Anda di halaman 1dari 160

MATERI KULIAH HUKUM PIDANA

Fakultas Hukum Universitas Trisakti


Dosen: Dr. Yenti Garnasih, SH, MH
Albert Aries, SH, MH

Hanya untuk kalangan sendiri @2021


PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Prof. Mr. W.F.C. Van Hattum:

Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh


negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, di mana mereka itu
sebagai pemelihara dari ketertiban umum telah melarang dilakukannya
tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum, dan telah mengkaitkan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan
yang bersifat khusus berupa hukuman.”
LANJUTAN PENGERTIAN HUKUM PIDANA
• Prof. Dr. W.L.G Lemaire:

Hukum Pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan


dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan
dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat
khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-
tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman
yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA

• Sejarah Hukum Pidana yang tertulis di Indonesia dapat dibagi atas:

1. Zaman VOC
2. Zaman Hindia Belanda
3. Zaman Jepang
4. Zaman Kemerdekaan
ZAMAN VOC
• Disamping Hukum Adat Pidana yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia, pada tahun
1642 Joan Maetsuycker mantan Hof Van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari
Gubernur Jenderal Van Diemen merampungkan himpunan plakat yang diberi nama
Statuten Van Batavia.

• Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai VOC adalah Statuten Van
Batavia, Hukum Belanda Kuno dan Asas-Asas Hukum Romawi.

• Mulai tanggal 1866 berlaku 2 (dua) KUHP di Indonesia:


1. Het Wetboek Van Strafrecht Voor Europeanen (Stbl 1866 No. 55) yang berlaku
bagi golongan Eropa sejak 1 Januari 1867. Kemudian dengan ordonansi tanggal 6
Mei 1872 berlaku KUHP untuk Golongan Bumiputra dan Timur Asing.
2. Het Wetboek Van Strafrecht Voor Inlands En Daarmede Gelijkgestelde (Stbl. 1872
No. 85, Mulai berlaku 1 Januari 1873.
ZAMAN HINDIA BELANDA
• Pada tahun 1811-1814, Indonesia pernah dari tangan Belanda ke tangan Inggris.
Berdasarkan konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Nederland
dikembalikan pada Nederland.

• Dengan Regering Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September


1815), maka hukum dasar pemerintah colonial tercipta.

• Proklamasi 19 Agustus 1916, Stbl 1816 No. 5: untuk sementara waktu semua peraturan
bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan ( sampai lahirnya KUHP Nederland 15 April
1886)
• Berdasarkan Asas Konkordansi, Pasal 75 Regerings Reglement dan 131 Indische
Staatsregeling: KUHP di Nederland (1886) diberlakukan juga dinegara jajahan, sampai
diberlakukannya Wetboek Van Straftrecht voor Nederlandsch Indie pada 1 Januari 1918
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG & KEMERDEKAAN
• Pasal 3 Osamu Serei No. 1 Tahun 1942:
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang dari
pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer.

• ZAMAN KEMERDEKAAN:

• Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945:

“Segala badan negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

1. Hukum Pidana Materiil – Hukum Pidana Formil


2. Hukum Pidana Objektif (jus poenale)– Hukum Pidana Subjektif (jus
puniendi)
3. Hukum Pidana berdasarkan Adresat (misalnya: profesi Militer)
4. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
5. Hukum Pidana Nasional-Hukum Pidana Lokal dan Hukum Pidana
Internasional
TUJUAN HUKUM PIDANA
• Aliran Klasik: aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan
menitikberatkan pada kepastian hukum. Tujuan hukum pidana menurut aliran klasik adalah
untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
• Aliran Modern: hukum pidana bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini
berpegang pada postulat le salut de people est la supreme loi, yang berarti hukum tertinggi
adalah perlindungan masyarakat.
• Teori Absolut: menurut teori ini pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Negara berhak
menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan perkosaaan pada hak
dan kepentingan hukum yang telah dilindungi (Adam Chazawi)
• Teori Relatif: teori relative mencari dasar pemidanaan adalah penegakkan ketertiban
masyarakat dan tujuan pidana untuk mencegah kejahatan.
• Teori Gabungan penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan,
namun dalam Batasan apa yang layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan social akan
menetapkan berat ringannya derita yang layak dijatuhkan (ketertiban masyarakat)
• Teori Kontemporer: Teori Efek Jera, Teori Edukasi, Teori Rehabilitasi, Teori Pengendali Sosial
dan Teori Keadilan Restoratif.
FUNGSI HUKUM PIDANA
• Menurut Hart: Fungsi hukum pidana adalah untuk menjaga keteraturan dan kesusilaan
umum serta melindungi warga dari apa yang disebut asusila atau yang merugikan dan
untuk memberikan perlindungan atas eksploitasi dari pihak lain, khususnya bagi mereka
yang lemah karena masih muda, lemah fisik, pikiran atau pengalaman.

• Sudarto membedakan fungsi pidana menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.
1. Fungsi hukum pada umumnya yaitu mengatur kehidupan bermasyarakat dan
menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat.

2. Fungsi khusus hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum


terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana
(perlindungan terhadap nyawa, harta benda, dan kesusilaan/nama baik)
ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA

• Menurut Jonkers, asas ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP:


“Tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang
pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan.”

• Menurut Machteld Boot adalah beberapa prinsip yang berkaitan dengan Asas
Legalitas;

1. Nullum crimen noela poena sine lege praveia


2. Nullum crimen, nulla poena sine lege scripta
3. Nullum crimen, nulla poena sine lege certa
4. Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta
LANJUTAN ASAS LEGALITAS
• Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia”, menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP
menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk undang-undang
ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan
kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang
merupakan tindak pidana atau tidak.

• Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I UUD 1945:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
RETROAKTIF (PENGECUALIAN ASAS LEGALITAS)

• Pasal 1 ayat (2) KUHP merumuskan:

“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan


dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya.”

Yang termasuk dalam Perubahan UU:


Putusan MA RI No. 72 K/ Kr/1970 tanggal 27 Mei 1972:
“Karena UU No. 17/1964 Tentang Cek Kosong telah dicabut dengan UU No.12 Tahun
1971 dan terhadap terdakwa diberlakukan Pasal 1 ayat 2 KUHP, terdakwa dilepaskan
dari segala tuntutan hukum.
ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA
• Penafsiran dan analogi adalah 2 metode dalam penemuan hukum. Bila kita bersandar pada
asas legalitas khususnya lex stricta, maka secara implisit tidak memperbolehkan analogi.

• Ada 3 golongan sarjana hukum pidana yang berbeda, yaitu: yang menolak, tidak tegas
menolak dan menerima.

• Pendapat Prof Eddy OS Hiariej mengenai Analogi:


1. Dalam konteks hukum nasional, penerapan analogi hanya dibolehkan jika analogi
dilakukan untuk menjelaskan undang-undang.
2. Dalam konteks hukum pidana nasional, analogi tidak diperbolehkan karena
bertentangan dengan asas legalitas
3. Dalam konteks penegakkan hukum pidana internasional, termasuk penindakan
kejahatan internasional, analogi hukum dalam rangka menimbulkan perbuatan
pidana baru, dibolehkan.
Ruang Lingkup Hukum Pidana Indonesia

ØAsas Teritorial (pasal 2 KUHP): berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
terjadi di wilayah negara, pelakunya asing atau WNI)

ØAsas Nasionalitas aktif/personal (Pasal 5 KUHP): berlaku bagi semua


perbuatan pidana yang dilakukan WNI dimana saja)
Ruang Lingkup Hukum Pidana Indonesia (2)
Asas Yurisdiksi Hukum Pidana Nasional ditinjau dari sudut kepentingan:

1. Asas Nasionalitas Pasif (pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP) untuk kejahatan


104, 106, 107, 108, 111 bis ke 1, 127, dan 131) dan Pasal 4 ke 2 KUHP
(mata uang RI Palsu), dan Pasal 4 ayat 3 (Surat Hutang RI Palsu);

2. Asas melindungi kepentingan Internasional (asas universal): berlaku


umum dan melampaui batas ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia).
Yang dilindungi disini adalah Kepentingan Dunia, misalnya perampokan
kapal negara mana saja.
LOCUS DAN TEMPUS DELICTI
• Dasar penerapannya diatur dalam Pasal 143 ayat 2 KUHAP (Hukum
Acara Pidana):

“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan


ditandatangani serta berisi uraian yang cermat, jelas dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat pidana itu dilakukan.”

Pasal 143 ayat 3 KUHAP: Surat dakwaan yang tidak memenuhi


ketentuan di atas batal demi hukum.
TEMPUS DELICTI (WAKTU TERJADINYA
PERBUATAN PIDANA)
Menurut Eddy OS Hiariej, Tempus Delicti memiliki 5 (lima) arti penting:
1. Apakah pada saat perbuatan itu terjadi, perbuatan tersebut telah
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana?
2. Apakah pada saat melakukan pidana terdakwa mampu atau tidak mampu
bertanggungjawab?
3. Apakah pada saat terjadinya perbuatan pidana, terdakwa telah cukup umur?
4. Terkait dengan Kedaluwarsa/verjaring (dihitung mulai hari setelah perbuatan
pidana terjadi, namun ada beberapa kejahatan yg perhitungan daluwarsanya
tidak demikian)
5. Apakah pada saat dilakukannya perbuatan pidana tersebut ada keadaan
tertentu yang dapat memperberat pidana ? (misalnya darurat sipil/militer)
LOCUS DELICTI
• Locus Delicti sangat menentukan apakah hukum pidana berlaku atau
tidak terhadap suatu perbuatan yang terjadi.

• Locus Delicti menentukan pengadilan mana yang berwenang


mengadili suatu perkara pidana (Crimen Trahit Personam).

• Locus Delicti berkaitan dengan Kompetensi Absolut (pengadilan


militer atau pengadilan negeri dan kompetensi Relatif dari suatu
pengadilan, baik positif (2 pengadilan atau lebih) maupun negative
(tidak ada pengadilan yang merasa berwenang).
PERBUATAN PIDANA (STRAFTBAAR FEIT)
Definisi Perbuatan Pidana Menurut Moeljatno: Perbuatan yg dilarang dalam
undang-undang & diancam dgn pidana Barangsiapa melanggar larangan itu.

Elemen-Elemen Perbuatan Pidana menurut Moeljatno:


1. Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat.
2. Hal ihkwal atau keadaan yang menyertai perbuatan (contoh: Pasal
345 KUHP, menolong orang bunuh diri)
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
4. Unsur melawan hukum yang objektif (perbuatan kasat mata)
5. Unsur melawan hukum yang subjektif (niat/sikap batin pelaku)
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
• Dalam beberapa literature istilah ”delik” digunakan untuk mengganti istilah
perbuatan pidana.
• Dalam membahas unsur delik, perlu dibedakan antara bestandeel
(exspresive verbis) dan element (tertulis dan tidak tertulis)
• Van Bemmelen dan Van Hattum: hanya elemen yang tertulis saja yang
merupakan elemen perbuatan pidana. Konsekuensinya: yang harus
dibuktikan oleh penuntut umum di pengadilan hanyalah Bestandeel.
• Rumusan delik mempunyai 2 fungsi:
1. Rumusan delik sebagai pengejawantahan asas legalitas
2. Rumusan delik sebagai unjuk bukti dalam konteks hukum acara
pidana
CONTOH RUMUSAN DELIK
• Pasal 338 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Unsur subjektif: Barangsiapa dan sengaja
Unsur objektif: merampas dan nyawa orang lain.

Pasal 362 KUHP: Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda 60 Rupiah.
Unsur subjektif: Barangsiapa dan dengan maksud memiliki
Unsur objektif: mengambil, barang sebagian/ seluruhnya milik orang lain, unsur
melawan hukum.
Pasal 362 dan 338 KUHP adalah contoh rumusan delik yang bersifat kumulatif
CONTOH RUMUSAN DELIK ALTERNATIF
• Pasal 378 KUHP:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun.

