Hukum pidana yang berlaku sekarang terdiri atas KUHP, KUHPM, Perundang-
undangan hukum pidana lainnya antara lain mengenai Tindak Pidana ekonomi (undang-
undang no. 7 Drt Tahun 1955), tindak pidana subversi (Undang-undang no. 11 Pnps
Tahun 1963) tindak pidana korupsi (undang-undang no. 3 Tahun 1971), pelanggaran lalu
lintas dan angkutan jalan raya (undang-undang no. 3 Tahun 1965); tentang perbankan
(undang-undang no. 14 Tahun 1967) dan lain sebagainya, serta HIR dan beberapa pasal
tertentu dari Strafvordering, Undang-undang no. 1 Drt Tahun 1951, yang sejak tanggal 31
Desember 1981 telah diganti dengan KUHAP (Undang-undang no. 8 Tahun 1981);
Undang-undang pokok kepolisian, undang-undang pokok kejaksaan dan kejaksaan tinggi
sepanjang tidak bertentangan dengan KUHAP; undang-undang hukum acara pidana
militer (undang-undang no. 1 Drt Tahun 1958), Undang-undang pokok kekuasaan
kehakiman dan lain sebagainya.
BAB IV
TUJUAN HUKUM PIDANA DAN DASAR HUKUM PEMIDANAAN
13. Tujuan Hukum Pidana
Kini sesudah Indonesia merdeka, sudah selayaknya dan seharusnya hukum pidana
Indonesia (bukan hukum pidana di Indonesia) disusun dan dirumuskan sedemikian rupa,
agar semua kepentingan Negara, masyarakat dan individu warga negara dan atau
penduduk Indonesia diayomi dalam keseimbangan yang serasi berdasarkan
PANCASILA. Dengan demikian tujuan hukum pidana Indonesia adalah Pengayoman
semua kepentingan secara berimbang serasi.

14. Dasar Pemidanaan


Sehubungan dengan itu dipersoalkan apa dasar hak penguasa untuk menjatuhkan
sesuatu pidana? Jelas, yang menjadi persoalan adalah dasar pembenaran dari adanya hak
penguasa untuk menjatuhkan pidana. Dasar-dasar tersebut dapat ditemukan melalui
beberapa tolak-pangkal pemikiran seperti: bertolak-pangkal kc- Ketuhanan (theologis),
bertolak-pangkal kepada falsafah (wijsbegeerte) atau bertolak-pangkal kepada
perlindungan hukum (juridis).

15. Alasan dan Maksud Pemidanaan


Alasan pemidanaan dapat digolong-golongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu
sebagai termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian
ditambah dengan golongan teori gabungan. Teori pembalasan membenarkan pemidanaan
karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana
mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Teori-teori yang termasuk
golongan teori Tujuan membenarkan (rechtsvaardigen) pemidanaan berdasarkan atau
tergantung kepada Tujuan pemidanaan, yaitu: untuk perlindungan masyarakat atau
pencegahan terjadinya kejahatan (ne peccetur). Perbedaan dari beberapa teori yang
termasuk teori-tujuan, terletak pada caranya untuk mencapai tujuan dan penilaian
terhadap kegunaan pidana. Kemudian timbul golongan ketiga yang mendasarkan
pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut
sebagai teori gabungan.

BAB V
PENAFSIRAN
16. Perumusan Undang-Undang Harus Sederhana Tetapi Jelas
Merumuskan bunyi Undang-undang adalah suatu pekerjaan yang berat dan sulit.
Yang harus dirumuskan bukan sesuatu kejadian yang konkrit, melainkan sedapat
mungkin perumusan itu harus sedemikian rupa sehingga meliputi segalanya dan dalam
segala keadaan, agar tiada suatu perbuatan atau kesempatan yang tersisa untuk dapat
lolos, bagaimanapun telitinya mencari kelemahan perumusan peraturan tersebut. Namun
perumusan tersebut harus sederhana akan tetapi jelas dan terang.
Seperti diketahui, hakim pada khususnya, penegak hukum pada umumnya terikat
pada ketentuan perundang-undangan. Hakim mengucapkan ke- adilan melalui putusannya
harus berdasarkan perundang-undangan dan keyakinannya sendiri. Namun di samping
hakim harus memutus suatu perkara, walaupun "Undang-undangnya kurang jelas" atau
mungkin harus memper- timbangkan hukum yang berlaku dalam masyarakat (hukum
adat), ada kalanya diperlukan untuk memberikan penafsiran (interpretasi) kepada istilah-
istilah tertentu dalam perundang-undangan. Selanjutnya bukan hanya penegak hukum dan
keadilan saja yang berkepentingan mengenai perumusan perundang-undangan, melainkan
setiap rakyat yang mencari keadilan. Selain daripada itu sangat penting untuk kepastian
hukum.

17. Penafsiran Istilah-istilah


Urutan-urutan menggunakan penafsiran adalah:
1) Penafsiran secara otentik, yaitu mencari pada pasal-pasal undang- undang;
2) penafsiran menurut penjelasan undang-undang (Memorie van toelichting);
3) penafsiran sesuai dengan jurisprudensi, yaitu terutama mencari dalam Putusan-
putusan Kasasi Mahkamah Agung (M.A.), Fatwa M.A., Surat edaran M.A., Putusan-
putusan Banding atau Putusan- putusan pengadilan/ Mahkamah pada tingkat pertama
yang telah mempunyai kekuatan yang tetap dan sudah lazim diikuti oleh peradilan
lainnya;
4) penafsiran menurut doktrin (iphp).

BAGIAN II
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

BAB VI
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
18. Asas-asas yang Terkandung dalam Pasal 1 KUHP
Asas-asas hukum pidana yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 adalah:
1) Bahwa hukum pidana bersumber atau berdasarkan peraturan-peraturan tertulis
(undang-undang dalam arti luas). Dengan perkataan lain ketentuan pidana sudah ada
terlebih dahulu (dari pada tindakan tertentu) dalam peraturan tertulis.
2) Ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Asas kedua ini adalah merupakan makna
atau amanat dari ketentuan "terlebih dahulu".
3) Dilarang menggunakan analogi, dalam penerapan hukum pidana. Asas ini adalah
merupakan makna dari "peraturan tertulis".

19. Asas-asas yang Terkandung Pasal 1 KUHP, Bukan Merupakan Asas Konstitusi
untuk dapat mempelajari sampai seberapa jauh batas atau kemutlakannya.
Sekiranya asas-asas tersebut merupakan asas konstitusi/undang-undang Dasar, maka
penyimpangan atau perkecualian terhadapnya menurut sistim perundang-undangan
(pembuatan atau perubahan undang-undang), hanya dibenarkan atas dasar ketentuan yang
diatur secara tegas dalam Undang- undang Dasar tentang kemungkinan pengecualiannya.
Jika ketentuan itu tidak ada, maka pembuat Undang-undang Dasar yang berwenang untuk
mengatur perkecualiannya. Sekiranya asas-asas tersebut merupakan asas undang- undang
(hukum pada umumnya atau hukum pidana pada khususnya), maka pembuat undang-
undang yang bersangkutan yang berwenang membuat ketentuan yang dapat menyimpang
dari padanya. Wewenang tersebut tidak boleh dilakukan oleh pembuat perundang-
undangan yang lebih rendah derajatnya.

20. Sejarah Ringkas dari Asas Legalitas


Ajaran yang paling banyak berpengaruh kepada rumusan undang undang hukum
pidana adalah ajaran sarjana ANSELM VON FEUERBACH pada abad ke-19 dalam
bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801) yang dalam bahasa Latin
dirumuskan dengan: "NULLUM DELICTUM NULLA POENA SINE PRAEVIA LEGE
POENALI", yang artinya tidak ada (nullum) delik, tiada pidana (poena) tanpa (sine)
terlebih dahulu diadakan (praevia) ketentuan (lege poenali)Ajaran Feuerbach ini
dikemukakannya sehubungan dengan pembatasan keinginan manusia untuk melakukan
suatu kejahatan yang terkenal dengan teori "Psychologische Zwang".
Salah satu penyebab dari revolusi Perancis adalah adanya hasrat masyarakat untuk
mendapatkan kepastian hukum. Rakyat tertindas menghendaki adanya kepastian hukum.
Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam Konstitusi Perancis.
Kemudian dicantumkan pula dalam Code Penal-nya. Negeri Belanda yang pernah
mengalami penjajahan Perancis telah juga mencantumkan asas tersebut dalam Wetboek
van Strafrechtnya melalui Code Penal yang dibawa oleh Perancis. Pada tahun 1915
(mulai berlaku tahun 1918) asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP untuk
Indonesia yang merupakan jajahan Belanda pada ketika itu. Akhirnya ketentuan tersebut
berlaku pula setelah Indonesia merdeka.

21. Asas Legalitas


Asas pertama dari pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi "Hukum p dana" harus
bersumber pada undang-undang." disebut juga sebagai asa legalitas. Artinya pemidanaan
harus berdasarkan undang-undang (lege) Yang dimaksud dengan undang-undang disini
adalah dalam pengertian luas, yaitu bukan saja yang secara tertulis telah dituangkan
dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dengan DPR, akan tetapi juga
produk perundang-undangan lainnya seperti Peraturan pemerintah pengganti undang-
undang. Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan peraturan pelaksanaan
lainnya seperti peraturan/instruksi Menteri, Gubernur/Kepala Daerah dan lain sebagainya.
Karena penguasa dalam melaksanakan tugasnya (dalam hal ini peradilan) terikat kepada
ketentuan perundang undangan, maka akan terhindar kesewenang-wenangan atau
penilaian pribadi seenaknya. Hal ini berarti akan terdapat kepastian hukum bagi setiap
pencari keadilan (yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut.

22. Asas Tidak Berlaku Surut


Asas kedua adalah "Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku
surut." Padà uraian no. 19 telah diutarakan bahwa asas ini adalah merupakan asas undang-
undang hukum pada umumnya dan juga merupakan asas hukum pidana sebagaimana
tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Pasal 2 AB tidak menentukan pengecualian
terhadap asas ini. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum bagi seluruh
justisiabel.

23. Asas Larangan Penggunaan Analogi


Jika diperhatikan benar-benar, analogi adalah merupakan penyelundupan terhadap
asas kedua melalui asas pertama pasal 1 ayat 1 KUHP. Artinya "sesuatu hal" dianggap
termasuk dalam pengertian peraturan hukum (undang-undang) yang sudah ada. Dengan
demikian sesuatu hal itu dianggap sebagai merupakan peraturan hukum, yang mulai
berlaku sejak berlakunya peraturan hukum, yang diboncenginya. Anggapan ini adalah
suatu konstruksi hukum, yang dikehendaki oleh mereka yang memegang teguh asas
legalitas, untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan baru.

24. Pengecualian Terhadap Asas Tidak Berlaku Surut (Pasal 1 Ayat 2 KUHP)
Alam pikiran pembuat undang-undang yang sesuai dengan zamannya, semakin
jelas terlihat dalam ayat ini, yaitu menggantungkan keberlakuannya salah satu undang-
undang kepada kepentingan tersangka. Tidak disinggung disini kepentingan terpidana
(pelaku - peserta dari tersangka yang belum diadili karena berhalangan)Juga dalam
rangka penerapan pasal 1 ayat kedua ini, tidak disinggung mengenai kepentingan umum
atau negara. Pada hal jika kepentingan negara atau masyarakat terancam atau dalam
keadaan bahaya, maka kepentingan itu selayaknya didahulukan dari pada kepentingan
perseorangan.

25. Perubahan Perundang-undangan dan Hubungannya dengan Hukum Adat dan


Kebiasaan
Penggunaan istilah perubahan mencakup pengertian sebagai perubahan
sebahagian atau keseluruhannya termasuk penghapusan suatu perundang- undangan. Apa
yang dimaksudkan dengan perundang-undangan di sini, terdapat dua pendapat. Pendapat
pertama menafsirkannya secara sempit, yaitu dengan menggunakan cara penafsiran
sistematis, istilah perundang-undangan dalam ayat ke-dua ini dihubungkan dengan istilah
undang-undang atau perundangan dalam ayat pertama pasal 1 KUHP. Sehingga
perundang-undangan disama artikan dengan undang-undang/perundangan di bidang
hukum pidana saja. Perubahan dalam hukum perdata atau hukum administrasi, tidak
dapat (dianggap) merubah ketentuan pidana. Pendapat kedua menafsirkan istilah
perundang-undangan secara luas. POMPE antara lain mengatakan bahwa istilah
perundang-undangan tidak harus diartikan sebagai perundang-undangan pidana.
Sekiranya demikian tentunya pembuat undang-undang akan menggunakan istilah
perundang-undangan pidana untuk istilah perundang-undangan. Hukum pidana adat dan
kebiasaan-kebiasaan walaupun hanya berlaku setempat, tidak kurang nilainya untuk
dipertimbangkan sebagai hal-hal/fakta yang turut mempengaruhi pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusannya.

26. Temporaire Ordonantie


Para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa suatu peraturan "baru yang
bersifat sementara" (temporer), tidak termasuk dalam pengertian perubahan perundang-
undangan, yang dengan demikian jika berlakunya peraturan yang bersifat sementara itu
dihentikan, juga tidak telah terjadi perubahan perundang-undangan, yang lantas dapat
memakai peraturan yang lebih menguntungkan bagi tersangka. Demikianlah misalnya,
jika kelompok-kelompok rakyat dibenarkan menurut suatu peraturan-darurat
mempersenjatai diri dalam rangka pertahanan negara terhadap serangan musuh yang
sudah menguasai beberapa bagian negara, tidak harus diartikan telah terjadi peniadaan
pidana, bagi mereka yang menyimpan senjata sebelum ada peraturan-darurat tersebut.
Begitu pula jika keadaan bahaya/perang dihapuskan, maka mereka yang ditahan atau akan
diadili karena pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang diadakan pada waktu dan
berlaku dalam keadaan bahaya/perang tersebut, tidak lantas dikeluarkan begitu saja, atas
dasar keadaan bahaya/perang sudah dihapuskan, maka peraturan-peraturannya pun sudah
"dicabut", yang berarti ketentuan yang menguntungkan bagi tersangka.

27. Ketentuan yang Paling Menguntungkan Bagi Tersangka


Jika perubahan ketentuan itu mengenal pengurangan atau penurunan nis bahkan
penghapusan pidana, mudah dipahami bahwa yang lebih menguntungkan ditinjau dari
sudut tersangka, adalah ketentuan-ketentuan mengenai pengurangan tersebut. Tetapi
ketentuan-ketentuan yang dapat diubah, bukan hanya pidananya saja, melainkan dapat
juga mengenai normanya, bah- an norma dari undang-undang hukum lainnya yang ada
hubungannya dengan undang-undang hukum pidana. Selain daripada itu, yang diubah itu
dapat juga berupa suatu ketentuan umum seperti ketentuan-ketentuan mengenai
berlakunya hukum pidana menurut tempat atau waktu, percobaan, penyertaan, gabungan
(samenloop), cara penuntutan, kadaluarsa, interpretasi otentik atau gabungan dari
ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam hal perubahan tersebut berupa gabungan, tidak
selalu mudah untuk menentukan yang lebih menguntungkan tersangka.

28. Mutlak / Tidaknya Penerapan Asas-asas Pasal 1 KUHP


Dalam rangka penerapan "ketidak mutlakan" itu sudah seyogyanya apabila hal itu
hanya diterapkan dalam hal-hal yang sangat perlu saja, agar jangan sampai tujuan dari
asas-asas pasal 1 KUHP yaitu untuk menciptakan suasana "kepastian hukum dalam
masyarakat" tidak menjadi goyah. Dengan perkataan lain legalitas dalam rangka
penerapan hukum pidana masih tetap merupakan titik berat, akan tetapi demi penegakan
rasa keadilan terutama dalam hubungannya dengan hukum adat (yang tidak tertulis) yang
masih hidup dan berakar dalam masyarakat tertentu/setempat, dalam hal-hal yang perlu,
dimungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan.

29. Asas Legalitas di Negara Lain Sebagai Perbandingan


Pada tahun 1935 di Jerman ditentukan secara tegas bahwa analogi diperbolehkan
dalam hukum pidananya. Demikian juga di Rusia dalam bagian 3,pal 3 dart the Basic
Principles of Criminal Legislation tahun 1924 ditentukan antara lain: "... that in the event
of socially dangerous act not being directly provided for in criminal legislation, the court
could decide the basis for and limits of responsibility as well as the penalty for it by
analogy.....) Asas-asas tersebut sekarang sudah tidak dianut lagi dalam hukum pidana
Rusia yang baru, akan tetapi pada pasal 7 dari Fundamentals of Criminal Legislation for
USSR. and the Union Republics yang berjudul The Consept of Crime, tegas dinyatakan
bagaimana mereka mengutamakan sistim kenegaraan/kemasyarakatannya yang harus
dijamin juga dalam undang-undang hukum pidananya. Walaupun pengarang pengarang
Rusia menuliskan bahwa atas "pembolehan menggunakan analog" adalah warisan dari
pra-revolusi hukum Rusia (peas-revolutionary Russian Law), tetapi ketika revolusi
mereka, tidak kurang banyaknya mereka melakukan "pemidanaan-pemidanaan" yang
diilhami asas tersebut dalam rangka peng-komu- nan Rusia, seperti pengasingan atau
pembuangan ke Siberia, pada hal belum secara tegas telah terbukti sesuatu kejahatan.

BAB VII
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN TEMPAT DAN
ORANG
30. Uraian Umum untuk Pasal 2 Sampai dengan 8 KUHP
Prof MOELJATNO, pada Seminar Hukum Nasional tahun 1963, sejalan dengan
pendapat POMPE, mengatakan bahwa asas-asas yang terdapat pada pasal 2 sampai
dengan 8 KUHP, dianggap sebagai batas perlintasan antara hukum pidana dan hukum
acara pidana. Tetapi dalam uraian ini, yang diutamakan adalah sudut hukum pidananya.
Dalam hal ini "berlakunya hukum pidana", atau "batas-batas berlakunya hukum pidana
dalam undang- undang". Jika pada pasal 1 KUHP berlakunya dihubungkan dengan waktu,
maka pasal 2 sampai dengan 8 KUHP, dihubungkan dengan tempat dan orang/pelakunya.
Dengan perkataan lain di mana dan kepada siapakah undang-undang hukum pidana
Indonesia berlaku. Atau jika telah terjadi suatu tindak pidana di suatu tempat, berlakukah
undang-undang hukum pidana Indonesia kepada pelaku tersebut? Pertanyaan ini dijawab
oleh pasal 2 sam- pai dengan 8 KUHP.

31. Asas Territorialitas


Yang terpokok dalam asas teritorialitas adalah tentang wilayah atau territoire
dalam hubungannya dengan berlakunya undang-undang hukum pidana. Dengan perkataan
lain yang diutamakan ialah batas-batas territoire di mana undang-undang hukum pidana
tersebut berlaku. Tetapi bilamana dihubungkan dengan petindaknya, dalam hal ini yang
menjadi permasalahan adalah batas-batas wilayah tempat petindak melakukan
tindakannya, atau batas-batas wilayah dimana tindak pidana terjadi. Pasal 2 KUHP
berbunyi: "Ketentuan pidana dalam undang- undang Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Indonesia".

32. Asas Personalitas


Yang terpokok dalam asas Personalitas adalah orang, person. Dalam hal ini
berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan di mana
orang itu berada, yaitu di dalam ataupun di luar wilayah Negara Indonesia.
Pada dasarnya orang yang dikaitkan itu adalah warga negara dari negara yang
bersangkutan, dalam hal ini warga negara Indonesia. Jika asas personalitas dianut secara
murni di Indonesia, akan berarti bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap
warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Sudah tentu hal seperti ini akan melanggar
kedaulatan negara asing.

33. Asas Perlindungan (Asas Nasional Passif)


Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan ialah bahwa setiap negara yang
berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Dalam
hal ini bukan kepentingan perseorangan yang diutamakan, tetapi kepentingan bersama
(kolektif). Jika ciri pokok asas personalitas adalah subjeknya, yaitu warga negara
Indonesia (pada umumnya) dan tidak tergantung pada tempat (di dalam maupun di luar
Indonesia, dalam hal ini yang diutamakan adalah di luar Indonesia), maka ciri utama dari
asas perlindungan adalah subjeknya berupa setiap orang (tidak terbatas pada warganegara
saja). Selain tindak pidana itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-
tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia yang
karenanya harus dilindungi.

34. Asas Universalitas


Semula tiada dirasakan akan adanya keperluannya untuk mengadili seseorang
petindak (penjahat) yang bukan warganegara dan bukan penduduk dari suatu negara,
kendati ia berada di negara itu, jika kejahatan tersebut tidak merugikan kepentingan
perseorangan atau hukum dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi, sesuai dengan
perkembangan teknologi yang membuat jarak-jarak semakin dekat, saling ketergantungan
antara suatu negara dengan negara lain, maka beberapa kepentingan tertentu sangat
dirasakan oleh (pemerintah) negara-negara sebagai kepentingan bersama yang harus
ditanggulangi secara bersama pula. Untuk melindungi beberapa kepentingan tertentu
tersebut, seakan-akan tidak ada lagi batas teritorial, personal atau kepentingan sendiri,
untuk mana pemerintah negara-negara mengadakan perjanjian-perjanjian.
Diperjanjikanlah untuk dapat "menggarap" suatu kejahatan tertentu, walaupun kejal.atan
itu relatif tidak merugikan negara yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya tidak
ditujukan kepada negara atau warga dari negara yang bersangkutan, serta kejahatan
tersebut tidak telah terjadi di negara tersebut.
35. Tempat dan Waktu Tindak Pidana
Cara tegas mengenai tempat-kejadian suatu tindak pidana dan waktu terjadinya
namun tempat dan waktu tersebut sangat penting. Semakin penting lagi karena pasal 121
jo 143 KUHAP menekankan harus menyebut tempat dan waktu dalam surat-dakwaan
dengan ancaman batal demi hukum. Jadi bukan hanya pengamatan tentang telah
terjadinya sesuatu tindak pidana saja yang harus diperhatikan, tetapi juga tentang tempat
dan waktu. Kepentingan atau manfaat untuk mengetahui tempat tindak pidana adalah
untuk dapat menjawab pertanyaan: Apakah sesuatu tindak pidana terjadi di wilayah
Indonesia atau di luar Indonesia (pasal 2 s/d 8 KUHP), dan pengadilan manakah yang
kompeten untuk mengadili sesuatu perkara. Selanjutnya persoalan tempat tindak pidana
penting juga sehubungan dengan perumusan KUHP seperti antara lain: di muka umum
(pasal 156, 492), pekarangan tertutup (pasal 167), di tempat yang dilalui orang (pasal
495), di atas perahu atau perahu Indonesia, atau kapal Indonesia dan lain sebagainya.
BAB VIII
PENGECUALIAN-PENGECUALIAN BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DI
INDONESIA
36. Pembatasan (Pengecualian) Menurut Hukum Internasional
Istilah untuk pengecualian ini lazim disebut dengan "hak extern torialitas", istilah
mana berasal dari suatu fiksi, seakan-akan di manapun mereka berada/bertugas selalu
dianggap sebagai berada di negara sendiri. Kalau seseorang dari mereka yang mendapat
"hak pengecualian" tersebut melakukan suatu tindak pidana di negara asing,
penyelesaian- nya biasa dilakukan setelah "mempersona non gratakan" oknum tersebut,
yang ditempuh melalui saluran-saluran diplomatik, supaya oknum tersebut ditarik
kembali ke negerinya.

37. Pengecualian-pengecualian Berlakunya Ketentuan Pidana, Berdasarkan Hukum


Nasional
Dalam hukum nasional dikenal juga (dasar-dasar) pengecualian berlakunya
ketentuan pidana Indonesia. Yaitu antara lain tidak dapat dituntutnya seseorang anggota
DPR/MPR karena hal-hal yang dibicarakannya dalam sidang-sidang DPR/MPR dalam
kedudukannya selaku wakil rakyat. Dalam sejarah perkonstitusian RI, ketentuan
mengenai kekebalan DPR/MPR tersebut pernah dikenal pada zaman Konstitusi RIS 1950
dan Undang-undang Dasar Sementara RI tahun 1950-1959. Selanjutnya dasar-dasar
pengecualian berlakunya ketentuan pidana. terdapat dalam Undang-undang hukum pidana
itu sendiri.

BAB IX. PERJANJIAN EKSTRADISI (UITLEVERINGS-TRACTAAT)


38. Ekstradisi Sebagai Tugas Kepolisian di Bidang Internasional
Mengekstradisikan seseorang tersangka adalah merupakan suatu tindakan untuk
membantu penguasa negara asing dalam tugas-tugas kepolisian di bidang internasional.
"Pengekstradisian tersangka pada umumnya dilakukan di antara pemerintah-pemerintah
yang bersahabat dan yang mengadakan perjanjian ekstradisi termaksud. Pelaksanaan
perjanjian ekstradisi tersebut pada umumnya mendasari asas berimbal-balik (het beginsel
van reciprociteit). Artinya masing-masing pemerintah hanya akan memenuhi
kewajibannya (untuk menyerahkan) apabila pihak lainnya menghormati hak-hak
pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan yang diperjanjikan.
BAGIAN III
SEBAB AKIBAT, BERSIFAT MELAWAN HUKUM DAN KESALAHAN
X. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT, BERSIFAT MELAWAN HUKUM KESALAHAN
DENGAN TINDAK PIDANA

39. Hubungan sebab akibat, bersifat melawan hukum dan Kesalahan


Hubungan sifat melawan hukum (dari suatu perbuatan) dengan kesalahan (dolus
atau culpa) hanya akan bisa dipahami apabila suatu perbuatan dilakukan oleh seseorang
yang menghendaki terjadinya suatu kejadian Dengan perkataan lain perbuatan itu adalah
merupakan perwujudan dar "gerak" jasmani seseorang, sedang kesalahan tersebut
merupakan kenyataan kejiwaan pada orang yang bersangkutan yang mengomando gerak
jasmaniah. Kesimpulannya ialah, setiap kita membicarakan suatu tindak pidana, maka
dalam pembahasan tindak pidana tidak terlepas dari pembahasan sebab-akibat, sifat
melawan hukum dari tindakan termaksud (yang merupakan norma atau bagian norma dari
tindak pidana tersebut) dan kesalahan yang tercakup pada tindak pidana tersebut. Bahkan
dalam beberapa hal, hubungan antara sebab-akibat, sifat melawan hukum dan kesalahan
itu mutlak harus dapat diperlihatkan.

40. Sebab-akibat, Bersifat Melawan Hukum dan Kesalahan dalam Suatu Tindak
Pidana
ROESLAN SALEH yang mempunyai pendapat yang sama dengan MOELJATNO
mengatakan: "... bahwa dalam makna perbuatan pidana secara mutlak harus termaktub
unsur formal, yaitu mencocoki rumusan undang-undang (tat berstand mazigkeit) dan
unsur material, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan
masyarakat atau dengan pendek, melawan hukum (rechtswirdigkeit), tidak kurang dan
tidak lebih dan itu, maka sampailah kita pada pertanyaan kedua, yaitu ..... unsur
kesalahan, unsur mana karena tidak masuk dalam pengertian perbuatan pidana lagi, harus
merupakan unsur bagi pengertian lain. Pengertian ini dapat kita namakan: pertanggungan
jawab dalam hukum pidana yang seperti dalam bahasa Belanda: strafrechtelijke
toerekening dan bahasa Inggris: Criminal responsibility atau criminal liability".

