1. Zaman VOC
2. Zaman Hindia Belanda
3. Zaman Jepang
4. Zaman Kemerdekaan
ZAMAN VOC
• Disamping Hukum Adat Pidana yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia, pada tahun
1642 Joan Maetsuycker mantan Hof Van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari
Gubernur Jenderal Van Diemen merampungkan himpunan plakat yang diberi nama
Statuten Van Batavia.
• Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai VOC adalah Statuten Van
Batavia, Hukum Belanda Kuno dan Asas-Asas Hukum Romawi.
• Proklamasi 19 Agustus 1916, Stbl 1816 No. 5: untuk sementara waktu semua peraturan
bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan ( sampai lahirnya KUHP Nederland 15 April
1886)
• Berdasarkan Asas Konkordansi, Pasal 75 Regerings Reglement dan 131 Indische
Staatsregeling: KUHP di Nederland (1886) diberlakukan juga dinegara jajahan, sampai
diberlakukannya Wetboek Van Straftrecht voor Nederlandsch Indie pada 1 Januari 1918
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG & KEMERDEKAAN
• Pasal 3 Osamu Serei No. 1 Tahun 1942:
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang dari
pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
• ZAMAN KEMERDEKAAN:
“Segala badan negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
• Sudarto membedakan fungsi pidana menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.
1. Fungsi hukum pada umumnya yaitu mengatur kehidupan bermasyarakat dan
menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat.
• Menurut Machteld Boot adalah beberapa prinsip yang berkaitan dengan Asas
Legalitas;
• Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I UUD 1945:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
RETROAKTIF (PENGECUALIAN ASAS LEGALITAS)
• Ada 3 golongan sarjana hukum pidana yang berbeda, yaitu: yang menolak, tidak tegas
menolak dan menerima.
ØAsas Teritorial (pasal 2 KUHP): berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
terjadi di wilayah negara, pelakunya asing atau WNI)
Pasal 362 KUHP: Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda 60 Rupiah.
Unsur subjektif: Barangsiapa dan dengan maksud memiliki
Unsur objektif: mengambil, barang sebagian/ seluruhnya milik orang lain, unsur
melawan hukum.
Pasal 362 dan 338 KUHP adalah contoh rumusan delik yang bersifat kumulatif
CONTOH RUMUSAN DELIK ALTERNATIF
• Pasal 378 KUHP:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun.
• Contoh: Pegawai Bank /Teller Bank yang ditodong senjata api oleh perampok untuk
menyerahkan uang dari brangkas bank. Pegawai bank tersebut memahami akibat
perbuatannya dan menginsyafi perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum, namun
ia tidak mampu menentukan kehendak berbuat di bawah todongan senjata api, maka
kasir tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
LANJUTAN KEMAMPUAN BERTANGGUNGJAWAB
• Menurut Pompe, kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP tidak dirumuskan
secara positif, melainkan negative. Pasal 44 KUHP menyatakan Tidak Mampu
Bertanggung Jawab:
• Dalam Memorie Van Toelichting (MvT) KUHP tidak ditemukan apakah yang
dimaksud dengan “hukum” dalam frasa “melawan hukum”.
Adagium:
• “Contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis
verbis legis, sententiam ejus circumuenit”:
• Pengembalian barang curian tetap dikatakan sebagai suatu tindak pidana pencurian.
• Contoh delik materil adalah Pasal 338 KUHP:
• “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Delicta Commisionis, Delicta Omissionis dan
Delicta Commisionis Per Omissionem Commisa
• Delik Komisi atau Delicta Commisionis: melakukan perbuatan yang dilarang
dalam undang-undang (hamper sebagian besar ketentuan pidana dalam
UU/KUHP berupa Delik Komisi (formil dan materiil)
• Delik Omisi/Delicta Omissionis: tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan
/diharuskan oleh Undang-Undang. Sesuai adagium qui potest et debet vetara,
tacens jubet: seorang yang berdiam dan tidak mencegah atau tidak
melakukan sesuatu yang harus dilakukan sama saja seperti ia yang
memerintahkan. (formil)
• Contoh Delicta Omissionis: Pasal 224 KUHP (Delik tidak memenuhi suatu
kewajiban/panggilan menurut UU) (materiil)
• Delicta Commisionis Per Omissionem Commisa: kelalaian/kesengajaan
terhadap suatu kewajiban yang menimbulkan akibat. Contoh pasal 359 KUHP
Delik Kongkrit dan Delik Abstrak
• Delik Khusus/ Delicta propria: delik yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Misalnya Pasal 449 KUHP:
Delik nahkoda sebuah kapal Indonesia menarik kapal dan
memakainya untuk keuntungan sendiri.
1. Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami atau istri yg menjadi korban
dan tidak dapat diwakilkan;
2. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan sidang belum dimulai;
3. Pengaduan tidak diproses selama pernikahan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat
tidur tetap;
4. Pengaduan tidak dapat dipisah (yang berzinah dan selingkuhannya).
Delik Sederhana dan Delik Terkualifikasi
Contoh: Pelaku hendak membunuh korban dengan cara menikam pakai pisau, karena
mendapatkan perlawanan dari korban, maka korban hanya menderita luka di lengannya.
Niat membunuh dari pelaku tidak selesai, tapi muncul akibat lain yang tidak dikehendaki
pelaku yaitu luka pada korban.
Percobaan Tidak Sempurna
• Prof Andi Hamzah: Percobaan tidak mampu mutlak adalah kejahatan yang
tidak berhasil dilaksanakan karena alat atau sasarannya mutlak tidak
memungkinkanny.
(Moeljatno, 1985, Hukum Pidana Delik Delik Percobaan, Penyertaan, PT. Bina
Aksara, Jakarta halaman 11-12)
Pandangan Ahli Tentang Percobaan
• Eddy O. S Hiariej sependapat dengan Suringa dan ahli hukum pidana
Belanda pada umumnya, namun perbedaannya percobaan bukanlah
untuk memperluas dapat dipidananya perbuatan dan merupakan delik
yang tidak selesai (Bukan Delik mandiri)/
• Orang yang menyuruh melakukan (Doen Plegen): sedikitnya ada dua orang yang
menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (Pleger)
• Orang yang turut melakukan (Medepleger): sedikitnya harus ada dua orang yang
melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (Medepleger) peristiwa pidana
(tidak boleh melakukan perbuatan persiapan atau yang sifatnya menolong).
• Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang sah menurut
Pasal 51 KUHP, misalnya A (Pejabat Polisi) dendam kepada B, lalu
menyuruh C (Bawahan Polisi) untuk menangkap B dan menjebloskan B
ke tahanan, B tidak dapat dihukum karena B menyangka itu adalah
perintah sah merampas kemerdekaan badan seseorang.
• Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali
(AVAS), misalnya A menyuruh B mengambil sepeda motor dengan
mengatakan bahwa sepeda itu miliknya A, padahal bukan miliknya.
CONTOH PENERAPAN UITLOKKER
(PASAL 55 AYAT 2 KUHP)
Menurut Pasal 55 ayat 2 KUHP, maka pertanggungjawaban pembujuk dibatasi hanya
sampai pada apa yang dibujuknya untuk dilakukan serta akibatnya, misalnya:
• Dalam kasus kedua di atas, apabila B telah menerima pemberian uang dari A dan
sebelum B dapat membunuh C ternyata ketahuan, apakah A dapat dihukum? Dapat,
akan tetapi jika tidak jadinya B melakukan pembunuhan itu karena kemauan sendiri,
maka A tidak dapat dihukum.
PEMBANTUAN (MEDEPLICHTIGE)
Definisi dan batasan Pembantuan:
• Sengaja disini dapat terdiri dari 3 bentuk yaitu sengaja sebagai niat, sengaja
kesadaran kepastian, dan sengaja kesadaran kemungkinan.
“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-
beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
CONTOH CONCURSUS IDEALIS (R. SOESILO)
Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435
KUHP mengatur Tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan adanya UU
Tipikor, maka seluruh ketentuan pidana menjadi lex specialis dari KUHP
sebagai legi generali.