• Putusan MA No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990:


“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya
yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar
menyerahkan sesuatu barang.”
KESALAHAN (SCHULD) DALAM HUKUM PIDANA

Menurut pendapat Vos, dalam hukum pidana, pengertian kesalahan


dapat dibedakan menjadi 3 ciri:

1. Dapat dipertanggungjawabkannya pelaku


2. Hubungan psikis pelaku dengan perbuatannya yang biasanya dalam
bentuk SENGAJA (Dolus/Opzet) atau ALPA (Culpa)
3. Tidak ada dasar-dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban
pelaku atas perbuatannya.
Geen straft zonder schuld: ‘tiada pidana tanpa kesalahan.”
BENTUK-BENTUK KESENGAJAAN (DOLUS)
Vos membagi jenis-jenis Kesengajaan menjadi 3 bentuk:

1. Kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk): kesengajaan untuk mencapai


suatu tujuan. Artinya motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan dan
akibatnya benar-benar terwujud. Motivasi seseorang sangat mempengaruhi
perbuatannya (affection tua nomen imponit operi tuo) contoh: A menganiaya B
karena B berselingkuh dengan C (istri A)
2. Kesengajaan dengan kepastian (opzet bij noodzakelijkheids of
zekerheidsbewustzijn). Contoh: A menaruh dinamit di kapalnya agar dapat
asuransi tapi ternyata menewaskan penumpang kapal tsb
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn) Contoh:
A mengirim kue beracun ke B tapi ternyata di makan oleh C (istri B)
BENTUK KESENGAJAAN YANG LAIN
1. Kesengajaan Bersyarat (Dolus Eventualis): seseorang melakukan perbuatan tapi tidak
menghendaki akibatnya. Contoh: A dikejar polisi, lalu ngebut dengan kecepatan tinggi
dan menabrak orang lain.
2. Kesengajaan Berwarna (Opzetgekleur): seseorang melakukan perbuatan harus
mengetahui terlebih dahulu bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan
yang dilarang undang-undang.
3. Kesengajaan Dengan Niat Jahat (Dolus Malus): seseorang melakukan perbuatan
memahami bahwa perbuatannya dilarang undang-undang.
Kesalahan biasanya dinyatakan eksplisit dalam rumusan delik, akan tetapi tidak
selamanya rumusan delik mencantumkan “dengan sengaja” karena bisa digantikan
dengan kata “mengetahui” misalnya dalam Pasal 290 KUH Pidana atau dengan kata
“dengan maksud” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat 1 KUHP.
KEALPAAN (CULPA)
• Imperitia Culpae Annumeratur: Kealpaan adalah kesalahan
• Akibat ini timbul dari seorang yang alpa, sembrono, teledor, lalai, kurang hati-
hati, kurang menduga-duga
• Perbedaan dengan kesengajaan adalah ancaman pada delik-delik kesengajaan
lebih berat daripada delik kealpaan (imperitia est maxima mechanicorum)
• Dalam MvT: culpa semata-mata pengecualian dari dolus sebagai tindakan
umum dan adanya keadaan tersebut membahayakan keamanan orang atau
barang atau mendatangkan kerugian terhadap orang yang sedemikian besarnya
dan tidak dapat diperbaiki lagi sehingga undang-undang juga bertindak
terhadap sikap tersebut.
• Neglegentia semper habet infortuniam comitem: kealpaan selalu membawa
kemalangan bagi orang lain.
CONTOH RUMUSAN CULPA DALAM KUHP
• Pasal 188 KUHP
“Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan
atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum
bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain,
atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.”

• Unsur “sepatutnya diduga” dalam Pasal 480 ayat 1 KUHP tentang


Delik Penadahan
CARA MENENTUKAN CULPA DALAM DIRI PELAKU
Sudarto memberikan pandangan mengenai cara menentukan Culpa pada diri
seseorang:
1. Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normative dan tidak
secara fisik atau psikis
2. Orang pada umumnya ini berarti tidak boleh orang yang paling cermat,
paling hati-hati dan paling ahli.
3. Untuk menentukan kekurang hati-hatian dari pelaku dapat digunakan
ukuran apakah ia “ada kewajiban untuk berbuat lain”
4. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan undang-undang atau di luar UU
yaitu dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya
dilakukan olehnya (tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan)
KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
• Elemen pertama dari Kesalahan adalah kemampuan bertanggung jawab atau
toerekeningsvatbaarheid.
• Ukuran Kumulatif mengenai kemampuan bertanggung jawab menurut Van Hamel:
1. Mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuataannya.
2. Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban
masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan kehendak berbuat

• Contoh: Pegawai Bank /Teller Bank yang ditodong senjata api oleh perampok untuk
menyerahkan uang dari brangkas bank. Pegawai bank tersebut memahami akibat
perbuatannya dan menginsyafi perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum, namun
ia tidak mampu menentukan kehendak berbuat di bawah todongan senjata api, maka
kasir tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
LANJUTAN KEMAMPUAN BERTANGGUNGJAWAB
• Menurut Pompe, kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP tidak dirumuskan
secara positif, melainkan negative. Pasal 44 KUHP menyatakan Tidak Mampu
Bertanggung Jawab:

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan


kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige
ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) tidak
dipidana.
2. Jika ternyata bahwa perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu
karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa paling lama 1 tahun sebagai
percobaan.
3. Ketentuan tersebut dalam ayat 2 hanya berlaku bagi MA, PT dan PN.
KESIMPULAN DARI PASAL 44 KUHP
1. Kemampuan bertanggungjawab dilihat dari sisi pelaku berupa keadaaan
akal atau jiwa yang cacat pertumbuhan atau terganggu penyakit;
2. Penentuan kemampuan bertanggung jawab dalam konteks pertama
harus dilakukan oleh pskiater;
3. Ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan
4. Penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan otoritas hakim yang
mengadili perkara
5. Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah diskriptif normative karena
disatu sisi, menggambarkan keadaan jiwa oleh psikiater, namun disisi lain
secara normative hakim akan menilai hubungan antara keadaaan jiwa
dan perbuatan yang dilakukan.
METODE UNTUK MENENTUKAN
KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNGJAWAB
1. Metode biologis yang dilakukan oleh psikiater sesuai adagium
furiosi nulla voluntas est (orang yang sakit jiwa tidak memiliki
kehendak);
2. Metode psikologis yang menunjukkan hubungan antara keadaan
jiwa yang abnormal dengan perbuatannya;
3. Metode biologi-psikologis yaitu melakukan penilaian hubungan
antara perbuatan dengan keadaan jiwanya untuk dinyatakan tidak
mampu bertanggungjawab.
KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB UNTUK
SEBAGIAN (GEDEELTELIJKE ONTOEREKENIGSVATBAARHEID)
1. Kleptomanie: penyakit jiwa suka mengambil barang milik orang lain secara spontan,
misalnya mencuri pena yang nominalnya tidak seberapa. Lain halnya jika yang dicuri
adalah mobil (bukan hal spontan)
2. Claustrophobie: penyakit jiwa berupa ketakutan berada di ruangan sempit.
3. Pyromanie: penyakit jiwa yang suka membakar tanpa alasan yang pasti.
• Intisari: antara perbuatan yang dilakukan ada hubungan kausalitas dengan penyakit jiwa
yang diderita.
• Apabila terdapat keraguan untuk menentukan apakah seorang mampyu bertanggung
jawab atau tidak terdapat 2 pendapat:
1. In dubio pro lege fori, jika terdapat keraguan hakim tetap menghukum terdakwa
2. In dubio pro reo, jika terdapat keraguan harus diambil keputusan yang
meringankan terdakwa.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
• Korporasi berasal dari kata corporation (latin) yang berawal dari kata corporare,
artinya memberikan badan atau membadankan.
• Menurut pendapat Satjipto Rahardjo, korporasi sebagai suatu badan hasil cipta
hukum, yang terdiri dari Corpus (yang mengarah pada fisik) dan animus (yang
diberikan hukum membuat badan itu memiliki kepribadian)

• Awalnya, pembuat UU berpandangan hanya manusia (orang perorangan) saja


yang dapat menjadi subjek hukum (Vide: Pasal 59 KUHP), hal ini terlihat dari
rumusan delik dengan adanya frasa Hij Die (Barangsiapa) yang dalam
perkembangannya pembuatan delik juga memperhitungkan kenyataan bahwa
manusia melakukan tindakan didalam atau melalui korporasi.
• Menurut Edwin Sutherland, Kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk
kejahatan kerah putih (white collar crime).
SIAPA YANG DIMAKSUD DENGAN KORPORASI?
• Pasal 51 ayat 3 Wetboek van Strafrecht Belanda: persekutuan bukan badan hukum
(termasuk CV, firma), maatschap (persekutuan perdata), rederij (perusahaan perkapalan
dan doelvemogen (pemisahan harta kekayaan untuk tujuan tertentu, misalnya Yayasan).
• Pada tanggal 1 September 1976, Belanda secara tegas telah menerima korporasi sebagai
subjek hukum pidana dan menentukan siapa yang bertanggungjawab maupun turut
bertanggungjawab atas tindak pidana korporasi:
1. Perbuatan pidana dapat dilakukan oleh perorangan dan oleh badan hukum.
2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, maka penuntutan
pidana jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan yg tercantum
dalam UU;
a. Badan hukum
b. Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu demikian pula
yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindakan yang dilarang.
c. Terhadap a dan b melakukan perbuatan terlarang bersama-sama
CONTOH KASUS TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI
• Contoh Kasus: Pada tahun 2010, ada perkara No. 284/Pid.B/2005/PN Mdo
dengan Terdakwa PT. Newmont Minahasa Raya

• Kendala dalam penerapan pidana korporasi:


1. Penentuan ada tidak tindak pidana oleh korporasi tidaklah dapat dilihat
dengan sudut pandang pidana umum
2. Penentuan subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana berkaitan dengan kejahatan korporasi
3. Penentuan kesalahan (schuld/mens rea) tidak mudah karena terdapat
hubungan yang begitu kompleks dalam tindak pidana terorganisasi
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KORPORASI
• Dasar Hukum: Pasal 20 UU Tipikor
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
• Pengurus: organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang
bersangkutan, sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yg dalam
kenyataannya memiliki kewenangan & ikut memutuskan kewajiban korporasi yang
dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Peraturan MA (PERMA) No. 13 Tahun 2016
Tentang Cara Penanganan Perkara Pidana Oleh Korporasi
• Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang
berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam
maupun di luar Lingkungan Korporasi.
• Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi berupa
1. pidana pokok dan/atau pidana tambahan.
2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi sebagaimana ayat (1)
adalah pidana denda. Pidana tambahan dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai UU.
• Pasal 18 ayat 1 Huruf d UU Tipikor: Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
atau penghapusan Seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
MELAWAN HUKUM (WEDERECHTELIJK)
• Pandangan Noyon dan Langemeijer: dengan menyatakan sesuatu perbuatan dapat
dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang
perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan dipandang
demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya.

• Penerapan ajaran Melawan Hukum di Indonesia: Putusan MK Nomor 003/PUU- IV/2006


tgl 24 Juli 2006: Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi:
“Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana” TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM
MENGIKAT
DASAR DAN PERTIMBANGAN HUKUM
PUTUSAN MK NOMOR 003/PUU- IV/2006
1. Pembuat UU bukan hanya menjelaskan pasal 2 ayat 1 UU Tipikor tentang unsur
melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru yang memuat
digunakannya ukuran-ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal utk menentukan
perbuatan yg dapat dipidana.
2. Perbuatan demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal
1365 BW) yang dikenal dalam hukum perdata (onrechtmatige daad) seolah-olah
diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam pidana (wederrechtelijkheid)
3. Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga
negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yg pasti (lex scripta)
4. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis mewajibkan pembuat UU
merumuskan secermat dan serinci mungkin sebagai syarat menjamin kepastian
hukum.
5. Konsep melawan hukum materiil yg merujuk pada hukum tidak tertulis (kepatutan,
kehati-hatian, kecermatan) merupakan ukuran yg tidak pasti dan berbeda-beda
dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu
ELEMEN MELAWAN HUKUM
1. Pandangan Formil: elemen melawan hukum bukanlah unsur mutlak
perbuatan pidana. Melawan hukum merupakan unsur perbuatan pidana jika
disebut secara tegas dalam rumusan delik (Pompe)
2. Pandangan Materiil: Melawan hukum adalah unsur mutlak dari setiap
perbuatan pidana (Vos dan Moeljatno). Kelemahan dari pandangan materiil ini
berada dalam penuntutan di pengadilan, jika unsur melawan hukum dianggap
sebagai unsur mutlak maka penuntut umum dibebani kewajiban
membuktikan, terlepas dari unsur melawan hukum disebut atau tidak dalam
delik (Eddy OS Hiariej)
3. Pandangan Tengah: Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak jika
disebutkan dalam rumusan delik, jika tidak, melawan hukum hanya
merupakan tanda dari suatu delik (Hazewinkel Suringa). Menurut Moeljatno:
fungsi positif jika melawan hukum ada dalam rumusan delik dan harus
dinyatakan dalam dakwaan. Sedangkan fungsi negative: jika melawan hukum
tidak ada dalam rumusan delik, maka tidak perlu ada di dakwaan.
PENGERTIAN MELAWAN HUKUM

• Dalam Memorie Van Toelichting (MvT) KUHP tidak ditemukan apakah yang
dimaksud dengan “hukum” dalam frasa “melawan hukum”.