XI
AJARAN SEBAB-AKIBAT
41. Tujuan mempelajari sebab-akibat
Pembuat Undang-undang tidak merumuskan sesuatu ketentuan dalam KUHP
mengenai sebab-akibat. Tetapi dalam beberapa pasal tertentu dalam Undang-undang
hukum pidana, dirumuskan kelajuan-kelakuan (gedragingen) tertentu yang merupakan
"sebab" (oorzaak, causa) dari suatu akibat tertentu. Misalnya dalam pasal 187 ke-3 KUHP
disebutkan: pembakaran, pele. dakan, pembanjiran; pada pasal 194 (2) KUHP
dicantumkan: membahayakan jalan kereta api yang digunakan untuk lalu lintas umum,
yang merupakan sebab, dan kemudian menimbulkan akibat, berupa matinya orang dan
sebagainya.
Menjadi pemikiran, apakah pengertian sebab-akibat tersebut patal 187 ke-3 dan
pasal 194 (2) sama pula artinya dengan sebab-akibat cantumkan dalam pasal 338 dan 351
(3) KUHP, yaitu kelakuan yang ber- yang di- akibat yang sama, yaitu matinya orang lain
l. Adakah pengaruh jarak waktu antara sebab-akibat yang terdapat pada pasal 187 ke-3
yang relatif lebih jauh, diperbandingkan dengan yang tersirat dalam pasal 338? Menjadi
bahan pemikiran pula perumusan sebab yang berbeda pada pasal 187 ke-2 dan 351 (2)
KUHP akan tetapi menimbulkan akibat yang sama, dalam hal ini baru mengakibatkan
lukanya/berbahayanya jiwa orang lain.

42. Sebab akibat dalam delik material dan formal


Dari pembagian jenis-jenis delik diketahui, diperbedakan antara delik formal dari
delik material. Delik formal ialah delik-delik yang dianggap telah sempuma (voltooid),
asal saja seseorang telah melakukan tindakan yang dila- rang atau tidak melakukan yang
diharuskan dan mencocoki unsur-unsur dari pasal undang-undang hukum pidana. Delik
formal ditentukan antara lain pada pasal 160 KUHP (penghasutan terhadap penguasa
umum), pasal 209 KUHP (penyuapan), Pasal 242 KUHP (sumpah palsu dan keterangan
palsu) 362 KUHP (pencurian) dan lain sebagainya. Delik material ialah delik yang baru
dianggap sempurna (voltooid) jika akibatnya sudah nyata. Contoh nya pasal-pasal KUHP:
187 (Pembakaran dan lain sebagainya) 338 (merampas jiwa orang), 378 (penipuan), yang
akibatnya secara berturut-turut ialah, kebakaran (187), matinya orang lain (338),
memberikan suatu barang atau membuat hutang atau menghapuskan piutang (378).

43. Teori syarat. (conditio sine qua non)


Suatu kejadian yang merupakan akibat biasanya ditimbulkan oleh beberapa
peristiwa atau keadaan atau faktor yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian
yang berhubungan. Teori ini disebut pula “teori syarat” atau teori conditio sine qua non”.
Artinya tanpa adanya syarat itu, akibat tersebut tak akan timbul. Yang dianggap sebagai
syarat menurut VON BURI adalah setiap peristiwa/faktor yang jika ditiadakan, maka
tidak dapat dibayangkan bahwa akibat itu akan terjadi. Karena jalan pemikiran yang ini,
bahwa setiap peristiwa yang mendahului, dianggap sama nilainya sebagai sebab dari
akibat, maka disebut pula teori ini sebagai "teori sama nilai" atau aequivalentie theorie.

44. Teori khusus (individualiseerende theorie)


Di samping ajaran VON BURI terdapat berbagai ajaran lainnya, yang pada intinya
dalam mencari sebab dari pada suatu akibat dibatasi pada satu atau beberapa
peristiwa/faktor saja yang dianggap berpadanan, paling dekat atau seimbang dengan
timbulnya sesuatu akibat. Berlainan dari teori VON BURI, TRAEGER mengadakan
pembedaan antara rangkaian peristiwa-peristiwa/kelakuan-kelakuan dan mencari salah
satu diantara peristiwa-peristiwa tersebut, yang paling dekat menimbulkan akibat yang
terlarang itu oleh undang-undang. Ia tidak menganggap semua peristiwa yang mendahului
sebagai syarat dari timbulnya akibat. Ia membedakan antara syarat dan alasan
(voorwaarde en aanleiding). TRAEGER hanya mencari satu peristiwa saja, yang harus
dianggap sebagai sebab daripada akibat itu.

45. Teori umum (generaliseerende theorie)


Penganut lainnya yang juga menganut ajaran pembatasan, mendasarkan
penelitiannya kepada fakta sebelum delik terjadi (ante factum), yaitu pada fakta yang
pada umumnya menurut perhitungan yang layak, dapat dianggap sebagai sebab kelakuan
yang menimbulkan akibat itu. Fakta yang dianggap sebagai itu mencakupi (strekken) dan
selanjutnya menimbulkan akibat itu. Ajaran ini disebut teori umum atau generaliseerende
theorie. Mengenai teori ini dikenal beberapa teori yang berbeda. Perbedaannya bertolak
pangkal pada pengertian dari istilah "perhitungan yang layak".

46. Pendapat-pendapat mengenai sebab-akibat


Pada arrest Hoog Militer Gerechtschof 8 Februari 1924, dalam menentukan sebab
dari akibat telah digunakan ajaran "adanya hubungan langsung antara kelakuan dan
akibat" (causaliteit van het onmiddelijk en dadelijk gevolg)Ini bersumber dari pasal 1248
Burgerlijk Wetboek tentang kewajiban ganti rugi (schade-vergoedings-plicht).
Tersimpulkan dari pasal 1248 tersebut, bahwa kerugian hanya meliputi keadaan yang
ditimbulkan secara langsung karena tidak ditepatinya perjanjian.

47. Kaitan ajaran sebab akibat dengan delik omisi


Sepanjang delik omisi merupakan delik formal, maka pengkaitannya dengan
ajaran sebab-akibat tidak banyak manfaatnya. Demikianlah dalam hal seseorang dipanggil
sebagai saksi dalam suatu perkara, tidak melaksanakan kewajibannya (pasal 224, 522
KUHP), atau dalam hal seorang wajib militer yang dalam batas waktu yang ditentukan,
tidak mendaftarkan diri untuk dinas wajib militer (pasal 63 ayat 1 a undang-undang no.
66 Tahun 1958) sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dan tidak perlu dipersoalkan
lag! tentang akibatnya. Kendati dalam hal ini ada kemungkinan terjadi suatu akibat dari
tindak pidana tersebut, misalnya sidang pengadilan terpaksa ditunda karena saksi tidak
hadir, atau adanya kerugian yang diderita negara karena pewajib militer tersebut tidak
mendaftarkan diri.

48. Perumusan sebab-akibat dalam undang-undang


Kalau diperhatikan perumusan pasal 338 KUHP, yaitu"dengan sengaja merampas
nyawa orang lain", atau pasal 351 (1) KUHP yang berbunyi: "penganiayaan", tidak jelas
yang mana berupa sebab dan yang mana berupa akibat. Pada hal kejahatan-kejahatan
yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut termasuk delik material yang mensyaratkan
adanya akibat. Bagaimana pemecahannya? Hanya jika perumusan pasal tersebut
diuraikan, barulah dapat terlihat bahwa di dalamnya telah tersimpul adanya sebab dan
akibat.
Pasal 338 KUHP dengan demikian harus diuraikan sehingga berbunyi: "dengan
sengaja melakukan suatu tindakan, tindakan mana ditujukan untuk mengakibatkan
matinya orang lain dan akibat itu dikehendaki oleh pelaku". Uraian pasal 351 (1) menjadi:
"dengan sengaja melakukan suatu tindakan, tindakan mana ditujukan untuk
mengakibatkan sakitnya/lukanya orang lain dan akibat itu dikehendaki oleh pelaku."
Setelah diadakan penguraian, baru jelas terlihat bahwa "tindakan" itu adalah merupakan
sebab, sedangkan akibat-nya berturut-turut adalah matinya dan sakit/lukanya seseorang
lain.
49. Hubungan kausal antara sebab dan akibat
Antara sebab (motif), tindakan dan akibat (sebagai tujuan yang dihendaki yang
terjadi) harus ada hubungannya. Hubungan itu disebut seba hubungan-kausal, atau
hubungan sebab-akibat. Sebagai ilustrasi, jika satu ujung dari seutas tali dihubungkan
dengan timba dan ujung lainnya dihubu kan dengan pengerek, dengan mudah terlihat,
bahwa tali itu yang menghubungkan antara timba dan pengerek. Tetapi dalam suatu kasus
hubung penyebab (motif), tindakan dan akibat hanya dapat dibayangkan dalam pelaku.
Hubungan motif (penyebab) dengan tindakan ialah bahwa motif itu merupakan
"pendorong" bagi pelaku untuk melakukan tindakan tersebut hubungan tindakan dengan
akibat, adalah bahwa akibat itu dalam beberapa hal (atau delik) merupakan perwujudan
dari kehendak pelaku, sedangkan am hal lainnya, akibat itu adalah merupakan kelanjutan
logis dari suatu tindakan yang merupakan sebab.

50. Sebab-akibat dalam praktek hukum


Sering menjadi bahan perdebatan yang hangat antara penuntut umum di satu pihak
dengan terdakwa dan pembelanya di lain pihak, dalam suatu persidangan pengadilan
mengenai sejauh manakah hakekat dari sebab-akibat yang terkandung dalam perumusan
suatu delik/kejahatan; dan sejauh manakah pengaruhnya untuk menentukan
pertanggungjawaban terdakwa. Dalam delik-delik material, pihak terdakwa sering tidak
membatasi diri untuk hanya menanggapi perumusan suatu kelakuan/perbuatan/tindakan
dalam undang-undang (yang dengan tegas ditentukan sebagai sebab dari suatu akibat).
Mereka cenderung untuk menjelajahi kejadian/perbuatan lain- nya, situasi dan kondisi
yang mendahului tindakan yang dilakukannya yang sesuai dengan perumusan undang-
undang. Hal ini dimaksudkan agar fakta/ data itu dapat diterima sebagai sebab dari
tindakan yang dilakukan itu, bahkan juga sebagai sebab dari akibat yang terlarang.
Tentunya yang dikemukakannya itu adalah hal-hal/keadaan-keadaan yang akan
menguntungkan pihak terdakwa. Dalam hal ini fakta/data yang dikemukakan itu ada
kemungkinan dimaksudkan untuk memberikan "bukti perlawanan" tentang ketidakadaan
atau peniadaan kesalahan pelaku.

51. Sebab-akibat ditinjau dari segi sudut kriminologi


Dalam praktek hukum, hasil pengamatan kriminologi sering dikemukakan sebagai
suatu hal yang diharapkan dapat mempengaruhi “pertanggungjawaban” terdakwa.
Bahkan, sering diharapkan untuk menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan
tindakan tercela atau suatu tindak pidana atau tidak. Sehubungan dengan pengaruh
masyarakat atau lingkungan ini, banyak sarjana-sarjana mengutarakan pendapat-
pendapatnya mengenai betapa ketergantungan seseorang pada masyarakat. VON WIESE
misalnya mengatakan, bahwa semua tindakan manusia tergantung pada unsur ruang,
waktu serta jenis dari masyarakatnya sendiri, yang dalam ilmu sosiologi dikenal sebagai
hukum situasi.

52. Ajaran sebab-akibat yang dipedomani


Walaupun undang-undang berusaha membatasi perumusan sebab dan akibat,
namun untuk kebutuhan praktek hukum sehari-hari, sering mer arah kepada perluasan
atau penyempitan dari hal-hal yang dipandang sebagai sebab atau akibat. Untuk itu
seyogyanya harus selalu diperhatikan mengenai kepastian hukum dalam arti tidak boleh
terlalu menyimpang dari pembatasan undang-undang yang dipadukan dengan kesadaran
hukum masyarakat yang masih hidup. Tentunya kesemuanya itu harus seirama dengan
politik hukum pemerintah yang telah digariskan oleh pemegang kedaulatan rakyat.

XII
BERSIFAT MELAWAN HUKUM (Wederechtelijk)
53. Istilah melawan hukum dan melawan undang-undang
SIMONS mengatakan, sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah
bertentangan dengan hukum pada umumnya. Tetapi dalam hubungan bersifat melawan
hukum sebagai salah satu unsur dari delik, beliau mengatakan supaya selalu berpegangan
kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Jika
ada perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim
tetap terikat pada perumusan undang-undang. Artinya yang harus dibuktikan hanyalah
yang dengan tegas dirumuskan dalam undang-undang dalam rangka usaha pembuktian

54. Tindakan yang bersifat melawan hukum


Seseorang yang melakukan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum, tidak
selalu diancam dengan pidana menurut undang-undang hukum pidana. Suatu tindakan
yang bertentangan dengan hukum perdata, misalnya perkawinan bersaudara, pembagian
warisan yang sama antara anak angkat dengan anak kandung, belum dapat membayar
hutang sebagaimana diperjanjikan dan lain sebagainya; atau bertentangan dengan hukum
administrasi seperti tidak memberikan pensiun kepada seseorang tanpa alasan yang sah
dan lain sebagainya. Kemudian bertentangan pula dengan hukum agama seperti tidak
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan lain sebagainya, tidak diancam dengan
pidana dan tidak dapat dipidana. Dengan kata lain, karena hukum tidak saja tidak hanya
mencakup undang-undang hukum pidana, melainkan juga hukum perdata, hukum
administrasi dan hukum tata negara, maka yang diancam dengan pidana hanyalah suatu
tindakan yang diancam dengan pidana.

55. Bersifat melawan hukum sebagai unsur delik


Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan adalah bersifat
melawan hukum, apabila seseorang melanggar suatu ketentuan undang-undang, karena
bertentangan dengan undang-undang. Dengan kata lain semua tindakan yang
bertentangan dengan undang-undang suatu tindakan yang telah memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang baik sifat melawan hukum itu dirumuskan atau tidak, adalah
tindakan yang bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum itu harus hilang atau
ditiadakan, jika ada dasar-dasar peniadaannya ditentukan dalam undang-undang.
56. Bersifat melawan hukum (bmh) formal dan material
Para penganut bersifat melawan hukum yang formal mengatakan, bahwa pada setiap
pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari tindakan
pelanggaran tersebut. Dengan demikian dalam hal delik tidak dengan tegas menyatakan
bersifat melawan hukum sebagai unsur, sudah dengan sendirinya bersifat melawan
hukum ada, dan tidak perlu lagi dibuktikan. Tetapi jika dengan tegas dicantumkan bersifat
melawan hukum sebagai unsur delik maka harus dibuktikan adanya bersifat melawan
hukum itu, barulah seseorang itu dapat dikatakan telah melakukan delik tersebut.

57. Peranan hakim sebagai sumber hukum


Berbicara mengenai perbedaan pandangan antara para penganut bersifat melawan
hukum yang formal dan yang material mengenai peranan hakim, nampak jelas adanya
kekhawatiran di pihak penganut yang formal yang apabila terlalu luas diberikan
kewenangan kepada hakim dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sebagai akibat dari
kemungkinan “pembentukan hukum” dan atau “penafsiran” yang dilakukan secara
sendiri- sendiri. Sekalipun harus diakui bahwa hakim akan selalu menilai sesuatu perkara
seobjektif mungkin dari sudut yang objektif, sebagaimana yang dikemukakan oleh
TRAPMAN, namun bukan suatu kemustahilan berbicara juga subjektivitas para hakim
yang bersangkutan. Pasal 27 Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok
Kekuasaan Kehakiman (no. 14 Tahun 1970) ang berbunyi: "Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Pedoman tersebut juga harus diterapkan untuk pelaksanaan ketentuan
dalam pasal 14 Undang-undang tersebut yang berbunyi: "Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

58. Peniadaan sifat melawan hukum


Dalam undang-undang hukum pidana diadakan ketentuan-ketentuan meniadakan
sifat melawan hukum dari suatu tindakan. Ketentuan- ketentuan tersebut ialah:
a. Mengenal orang cacad atau sakit jiwa/ingatan.
Seseorang yang “jiwanya” cacad pertumbuhannya atau terganggu oleh penyakit,
jika melakukan suatu tindakan (tindak pidana), dalam ke- adaan yang seperti itu,
dihapuskan pemidanaan kepadanya. Berarti dapat disimpulkan bahwa di samping
kesalahannya ditiadakan, juga si- fat melawan hukumnya ditiadakan.
b. Seseorang yang melakukan tindakan karena terpaksa.
Dari pasal 48 KUHP, setelah dinterpretasikan secara luas, sese- orang telah
memilih untuk melakukan salah satu tindakan dari:
(1) Dua atau lebih kewajiban hukum yang bertentangan,
(2) Dua atau lebih kepentingan hukum yang bertentangan, atau
(3) kewajiban hukum dan kepentingan hukum yang bertentangan.
Berarti ia tidak melakukan tindakan yang lainnya, dalam hal ini yang
diutamakannya adalah yang lebih penting.
c. Seseorang yang melakukan perlawanan terpaksa.
Dari pasal 49 (1) KUHP, dapat disimpulkan bahwa “tindakan pembelaan”
termaksud dalam pasal tersebut, tidak bersifat melawan hu- kum atau bersifat
melawan hukumnya ditiadakan.
d. Seseorang yang melakukan ketentuan undang-undang.
Dari pasal 50 KUHP, dapat disimpulkan bahwa tindakan untuk melakukan
undang-undang, tidak bersifat melawan hukum atau ber sifat melawan hukumnya
ditiadakan.

59. Usaha pembuktian sifat melawan hukum dari suatu tindakan


Dengan mengartikan bersifat melawan hukum sebagai bertentangan dengan hukum
positif di Indonesia, berarti pendirian tersebut lebih condong mengikuti pandangan
bersifat melawan hukum yang material. Yaitu semua delik harus selalu dianggap
mempunyai unsur bersifat melawan hukum. Dalam rangka penyelesaian suatu perkara di
hadapan sidang Mahkamah, maka jika dalam rumusan delik dengan tegas dituliskan
bersifat melawan ‘hukum, harus pula tercantum usaha pembuktiannya dalam suatu
dakwaan/requisitoir jaksa. Jika tidak demikian, berarti salah satu unsur yang dirumuskan
dalam delik tidak terpenuhi, yang bagi hakim menjadi bahan pertimbangan untuk
melepaskan tersangka dari penuntutan (ontslag van rechtsvervolging).

60. Unsur bersifat melawan hukum dalam perundang-undangan "warisan"


Dalam penerapannya di Indonesia mengenai pendapat bahwa bersifat melawan
hukum harus diartikan sebagai bertentangan dengan hukum positif, harus dibahas dari dua
sudut. Pertama, dari sudut perundang-undang- an yang kita warisi dari zaman penjajahan
Hindia Belanda sebagai pelaksana dari undang-undang no. 1 Tahun 1946, Berita RI II no.
9 tanggal 26-2- 1946, dengan segala perubahan dan penambahannya, terutama yang
“diamanatkan” pada pasal V-nya. Bunyi pasal V tersebut ialah: “Peraturan hukum pidana,
yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan
kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi,
harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Kedua, dari sudut
hukum yang berlaku di Indonesia sebagaimana “diamanatkan” dalam Penjelasan Undang-
undang Dasar 1945 dan usaha-usaha yang sedang dilaksanakan, untuk membentuk
undang-undang hukum pidana nasional.

61. Pengaruh hukum tidak tertulis


Penjelasan UUD 1945 menentukan bahwa bukan hanya hukum tertulis dan/atau yang
dibuat penguasa yang menjadi sumber hukum di Indonesia, tetapi juga hukum tidak
tertulis (volks gewoonte recht) yang umumnya berbentuk hukum adat yang tidak mesti
yang dibuat oleh penguasa. Karenanya berbeda dengan pengertian hukum positif di negeri
Belanda, maka di Indonesia ada “penambahan” untuk pengertian hukum positif, yaitu
bukan saja yang dibuat/diterapkan oleh penguasa, melainkan juga yang hidup dan berakar
dalam masyarakat setempat yang berbentuk hukum adat, sekalipun dalam berbagai hal
diperlukan “pengarahan” agar tidak menyimpang dari garis-garis Pancasila, serta ke-
Bhineka-an itu masih dalam keharmonisan dari tunggal ika.
XIII
KESALAHAN
62. Pengertian kesalahan (schuld) secara umum
Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam
mempelajari hukum pidana adalah tentang pengertian kesalahan (schuld). Penting, karena
dalam penentuan ada atau tidaknya dan macam nya kesalahan, akan menentukan pula
pada umumnya dapat atau tidaknya pelaku dipidana. Dalam hal dapat dipidana
menentukan pula berat-ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Banyak ajaran yang telah
dituliskan mengenai pokok persoalan ini, baik dalam bidang hukum-pidana, maupun dan
luarnya, seperti ajaran “kehendak yang telah tertentu” (determinisme) dan ajaran
“kehendak yang bebas” (indeterminisme). Pemecahan persoalan ini semakin sulit lagi
dengan banyaknya pendapat yang berbeda tentang pengertian dari kesalahan itu sendiri,
dan dalam pengertian manakah kesalahan itu akan digunakan.

63. Pengertian kesalahan dalam hukum pidana


Mengenai pengertian kesalahan dalam hukum pidana, telah banyak diberikan orang.
Mereka telah membahas pengertian kesalahan dengan berbagai cara dan menempatkan
kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana (SIMONS) tetapi ada juga yang
menempatkannya sebagai unsur dari pertanggungan jawab pidana (ROESLAN SALEH,
MOELJATNO). Tentang kesalahan ini, terutama dalam hubungannya dengan
pemidanaan sangat penting, karena telah umum diar ut suatu adagium (yang semula
berasal dari penafsiran pasal 44 KUHP) yang berbunyi: “Tidak ada pemidanaan, tanpa
adanya kesalahan”. Dalam bahasa asing disebut: “Geen straf zonder schuld” (Bel.), atau
Actus non facit reum nisi mens sit rea (Lat.) atau An act does not constitute itself guilt
unless the mind is guilty (Inggris).

64. Kesengajaan (dolus) pada umumnya.


Kesengajaan (dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan
pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan
(terlarang/keharusan) dibandingkan dengan Culpa. Karenanya ancaman pidana pada suatu
delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan dengan apabila
dilakukan dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan
dengan kealpaan, d merupakan tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan
sengaja, t merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP)
merusak barang-barang (pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.

65. Kesengajaan menurut memori penjelasan


Menurut memori penjelasan (memorie van Toelichting), yang dimaksud dengan
kesengajaan adalah “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta
akibatnya. Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus
menghendaki serta menginsyafi tindakan tonebut dan/atau akibatnya. Dari seseorang yang
melakukan suatu tindakan karena ia dipaksa (ditodong), tidak dapat dikatakan bahwa ia
melakukan perbuatan itu karena kehendaknya sendiri. Demikian pula seseorang yang gila
yang lari dengan telanjang di muka umum, atau seorang anak yang mempertunjukkan
gambar-gambar porno, tidak dapat dikatakan bahwa ia menghendaki dan menginsyafi
perbuatan merusak kesusilaan di muka umum,

66. Kesengajaan dari sudut terbentuknya


Manusia yang sehat mempunyai bermacam keinginan. Adakalanya keinginan itu
menjurus kepada tindakan yang dilarang dan diancam dengan pl dana oleh perundang-
undangan. Misalnya untuk memiliki sebuah benda berharga yang ia butuhkan, tetapi ia
tidak sanggup untuk membelinya. Bilamana ia sangat bernafsu memiliki benda tersebut,
pada suatu ketika dapat terjadi bahwa ia akan melakukan tindakan apapun, demi untuk
memiliki benda tersebut, kendati dilarang oleh perundang-undangan. Nafsu untuk
memiliki tersebut adalah merupakan perungsang atau motif dari kelakuannya selanjutnya.
Jika ia selanjutnya merencanakan cara-cara yang akan dilakukannya untuk memiliki
benda tersebut, maka padanya telah ada kehendak (copmerk). Untuk terjadinya suatu
tindak pidana, maka kemudian ia melaksanakan tindakan yang dikehendakinya itu.

67. Teori kehendak dan teori perkiraan


SIMONS mengatakan bahwa dengan demikian, kesengajaan itu adalah merupakan
kehendak (de wil), ditujukan kepada perwujudan dari suatu tindakan yang dilarang atau
diharuskan oleh undang-undang). Ajaran ini disebut sebagai Teori kehendak (wils
theorie). Teori kehendak ini disangkal oleh para sarjana lainnya dengan mengemukakan
alasan, bahwa seseorang hanya dapat mengharapkan suatu wujud perbuatan tertentu.
Untuk suatu akibat yang (akan) timbul dari perbuatan itu, tidak mungkin ia secara tepat
menghendakinya. Paling banter ia bisa mengharapkan atau memperkirakan nya. Teori ini
disebut sebagai Teori perkiraan (voorstelings theorie).

68. Teori determinisme dan indeterminisme mengenai kehendak


Telah dijelaskan bahwa menurut SIMONS, kesengajaan adalah merupakan
kehendak dari pelaku. Sehubungan dengan persoalan kehendak, di lapangan ilmu filsafat
(di luar lapangan hukum pidana ) dikenal adanya 2 aliran yaitu: determinisme dan
indeterminisme. Determinisme adalah suatu ajaran yang mengatakan bahwa kehendak
manusia itu sebenarnya sudah ditentukan (bepaald, determine) terlebih dahulu oleh suatu
pengaruh. Ajaran determinisme, terutama dianut oleh Mazhab antropologis atau Mazhab
Italia, Mazhab Sosiologis atau Mazhab Perancis dan kemudian Mazhab Biososiologis.
Sedangkan indeterminisme mengatakan bahwa, manusia itu tetap dapat menentukan
kehendaknya. Sayangnya teori ini bukanlah berdasarkan penyelidikan yang dapat
"dibuktikan", sebagaimana hasil penyelidikan dari para antropolog, psycholoog dan
sociolog, melainkan merupakan fiksi (khayalan) atau semacam axioma saja.

69. Sifat kesengajaan (dolus malus)


Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus. Yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja is hanya menghendaki tindakannya
itu, tetapi juga ia menginsyafi bahwa tindak- annya itu dilarang oleh undang-undang dan
diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu
(kleurloos begrip). Yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu,
cukuplah jika (hanya) menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat
antara kejiwaannya (bathin) dengan tindakannya. Tidak disyaratkan apakah ia
menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-
undang.

70. Gradasi kesengajaan.


Kesengajaan sebagai maksud berarti, terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu
(yang sesuai dengan perumusan undang-undang hukum pidana), adalah betul-betul
sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku. Pada delik
formal, misalnya merusak barang seperti tersebut dalam pasal 406 KUHP, perbuatan
merusak itu adalah perwujudan dari kehendak dan pengetahuan dari pelaku. Demikian
juga pada delik material, misalnya menghilangkan jiwa orang seperti tersebut dalam pasal
338 KUHP, matinya seseorang tersebut adalah merupakan perwujudan dari maksud dan
tujuan dari pelaku. Dalam dua hal tersebut di atas, kesengajaan pelaku termasuk dalam
gradasi kesengajaan sebagai maksud.

