Anda di halaman 1dari 35

ASAS

LEGALITAS
DR.H.PARMAN SOEPARMAN.,SH.,MH.
SISTEM HUKUM
 MASHAB ROMAN LAW / CIVIL LAW
• UU SUMBER HUKUM UTAMA HAKIM TIDAK BOLEH MENYIMPANG

 COMMON LAW
• JUDICIAL PRECEDENT TIDAK BERLANDASKAN UU
• LEBIH BERUPA ASAS-ASAS (BUKAN PERATURAN TERTENTU) YANG UMUM DAN
KOMPERHENSIF BERDASARKAN RASA KEADILAN PERTIMBANGAN AKAN DAN PENDAPAT
UMUM YANG DITERIMA
• ASAS=ASAS DITENTUKAN OLEH KEBUTUHAN MASYARAKAT DAN DAPAT BERUBAH SESUAI
DENGAN PERUBAHAN MASYARAKAT
• HAKIM TIDAK TERIKAT SECARA HARAFIAH MENURUT UU
• UU DIJADIKAN ALAT UNTUK MEWUJUDKAN RASA KEADILAN
ALIRAN LEGISME BERPENDAPAT
1. SATU-SATUNYA SUMBER HUKUM ADALAH UNDANG-UNDANG
2. DI LUAR UNDANG-UNDANG TIDAK ADA HUKUM
(BELANDA, BELGIA, JERMAN, SWISS)

FREIRE RECHTSLEHRE / RECHTSBEWEGUNG 


3.HAKIM BENAR-BENAR MENCIPTAKAN HUKUM (JUDGE MADE LAW) KARENA
PUTUSANNYA DIDASARKAN PADA KEYAKINAN HAKIM
4.KEPUTUSAN HAKIM LEBIH DINAMIS DAN UP TO DATE KERENA SENANTIASA
MENGIKUTI KEADAAN PERKEMBANGAN DI DALAM MASYARAKAT
5.HUKUM HANYA TERBENTUK OLEH PERADILAN (RECHTS-SPRAAK)
6.BAGI HAKIM, UNDANG-UNDANG, KEBIASAAN DAN SEBAGAINYA HANYA MERUPAKAN
SARANA SAJA DALAM MEMBENTUK/MENCIPTAKAN ATAU MENEMUKAN HUKUM PADA
KASUS-KASUS YANG KONKRET
7.PANDANGAN FREIRE RECHTSLEHRE BERTITIK BERAT PADA KEGUNAAN SOSIAL
(SOSIALE DOELMATIHEID)
ALIRAN RECHTSVINDING / LEGAL REALISM

AJARAN LEGAL REALISM, TETAP PADA NORMA ATAU HUKUM (POSITIF)


YANG BERLAKU TETAPI HARUS DIKEMBANGKAN DENGAN
MENYERTAKAN FAKTOR EXTRA LEGAL BERUPA FAKTA SOSIAL ATAU
PENGALAMAN HIDUP SEBAGAI MASUKAN DALAM UPAYA BERPIKIR
YANG LEBIH REALISTIK UNTUK MEMFUNGSIKAN HUKUM POSITIF
TERSEBUT BERDASARKAN PEMIKIRAN INI, HUKUM TIDAK LAGI DILIHAT
SEKEDAR SEBAGAI KONTROL SOSIAL, TETAPI JUGA HARUS GUNAKAN
SEBAGAI SARANA REKAYASA MASYARAKAT (LAW AS A TOOL OF SOCIAL
ENGINEERING)
ASAS LEGALITAS
ASAS LEGALITAS ADALAH SUATU JAMINAN DASAR BAGI
KEBEBASAN INDIVIDU DENGAN MEMBERI BATAS
AKTIVITAS APA YANG DILARANG SECARA TEPAT DAN
JELAS. ASAS INI JUGA MELINDUNGI DARI
PENYALAHGUNAAN WEWENANG HAKIM, MENJAMIN
KEAMANAN INDIVIDU DENGAN INFORMASI YANG
BOLEH DAN DILARANG. SETIAP ORANG HARUS DIBERI
PERINGATAN SEBELUMNYA TENTANG PERBUATAN-
PERBUATAN ILEGAL DAN HUKUMANNYA
RUMUSAN ASAS LEGALITAS