Adagium:
• “Contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis
verbis legis, sententiam ejus circumuenit”:

“Seorang dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan


adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.”
4 MAKNA SIFAT MELAWAN HUKUM
1. Sifat Melawan Hukum Umum: perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia
yang termasuk dalam rumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang dapat
dicelakan padanya (Ch.J Enschede)
2. Sifat Melawan Hukum Khusus: biasanya kata melawan hukum dicantumkan dalam
rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis
untuk dapat dipidananya suatu perbuatan (contoh pasal 362 KUHP Tentang
Pencurian)
3. Sifat Melawan Hukum Formil: Sifat melawan hukum formil mengandung arti semua
bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi (contoh Pasal 338 KUHP).
4. Sifat melawan hukum materiil: sifat melawan hukum materiil terdapat 2 pandangan
yaitu sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut perbuatannya (perbuatan yang
membahayakan kepentingan hukum, dan yang kedua, sifat melawan hukum materiil
dilihat dari sudut sumber hukumnya (termasuk hukum tidak tertulis)
APAKAH MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM
PERDATA IDENTIK DENGAN PIDANA?
• Menurut Van Bemmelen: tidak ada perbedaan antara arti melawan hukum dalam hukum
pidana dengan arti melawan hukum dalam bidang hukum perdata.
• Menurut Pompe: sifat melawan hukum tidak hanya tertulis namun juga tidak tertulis.
• Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige
daad): Melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang a) melanggar hak orang
lain, b) bertentangan dengan kewajiban hukum yang melakukan perbuatan tersebut dan
c) bertentangan dengan kesusilaan, serta asas-asas pergaulan dalam masyarakat.
• Dengan kata lain, pembentuk UU Di Belanda yang sengaja menambahkan onrechtmatige
untuk menegaskan bahwa tidak setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada
seseorang adalah melawan hukum.
• Prof. Komariah mengutip pendapat Hoffman yg menyatakan unsur dari PMH adalah harus
ada yg melakukan perbuatan, bersifat melawan hukum, menimbulkan kerugian & adanya
kesalahan yg dapat dicelakan (sumber: Buku Prinsip2 Hukum Pidana Eddy O.S Hiariej)
UNSUR-UNSUR DAN JENIS-JENIS DELIK
• Sebutan Delik seringkali digunakan untuk menggantikan istilah Perbuatan
Pidana.
• Konsekuensinya: pada saat berbicara mengenai unsur delik dan jenis delik,
maka sama halnya juga berbicara tentang unsur perbuatan pidana dan jenis-
jenis perbuatan pidana.
• Perlu dipahami perbedaan antara istilah Bestandeel dan Element. Dalam
Bahasa Indonesia, keduanya diterjemahkan sebagai “unsur”. Padahal ada
perbedaan prinsip antara Element dan Bestandeel.
• Elemen: unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perbuatan pidana, baik
tertulis maupun tidak.
• Bestandeel: unsur perbuatan pidana yang secara Expressiv Verbis tertuang
dalam suatu rumusan delik (unsur perbuatan pidana yang tertulis saja)
• Van Bemmelen dan Van Hattumm: elemen tertulis saja yang meliputi unsur
perbuatan pidana, jadi yang hanya dibuktikan Penuntut Umum hanya
Bestandeel saja.
12 PEMBAGIAN JENIS-JENIS DELIK
Kejahatan dan Pelanggaran
• Kejahatan adalah suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar
hukum pidana, dilakukan bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran
yang ditetapkan oleh negara, tegasnya sebagai perilaku dan perbuatan yang
dapat dikenakan sanksi yang ditetapkan secara resmi oleh negara (Tappan)
• Legal Definition of Crime dibedakan menjadi apa yang disebut mala in se dan
mala prohibita
• Mala in se: perbuatan yang sejak awal telah dirasakan sebagai suatu
ketidakadilan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat
sebelum ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu perbuatan pidana
(kejahatan).
• Mala prohibita: perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh undang-undang
sebagai suatu ketidakadilan (indentik dengan pelanggaran)
• Mala in se dan Mala prohibita: felonies / misdrijf dan misdemeanors/
overtreding
Lanjutan Kejahatan dan Pelanggaran
• Pembagian kejahatan dan pelanggaran membawa konsekuensi:
• Tindakan dan akibat yang ditimbulkan kejahatan lebih berbahaya
daripada pelanggaran;
• Berpengaruh pada sanksi yang diancamkan
• Percobaan melakukan kejahatan maksimum ancaman pidananya
dikurangi sepertiga, mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana
• Dalam RUU KUHP Indonesia tidak lagi membedakan antara kejahatan
dan pelanggaran.
Delik Formil dan Delik Materiil
• Delik formil adalah delik yang menitikberatkan pada tindakan, sedangkan delik
materiil adalah delik yang menitikberatkan pada akibat.
• Contoh delik formil adalah Pasal 362 KUHP:
”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak enam puluh rupiah.”

• Pengembalian barang curian tetap dikatakan sebagai suatu tindak pidana pencurian.
• Contoh delik materil adalah Pasal 338 KUHP:
• “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Delicta Commisionis, Delicta Omissionis dan
Delicta Commisionis Per Omissionem Commisa
• Delik Komisi atau Delicta Commisionis: melakukan perbuatan yang dilarang
dalam undang-undang (hamper sebagian besar ketentuan pidana dalam
UU/KUHP berupa Delik Komisi (formil dan materiil)
• Delik Omisi/Delicta Omissionis: tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan
/diharuskan oleh Undang-Undang. Sesuai adagium qui potest et debet vetara,
tacens jubet: seorang yang berdiam dan tidak mencegah atau tidak
melakukan sesuatu yang harus dilakukan sama saja seperti ia yang
memerintahkan. (formil)
• Contoh Delicta Omissionis: Pasal 224 KUHP (Delik tidak memenuhi suatu
kewajiban/panggilan menurut UU) (materiil)
• Delicta Commisionis Per Omissionem Commisa: kelalaian/kesengajaan
terhadap suatu kewajiban yang menimbulkan akibat. Contoh pasal 359 KUHP
Delik Kongkrit dan Delik Abstrak

• Delik Abstrak selalu dirumuskan secara formil karena menimbulkan


bahaya yang masih absrak sehingga menitikberatkan pada perbuatan.

• Contohnya delik menyebarkan kebencian atau yang dikenal dengan


haatzai artikelen sebagaimana diatur dalam Pasal 154 s/d 157 KUHP.

• Delik Konkret: dapat berbentuk perumusan secara formil dan materiil


yang hakikatnya menimbulkan bahaya secara langsung terhadap
korban, misalnya pembunuhan, oencurian dan penganiayaan.
Delik Umum, Delik Khusus dan Delik Politik

• Delik Umum/ Delicta Communia: delik yang dapat dilakukan oleh


siapapun. Sebagian besar delik dalam KUHP adalah delik umum.

• Delik Khusus/ Delicta propria: delik yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Misalnya Pasal 449 KUHP:
Delik nahkoda sebuah kapal Indonesia menarik kapal dan
memakainya untuk keuntungan sendiri.

• Delik Politik: delik yan dilakukan berdasarkan keyakinan menentang


tertib hukum yang berlaku
Delik Merugikan dan Delik Menimbulkan Keadaan
Bahaya
• Delik yang merugikan atau menyakiti (krenkingsdelicten) adalah
dalam rangka melindungi suatu kepentingan hukum individu.
Merupakan delik paling tua, seperti larangan membunuh, mencuri,
memperkosa, menganiaya dll (merugikan dan menyakiti langsung).

• Delik yang menimbulkan bahaya atau ancaman


(gevaarzettingsdelicten) yang tidak merugikan atau menyakiti
langsung. Delik ini melarang suatu perilaku yang dapat menimbulkan
ancaman atau keadaan bahaya. Contoh: UU No. 27 Tahun 1999
tentang Perubahan KUHP berkaitan dengan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara (Pasal 107 a-Pasal 107f)
Delik Berdiri Sendiri dan Delik Lanjutan

• Makna penting pembagian delik menjadi delik berdiri sendiri


(zelfstandige delic) dan delik lanjutan (voorgezette delic) adalah dalam
hal penjatuhan pidana.
• Pasal 64 KUHP
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan
satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
• Contoh: mencuri semen dan mencuri semen berkali-kali untuk
merenovasi rumah.
Delik Persiapan, Delik Percobaan, Delik Selesai dan
Delik Berlanjut.
• Delik Persiapan (voorbereidingsdelicten) menurut Jan Remellink
merupakan bentuk delik abstrak yang ditujukan untuk delik yang
menimbulkan bahaya konkret tapi tidak memenuhi unsur-unsur delik
percobaan.
• Contoh Pasal 88 KUHP Jo Pasal 110 KUHP (104-108 KUHP):
permufakatan jahat (samenspaning) untuk melakukan kejahatan
terhadap keamanan negara.
• “Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih
telah sepakat akan melakukan kejahatan.”
Lanjutan Delik Percobaan
• Delik Percobaan: delik percobaan sudah lebih mendekati rumusan delik
tapi tidak selesai karena sesuatu yang terjadi di luar kehendak pelaku.
• Pasal 53 KUHP: Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu
telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.

• Van Bemmelen dan Van Hattum berpendapat bahwa percobaan bukanlah


delik selesai. Seseorang dipidana tidak hanya karena telah memenuhi
rumusan delik, tetapi dapat dipidana kendatipun hanya mewujudkan
sebagian rumusan delik
Lanjutan Delik Selesai dan Delik Berlanjut
• Delik Selesai (aflopende delic) pada hakikatnya adalah setiap
perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik dalam suatu
ketentuan pidana

• Delik berlanjut (voordurende delic) adalah perbuatan yang


menimbulkan suatu keadaan yang dilarang secara berlanjut contoh
Pasal 333 KUHP (meneruskan perampasan kemerdekaan orang lain)
dan Pasal 250 KUHP (mempunyai persediaan barang untuk memalsu
mata uang)
Delik Tunggal dan Delik Gabungan

• Pada prinsipnya hampir semua delik di KUHP adalah delik tunggal


(enkelvoudige delic)
• Delik tunggal adalah delik yang pelakunya dapat dipidana hanya
dengan satu kali saja melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak
melakukan perbuatan yang diwajibkan

• Tapi dalam KUHP adalah beberapa pasal yang digolongkan sebagai


delik gabungan (samengestelde delic). Secara objektif, delik gabungan
ini terlihat dari perbuatan perbuatan pelaku yang relevan satu sama
lain, sedangkan secara subjektif delik gabungan tersebut
memperlihatkan motivasi dari pelaku.
Delik Biasa dan Delik Aduan
• Pembagian delik biasa (gewone delicten) dan delik aduan (klacht delicten) memiliki arti
penting dalam proses peradilan pidana.