71. Kesengajaan dalam perumusan KUHP


Dalam pasal-pasal KUHP, kita tidak menemukan suatu ketentuan atau penafsiran
resmi mengenai istilah kesengajaan. Rupanya tentang penafsiran kesengajaan, lebih
banyak dipercayakan kepada perkembangan kesadaran hukum masyarakat sebagai
pemain (medespeler) dan penonton (toeschouwers). Dan karena itulah terdapat banyak
ajaran, pendapat dan pembahasan mengenainya. Bilamana di atas digunakan dan dibahas
istilah “kesengajaan”, ternyata dalam KUHP dan perundang-undangan Hukum pidana
lainnya, perumusan “bentuk kesengajaan” seseorang, bukan hanya istilah kesengajaan
(dengan sengaja, sengaja) saja yang digunakan, tetapi terdapat istilah-istilah lainnya. Apa
bila dicantumkan kesengajaan (atau dengan istilah lainnya) sebagai unsur suatu delik,
dapat dipersoalkan pula dalam gradasi manakah harus diartikan.

72. Kekeliruan (eror) pada kesengajaan (dolus)


Ada beberapa jenis kekeliruan yang mungkin terjadi dalam rangka kesengajaan.
Kekeliruan itu dapat terjadi karena orang yang dituju/dikehendaki salah, atau sasaran
yang dikehendaki keliru sehingga tindak pidana yang ter jadi berubah, atau terjadi
kekeliruan mengenai hukum, atau kekeliruan mengenai fakta/tindakan, ataupun terjadi
penyimpangan dari sasaran, sehing ga sasaran yang tidak dituju yang terkena.

73. Pembagian atau jenis dolus dihubungkan dengan sasaran


Ajaran lainnya tentang pembagian kesengajaan, adalah diperbedakannya mengenal
“tertentu atau tidak tertentunya” suatu tujuan yang dikehendaki oleh pelaku, yang disebut:

● Dolus determinatus.

● Dolus indeterminatus,

● Dolus alterativus, die sie vorig gab

● Dolus generalus,
● Dolus premiditatus was

● Dolus inderectus

74. Kealpaan (Culpa)


Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu
pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya adalah:
a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan
ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya (sebaik-
baiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu
tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.
b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak
melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak
digunakan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.

75. Culpa lata dan Culpa lavis serta kealpaan disadari dan tidak disadari
Penggradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut. Dilihat dari sudut
kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan gradasi kealpaan dengan:
1) Kealpaan yang berat (culpa lata).
2) Kealpaan yang ringan (culpa levis).
Untuk mengetahui apakah ada kealpaan atau tidak, dilihat dari sudut kecerdasan,
untuk gradasi yang pertama disyaratkan adanya kekurang waspadaan (onvoorzichtigheid).
Dan untuk gradasi kedua, disyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan:
1) Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku (de gemiddelde
mens van de groep, waartoe de dader be- hoort), atau
2) Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam golongan pelaku
(de meest bekwame, verstandigste mens van de groep van de dader).

76. Perbarengan unsur kesengajaan dan kealpaan dalam satu delik


Istilah “harus dapat menduga” (pasal: 292, 293, 418, 480) dan “ada alasan kuat
baginya untuk menduga” (pasal: 282 ayat 2)), menunjukkan kecondongannya kepada
“kesengajaan bersyarat” (dolus eventualis). Sedang- kan pada pasal: 87 KUHPM, unsur
kealpaan dibarengkan dengan kesengajaan dalam tafsirnya, adalah karena tenggang waktu
yang ditentukan dalam keadaan-keadaan yang bersangkutan (damai/perang) cukup lama,
sehingga bagi pelaku sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk berdalih dengan kealpaan.
Namun demikian, untuk tidak menyukarkan pembuktian, unsur kesengajaan yang sukar
dibuktikan dan kealpaan dibarengkan.

77. Istilah untuk kealpaan dalam undang-undang


Demikian pula kepada pelaku tidak dituntut pertanggungjawaban pidana, bilamana ia
melakukan suatu delik kejahatan dengan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
schuld). Kealpaan yang tidak disadari biasanya terjadi karena ketololan, ketidaktahuan,
terkejut, kecapaian atau keadaan pikiran dan/atau jiwa seseorang sehingga tak dapat
menguasai tingkah lakunya secara normal dan sama sekali tidak dapat memperkirakan
akibat dari tindakannya itu. Di samping sukar membuktikan hubungan antara kealpaan
pelaku dengan akibat yang terjadi dalam kejadian seperti ini, maka tidak ada faedahnya
memidana seseorang yang hubungan jiwa dan tindakannya terhadap akibat yang terjadi,
hampir-hampir tidak ada. Dengan perkataan lain kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
schuld). Dalam delik-kejahatan tidak termasuk salah satu bentuk kealpaan yang dapat
dianggap sebagai salah satu unsur dari delik tersebut, dan dengan demikian tidak ada
perida- naan. Pendirian ini juga ditemukan dalam Arrest HR tanggal 21 Nopember 1932,
NJ. 1933, 153: 6 Juni 1933, NJ. 1933, 1299; 24 Mei 1937, W. Dan NJ. 1937 No. 1162
dan sebagainya.

78. Feit Material


Jika dalam delik kejahatan dengan tegas disebutkan salah satu bentuk-kesalahan
(dengan berbagai istilah), maka dalam delik pelanggaran bentuk-kesalahan itu, pada
umumnya tidak dicantumkan. Akibatnya, semula memang untuk menuntut
pertanggungjawaban pidana dalam delik-pelanggaran, walaupun salah satu bentuk
kesalahan itu (kesengajaan atau kealpaan) tidak ada, namun tetap dapat dipidana
pelakunya. Pendirian atau ketentuan seperti ini termasuk kepada ajaran tindakan material
(de leer van het materieele felt). Artinya, tidak diperlukan atau tidak perlu ada hubungan
kausal antara tindakan dan akibat dengan kejiwaan pelaku. Pokoknya tindakan telah
terjadi dan menurut kenyataan ada seseorang yang melakukannya. Kemudian pendirian
ini telah dilepaskan, tidak dipakai lagi sejak arrest N.J. 14 Februari 1916. W. 9958, yang
terkenal dengan nama “MELKBOER-ARREST” atau juga disebut “WATER EN MELK
ARREST” yang menentukan bahwa jika sama sekali tidak terdapat kealpaan (termasuk
culpa levis).

79. Perbuatan diikuti dengan "tindakan kealpaan"


Kealpaan itu dapat terjadi karena perbuatan yang disengaja, karena perbuatan yang
tidak disengaja dan karena tidak melakukan sesuatu perbuatan. Contoh-contoh dari
perbuatan sengaja antara lain ialah: menembakkan be- dil, memberikan senjata,
mengemudikan mobil, menyalakan api, melempar batu, mengayunkan tongkat dan lain
sebagainya. Perbuatan-perbuatan tidak dengan sengaja antara lain: Tersenggol lilin yang
sedang nyala, tersenggol pelatuk bedil yang sudah terisi dan lain sebagainya. Tidak
melakukan suatu perbuatan antara lain ialah: tidak memadamkan api rokok yang
dibuangnya, tidak mengosongkan senjata yang terisi ketika meletakkan di meja/tempat
nyimpanannya, tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, dan lain sebagainya.
Tentunya semua tindakan-tindakan tersebut di atas, tidak ditu. jukan dengan sengaja
kepada akibatnya. Dalam hal seperti contoh-contoh tersebut di ataslah umumnya kita
temukan tindakan kealpaan yang dapat dituntut menurut hukum pidana.

80. Kesimpulan mengenal kesalahan


Kesimpulan yang dapat diambil, yang juga menjadi pandangan penulis, dari
uraian tersebut diatas ialah bahwa ciri dari kesalahan dalam arti hukum pidana ialah:
1) Adanya hubungan jiwa pelaku dengan tindakan dan/atau akibar yang terjadi (dan
dalam beberapa hal yang akan terjadi); hu. Bungan jiwa dan tindakan mana dapat ia
nilai, menyadari keter celaannya jika terjadi, yang seharusnya dapat dihindarinya
sebelumnya. Dengan perkataan lain adanya hubungan jiwa dari pe laku yang mampu
bertanggungjawab dengan tindakan dan/atau akibatnya.
2) Bentuk kesalahan itu adalah dengan sengaja atau kealpaan.
3) Atas tindakan pelaku itu tidak ada dasar-dasar peniadaan kesa- lahan (pasal: 44, 48,
49 ayat 2, 51 ayat 2 KUHP). Mengenai soal mampu bertanggungjawab dan dasar-
dasar peniadaan kesalahan akan dibahas dalam bab pertanggungjawaban pidana.

BAGIAN IV
TINDAK PIDANA
BAB XIV
ISTILAH DAN PERUMUSAN ARTI TINDAK PIDANA
81. "Het Strafbare feit"
Istilah seperti juga perkataan adalah referensi dari suatu referent. Tetapi juga
sering dikatakan orang bahwa istilah itu dianggap merupakan suatu perjanjian antara
orang-orang yang menggunakannya tentang apa yang dimaksud atau yang diartikan
dengan suatu istilah. Dalam hal suatu istilah diadakan terlebih dahulu, lalu
diperjanjikan/ditentukan pula apa yang dimaksud dengan istilah itu maka persoalannya
tidak terlalu sulit. Suatu kenyataan ialah bahwa sesuatu istilah sudah ada dan mempunyai
pengertian tertentu dalam masyarakat. Kapan telah terjadi istilah itu, tidak seorangpun
mengetahuinya dengan pasti. Kemudian kepada istilah yang sudah ada.. Perjanjikan
pengertian-pengertian yang dianggap tercakup di dalamnya. Ada istilah asing (dalam
bahasa asing) yang diambil alih, tanpa atau dengan sedikit perubahan penulisan atau
pengucapannya, yang pengertiannya dianggap sama dengan istilah-asing itu. Ada istilah
yang berasal dari istilah asing, tetapi setelah “diambil alih”, mempunyai pengertian yang
khas, seperti misalnya korup. Si, Ada pula Istilah asing yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, menggunakan istilah yang berbeda dan pada pengertiannya pun
terdapat perbedaan.

82. Pengertian dari "Een strafbaar feit" menurut sarjana- sarjana Barat
a. Perumusan SIMONS.
SIMONS merumuskan bahwa: “Een strafbaar felt” adalah suatu handeling
(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan
dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang
yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalamdua golongan
unsur yaitu: unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan,
aldbat keadaan/masalah tertentu; dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld)
dan kemampuan bertanggung jawab (toerekenings- vatbaar) dari petindak.
b. Perumusan VAN HAMEL.
VAN HAMEL merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang
dirumuskan oleh SIMONS, hanya ditambahkannya dengan kali. Mat “tindakan mana
bersifat dapat dipidana”.
c. Perumusan VOS.
Vos merumuskan: “Strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia
yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

83. Terjemahan "strafbaar feit"


Kesulitan itu tidak semakin berkurang setelah istilah strafbaar feit itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lebih-lebih lagi setelah kepada terjemahan itu
diberikan perumusan. Perundang-undangan Indonesia telah menggunakan keempat-
empatnya istilah tersebut. Misalnya: Perbuatan Pidana, dalam pasal 13 Undang-undang
no. 8 Drt Tahun 1954, LN. no. 65 Tahun 1954 (Penyelesaian soal pemakaian tanah
perkebunan oleh rakyat); pasal 6 Undang-undang no. 29 tahun 1956 L.N. no 74 Tahun
1956 (Aturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan); pasal 12 Undang-undang
no. 1 Tahun 1958 LN. no.2 Tahun 1958 (Penghapusan tanah-tanah partikelir) dan
sebagainya.

84. Pengertian "Strafbaar feit" setelah diterjemahkan


Pendapat MOELJATNO dan RUSLAN SALEH. PROF. MOELJATNO¹): Setelah
membahas-uralkan beberapa istilah yang telah digunakan untuk terjemahan strafbaar feit,
pilihan beliau jatuh pada istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
1) Kalau untuk recht, sudah lazim dipakai istilah: hukum, maka dihukum lalu berarti:
berecht, diadili, yang sama sekali tidak mesti berhubungan dengan straf, pidana;
karena perkara-perkara perdatapun dapat, diadili. Maka beliau memilih untuk
terjemahan strafbaar adalah istilah PIDANA sebagai singkatan dari YANG DAPAT
DIPIDANA
2) Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari seperti:
perbuatan tak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya dan juga sebagai istilah teknis
seperti: perbuatan melawan hukum (onrechrmatige daad). Perkataan perbuatan berarti
dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan maupun pada
akibatnya. Sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang
menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging” seseorang, mungkin juga
hewan atau alam. Dan perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak
tanduk atau tingkah laku.

85. Berbagai perumusan tindak pidana


PROF. MOELJATNO setelah memilih PERBUATAN-PIDANA sebagai
terjemahan dari “Strafbaar feit”, beliau memberi perumusan (perbatasan) sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan
tersebut) dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya cita dalam pergaulan
masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu?). Makna perbuatan pidana, secara
mutlak harus termaktub unsur formil, yaitu mencocoki rumusan undang-undang
(Tatbestandmaszigkeit) dan unsur materiil, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita
mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum
(Rechtswirdigkeit)).

86. Unsur-unsur tindak pidana


Seperti telah disinggung di atas, istilah TINDAK dari TINDAK PIDANA adalah
merupakan singkatan dari TINDAKAN atau PETINDAK. Artinya ada orang yang
melakukan suatu TINDAKAN, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan
PETINDAK. Mungkin sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam
banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu
golongan jenis kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada
negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari
golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia
salah seorang dari “barangsiapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika
ternyata kemudian petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja melainkan
juga suatu badan hukum akan dibicarakan kemudian.

87. Penerapan unsur-unsur delik


Boleh jadi tindakan sudah terjadi, tetapi bukan suatu tindakan yang terlarang oleh
undang-undang terhadap mana diancamkan suatu pidana Mungkin pula suatu tindakan
telah terjadi sesuai dengan perumusan “tindakan dalam pasal yang bersangkutan, tetapi
tidak terdapat kesalahan pada petindak, dan/atau tindakan itu tidak bersifat melawan
hukum. Dari pengkajian seperti ini dapat diambil suatu kesimpulan yang juga dapat dijadi
kan suatu dasar atau pedoman bahwa:
a. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam pidana
oleh undang-undang.
b. Tiada pidana, tanpa kesalahan.
c. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut).

Mengingat bahwa unsur tindak-pidana itu ada lima, sedangkan jika salah satu
unsur tidak ada atau tidak terbukti, sebenarnya dapat juga disimpulkan hal sebagai
berikut:
a. Tiada pidana, tanpa adanya subjek (petindak yang ditentukan).
b. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur objektif lainnya.

88. Orang yang mampu bertanggung jawab sebagai unsur tindak pidan
Berbicara mengenai tindak-pidana, harus ada orang sebagai subjeknya dan orang
itu melakukannya dengan kesalahan. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi
suatu tindak-pidana, berarti ada orang sebagai subjek- nya dan pada orang itu terdapat
kesalahan. Sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi
unsur-unsur c, d dan e, tanpa kesalahan, berarti tidak telah terjadi suatu tindakan yang
dapat dipidana. Demikian pula jika “tenaga alam” telah melakukan suatu “tindakan” yang
memenuhi unsur-unsur c, d dan e, maka tidak telah terjadi suatu tindak pidana, melainkan
yang terjadi adalah suatu bencana (alam) dan dapat dikatakan sebagai “peristiwa” pidana
(seandainya alam dapat dipidana).

89. Setiap delik harus dipandang sebagai berunsurkan bersifat hukum


Dengan cara penafsiran pembalikan (argumentum a contrario) dapat juga
disimpulkan bahwa bersifat melawan hukum dari suatu tindakan, telah secara implisit
tercantum dalam undang-undang. Hal ini terutama tersimpulkan dengan penafsiran
pembalikan terhadap pasal-pasal 48 sampai dengan 51 KUHP. Misalnya yang dinyatakan
sebagai tidak bersifat melawan hukum, atau setidak-tidaknya sifat melawan hukum dari
suatu tindakan dihapuskan, dari “noodtoestand” pasal 48 KUHP tersimpulkan: Adanya
keharusan memilih salah satu di antara dua kewajiban dan/atau kepentingan hukum.
Dalam hal ini petindak, “bagaikan memakan buah simalakama, dimakan mati bapak,
tidak dimakan mati ibu”. Ini berarti bahwa dalam rangka melakukan suatu tindakan,
apabila petindak tidak memilih salah satu kewajiban/kepentingan tersebut, atau
sebenarnya tiada masalah pilihan tersebut, maka tindakannya itu adalah bersifat melawan
hukum. Cara yang sarna dapat juga di- terapkan kepada pasal 49 (1), 50, 51 (1) dan
bahkan kepada pasal 44. Demikian juga terhadap ketentuan ketentuan di luar Bab III
Buku I KUHP.
90. Syarat pemidanaan menyusul dan syarat penuntutan
SIMONS meminta perhatian, tentang hal-hal/keadaan-keadaan yang terjadi, yang
merupakan syarat-syarat pemidanaan menyusui (bijkomende voorwarden van
strafbaarheid), seperti tersebut dalam pasal-pasal: jika pecah perang; 123 KUHP, yang
mempersyaratkan: 164 KUHP, jika kejahatan itu terjadi; 531 KUHP, jika kemudian orang
itu meninggal dan sebagainya. Menurut beliau syarat-syarat tersebut tidak merupakan
unsur yang sebenar- nya (eigenlijke bestanddeel) dari suatu tindak-pidana
(strafbaarhandeling).

91. Unsur "Het subsociale"


Ajaran VRIJ mengenal “Het subsiciale” (maatschappelijke minus- toestand)
dimaksudkannya untuk memperkaya ilmu hukum pidana. Menu- rut VRIJ, “het
subsiciale” yaitu kegelisahan-masyarakat yang ditimbulkan oleh: hasrat-hasrat penjahat
untuk mengulangi kejahatannya, kekecewaan para korban dan pihak ketiga karena suatu
kejahatan, keinginan meniru dari fihak ketiga untuk menjadi penjahat, ketidakpercayaan
atas kesanggupan Penguasa untuk menjamin keamanan, dipermasalahkan untuk dijadikan
sebagai unsur delik. VRIJ telah mendasari ajaran tersebut kepada asas-oppor- tunitas, di
mana pemidanaan itu juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada suatu tempat dan
saat tertentu. Ajaran ini dimaksudkan, untuk melin- dungi masyarakat. Het subsiciale itu
dipandangnya sebagai suatu sumber ba- haya yang akan membahayakan masyarakat itu
sendiri. Diharapkannya, bahwa “het subsiclale” dapat bergandengan dengan kesalahan
dan bersifat melawan hukum sebagai unsur-unsur dari delik

BAB XV
SUBJEK TINDAK PIDANA
92. Manusia sebagai subjek
Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa subjek
dari sesuatu tindak-pidana bukan hanya manusia saja, tetapi Juga Dewan. Demikianlah
pada abad pertengahan (tahun 1571) pernah dipidana seekor banteng (sapi), karena
membunuh seorang wanita. Sekarang sudah tidak dianut lagi.
Pernah dikenal pula, dipertanggung-jawab-pidana nya badan hukum sebagai
subjek, tetapi atas pengaruh ajaran-ajaran VON SAVIGNY dan FEU. ERBACH, yang
kesimpulannya bahwa badan-badan hukum tidak melakukan delik (societas delinquere
non potest), maka pertanggungjawaban badan hu- kam tersebut, sudah tidak dianut lagi.
Dalam hal inl yang dipertanggungwabkan pidanakan adalah pengurusnya.

93. Perluasan subjek


Dalam undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang no. 7 Drt Tahun
1955 LN. No. 27 Tahun 1955, jo Perpu LN. No. 118 Tahun 1960) pada pasal 15 disebut
antara lain: ayat (1). Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, suatu perserikatan orang yang lainnya, atau suatu yayasan maka
tuntutan-pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka
yang memberi perintah me- lakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua- duanya.
Ayat (3): Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu
perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu, diwakili
oleh seorang pengurus atau, jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari
mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Dan seterusnya.

94. Sebab-sebab perluasan subjek


Dalam hal badan hukum dikenakan suatu pidana denda, ternyata pada akhirnya
manusia-manusia para pesero atau anggota-anggota badan hu- kun itu yang dikurangi hak
miliknya yang berupa uang saham/andeel dalam badan-hukum itu. Demikian pula jika
misalnya suatu perserikatan-orang “dibubarkan”, pada akhirnya manusia-manusia
anggota perserikatan orang itu dikurangi atau dihapuskan hak-berkumpulnya dalam
perserikatan tersebut. Namun demikian penentuan badan hukum sebagai subjek adalah
perlu mengingat perkembangan perdagangan yang memungkinkan suatu badan hukum
menjalankan usaha dagang secara luwes untuk mengimport atau ekspor barang, seperti
halnya yang sudah lazim dalam perekonomian/perdagangan internasional. Demikian juga
peranan badan hukum dalam pertahanan/ keamanan tidak dapat diabaikan.

95. Pembalikan kewajiban membuktikan


Ketentuan dalam pasal: 59 KUHP, adalah suatu permulaan untuk menganggap
badan hukum sebagai subjek dari tindak-pidana, walaupun ketentuan yang terdapat dalam
pasal 59 KUHP tersebut belum sejauh itu. Bunyi pasal 59 KUHP: “Dalam hal pidana
ditentukan karena pelanggaran (overtrading) terhadap pengurus, anggota pengurus atau
komisaris-komisaris, ma- ka pidana tidak dijatuhkan kepada pengurus, anggota-anggota
pengurus atau komisaris-komisaris itu, jika ternyata bahwa dilakukannya pelanggaran itu
di luar penyertaannya (toedoen)”. Tafsir dari ketentuan ini ialah bahwa pengurus dan
sebagainya itu tidak ikut serta (deelnemen) dalam pelanggaran tersebut, dan juga padanya
tidak terdapat suatu kesalahan, apabila ternyata bahwa dia tidak ikut serta memutuskan
melakukan pelanggaran tersebut, dia tiada dapat menduga (voorzien) akan terjadinya
pelanggaran itu, atau dia tidak mungkin dapat menghentikan pelanggaran itu sebelumnya.

BAB XVI. SIFAT TINDAK PIDANA


96. Pengayoman Berimbang
Dalam permulaan tulisan ini telah diutarakan bahwa hukum Pidana termasuk
Hukum Publik, dan sifatnya adalah sebagai pengatur hubungan hukum antara manusia
dengan sesamanya, pengaturan mana dibebankan kepada penguasa, sedangkan ukurannya
dititik-beratkan pada kepentingan umum pada umumnya. Tindak pidana adalah salah satu
bagian/segi dari hukum pidana. Maka sifat tindak pidana pun tidak boleh menyimpang
dari sifat “induknya” (terkecuali dalam beberapa hal). Pada umumnya sifat tindak pidana
dapat dirumuskan sebagai “pembatasan beberapa kepentingan atau tindakan, dengan
mengadakan larangan-larangan atau keharusan-keharusan tertentu, supaya tercapai dan
terpelihara kepentingan umum dalam keseimbangannya dengan kepentingan individu,
pembatasan mana dibebankan kepada penguasa, sebagai pemegang kedaulatan rakyat”.
Dan jika suatu tindakan yang petindaknya dapat dipidana sudah terjadi, maka sifatnya
ialah: mengembalikan keseimbangan yang sudah goncang dalam masyarakat, yang
dibebankan kepada penguasa, agar terpelihara kembali kepentingan hukum.

97. Alasan Dipidananya Petindak


Agar “pembatasan” itu ditaati oleh orang-orang, maka ditentukanlah ancaman
pidana terhadap pelanggamya/petindaknya. Timbul soal: “Mengapa harus dipidana
petindak itu? “Beberapa sarjana berpendapat, bahwa dipidananya petindak adalah karena
petindak telah memperkosa kepentingan-hukum (krenking of schending van de door het
recht erkende belangen). “Memperkosa” di sini berarti membinasakan, merusak
seluruhnya atau sebahagian atau merubah tempat atau sesuatu bentuk tertentu dari sesuatu
kepentingan hukum. Misalnya dengan sengaja membinasakan atau merusak, atau
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang (pasal 406 KUHP);
menghancurkan kereta api dan seterusnya (pasal 408); menghancurkan bangunan/kapal
dan seterusnya (pasal 410) dan sebagainya, atau petindak telah membayakan kepentingan
hukum (een gevaar voor rechts- goederen opleveren of ten gevolge hebben).
“Membahayakan” berarti, sehubungan dengan saat terjadinya suatu tindakan dan keadaan
tertentu, menurut perhitungan yang layak, tindakan tersebut akan menimbulkan perkosaan
dari sesuatu kepentingan hukum.

98. Pengayoman Kepentingan Hukum


POMPE mengajarkan bahwa tindak pidana adalah pelanggaran terhadap kaidah
(normovertredingen), dan bahwa tindak-pidana ditujukan kepada kepentingan-
kepentingan yang merupakan pemeliharaan tujuan hukum. Sedangkan tujuan hukum
adalah untuk memelihara kesejahteraan umum dengan memperhatikan perbandingan yang
tepat dan adil (terutama) antara kepentingan-kepentingan itu. Kepentingan-kepentingan
itu tergantung pada penilaian suatu bangsa tertentu pada suatu waktu tertentu dan men
cerminkan sifat-sifat dari bangsa itu pada suatu masa tertentu.

BAB XVII
JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
99. Sejarah Pembagian Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria.
Pembagian ini berhubungan erat dengan berat/ringannya ancaman, sifat, bentuk dan
perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-
ajaran umumn hukum pidana. Dengan membag sedemikian itu sering juga dihubungkan
dengan akibat-akibat hukum penting. yang dalam sejarah pembagian tindak-pidana
pernah dikenal pembagian sebagai berikut:
a. Di Jerman diperbedakan menurut berat/ringannya tindak pidana yang disebut: (1)
Freidenbruche dan (2) Rechtsbruche, Dikenal pula pembagian yang disebut:
1) Verbrechen,
2) Vergehen dan
3) Ubertretungen.
b. Code Penal mengenalkan pula pembagian dalam 3 bagian sebagai ber ikut:
1) crimen (misdaden, kejahatan),
2) elicta (wanbedrijven, perbuatan tak patut),
3) contraventions (pelanggaran),
100. Pembedaan Kejahatan Terhadap Pelanggaran
Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa
delik-hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan
dengan hukum sebelum pembuat-undang-undang menyatakan dalam undang-undang.
Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/di rasakan sebagai tindakan yang
bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.

