Anda di halaman 1dari 37

RUANG LINGKUP

BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
TOPO SANTOSO

25 JANUARI 2023
RUANG LINGKUP
BERLAKUNYA HUKUM
PIDANA
 MENURUT WAKTU  MENURUT TEMPAT
MENURUT JEROME HALL
 (1) Nulla Poena Sine Lege (Tidak/tiada  (2) Nullum Crimen Sine Lege (Tidak/tiada
Pidana Tanpa Undang-Undang) Kejahatan Tanpa Undang-Undang).
 "affects only proven criminals"
 (hanya mempengaruhi pelaku tindak  melindungi keseluruhan warga negara
pidana yang terbukti bersalah)
 Anselm Von Feurbach  Dari ketentuan asas legalitas ini muncul
tiga aturan yang dalam bahasa Latin
dikenal dengan:
 (1) Nulla Poena Sine Lege;
 (2) Nulla Poena Sine Crimine; dan
 (3) Nullum Crimen Sine Poena Legali
PRINSIP-PRINSIP DI
DALAMNYA
 Lex Scripta (hukuman harus didasarkan undang-undang tertulis),
 Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat, bentuk dan beratnya
hukuman harus jelas ditentukan dan bisa dibedakan),
 Lex Praevia (larangan berlaku surut)
 Lex Stricta (undang-undang harus dirumuskan dengan ketat, larangan hukuman atas dasar
analogy).
 Moeljatno  Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mengandung tiga pengertian,
yaitu:
 (1) tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang;
 (2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi (qiyas); dan
 (3) aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
PASAL 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkan .
1. ATURAN HUKUM PIDANA HARUS TERTULIS
(LEX SCRIPTA)

 Aturan hukum pidana harus merupakan aturan yang dibuat oleh badan legislatif (produk
legislatif)
 Produk legislatif yg dimaksud adalah dalam bentuk UU atau Perda
 Bagaimana dengan Hukum adat ?
 Merupakan pengecualian ?
 Lihat UU Drt No.1/1951 dan R-KUHP Ps. 2.
2. LARANGAN BERLAKU SURUT
(NON RETROAKTIF)
 Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke belakang :

X mundur (ke belakang) harus ke depan (maju)


(Dilarang) ---------- UU Pidana ---------------

Perlu diketahui kapan suatu tindak pidana terjadi (waktu terjadinya tindap pidana =
tempus delicti.
TEORI2 TEMPUS DELICTI
1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
2. Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het
instrument)
3. Teori Akibat (de leer van het gevolg)
4. Teori waktu yang jamak (de leer van de meervoudige tijd)
TEMPUS DELICTI PENTING
DIKETAHUI DALAM HAL-HAL :
 Kaitannya dengan Ps 1 KUHP
 Kaitannya dengan aturan tentang Daluwarsa
 Kaitannya dengan ketentuan mengenai pelaku tindak pidana anak : UU
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
LARANGAN BERLAKU SURUT DALAM BERBAGAI KETENTUAN
SELAIN YANG DIATUR DALAM PS. 1 AYAT (1) KUHP

Internasional:
 Ps 15 (1) ICCPR: hukum tidak berlaku surut
 Ps 15 (2) ICCPR pengecualian, untuk kejahatan menurut hukum
kebiasaan international
 Ps 22, 23, dan 24 ICC (Statuta Roma)

Nasional
 Ps 28i UUD 1945
 Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
PS 28I UUD 1945
 Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.”
UU NO. 39/
 Ps 18 (2)
1999 TTG HAM  Ps 18 (3)

Setiap ada perubahan dalam


Setiap orang tidak boleh peraturan perundang-undangan
dituntut untuk dihukum atau maka berlaku ketentuan yang
dijatuhi pidana, kecuali paling menguntungkan bagi
berdasarkan suatu peraturan tersangka
perundang-undangan yang sudah
ada sebelum tindak pidana itu
dilakukan
PENGECUALIAN LARANGAN BERLAKU
SURUT
 Ps 1 ayat (2) KUHP  dalam hal terjadi perubahan UU maka digunakan
UU yang menguntungkan bagi terdakwa
 Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM)  diperlukan syarat2
ttt, al: pembentukan pengadilan HAM ad hoc dgn persetujuan DPR
 Perpu 1/2002 & 2/2002  UU 15/2003 (UU Pemberantasan TP Terorisme) ;
UU 16/2003 yang memberlakukan UU No. 15/2003 untuk kasus Bom Bali
(UU No. 16/2003 dibatalkan oleh MK)
PENDAPAT SCHOLTEN
(DAN UTRECHT)
 PENAFSIRAN EKSTENSIF  ANALOGI

Hakim meluaskan lingkungan Hakim membawa perkara yang


kaidah yang lebih tinggi sehingga harus diselesaikan ke dalam
perkara yang bersangkutan lingkungan kaidah yang lebih
termasuk juga di dalamnya tinggi
PASAL 1 AYAT (2) KUHP
1. UU dimungkinkan utk berlaku surut
2. 3 syarat memberlakukan surut suatu UU
a. terjadi perubahan UU
b. perubahan terjadi setelah tindak pidana dilakukan
c. perubahan menguntungkan bagi TSK/TDW
3. Disebut sebagai hukum transitoir
PASAL 1 AYAT (2)KUHP

-+-----------+---------------+---->
UU Perbuatan Perubahan UU

 Apa yg dimaksud dgn Perubahan UU ?