• 3 Bab dalam KUHP berkaitan dengan Delik Aduan:


Pertama Bab XVI KUHP Tentang Penghinaan (defamation/belediging): 5 perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai penghinaan yaitu: menista secara lisan atau smaad, laster
(memfitnah), penghinaan ringan (eenvoudige belediging), mengadu secara memfitnah
(lasterlijke aanklacht) dan tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)

• Pasal 319 KUHP: hanya dapat dituntut atas pengaduan


• Kedua: kejahatan pencurian, pemerasan dan pengancaman serta penggelapan (367 ayat
2 KUHP), pemerasan dan pengancaman dalam keluarga (pasal 370 KUHP) dan
penggelapan dalam keluarga (Pasal 376 KUHP)
• Ketiga: Kejahatan terhadap kesusilaan, yaitu perzinahan, Pasal 284 KUHP
Lanjutan Tentang Delik Aduan
• Ketentuan mengenai Delik Aduan secara eksplisit diatur dalam Bab VII
KUHP, intinya:
1. Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh korban langsung atau jika korbannya
belum cukup umur, maka pengaduan dilakukan oleh korban langsung (korban
dibawah pengampuan oleh wali)
2. Jika korban meninggal dunia, pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami atau
istri anak yang masih hidup, kecuali kalau korban yg meninggal tidak
menghendaki penuntutan;
3. Pengaduan hanya dapat dilakukan dalam waktu 6 bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan dan tinggal di Indonesia (kalau yang
berhak mengadu tinggal di luar negeri waktunya 9 bulan)
4. Orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan dalam
waktu 3 bulan setelah diajukan.
Pengaduan dalam Tindak Pidana Perzinahan
• Pengaduan dalam Tindak Pidana Perzinahan sifatnya absolut:

1. Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami atau istri yg menjadi korban
dan tidak dapat diwakilkan;
2. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan sidang belum dimulai;
3. Pengaduan tidak diproses selama pernikahan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat
tidur tetap;
4. Pengaduan tidak dapat dipisah (yang berzinah dan selingkuhannya).
Delik Sederhana dan Delik Terkualifikasi

• Delik Sederhana (eenvoudige delic) : bentuk pokok sebagaimana


dirumuskan oleh pembentuk undang-undang (contoh Pasal 372
KUHP)

• Delik terkualifikasi (gequalificeerde delic): delik -delik dengan


pemberatan karena keadaan-keadaan tertentu. (contoh Pasal 374
KUHP)
Delik Kesengajaan dan Delik Kealpaan

• Delik Kesengajaan (Opzet/Dolus): menghendaki bentuk kesalahan


berupa kesengajaan dalam rumusan delik (contoh Pasal 338 KUHP)
• Delik Kealpaan (Culpa): menghendaki bentuk kesalahan berupa
kealpaan dalam rumusan delik (Contoh Pasal 359 KUHP)
• Ada juga rumusan delik yang menghendaki bentuk kesalahan berupa
kesengajaan DAN kealpaan dalam suatu rumusan delik (pro parte
dolus pro parte culpa) contoh: Pasal 480 ayat 1 KUHP.
• Kata diketahui dalam Pasal 480 ayat 1 KUHP menunjukkan adanya
kesengajaan, sedangkan kata sepatutnya diduga merupakan bentuk
kealpaan.
PERCOBAAN TINDAK PIDANA (POGING)

• R Soesilo: Undang-Undang tidak memberikan definisi Percobaan

• Terminologi Percobaan: Menuju kepada suatu hal, namun tidak sampai


pada hal yang dituju tersebut atau hendak berbuat sesuatu yang sudah
dimulai tapi tidak selesai.

• Jan Remmelink: Suatu tindakan yang diikhtiarkan untuk mewujudkan


sesuatu yang menurut UU dikategorikan sebagai suatu kejahatan,
namun tindakan tersebut tidak berhasil mewujudkan tujuan semula
yang hendak dicapai.
Pasal 53 KUH Pidana Tentang Percobaan
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dapat dikurangi sepertiga.
3. Jika Kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun
4. Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan
selesai.

Pasal 54 KUH Pidana: Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.


Ketentuan Percobaan di luar Buku I KUH Pidana
1. Pasal 184 ayat 5 KUH Pidana: Percobaan perkelahian tanding tidak
dipidana
2. Pasal 302 ayat 4 KUH Pidana: Percobaan melakukan kejahatan
terhadap hewan tidak dipidana
3. Pasal 351 ayat 5 KUH Pidana : Percobaan melakukan kejahataan
penganiayaan tidak dipidana;
4. Pasal 352 ayat 2 KUH Pidana: Percobaan melakukan penganiayaan
ringan tidak dipidana.
Teori Dasar Pemidanaan Terhadap Percobaan
• Teori Percobaan Subjektif: Tolak ukurnya adalah niat atau kehendak
atau sikap batin yang dimiliki pelaku untuk melakukan perbuatan yang
dilarang atau menimbulkan akibat yang dilarang.

• Teori Percobaan Objektif: Tolak ukurnya adalah adanya perbuatan


yang dilakukan oleh pelaku dalam hal mana perbuatan tersebut
bersifat membahayakan kepentingan umum yang diiindungi UU
3 Bentuk Percobaan Menurut J. E Jonkers
• Percobaan Selesai (Voltoide poging): melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya
sudah dilakukan sangat relative jauh - sama seperti tindak pidana selesai-namun
dikarenakan suatu hal tindak pidana itu tidak terjadi/terwujud.

• Percobaan terhenti/terhalang (geschorte poging): percobaan yang perbuatan


pelaksanaanya terhenti pada saat mendekati selesainya tindak pidana tersebut karena
adanya penghalang dari luar atau karena faktor ketidakmungkinan tindak pidana itu
diselesaikan.

• Percobaan berkualifikasi: percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan


tindak pidana selesai yang lain daripada dituju.

Contoh: Pelaku hendak membunuh korban dengan cara menikam pakai pisau, karena
mendapatkan perlawanan dari korban, maka korban hanya menderita luka di lengannya.
Niat membunuh dari pelaku tidak selesai, tapi muncul akibat lain yang tidak dikehendaki
pelaku yaitu luka pada korban.
Percobaan Tidak Sempurna

• Tidak selesainya pelaksanaan perbuatan disebabkan adanya faktor


ketidakmampuan yang berasal dari alat/sarana dan sasaran (objek) baik
secara relative maupun absolut.

• Prof Andi Hamzah: Percobaan tidak mampu mutlak adalah kejahatan yang
tidak berhasil dilaksanakan karena alat atau sasarannya mutlak tidak
memungkinkanny.

Contoh: penembakannya terhadap seorang korban yang memakai jaket anti


peluru atau membunuh dengan racun yang terlalu sedikit dosisnya.
Syarat Percobaan Tindak Pidana
• Niat (voornemen); Kehendak melakukan perbuatan yang dilarang atau
menimbulkan akibat yang dilarang;

• Permulaan pelaksanaan perbuatan: perwujudan atau realisasi dari


unsur niat dan kehendak;

• Tidak selesainya pelaksanaan semata-mata bukan karena hendak si


pelaku.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 31-1-1968 No.
14 K/Kr/1967
• Bahwa ternyata merica putih, merica hitam,. karet sheet dan kopi Arabica tersebut
masih ada dalam gudang P.T. Megah di Jalan Sekip no.9 A Medan; diantaranya telah
dimasukkan kedalam goni bercampur dengan kopi Robusta;

• Bahwa dengan demikian, walaupun tertuduh-tertuduh telah membuat surat


instruksi kepada P.T. Lampong Veem untuk rnengangkut kopi Robusta sesuai dengan
izin ekspor code B.no. 12147, perbuatan tertuduh-tertuduh baru berupa suatu
perbuatan pendahuluan (voorbereidingshandeling) dari percobaan
mengekspor keluar Indonesia.

• Menurut Jaksa Agung, dengan sudah adanya “shipping instruction”, meskipun


belum ada penyerahan dokumen-dokurnen kepada pabean, perbuatan tertuduh-
tertuduh sudah merupakan permulaan pelaksanaan (“begin van uitvoering”).
Dalam Perkara : 1. Merhat Tarigan, 2. Lie Wie Giok, 3. Kho A Tjong dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Surjadi S.H., 2. Subekti S.H., 3. M. Abdurrachman S.H.
Percobaan Penyuapan?
• Pasal 209 K.U.H.P. tidak mensyaratkan bahwa pemberian itu diterima
dan maksud dari pada pasal 209 K.U.H.P. ialah untuk menetapkan
sebagai suatu kejahatan tersendiri suatu percobaan yang dapat
dihukum untuk menyuap.
Putusan Mahkamah Agung tgl. 22-6-1956 No. 145 K/Kr/1955. Dalam
Perkara : Tan Su Lam.

Dalam UU Tipikor: Percobaan dianggap delik selesai


Teori- Teori Percobaan (Poging/Attempt)

• Van Bemmelen dan Van Hattum: Pasal Percobaan bukan untuk


mengadakan perluasan pada rumusan delik.

• Pasal Percobaan hanya memberikan suatu Strafausdehnunggrund artinya


pidana yang ditentukan dalam rumusan delik juga dapat dikenakan pada
pelaku yang tidak berhasil dalam usahanya untuk menyelesaikan
kejahatannya tersebut.
Penjelasan Unsur-Unsur Percobaan
• Niat (Voornemen): Menurut Suringa, niat adalah tidak lebih dari satu rencana
untuk mengadakan perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu di dalam
pikiran.

• Permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering): menurut MvT permulaan


pelaksanaan adalah permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang perlu
dibedakan antara perbuatan persiapan (voorbereidingshandelingen) dan
perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeligen) -> diserahkan pada
pertimbangan hakim.

• Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendaknya sendiri: menurut MvT,


unsur ini menjamin tidak akan dipidananya orang yang dengan kehendak
sendiri mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai.
Perbedaan Percobaan Ahli Pidana Belanda &
Indonesia
• Hazewinkel Suringa: Percobaan sebagai Strafausdehnunggrund atau
dasar memperluas dapat dipidananya seseorang dan tidak memperluas
rumusan delik.
Percobaan tidak dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri (delictum sui
generis) melainkan sebagai delik yang tidak sempurna

• Moeljatno: percobaan adalah delik selesai dan berdiri sendiri. Percobaan


dipandang sebagai tatbestand-ausdehnungsgrund atau dasar dapat
memperluas dapat dipidananya perbuatan atau delik selesai namun
bentuknya istimewa (delictum sui generis)
Moeljatno: Percobaan Delik Selesai
• Sistem hukum pidana Indonesia menganut pemisahan
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
• Beberapa perbuatan percobaan dalam KUHP dirumuskan
sebagai delik selesai dan berdiri sendiri, misalnya Pasal 104,
Pasal 106 dan Pasal 107 KUHP yang berkaitan dengan makar.
• Dalam hukum adat tidak dikenal delik percobaan
Contoh Putusan Pengadilan Adat di
Palembang
• Seorang laki-laki yang memegang badan gadis dengan maksud bersetubuh
secara paksa tidak dihukum karena percobaan perkosaan tetapi karena
menangkap badan gadis.

(Moeljatno, 1985, Hukum Pidana Delik Delik Percobaan, Penyertaan, PT. Bina
Aksara, Jakarta halaman 11-12)
Pandangan Ahli Tentang Percobaan
• Eddy O. S Hiariej sependapat dengan Suringa dan ahli hukum pidana
Belanda pada umumnya, namun perbedaannya percobaan bukanlah
untuk memperluas dapat dipidananya perbuatan dan merupakan delik
yang tidak selesai (Bukan Delik mandiri)/

Dalam konteks delik formil: belum memenuhi rumusan delik


Dalam konteks delik materiil: perbuatan atau akibat dari tindakan tidak
terwujud.
Argumentasi Ahli Tentang Percobaan
• Percobaan tidak didefinisikan oleh hukum (Eddy OS Hiariej)
• Percobaan diatur dalam buku I KUHP dan bukan pada Buku II (kejahatan)
• Dalam dakwaan penuntut umum, percobaan akan dijunctokan dengan
pasal kejahatannya, artinya merupakan dasar memperluas dapat
dipidananya perbuatan
• Dalam UU Tipikor, UU Terorisme dan UU Narkotika, percobaan dianggap
sama dengan melakukan kejahatan-kejahatan itu.
• Maksimum pidana yang dijatuhkan terhadap percobaan adalah
konsekuensi logis dari delik yang tidak selesai (Pasal 53 ayat 2 KUHP)
PENYERTAAN (DEELNEMING) MENURUT
R. SOESILO
• Orang yang melakukan (Pleger): orang ini sendiri yang telah berbuat mewujudkan
elemen dari peristiwa pidana.

• Orang yang menyuruh melakukan (Doen Plegen): sedikitnya ada dua orang yang
menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (Pleger)

• Orang yang turut melakukan (Medepleger): sedikitnya harus ada dua orang yang
melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (Medepleger) peristiwa pidana
(tidak boleh melakukan perbuatan persiapan atau yang sifatnya menolong).

• Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan,


dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (Uitlokker): orang ini harus
sengaja membujuk orang lain, dengan memakai jalan/cara yang diuraikan di atas
(tidak boleh cara lain).
PENGHAPUS PIDANA DALAM DOEN PLEGEN
(R. SOESILO)

• Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP, misalnya A


berniat membunuh B, tetapi tidak berani melakukan sendiri, lalu
menyuruh C (orang gila) untuk melemparkan granat ke B, bila B mati, C
tidak dapat dihukum.

• Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang


tidak dapat dihindarkan menurut Pasal 48 KUHP (Overmacht), misalnya A
berniat membakar rumah B dengan cara menodongkan pistol ke C untuk
membakar rumah B, jika C membakar rumah A, maka C tidak dapat
dihukum, sedangkan si A dihukum sebagai pembakar.
LANJUTAN PENGHAPUS PIDANA DALAM DOEN
PLEGEN (R. SOESILO)

• Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang sah menurut
Pasal 51 KUHP, misalnya A (Pejabat Polisi) dendam kepada B, lalu
menyuruh C (Bawahan Polisi) untuk menangkap B dan menjebloskan B
ke tahanan, B tidak dapat dihukum karena B menyangka itu adalah
perintah sah merampas kemerdekaan badan seseorang.

• Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali
(AVAS), misalnya A menyuruh B mengambil sepeda motor dengan
mengatakan bahwa sepeda itu miliknya A, padahal bukan miliknya.
CONTOH PENERAPAN UITLOKKER
(PASAL 55 AYAT 2 KUHP)
Menurut Pasal 55 ayat 2 KUHP, maka pertanggungjawaban pembujuk dibatasi hanya
sampai pada apa yang dibujuknya untuk dilakukan serta akibatnya, misalnya:

• A membujuk B dengan cara memberikan uang untuk MENGANIAYA C, apabila B


ternyata membunuh C, maka A hanya hanya dapat dipertanggungjawabkan atas
membujuk menganiaya, tetapi B dipersalahkan karena membunuh (kecuali kalau B
menganiaya secara berlebihan sampai C mati)

• A membujuk B dengan cara memberikan uang untuk membunuh C, jika B hanya


melakukan percobaan membunuh, maka A hanya bertanggungjawab atas percobaan
membunuh.

• Dalam kasus kedua di atas, apabila B telah menerima pemberian uang dari A dan
sebelum B dapat membunuh C ternyata ketahuan, apakah A dapat dihukum? Dapat,
akan tetapi jika tidak jadinya B melakukan pembunuhan itu karena kemauan sendiri,
maka A tidak dapat dihukum.
PEMBANTUAN (MEDEPLICHTIGE)
Definisi dan batasan Pembantuan:

• Pembantu adalah barangsiapa yang dengan sengaja memberikan bantuan


pada saat kejahatan diwujudkan oleh Pembuat (pembantu materiil/
Materiele Medeplichtige).

• Sengaja disini dapat terdiri dari 3 bentuk yaitu sengaja sebagai niat, sengaja
kesadaran kepastian, dan sengaja kesadaran kemungkinan.

• Pembantu adalah barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan


daya upaya (sarana) atau keterangan kepada pembuat untuk mewujudkan
kejahatan.
BENTUK PEMBANTUAN (MEDEPLICHTIGE)
Bentuk pembantuan terbagi menjadi 2:

1. Pembantuan yang dilakukan pada saat perbuatan pidana dilakukan.


Bentuk ini sulit dibedakan dengan bentuk “Turut serta melakukan”
(medeplegen). Menurut Roeslan Saleh, dalam hal ini pihak yang
memberikan bantuan melakukan peran yang tidak penting.

2. Pembantuan yang dilakukan sebelum perbuatan pidana dilakukan


yaitu untuk mewujudkan perbuatan pidana
YURISPRUDENSI PENYERTAAN
Putusan MARI No. 7 K/Kr/1960 tanggal 22-11-1969

• Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : “…….bahwa dalam perkara ini


pelaku utamanya tidak diadili; Tidak dapat diterima, karena untuk
memeriksa perkara terdakwa Pengadilan tidak perlu menunggu
diajukannya terlebih dahulu pelaku utama dalam perkara itu. (i.c. Terdakwa
dipersalahkan atas kejahatan : “Sebagai Pegawai Negeri turut serta
membujuk orang lain melakukan penggelapan dalam jabatan).
UU PERS BERKAITAN DENGAN PENYERTAAN
DAN PEMBANTUAN
Pasal 12 UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers

• Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung


jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk
penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Penjelasan:
• Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud
pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau
disiarkan.
• Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab
perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
LANJUTAN
• Pasal 5 UU Pers
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
asas praduga tak bersalah.
Penjelasan Pasal 18 UU Pers:
Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka
perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 12.
DELIK-DELIK PIDANA YANG BERKAITAN

• Pencemaran Nama Baik 310-311 KUH Pidana


• Secara Elektronik: Pasal 27 ayat 3 UU ITE
• Amir Syamsuddin: jangan sekali-kali menerjemahkan Pasal 310 KUHP
sebagai Delik Pers.
• Terdapat hak jawab yaitu Hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa
fakta yang merugikan nama baiknya.
CONTOH PUTUSAN PENGADILAN

• Putusan MARI No. 122 K/Kr/1958 tanggal 16-1-1959

Seorang redaktur yang bertanggung-jawab dengan sengaja menyuruh


memuat suatu karangan yang mengandung isi yang menista orang lain
dalam surat kabar yang dipimpin olehnya dengan maksud untuk
disiarkannya, merupakan pelaku-peserta (mededader) dari kejahatan
menista tersebut.
PERBARENGAN PERATURAN (CONCURSUS IDEALIS)

• Tujuan: Memahami gabungan tindak pidana yang memiliki korelasi dengan


bentuk surat dakwaan kumulasi, yaitu penerapan Pasal 141 KUHAP dan
Pasal 63, 64, 65 dan 66 KUHP (Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
& Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hal. 396)

• Pasal 63 ayat (1) KUHP:

“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-
beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
CONTOH CONCURSUS IDEALIS (R. SOESILO)

• Orang yang membunuh korban dengan tembakan yang menembus tubuh


korban, lalu pelurunya menyebabkan kaca pecah, hanya dikenakan pidana
pembunuhan (Pasal 338 KUHP) saja dan tidak dipidana merusak barang
(406 KUHP);

• Orang yang memperkosa wanita di tempat umum, hanya dikenakan


pidana pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) saja dan tidak dipidana merusak
kesopanan umum (281 KUHP);
ASAS LEX SPECIALIS DLM PASAL 63 (2) KUHP
• “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan.”

• Contoh Umum Penerapan Pasal 63 Ayat 2 KUHP:

Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435
KUHP mengatur Tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan adanya UU
Tipikor, maka seluruh ketentuan pidana menjadi lex specialis dari KUHP
sebagai legi generali.
PERBUATAN BERLANJUT (VOORGEZETTE HANDELING)

• Pasal 64 ayat (1) KUHP:

“Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan


kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya
dikenakan SATU ATURAN PIDANA, JIKA BERBEDA-BEDA, maka yang
dikenakan adalah yang memuat ancaman pidana pokok paling berat.”
MEMORIE VAN TOELICHTING PASAL 64 KUHP

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana


Indonesia, hal. 536 yang disarikan dari MEMORIE VAN TOELICHTING PASAL
64 KUHP, yaitu:

“Dalam hal perbuatan berlanjut, pertama-tama harus ada satu keputusan


kehendak. Perbuatan itu mempunyai jenis yang sama. Putusan hakim
menunjang arahan ini dengan mengatakan:
1. Adanya kesatuan kehendak;
2. Perbuatan-perbuatan itu sejenis; dan
3. Faktor hubungan waktu (jarak tidak terlalu lama)
PERBARENGAN PERBUATAN (CONCURSUS REALIS)
Pasal 65 ayat (1) KUHP:

“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai


perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, YANG
DIANCAM DENGAN PIDANA POKOK SEJENIS, maka dijatuhkan hanya satu pidana.”

• Penjatuhan Pidana: maksimum pidananya tidak boleh lebih dari maksimum pidana
terberat ditambah 1/3 (Pasal 65 ayat 2 KUHP)

• Kesimpulan: Pasal 65 ayat (1) KUHP tersebut mengatur tentang gabungan (beberapa
tindak pidana) dalam beberapa perbuatan, tanpa menyebutkan tindak pidana itu
sejenis atau tidak sejenis.

• Pengecualian: Arrest Hoge Raad 27 Juni 1932 p 1659 mengenai “penganiayaan


terhadap penjaga lapangan dan mengganggu ketertiban umum.”
LANJUTAN PASAL 66 AYAT (1) KUHP

Pasal 66 ayat (1) KUHP:

“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus


dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan
beberapa kejahatan, YANG DIANCAM DENGAN PIDANA POKOK YANG
TIDAK SEJENIS, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi
jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiga.”

• Kata Kunci Pasal 66 ayat 1 KUHP: Pidana Pokok Yang Tidak Sejenis
SISTEM PEMIDANAAN DALAM SAMENLOOP
(LOEBBY LOQMAN)
1. Sistem Absorbsi (Absorptie Stelsel): melakukan beberapa perbuatan yg merupakan
beberapa tindak pidana, masing-masing diancam dengan pidana yg berbeda jenis, maka
hanya dijatuhkan satu pidana saja yg terberat (Pasal 63 ayat 1 & Pasal 64 ayat 1 KUHP);
2. Sistem Kumulasi (Cumulatie Stelsel): melakukan beberapa perbuatan yg merupakan
beberapa tindak pidana yg masing2 diancam dgn pidana secara sendiri-sendiri, maka setiap
ancaman pidana dijatuhkan seluruhnya secara akumulasi;
3. Sistem Absorbsi Diperberat ( Verscherpte Absorptie Stelsel): melakukan beberapa
perbuatan yg merupakan beberapa tindak pidana yg masing-masing diancam dgn pidana
sendiri-sendiri, maka penjatuhan pidananya tidak boleh melebihi ancaman pidana terberat +
1/3;
4. Sistem Kumulasi Terbatas (Gematigde Cumulatie Stelsel): melakukan beberapa
perbuatanyg merupakan beberapa tindak pidana masing-masing diancam dhm pidana
sendiri-sendiri, maka semua pidana yang diancamkan tersebut dijatuhkan seluruhnya tapi
tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3.
GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA
Dasar hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan (“SP3”) dalam Pasal 109 ayat
(2) KUHAP:
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan krn tidak terdapat cukup bukti / peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana / PENYIDIKAN DIHENTIKAN “DEMI
HUKUM:, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.”

• Jadi Gugurnya hak menuntut pidana (DEMI HUKUM) dapat berupa:


1. Ne Bis In Idem (Pasal 76 KUHP)
2. Matinya tersangka/ terdakwa (Pasal 77 KUHP)
3. Daluwarsa Penuntutan (Pasal 78-81 KUHP)
4. Penyelesaian Diluar Sidang, bayar Denda (Pasal 82 KUHP)
5. Dicabutnya suatu delik aduan (Pasal 75 KUHP)
NE BIS IN IDEM / DOUBLE JEOPARDY
Pasal 76 KUHP:
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga
hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-
pengadilan tersebut;
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu
dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: 1)
putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum, 2)
putusan berupa pemidanaan & telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
PENDAPAT AHLI TENTANG NE BIS IN IDEM
• Martiman Prodjohamidjojo: tidak boleh diajukan kehadapan hakim kembali setiap
perkara terdakwa yg didasarkan pada perbuatan yg sama dengan perkara yg telah
diputus, sekalipun perbuatan tersebut dihubungkan dgn perbuatan lain, hingga
merupakan perbuatan pidana yg lain daripada yang telah diputus.

• 3 syarat Ne Bis In Idem Menurut Eva Achjani Zulfa:


1. Adanya Putusan BHT/ IVG
2. Terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama dgn yang dituntut atau
subjeknya adalah sama;
3. Perbuatan (yang dituntut untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yg pernah
diputus terdahulu (objeknya sama).
KEMATIAN TERSANGKA/ TERDAKWA
• Pasal 77 KUHP:

“Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal


dunia.”