101. Perlu Tidaknya Pembedaan Kejahatan Terhadap Pelanggaran


Sudah sejak lama timbul pendapat bahwa pembedaan tindak-pidana sebagai
kejahatan berhadapan dengan pelanggaran, sudah tidak perlu dipertahankan lagi.
Pendapat-pendapat sedemikian bersumber kepada diragukan dasar landasan dari
pembedaan tersebut, sebagaimana telah banyak ditullis oleh para sarjana Barat.
Sebahagian kecil melihat pembedaan ini dari sudut kualitasnya yang diukur dengan
penilaian-kesadaran-hukum pada umum- nya, sehingga dibedakan apa yang disebut
sebagai delik hukum (rechts-delict) terhadap delik undang-undang. Pendirian seperti
ini pula yang dianut oleh M.v.T. Tetapi kemudian para sarjana (sebagian besar)
membedakannya dari sudut kuantitasnya. Yang dijadikan dasar pembedaan adalah
ancaman pidananya. Kepentingan atau faedah dari pembedaan kejahatan terhadap
pelanggaran menjadi sangat penting karena beberapa akibat-hukum (rechtsgevolgen)
yang dikaitkan kepadanya dalam buku ke-I KUHP dan undang- undang Hukum
Pidana khusus lainnya.

102. Pembedaan Delik-delik Lainnya


Yaitu delik formal berhadapan dengan delik material. Pada delik formil, yang
dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/ke- adaan lainnya) dengan
tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya pasal-pasal: 160
(penghasutan), 209 (penyusupan) 247 (sumpah palsu), 362 (pencurian). Pada
pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam pasal 362 KUHP,
tindak-pidana pencurian sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang
kecurian itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak. Lain
halnya pada delik material, yang selain dari pada tindakan yang terlarang itu
dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan
telah terjadi tindak-pidana tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya: pasal-pasal: 187
(pembakaran dan sebagainya), 338 (pembunuhan), 378 (penipuan), harus timbul
akibat- akibat secara berurutan kebakaran, matinya korban, pemberian sesuatu barang.
Pembedaan seperti ini sangat penting, dihubungkan dengan ajaran-ajaran locus dan
tempos delicti, percobaan, penyertaan dan kadaluwarsa.

BAB XVIII. PERUMUSAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG


103. Perumusan Unsur Delik dalam Undang-undang
Pada dasarnya, suatu.delik mempunyai 5 (lima) unsur, (lihat uraian no: 86).
Namun dalam perumusan pasal-pasal delik, tidak selalu kita temukan kelima-limanya
unsur-unsur tersebut dalam perumusan satu pasal saja. Adakalanya:
a. salah satu unsur terdapat dalam pasal-pasal terakhir dari sesuatu undang- undang
(misalnya unsur kesalahan, ketentuan pidana dan sebagainya).
b. subjek dari suatu tindak-pidana tidak secara tegas ditentukan dalam pasal tersebut
(pasal-pasal: 104, 106, 107 dan sebagainya).
c. unsur kesalahan tidak dicantumkan (seperti halnya dalam tindak pidana-
pelanggaran pada umumnya).
d. unsur tindakan yang terlarang belum ditentukan secara tegas (pasal 122 KUHP,
pasal 124 KUHPM yang sering disebut blanco strafbepaling).
e. hampir semua unsur tidak secara tegas dirumuskan (pasal 351 penganiayaan,
pasal 134, 315 penghinaan).
f. unsur bersifat melawan hukum tercantum secara tegas, tetapi ada kalanya tidak
demikian.

104. Penentuan Mulai dan Berhenti Berlakunya Suatu Ketentuan Pidana


Berlakunya suatu ketentuan pidana (dalam hal ini tindak pidana) adalah sejak
saat (setelah) ketentuan tindak-pidana itu diundangkan olah Penguasa yang
berwenang untuk itu, atau ditentukan suatu waktu tertentu. Penentuan waktu tersebut
umumnya adalah pada saat pengundang-undangannya. Penentuan seperti itu lazim
disebutkan sebagai menganut asas legalitas atau juga asas “NULLUM DELICTUM,
NULLA POENA, SINE PRAEVIA LEGE POENALI”. Artinya tiada delik” tiada
pidana tanpa terlebih dahulu ada ketentuan larangan dan pidana menurut undang-
undang.
BAB XIX
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
105. Mampu Bertanggung Jawab
Pepatah mengatakan: “Tangan menjinjing, bahu memikul”, artinya seseorang
harus menanggung segala akibat dari tindakan atau kelakuannya. Di dalam hukum
(pidana) juga ditentukan hal seperti itu, yang dinamakan pertanggungjawaban
(pidana). Bedanya, jika makna pepatah tadi mengan dung suatu pengertian yang luas
sekali, dalam hukum pidana pertanggung- jawaban (pidana) dibatas dengan
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas tindakan-
tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada
peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar)
untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung-jawab maka hanya seseorang
yang “mampu- bertanggung-jawab” yang dapat dipertanggung-jawab (pidana) kan.
Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekening vatbaar), bilamana pada
umumnya:

106. Pertanggungjawaban Pidana


Dalan bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
“toerekenbaarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”. Telah diutara- kan
bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan beberapa kali
seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)
yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau
dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat
melawan hulam dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut
memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan
tersebut.

107. Ketentuan-ketentuan Pertanggungjawaban Pidana dalam Undang-undang


Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP secara umum tersimpulkan ditentukan
dalam BAB III buku ke-I, dan terdapat pula secara tersebar dalam pagal Undang-undang.
Hal itu tersimpulkan dengan menggunakan penal siran secara argumen a contrario.
Dengan perkataan lain, secara tegas seperti pasal 3 hukum pidana USSR (baca no. 101 d)
tidak ditentukan dalam KUHP. Seorang petindak yang telah melakukan suatu tindakan
(yang dapat di- pidana) mungkin dipidana (pemidanaan biasa, diperingan atau diperberat)
atau “dibebaskan”. Pembebasan ada dua macam, yaitu pembebasan dari pemidanaan
apabila tidak terdapat “kesalahan” (vrijspraak) dan pelepasan dari segala
dakwaan/tuntutan bilamana dakwaan terbukti akan tetapi bukan merupakan suatu tindak
pidana atau lebih tegas lagi tiada terdapat unsur bersifat melawan hukum. (ontslag van
alle rechtsvervolging). Lihat pasal 191 KUHAP (Dulu pasal 313 dan 314 jo. 318 RIB).

BAB XX
NON COMPOS MENTIS
108. Jiwa yang cacad atau terganggu karena penyakit
Pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal 44, bertolak pangkal pada
anggapan bahwa setiap orang mampu bertanggung jawab, karena dianggap setiap
orang mempunyai jiwa yang sehat. Itulah sebabnya mengapa justru yang dirumuskan
dalam pasal 44 KUHP mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab.Sebaliknya
dari ketentuan tersebut dapat juga diambil suatu pengertian tentang kemampuan
bertanggungjawab yaitu dengan menggunakan penafsiran secara membalik
(redenering a contrario). Jika yang tidak mampu bertanggung jawab itu adalah
seseorang yang jiwanya cacad dalam pertumbuhannya atau terganggu karena
penyakit, maka seseorang yang mampu bertanggungjawab, adalah yang tidak
mempunyai keadaan-keadaan seperti ditentukan tersebut

109. Unsur terkaitkan (stil swijgende element)


Sehubungan dengan pendirian bahwa kesalahan adalah merupakan salah satu
unsur dari tindak-pidana, tiada persoalan lagi mengenai, apakah ketentuan dalam
pasal 44, merupakan unsur terkaitkan atau tidak. Sebab seperti telah diutarakan bahwa
pada umumnya, unsur kesalahan (schuld), yang tidak ada atau ditiadakan pada
seseorang yang ditentukan dalam pasal 44 tersebut. Ada tidaknya kesalahan harus
selalu dibuktikan. Jadi seandainya diduga bahwa seseorang petindak mempunyai
keadaan jiwa seperti tersebut dalam pasal 44, dalam rangka pembuktian ada/tidaknya
kesalahan padanya (yang terkait kepada keadaan jiwanya), wajib diadakan penelitian
terhadap keadaan jiwa petindak.

110. Peranan hakim untuk menentukan keadaan jiwa


Menjadi persoalan, siapakah yang menentukan bahwa seseorang bertindak
mempunyai keadaan jiwa seperti yang ditentukan dalam pasal 44. Jawabannya ialah
bahwa yang menentukan dalam putusannya apakah sesuatu keadaan jiwa sudah sesuai
dengan maksud undang-undang, dalam hal ini pasal 44 adalah hakim. Sebenarnya
soal keadaan jiwa ini tidak termasuk lapangan ilmu pengetahuan hukum (pidana),
akan tetapi termasuk lapangan ilmu penyakit-jiwa (psychiatrie).

111. Beberapa bahan perbandingan dan renungan.


Dalam ilmu hukum pidana, dianut suatu pendirian bahwa seseorang dapat
menentukan “kehendaknya” untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Jika
seseorang menentukan untuk melakukan kehendak nya, maka bentuknya adalah “dengan
sengaja” atau “dengan alpa”. Bentuk dengan sengaja atau alpa, adalah juga merupakan
bentuk-bentuk dari “kesalahan” (schuld).
Asas “tiada pidana, tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld) sudah umum
diterima sebagai salah satu asas hukum pidana. Dari asas ini dapat disimpulkan, bahwa
pemidanaan seseorang, atau pertanggungjawaban pidana baru akan ada, bilamana ada
kesalahan pada seseorang terlebih dalathi. Berarti harus diadakan terlebih dahulu batas-
batas/ketentuan mengenai “kesalahan”. Dalam hal ini perlu diingat, bahwa asas ini
hanyalah salah satu asas hu- kum pidana dalam rangka pemidanaan atau
pertanggungjawaban pidana dari seseorang.

BAB XXI
USIA BELUM DEWASA

112. Berakal dan Batas Usia Belum Dewasa


Semula sistem pertanggungjawaban seseorang yang (berusia) belum dewasa
(anak-anak) didasarkan juga pada “kemampuan bertanggung jawab”, di samping
ditentukannya batas-batas umur tertentu. Itulah sebabnya mengapa ketentuan-
ketentuan penyelesaian suatu tindakan pidana yang petindaknya anak-anak,
ditempatkan setelah pasal 44. Sistim yang mendasarkan pertanggungjawaban pidana
oleh anak kepada kemampuannya untuk bertanggungjawab, sudah tidak dianut lagi.
Ketidakmampuan bertanggung jawab yang diatur dalam pasal 44 (keadaan
jiwa yang cacat, terganggu dan “tak sadar”) sangat berbeda dengan ketidakmampuan
bertanggung jawab dari seorang anak yang belum dewasa, (kecuali kalau keadaan
jiwa anak itu seperti ditentukan dalam pasal 44 tersebut). Ketidakmampuan
bertanggung jawab seorang anak didasarkan kepada: “apakah anak itu sudah dapat
membedakan yang baik dan yang buruk” (oordeel des onderscheid). Yang
menyelidiki masalah “oordeel des onderscheid” ini adalah hakim.

113. Semua anak dianggap mampu bertanggung jawab


Semua anak, asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung. Jawab dan
dapat dituntut. Namun demikian harus dipahami bahwa terhadap anak “yang dianggap
mampu bertanggung-jawab”, masih tetap diadakan kemungkinan untuk tidak
dipidana. Alasan untuk tidak dipidana, terutama bag anak yang sangat muda, antara
lain ialah bahwa anak itu belum dapat meng- insyafi nilai maupun akibat dari
tindakan dan pula belum menginsyafi ketercelaan dari tindakannya, yang dengan
demikian tiada kesalahan (kehendak) padanya. Kendati dalam hal ini tidak harus
diartikan, undang-undang masih mengadakan pembedaan antara yang mampu dan
tidak mampu bertanggung jawab.

114. Ketentuan perbaikan ( opvoedende maatregel)


Pengembalian kepada orang tua atau penyerahan kepada pemerintah tersebut
no. 113, bukanlah suatu pidana, melainkan suatu ketentuan perbaikan (opvoedende
maatregel). Ditinjau. Dari sudut Hukum Acara Pidana, sebenarnya ketentuan hakim
seperti ini agak menyimpang dari asas peradilan yang menyatakan: “Apabila hakim
memperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa telah (terbukti) melakukan suatu
tindak pidana, maka terdakwa tersebut harus dipidana”. Namun demikian, undang-
undang masih memberi wewenang kepada hakim untuk tidak memidana seorang anak
yang belum berusia 16 tahun yang telah melakukan suatu tindak pidana. Selain
daripada alasan tersebut, rupanya menjadi pertimbangan pula, bahwa rumah penjara
atau rumah pemasyarakatan atau tempat “pembimbingan bagi para narapidana supaya
dapat kembali ke dalam masyarakat, dalam kenyataannya tidak kurang seringnya
malah merupakan “perguruan tinggi ilmu kejahatan” bagi “calon-calon” penjahat
besar. Mudah dimengerti jika seorang anak dimasukkan dalam rumah-
pemasyarakatan, ia akan bercampur gaul dengan penjahat-penjahat lainnya yang akan
dapat pula mempengaruhi jiwa anak tersebut ke arah yang tidak benar.

115. Ketentuan pidana dan pendidikan paksa


Hari depan negara ada pada anak-anak kita. Suatu kenyataan sekarang ini,
baik menurut pengamatan ahli-ahli didik, maupun menurut pengamatan kepolisian,
seperti sering dikonstatir dalam koran-koran, bahwa kenakalan anak semakin
meningkat. Bahkan bukan sekedar kenakalan lagi, tetapi sudah merupakan
kebrandalan dan kejahatan. Main-main senjata api, ngebut, merusak wanita,
perkelahian, narkotik, membikin keonaran bahkan sampai bunuh-membunuh, sudah
menjadi kejadian-kejadian yang sering dihidangkan oleh koran-koran. Pencegahan
dan pengusutan terhadap tindakan-tindakan ini perlu diintensifkan..
Salah satu cara ialah masih perlu adanya "pendidikan-paksa dalam arti lu- as"
tanpa menentukannya sebagai pidana. Dengan demikian, jika ia nanti sudah dewasa
dan meninggalkan segala kenakalannya, ia masih berhak meng-takan bahwa ia belum
pemah dipidana. Sebagaimana diketahui, cap "bekas narapidana", bukan sesuatu yang
menguntungkan bagi moral dan pertumbuhan anak yang baru mulai dewasa.

116. Dasar-dasar pengurangan pidana


Dihubungkan dengan nama Bab III KUHP, di mana pasal-pasal 45, 46 dan 47
termasuk, maka ketentuan-ketentuan ini termasuk dasar-dasar pengurangan pidana,
“Tindak-pidana-khusus” percobaan dan pembantuan disebut juga sebagai
“pengurangan” pidana, walaupun dua hal tersebut terakhir tidak dicantumkan dalam
Bab III, melainkan dalam Bab yang tersen- diri, yaitu Bab IV dan Bab V KUHP. Pada
tiga keadaan tersebut tentu ada perbedaan-perbedaan yang pokok. Bilamana keadaan
usia belum 16 tahun dipandang sebagai suatu keadaan yang dijadikan dasar untuk
pengurangan pidana, maka lain halnya pada percobaan dan pembantuan. Percobaan
dan pembantuan adalah bentuk hukum yang sengaja diadakan, agar pe tindaknya
dapat dipidana sesuai dengan ketentuan undang-undang. Bahwa untuk pe tin dak dari
“percobaan”, maksimum ancaman pidananya dikurangi dengan sepertiga, bukan
karena suatu “keadaan” dalam arti Bab III KUHP, tetapi lebih tepat karena
“percobaan” adalah merupakan suatu tindakan khusus (yang lebih “ringan” sifatnya
dari suatu tindak-pidana yang hampir sama unsur-unsurnya) di mana petindaknya
diancam dengan pidana.

BAB XXII
DAYA PAKSA

117. Ketentuan-ketentuan mengenai daya paksa Pasal 48


Pasal 48 KUHP. Tidak dipidana barang siapa melakukan suatu tindakan
karena didorongkan oleh daya-paksa. Istilah daya-paksa sebenarnya sudah mencakup
istilah didorongkan oleh daya- paksa (gedrongen door overmacht). Tetapi untuk dapat
mengerti jalan pikiran para penulis hukum pidana mengenai pasal ini, sementara
dipisahkan saja pengertian tersebut. Istilah tindakan (feit) di sini adalah dalam
pengertian yang luas, yaitu bukan saja dalam pengertian tindakan material (perbuatan-
fisik), tetapi juga tindakan-passif. Selain daripada itu, dalam istilah tindakan, tercakup
pula keseluruhan kejadian-kejadian yang kompleks, yaitu merupakan perpaduan dari
unsur-unsur kesalahan, bersifat melawan hukum, sikap kelakuan, akibat dan faktor-
faktor lainnya yang turut mempengaruhinya seperti terdapat dalam rumusan delik.

118. Dasar peniadaan pidana karena daya paksa


Tidak disangsikan lagi, bahwa jika salah satu unsur tindak pidana tidak ada
atau tidak terbukti, maka tidak telah terjadi suatu tindak-pidana. Untuk membuktikan
terpenuhinya unsur tersebut bukan sesuatu yang mudah, terutama yang menyangkut
jiwa atau kehendak seseorang petindak. Walaupun asas “tiada pidana, tanpa
kesalahan”, sudah umum dianut sebagai salah satu asas hukum-pidana, tetapi masih
ada kesulitan tentang persoalan: bilamanakah kesalahan itu dianggap ada, dan
bilamana tidak ada”. Dalam doktrin diajarkan bahwa asas ini, timbul sebagai
kesimpulan dari ketentuan pasal 44. Jika demikian halnya maka dapat dikatakan
bahwa tidak adanya kesalahan atau penfadaan kesalahan hanya tergantung kepada
keadaan yang merupakan “pengaruh dalam” (inwendige-oorzaak) yang tersimpulkan
dari pasal 44 yaitu:
a. Keadaan jiwa petindak cacad;
b. Keadaan jiwa petindak terganggu dan
c. Keadaan jiwa petindak tidak sadar.
119. Dasar peniadaan kesalahan atau bersifat melawan hukum
KUHP tidak memakai istilah “dasar-dasar untuk meniadakan kesalahan”
(schulduitsluitings-grond) atau “dasar-dasar untuk meniadakan sifat melawan hukum”
(rechtsvaardigings-grond) atau menurut istilah RUSLAN SALEH “alasan pemaaf”
dan “alasan pembenar”. KUHP hanya menyebutkan “peniadaan pidana” (uitsluiting
der strafbaarheid). Untuk ketentuan-ketentuan dalam Bab III KUHP tersebut, doktrin
membedakan antara “dasar-dasar peniadaan kesalahan” dengan “dasar-dasar
peniadaan sifat melawan hukum sebagai dasar untuk tidak memidana petindak yang
telah melakukan suatu tindakan, Sekarang menjadi persoalan, ukuran apakah yang
telah dibuat oleh doktrin, supaya sesuatu ketentuan dalam KUHP, termasuk dalam
pengertian “dasar-dasar peniadaan kesalahan” atau “dasar-dasar peniadaan sifat
melawan hukum”?

120. Pembebanan unsur kesalahan kepada pemaksa


Dapat tidaknya seseorang menentukan kehendaknya, dalam hukum pidana
yang dianut adalah ajaran indeterminisme yaitu bahwa seseorang dianggap (fiksi)
dapat menentukan kehendaknya. Jika dalam undang-undang ditentukan bahwa
tindakan seorang gila melakukan suatu tindakan, tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, oleh doktrin diajarkan bahwa, kesalahan dari sigila itu yang ditiadakan.
Karenanya dapat disepakati bahwa unsur kesalahan itu dalam hal ini “dibebankan”
kepada “penyebab dalam-nya”. Sebutlah misalnya setan yang telah menguasai jiwa si
gila tersebut. Kalaupun harus ada yang dipidana, sehubungan dengan tindakan
tersebut, maka yang harus dipidana adalah setan tersebut yang padanya terdapat unsur
kehendak/kesalahan.

BAB XXIII. PEMBELAAN PAKSA.

121. Ketentuan-ketentuan mengenai pembelaan paksa Pasal 49


Maksud tujuan hukum pidana Indonesia secara singkat ialah untuk
mengayomi baik Negara Republik Indonesia, masyarakat, badan. Badan maupun
warga negara Republik Indonesia serta penduduk lainnya. Salah satu yang dilindungi
itu adalah warga negara serta penduduk lainnya. Dengan perkataan lain-perseorangan
pun sepanjang masih dalam rangka perwujudan masyarakat Pancasila dilindungi oleh
hukum.
Salah satu segi dari kehidupan sehari-hari ialah bahwa setiap orang harus
merasa terlindung. Tugas perlindungan ini pada umumnya dibebankan kepada polisi.
Kalau ada serangan kepada seseorang, polisi wajib melindungi orang itu. Tetapi
dalam kenyataannya, tidak setiap serangan yang terjadi baik kepada Negara,
kehormatan susila maupun harta benda perseorangan diketahui oleh polisi. Lebih-
lebih lagi kalau serangan atau ancaman serangan itu sifatnya mendadak.

122. Hak bela diri, tidak berarti menjadi hakim sendiri


Sebagaimana telah diketahui menjadi Hakim sendiri pada umumnya dan
dalam batas-batas tertentu hanya diperkenankan dalam soal-soal perbuatan perdata.
Dalam perkara tindak pidana aduan yang dirugikan dapat menyelesaikan sendiri
perkara tersebut dengan hanya mengharuskan yang merugikan untuk minta maaf atau
menepung tawari. Menjadi Hakim sendiri dalam soal-soal tindak pidana pada
umumnya akan dapat menghancurkan ketertiban dan keamanan karena tindakan
balas-membalas yang tidak akan ada akhirnya.

123. "Perkiraan sebagai dasar pembelaan paksa (poetatief noodweer)


Apabila atas dasar perkiraan seseorang lalu mengadakan tindakan- pembelaan,
maka tindakan tersebut dinamakan sebagai tindakan pembelaan perkiraan (putatif
noodweer). Apakah tindakan-pembelaan-perkiraan dilindungi oleh pasal 49? Untuk
menjawabnya, harus dipertanyakan dulu beberapa hal dan harus mengetahui situasi
tertentu. Misalnya masalah apakah yang meliputi serangan itu, sehingga terjadi salah
paham? Apakah gerakan yang dikira sebagai serangan atau ancaman serangan itu
demikian mendadak- nya, sehingga ia tidak sempat lagi berfikir apakah tindakan yang
dilihatnya itu merupakan serangan atau tidak? Selanjutnya perlu diketahui bahwa
apabila keadaan seseorang tegang, di mana kecurigaan serta keresahan men- cekam
setiap orang, (misalnya terjadi gontok-gontokan karena politik, ideologi atau agama),
maka perkiraan akan adanya sesuatu serangan atau ancaman serangan sering terjadi.
Setelah diadakan peninjauan mengenai perkiraan, kekeliruan atau kesalahpahaman Itu
dan ternyata beralasan, maka ada- lah relevan untuk memandang tindakan itu sebagai
dilindungi pasal 49 atau setidak-tidaknya merupakan hal yang meringankan pidana.

124. Pembelaan paksa yang melampaui batas


Jika dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perasaan takut
merupakan unsur yang meniadakan pidana, maka dalam pasal 308 KUHP (seorang
ibu yang meninggalkan bayinya dengan maksud untuk melepaskan diri dari bayi itu)
perasaan takut seorang ibu itu hanyalah merupakan hal yang mengurangkan atau
meringankan pidana.

BAB XXIV
KETENTUAN UNDANG-UNDANG DAN PERINTAH JABATAN

125. Tindakan berdasarkan ketentuan Undang-undang Pasal 50


Mengenal pengertian ketentuan undang-undang (wettelijke voorschrift)
semula dianut dalam arti sempit (wet in formele zin). Undang-undang dalam arti
sempit di Indonesia, berarti peraturan (undang-undang) yang dibuat oleh Presiden
dengan persetujuan D.P.R. (pasal 5 UUD) dan Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-undang. (pasal 22 UUD). Pendirian ini telah berubah, sehingga
yang ditafsirkan sebagai undang-undang sekarang adalah "se- tiap peraturan yang
dibuat oleh badan (orgaan), yang oleh undang-undang diberi kekuasaan untuk
membuat peraturan yang mengikat lingkungannya".

126. Tindakan berdasarkan perintah jabatan. Pasal 51.


Peniadaan pidana di sini didasarkan pada peniadaan sifat melawan hukum dari
tindakan itu. Walaupun secara sepintas lalu dibayang. Kan adanya keterikatan bagi
penerima-perintah yang dapat pula diarti- kan sebagai “ketidak bebasan menentukan
kehendak” tetapi dengan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perintah
jabatan dapat dikatakan bahwa “ketidak bebasan menentukan kehendak” ditu telah
ditampung oleh syarat-syarat tersebut. Artinya bagi penerima perintah, dalam
melaksanakan perintah yang telah memenuhi syarat-syarat sama saja halnya dengan
seseorang yang melaksanakan ketentuan undang-undang dalam persoalan “kehendak”
itu. Jadi, seandainya tindakannya itu (yaitu melaksanakan perintah) tidak di- lindungi
oleh pasal ini, maka petindak akan tetap dapat dipidana. Tetapi justru karena tindakan
tersebut dibenarkan maka bagi petindak ditiadakan pidana.

BAB XXV
KETENTUAN-KETENTUAN PENIADAAN PIDANA LAINNYA
127. Ketentuan peniadaan pidana di luar Bab III Buku I KUHP, tetapi masih di
dalam KUHP
Tidak berlakunya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 164 dan 165
bagi diri-sendiri dari peserta permufakatan, diperkuat oleh pasal 166. Dapat
disimpulkan bahwa tindakannya yang telah melanggar ketentuan pasal 164 atau 165
itu dapat dibenarkan atau sifat melawan hukumnya ditiadakan. Bahkan
ketidakberlakunya ketentuan-ketentuan tersebut diperluas kepada subyek-subyek yang
mempunyai hubungan: keluarga tertentu, perkawinan, pembebasan sebagai saksi
karena jabatan/pencaharian. Seorang ayah tidak wajib melaporkan anaknya, seorang
istri tidak wajib melaporkan suami- nya, seorang pastor tidak wajib melaporkan
seseorang yang telah menyesali perbuatannya di gereja (biechten), kepada pegawai
kehakiman/polisi yang diketahuinya telah melakukan permufakatan jahat sebagai
ditentukan dalam pasal 164 dan 165 tersebut. Tindakannya untuk tidak melaporkan itu
dapat dibenarkan atau sifat melawan hukumnya ditiadakan.

128. Ketentuan peniadaan pidana di luar KUHP


Peniadaan-pidana di luar KUHP dapat ditemukan yang merupakan tam. Bahan
atau perkecualian terhadap asas-asas umum yang diatur dalam Bab I KUHP.
Demikianlah dalam pasal 32 KUHPM, ditentukan suatu asas peniadaan pidana yang
dapat digolongkan sebagai peniadaan sifat melawan hukum bagi seseorang justisiabel
Peradilan Militer, yang dalam waktu perang melakukan suatu tindakan
(menahan/membunuh musuh, merampas alat-alat perang musuh dan sebagainya) yang
dibenarkan menurut hukum perang yang diakui dan berlaku bagi negara-negara yang
berperang tersebut.