Teori : (1) Teori formil (2) Teori materiil terbatas (3) Teori materiil tidak
terbatas

Apa yg dimaksud dgn Paling


menguntungkan bg tersangka/terdakwa?
YANG MENGUNTUNGKAN
BAGI TERDAKWA
 Hal ini tidak dapat ditentukan sec. Umum
(in abstracto), dan hanya dapat ditentukan untuk masing2 perkara sendiri (in concreto).

Yang menguntungkan bagi TSK/TDKW:


sanksi menjadi lebih ringan, diubah menjadi delik aduan, unsur- unsur pokok delik menjadi
lebih banyak (ditambah)
MENURUT TEMPAT
 Asas Teritorial
 Asas Nasional Aktif
 Asas Nasional Pasif dan Perlindungan
 Asas Universal
ASAS TERITORIAL
 Dalam KUHP Baru, berkaitan dengan Asas Wilayah atau Teritorial, Pasal 4 menyatakan
bahwa: “Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang
melakukan: 1. Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2.
Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia; atau Tindak
Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana lainnya yang akibatnya
dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di Kapal
Indonesia dan di Pesawat Udara Indonesia.
 Pada Penjelasan Pasal 4 Huruf a dinyatakan bahwa: “Yang dimaksud

dengan ‘wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia’ adalah satu


kesatuan wilayah kedaulatan di daratan, perairan pedalaman,
perairan kepulauan beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, dan
ruang udara di atasnya serta seluruh wilayah yang batas dan hak
negara di laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan
landas kontinen yang diatur dalam Undang-Undang. “
 Penjelasan Pasal 4 Huruf a KUHP Baru ini dengan demikian tidak membatasi

berlakunya hukum pidana hanya pada kepada lautan yang masuk wilayah negara atau
teritorial sea saja (yakni 12 mil laut dari garis pantai), melainkan yang dimaksud adalah
wilayah yurisdiksi (wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) 200 mil laut, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan 24 mil laut).
Penjelasan ini tidak membatasi hanya tindak pidana perikanan saja yang dicakup pada
wilayah yurisdiksi (ZEE, Landas Kontinen, dan zona tambahan). Dengan demikian,
termasuk juga tindak pidana lainnya.
BERLAKUNYA HUKUM
PIDANA MENURUT TEMPAT
Untuk mengetahui hukum pidana negara
mana yang digunakan: hukum pidana
Indonesia atau hukum pidana negara lain.
 Mungkinkah ada kejadian dimana hukum pidana Indonesia berlaku, tapi hukum negara
lainnya juga dapat digunakan? bagaimana jika kejadian di luar Indonesia, tapi hukum
Indonesia dapat diberlakukan, apa yang harus dilakukan?
 Jika saja semua pertanyaan di atas tidak ada jawabannya dan tidak ada aturannya, tentu
menimbulkan persoalan serius dalam hal penegakan hukumnya.
 Inilah yang dijawab oleh aturan tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut
tempat dan subyek tindak pidana yang diatur pada pasal-pasal 2,3,4,5,6,7,8 dan 9 KUHP.
 Delapan pasal tersebut memberi landasan hukum berlakunya hukum pidana Indonesia dalam
berbagai kejadian
ASAS2 BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (1)

Indonesia menganut asas2 di bawah dibuktikan dgn dasar hukum yg


terdapat dalam KUHP:
 Asas Teritorialitas/ wilayah :
Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976
 Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2, dan 3 --> Ps 8
KUHP , UU No. 4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat Ps 16
UU 31/1999
 Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif :
Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP
 Asas Universalitas :
Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang
kertas Bank”
* Pasal 7 dan 8 KUHP termasuk baik dalam asas Nasionalitas Aktif
maupun Pasif.
ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT

1. Asas teritorial/wilayah
berlakunya hukum pidana sesuai tempat terjadinya tindak
pidana
Pasal 2 dan 3 KUHP
 KUHP Indonesia
 TP terjadi di Indonesia
 Pelaku WNA/WNI
 Berlaku teori2 locus delicti
UU NO.43/2008 TENTANG WILAYAH
NEGARA

 Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang


selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah
satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah
daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta
ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan
yang terkandung di dalamnya.
BATAS WILAYAH

Pasal 5
 Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang
udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai
batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional.

Pasal 6
 (1) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste;
 b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan
Timor Leste; dan
 c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan
angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional.
 (2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik
koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
 (3) Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia
menetapkan Batas Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan hukum internasional.
WILAYAH INDONESIA DAN
BATAS DENGAN NEGARA
LAIN
ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

2. Asas Nasionalitas Aktif/Personalitas

Pasal 5 – 6 (perluasan Ps. 5) & 7 KUHP


 KUHP Indonesia
 TP terjadi di luar Indonesia
 Pelaku WNI (perlindungan terhadap WNI)
 Utk jenis delik kejahatan ( ..?..)

* Pasal 8 juga termasuk perluasan dari Nasionalitas Aktif (menurut van


Bemmelen)
ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

3. Asas Nasionalitas Pasif/Perlindungan


Pasal 4 dan 8 KUHP
 KUHP Indonesia
 TP terjadi di mana saja (di luar Ind)
 Pelaku WNA/WNI
 Melindungi kepentingan negara/nasional

* Pasal 7 juga termasuk perluasan dari asas Nasionalitas Pasif (menurut


Van Bemmelen)
4. ASAS UNIVERSAL
 Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976

“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara atau uang kertas Bank”
 Untuk melindungi kepentingan dunia

Anda mungkin juga menyukai