PERBUATAN BERLANJUT (VOORGEZETTE HANDELING)
• Penjatuhan Pidana: maksimum pidananya tidak boleh lebih dari maksimum pidana
terberat ditambah 1/3 (Pasal 65 ayat 2 KUHP)
• Kesimpulan: Pasal 65 ayat (1) KUHP tersebut mengatur tentang gabungan (beberapa
tindak pidana) dalam beberapa perbuatan, tanpa menyebutkan tindak pidana itu
sejenis atau tidak sejenis.
• Kata Kunci Pasal 66 ayat 1 KUHP: Pidana Pokok Yang Tidak Sejenis
SISTEM PEMIDANAAN DALAM SAMENLOOP
(LOEBBY LOQMAN)
1. Sistem Absorbsi (Absorptie Stelsel): melakukan beberapa perbuatan yg merupakan
beberapa tindak pidana, masing-masing diancam dengan pidana yg berbeda jenis, maka
hanya dijatuhkan satu pidana saja yg terberat (Pasal 63 ayat 1 & Pasal 64 ayat 1 KUHP);
2. Sistem Kumulasi (Cumulatie Stelsel): melakukan beberapa perbuatan yg merupakan
beberapa tindak pidana yg masing2 diancam dgn pidana secara sendiri-sendiri, maka setiap
ancaman pidana dijatuhkan seluruhnya secara akumulasi;
3. Sistem Absorbsi Diperberat ( Verscherpte Absorptie Stelsel): melakukan beberapa
perbuatan yg merupakan beberapa tindak pidana yg masing-masing diancam dgn pidana
sendiri-sendiri, maka penjatuhan pidananya tidak boleh melebihi ancaman pidana terberat +
1/3;
4. Sistem Kumulasi Terbatas (Gematigde Cumulatie Stelsel): melakukan beberapa
perbuatanyg merupakan beberapa tindak pidana masing-masing diancam dhm pidana
sendiri-sendiri, maka semua pidana yang diancamkan tersebut dijatuhkan seluruhnya tapi
tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3.
GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA
Dasar hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan (“SP3”) dalam Pasal 109 ayat
(2) KUHAP:
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan krn tidak terdapat cukup bukti / peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana / PENYIDIKAN DIHENTIKAN “DEMI
HUKUM:, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.”
tindak pidana itu bersifat pribadi kecuali pidana korporasi dan terhadap
tindak pidana khusus (ekonomi/ korupsi) dapat dilakukan persidangan
secara in absentia.
DALUWARSA PENUNTUTAN (Pasal 78-81 KUHP)
Pasal 78 ayat (1) KUHP menyebutkan kewenangan menuntut pidana hapus karena
daluwarsa:
1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari
sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan:
2. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai
pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau
meninggal dunia;
3. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai
pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut
aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus
dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.
Pencabutan Delik Aduan & Yurisprudensi
PASAL 75 KUHP (PENCABUTAN DELIK ADUAN)
“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan
setelah pengaduan diajukan.”
Yurisprudensi:
Kaidah Hukum:
Menurut Pasal 78 ayat 1 sub 2 KUHP, perkara “penghinaan ringan” adalah suatu
kejahatan dan dengan demikian baru kedaluwarsa setelah lewat waktu enam tahun.
Pasal 80 (1) & (2) KUHP Tentang
Perselisihan Pra Yudisial Menunda Daluwarsa
2. Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan
harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat dalam ayat 1.
3. (Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun
kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dahulu telah hapus
berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.
4. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada
saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
RESIDIV SEBAGAI PEMBERATAN PIDANA
Menurut E.Y. Kanter, S.H. dan S.R. Sianturi, S.H, Residiv (Recidive) adalah : apabila seorang
melakukan suatu tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam
jangka waktu tertentu:
Kesimpulan: pengulangan suatu tindak pidana oleh pelaku yg sama, krn tindak pidana yang
dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana BHT, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu
tertentu.
LANJUTAN
Residivis diatur dalam bab khusus di Buku II KUHP, Bab XXXI, “Aturan Pengulangan Kejahatan Yg
Bersangkutan Dgn Berbagai Bab”.
“Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140 ayat
pertama, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu
tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, Pasal 140
ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang
bermasalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya……….”
LANJUTAN RESIDIV
Pasal 488 KUHP:
“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-
321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah
ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan diterangkan pada
pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan
menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”
Hubungan Kausalitas Dalam Hukum Pidana
• Teori Hubungan Kausalitas (de leer van de causaliteit) sangat penting untuk:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda
5. pidana tutupan.
• Urutan dari pidana pokok tersebut berdasarkan tingkatan berat ringannya sanksi pidana
yang dijatuhkan.
• Prinsip umum dalam penjatuhan pidana pokok berdasarkan KUHP adalah hakim dilarang
menjatuhkan lebih dari satu pidana pokok. Oleh karena itu ancaman pidana dalam KUHP
pada umumnya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda.
PIDANA MATI
• Mors dicitur ultimum supplicium : hukuman mati adalah hukum terberat.
• C’est le crime qui fait la honter, et non pas vechafaus : perbuatan kejahatan yang
membuat malu bukan hukuman matinya.
• 2 dasar argumentasi utama adanya pidana mati adalah sebagai retribusi atau
pembalasan dan penjeraan.
• Bahkan retribusi tidak hanya bagian dari pidana mati melainkan merupakan kunci
utama dalam sistem peradilan pidana khususnya aliran klasik dalam hukuman
pidana.
• Pasal 12 KUHP: pidana penjara seumur hidup (sampai terpidana meninggal dunia) dan
pidana penjara sementara waktu.
• Pidana penjara 20 tahun: perbarengan perbuatan pidana, residivis dan dalam
keadaan/situasi tertentu.
• Memorie Van Toelichting: dasar 20 tahun penjara adalah seorang yang menjalaninya akan
kehilangan kemampuan dan kesiapan kembali menjalani kehidupan bebas.
STELSEL PEMIDANAAN
1. Defenite Sentence: pembentuk UU menentukan ancaman pidana secara
pasti dan tidak memungkinkan adanya diskresi hakim (Contoh Pasal 59
ayat 3 UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dalam hal kejahatan
psikotropika golongan 1 dilakukan terorganisir: pidana mati atau seumur
hidup atau pidana penjara 20 tahun.
2. Indefinite Sentence: sistem yang menetapkan ancaman pidana
maksimum khusus dan juga ancaman pidana minimum khusus untuk
setiap perbuatan pidana (hampir semua delik KUHP, contoh pasal 338 )
3. Indeterminate sentence: pembentuk uu hanya menentukan alternative
dalam batas-batas minimum dan maksimum ancaman pidana (membuka
diskresi hakim, Contoh Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor
PIDANA KURUNGAN
• Seseorang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 1
bulan, hakim boleh menetapkan bahwa penuntut umum dapat mengizinkan
terpidana bergerak bebas di luar penjara sehabis waktu kerja
• Pidana kurungan dijalani dalam daerah hukum dimana terpidana berdima ketika
putusan hakim dilaksanakan.
• Bagaimana kalau ada penjatuhan pidana penjara dan pidana kurungan? Pidana
kurungan dilaksanakan setelah pidana penjara habis.
PIDANA DENDA
• Salah satu alasan pidana denda adalah keberatan terhadap pidana badan
dalam jangka waktu singkat.
• Contoh dalam perkara korupsi: selain pidana yang dijatuhkan secara kumulatif,
pidana tambahan yang mengiringi pidana pokok adalah pembayaran uang
pengganti (1 bulan sejak BHT)
PIDANA BERSYARAT DAN PELEPASAN BERSYARAT
• Pidana bersyarat atau pidana percobaan: salah satu alternative pemidanaan yang
pertama kali dikenalkan oleh Inggris.
• Tujuan: melindungi masyarakat, menjaga keselamatan masyarakat, dan
mencegah terjadinya kejahatan
• Ketentuan pidana bersyarat /pidana percobaan dalam KUHP:
1. Hanya dapat dijatuhkan terhadap pidana penjara atau pidana kurungan
paling lama 1 tahun
2. Dalam putusannya, hakim dapat memerintahkan pidananya tidak usah
dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim menentukan lain
yang disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa
percobaan habis atau karena terpidana tidak memenuhi syarat khusus
yang ditentukan dalam perintah itu.