XXVI
PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA
129. Pengurangan pidana di dalam dan diluar KUHP
Dalam KUHPM misalnya dasar-dasar khusus untuk pengurangan pidana
antara lain ialah jika insubordinasi militer dilakukan “di luar dinas”. (Pasal 110
KUHPM); peserta-peserta dari suatu keonaran militer (militer oproer) yang kembali
tertib sebelum terjadi kenyataan-kenyataan dari keonaran ter- sebut dan lain
sebagainya.
Selain dari pada yang diutarakan tersebut, dikenal beberapa keadaan. Yang
dapat dijadikan dasar untuk pengurangan pidana yang dalam banyak hal telah sering
dilakukan dalam praktek-hukum sebagai kelanjutan dari ada- nya kebebasan bagi
Hakim untuk menentukan putusannya antara ancaman pidana maksimum dan
minimum, dan yang seyogyanya dapat pula ditampung talam rangka pembentukan
hukum pidana nasional. Keadaan-keadaan itu adalah:
a.Seorang yang melakukan suatu tindak-pidana terdorong oleh alasan- alasan yang
patut dihormati/difahami menurut penilaian hakim, Misalnya seorang penjaga
keamanan kepala negara yang karena tidak cukup sabar lagi melakukan
kewajibannya sebagai mana mestinya, telah memukul seseorang/beberapa orang
yang telah bernafsu benar hendak mendekati kepala negaranya karena cinta atau
rindunya;
b. Seorang ibu yang sedang nyidam yang melakukan suatu kejahatan (tindak
pidana tertentu);
c.Seorang yang turut serta melakukan suatu permufakatan jahat yang diancam
pidana, telah melaporkan diri sebelum kejahatan tersebut terjadi. Dan jika
kejahatan tersebut dapat dicegah, maka terhadap mereka yang melaporkan diri itu
dapat ditiadakan pidana terhadapnya. (asas utilitas).

130. Penambahan pidana di dalam dan diluar KUHP


Keadaan yang memberatkan/menambah pidana bagi petindak jalah karena
justru ia ditugaskan secara khusus, misalnya menjaga se- suatu barang tertentu, tetapi
justru ia sendiri yang melakukan pencu- rian barang-barang tersebut. Demikian pula
seorang pejabat penyidik yang melakukan penahanan yang ia ketahui benar-benar
bahwa alasan-alasan untuk penahanan itu tidak ada. Seorang kasir yang
menggelapkan uang yang ada di kasnya. Seorang polisi yang bersenjata, melakukan
pembunuhan yang direncanakan justru dengan senjata tersebut.
Ketentuan dalam pasal 52, tidak berlaku bagi tindak pidana jabatan (Bab
XXVIII Buku II dan Bab: VIII Buku III KUHP) dan demikian pula tindak pidana
lainnya yang subjek ditentukan hanyalah pejabat-pejabat yang termasuk dalam
pengertian pejabat tersebut, seperti misalnya beberapa pasal tindak pidana KUHPM
yang menyatakan bahwa subjeknya adalah militer.

BAGIAN VI
PERCOBAAN

BAB XXVII
DASAR-DASAR PEMIDANAAN PERCOBAAN

131. Sejarah dan pengertian Percobaan


Hukum Kanonik meniadakan perbedaan antara percobaan dengan delik
(sempuma) atas dasar voluntas est peccatum (bahwa suatu kemauan atau kehendak
telah merupakan tindak-pidana/kejahatan). Kemudian timbul ketentuan pemidanaan
secara umum untuk percoba- an, yang berasal dari hukum Italia pada abad
pertengahan di dalam hukum pidana Carolina (Constitutio Code Penal Carolina).
Undang-undang hukum pidana Belanda mengenalnya melalui Code Penal dari
Perancis. Ketika itu para sarjana Italia mensistematisir hukum Romawi dan hukum
Kanonik (gereja), dari mana diperoleh pembedaan yang rapi antara percobaan dengan
kejahatan (sempurna). Sedangkan pemidanaan terhadap percobaan ditentukan lebih
ringan. Semula sistem Code-Penal mengancam pidana yang sama terhadap percobaan
dan delik sempurna. Tahun 1854 sistem ini dirobah dengan sistem yang dikenal
sekarang, yaitu ancaman pidana yang lebih ringan untuk perco- baan.

132. Dua aliran mengenai dasar-dasar pemidanaan


Ada dua aliran mengenai dasar pemidanaan percobaan yang paling me. nonjol.
Sistem pemidanaan untuk percobaan agak menyimpang dari sistem pemidanaan suatu
delik sempurna yang justru mengancamkan pidana apabila unsur-unsur delik tersebut
telah sempurna dipenuhi. Untuk percobaan, pemidanaan diadakan, justru belum
terjadi sesuatu yang merugikan kepentingan hukum seperti yang seutuhnya dilindungi
dalam (pasal) tindak-pidana yang bersangkutan. Karenanya dicari dasar-hukum dari
pemidanaan tersebut,
Teori percobaan subyektif. Aliran pertama bertolak-pangkal kepada diri atau
jiwa dari petindak. Yang dinilai pertama-tama adalah isi kejiwaan dari petindak, yaitu
kehendaknya atau niat petindak untuk melakukan suatu kejahatan. Niatnya harus
ternyata dari tindakannya yang juga merupakan pernyataan keberbahayaan dari
petindak.

133. Percobaan terhadap kejahatan


Menghendaki pemberantasan kejahatan pada tindakan permulaan nya atau
mengadakan perlawanan terhadap orang-orang yang berts biat jahat. Justru itulah
sebabnya mengapa petindak yang baru saja me nyatakan niat-jahatnya dalam bentuk
tindakan permulaan sudah hans dipidana, walaupun belum terjadi sesuatu kerugian
kepentingan-hukum sesuai dengan pasal-pasal tindak-pidana. Sampai di mana batas
dari permulaan-tindakan yang harus sudah temyata sebagai perwujudan dari niatnya
itu, akan masih dibahas nanti. Karena aliran ini bertolak pangkal kepada diri petindak
atau subyek dari tindakan itu, maka aliran ini disebut sebagai: teori percobaan
subjektif. (baca no. 137)

133. Percobaan terhadap kejahatan.


Sistem hukum pidana tentang pemidanaan percobaan ialah, bahwa pada
umumnya yang ditentukan dapat dipidana, adalah percobaan terhadap kejahatan
(pasal 53). Sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (pasal 54).
Ternyata ketentuan umum ini tidak konsekwen dipedomani. Ada beberapa percobaan
untuk melakukan kejahatan dengan tegas dinyatakan tidak dipidana, yaitu seperti:
percobaan melakukan penganiayaan-binatang (dierenmishandeling) pasal 302 ayat 4;
percobaan untuk melakukan penganiayaan-manusia pasal 351 ayat 5, 352 ayat 2 dan
percobaan untuk melakukan "perkelahian", pasal 184 ayat 5.

134. Percobaan terhadap delik kealpaan


Jika diperhatikan perumusan percobaan, di mana niat merupakan salah satu
syarat, sukar dibayangkan kemungkinan adanya percobaan terhadap delik-kealpaan.
Namun kemungkinan tersebut tidak tertutup. Niat adalah salah satu syarat dari
mencoba. Bukan salah satu syarat atau unsur dari kejahatan yang hendak
dilakukannya. Jadi dengan demikian masih saja ada kemungkinan bahwa seseorang
berniat melakukan suatu persetubuhan dengan seorang wanita di luar perkawinan,
sedang sepatutnya ia harus dapat menduga (culpa) bahwa wanita itu belum cukup
umurnya 15 tahun.

BAB XXVIII
PERUMUSAN PERCOBAAN DALAM KUHP

135. Ketentuan mengenai percobaan. (Pasal 53 KUHP)


(1) percobaan terhadap kejahatan dipidana, jika niat petindak telah dinyatakan dengan
adanya permulaan pelaksanaan tindakan, dan pelaksanaan tindakan itu tidak
selesai hanyalah karena keadaan-keadaan di luar kehendakпуз.
(2) Maksimum pidana pokok yang ditentukan terhadap kejahatan itu, dalam hal
percobaan dikurangi dengan sepertiganya.
(3) Jika pidana meti atau pidana penjara seumur hidup yang diancamkan terhadap
kejahatan itu, maka pidana-penjara yang maksimumnya 15 tahun yang dijatuhkan.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan sama dengan kejahatan selesai.

136. Niat
Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan keja hatan. Hal
ini temyata dari perumusan pasal 53 KUHP. Dengan demikian percobaan untuk
melakukan kejahatan, (apabila kejahatan yang diniat itu adalah pembunuhan maka
sehubungan dengan ketentuan tadi) dapat diperinci menjadi Niar untuk dengan
sengaja merampas nyawa orang lain (pasal 338). Dari uraian singkat tersebut sudah
dapat dipastikan bahwa niat tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganti unsur
kesalahan (dolus atau culpa) dari kejahatan itu. Dengan perkataan lain unsur dengan
sengaja pada pasal 338 terbaru tidak digantikan oleh syarat niat.

137. Permulaan pelaksanaan tindakan (begin van uitvoering)


Jika digunakan penafsiran secara sistematis, balk, pada pokok kalimatnya
demikian pula pada anak-kalimatnya (yang berbunyi: “Dan pe laksanaan tindakan itu
tidak selesai.....”) terdapat istilah yang sama yaity pelaksanaan tindakan. Karena
istilah-istilah itu harus sama artinya, maka is tilah itu harus dikembalikan kepada
persoalan-pokoknya yaitu percobaan terhadap kejahatan. Sehingga yang dimaksud
adalah: pelaksanaan tindakan dari kejahatan. Dihubungkan dengan ajaran pemidanaan
percobaan, maka hal ini termasuk dalam ajaran percobaan objektif.
Akibat dari perbedaan cara penafsiran tersebut, pemecahan persoalan tidak
semakin mudah. Kini dipersoalkan apakah yang dimaksud dengan peradaan
pelaksanaan tindakan (baik dihubungkan dengan niat maupun dengan kejahatan),
karena undang-undang sendiri tidak memberikan suatu pembatasan.

138. Pelaksanaan tindakan tidak selesai karena keadaan diluar - kehendak petindak
Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi. Suai
dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur
dari kejahatan menurut rumusannya. Dengan perkataan lain niat petindak untuk
melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan de ngan tindakannya terhenti
sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat juga dikatakan, bahwa tindakan untuk
merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang-hukum-
pidana itu terhenti sebelum terjadi “kerugian” yang sesuai dengan perumusan undang-
undang. Yang dimaksud dengan keadaan diluar kehendak petindak, adalah setiap
keadaan baik badaniah (fisik) maupun rokhaniah (psychis) yang datangnya dari luar
yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempuma terselesaikan kejahatan itu.

BAB XXIX
TEORI-TEORI MENGENAI PERCOBAAN

139. Percobaan yang tidak wajar (ondeugdelijke poging)


Dikatakan percobaan yang tidak wajar, bilamana niat petindak telah
dinyatakan dengan adanya permulaan pelaksanaan tindakan, tetapi tidak selesai
pelaksanaan tindakan itu, adalah karena tidak mungkin terjadi dan di luar
kehendaknya. Tegasnya ada keadaan yang di luar kehendak petindak, yang
merupakan dak memungkinkan penyelesaian-tindakan itu, walaupun ia telah
melakukan tindakan-tindakan ke arah penyelesaian itu. Keadaan itu bukan
halangan/rintangan yang dilakukan oleh manusia, makhluk lainnya atau alam,
melainkan karena alat untuk menyelesaikan tindakan itu, atau sasaran dan tindakan itu
tidak wajar, yang tidak diketahui oleh petindak. Jadi bukan percobaannya yang tidak
wajar, tetapi alat atau sasarannya.

140. Penilaian kasuistis untuk percobaan yang tidak wajar


Untuk memudahkan memahami percobaan yang tidak wajar dalam hubungan
ajaran-ajaran subjektif dan objektif, di bawah ini diberikan beberapa contoh.
a. Alatnya mutlak tidak wajar.
A pergi ke apotik untuk membeli arsenikum (racun tikus) dengan maksud
memasukkannya ke dalam minuman B, supaya B mati. Karena kesalahan apoteker,
telah diberikan sebungkus gula kepada A yang se harusnya arsenikum. A tidak
mengetahui kekeliruan itu. Sesampainya di rumah benda tersebut telah dilarutkan ke
dalam minuman B. Ternyata setelah B meminumnya, tidak terjadi apa-apa.
b. Alatnya relatif tidak wajar.
C berniat membunuh D, dengan menggunakan arsenikurn. Ternyata setelah
diminum oleh D, ia hanya agak sakit perut saja. Hal ini mungkin karena takaran
(dosis) arsenikum kurang, atau karena daya tahan D terhadap arsenikum itu sangat
kuat.
c. Sasaran mutlak tidak wajar.
E hendak membunuh F yang sudah sakit jantung. Pada suatu malam E yang
mengira F sedang tidur, ditembaknya beberapa kali, sehingga ia yakin bahwa F telah
mati karena tembakannya itu. Ternyata menurut visum dokter dekat sebelum
penembakan itu, F sudah mati, Berarti E telah menembak mayat.

141. Kejadian yang mirip dengan percobaan yang tidak wajar


Beberapa kejadian sering dibicarakan dalam rangka percobaan tidak wajar.
Dikatakan juga sebagai telah terjadi kekeliruan mengenai ke yang wajarannya. Dalan
contoh yang terkenal mengenai petani dari Beieren (be ierseboer) yang mendoakan
supaya seseorang lain mati sebagai akibat dari doanya. Ternyata tidak terjadi apa-apa
kepada orang lain itu. Dari sudut percobaan yang tidak wajar, kejadian ini termasuk:
percobaan yang alatnya secara mutlak tidak wajar. Tetapi sebenarnya apa yang telah
dikerjakan oleh petani itu, yaitu berdoa, bukanlah alat untuk membunuh dan bahkan
secara hukum-pidana tidak ada hubungannya dengan pembunuhan.

142. Percobaan dikwalifisir, sempurna selesai dan tercegat


Percobaan yang dikwalifisir adalah, bilamana petindak membatalkan lanjutan
tindakan yang diniatinya secara sukarela, untuk melakukan suatu tindak pidana
(kejahatan) tertentu, tetapi telah memenuhi unsur-unsur dari tindak-pidana lainnya.
Dalam hal ini petindak dapat dituntut pidana berdasarkan tindak-pidana lainnya itu.
Ajaran lainnya ialah apa yang disebut sebagai percobaan selesai atau percobaan-
sempurna (delict manque atau onvoltooid delict) berhadapan dengan percobaan
tercegat (geschorste poging). Pengertian dari yang pertama ialah bilamana petindak
telah melakukan segala sesuatunya supaya terjadi akibat yang dikehendakinya tetapi
tidak terwujud. (Kejahatan itu tidak sempurna).
143. Makar dan mufakat jahat
Ketentuan-ketentuan lain yang mirip dengan percobaan yang diatur dalam
KUHP adalah makar dan mufakat jahat. Menurut paal 87 KUHP, dikatakan ada makar
terhadap suatu tindakan, jika niat petindak telah di nyatakan dengan adanya
permulaan-pelaksanaan-tindakan, seperti dimaksud dalam pasal 53.
Makar, hanya pada beberapa kejahatan tertentu saja ditentukan dalam KUHP.
Terutama dalam buku kedua bab I, II dan III (kejahatan terhadap keamanan negara,
martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat dan kepala negara sahabat serta
wakilnya). Dihubungkannya makar dengan percobaan (pasal 53 KUHP), harus
ditafsirkan bahwa dari tiga syarat percobaan yang ditentukan, untuk menentukan
adanya makar sudah cukup jika dipenuhi dua syarat yang terdahulu saja. Selanjutnya
untuk adanya makar tidak perlu dipersoalkan, apakah yang diniatkan itu berhasil atau
tidak berhasil. Ancaman pidana bagi makar yang sudah sempuma (pasal 87) terhadap
suatu kejahatan tertentu, percobaan terhadap kejahatan tersebut (misalnya
pembunuhan presiden) dan terselesaikan kejahatan khusus” itu sendir sama saja dan
termasuk dalam ketentuan pada pasal yang bersangkutan (kejahatan selesai). Perlu
diperhatikan juga bahwa pembatalan niat secara sukarela dalam soal makar tidak
meniadakan pidana.

144. Percobaan terhadap makar dan mufakat jahat


Pasal 88 menentukan: Dikatakan ada mufakat-jahat, jika dua orang atau lebih
telah mufakat untuk melakukan kejahatan. Jika dibandingkan ketentuan dalam pasal
ini dengan ketentuan percobaan terutama tentang hal-hal yang dibahas dalam syarat
kedua dari percobaan, yaitu mengenal persiapan-pelaksanaan (yang tidak dipidana)
dan tindakan-pelaksanaan (yang dipidana), maka mufakat-jahat termasuk dalam
pengertian persiapan-pelaksanaan. Jika dalam percobaan, kegiatan sambal persiapan
pelaksana. an saja belum diancam pidana, maka pada mufakat jahat (yang hampir
sama dengan persiapan pelaksanaan) untuk kejahatan tertentu, sudah diancam pidana
(para petindaknya). Ketentuan seperti ini sengaja diadakan justru untuk dapat
mencegah kejahatan tertentu tersebut pada tingkat permulaannya sekali. Dalam hal ini
dalam KUHP tiada persoalan pen daan-pidana, kendati ada pembatalan secara
sukarela.
BAGIAN VII
PENYERTAAN (deelneming)

BAB XXX
BENTUK DAN POKOK PERSOALAN PADA PENYERTAAN
145. Bentuk-bentuk penyertaan
Jelas bahwa makna dari istilah ini ialah bahwa ada dua orang atau lebih yang
melakukan suatu tindak pidana atau dengan lain perkataan ada dua orang atau lebih
mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Menjadi persoalan,
berapa besar bagian seseorang untuk melakukan tindak pidana itu, atau sejak kapan
dan sejauh mana pengertian yang terkandung dalam is tilah mengambil bagian itu.

146. Pokok persoalan pada penyertaan


Memahami bentuk-bentuk hubungan dari penyertaan adalah sangat penting.
Karena sebagaimana terlihat dalam uraian di atas, hubungan antara peserta-peserta itu
satu sama lainnya tidak sama eratnya, Harus dibedakan hubungan antara seseorang
yang menyuruh terhadap yang disuruh, dengan hubungan seseorang yang
menggerakkan (uitlokker) terhadap yang digerakkan (Uitgelokte); hubungan antara
seseorang dan orang lain yang bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak
pidana, dengan seseorang yang dibantu orang lain melakukan kejahatan.

BAB XXXI
PENYERTAAN DALAM ARTI SEMPIT

147. Pemidanaan petindak


Yang dimaksud dengan penyertaan (deelneming) dalarn arti sempit da lam tulisan
ini ialah semua bentuk-bentuk penyertaan yang ditentukan da lam pasal 55 KUHP.
Hal ini dimaksudkan untuk membedakan pembantuan (pasal 56) sebagai salah satu
bentuk penyertaan (deelneming) yang diatur dalam Bab V Buku I KUHP.

Pasal 55:
1) Dipidana sebagai petindak-petindak (daders) dari suatu tindak pidana:
Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut
serta melakukan suatu tindak pidana; ke-2 mereka yang dengan suatu pemberian,
suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman
atau penyesatan atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan,
Sengaja menggerakkan orag lain untuk melakukan suatu tindakan.
2) Terhadap penggerak tersebut hanya tindakan yang dengan sengaja digerakkannya
beserta akibat-akibatnya saja yang diperhitungkan.

148. Pengertian petindak. (dader).


Dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar bahwa yang dimaksud dengan
petindak adalah seorang yang melakukan suatu tindakan. Dalam rangka pembahasan
hukum pidana, istilah petindak selalu dikaitkan dengan unsur- unsur dari sesuatu
tindak pidana. Jadi menurut ilmu hukum pidana yang di- maksud dengan petindak
adalah barangsiapa yang telah mewujudkan/memenuhi semua unsur-unsur (termasuk
unsur subjek) dari sesuatu tindak pidana sebagaimana unsur-unsur itu dirumuskan
dalam undang-undang.

149. Mereka yang melakukan suatu tindakan (pelaku/pelaku pelaku)


Maksud kalimat mereka yang melakukan suatu tindakan adalah petindak
tunggal (de alleen dader). Penggunaan kata jamak (dalam hal ini mereka) oleh para
penganut ajaran/pendapat yang menafsirkan sebagai petindak tunggal, mengatakan
adalah sesuai dengan bahasa sehari-hari dimana sering dikatakan petindak-petindak
(mereka) yang seharus- nya menyebutkannya dengan petindak (dia). Pendapat ini
ditentang oleh para sarjana lainnya, karena jika pengertiannya adalah petindak
tunggal, maka tidak ada hubungannya dengan penyertaan. Rumusan ini (dalam arti
petin- dak tunggal) sebenarnya adalah berlebihan karena seorang petindak tunggal,
sudah dengan sendirinya dapat dipidana berdasarkan rumusan tindak pidana dalam
undang-undang.

150. Mereka yang menyuruh lakukan suatu tindakan (doen plegen)


Dalam bentuk penyertaan menyuruh-lakukan, penyuruh tidak melakukan
sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
Penyuruh (manus domina, onmiddelijke dader, intellectuele dader) berada di belakang
layar, sedangkan yang melakukan tindak pidana adalah seseorang lain yang disuruh
(manus ministra, middelijke dader, materiele dader). Orang yang disuruh itu
merupakan alat di tangan penyuruh. Dalam hal ini yang disuruh itu telah melakukan
tindakan tersebut karena ketidaktahuan, kekeliruan (dwaling) atau paksaan sehingga
padanya tiada unsur kesalahan. Penyuruh dipidana sebagai petindak, sedangkan yang
disuruh tidak dipidana karena padanya tiada unsur kesalahan atau setidak-tidaknya
unsur kesalahannya ditiadakan. Penyuruh mungkin hanya satu orang saja, walaupun
digunakan istilah mereka yang melakukan, tetapi mungkin juga lebih dari satu orang.
Dapat disimpulkan bahwa penyuruh adalah merupakan petindak yang melakukan
suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada
orang lain itu tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidak-tahuannya,
kekeliruannya atau dipaksa.

151. Mereka yang turut serta melakukan suatu tindakan (medeplegen)


Medeplegen juga diterjemahkan sebagai mereka yang bersama-sama orang lain
melakukan suatu tindakan. Dalam bentuk ini jelas bahwa subjeknya paling sedikit dua
orang. Para pelaku atau pelaku-pelaku peserta dipidana sebagai petindak. Pemakaian
istilah pelaku atau pelaku peserta (medepleger) sebenarnya hanyalah masalah: dari
sudut siapa istilah itu digunakan. Artinya dalam hal P dan Q bersama-sama
melakukan suatu tindak pida. Na, seandainya P disebut sebagai pelaku maka Q adalah
pelaku peserta dan jika Q disebut sebagai pelaku maka P adalah pelaku peserta. Hal
yang diutarakan terakhir (Q sebagai pelaku dan seterusnya) jika diikuti uraian dari
NOYON (Lihat c berikut) adalah kurang tepat. Namun pada umumnya dilihat dari
sudut syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang turut serta melaku kan, pengertian
tersebut adalah memadai.

152. Syarat-syarat kerja sama


Demikian pula keadaan yang memberatkan sehubungan dengan tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dari pelaku-pelaku peserta, adalah menjadi tanggung jawab
dari seluruh pelaku peserta, walaupun salah seorang dari para peserta itu tidak turut
melakukannya. Jadi seseorang dapat dipidana sebagai pelaku peserta karena
melakukan suatu pencurian dengan pembongkaran walaupun ia tidak turut melakukan
tindakan pembongkaran. Untuk bentuk pelaku-peserta ini disyaratkan adanya:
a. Kerjasama secara sadar dan,
b. Kerjasama secara langsung.
153. Kerjasama dalam delik-alpa
Syarat bekerja sama secara sadar tersebut di atas, lebih cenderung dapat
diterapkan kepada suatu tindak pidana sengaja (delik sengaja). Tetapi banyak juga
dipersoalkan apakah bentuk pelaku penyertaan ini mungkin terjadi dalam suatu delik
alpa? Konkritnya dapatkah pada tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 195
yaitu: “Barang siapa karena kealpaannya menimbulkan bahaya bagi lalu lintas umum
yang digerakkan oleh tenaga uap/ mesin di jalan kereta-api”, terjadi bentuk pelaku
penyertaan? Ternyata HR (Arrest 14 Nov. 1921) memutuskan bahwa dalam hal
tersebut mungkin terjadi penyertaan. Dalam suatu kasus kecelakaan kereta api dimana
terlibat sebagai terdakwa-terdakwanya antara lain kepala stasion dan seorang pengatur
perjalanan kereta api (PPKA/rangeerder) dikatakan bahwa kecelakaan telah terjadi
karena kerjasama dalam arti kealpaan yang besar dari kedua terdakwa tersebut.
Dinyatakan bahwa bentuk pelaku penyertaan untuk melakukan delik pasal 195 telah
terjadi, karena tindakan masing-masing pelaku penyerta, satu sama lain berhubungan
erat dalam rangka bahwa terwujud. Nya kecelakaan itu tidak dikehendaki oleh
undang-undang.

154. Mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya
upaya tertentu (uitlokking)
Bentuk penyertaan penggerakan mirip dengan bentuk penyertaan menyuruh
melakukan. Perbedaannya ialah, bahwa pada bentuk penyertaan menyuruh melakukan
terdapat syarat-syarat:
a. Peserta yang disuruh (manus ministra) adalah peserta yang tidak dapat dipidana;
b. Bahwa daya-upaya pada penyuruh (manus domina), tidak dirumuskan secara limitatif.
Sedangkan syarat-syarat pada penyertaan penggerakan adalah:
a. Yang digerakkan (materiele/fisike dader) dapat dipidana karena melakukan suatu
tindak pidana seperti halnya penggerak (auctor intellectualis) dapat dipidana karena
menggerakkan;
b. Daya-upaya yang digunakan penggerak dirumuskan secara limitatif.

155. Tujuan dan kesengajaan (kehendak) penggerak


Kesengajaan penggerak ditujukan agar sesuatu tindakan dilakukan olen pelaku
yang digerakkan. Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana
tertentu. Ini berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan itu adalah
tindak pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak sebagaimana
dimaksudkan oleh pasal ini. Dengan perkataan lain harus ada hubungan kausal antara
kesengajaan/tujuan penggerak dengan tindak pidana yang terjadi.

156. Daya upaya tertentu


Dayau paya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan,
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau
keterangan. Jika di luar daya upaya ini yang digunakan maka hal tersebut tidak
termasuk dalam bentuk penyertaan penggerak. Seperti juga telah dikemukakan VOS¹)
tentang keberatan-keberatan mengenai pembatasan daya upaya ini, masih juga dikenal
beberapa “daya upaya” yang seyogyanya dapat dimasukkan dalam bentuk penyertaan
ini, terutama mengingat keadaan kejiwaan kebanyakan masyarakat di Indonesia
seperti misalnya hutang budi, setia-kawan, pengejekan, memberitahukan sesuatu
kejadian yang benar-benar terjadi, saran yang seakan-akan baik dan lain sebagainya.