• Dasar argumentasi Hukumnya:

tindak pidana itu bersifat pribadi kecuali pidana korporasi dan terhadap
tindak pidana khusus (ekonomi/ korupsi) dapat dilakukan persidangan
secara in absentia.
DALUWARSA PENUNTUTAN (Pasal 78-81 KUHP)
Pasal 78 ayat (1) KUHP menyebutkan kewenangan menuntut pidana hapus karena
daluwarsa:

1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan


sesudah satu tahun;
2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, sesudah delapan belas tahun
LANJUTAN PASAL 79 KUHP
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam
hal-hal berikut:

1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari
sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan:

2. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai
pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau
meninggal dunia;

3. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai
pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut
aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus
dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.
Pencabutan Delik Aduan & Yurisprudensi
PASAL 75 KUHP (PENCABUTAN DELIK ADUAN)

“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan
setelah pengaduan diajukan.”

Yurisprudensi:

Putusan MARI No. 269 K/Kr/1957 Tertanggal 1 Februari 1958:

Kaidah Hukum:
Menurut Pasal 78 ayat 1 sub 2 KUHP, perkara “penghinaan ringan” adalah suatu
kejahatan dan dengan demikian baru kedaluwarsa setelah lewat waktu enam tahun.
Pasal 80 (1) & (2) KUHP Tentang
Perselisihan Pra Yudisial Menunda Daluwarsa

• Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu


diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya
menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.

• Sesudah dihentikan, dimulai tanggang daluwarsa baru. Pasal 81


Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan
pra-yudisial, menunda daluwarsa.
PENYELESAIAN DI LUAR PENGADILAN (DENDA
MENURUT PASAL 82 KUHP)
1. Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus,
kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau
penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum
, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.

2. Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan
harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat dalam ayat 1.

3. (Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun
kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dahulu telah hapus
berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.

4. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada
saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
RESIDIV SEBAGAI PEMBERATAN PIDANA
Menurut E.Y. Kanter, S.H. dan S.R. Sianturi, S.H, Residiv (Recidive) adalah : apabila seorang
melakukan suatu tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam
jangka waktu tertentu:

1. Sejak setelah pidana tersebut dilaksanakan seluruhnya / sebahagian atau;


2. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan; atau
3. Apabila kewajiban menjalankan pidana itu belum daluarsa; LALU Pelaku yang sama itu
kemudian melakukan tindak pidana lagi.

Kesimpulan: pengulangan suatu tindak pidana oleh pelaku yg sama, krn tindak pidana yang
dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana BHT, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu
tertentu.
LANJUTAN
Residivis diatur dalam bab khusus di Buku II KUHP, Bab XXXI, “Aturan Pengulangan Kejahatan Yg
Bersangkutan Dgn Berbagai Bab”.

Pasal 486 KUHP:


“Pidana penjara yg ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264,
266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama & kedua sepanjang di
situ ditunjuk kepada ayat kedua & ketiga Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-
388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun
pidana penjara selama waktu tertentu yg dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat
& 368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambahkan
dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya/ sebagian dari pidana penjara yg dijatuhkan kepadanya….”
LANJUTAN RESIDIV

Pasal 487 KUHP:

“Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140 ayat
pertama, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu
tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, Pasal 140
ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang
bermasalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya……….”
LANJUTAN RESIDIV
Pasal 488 KUHP:

“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-
321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah
ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan diterangkan pada
pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan
menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”
Hubungan Kausalitas Dalam Hukum Pidana
• Teori Hubungan Kausalitas (de leer van de causaliteit) sangat penting untuk:

1. menentukan pertanggungjawaban untuk delik-delik yang dirumusakan secara


materiil (de delicten met materiele om schrijving);
2. delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (de door het gevolg gequalificeerde
delicten) sebagaimana pasal 351 ayat 2 dan ayat 3 KUHP
• Hubungan kausalitas adalah hal yang berbeda dengan hubungan batin dan sikap
batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukan yang kemudian melahirkan
bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
• Contoh: A menganiaya B, dalam perjalanan ke dokter B mengalami kecelakaan lalu
meninggal. A dapat dipertanggungjawabkan atas penganiayaan tapi tidak untuk
kematian B akibat kecelakaan
Teori Conditio Sine Qua Non
• Merupakan teori mutlak yang menyatakan bahwa musabab adalah setiap syarat
yg tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat (Von Bury, Ketua MA Jerman)
• Menurut Von Bury, syarat (bedingung) identik dengan musabab dan oleh karena
itu setiap syarat mempunyai nilai yang sama (equivalent/ Teori Ekuivalensi)
• Contoh: A membunuh B dengan senapan. Senapan tersebut diperoleh A dari C
pemilik toko senapan yang membelinya dari penjual awal yaitu D.
• Menurut teori ekuivalensi, A, C dan D dapat dipertanggungjawabkan atas
kematian B, padahal tidak mungkin teori Conditio Sine Qua Non ini digunakan
dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, karena terlalu luas.
• Von Bury juga mengindetikan syarat dan musabab (padahal keduanya beda) dan
sangatlah mungkin musabab yang menimbulkan akibat berasal dari satu
tindakan.
Teori Generalisir
• Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori Conditio Sine Qua Non yg terlalu luas.
• Teori ini berlandaskan dari Traeger yang mencari Batasan antara syarat dan
musabab
• Yang termasuk dalam teori generaliser: Teori Adequat yang dikemukakan oleh
Von Kries (ahli matematika Jerman) yaitu Musabab dari suatu kejadian adalah
syarat yang pada umumnya menurut jalan kejadian yang normal, dapat atau
mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.
• “Kejadian Normal”: sepanjang terdakwa pribadi mengetahui atau seharusnya
mengetahui keadaan -keadaan disekitar akibat)
• Contoh dari Satochid Kartanegara: A melakukan penganiayaan ringan terhadap
B. menurut perhitungan yang layak penganiayaan tersebut tidak akan
menimbulkan kematian. Lalu dalam perjalanan ke dokter B ditabrak C lalu
meninggal
• Kesimpulan: masing-masing perbuatan harus dilihat dan diperhitungkan mana
yang menurut perhitungan layak dapat menimbulkan kematian.
Teori Individualisir

• Jika teori generalisasi melihat sebab in abstracto, menurut


perhitungan layak yang akan menimbukan akibat, maka teori
Individualisir melihat sebab in concreto atau post factum.
• Brickmayer: dari berbagai macam syarat, dicari syarat manakah yang
paling utama utuk menentukan akibat atau perbuatan mana yang
memberikan pengaruh paling besar terhadap timbulnya akibat ( meist
wirksame bedingung)
• Karl Binding: Musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan
terhadap syarat-syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negative
• Kohler: musabab adalah syarat yang menurun sifatnya menimbulkan
akibat (art der werdens theorie)
Teori Relevansi

• Adanya suatu kelakuan atau tindakan sebagai musabab akibat yang


dilarang bertitik tolak dari pembentuk undang-undang;

• Arti: kelakuan atau tindakan sebagai musabab untuk menimbulkan


akibat yang dilarang sudah dibayangkan oleh pembentuk undang-
undang;

• Moeljatno: teori relevansi bukanlah teori mengenai hubungan


kausalitas melainkan teori mengenai interpretasi undang-undang.
PIDANA DAN PEMIDANAAN
• “Poena ad paucos, metus ad omnes perveniat”: “biarkanlah
hukuman dijatuhkan kepada beberapa orang agar memberi contoh
kepada orang lain.”
Adagium ini memiliki kedalaman makna yang berfungsi sebagai
prevensi umum agar orang lain tidak berbuat jahat.

• “Non alio modo puniatur aliquis, quam secundum quod se habet


condemnation”:seseorang tidak dapat dihukum dengan hukuman
yang tidak sesuai dengan perbuatannya.
Adagium ini lebih pada aspek retributif dalam pemidanaan agar sanksi
pidana yang dijatuhkan sepadan dengan perbuatan pidana yang
dilakukan.
LANJUTAN PIDANA DAN PEMIDANAAN
• Phyllis B. Gerstenfeld: Pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian berupa penderitaan yang
sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang melakukan pelanggaran terhadap
hukum.Kendatipun demikian, pemidanaan juga suatu pendidikan moral terhadap pelaku yang
telah melakukan kejahatan dengan maksud agar tidak lagi mengulangi perbuatannya.
• Wesley Cragg:
1. Pemidanaan :sesuatu yang dapat dimengerti dan tidak dapat dihindari dlm masyarakat modern;
2. Pelaksanaan pemidanaan adalah refleksi sistem peradilan pidana yang berevolusi dan jenis-jenis
pidana yang dapat dijatuhkan tidak terlepas dari tipe dan karakter perbuatan pidana yang
dilakukan.Tegasnya ada hubungan yang erat antara perbuatan pidana dan pemidanaan itu
sendiri.
3. Pelaksanaan pidana harus mengalami reformasi yang signifikan dapat merujuk pada
pelaksanaan pidana di Eropa Barat dan Amerika Utara.
4. Keempat, Sejumlah pemidanaan yang digunakan harus menyediakan kriteria untuk
mengevaluasi apakah pelaksanaan pidana tersebut sudah sesuai dengan tujuan dari
pemidanaan itu sendiri.
PIDANA POKOK
• Pasal 10 KUHP, Pidana pokok terdiri dari :

1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda
5. pidana tutupan.

• Urutan dari pidana pokok tersebut berdasarkan tingkatan berat ringannya sanksi pidana
yang dijatuhkan.
• Prinsip umum dalam penjatuhan pidana pokok berdasarkan KUHP adalah hakim dilarang
menjatuhkan lebih dari satu pidana pokok. Oleh karena itu ancaman pidana dalam KUHP
pada umumnya bersifat alternatif antara pidana penjara dan pidana denda.
PIDANA MATI
• Mors dicitur ultimum supplicium : hukuman mati adalah hukum terberat.
• C’est le crime qui fait la honter, et non pas vechafaus : perbuatan kejahatan yang
membuat malu bukan hukuman matinya.

• 2 dasar argumentasi utama adanya pidana mati adalah sebagai retribusi atau
pembalasan dan penjeraan.

• Bahkan retribusi tidak hanya bagian dari pidana mati melainkan merupakan kunci
utama dalam sistem peradilan pidana khususnya aliran klasik dalam hukuman
pidana.

• Pidana mati diperuntukkan terhadap kejahatan kejam yang dilaksanakan oleh


negara sebagai representasi korban bagi para pelaku yang bermoral buruk.
LANJUTAN PIDANA MATI
• 4 klasifikasi penghapusan pidana mati oleh negara-negara di dunia :
1. Negara-negara yang menghapus pidana mati untuk semua kejahatan tanpa
pengecualian;
2. Negara-negara yang menghapus pidana mati hanya untuk kejahatan bias
sedangkan untuk kejahatan luar biasa, pidana mati akan tetap dapat diberlakukan.
Kejahatan luar biasa disini antara lain kejahatan di bawah hukum militer dan
kejahatan yang dilakukan dalam waktu perang;
3. Negara-negara yang menghapus pidana mati secara de facto artinya terhadap
kejahatan-kejahatan biasa pidana mati tetap diancamkan dalam undang-undang
namun praktiknya tidak pernah diterapkan;
4. Negara-negara yang menerapkan pidana mati secara retensi artinya setelah 10
tahun seorang terpidana mati jika berkelakukan baik maka diberikan amnesti atau
grasi untuk mengubah hukum tersebut.
PENDAPAT EDDY O.S. HIARIEJ (PIDANA MATI)
1. pada hakikatnya ancaman pidana mati masih dibutuhkan. Dasar argumentasinya selain
efek jera, tidak ada satupun ajaran agama yang menentang pidana mati. Crimina morte
extiguuntur : kejahatan dapat dimusnahkan dengan hukuman mati. Mors omnia solvit :
hukuman mati menyelesaikan perkara , selain itu juga pidana mati sebagai penyeimbang
terhadap korban kejahatan.
2. Kedua, Ancaman pidana mati hanya ditujukan kepada kejahatan-kejahatan luar biasa
seperti korupsi, terorisme, narkotika dan pelanggaran berat hak asasi manusia atau
terhadap kejahatan biasa yang dilakukan secara terencana dan sadis di luar batas-batas
kemanusiaan.
3. Ketiga, pidana mati adalah sanksi yang bersifat khusus yang artinya pidana mati barulah
dieksekusi jika terpidana dalam jangka waktu 10 tahun tidak menunjukkan perilaku yang
lebih baik. Konsekuensi lebih lanjut jika dalam jangka waktu 10 tahun, terpidana
menunjukkan perbaikan dalam perilakunya maka pidana mati dapat diubah menjadi
pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu maksimal 20 tahun.
NEGARA YANG MELARANG HUKUMAN MATI
Menurut Amnesty terdapat:
1. 106 negara dengan sistem hukum dan konstitusi yang melarang hukuman
mati
2. 7 negara yang memberlakukan hukuman mati hanya untuk kejahatan serius
dalam keadaan luar biasa, seperti dalam masa perang
3. 29 negara yang dengan hukuman mati dalam sistem hukum, tetapi tidak
mengeksekusi siapa pun selama setidaknya 10 tahun, dan memiliki
kebijakan atau komitmen yang lebih formal untuk tidak melakukan eksekusi
4. 56 negara yang mempertahankan hukuman mati dalam hukum dan
melakukan eksekusi, atau belum ada pernyataan resmi dari pihak
berwenang untuk tidak mengeksekusi
PIDANA PENJARA
• Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan yang hanya
boleh dijatuhkan oleh hakim melalui putusan pengadilan.
• Executio est executio juris secudum judicium : penjatuhan pidana merupakan penerapan
hukum berdasarkan putusan.
• Pidana penjara dimaksudkan untuk menggantikan pidana mati yang dilakukan dengan cara-
cara kejam
• Jan Remmelink: pidana penjara dianggap sebagai ruckgrat des strafensystems yang dapat
diartikan bahwa sistem pemidanaan adalah untuk perbaikan.