LANJUTAN PIDANA BERSYARAT
3. Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam Pasal 492 KUHP terkait
keamaan umum bagi orag tua atau barang dan kesehatan, Pasal 504 -506 KUHP
tentang pelanggaran ketertiban umum;
4. Masa percobaan dimulai pada saat putusan berkekuatan hukum tetap dan
diberitahukan kepada terpidana
5. Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah
6. Jika terpidana dijatuhi denda, hakim dapat menetapkan syarat khusus yaitu terpidana
mengganti kerugian yang ditimbulkan tindak pidana.
7. Hakim memerintahkan pejabat untuk mengawasi pelaksanaan pidana bersyarat beserta
syarat umum dan khususnya.
8. Hakim tingkat pertama dapat memerintahkan supaya atas namanya diberikan
peringatan terpidana
9. Jika selama masa percobaan terpidana melakukan tindak pidana, maka terpidana selain
menjalani pidana terdahulu juga akan menjalani pidana yang baru
10. Setelah masa percobaan habis perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan
lagi.
KETENTUAN PELEPASAN BERSYARAT (PB) DI KUHP
1. Narapidana yang berhak mendapatkan PB adalah jika yang bersangkutan telah
menjalani 2/3 dari lamanya pidana penjara sekurang-kurangnya 9 bulan;
2. Ketika memberi PB, ditentukan pula suatu masa percobaan dan syarat-syaratnya;
3. Masa percobaan lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,
ditambah 1 tahun;
4. PB diberikan syarat umum bahwa napi tidak akan melakukan tindak pidana/perbuatan
tidak baik;
5. Dapat ditambahkan syarat khusus mengenai kelakuan terpidana dengan tidak
mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik
6. Selama masa percobaan syarat dapat diubah atau dihapus atau ditambah dengan
pengawasan khusus
7. PB dapat dicabut jika napi melakukan hal-hal yang melanggar syarat dalam masa
percobaan
8. Jika 3 bulan setelah masa percobaan habis, PB tidak dapat dicabut kembali kecuali bila
sebelum waktu 3 bulan berlalu napi dituntut karena melakukan perbuatan pidana
dalam masa percobaan
PIDANA &PEMIDANAAN DI RUU HUKUM PIDANA
1. Jika dua orang atau lebih melakukan perbuatan pidana dan salah
satunya dilepaskan dari tanggungjawab pidana karena alasan
pembenar, maka pelaku lainnya juga harus dibebaskan;
2. Jika dua orang atau lebih melakukan perbuatan pidana dan salah
satunya dilepaskan dari tanggungjawab pidana karena alasan
pemaaf, maka tidak serta pelaku lainnya juga dilepaskan (bersifat
individual)
ALASAN PENGHAPUS PIDANA UMUM
MENURUT UU
1. Tidak mampu bertanggungjawab;
2. Daya paksa
3. Keadaan darurat;
4. Pembelaan terpaksa
5. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
6. Menjalankan perintah undang-undang, perintah jabatan dan
perintah jabatan yang tidak sah;
ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UNDANG-
UNDANG
1. Izin;
2. Error facti
3. Error juris
4. Tidak ada sifat melawan hukum materiil
5. Hak jabatan ata pekerjaan
6. Mewakili urusan orang lain
TEORI TEORI ALASAN PENGHAPUS PIDANA
1. Theory of pointless punishment (hukuman yang tidak perlu)
2. Theory of lesser evils (peringkat kejahatan yang lebih ringan)
3. Theory of necessary defense (pembelaan yang diperlukan)
Pandangan Jeremy Bentham Tentang Kemanfaatan Pemidanan:
1. Pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaikan diri pada
pelaku kejahatan;
2. Pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan;
3. Pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada yang dirugikan;
4. Pidana sama sekali tidak memiliki pembenaran apapun bila semata-mata
dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan dan kerugian
pada masyarakat.