157. Orang lain yang digerakkan


Penggerak tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendaki. Nya itu,
tetapi ia menggerakkan orang lain untuk melakukannya. Hubungan antara penggerak
dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Tidak merupakan syarat mutlak
supaya A (penggerak) langsung menggerakkan C (d. Tergerak) dengan pemberian
untuk melakukan suatu tindak pidana. Dapat juga terjadi bahwa C turut melakukan
tindak pidana yang dikehendaki A itu, sedangkan C sama sekali tidak pernah dikenal
oleh A. Untuk jelasnya, A menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat
yang terpisah B bersama-sama C, melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A.
Dalam hal ini A tetap dipertanggungjawabkan sebagai penggerak dari B maupun C
(Arrest HR 21 Des. 1914, W. 9756). Dalam hal ini C dipandang telah (turut) tergerak
melakukan tindakan tersebut, karena daya-upaya dari A.

158. Tindakan yang digerakkan benar-benar terjadi


Jelaslah bahwa tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar-
benar terjadi. Dan terjadinya adalah karena daya-upaya dari penggerak. Dalam
perkembangan hukum pidana, ternyata pengertian tindak pidana telah diperluas
dengan percobaannya. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu tingkat
percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki penggerak,
maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 (2). (Arrest HR 7 Des. 1917,
W 10216). Kenyataan ini adalah lebih cenderung untuk mengartikan percobaan
sebagai tindak pidana khusus seperti diuraikan pada no. 127.

159. Pertanggung jawaban pada penyertaan mandiri dan terkait


Ajaran-ajaran mengenai peserta yang berdiri sendiri atau bentuk penyertaan
mandiri dan peserta yang dikaitkan kepada peserta lainnya atau bentuk penyertaan
terkait (zelfstandige deelnemers/zelfstandige vormen van deelneming, onzelfstandige
deelnemers atau accessoire deelnemers/ onzelfstandige vorman van deelneming atau
accessoire vormen van deelnem- ing), dipertentangkan dalam menafsirkan bunyi pasal
55. Para Sarjana (ZE- VEN BERGEN, VAN HAMEL, SIMONS, VOS) dalam
membahas ajaran ajaran tersebut memasukkan dalam bentuk pertama (penyertaan
mandiri) bentuk-bentuk penyertaan yang berupa: yang melakukan, yang menyuruh
lakukan dan yang turut serta melakukan (pelaku peserta), karena pertang
gungjawaban mereka tergantung pada apa yang mereka sendiri lakukan. Sedangkan
yang termasuk bentuk kedua (accessoire) adalah penggerak (uitlokker), karena
pertanggungjawabannya tergantung kepada tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang
digerakkannya itu. Dengan perkataan lain jika pelaku yang digerakkan tidak
melakukan apa-apa, maka ia tidak dapat dipidana dan karena ia tidak dipidana maka
yang menggerakkan itu pun tidak dipidana. Sebaliknya jika pelaku yang digerakkan
itu melakukan tindakan yang digerakkan untuk mana ia dipidana, maka penggerak
mendapat pidana yang sepadan.

160. Penggerakkan yang gagal (mislukte uitlokking)


Jika orang yang digerakkan itu tidak melakukan tindakan yang dikehendaki
penggerak (atau paling banter yang dilakukan hanya sampai kepada tindakan
persiapan saja) namun dalam hal demikian penggerak sudah diancam dengan pidana.
Ditinjau dari sudut pertanggungjawaban mandiri dan pertanggungjawaban terkait,
jelas bahwa pertanggungjawaban pidana pada penggerak adalah berdiri sendiri atau
dengan perkataan lain tidak dikaitkan kepada apakah sitergerak telah melaku- kan
atau tidak. Dan jika hal itu ditinjau dari sudut ajaran-ajaran percobaan (objektif dan
subjektif), maka seandainya pasal 163 (bis) ini tidak ada, ketentuan seperti itu
termasuk dalam ajaran percobaan yang subjektif yang semata-mata disandarkan
kepada kehendak jahat dari penggerak.

161. Pertanggung jawaban yang dibatasi dan diperluas serta penuntutan.


Seperti telah diuraikan pada no. 146 bahwa pokok persoalan pada penyertaan
adalah tentang pertanggungjawaban masing-masing peserta. Pada ayat 2 pasal 55
ditentukan bahwa “Terhadap penggerak yang diperhitungkan hanya tindakan-tindakan
yang dengan sengaja digerakkan beserta akibat-akibatnya”. Dari kata-kata “hanya
tindakan-tindakan yang digerakkan” tersimpulkan bahwa pertanggungjawaban
penggerak dibatasi. Yaitu penggerak tidak dipertanggungjawabkan terhadap tindakan
lainnya yang dilakukan oleh sitergerak baik merupakan tindakan yang mendahului,
berbarengan atau menyusul yang tidak digerakkan/dikehendaki oleh penggerak.

BAB XXXII
BENTUK-BENTUK YANG MIRIP PENYERTAAN

162. Bentuk-bentuk penyertaan di luar ketentuan Bab V Buku I KUHP


Penuntutannya adalah berdasarkan pasal 363 (1) ke-4 KUHP dan bukan
berdasarkan pasal 362 jo pasal 55 (1) ke-1 KUHP. Maksimum ancaman pidana
berdasarkan yang disebut pertama adalah 7 tahun, sedangkan yang disebut kemudian
adalah 5 tahun. Nampak bahwa ketentuan ini tak sama dengan yang diatur dalam Bab
V. Demikian juga seandainya C pada waktu damai, dengan salah satu daya-upaya
tersebut dalam pasal 55 No. 2 sengaja menganjurkan kepada M (seorang militer)
dalam dinas negara, supaya melakukan desersi dan M melakukan desersi, maka
sepintas lalu antara C dan M adalah persoalan penyertaan y
penyelesaiannya/penuntutannya berdasarkan pasal 236 jo pasal 55 no. 2 KUHP.
Padahal menurut ketentuannya C dan M masing-masing telah melakukan tindak
pidana yang berbeda. C telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 236
KUHP yang maksimum ancaman pidananya adalah lebih ringan (9 bulan)sedangkan
M melakukan tindak pidana desersi yang diatur dalam pasal 87 (2) KUHPM yang
maksimum ancaman pidananya lebih berat (2 tahun 8 bulan). Apabila terjadi
persetubuhan antara L dan P, harus diteliti bentuk dan pelaku-pelaku dari
persetubuhan tersebut, karena dalam suatu bentuk persetubuhan justru maksud
pembuat undang-undang adalah untuk melindungi wanita tersebut.
163. Bentuk-bentuk yang menyimpang penuntutannya
Penyimpangan terdapat pada pertanggungjawaban atau penuntutan terhadap
seseorang yang seharusnya telah dapat dianggap sebagai penyerta. Pada suatu delik
Pers, sebenamya penerbit dan pencetak telah dapat dimasukkan dalam
penyertaan/penggerakan. (Dalam hal ini penerbit bukan sekaligus sebagai penulis dan
demikian pula pencetak tidak sekaligus sebagai penerbit dan penulis). Bukankah dia
telah menerbitkan suatu tulisan yang merupakan suatu tindak pidana untuk penerbitan
mana ia mendapatkan uang dari penulis (pelaku)? Tetapi apabila ia dapat memenuhi
syarat yang diatur dalam pasal 483/484 jo 61/62 KUHP, maka ia tidak
dipertanggungwabkan atas penerbitan tersebut.

164. Bentuk-bentuk penyertaan bersanding (noodzakelijkevormen van deelneming)


Bilamana pada umumnya sesuatu tindak pidana dapat dilakukan secara sempurna
oleh seseorang, dan pada penyertaan dilakukan oleh dua orang/ lebih, maka
keistimewaan pada bentuk penyertaan bersanding adalah justru tindak pidana baru
mungkin terjadi apabila pelaku yang lainnya adalah merupakan partnya yang
sewajarnya demikian atau ditentukan sedemikian itu. Dengan perkataan lain tidak
mungkin terjadi tindak pidana jika hanya satu orang saja pelakunya. Bentuk ini dapat
terjadi antara lain dalam tindak pidana duel (pasal 182-186), bigami/poligami (pasal
279 KUHP), perzinahan (284 KUHP), menyembunyikan penjahat (221 KUHP),
persetubuhan dengan seorang wanita di bawah umur 15 tahun (287 KUHP),
percabulan de- ngan seorang yang sedang pingsan (290 KUHP). Mudah dipahami
bahwa tindak pidana tersebut harus dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak
mungkin ada bigami kalau hanya ada satu orang laki-laki atau wanita saja.

165. Bentuk-bentuk yang diatur sebagai delik


Sesungguhnya bentuk-bentuk penyertaan yang telah dibahas pada nomor di atas,
dilihat dari sudut delik, termasuk juga dalam penggolongan nomor 165 ini. Jika fokus
penyorotan pada no. 164 adalah untuk terwujudnya suatu tindak pidana disyaratkan
mutlak minimal 2 orang atau lebih sebagai pelakunya,
166. Bentuk-bentuk yang merupakan penambahan
Jika di atas dibahas mengenai penyertaan yang selalu dihubungkan suatu
tindakan yang merupakan tindak pidana, maka dalam pasal: 345 KUHP ditentukan
suatu keadaan yang sangat berbeda yaitu: "Barang siapa dengan sengaja mendorong
orang lain untuk bunuh diri, membantunya untuk tindak- Itu atau memberikan sarana
padanya untuk itu diancam dengan pidana...". Bunuh diri bukanlah suatu tindak
pidana. Tetapi barangalapa yang membantu untuk itu diancam dengan pidana. Jika
orang itu benar-benar bunuh diri dan mati, maka bentuk penyertaan di sini (yang
dikaitkan dengan pertanggungjawaban) sukar untuk dibayangkan. Lain halnya ketika
orang lain itu akan bunuh diri, tetapi tercegah oleh pihak ketiga di luar kemauan dari
yang mendorong dan mau bunuh diri. Dilihat dari sudut Penyertaan dan dihubungkan
dengan Percobaan atau dengan Penggerakan Yang Gagal (163 bis KUHP), terjadi
suatu keganjilan di mana pembantu diancam dengan suatu pidana, sedangkan yang
gagal bunuh diri itu tidak. Dengan cara yang mirip dapat juga dijelaskan pasal 344
dimana pelaku membunuh seseorang atas permintaan orang itu sendiri.

167. Pelaku penghasut pura-pura (Agent provocateur)


Kecenderungan penjahat untuk berorganisasi pada umumnya terdapat dalam
dunia spionase, perda. Sangan wanita atau bahan-bahan yang membiuskan, pemalsuan
uang dan kegiatan yang berlatar belakang politik. Untuk mengatasi kesulitan
penyidikan, maka dalam praktek (ada terjadi) seorang pegawai penyidik dalam
usahanya untuk menangkap seseorang penjahat atau mencari bukti-bukti
menggerakkan seseorang (biasanya salah seorang dari yang dicurigai) untuk
melakukan suatu tindak pidana. Sudah barang tentu tindak pidana yang digerakkan
adalah yang mirip dengan tindak pidana yang telah terjadi. Bahkan lebih jauh dari
pada itu ada juga terjadi seorang pegawai penyidik memasuki organisasi penjahat
untuk maksud yang sama.

BAB XXXIII
PEMBANTUAN

168. Pengertian umum pembantuan


Pembantuan harus diberikan dengan sengaja. Kesengajaan harus ditu jukan
untuk mewujudkan suatu kejahatan tertentu. Ini tidak berarti bahwa pembantu harus
mengetahui pula cara bagaimana bantuan yang diberikannya dimanfaatkan, kapan dan
di mana dimanfaatkan atau siapa yang dirugikan oleh pelaku utama. Cukup kalau ia
mengetahui bahwa bantuan yang diberi. Kannya misalnya adalah untuk melakukan
pencurian. Jelasnya macam keja- hatan yang sedang atau akan terjadi yang
dikehendaki petindak harus diketahui oleh pembantu. Untuk melakukan kejahatan
tertentu yang diketahuinya itulah kesengajaan ditujukan.

169. Jenis-jenis pembantuan


Waktu pemberian bantuan dan kedua dilihat dari sudut daya-upaya yang
merupakan bantuan. Pada jenis yang pertama yang menjadi ukuran ada lah waktu
pemberian bantuan. Menurut pasal 56 ke-1, waktu pemberian ban- tuan harus
berbarengan dengan terjadinya suatu kejahatan. Artinya bantuan yang diberikan
sebelum atau sesudah kejahatan terjadi, tidak termasuk dalam jenis pertama. Misalnya
K mengatakan kepada M-bahwa ia hendak mencuri barang berharga dari suatu rumah
pembesar. Lalu M mengatakan “Ta perseni kamu kalau berani mencuri di situ”. Jika
keesokan harinya terjadi pencurian, maka M tidak termasuk pembantu, walaupun
ucapannya itu berupa janji atau pengharapan. Janji atau pengharapan di sini harus
merupakan bantuan sebagai dimaksud dalam pasal 56 ke-1. Lain halnya jika persenan
itu diberikan ketika kejahatan itu terjadi, di mana persenan itu dapat berfungsi sebagai
dorongan bagi petindak. Dalam hal ini yang memberi persenan itu adalah pembantu.
Perlu diingat bahwa bentuk bantuan yang tersebut dalam pasal 56 ke-1, tidak
ditentukan secara tegas, yang dengan demikian dapat mem- punyai arti yang luas.
Dengan perkataan lain bentuk daya upaya untuk jenis pembantuan yang pertama tidak
ditentukan secara limitatif. Boleh berupa apa saja.

170. Pembantuan passif


Yang dimaksud dengan pembantuan aktif adalah sesuai dengan penafsiran secara
tata bahasa, yaitu benar-benar terjadi suatu gerakan untuk melakukan sesuatu tindakan
(bantuan). Sedangkan pembantuan passif ialah: tidak melakukan sesuatu
gerakan/tindakan, namun dengan kepassifannya itu ia telah me. Dengan sengaja
memberi bantuan. Misalnya A melihat suatu kejahatan terjadi, tetapi ia tidak berbuat
apa-apa.

171. Pertanggungjawaban pembantuan


Dilihat dari sudut ajaran bentuk pertanggungjawaban peserta mandiri (zelfstandige
vorm van deelneming) dan peserta terkait (onzelfstandige vorm vari deelneming),
pembantu (sebagai peserta dalam arti luas/deelnemen) termasuk dalam golongan
bentuk pertanggungjawaban peserta terkait. Artinya pertanggungjawaban pembantu
terkait/tergantung kepada pertanggungjawaban petindak/pelaku utama. Apabila
misalnya petindak benar-benar, melakukan kejahatan yang dikehendakinya itu, maka
tanggung jawab pembantu adalah sebagai pembantu pada petindak yang ancaman
pidananya ditentukan pada pasal 57 ayat 1, 2 dan 3. Pada dasarnya maksimum
dikurangi dengan sepertiga dari maksimum yang diancamkan untuk kejahatan
tersebut. Apabila petindak hanya sampai pada percobaan saja, maka pembantu adalah
merupakan pembantu bagi petindak untuk percobaan melakukan kejahatan. Dan
apabila petindak tidak jadi melakukan kejahatan, atau baru saja pada persiapan
melaksanakan yang tidak diancam dengan pidana, atau apa yang dilakukan oleh
petindak bukanlah suatu kejahatan, bahkan apabila pelaku dibebaskan dari tuduhan
atau dilepaskan dari penuntutan, maka terhadap pembantu tiada persoalan
pemidanaan.

172. Perbedaan pembantuan dengan penyertaan dalam arti sempit


Dengan mengesampingkan para pengurus (pasal 59) dan pelaku ta delik pers,
maka bentuk penyertaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 dan 56 adalah:
a. Dua orang/lebih bersama-sama melakukan;
b. Penyuruh dan yang disuruh;
c. Pelaku dan pelaku-peserta (medepleger);
d. Penggerak dan tergerak (yang digerakkan); dan
e. Petindak (pelaku utama) dan pembantu.

173. Perbedaan pembantuan dengan penyertaan pelaku-peserta (medeplegen)


Secara khusus dapat juga diperbedakan antara pelaku peserta/medeplegers dengan
pembantu, demikian juga antara penggerak dengan pembantu, terutama mengenai
daya upaya yang dirumuskan sama.
Perbedaan antara pelaku peserta dengan pembantu adalah bahwa:
a. hubungan pertanggungjawaban antara pelaku peserta adalah mandiri;
b. hubungan pertanggungjawaban antara pembantu dengan petindak/ pelaku utama
adalah terkait.
Selain dari pada itu oleh IPHP dikemukakan ada tiga aliran/ajaran untuk
memperbedakan bentuk penyertaan pelaku – peserta dengan pembantuan, yaitu:
a. Teori penyertaan objektif;
b. Teori penyertaan subjektif; dan
c. Teori gabungan.
174. Perbedaan pembantuan dengan penggerakan
Perbedaan yang menonjol dalam hal ini adalah antara kehendak untuk
melakukan delik tersebut atau unsur kesengajaan yang ada pada peserta-peserta yang
bersangkutan. Apabila pada seseorang baru timbul suatu kehendak untuk melakukan
sendiri delik, setelah diberikan kepadanya daya upaya tersebut, maka ia adalah peserta
dalam rangka pergerakan (uitlokking). Sedangkan jika kehendak/kesengajaan untuk
melakukan sendiri suatu delik, sudah ada padanya, sebelum diberikan kepadanya daya
upaya tersebut, maka ia adalah petindak, sedang- kan peserta (deelnemer) lainnya itu
adalah pembantu. Dengan perkataan lain timbulnya dolus pada si-tergerak (uitgelokte)
dipengaruhi oleh daya upaya yang diterimanya, sedangkan pada petindak (pelaku
utama) timbulnya dolus tidak karena daya upaya yang diterimanya, melainkan hanya
untuk mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan yang dikehendakinya
itu.

BAB XXXIV
MASALAH PRIBADI DAN PENGURUS

175. Pengaruh masalah-masalah pribadi


Pasal 58: Keadaan pribadi yang meniadakan, mengurangkan atau memberat- kan
penjatuhan pidana, dalam penerapan ketentuan pidana, hanya diperhi- tungkan kepada
petindak atau pembantu yang memiliki sendiri.
Pasal ini menentukan keadaan pribadi yang meniadakan pidana, mengurangkan
pidana atau memperberat pidana yang hanya diterapkan kepada peserta yang benar-
benar memilikinya sendiri. Bicara mengenai keadaan pribadi (persoonlijke
onstandigheid), diperbedakan antara: a keadaan pribadi yang
meniadakan/memperberat/mengurangkan pidana (seperti di- maksud ps. 58) dengan b
keadaan pribadi yang menentukan keterpidanaan suatu delik. Yang pertama disebut
juga sebagai keadaan subjektif yang dapat dimiliki oleh salah seorang peserta. Dan
yang kedua yaitu b disebut juga sebagai keadaan (pribadi) yang objektif yang
merupakan unsur dari suatu delik.

176. Penyertaan pengurus


Bagi seseorang pengurus di katakan bahwa ia mempunyai hak diskulpasi(De
verdachte kan zich dis culperen). Sebenarnya hak diskulpasi ini dapat juga dipandang
sebagai pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) terselubung. Jadi apabila
seseorang pengurus dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu di luar
pengetahuannya, maka ia tidak merupakan pelaku-peserta ataupun pelaku pelaku yan
sama-sama melakukan (mereka yang melakukan) ataupun penggerak.

177. Badan-badan hukum sebagai subjek


Sehubungan dengan ketentuan pasal 59 ini, sejak diundangkannya berbagai
perundang-undangan yang mencantumkan: badan-badan hukum, koperasi-koperasi,
yayasan-yayasan tersebut dapat menjadi subjek tindak pidana, dan tidak terbatas
hanya dalam tindak pidana pelanggaran saja, maka praktis pasal 59 sudah kehilangan
arti. Seperti diketahui bahwa pada saat pasal 59 dibuat, dianut suatu pandangan bahwa
hanya manusia yang dapat merupakan subjek tindak pidana. Dewasa ini pandangan
tersebut sudah ditinggalkan.

BAB XXXV
TINDAK PIDANA PERS

178. Pengertian delik pers


Kejahatan yang dilakukan dengan percetakan disebut secara singkat sebagai
tindak pidana pers atau delik pers. Menurut IPHP yang dimaksud dengan delik pers
adalah: Suatu pengumuman buah fikiran atau perasaan, yang Isinya mengandung
suatu tindakan yang diancam dengan pidana, yang dituju. kan kepada umum dengan
menggunakan barang-barang cetakan, dan dengan pengumuman itu delik sudah
sempurna. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat dari suatu
tindakan untuk dapat disebut sebagai delik pers adalah:
a. Ada pengumuman buah fikiran atau perasaan;
b. Isi pengumuman mengandung suatu tindakan yang diancam dengan pidana.
c. Pengumuman ditujukan kepada umum;
d. Pengumuman dilakukan dengan barang cetakan;
e. Dengan pengumuman itu delik sudah sempurna.

179. Subyek delik pers


Apabila terjadi suatu delik pers, mudah dibayangkan keterlibatan beberapa orang,
yaitu penulis, pencetak dan penerbitnya. Tentunya sepanjang tiga pekerjaan itu tidak
dilakukan sendiri oleh hanya satu orang saja. Berarti tidak ada persoalan penyertaan.
Karena ada urut-urutan pekerjaan tersebut yang dilakukan oleh penulis, pencetak
dan penerbit, secara gampangnya dapat dikatakan telah terjadi penyertaan/kerja sama
di antara mereka. Tetapi sebenarnya apabila diperhatikan peranan masing-masing
akan nampak perbedaannya dalam rangka terjadinya delik pers tersebut. Pencetak
tidak tahu menahu tentang isi yang sebenarnya dari tulisan/cetakan tersebut dan juga
ia tidak ikut berperan untuk mengumumkannya. Jika dicocokkan dengan syarat-syarat
delik pers, ia hanya memenuhi syarat d, syarat pencetakannya. Penerbit hanya
mengumumkan saja. Ia tidak tahu menahu tentang isi dari barang cetakan itu. Jadi
tidak dipenuhi semua syarat-syarat tersebut apabila ia menyuruh orang lain mencetak
dan menerbitkannya. Lain halnya jika pencetak mengerti benar isi dari yang
dicetaknya (sebagai penghinaan misalnya) dan padanya juga ada kehendak supaya
cetakan itu diterbitkan/ diumumkan yang ditujukan kepada umum. Demikian juga jika
penerbit mengerti benar isi dari barang cetakan tersebut (sebagai suatu penghinaan
misalnya) dan juga berkehendak untuk mengumumkannya/menerbitkannya
berbarengan dengan kehendak petindak/penulis. Maka dalam dua hal ini benar- benar
telah terjadi penyertaan di antara mereka.

180. Syarat-syarat penuntutan dan pemidanaan


Pasal 61 dan 62 tidak secara tegas mengatur tentang penyertaan penerbit dan/atau
pencetak dalam suatu delik pers. Yang ditentukan di sana adalah syarat-syarat
penuntutan terhadap penerbit dan pencetak. Apabila penerbit/pencetak tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut, yaitu:
a. tidak menyebut nama dan tempat tinggal petindak (penulis/pengarang) dan
tidak/mengenal petindak (atau yang menyuruh terbitkan), atau
b. setelah diadakan penyidikan atas perkara tersebut ia tidak dapat memberitahukan
petindak yang sebenarnya kepada penyidik, atau
c. pada saat cetakan diterbitkan, walaupun penerbit/pencetak mengenal petindak,
petindak tidak dapat dituntut (misalnya karena gila, sakit ingatan), atau sudah
menetap di luar Indonesia, ia dapat dituntut sebagai pelaku-peserta.

181. Delik penyebaran


Delik delik penyebaran pada umumnya dapat dilakukan dengan barang cetakan.
Akan tetapi ia tidak termasuk delik pers, karena ia tidak memenuhi syarat pertama,
yaitu bahwa isinya bukan merupakan suatu buah fikiran atau perasaan. Dan untuk
terjadinya delik penyebaran, pengumumannya tidak merupakan syarat utama:

Delik-delik penyebaran antara lain dapat ditemukan pada:


a. Pasal 137: menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan yang berisi
penghinaan terhadap Presiden. (bandingkanlah Dengan pasal 134).
b. Pasal 144: menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan yang berisi
penghinaan terhadap raja yang memerintah atau Kepala Negara lainnya dari
negara sahabat.
c. Pasal 161: menyiarkan....... tulisan yang menghasut... pasal 163: menyiarkan,...
tulisan yang berisi penawaran.
d. Pasal 282: menyiarkan,..... tulisan yang melanggar kesusilaan. (pornographic).
e. Pasal 321: menyiarkan, ... tulisan yang isinya menghina orang yang sudah
mati.

BAGIAN VIII
PERBARENGAN(samenloop/concursus)

BAB XXXVI
PENGERTIAN DAN BENTUK-BENTUK

182. Pengertian, Bentuk dan persoalan perbarengan


Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga
yang menterjemahkannya dengan gabungan. Apabila pada Bab V Buku ke-I yang
disoroti adalah “perbarengan” dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak
pidana, maka dalam Bab ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih
tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang
dalam rangka penyertaan. Tindak pidana – tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai
dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri
dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan
secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan
delik tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.

183. Perbarengan tindakan tunggal (ptt)


Mengenai perbarengan tindakan tunggal yang dianut di KUHP, ditentukan di
pasal 63 yang berbunyi:

(1) Jika suatu tindakan masuk dalam lebih dari satu ketentuan pl dana, maka yang
dikenakan hanya salah satu dari ketentuan- ketentuan itu; jika berbeda maka yang
diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu tindakan masuk dalam suatu ketentuan pidana umum, te tapi termasuk
juga dalam ketentuan pidana khusus, maka hanya yang khusus itu yang
diterapkan.

184. Perbarengan tindakan berlanjut (ptb)


Dikatakan perbarengan tindakan berlanjut, apabila tindakan-tindakan itu
masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi ada hubungan
sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai tindakan berlanjut.
Ciri-ciri dari perbarengan tindakan berlanjut ialah:
a. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak
jahat (one criminal intention).
b. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
c. Tenggang waktu antara terjadinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau
lama.

185. Perbarengan Tindakan Jamak (ptj)


Mengenai perbarengan tindakan jamak yang diatur di KUHP dapat
disimpulkan dari ketentuan pasal-pasal 65, 66, 70 dan 70 bis.
Pasal 65:
(1) Dalam hal perbarengan beberapa tindakan yang masing-masing harus dipandang
sebagai tindakan yang berdiri sendiri, sehingga merupa- kan beberapa kejahatan
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah maksimum pi- dana yang
diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, namun tidak boleh melebihi
maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.
Pasal 66 :
(1) Dalam perbarengan beberapa tindakan yang masing-masing harus dipandang
sebagai tindakan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan
yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, dijatuhkan masing-
masing pidana tersebut namun jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum
pidana terberat ditambah sepertiga.

(2) Pidana denda dalam hal ini dihitung sesuai dengan maksimum pidana kurungan
pengganti yang ditentukan untuk tindakan tersebut.
Pasal 70:
(1) Jika ada perbarengan seperti tersebut pasal 65 dan 66, baik perbarengan
pelanggaran dengan kejahatan ataupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka
untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan masing-masing pidana tanpa dikurangi.
(2) Maksimum lamanya pidana kurungan dan kurungan pengganti untuk
pelanggaran adalah satu tahun empat bulan, sedangkan maksimum pidana
kurungan pengganti adalah delapan bulan.

