Anda di halaman 1dari 5

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Nama : Muhammad Kunto Tri Wibowo

NPM : 110110200326

Di era globalisasi seperti sekarang, di mana dunia seakan tanpa batas, terdapat satu fakta bahwa
tidak ada satu pun negara yang dapat memenuhi kebutuhan dari masyarakatnya tanpa mengadakan kerja
sama dengan negara lain. Oleh karena itu akan timbul suatu usaha dari negara untuk memenuhi
kebutuhan penduduknya, salah satu caranya dengan melakukan kerja sama dengan negara lain. Dalam
hal memenuhi kebutuhannya negara sering kali melakukan kegiatan perdagangan, yang bisa kita sebut
sebagai perdagangan internasional. Dijelaskan oleh Prof. Huala Adolf bahwa perdagangan internasional
merupakan aktivitas dari tukar menukar atau bahkan aktivitas dari jual beli yang terjadi antar negara
sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan manfaat maupun keuntungan dari aktivitas tersebut1.

Dalam menjalankan praktik perdagangan internasional sendiri terdapat beberapa prinsip yang
perlu dipahami, di antaranya adalah prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment. Prinsip
Most Favoured Nation terdapat dalam Pasal 1 GATT (General Agreements on Tariffs and Trade).
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa prinsip tersebut menyatakan bahwa suatu kebijakan
perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif, Menurut prinsip ini, semua negara
anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan
kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya2. Perlakuan sama tersebut perlu
dilaksanakan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang
berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT3. Selanjutnya terdapat juga prinsip National
Treatment di mana prinsip ini pengaturannya terdapat dalam Pasal 3 GATT. Menurut prinsip ini suatu
produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus mendapat perlakuan yang sama
seperti halnya produk dalam negeri dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus
diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri4. Prinsip ini berlaku luas, karena prinsip ini juga
dapat diberlakukan terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya, selain itu berlaku
pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang

1
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2
Ibid., 108
3
Ibid.
4
Ibid., 110
mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di
pasar dalam negeri. Kedua prinsip tersebut menjadi prinsip yang utama dalam GATT. Adanya
kesepakatan untuk menerapkan most favoured nation dan national treatment dalam perdagangan
internasional menjadikan negara-negara termasuk Indonesia harus cermat dalam menghadapinya.
Terdapat dampak positif dan juga negatif dari implementasi kedua prinsip tersebut. Dampak positif
yang dapat terjadi adalah adanya persamaan dan pemerataan kebebasan, karena setiap negara akan
memilii kebebasan yang sama dalam melakukan kegiatan perdagangan, Tindakan yang bersifat
memproteksi yang biasanya kerap diterapkan untuk meraih keuntungan suatu negara baik eksportir
maupun importir tidak akan terjadi. Selanjutnya akan terjadi dibukanya blok perdagangan dunia, dengan
penerapan 2 prinsip tersebut maka blok perdagangan dunia seperti MEE, ASEAN, NAFTA yang
cenderung tertutup dan berkonfrontasi akan bekerja sama lebih luas dalam perdagangan internasional.
Kemudian melihat dampak negatif yang bisa terjadi, di antaranya seperti adanya tendensi
ketergantungan dalam transaksi perdagangan. Dampak dari penerapan prinsip Most Favored Nation
dan National Treatment bagi transaksi perdagangan secara internasional adalah semakin kuatnya
pengaruh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Negara yang kuat akan semakin
menunjukkan eksistensinya dengan menekan setiap kebijakan negara-negara berkembang yang
dianggap merugikan dan menghambat kepentingan mereka.

Dalam praktik perdagangan internasional, kerap kali dapat terjadi tindakan pengamanan yang
dilakukan oleh pemerintah negara pengimpor dengan maksud dan tujuan memulihkan kerugian serius
atau untuk dapat mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri dari adanya
lonjakan barang impor sejenis atau barang yang secara langsung bersaing 5. Pengaturan mengenai
Safeguard dapat di lihat dalam ketentuan umum persetujuan tindak pengamanan yang diatur dalam
Article XIX OF GATT 1994( artikel XIX Of GATT 1994 ) Agreement On Safeguard dinyatakan bahwa
perjanjian Safeguard menerapkan peraturan untuk pelaksanaan tindakan pengamanan yang harus
diartikan sebagai tidnakan yang diatur dalam Article XIX GATT 19946. Penerapan tindakan pengamanan
(safeguard) memiliki tujuan untuk melindungi produk industri dalam negeri dari adanya lonjakan atau
membanjirnya produk impor yang merugikan atau mengancam kerugian industri dalam negeri.
Selanjutnya pengaturan terkait safeguard di Indonesia sendiri tertuang dalam Undang-undang Nomor
7 tahun 1994 tentang pengesahan agreement establishing the world trade organization, peraturan lebih
lanjut ditetapkan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan
pengamanan industri dalam negeri dari akibat lonjakan impor yang telah disepakati secara internasional
yang isinya seperti telah diuraikan di atas 7. Kemudian selain mengenal Safeguard dalam praktik