1. NULLUM CRIMEN, NOELA POENA SINE IEGE PRAEVIA, YANG BERARTI, TIDAK ADA PERBUATAN PIDANA,
TIDAK ADA PIDANA TANPA UNDANG-UNDANG SEBELUMNYA. KONSEKUENSI DARI MAKNA INI ADALAH
MENENTUKAN BAHWA HUKUM PIDANA TIDAK BOLEH BERLAKU SURUT.
2. NULLUM CRIMEN, NULLA POENA SINE LEGE SCRIPTA, ARTINYA, TIDAK ADA PERBUATAN PIDANA, TIDAK
ADA PIDANA TANPA UNDANG-UNDANG TERTULIS. KONSEKUENSI DARI MAKNA INI, ADALAH BAHWA
SEMUA KETENTUAN PIDANA HARUS TERTULIS.
3. NULLUM CRIMEN, NULLA POENA SINE LEGE CERTA, ARTINYA TIDAK ADA PERBUATAN PIDANA, TIDAK
ADA PIDANA TANPA ATURAN UNDANG- UNDANG YANG JELAS. KONSEKUENSI DARI MAKNA INI, ADALAH
HARUS JELASNYA RUMUSAN PERBUATAN PIDANA SEHINGGA TIDAK BERSIFAT MULTITAFSIR YANG DAPAT
MEMBAHAYAKAN KEPASTIAN HUKUM
4. NULLUM CRIMEN, NOELA POENA SINE IEGE STRICTA, ARTINYA TIDAK ADA PERBUATAN PIDANA, TIDAK
ADA PIDANA TANPA UNDANG-UNDANG YANG KETAT. KONSEKUENSI DARI MAKNA INI SECARA IMPLICIT
ADALAH TIDAK DIPERBOLEHKANNYA ANALOGI.

(MACHTELD BOOT)
Feuerbach
Mencari teori pidana dalam dunia
phenomenaal, dunia gejala-gejala, yang
membawanya pada ajaran prevensi umum:
menakuti orang dengan mengancamkan
pidana dalam undang-undang. ancaman
pidana sebagai unsur mutlak menimbulkan
plsychologische Zwang.
Rumusan Feuerbach dalam bahasa Latin :
 nulla poena sine lege
 nulla poena sine crimine
 nulla crimen sine poena legali.

Terjemahan Rumusan tersebut :


 Tanpa undang-undang, pidana pun tak ada
 Tanpa kejahatan, pidana pun tak ada
 Jika pidana tidak ditetapkan dalam undang-undang, kejahatan pun tak ada.

van Eck bependapat bahwa pasal 1 ayat 1 W.v.S yang memuat asas legalitas, mengandung tiga ketentuan:
-Adanya kaidah hukum pidana yang tertulis
-Kaidah pidana yang tertulis harus dicantumkan dalam kaidah hukum pidana.
-Kaidah hukum itu harus mendahului tindakan.
MELEMAHNYA/BERGESERNYA ASAS LEGALITAS
1.Bentuk pelunakanlpenghalusan pertama terdapat didalam KUHP sendiri, yaitu dengan
adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2.Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat
melawan hukum yang materiel;
3.Dalam hukum poéitif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-Undang
Dasar Sementara 1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt. 1951; Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru),
asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictumsine lege", tetapi
juga sebagai “nu//um delictum sine ius" atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas
legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana
adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulls sebagai sumber hukum;
4.Dalam dokumen internasional dan KUHP negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2)
International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas);
Lanjutan
5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani,
Portugal) ada ketentuan mengenai "permaafan/pengampunan hakim"
(dikenal dengan berbagai istilah, antara lain ”Rechterlijk pardon”, "Judicial
pardon", "Dispensa de pena" atau ”Nonmposing of penally") yang
merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality principle
6. Ada perubahan fundamental di KUHAP Prancis pada tahun 1975 (dengan
Undang-Undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan
ketentuan mengenai "pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana"
("the declaration of guilt without imposing a penalty")
7. Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari
"cyber-crime" merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas
"/ex certa”, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia
riel/reaIita/nyata/pasti.
Pasal 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan .
ASAS YG TERCAKUP
DLM PASAL 1 (1) KUHP
• Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali :
• Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yg terlebih dahulu
menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang
memuat suatu hukuman yg dapat dijatuhkan atas delik itu
• 3 prinsip, sbb:
Asas legalitas mengandung 3 prinsip:

1. Aturan hukum pidana harus tertulis


2. Larangan berlaku surut
3. Larangan penggunaan Analogi
1. Aturan hukum pidana harus tertulis
(lex scripta)

• Aturan hukum pidana harus mrpkn atauran yg dibuat oleh


badan legislatif (produk legislatif)
• Produk legislatif yg dimaksud adl dlm bentuk UU atau Perda
• Aturan tsb harus jelas rumusannya (lex certa) dan tdk multi
tafsir
• Hukum adat ? Merupakan pengecualian ? Lihat UU Drt
No.1/1951 dan R-KUHP Pasal 2
2. LARANGAN BERLAKU SURUT
(non retroaktif)
• Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke
belakang :

X mundur (ke belakang) harus ke depan (maju)

(Dilarang) ---------- UU Pidana ---------------

Perlu diketahui kapan suatu tindak pidana terjadi (wkt terjadinya


tindap pidana = tempus delicti.
Teori2 Tempus Delicti
1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de
lichamelijke daad)
2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van
het instrument)
3. Teori Akibat (de leer van het gevolg)
4. Teori waktu yg jamak (de leer van de
meervoudige tijd)
Tempus delicti penting diketahui dalam hal2 :

• Kaitannya dg Ps 1 KUHP
• Kaitannya dg aturan tentang Daluwarsa Penuntutan
• Kaitannya dg ketentuan mengenai pelaku tindak pidana
anak : UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Larangan berlaku surut dalam berbagai ketentuan
selain yang diatur dalam Ps. 1 ayat (1) KUHP
Internasional:
• Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut
• Ps 15 (2) ICCPR pengecualian, untuk kejahatan
menurut hukum kebiasaan international: boleh berlaku
surut
• Ps 22, 23, dan 24 ICC (Statuta Roma)

Nasional
• Ps 28i UUD 1945
• Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
Ps 28i UUD 1945
• Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.”
UU No. 39/ 1999 ttg HAM
• Ps 18 (2) • Ps 18 (3)
Setiap orang tidak boleh Setiap ada perubahan
dituntut untuk dihukum dalam peraturan
atau dijatuhi pidana, perundang-undangan
kecuali berdasarkan suatu maka berlaku ketentuan
peraturan perundang- yang paling
undangan yang sudah ada menguntungkan bagi
sebelum tindak pidana itu tersangka
dilakukan
Pengecualian Larangan Berlaku Surut
• Ps 1 ayat (2) KUHP  dalam hal tjd perubahan UU yg
meringankan bagi tdkw, digunakan UU yg baru
• Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM) 
diperlukan syarat2 ttt, al: pembentukan pengadilan HAM ad
hoc dgn persetujuan DPR
• Perpu 1/2002 & 2/2002  UU 15/2003 (UU
Pemberantasan TP Terorisme) ; UU 16/2003 yang
memberlakukan UU No. 15/2003 untuk kasus Bom Bali (UU
No. 16/2003 dibatalkan oleh MK)
UU No. 26/ 2000 ttg Pengadilan HAM
(bisa berlaku surut )
(1) Pelanggaran hak asasi  Penjelasan Ps 43 (2)
manusia yg. Berat yg. terjadi “Dalam hal DPR Indonesia
sebelum diundangkannya UU
ini, diperiksa dan diputus oleh mengusulkan dibentuknya
pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc, DPR
Indonesia mendasarkan pada
(2) Pengadilan HAM ad hoc dugaan telah terjadinya
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibentuk atas usul DPR pelanggaran HAM yang berat
Indonesia berdasarkan yg dibatasi pada locus dan
peristiwa tertentu dg. tempus delicti tertentu yg
Keputusan presiden. terjadi sebelum
diundangkannya undang-
undang ini.
UU Pemberantasan TP Terorisme
dan Putusan MK

• MK membatalkan ketentuan berlaku surut dalam UU


Pemberantasan TP Terorisme (UU No.16/2003) karena
bertentangan dengan UUD 1945
3. Larangan penggunaan analogi
1. Penafsiran diperbolehkan dalam hukum pidana
karena diperlukan utk memahami UU hukum
pidana yang tidak selalu jelas rumusannya
2. Analogi tdk diperbolehkan krn analogi bukan
penafsiran melainkan metode konstruksi
3. Penafsiran yg dikenal dalam huk pidana, sbb:
JENIS-JENIS PENAFSIRAN
- Otentik
- Sistematis
- Gramatikal
- Historis
- Sosiologis
- Teleologis
- Ekstensif
Penafsiran Vs Analogi
• Analogi
• Penafsiran
Menjalankan suatu kaidah
Menjalankan kaidah yang untuk menyelesaikan suatu
oleh undang-undang tidak perkara yang tidak
dinyatakan dengan tegas disinggung oleh kaidah itu,
tetapi yang mengandung
kesamaan dengan perkara
yang disinggung kaidah
tersebut
Penafsiran Ekstensif Vs Analogi ?