Contoh: menghukum orang gila yang menganiaya orang lain & mobil pemadam kebakaran
yang melanggar lalu lintas
TIDAK MAMPU BERTANGGUNGJAWAB
(TOEREKENINGSVATBAARHEID)
• Dasar Hukum : Pasal 44 KUHP
• Kesimpulan Pasal 44 KUHP:
1. Kemampuan bertanggungjawab dilihat dari sisi pelaku berupa keadaan akal/jiwa
yang cacat tumbuhnya atau terganggu karena penyakit
2. Penentuan kemampuan bertanggungjawab dalam konteks pertama dilakukan
oleh psikiater
3. Ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan
4. Penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan kewenangan hakim
5. Sistem KUHP adalah deskripsi normative, jadi meskipun keadaan jiwa dinilai
pskiater namun hakum akan menilai hubungan keadaan jiwa dan perbuatan yang
dilakukan
• Contoh: kleptomanie, pyromaniee, exhibitionists, dan retardasi mental
DAYA PAKSA (OVERMACHT)
• Dasar hukum: 48 KUHP
• Beberapa postulat mengenai Daya Paksa:
1. Quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit: keadaan terpaksa
memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum;
2. In casu extremae necessitates omnia sunt communia: dalam keadaan terpaksa,
tindakan yang diambil dianggap perlu;
3. Necessitas quod cogit defendit: keadaan terpaksa melindungi apa yang harus
diperbuat;
4. Necessitas sub lege non contitentur, quia quod alias non est licitum necessitas facit
licitum: keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh
hukum, namun dilakukan dalam keadaan terpaksa paksa perbuatan tersebut
dianggap sah
• Contoh: kasir bank yang ditodong pistol oleh perampok
KEADAAN DARURAT (NOODTOESTAND)
• Prinsip: perintah jabatan yang tidak sah tidak menghapuskan patut dipidananya
pelaku
• Asas: Afwezigheid Van Alle Schuld (AVAS) : tidak ada kesalahan sama sekali.
• Seorang yang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau keadaan
darurat atau dalam menjalankan UU atau dalam melaksanakan perintah jabatan
yang sah, namun nyatanya tidak demikian (Sudarto).
• Pelaku tidak dijatuhi pidana jika dapat dibuktikan bahwa dalam keadaan demikian
pelaku bertindak secara wajar (ada kesesatan yang dialami)
• Contoh Pidana Putatif menurut Jan Remmelink:
1. Overmacht putative: seorang kapten kapal mengira bahwa ia terancam akan
dibajak perompak sehingga meninggalkan kapal;
2. Noodweer putative: A melihat B ditodong C yang bertopeng dengan
menggunakan pistol, dengan tangkas A menendang C hingga terjatuh ternyata
C adalah teman akrab A yang bersenda gurau.
Penghentian Penuntutan
1. Menurut pasal 140 ayat 2 KUHAP, Penuntut Umum dapat melakukan
penghentian penuntutan.
2. Alasan penghentian penuntutan untuk kepentingan hukum:
a. Tidak cukup bukti
b. Bukan perbuatan pidana
c. Perkara ditutup demi hukum yaitu:
ØTersangka atau terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
ØNebis in idem (pasal 76 KUHP)
ØDaluwarsa (pasal 78 ayat 1 KUHP)
ØPencabutan delik aduan (pasal 75 KUHP)
Asas Oportunitas
• Merupakan pengecualian dari asas legalitas.
• Penjelasan Pasal 77 KUHAP:
ØYang dimaksud dengan "penghentian penuntutan" tidak termasuk
penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa
Agung.
ØIntinya sama dengan kewenangan jaksa agung mengesampingkan perkara untuk
kepentingan umum dalam pasal 35 huruf c UU kejaksaan.
1. Andi Hamzah dan AZ. Abidin, Hukum Pidana Indonesia. PT. Yarsif
Watampone, Jakarta, 2010.
2. Eddy OS. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya
Atma Pustaka, 2016.
3. E Y Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia
dan Penerapannya, Storia Grafika Jakarta 2002
4. Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta
2003
5. R. Soesilo, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi
pasal, Politea Bogor, 1991.