186. Pengaturan perbarengan dalam Bab tersendiri.


Dalam KUHP yang berlaku dewasa ini jelas diatur mengenal perbarengan dalam
satu Bab tersendiri (Bab VI, Buku ke-1). Di dalam undang-undang Hukum Pidana
beberapa negara asing, bangunan perbarengan tidak diatur secara tersendiri,
melainkan dimasukkan merupakan bagian dari pemberatan ancaman pidana. Sebagai
perbandingan di Negara Inggris dalam The Criminal Law Act 1967, bangunan
perbarengan tidak diatur dalam satu Bab atau Chapter tersendiri. Di Filipina dimana
Undang-undang Hukum Pidananya (The Revised Penal Code) merupakan “warisan”
dari U.S. America, bangunan perbarengan merupakan salah satu ayat dari pasal 14
Chapter IV yang berjudul keadaan-keadaan yang memperberat pertanggungjawaban
pidana (circumstances which aggravate criminal liability).
BAB XXXVII
STELSEL PEMIDANAAN
187. Ukuran pidana
Telah diutarakan bahwa persoalan pokok dalam bangunan perbarengan adalah
mengenai ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel atau sistem pemidanaan.
Beberapa stelsel di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Stelsel pidana minimum secara umum (algemene strafminima) yaitu ditentukannya
secara umum pidana terendah yang berlaku untuk setiap tindak pidana. Yang dianut
dalam KUHP ialah: 1) pidana penjara terpendek adalah 1 hari (pasal 12), 2) pidana
kurungan terpendek adalah 1 hari (pasal 18), dan 3) pidana denda paling sedikit
adalah 25 sen (pasal 30).
b. Stelsel pidana maksimum secara umum (algemene strafmaxima), yaitu ditetapkannya
secara umum pidana tertinggi yang berlaku untuk setiap tindak pidana, dengan
pengecualian apabila ada hal-hal yang memberatkan. Dalam KUHP ketentuan ini
ditentukan: 1) pidana penjara maksimum 15 tahun berlanjut kecuali dalam hal
tersebut pada pasal 12 ayat 3, dan 2) pidana kurungan maksimum 1 tahun, kecuali
dalam hal tersebut pasal 18 ayat kedua.

188. Stelsel pemidanaan untuk perbarengan


Dua stelsel pokok pemidanaan untuk perbarengan adalah: stelsel kumulasi murni
dan stelsel absorsi mumi, sedangkan stelsel antara adalah stelsel kumulasi terbatas dan
stelsel absorsi dipertajam. Stelsel Komulasi mumi atau stelsel penjumlahan murni
adalah untuk setiap tindak pidana diancamkan/dikenakan pidana masing-masing tanpa
pengurangan. Jadi apabila seseorang melakukan 3 tindak pidana yang masing-masing
ancaman pidananya maksimum 5 bulan, 4 bulan dan 3 bulan maka jumlah
(akumulasi) maksimum ancaman pidana adalah 12 bulan.

189. Stelsel pemidanaan yang dianut dalam Bab VI Buku I KUHP


Apabila diperhatikan perumusan-perumusan pada Bab VI Buku I KUHP dapat
diambil kesimpulan bahwa KUHP menganut beberapa stelsel pemidanaan.
a. Untuk perbarengan tindakan tunggal termaksud dalam pasal 63 ayat 1 dan 2,
demikian, juga untuk perbarengan tindakan berlanjut tersebut pasal 64 ayat 1 dan 2
ditinjau dari sudut tindak pidana-tindak pidana yang terjadi, dianut stelsel penyerapan
murni. Tetapi apabila dilihat dan sudut ketentuan yang hanya mengenakan satu
ketentuan pidana saja dalam hal ini yang terberat, maka sebenarnya tiada persoalan
penyerapan di sini.
b. Untuk perbarengan tindakan berlanjut di mana kejahatan-kejahatan yang terjadi itu
merupakan kejahatan-kejahatan ringan tersebut pasal: 364, 373, 379 dan 407 ayat 1,
di mana jumlah kerugian yang timbul tidak melebihi Rp. 250,- (Vide undang-undang
no. 16 Perpu Tahun 1960), maka perbarengan tindakan berlanjut tersebut seakan-akan
dikualifisir sebagai kejahatan biasa. Untuk itu ditentukan ancaman pidana seperti
halnya apabila kejahatan tersebut merupakan kejahatan biasa. Jadi apabila seseorang
melakukan pencurian ringan berlanjut, maka seakan-akan ia dipandang telah
melakukan pencurian biasa, yang untuk pencurian-pencurian ringan tersebut
diancamkan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 362 KUHP. Dalam hal ini
tiada persoalan penyerapan ataupun kumulasi seperti yang diuraikan pada nomor
terdahulu.

190. Penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan


Dalam hal seseorang yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
kepadanya hanya boleh dijatuhkan pidana tambahan:
a. Pencabutan hak-hak tertentu,
b. Perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya,
c. Pengumuman keputusan hakim.

191. Ketentuan pemidanaan bagi delik "tertinggal"


Dapat dikatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini merupakan pengecualian
terhadap bangunan perbarengan. Ketentuan ini menegaskan bahwa walaupun suatu
delik tidak diadili pada saat yang sama karena “tertinggal”, namun dari sudut
pemidanaan harus dipandang sebagai diadili pada saat yang sema. Untuk jelasnya:
seseorang pada tanggal 1 Maret 1978 melakukan pencurian, pada tanggal 8 Maret
1978 melakukan penggelapan dan pada tang. Gal 15 Maret 1978 melakukan
penipuan. Kemudian pada tanggal 31 Maret 1978 perkara pencurian dan penipuan
diadili, untuk mana telah diputus yang juga mendasari ketentuan-ketentuan dalam Bab
VI Buku I KUHP. Delik penggelapannya ternyata tidak serentak diajukan karena
sesuatu hal (misalnya: pembuktian belum lengkap). Apabila setelah tanggal 31 Maret
1978 perkara penggelapan itu diajukan dan diadili, maka putusan tanggal 31 Maret
1978 untuk mana telah dijatuhkan pidana sepenuhnya (dalam hal ini 5 tahun +
sepertiga x 5 tahun), maka untuk perkara penggelapan yang diajukan kemudian,
walaupun terbukti dan ternyata pelaku yang sama bersalah, (namun) tidak boleh atau
tidak mungkin lagi dijatuhi pidana. Alasannya lalah, seandainya ketiga-tiganya
perkara tersebut diajukan secara serentak, maksimum ancaman pidananya adalah tetap
5 tahun + sepertiga x 5 tahun 6 tahun 8 bulan.

BAB XXXVIII
RESIDIV atau PENGULANGAN

192. Pengertian dan perbedaannya dengan perbarengan


Yang dimaksud dengan pengulangan atau residiv (recidive) secara umum jalah
apabila seorang melakukan suatu tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana
padanya, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu:
a. Sejak setelah pidana tersebut dilaksanakan seluruhnya atau sebagian, atau
b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan,
c. atau apabila kewajiban menjalankan/melaksanakan pidana itu belum daluwarsa, ia
kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Dari pembatasan tersebut di atas, dapat ditarik syarat-syarat yang harus dipenuhi
yaitu:
a. Pelakunya sama,
b. Terulangnya tindak pidana, yang untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana
(yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap).
c. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
Apabila ditinjau dari sudut penempatan ketentuan pidana untuk pengulangan
(residivisme), dapat diperbedakan antara:
a. Ketentuan umum mengenai pengulangan. Biasanya ditempatkan dalam ketentuan
umum (di KUHP tidak diatur),
b. Ketentuan khusus mengenai pengulangan. Penempatannya di suatu Bab atau
beberapa pasal akhir dari suatu Buku (di KUHP pada Buku ke-II) atau di suatu pasal
akhir dari suatu Bab tindak pidana.
c. Ketentuan yang lebih khusus lagi mengenai pengulangan. Ia hanya ber- laku untuk
pasal yang bersangkutan, atau untuk beberapa pasal yang mendahuluinya. (di KUHP
pada Buku ke-III).
193. Ketentuan pengulangan dalam KUHP
Dalam Buku I KUHP mengenai pengulangan sebagai ketentuan umum tidak
tercantum. Materi ini terutama terdapat pada pasal-pasal: 486, 487 dan 488 yang
mencakup kejahatan-kejahatan tertentu dari Buku ke-II KUHP, dan kejahatan-
kejahatan tertentu dalam KUHPM (sebagai delik pendahulu). Akan tetapi untuk pasal-
pasal tertentu dalam Buku II KUHP, masih ada juga ketentuan-ketentuan mengenai
pengulangan yang lebih khusus lagi berlaku- nya terhadap pasal yang bersangkutan.
Untuk ini perhatikanlah pasal-pasal: 137, 144, 155, 157, 161, 163, 208, 216, 303 bis,
393. Dalam Buku III KUHP ketentuan mengenai pengulangan tersebut ditentukan
untuk masing-masing delik. Untuk ini perhatikanlah pasal-pasal: 489, 492, 495, 501,
512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545 dan 549. Karena ketentuan-ketentuan ini
tidak dicantumkan dalam buku 1 KUHP, maka dengan penafsiran secara a contrario
terhadap pasal 103 KUHP, ketentuan-ketentuan ini tidak berlaku bagi delik-delik di
luar KUHP.

194. Beberapa masalah mengenai pengulangan


Dalam RUU KUHP, mengenai pengulangan (residivis) ditentukan dalam pasal
22 Buku ke-1 yang berbunyi: (1) Dipidana sebagai pengulangan suatu tindak pidana
barang siapa melakukan tindak pidana lagi yang sesifat dan sejenis dengan tindak
pidana yang telah menyebabkan ia dipidana, dalam waktu ia menjalani pidana, atau
dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah ia selesai menjalani pidana.

BAGIAN IX
PENGADUAN

BAB XXXIX
TINDAK PIDANA ADUAN

195. Pengertian dan cakupan delik aduan


Dilihat dari sudut acara penuntutannya, delik aduan diperbedakan dari delik yang
dapat dituntut karena jabatan. Penuntutan suatu delik aduan hanya dapat diterima
apabila telah masuk pengaduan dari penderita atau dari seseorang yang berhak
mengadu. Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adalah karena kepentingan
pribadi dari yang dirugikan/penderita/ yang berhak mengadu dipandang perlu untuk
diutamakan perlindungannya. Dengan perkataan lain yang dijadikan alasan untuk
menjadikan suatu delik menjadi delik aduan ialah bahwa dalam hal-hal tertentu,
kepentingan seseorang yang berhak mengadu akan lebih dirugikan apabila perkara itu
di sidangkan, dibandingkan dengan kerugian kepentingan umum, apabila perkara itu
tidak dituntut karena jabatan. Misalnya A dihina B. A mungkin akan merasa lebih
dirugikan lagi apabila perkara itu dituntut, karena akan berarti pembeberan materi
penghinaan itu kepada umum

196. Tempat dan jenis tindak pidana aduan


Delik aduan tidak secara tersendiri dianut dalam suatu Bab KUHP atau
perundang-undangan hukum pidana lainnya, seperti misalnya kejahatan terhadap
ketertiban umum, kejahatan jabatan, kejahatan pelayaran. Selain dari pada itu delik
aduan, hanya ada pada kejahatan. Tidak ada yang berupa pelanggaran. Biasanya
diperbedakan antara delik aduan yang sebenarnya (absolute klachtdelict) dan delik
aduan nisbi (relatieve klachtdelict).

BAB XL. HAK MENGADU DAN MENARIK PENGADUAN

197. Yang berhak mengadu


Dalam Bab VII Buku I KUHP, tidak disebutkan siapa-siapa yang mempunyai hak
originair untuk mengadukan seseorang yang telah melakukan suatu delik aduan. Yang
ditentukan dalam pasal 72 hanyalah siapa-siapa yang berhak maju sebagai pengadu,
atau yang berhak “menggantikan” peng adu yang original. Dalam hal seseorang yang
terkena delik aduan belum enam belas tahun dan belum cukup umur, atau seseorang
yang dibawah pengampuan bukan karena keborosan, yang berhak maju sebagai
pengadu adalah wakilnya yang, sah dalam perkara perdata.

198. Tenggang waktu hak mengadu dari penarikan pengaduan


Pasal 74 menentukan bahwa tenggang waktu pengajuan pengaduan hanya
enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya delik aduan jika ia
berada di Indonesia, atau hanya sembilan bulan jika is bertempat tinggal di luar
Indonesia. Dan jika yang terkena delik aduan menjadi berhak mengadu (misalnya
ketika delik aduan diketahui yang mengenal dirinya ia baru berumur 16 tahun kurang
3 bulan) maka termein tersebut hanya bertenggang waktu selama sisa yang masih
kurang dari tenggang tersebut.
Awal penghitungan tenggang waktu itu adalah sejak yang berhak mengadu
mengetahui adanya delik tersebut. Jadi tidak dimulai sejak delik itu terjadi, tidak juga
sejak tindakan itu dapat dijatuhkan pidana sebagaimana maksud pasal 332 ayat 3, dan
tidak pula sejak diketahuinya bahwa pelaku aya ternyata masih ada hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 367 dan pasal-pasal lainnya yang
menunjuk pada pasal 367.

199. Penyelesaian pengaduan dalam tenggang waktu penarikan kembali


Ada dua pendapat dengan masing-masing sandarannya. Pendapat pertama
mengatakan, sebaiknya segera diadakan penyidikan. Alasannya ialah bahwa yang
ditentukan di undang-undang adalah penuntutannya, karenanya boleh diadakan
penyidikan. Sedangkan keperluan penyidikan diadakan adalah untuk mencegah
jangan sampai alat-alat pembuktian sukar diperoleh atau hilang karena menunggu
habisnya tenggang waktu penarikan pengaduan (3) bulan).
Pendapat kedua mengatakan, sebaiknya jangan segera diadakan penyidikan.
Alasannya ialah, bahwa dengan diadakannya penyidikan tersebut, dapat merupakan
bahaya tersebar luasnya delik itu. Padahal justru alasan terutama untuk diadakannya
delik aduan adalah agar tidak tersebar luas delik itu dengan demikian kepentingan
pribadi yang diruguikan itu lebih dilindungi.

200. Pejabat yang berwenang menerima pengaduan


Di dalam KUHP tidak ada ketentuan mengenal siapa-siapa pejabat yang
berwenang dan berkewajiban menerima pengaduan. Hal ini sudah sewajarnya, karena
materi ini termasuk hukum acara pidana. Di dalam Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (RIB/RID), mengenal pejabat-pejabat tersebut ditentukan dalam pasal-
pasal 32, 45, 46 dan 53. Pada garis besarnya ditentukan bahwa pejabat yang
berwenang menerima pengaduan adalah pejabat pejabat tersebut dalam pasal 39 RIB
(vide pasal 45 RIB) yang selanjutnya diteruskan kepada jaksa penuntut umum atau
pembantu penuntut umum. Ketentuan-ketentuan tersebut sebagai pedoman dikuatkan
oleh Undang-undang Pokok Kepolisian (undang-undang no. 13 Tahun 1961) pasal 2
ayat 2 dan pasal 13 a dan Undang-undang Pokok Kejaksaan (Undang-undang no. 15
Tahun 1961) pasal 2. Dan dengan diundangkannya Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana no. 8 Tahun 1981, tanggal 31 Desember 1981 yang sekaligus mencabut
ketentuan-ketentuan sepanjang mengenai hukum acara pidana di HIR dan peraturan
perundangan lainnya, maka yang berwenang menerima pengaduan adalah: penyelidik
(Pasal 5 KUHAP), penyidik (Paral 7 KUHAP) dan penyidik-pembantu (pasal 10
KUHAP)

BAB XLI. KEMUNGKINAN PEMISAHAN SUBJEK/PELAKU DELIK ADUAN

201. Pemisahan seseorang pelaku delik aduan


Pelaku dari suatu delik mungkin dua orang atau lebih. Pertanggungjawaban
pidana masing-masing peserta tergantung kepada bentuk penyertaannya. Hal ini telah
dibahas dalam BAB PENYERTAAN. Dalam rangka penyertaan pada delik aduan,
dipersoalkan apakah mungkin dipisahkan para pelaku delik aduan. Persoalan ini
timbul, karena mungkin pihak penderita menginginkan hanya salah seorang saja yang
dituntut sedangkan yang lainnya tidak. Tidak diinginkannya penuntutan terhadap yang
lainnya itu adalah karena masih keluarga dekatnya.
202. Kasus pemisahan pelaku
Kasus yang pernah terjadi sehubungan dengan masalah pemisahan ini adalah
sebagai berikut: Suatu perzinahan terjadi di daerah hukum pengadilan negeri
(landraad) Padang, di mana yang diadukan hanyalah salah seorang yang melakukan
perzinahan. Timbul persoalan, apakah pengaduan itu sah menurut undang-undang
atau tidak. Hakim pada pengadilan terse but memutuskan dalam ketetapannya (21 Juli
1939) bahwa pengaduan itu tidak sah. Karenanya perkara itu dinyatakan sebagai tidak
dapat diteri ma. Pengadilan banding (ketika itu Raad van Justitie) di Padang telah
mengu atkan Ketetapan pengadilan negeri tersebut pada tanggal 28 Juli 1939 (T. 150
hal. 819)

BAGIAN X
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN DAN HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA
BAB XLII
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN PADA UMUMNYA

203. Hak penuntutan dan kehapusannya


Pengertian penuntutan ditentukan secara otentik di pasal I ayat 7 KUHAP yang
berbunyi: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwe nang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang Ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim sidang pengadilan.”

204. Ne bis in idem dan tindakan (feit)


Ne bis in idem atau juga disebut Non bis in idem berarti tidak melakukan
pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini
didasarkan pada pertimbangan, bahwa pada suatu saat (nantinya) harus ada akhir dari
pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari berlakunya ketentuan pidana terhadap suatu
delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan
pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindak pidana yang
sudah mendapat putusan hakim yang tetap. Dengan lain perkataan menghindari dua
putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama. Juga untuk menghindari usaha
penyidikan/penuntutan terhadap pelaku dan delik yang sama, yang sebelumnya telah
pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap.

205. Penyelesaian di luar sidang/Transaksi


Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82
mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian. Di satu
fihak penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan fihak-
fihak yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib
menghentikan usaha penuntutannya (bah- kan haknya untuk menuntut dihapuskan),
dan sebagai imbalannya Tenang ka wajib membayar maksimum denda yang hanya
satu-satunya diancamkan, ditambah dengan biaya penuntutan apabila usaha
penuntutan sudah dimulai. Pembayaran harus dilakukan kepada penuntut umum
dalam waktu yang ditetapkan oleh penuntut umum tersebut. Kiranya tidak dapat
dipungkiri bahwa acara ini berasal dari hukum perdata, seperti halnya: “kebolehan
fihak-fihak menyelesaikan suatu delik aduan”. Jelas bahwa cara ini berten- tangan
dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Namun
demikian, dalam perkara-perkara kecil (dalam hal ini pelanggaran yang hanya
diancam dengan pidana denda saja) sifat hukum publik itu perlu disimpan untuk
mempermudah dan mempercepat acara penyelesaian nya.

206. Abolisi, Amnesti dan Turun tangan Presiden berdasarkan undang-undang


Beberapa penghapusan hak penuntutan yang tidak diatur dalam KUHP adalah
Abolisi, Amnesti dan Turun-Tangan Presiden berdasarkan Undang undang. Yang
dimaksud dengan Abolisi pada dasarnya ialah hak yang diberikan kepada Presiden
untuk menghapuskan hak penuntutan dan penuntut umum dan penghentiannya apabila
sudah dimulai, terhadap pelaku-pelaku tindak-pidana tertentu. Biasanya tindak pidana
politik atau yang beraspek politik. Pemberian abolisi adalah demi kepentingan negara.
Apabila Presiden berkehendak memberikan abolisi, maka Presiden wajib
meminta nasehat terlebih dahulu dari Mahkamah Agung, walaupun penentuan diberi
atau tidaknya abolisi tersebut, tetap berada di tangan Presiden. Pemberian abolisi
lebih bertitik berat kepada pertimbangan politik daripada pertimbangan juridis.
Apabila abolisi diberikan dengan undang-undang, berarti pemberian abolisi itu harus
dengan persetujuan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan dengan
demikian maka abolisi menjadi hak bagi mereka yang mendapat abolisi.

207. Nasib barang-barang sitaan


Dengan ditentukannya Bab VIII Buku I KUHP sebagai ketentuan umum, dapat
ditafsirkan bahwa penyitaan itu sebagai bagian dari usaha penuntutan dalam arti luas
juga hapus. Namun dengan ditentukannya dalam pasal 77 KUHP: “Kewenangan
menuntut pidana hapus jika tersangka meninggal dunia”, yang sebenarnya adalah
suatu hal yang logis, bukanlah tanpa maksud. Nilai praktis dari ketentuan ini ialah,
bahwa barang-barang yang disita yang memenuhi ketentuan pasal 39 KUHP dan
barang-barang tertentu lainnya seperti tersebut dalam pasal 250 bis KUHP (benda-
benda untuk memalsukan uang) tetap dalam penyitaan.

BAB XLIII
DALUWARSA HAK PENUNTUTAN.
208. Ratio pendaluwarsaan hak penuntutan
Apabila diperhatikan tenggang daluwarsa yang ditentukan dalam pasal 78, kiranya
penentuan lamanya tenggang waktu itu erat hubungannya antara tingkat atau
berat/ringannya tindak pidana dengan ingatan manusia (masyarakat) mengenai
kejadian tersebut dalam hubungannya dengan perasaan keadilan masyarakat tersebut.
Artinya apabila seseorang itu menyingkir sekian lamanya dari masyarakat (termasuk
pejabat-pejabat penyidik/penuntut), maka dapat “disimpulkan” bahwa masyarakat
tersebut sudah akan memaafkan kejadian tersebut seandainya tersangka itu kembali
dalam masyarakat yang bersangkutan. Selain daripada itu dapat dimengerti bahwa
menjadi buronan selama tenggang waktu tersebut, sudah merupakan hukuman
tersendiri bagi tersangka yang bersangkutan. Dari sudut kepastian hukum, sudah
sewajamya apabila dalam waktu tertentu harus dihentikan suatu usaha
pengejaran/penuntutan. Dan yang tidak kurang pentingnya ialah bahwa usaha
penyidikan yang berlarut-larut, tidaklah akan mendidik masyarakat untuk
menunjukkan respeknya kepada hukum.

209. Tenggang waktu daluwarsa hak penuntutan


Apabila diperhatikan ketentuan tenggang waktu pengulangan (residiv) bagi
pelanggaran pada umumnya yaitu selama satu atau dua tahun (dalam hal ini yang
disoroti adalah yang 2 tahun), kiranya adalah wajar jika “ketentuan tenggang waktu”
bagi perbarengan pun dapat diterima selama dua tahun. Konkritnya adalah sebagai
berikut: A melakukan salah satu pelanggaran tersebut pasal 501, 512, 516, 517 atau
530 (misalnya menjual makanan yang busuk), pada tanggal 1 Maret 1975 untuk mana
ia dipidana pada tanggal 15 Maret 1975 sebesar Rp. 300,-. Kemudian A mengulangi
pelanggaran tersebut pada tanggal 14 Maret 1977.

210. Tindakan penuntutan menghentikan kedaluwarsaan


Apabila telah ada tindakan penuntutan (yang diketahui oleh Tersangka atau telah
diberitahukan kepadanya sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam perundang-
undangan), akan tetapi selama jangka waktu yang ditentukan, perkara tersebut tidak
diajukan untuk diperiksa oleh pengadilan, maka setelah tenggang waktu itu hak
penuntutan juga ditentukan hapus. Yang dimaksud dengan tindakan penuntutan
adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penuntut umum yang berwenang
melakukan penuntutan.
211. Pertikaian Praejudisiil dan penangguhan
Pasal 81 menentukan: “Penundaan Penuntutan (Pidana) karena adanya pertikaian
prae-judisil, menunda penghitungan daluwarsa”. Yang dimaksud dengan pertikaian
praejudisiil adalah adanya pertikaian antara fihak-hak bersangkutan yang tidak
merupakan kewenangan dari pengadilan yang /sedang mengadili perkara tersebut.
Sedang untuk itu ditentukan harus penyelesaian dari pertikaian itu terlebih dahulu
barulah pengadilan sedang memeriksa perkara itu dapat melanjutkan pemeriksaannya
dan memutuskannya.

BAB XLIV
HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA.

212. Hak dan kewajiban pelaksanaan pidana dan kehapusannya


Bagi seseorang yang telah dijatuhi pidana, kemudian meninggal maka
pelaksanaan pidananya hapus. Sedangkan bagi terpidana yang hidup ditentu. kan
adanya tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana yang pada prinsipnya dianut
kurun waktu yang lebih lama ketimbang kurun waktu hak penuntutan. Bahkan secara
umum ditentukan sepertiga lebih lama. Memperhatikan ketentuan kadaluarsanya
pelaksanaan pidana bagi pelanggaran, ternyata lebih lama setengahnya dari yang
ditentukan bagi hak penuntutan. Akan tetapi suatu keanehan ialah terhadap kejahatan
yang dilakukan dengan percetakan, daluarsanya hak penuntutan dipersamakan dengan
pelanggaran, akan tetapi untuk daluarsanya pelaksanaan pidananya sangat
diperbedakan yaitu 5 tahun. Namun ketentuan inipun, dengan mengambil contoh
kejahatan tersebut pasal 161; masih lebih singkat dari ukuran umum (yaitu
penambahan sepertiga). Ditinjau dari sudut kesamaan hak dan kewajiban warga
negara terhadap hukum, tentunya ketentuan seperti ini tidak atau kurang dapat
dibenarkan. Sekalipun wartawan yang melakukan kejahatan tersebut, tiada alasan
yang kuat untuk memberikan kelonggaran yang menyolok bagi mereka.

213. Perampasan barang dan tindakan tata tertib


Dalam perkara perpajakan pada umumnya hak pelaksanaan pidana denda
(geldboete) berjalan terus kendati pelaku telah meninggal. Dalam hal ini yang
dipertanggungjawabkan adalah pelaksana yang dikehendaki oleh almarhum, pengurus
harta peninggalan atau ahli-ahli waris almarhum. Dalam perkara Korupsi (Vide pasal
23 Undang-undang no. 3 Tahun 1971) dan tindak pidana ekonomi (Vide pasal 13
Undang-undang no. 7 Drt Tahun 1955) ditentukan bahwa hak melaksanakan
perampasan tidak lenyap karena meninggalnya terpidana. Karena yang ditentukan
adalah hapusnya pelaksanaan pidana, maka apabila juga tindakan tata-tertib (Vide
pasal 6 ayat 3 jo pasal 8 Undang-undang no. 7 Drt Tahun 1955) dijatuhkan, tindakan
tata tertib tersebut tidak ikut terhapus, karena ia bukan pidana. Alasan utama bagi
pengecualian ini ialah penyelamatan keuangan dan perekonomian negara dalam
rangka mensukseskan pembangunan nasional yang harus diutamakan.