• Pasal 12 KUHP: pidana penjara seumur hidup (sampai terpidana meninggal dunia) dan
pidana penjara sementara waktu.
• Pidana penjara 20 tahun: perbarengan perbuatan pidana, residivis dan dalam
keadaan/situasi tertentu.
• Memorie Van Toelichting: dasar 20 tahun penjara adalah seorang yang menjalaninya akan
kehilangan kemampuan dan kesiapan kembali menjalani kehidupan bebas.
STELSEL PEMIDANAAN
1. Defenite Sentence: pembentuk UU menentukan ancaman pidana secara
pasti dan tidak memungkinkan adanya diskresi hakim (Contoh Pasal 59
ayat 3 UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dalam hal kejahatan
psikotropika golongan 1 dilakukan terorganisir: pidana mati atau seumur
hidup atau pidana penjara 20 tahun.
2. Indefinite Sentence: sistem yang menetapkan ancaman pidana
maksimum khusus dan juga ancaman pidana minimum khusus untuk
setiap perbuatan pidana (hampir semua delik KUHP, contoh pasal 338 )
3. Indeterminate sentence: pembentuk uu hanya menentukan alternative
dalam batas-batas minimum dan maksimum ancaman pidana (membuka
diskresi hakim, Contoh Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor
PIDANA KURUNGAN

• Pidana kurungan ditujukan kepada perbuatan pidana yang dikualifikasikan


sebagai pelanggaran.
• Pasal 18 KUHP: pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama 1 tahun.

• Seseorang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 1
bulan, hakim boleh menetapkan bahwa penuntut umum dapat mengizinkan
terpidana bergerak bebas di luar penjara sehabis waktu kerja

• Pidana kurungan dijalani dalam daerah hukum dimana terpidana berdima ketika
putusan hakim dilaksanakan.
• Bagaimana kalau ada penjatuhan pidana penjara dan pidana kurungan? Pidana
kurungan dilaksanakan setelah pidana penjara habis.
PIDANA DENDA
• Salah satu alasan pidana denda adalah keberatan terhadap pidana badan
dalam jangka waktu singkat.

• Keuntungan pidana denda:


1. Tidak menyebabkan stigmatisasi
2. Pelaku dapat tetap tinggal bersama keluarga dan lingkungan social
3. Tidak menyebabkan pelaku kehilangan pekerjaan
4. Pidana denda dengan mudah dapat dieksekusi
5. Negara tidak mengalami kerugian akibat penjatuhan pidana denda
PIDANA TUTUPAN

• Dasar Hukum: UU No, 20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan

• Pidana tutupan ditujukan bagi pelaku kejahatan yang diancam dengan


pidana penjara, namun motivasi melakukan kejahatannya patut
dihormati (kejahatan politik)
• Terpidana yang menjalankan pidana tutupan wajib menjalankan
pekerjaan dan diberlakukan semua peraturan terkait pidana penjara.
PIDANA TAMBAHAN
• Adagiumnya: ubi non est principalis, non potest esse accesorius (dimana tidak
ada hal pokok, tidak mungkin ada hal tambahan)
• Jenis pidana tambahan:
1. Pencabutan hak tertentu (hak memegang jabatan, hak memasuki
angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak menjadi
penasihat hukum atau pengurus setelah penetapan pengadilan, hak
menjalankan kekuasaan bapak/perwalian dan hak menjalankan mata
pencaharian tertentu.
2. Perampasan barang
3. Pengumuman putusan hakim

• Contoh dalam perkara korupsi: selain pidana yang dijatuhkan secara kumulatif,
pidana tambahan yang mengiringi pidana pokok adalah pembayaran uang
pengganti (1 bulan sejak BHT)
PIDANA BERSYARAT DAN PELEPASAN BERSYARAT
• Pidana bersyarat atau pidana percobaan: salah satu alternative pemidanaan yang
pertama kali dikenalkan oleh Inggris.
• Tujuan: melindungi masyarakat, menjaga keselamatan masyarakat, dan
mencegah terjadinya kejahatan
• Ketentuan pidana bersyarat /pidana percobaan dalam KUHP:
1. Hanya dapat dijatuhkan terhadap pidana penjara atau pidana kurungan
paling lama 1 tahun
2. Dalam putusannya, hakim dapat memerintahkan pidananya tidak usah
dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim menentukan lain
yang disebabkan terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa
percobaan habis atau karena terpidana tidak memenuhi syarat khusus
yang ditentukan dalam perintah itu.
LANJUTAN PIDANA BERSYARAT
3. Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam Pasal 492 KUHP terkait
keamaan umum bagi orag tua atau barang dan kesehatan, Pasal 504 -506 KUHP
tentang pelanggaran ketertiban umum;
4. Masa percobaan dimulai pada saat putusan berkekuatan hukum tetap dan
diberitahukan kepada terpidana
5. Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah
6. Jika terpidana dijatuhi denda, hakim dapat menetapkan syarat khusus yaitu terpidana
mengganti kerugian yang ditimbulkan tindak pidana.
7. Hakim memerintahkan pejabat untuk mengawasi pelaksanaan pidana bersyarat beserta
syarat umum dan khususnya.
8. Hakim tingkat pertama dapat memerintahkan supaya atas namanya diberikan
peringatan terpidana
9. Jika selama masa percobaan terpidana melakukan tindak pidana, maka terpidana selain
menjalani pidana terdahulu juga akan menjalani pidana yang baru
10. Setelah masa percobaan habis perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan
lagi.
KETENTUAN PELEPASAN BERSYARAT (PB) DI KUHP
1. Narapidana yang berhak mendapatkan PB adalah jika yang bersangkutan telah
menjalani 2/3 dari lamanya pidana penjara sekurang-kurangnya 9 bulan;
2. Ketika memberi PB, ditentukan pula suatu masa percobaan dan syarat-syaratnya;
3. Masa percobaan lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,
ditambah 1 tahun;
4. PB diberikan syarat umum bahwa napi tidak akan melakukan tindak pidana/perbuatan
tidak baik;
5. Dapat ditambahkan syarat khusus mengenai kelakuan terpidana dengan tidak
mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik
6. Selama masa percobaan syarat dapat diubah atau dihapus atau ditambah dengan
pengawasan khusus
7. PB dapat dicabut jika napi melakukan hal-hal yang melanggar syarat dalam masa
percobaan
8. Jika 3 bulan setelah masa percobaan habis, PB tidak dapat dicabut kembali kecuali bila
sebelum waktu 3 bulan berlalu napi dituntut karena melakukan perbuatan pidana
dalam masa percobaan
PIDANA &PEMIDANAAN DI RUU HUKUM PIDANA

• Diatur: Bab II dengan judul pemidanaan, pidana dan tindakan


• Tujuan Pemidanaan:

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum


demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang baik/berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
LANJUTAN PEMIDANAAN DI RUU HP
• Pedoman pemidanaan:
1. Kesalahan pembuat tindak pidana
2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3. Sikap batin pembuat tindak pidana
4. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak;
5. Cara melakukan tindak pidana
6. Sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana
7. Riwayat hidup, keadaan social ekonomi pembuat tindak pidana
8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarga korban
10. Pemaafan dari korban atau keluarganya
11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
MEDIASI PIDANA MENURUT PROF EDDY HIARIEJ

1. Mediasi pidana merupakan salah satu pendekatan tercapainya


restorative justice
2. Tidak ada keseragaman di berbagai negara dalam hal mediasi
pidana
3. Mediasi pidana pada hakikatnya telah sesuai dengan paradigma
hukum pidana modern yang tidak lagi berorientasi pada aspek
retributive atau pembalasan namun pada aspek korektif ,
rehabilitative dan restorative.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA
Pada hakikatnya Alasan Penghapus Pidana dibedakan menjadi:
1. Alasan pembenar: menghapuskan elemen melawan hukum dari suatu
perbuatan;
2. Alasan pemaaf: menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku.
Memorie Van Toeclichting: alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya pidana
kepada pelaku dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Alasan yang berada dalam diri pelaku (inwendige orrzaken van
ontoerekenbaarheid) di Pasal 44 KUHP tentang kemampuan bertanggungjawab
yang dirumuskan secara negative;
2. Alasan yang berada di luar diri pelaku (uitwendige oorzaken van
ontoerkenbaarheid) di Pasal 48-51 KUHP.
Selain itu terdapat juga:
1. Alasan Penghapus pidana umum: di dalam maupun di luar KUHP
2. Alasan Penghapus pidana khusus: berlaku hanya untuk delik-delik tertentu
KAITAN ALASAN PENGHAPUS PIDANA DENGAN
PENYERTAAN (DELNEEMING)

1. Jika dua orang atau lebih melakukan perbuatan pidana dan salah
satunya dilepaskan dari tanggungjawab pidana karena alasan
pembenar, maka pelaku lainnya juga harus dibebaskan;

2. Jika dua orang atau lebih melakukan perbuatan pidana dan salah
satunya dilepaskan dari tanggungjawab pidana karena alasan
pemaaf, maka tidak serta pelaku lainnya juga dilepaskan (bersifat
individual)
ALASAN PENGHAPUS PIDANA UMUM
MENURUT UU
1. Tidak mampu bertanggungjawab;
2. Daya paksa
3. Keadaan darurat;
4. Pembelaan terpaksa
5. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
6. Menjalankan perintah undang-undang, perintah jabatan dan
perintah jabatan yang tidak sah;
ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UNDANG-
UNDANG
1. Izin;
2. Error facti
3. Error juris
4. Tidak ada sifat melawan hukum materiil
5. Hak jabatan ata pekerjaan
6. Mewakili urusan orang lain
TEORI TEORI ALASAN PENGHAPUS PIDANA
1. Theory of pointless punishment (hukuman yang tidak perlu)
2. Theory of lesser evils (peringkat kejahatan yang lebih ringan)
3. Theory of necessary defense (pembelaan yang diperlukan)
Pandangan Jeremy Bentham Tentang Kemanfaatan Pemidanan:
1. Pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaikan diri pada
pelaku kejahatan;
2. Pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan;
3. Pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada yang dirugikan;
4. Pidana sama sekali tidak memiliki pembenaran apapun bila semata-mata
dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan dan kerugian
pada masyarakat.
Contoh: menghukum orang gila yang menganiaya orang lain & mobil pemadam kebakaran
yang melanggar lalu lintas
TIDAK MAMPU BERTANGGUNGJAWAB
(TOEREKENINGSVATBAARHEID)
• Dasar Hukum : Pasal 44 KUHP
• Kesimpulan Pasal 44 KUHP:
1. Kemampuan bertanggungjawab dilihat dari sisi pelaku berupa keadaan akal/jiwa
yang cacat tumbuhnya atau terganggu karena penyakit
2. Penentuan kemampuan bertanggungjawab dalam konteks pertama dilakukan
oleh psikiater
3. Ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan
4. Penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan kewenangan hakim
5. Sistem KUHP adalah deskripsi normative, jadi meskipun keadaan jiwa dinilai
pskiater namun hakum akan menilai hubungan keadaan jiwa dan perbuatan yang
dilakukan
• Contoh: kleptomanie, pyromaniee, exhibitionists, dan retardasi mental
DAYA PAKSA (OVERMACHT)
• Dasar hukum: 48 KUHP
• Beberapa postulat mengenai Daya Paksa:
1. Quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit: keadaan terpaksa
memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum;
2. In casu extremae necessitates omnia sunt communia: dalam keadaan terpaksa,
tindakan yang diambil dianggap perlu;
3. Necessitas quod cogit defendit: keadaan terpaksa melindungi apa yang harus
diperbuat;
4. Necessitas sub lege non contitentur, quia quod alias non est licitum necessitas facit
licitum: keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh
hukum, namun dilakukan dalam keadaan terpaksa paksa perbuatan tersebut
dianggap sah
• Contoh: kasir bank yang ditodong pistol oleh perampok
KEADAAN DARURAT (NOODTOESTAND)