• Putusan HR 23 Mei 1921 (kasus pencurian listrik di Gravenhage)


• Putusan Rechtbank Leeuwarden, 10 Des 1919 (pencurian sapi)
Taverne Vs para sarjana pidana lainnya (Van Hattum, Simons,
Zevenbergen, Van Hamel)
Pendapat Scholten
(dan juga Utrecht)
• Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara penafsiran ekstensif dan analogi.
Dalam kedua hal itu hakim membuat konstruksi , yaitu membuat (mencari) suatu
pengertian hukum yang lebih tinggi. Hakim membuat suatu kaidah yang lebih
tinggi dan yang dapat dijadikan dasar beberapa ketentuan yang mempunyai
kesamaan.

Mis.
• Mengambil = mengadakan suatu perbuatan yang bermaksud memindahkan sesuatu benda dari
tangan yang satu ke tangan yang lain
Pendapat Scholten
(dan Utrecht)
• PENAFSIRAN EKSTENSIF • ANALOGI
Hakim meluaskan Hakim membawa perkara
lingkungan kaidah yang yang harus diselesaikan ke
lebih tinggi sehingga dalam lingkungan kaidah
perkara yang bersangkutan yang lebih tinggi
termasuk juga di dalamnya
Pasal 1 Ayat (2) KUHP
1. UU dimungkinkan utk berlaku surut
2. 3 syarat memberlakukan surut suatu UU
a. terjadi perubahan UU
b. perubahan tjd setelah tindak pidana dilakukan
c. perubahan menguntungkan bg TSK/TDW
3. Disebut sbg hukum transitoir
Pasal 1 ayat (2) KUHP
-+-----------+---------------+---->
UU Perbuatan Perubahan UU

• Apa yg dimaksud dgn Perubahan UU ?


Teori : (1) Teori formil (2) Teori materiil terbatas (3) Teori materiil tidak
terbatas

•Apa yg dimaksud dgn Paling menguntungkan


bg tersangka/terdakwa?
Yg menguntungkan bg TSK/TDKW
• Hal ini tidak dapat ditentukan sec. Umum
(in abstracto), dan hanya dapat ditentukan untuk masing2 perkara
sendiri (in concreto).

Yang menguntungkan bagi TSK/TDKW:


sanksi menjadi lebih ringan, diubah menjadi delik aduan, unsur- unsur
pokok delik menjadi lebih banyak (ditambah)
(Periksa : Utrecht h.228)
Perubahan UU yg dimaksud
Pasal 1 ayat (2) KUHP
• Teori Formil :Ada perubahan undang-undang kalau redaksi undang-undang pidana
berubah (Simons)
 ditolak oleh Putusan HR 3 Des 1906 , kasus ps 295 sub 2 KUHP, batas dewasa 23  21
tahun dlm BW

• Teori Materiil Terbatas : Tiap perubahan sesuai dg suatu perubahan perasaan (keyakinan)
hukum pada pembuat undang-undang (jadi tidak boleh diperhatikan perubahan keadaan
karena waktu)

• Teori Materiil tidak Terbatas : tiap perubahan – baik dalam perasaan hukum dari
pembuat undang-undang maupun dalam keadaan karena waktu – boleh diterima
sebagai suatu perubahan dalam undang-undang
 Sesuai HR 5 Des 1921
Perubahan kesadaran/perasaan hukum
• Menjadi tidak dapatnya dihukum suatu perbuatan
• Menjadi dapat dihukumnya suatu perbuatan
• Diperberat/diperingan pidana atas suatu
perbuatan.

• (Baca lebih lanjut dalam buku Lamintang Putusan MA, dalam bag.
Berlakunya UU Pidana Menurut Waktu)
Perubahan UU terjadi setelah tindak pidana
dilakukan
Yang harus diperhatikan:
1. Waktu terjadinya tindak pidana (tempus delictie)
2. Teori2 tempus delicti

Anda mungkin juga menyukai