214. Awal penghitungan, penghentian dan penundaan tenggang daluwarsa


Sebagai alasan menghapuskan pelaksanaan pidana dalam tenggang waktu tertentu
adalah juga semakin kaburnya ingatan orang akan tindak pidana yang terjadi itu.
Dibandingkan dengan alasan penghapusan hak penuntutan, di sini tidak
dipermasalahkan lagi tentang barang bukti, karena memang sudah tidak diperlukan
lagi.
Dalam pasal 85 (1) ditentukan bahwa penghitungan tenggang daluwarsa dimulai
pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dilaksanakan. Bukannya ditentukan
sejak putusan hakim dijatuhkan. Sebenarnya pada umumnya pelaksanaan pidana
sudah dapat dilaksanakan apabila putusan hakim sudah dijatuhkan dan diterima oleh
terpidana maupun oleh penuntut umum. Akan tetapi apabila penuntut umum atau
terdakwa/terpidana naik banding dan mungkin kemudian naik kasasi lagi, maka
pidana baru dilaksanakan setelah putusan tersebut. Dengan perkataan lain pidana baru
dapat dilaksanakan apabila putusan hakim sudah mempunyai kekuatan yang tetap.
Dalam hal banding awal penghitungan tenggang daluwarsa dimulai sejak putusan
banding (dan kasasi apabila diteruskan) itu dijatuhkan. Demikian juga dalam
pengadilan terdakwa in absensia (pasal 11 Undang-undang Subversi) atau di luar
kehadiran terdakwa (perkara ringan), pelaksanaan pidana baru dapat dijalankan
setelah terpidana menghadap atau tertangkap.

215. Grasi dan Amnesti


Mengenai amnesti telah diutarakan pada nomor 206. Dalam hal hapusnya
pelaksanaan pidana, yang diambil adalah bagian penghapusan pelaksanaan pidana
bagi terpidana. Lajim dikatakan bahwa pemberian grasi (pengampunan) adalah hak
prerogatif dari Kepala Negara. Hak prerogatif artinya hak utama atau hak khusus.
Dalam sejarahnya, hak prerogatif Kepala Negara (ketika itu masih zamannya Raja-
Raja, Kaisar, Sultan dan sebagainya) dipandang sebagai hadiah atau belas kasihan
Kepala Negara saja. Jadi bukan merupakan tindakan hukum. Pada ketika itu
pemberian grasi oleh Kepala Negara dapat ditolak oleh Terpidana. Lama kelamaan,
pandangan tersebut berubah, sehingga dewasa ini orang memandang grasi sebagai
tindakan hukum dan yang tidak boleh ditolak oleh Terpidana. Dalam hal ini perlu
diperhatikan bahwa terpidana masih tetap dibenarkan apabila ia “menolak” memohon
grasi.
Pasal 14 UUD-1945 menentukan: "Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi".

BAGIAN XI
PIDANA

BAB XLV
STELSEL PEMIDANAAN

216. Pidana pada umumnya


Pada dasamya kepada seseorang pelaku suatu tindak pidana harus di. Kenakan
suatu akibat hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana. Akan
tetapi ada kalanya dikenakan suatu hukuman yang sebenamya tidak merupakan
pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu kewajiban” yang mirip dengan
hukuman perdata. Bahkan dalam hal tertentu, tidak dikenakan suatu hukuman.

217. Penjatuhan pidana menurut sistem KUHP


Menurut sistem. KUHP penjatuhan pidana pokok hanya boleh 1 macam saja
dalam hal hanya satu tindak pidana saja yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok
yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Tidak
dibenarkan untuk menjatuhkan pidana pokok, yang tidak diancamkan dalam pasal
tindak pidana yang bersangkutan. Apabila misalnya diancamkan pidana penjara
maksimum 5 tahun atau denda Rp. 900,- (sembilan ratus rupiah) seperti tercantum
dalam pasal 362 KUHP, tidak dibenarkan untuk menjatuhkan pidana kurungan,
apalagi pidana mati. Untuk pidana pokok tersebut masih dapat ditambahkan satu atau
lebih pidana tambahan seperti termaksud dalam pasal 10 b. Dikatakan “dapat”, berarti
penambahan pidana tambahan tersebut adalah fakultatif.

218. Ketentuan-ketentuan penjatuhan pidana yang diatur secara khusus


Di dalam perundang-undangan diluar KUHP, dapat ditemukan ketentuan-
ketentuan yang menyimpang dari sistem penjatuhan pidana yang diatur dalam KUHP.
Penyimpangan-penyimpangan itu berupa:
a. dapat menjatuhkan dua pidana pokok sekaligus (vide Undang-undang TPE dan
TPK),
b. dapat menjatuhkan pidana pokok tunggal atau ganda dan pidana tambahan tunggal
atau ganda disertai lagi dengan tindakan tata tertib (Vide Undang-undang TPE).
c. menyelesaikan suatu tindak pidana tertentu secara administratif (Vide Ordonansi
Bea dan Undang-undang perbendaharaan Indonesia/ICW),

219. Maksimum dan minimum pidana


Di dalam KUHP dikenal pidana perampasan kemerdekaan maksimum, yang diatur
secara umum. Maksimum (penjatuhan) pidana penjara “terbatas” adalah 15 tahun,
yang hanya boleh dilewati menjadi 20 tahun (dan sekali-kali tidak boleh dilewati lagi)
dalam hal:
a. diancamkan secara alternatif pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara selama waktu tertentu/”terbatas” (20 tahun);
b. diancamkan secara alternatif pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertentu (20 tahun);
c. ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan atau karena ketentuan
pasal 52 (kejahatan berhubungan dengan jabatan), dan 52 a (menyalahgunakan
bendera kebangsaan R.I.).
Adapun minimum pidana penjara “terbatas” tersebut adalah satu hari (Vide
pasal 12). Sedangkan pidana penjara seumur hidup tidak mengenal maksimum dan
minimum. Jadi apabila diancamkan pidana satu-satunya penjara seumur hidup, maka
pidana tersebut tidak mungkin dikurangi dalam putusan hakim.

220. Manfaat dari penentuan jenis dan macam pidana


Manfaat dari penjenisan pidana, dengan sistem KUHP ini paling pertama dapat
disimpulkan sebagai keluwesan bagi pembuat Undang-undang untuk mengancamkan
jenis pidana yang telah ditentukan itu kepada suatu tindak pidana tertentu baik secara
tunggal ataupun secara alternatif, sesuai dengan berat ringan tindak pidana yang
dirumuskan dalam pasal yang bersangkutan. Manfaat yang kedua ialah, dalam hal
pidana itu diancamkan secara alternatif, keluwesan bagi hakim untuk memilih dan
menjatuhkan pidana yang lebih sepadan dan tepat, di samping kewenangannya
bergerak antara maksimum dan minimum pidana yang telah ditentukan.

221. Pidana yang tidak digunakan dalam perundang-undangan Hukum Pidana


Indonesia
Sebelum abad ke XII di negara Barat dikenal beberapa pidana seperti cap-bakar
yaitu mencap tubuh penjahat dengan cap-besi yang sedang membara, pencambukan
dengan rotan yang jumlahnya tergantung kepada berat/ ringannya kejahatan yang
dilakukan, pembuangan ke suatu tempat (pulau atau benua) terpencil, pengusiran
penjahat yang walaupun warganegara sendiri ke luar negara yang bersangkutan dan
lain sebagainya. Kemudian pengaruh agama yang semakin berkembang telah banyak
merubah perasaan hukum masyarakat, sehingga pidana-pidana tersebut dipandang
sebagai sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan.

222. Daftar Pidana


Untuk dapat belajar dari pengalaman dalam rangka peningkatan penegakan
hukum dan keadilan Daftar Pidana tidak kurang pentingnya dan harus dipelihara. Dari
Daftar Pidana (Strafregister) itu kita dapat mengambil suatu gambaran mengenai
kualitas, kuantitas, volume dari tindak pidana masa lalu dalam hubungannya dengan
jenis/macam serta lamanya (banyaknya) pidana yang dijatuhkan. Dalam
memperbandingkan Daftar Pidana antara yang satu dengan lainnya, akan dapat ditarik
suatu kebijaksanaan umum secara menyeluruh yang dapat berbunyi menyeimbangkan
penjatuhan pidana di seluruh tanah air.
Dalam rangka ini, majalah hukum (pidana) seperti yang dikeluarkan oleh
PERSAHI, (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) “Law Report” seperti yang pernah
dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman, diskusi-diskusi hukum seperti yang
diprakarsai oleh BPHN (Badan Pembina Hukum Nasional), sangat banyak membantu
untuk mewujudkan keadilan yang merata.
BAB XLVI
PIDANA POKOK
223. Pidana Mati
Pelaksanaan pidana mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
harus dengan Keputusan Presiden, sekalipun terpidana menolak untuk memohon
pengampunan (grasi) dari Presiden. Hal ini diatur dalam pasal 2 dan 3 Undang-
undang Grad no. 3 Tahun 1950. LN. No. 40 Tahun 1950. Ditempatkannya ketentuan
ini dalam Undang-undang Grasi, berarti bahwa kendati terpidana tidak mengajukan
permohonan graal, niscaya kemungkinan kesalahan hakim sejauh mungkin harus
dicegah dengan cara “turun-tangan” Presiden. Sudah barang tentu turun-tangan
Presiden ini, tidak dalam kerangka hukum acara pidana yang berarti mencampuri
urusan peradilan, melainkan suatu upaya hukum yang khas di luar hukum acara
pidana, yang menjadi wewenang khusus (praerogatif) Presiden berdasarkan pasal 14
UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam Undang-undang Grasi
tersebut.

224. Pidana penjara


Menurut pasal 24 jo pasal 29 KUHP, terpidana penjara wajib menger jakan semua
pekerjaan yang dibebankan kepadanya, mengenai hal ini ter- masuk pembedaan
tempat menjalani pidana penjara kurungan atau kedua- duanya, pengurusan tempat-
tempat tersebut, pembedaan terpidana-penjara dan terpidana kurungan, upah
pekerjaan, penyelenggaraan ibadah agama, hal makanan, pakaian, tidur dan lain
sebagainya diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Menurut pasal 12 KUHP ada dua macam pidana penjara, yaitu: yang seumur
hidup dan yang terbatas atau sementara. Minimum pidana penjara terbatas adalah satu
hari. Maksimumnya 15 tahun berturut-turut (tak terputus)." Maksimum tersebut boleh
sampai 20 tahun dalam hal-hal:
a. Apabila dalam suatu pasal tindak pidana diancamkan secara alternatif pidana mati,
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara terbatas (biasanya 20 tahun);
b. Apabila dalam suatu pasal tindak pidana diancamkan secara alternatif pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara terbatas;
c. Apabila terjadi perbarengan (concursus) atau pengulangan (residive) atau
kejahatan dengan melanggar kewajiban khusus dari jabatannya dan sebagainya
(pasal 52) atau menyalahgunakan bendera RI (pasal 52 a);
d. Dalam golongan ini dapat dimasukkan antara lain pasal 356 jo 355, pasal 349 jo
347 dan lain sebagainya.

225. Pidana kurungan dan kurungan pengganti


Pidana kurungan pengganti adalah pengganti dari pidana denda yang tidak dibayar
oleh terpidana. Dapat juga dijatuhkan pidana kurungan pengganti, apabila terpidana
tidak membayar harga taksiran (yang ditentukan) dari barang rampasan yang tidak
diserahkan oleh terpidana. Dalam hal ini sebelum pemidanaan, barang-barang tersebut
belum disita, atau dengan perkataan lain masih dalam “penguasaan” tersangka.
Bahkan juga dapat dijatuhkan apabila biaya pengumuman putusan hakim yang
dibebankan kepada terpidana tidak dibayar oleh terpidana.

226. Pidana bersyarat


Di Indonesia pada tahun 1926 untuk pertama kalinya ditetapkan adanya
pemidanaan bersyarat yang dituangkan dalam Stb 1926/251 jo 486. Akan tetapi baru
pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam KUHP berupa pasal-pasal 14 a
sampai dengan 14 f, dan diberlakukan. Kata-kata pidana bersyarat atau pemidanaan
bersyarat adalah sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksudkan bukanlah
pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pelaksanaannya pidana itu yang
digantungkan kepada syarat-syarat tertentu. Artinya kendati suatu pidana telah
dijatuhkan kepada pelaku/terpidana, namun pidana tidak/belum dijalani sepanjang
terpidana tidak melanggar, syarat-syarat yang diwajibkan padanya ketika putusan itu
diterimanya. Karenanya dilihat dari sudut istilah, adalah lebih tepat jika disebut
sebagai pelaksanaan pidana yang dipersyaratkan.

227. Pelepasan bersyarat


Pada pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada
penjatuhan pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat baru diberikan apabila
tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara yang juga berarti minimal
tiga tahun telah dijalani. Dengan perkataan lain pelepasan bersyarat hanya dapat
diberikan kepada seseorang terpidana yang dijatuhi minimal 3 tahun dan 1 hari pidana
penjara, dan telah dilaksanakan minimal 3 tahun. Berarti kepada seseorang yang
dijatuhi pidana kurungan tidak mungkin diterapkan pelepasan bersyarat.

228. Pidana tutupan


Pidana tutupan sebagai pidana pokok muncul melalui Undang-undang no. 20
Tahun 1946 Berita RI. II no. 24. Dalam pasal 1 Undang-undang tersebut ditambahkan
jenis pidana tutupan untuk KUHP dan KUHPM. Pidana ini dapat dijatuhkan kepada
pelaku, apabila ia melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara,
akan tetapi karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Jika tindakan itu
sendiri, atau cara melakukan tindakan itu ataupun akibat dari tindakan itu adalah
sedemikian rupa sehingga lebih wajar dijatuhkan pidana penjara, maka pidana tutupan
tidak berlaku.

229. Pidana Denda


Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban, seseorang untuk
"mengembalikan keseimbangan hukum" atau "menebus dosanya dengan pembayaran
sejumlah uang tertentu. Minimum pidana denda adalah Rp.0,25 (dua puluh lima sen)
x 15. Maksimumnya tidak ditentukan secara umum me- lainkan ditentukan dalam
pasal-pasal tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku II dan III KUHP. Di luar
KUHP adakalanya ditentukan dalam 1 atau 2 pasal bagian terakhir dari perundang-
undangan tersebut, untuk noema-ona tindak pidana yang ditentukan dalam beberapa
pasal yang mendahuluinya. Di dalam KUHP sebelum dirobah pasal 303, maksimum
denda yang tertinggi di- ancamkan terdapat dalam pasal 403, yaitu Rp.10.000, x 15 =
Rp. 150.000, yang nota bene merupakan ancaman pidana tunggal. Maksimum pidana
denda untuk pasal 303 setelah dirobah dengan Undang-undang no. 7 Tahun 1974
adalah Rp. 25 juta.

BAB XLVII. PIDANA TAMBAHAN


230. Umum
Telah diutarakan pada sistem pemidanaan, bahwa pidana tambahan tidak boleh
dijatuhkan berdiri sendiri, tanpa pidana pokok. Namanya sendiri sebenarnya sudah
berbicara sedemikian itu, yaitu bahwa ia hanyalah merupakan tambahan kepada
sesuatu yang dalam hal ini yang pokok.
231. Pencabutan hak-hak tertentu
Hak yang boleh dicabut adalah hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.
Dalam hal ini yang dimaksudkan, bukan saja untuk memasuki Angkatan Darat, Laut
dan Udara, melainkan juga setiap satuan atau perkumpulan yang menggunakan
senjata seperti Kepolisian Umum, Kepolisian khusus, pemburu dan lain sebagainya.
Hak-hak menjalankan kekuasaan Bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu
dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri (ayat 1 sub ke-5) maupun atas orang
lain (ayat 1 ke-4) pada umumnya dapat dicabut bila terjadi pemidanaan karena:
a. pemegang hak tersebut dengan sengaja melakukan kejahatan bersama- sama
dengan anak yang kurang cukup umur yang berada di bawah kekuasaannya.
b. pemegang hak tersebut melakukan kejahatan penggelapan asal-usul, kesusilaan,
meninggalkan seseorang padahal memerlukan pertolongan, perampasan
kemerdekaan, perampasan jiwa, atau penganiayaan terhadap anak yang kurang
cukup umur yang berada di bawah kekuasaannya.

232. Perampasan barang tertentu


Seperti halnya dengan pencabutan hak-hak, juga dahulu dikenal perampasan
seluruh barang-barang terdakwa/terpidana. Dewasa ini tidak dikenal lagi. Barang-
barang tertentu yang dapat dicabut selain daripada yang ditentukan dalam pasal 39
dan 40 yang berlaku secara umum, juga ditentukan tersebar dalam beberapa pasal
tertentu. Baca nomor 217 b. Apabila suatu barang disita dan diajukan dalam
pemeriksaan sidang, nasib barang tersebut kemudian ditentukan dalam putusan
hakim.

233. Pengumuman putusan hakim


Pidana pengumuman putusan hakim terutama dimaksudkan untuk pencegahan
agar masyarakat terhindar dari “kelihaian busuk” atau kesembronoan dari seseorang
pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan
berlaku untuk pasal tindak pidana tertentu. Di dalamn KUHP, hanya untuk beberapa
jenis kejahatan saja yang diancamkan pidana tambahan ini yaitu terhadap:
a. Menjalankan tipu-muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan
Perang dalam waktu perang (pasal 128 ayat 3);
b. Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang
membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa (pasal 206
ayat 2);
c. Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati
(pasal 361);
d. Penggelapan (pasal 377);
e. Penipuan (pasal 395); dan
f. Tindakan merugikan pemiutang (pasal 405 ayat 2).

BAB XLVII. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI PIDANA 484


234. Sistem lamanya pidana menyusul
Ada suatu aliran yang menghendaki agar pada saat penjatuhan pidana, cukup
menentukan jenis dan macam pidananya saja. Dalam hal pidana pokok berupa
perampasan kemerdekaan atau pidana tambahan pencabutan suatu hak tertentu yang
dijatuhkan, maka lamanya pidana yang harus dilaksanakan, baru ditentukan kemudian
dalam suatu jangka waktu penilaian tertentu. Jangka waktu ini dibutuhkan untuk
mengadakan penilaian yang lebih mantap mengenai lamanya pidana yang harus
dilaksanakan. Penilaian tersebut tidak hanya didasarkan kepada tindak pidana yang
dilakukan terpidana atau kesalahan terpidana, melainkan juga tingkah laku terpidana
selama “Jangka waktu penilaian” tersebut.

235. Sistem pemasyarakatan


Sebagai inti dari maksud yang terkandung dalam jenis-jenis pemidanaan
tersebut ialah agar seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dapat kembali
ke masyarakat umum dengan baik, di samping melindungi kepentingan masyarakat
umum. Karenanya sudah tepat kiranya, apabila diberi nama sebagai sistem
pemasyarakatan. Akan tetapi jika ditinjau kepentingan-kepentingan yang dilindungi
baik pelaku, maupun objeknya, kiranya dapat juga disebutkan sebagai sistem
Nusantara.

BAGIAN XII
BEBERAPA PENGERTIAN DAN KETENTUAN PENUTUP

BAB XLIX
PENGERTIAN-PENGERTIAN OTENTIK DALAM KUHP
236. Cakupan pengertian
Telah diutarakan juga bahwa suatu per-Undang-undangan, adalah suatu penegasan
dari sesuatu yang dipandang sebagai hukum yang berlaku, Karenanya pembuatan per-
Undang-undangan adalah juga persoalan tekhnis perumusan kata-kata yang harus
dapat dirasakan sebagai perwujudan tertulis dari hukum dan kewajaran. Ketika
membuat perumusan inilah sering terjadi keterbenturan-keterbenturan, apabila
dikehendaki harus mencakup seluruh kebutuhan yang hendak dituangkan dalam
perumusan tersebut. Dalam prakteknya, ternyata sudah dapat dipandang baik, apabila
ketentuan tertulis (perumusan) itu dapat diterapkan dalam pengertian yang abstrak,
karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk merumuskannya secara konkrit.
Namun harus diusahakan sejauh mungkin agar sesuatu yang dirasakan sebagai tindak
pidana, dalam keadaan yang bagaimanapun, harus tercakup dalam perumusan
tersebut. Hal ini terutama karena pada umumnya hakim mengucapkan ke adilan
berdasarkan Undang-undang tersebut.

237. Yang menegaskan atau membatasi pengertian dari suatu istilah


Bahwa untuk suatu istilah diberikan suatu pengertian, pada umumnya
digunakan kata sandang (penghubung) “yang diartikan atau yang dimaksud atau
berarti” (wordt verstaan), untuk suatu pembatasan pengertian digunakan kata sandang
“ada” (bestaan). Salah satu pasal yang tepat dalam pembahasan ini adalah pasal 87
yaitu makar untuk melakukan suatu tindakan dikatakan ada jika niat pelaku telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), seperti dimaksud
dalam pasal 53. Kata-kata makar sebagai “tindakan terlarang” dalam KUHP dapat
ditemukan pada pasal 104, 106, 107, 139 a, 139b, dan 140. Pengertian dari makar,
bersandar pada pengertian permulaan pelaksanaan yang ditentukan dalam pasal 53.
Dari ketentuan ini sudah dapat dibataskan, bahwa syarat ke-3 dari pasal 53, yaitu
"kesukarelaan untuk mengurangkan niat", tidak dipersoalkan. Dengan perkataan lain
sekiranya pelaku itu dengan kehendak sendiri telah mengurungkan niatnya itu tidak
dipersoalkan. Yang menentukan keterpidanaannya ialah apakah sudah ada permulaan
pelaksanaan atau tidak.

238. Yang memperluas pengertian dari suatu istilah


Pasal 92 mengamanatkan bahwa:
(1) Yang juga tercakup dalam, pengertian pejabat adalah orang-orang yang dipilih dalam
pemilihan yang berdasarkan peraturan umum, demikian juga orang-orang yang bukan
karena pemilihan menja. di anggota badan pembuat undang-undang, badan
pemerintahan atau badan perwakilan rakyat yang ditetapkan oleh atau atas nama
Pemerintah, dan selanjutnya semua anggota dewan perairan dan semua kepala
(golongan) Timur asing yang menjadi kekuasaan yang sah.
(2) Untuk sebutan pejabat dan sebutan hakim tercakup juga hakim wasit; untuk sebutan
hakim tercakup juga mereka yang menjalankan peradilan administrasi, demikian juga
ketua-ketua dan anggota-anggota peradilan agama.
(3) Semua orang yang termasuk Angkatan Bersenjata, juga tercakup dalam pengertian
pejabat.

239. Yang juga memerlukan penafsiran otentik


Jelas kiranya bahwa maksud untuk memberikan tafsir otentik untuk sesuatu
istilah, adalah untuk menghindari pengulangan-pengulangan dan juga untuk lebih
mantap mengetahui pengertian dan/atau cakupan dari sesuatu istilah. Sesuai dengan
perkembangan kebutuhan, kiranya ketentuan dalam Bab IX buku I ini sudah perlu
diperluas. Yang dirasakan, perlu dimasukkan dalam Bab ini antara lain ialah
pengertian dan/atau cakupan dari istilah warga negara (vide pasal 5), golongan
penduduk (vide pasal 156, 157), penadah dan penadahan (vide pasal 480) dan
barangsiapa. Mengenal warga-negara misalnya, sejauh mana tanggapan kita mengenai
dwi-kewarganegaraan dalam rangka penerapan hukum pidana Indonesia?. Bagaimana
kita menggolong golongkan penduduk Indonesia? Pada hal seperti diketahui ada lima
cara utama untuk menggolongkan, yaitu berdasarkan keturunan (suku bangsa marga,
ras dan sebagainya), kedaerahan (suatu daerah trans- migrasi, daerah perkampungan),
keyakinan (agama, kepercayaan), ideolog (partai, golongan) dan kepentingan
(perhimpunan, persatuan, gerakan dan lain sebagainya). Mengenai penadah, apakah
tukang-tukang mas, penjual sepeda bekas, penjual jam-jam bekas, tukang loak
termasuk pengertian penadah, mengingat mereka jarang melakukan jual beli dengan
surat-surat sah, bahkan sering dengan harga miring. Mengensi istilah barangsiapa,
karena dalam KUHPM istilah barang siapa, itu mempunyai arti tertentu/terbatas,
tidakkah dipandang perlu untuk memberi arti di dalam KUHP yang sekaligus juga
secara pasti dapat diketahui siapa-siapa yang termasuk pengertian barang- siapa?
BAB L
KETENTUAN PENUTUP

240. Maksud ketentuan pasal 103


Pasal 103. Ketentuan-ketentuan dalam Bab 1 sampai dengan Bab VIII juga
berlaku bagi tindakan-tindakan yang oleh ketentuan perundangan lainya diancam
dengan pidana, kecuali jika ditentukan lain oleh Undang-undang.
Ketentuan-ketentuan dalam Bab 1 sampai dengan VIII ditentukan berlaku bagi
ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP, kecuali secara tegas disimpangi oleh
Undang-undang. Ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak boleh
disimpangi oleh perundangan lebih rendah tingkatnya (misalnya: Peraturan
pemerintah, Peraturan pemerintah daerah dan lain sebagainnya).

Ternyata pasal ini mendiamkan Bab IX dari Buku Kesatu. Timbul persoalan, bagaimana
nasib Bab ini dalam hubungannya dengan perundangan hukum pidana di luar KUHP?
Apabila perundangan lainnya itu secara tegas menyatakan berlakunya Bab IX Buku I KUHP
(kecuali ada beberapa penyimpangan) terhadap perundangan lainnya itu seperti temyata
dalam KUHPM, maka tidak ada persoalan. Akan tetapi, jika perundangan lainnya itu juga
mendiamkannya, maka penerapan Bab IX ini dapat dilakukan dengan melalui interpretasi
menurut doktrin, apabila penafsiran itu tidak dapat diterapkan mendasarkan suatu
jurisprudensi. Biasanya dalam praktek hukum ketentuan-ketentuan dalam Bab IX itu juga
dianut dalam penerapan perundangan pidana lainnya, kecuali jika ternyata disimpangi oleh
undang-undang. Selain daripada itu, secara argentum a contrario masih juga dapat ditegaskan,
bahwa pasal 103 KUHP tidak melarang, penerapan Bab IX/Baku I kepada perundangan
pidana lainnya itu. Karenanya dapat disimpulkan, sesuatu yang tidak dilarang dapat saja
dilakukan.

241. Hubungan dengan KUHPM


Di lingkungan peradilan militer, peranan pasal 103 ini sangat penting. Sedemikian
pentingnya sehingga pasal-pasal PENDAHULUAN yaitu pasal 1 sampai dengan 3
KUHPM mengulangi dan bahkan mempertegas-luaskan ke- tentuan dalam pasal 103.
Dalam penjelasan untuk pasal 2 KUHPM, justru di- tentukan bahwa “ketentuan” dan
jurisprudensi yang dianut dalam penerapan KUHP, pada dasarnya digunakan juga
dalam penerapan KUHPM. Hal inilah juga yang memastikan bahwa, jika seseorang
hendak mempelajari KUHPM adalah suatu hal yang mustahil jika tidak telah
mempelajari KUHP (umur sebelumnya).

Anda mungkin juga menyukai