• Dalam KUHP tidak ada aturan mengenai Keadaan Darurat


• Keadaan Darurat merupakan alasan pembenar/ dihapuskan elemen melawan
hukumnya
• Kemungkinan dalam Keadaan Darurat:
1. Pertentangan antara dua kepentingan (konflik kepentingan) contoh: papan
yang diperebutkan dua orang yang tenggelam
2. Pertentangan antara kepentingan dan kewajiban : seorang yang mencuri roti
karena sudah tidak makan beberapa hari
3. Pertentangan antara 2 kewajiban: misalnya seorang dipanggil menjadi saksi
dalam dua pengadilan yang berbeda
PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER)
• Dasar Hukum: Pasal 49 ayat 1 KUHP
• Adagium: tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan dijatuhi pidana (it is not
appropriate for a person who is in a defense to be convicted)
• Merupakan alasan pembenar yang menghapus elemen perbuatan melawan hukumnya
• Necessitas excusat delictum in capitalibus, quon don operator idem in civilibus
(pembelaan terpaksa membebaskan seorang dari hukuman tapi tidak demikian dalam
perkara perdata)
• Persyaratan Pembelaan Terpaksa:
1. Ada serangan seketika;
2. Serangan tersebut melawan hukum
3. Pembelaan merupakan keharusan
4. Cara pembelaan adalah patut
PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS
(NOODWEER EXCES)
• Dasar Hukum: Pasal 49 ayat 2 KUHP
• Merupakan alasan pemaaf (bandingkan dengan Pembelaan Terpaksa yang merupakan
alasan pembenar)
• Pembelaan Terpaksa dapat terjadi dalam 2 bentuk:
1. Orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang hebat
kemudian mengubah pembelaan menjadi serangan
Contoh: wanita yang hendak diperkosa oleh pria, menendang alat vital pria tersebut
(noodweer) lalu menyerang pria tersebut sampai tidak berdaya (noodweerexces)
2. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami guncangan jiwa yang begitu
hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-
tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri
Contoh: anggota polisi yang melihat istrinya diperkosa 2 perampok, serta merta lalu
mengambil pistol dan menembak kedua perampok tersebut.
SYARAT SEORANG DAPAT DIKATAKAN MELAKUKAN
NOODWEEREXCES

1. Harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa


sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat 1 KUHP
2. Harus ada kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut
sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas
3. Adanya kausalitas antara kegoncangan jiwa disebabkan oleh
serangan (Sudarto)
MELAKSANAKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG

• Dasar Hukum: Pasal 50 KUHP


• Remelink: melakukan perbuatan yang dimaksud pasal 50 adalah suatu
tindakan yang memenuhi unsur delik, tapi karena banyak ketentuan
delik yang dirumuskan sehingga meliputi perbuatan lain yang diatur
dalam ketentuan lain
• Ketentuan UU: UU dalam arti formil dan materiil
• Contoh: juru sita yang melakukan eksekusi pengosongan rumah lalu
menaruh barang-barang sitaan di jalan (melanggar UU Tentang Jalan)
PERINTAH JABATAN
• Dasar hukum: Pasal 51 ayat 1 KUHP
• Adagium: Id damnum dat qui iubet dare; eeius vero nulla culpas est, cui parrere
necesse sit: pertanggungjawaban tidak akan diminta terhadap mereka yang patuh
melaksanakan perintah melainkan akan diminta kepada yang memberikan perintah.

• Persyaratan Seorang Dibebaskan Dari Pertanggungjawaban Pidana:


1. Antara yang memerintah dan diperintah berada dalam dimensi hukum public
(contoh diskresi polisi dalam lalu lintas)
2. Antara yang memerintah dan diperintah terdapat hubungan subordinasi atau
hubungan dimensi kepegawaian
3. Melaksanakan perintah jabatat dengan cara yang patut, seimbang dan tidak
melampaui batas kewajaran
PERINTAH JABATAN TIDAK SAH

• Dasar Hukum: Pasal 51 ayat 2 KUHP

• Prinsip: perintah jabatan yang tidak sah tidak menghapuskan patut dipidananya
pelaku

• Syarat perintah jabatan tidak sah berfungsi sebagai alasan pemaaf:


1. Perintah dipandang sebagai perintah yang sah
2. Perintah tersebut dilaksanakan dengan iktikad baik
3. Pelaksanaan perintah berada dalam ruang lingkup pekerjaannya
ALASAN PENGHAPUS PIDANA UMUM DI LUAR
UNDANG-UNDANG
• Izin: merupakan alasan penghapus pidana (alasan pembenar) jika perbuatan yang
dilakuan mendapat persetujuan dari orang yang akan dirugikan (consent of the victim)
• Adagium: volenti non fit iniura/nulla iniura est: siapa yang memberikan persetujuan satu
tindakan tidak akan menghasilkan ketidakadilan
• 4 Syarat Izin sebagai Alasan Pembenar:
1. Pemberi izin tidak memberikan persetujuan karena adanya suatu tipu muslihat
2. Pemberi izin tidak berada dalam suatu kekhilafan
3. Pemberi izin ketika memberikan persetujuan tidak dibawah tekanan
4. Substansi permasalahan yang diberikan izin tidak bertentangan dengan kesusilaan
• Pemberian izin terhadap suatu tindakan banyak ditemukan dalam Hukum Administasi
ERROR FACTIE & ERROR JURIS (AVAS)

• Asas: Afwezigheid Van Alle Schuld (AVAS) : tidak ada kesalahan sama sekali.

• AVAS dibedakan menjadi 2:


1. Error Factie: salah satu kesesatan dalam kesengajaan (feitelijke dwaling) atau
kesesatan fakta
2. Eror Juris: suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh UU.
Kesesatan hukum ini merujuk pada tingkat pengetahuan dan latar belakang
objektif pelaku
TIDAK ADA SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIIL
• Sifat Melawan Hukum (Materieel wederrechttelijkheid) dapat dilihat dari:
1. Sudut pandang perbuatannya: perbuatan yang melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang dilindungi pembentuk UU dalam rumusan delik tertentu;
2. Sudut pandang sumber hukumnya: bertentangan dengan hukum tidak
tertulis/hukum yang hidup di masyarakat/ asas kepatutan dll
• Sifat Melawan Hukum dari sudut pandang sumber hukumnya dibagi lagi:
1. Sifat Melawan Hukum negative: meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi
tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat maka perbuatan tersebut tidak
dipidana;
2. Sifat Melawan Hukum positif: meskipun perbuatan tidak diatur UU namun jika
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
• Sifat melawan hukum negative dalam fungsi negative merupakan alasan pembenar dan
dianut praktik pengadilan.
HAK JABATAN
• Hak Jabatan atau pekerjaan (beroepsrecht) berkaitan dengan profesi
dokter, apoteker, perawat dan peneliti ilmiah di bidang kesehatan
• Contoh: penelitian dengan percobaan terhadap hewan sebagaimana
dimaksud Pasal 302 KUHP.
• Karena pekerjaan timbul sebagai hak jabatan maka sifat melawan
hukum dari perbuatan pidana dihapuskan.
• Perkembangan Hak Jabatan: profesi advokat, jurnalis dll
MEWAKILI URUSAN ORANG LAIN

• Mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming): seorang yang sukarela


tanpa berhak mendapatkan upah mengurusi kepentingan orang lain
tanpa perintah orang yang diwakilinya (M. Hamdan)
• Apabila terjadi perbuatan pidana dalam menjalankan urusan tersebut
maka sifat melawan hukum perbuatan dihapuskan (alasan pembenar)
• Contoh: petugas pemadam kebakaran yang hendak memadamkan api
merusak pintu atau jendela rumah untuk mencegah bahaya lebih
besar.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA KHUSUS
• Berlaku hanya untuk delik-delik tertentu.
• Terdapat dalam rumusan-rumusan delik sehingga tidak terjadi penuntutan
pidana terhadap pelaku (bisa berbentuk alasan pembenar atau pemaaf).
• Contoh:
1. Pasal 221 ayat 2 KUHP tentang Menyembunyikan pelaku kejahatan yang
dilakukan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus /garis
menyimpang derajat kedua/ketiga/bekas suami/istri.
2. Pasal 310 ayat 3 KUHP: tidak merupakan pencemaran nama baik jika
dilakukan untuk kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri
ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIF

• Seorang yang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau keadaan
darurat atau dalam menjalankan UU atau dalam melaksanakan perintah jabatan
yang sah, namun nyatanya tidak demikian (Sudarto).
• Pelaku tidak dijatuhi pidana jika dapat dibuktikan bahwa dalam keadaan demikian
pelaku bertindak secara wajar (ada kesesatan yang dialami)
• Contoh Pidana Putatif menurut Jan Remmelink:
1. Overmacht putative: seorang kapten kapal mengira bahwa ia terancam akan
dibajak perompak sehingga meninggalkan kapal;
2. Noodweer putative: A melihat B ditodong C yang bertopeng dengan
menggunakan pistol, dengan tangkas A menendang C hingga terjatuh ternyata
C adalah teman akrab A yang bersenda gurau.
Penghentian Penuntutan
1. Menurut pasal 140 ayat 2 KUHAP, Penuntut Umum dapat melakukan
penghentian penuntutan.
2. Alasan penghentian penuntutan untuk kepentingan hukum:
a. Tidak cukup bukti
b. Bukan perbuatan pidana
c. Perkara ditutup demi hukum yaitu:
ØTersangka atau terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
ØNebis in idem (pasal 76 KUHP)
ØDaluwarsa (pasal 78 ayat 1 KUHP)
ØPencabutan delik aduan (pasal 75 KUHP)
Asas Oportunitas
• Merupakan pengecualian dari asas legalitas.
• Penjelasan Pasal 77 KUHAP:
ØYang dimaksud dengan "penghentian penuntutan" tidak termasuk
penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa
Agung.
ØIntinya sama dengan kewenangan jaksa agung mengesampingkan perkara untuk
kepentingan umum dalam pasal 35 huruf c UU kejaksaan.

• Yang dimaksud kepentingan umum : Kepentingan bangsa/negara/masyarakat luas.


• Asas oportunitas dapat digunakan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran
dan pendapat badan negara yang terkait.
• Tujuan: agar jangan abuse of power.
• Prinsip: Novum tidak berlaku, Hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung & Tidak
dapat dipraperadilankan
CONTOH KAIDAH HUKUM DALAM
YURISPRUDENSI HUKUM PIDANA
1. Putusan MA No: 039K/PID/1984: hubungan hukum yang terjadi antara
terdakwa dengan saksi merupakan hubungan perdata dalam bentuk
perjanjian jual-beli dengan syarat pembayaran dalam tempo 1 (satu)
bulan, yang tidak dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana penipuan ex
pasal 378 KUHP;

2. Putusan MA 170K/KR/1980: perbuatan tertuduh, yang setelah bis itu


menyerempet kendaraannya mengejar bis, menghentikannya, menyuruh
sopirnya turun dan kemudian memukulnya sehingga pingsan, bukan
merupakan perbuatan untuk melindungi diri termaksud dalam pasal 49
KUHP dan penyerempetan tersebut juga bukan merupakan serangan
termaksud dalam pasal itu
Daftar Pustaka & Referensi

1. Andi Hamzah dan AZ. Abidin, Hukum Pidana Indonesia. PT. Yarsif
Watampone, Jakarta, 2010.
2. Eddy OS. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya
Atma Pustaka, 2016.
3. E Y Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia
dan Penerapannya, Storia Grafika Jakarta 2002
4. Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta
2003
5. R. Soesilo, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi
pasal, Politea Bogor, 1991.

Anda mungkin juga menyukai