5
Muhammad Sood, 2012, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers : Jakarta, hal.1.
6
Muhammad Sood, op.cit, hal 224.
7
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia,2005, Perlindungan Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan
Safeguard World Trade Organization
perdagangan internasional kita juga perlu mengenal adanya Subsidi, dijelaskan o 8Huala Adolf & A.
Chandrawulan dalam Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, subsidi adalah
sebuah pembayaran oleh pemerintah untuk produsen, distributor dan konsumen bahkan masyarakat
dalam bidang tertentu. Kemudia perlu diketahui bahwa terdapat pengaturan mengenai subsidi yang
terdapat Pasal XVI GATT dan lebih lanjut dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures
1995 (“SCM”) yang mengatur lebih rinci mengenai subsidi dan tindakan yang dapat diambil oleh
negara anggota yang dirugikan akibat adanya produk ekspor yang disubsidi negara lainnya.

Selanjutnya dalam perdagangan internasional, penting untuk kita memahami adanya hambatan-
hambatan yang terdapat dalam kegiatan ini, salah satunya adalah hambatan non-tarif (non-tariff
barriers) yaitu penghalang untuk membatasi perdagangan internasional melalui instrumen non pajak
atau bea. Bersama dengan hambatan tarif, itu membentuk hambatan perdagangan. Hambatan non-tarif
memiliki keterkaitan dampak pada arus masuk dan keluar barang dari suatu negara. Beberapa negara
menggunakannya untuk memproteksi perekonomian dalam negeri. Sementara yang lain
menggunakannya sebagai strategi politik ekonomi untuk membalas praktik serupa oleh negara mitra.
Pada prinsipnya, penerapan non-tariff barrier dilarang dalam pelaksanaan perdagangan internasional
oleh negara anggota WTO, kecuali terkait hal-hal yang diatur dan disyaratkan dalam Pasal XX GATT
1994. Salah satu pengecualian yang disyaratkan dan dianggap penting dalam hal ini adalah kesehatan
manusia. Non-tariff barrier dapat diberlakukan oleh negara anggota WTO selama ditujukan untuk
melindungi kesehatan masyarakat (public health) di negaranya karena penyebaran suatu wabah
penyakit tidak hanya dapat melalui manusia, melainkan juga melalui barang dan hewan yang bergerak
melintas dari satu negara ke negara lainnya. Sebagai contoh, dapat dilihat banyaknya negara yang
memberlakukan non-tariff barrier ketika berlangsungnya pandemi Covid-19 pada saat ini, seperti
Kamboja yang melarang impor sementara daging beku dan produk beku lainnya dari India dan
Kyrgyzstan yang melarang ekspor ternak hidup, ternak unggas, dan produk-produk pertanian9. Dari
kedua contoh tersebut jelas dapat dilihat potensi dari keberadaan non tariff barrier untuk menghambat
sifat dari perdagangan internasional itu sendiri. Maka terkait tindakan pengecualian yang dilakukan
oleh suatu negara dengan menggunakan Pasal XX GATT 1994 sebagai dasar hukumnya, haruslah dapat
terlebih dahulu dibuktikan bahwa keberadaan ancaman yang dijadikan alasan penggunaan non tariff
barriers adalah nyata dan memang diperlukan tindakan pengecualian dalam rangka melindungi
kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan kesehatan, juga seberapa pentingnya upaya dilakukan untuk
melindungi public health.

8
Huala Adolf & A. Chandrawulan. Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional. Bandung:
Rajagrafindo Persada, 1995; hal.64
9
K., Widya Rainnisa, S., Isna Kartika, D., Febriyanto, Rampengan, S., Rangga. (2021). Penerapan Barriers to
Trade Terkait Perlindungan Public Health Perspektif Hukum Perdagangan Internasional. Al-Qisthu: Jurnal Kajian
Ilmu-Ilmu Hukum, 19 (1). Hal.87
Selanjutnya, Indonesia Sebagai negara anggota WTO, Indonesia telah melaksanakan
kewajibannya untuk mematuhi dan tetap terikat dengan ketentuan WTO. Hal ini dapat dilihat dari
peratifikasian Perjanjian GATT 1947 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang berarti bahwa ketentuan WTO tersebut
telah secara resmi berlaku ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. Lebih lanjut, sama seperti 159
anggota WTO, Indonesia juga telah mengadopsi Trade Facilitation Agreement (TFA). TFA dapat
dianggap sebagai perjanjian WTO yang cakupannya paling luas dan dibentuk untuk memberikan
pengaturan dalam perdagangan yang cenderung terabaikan, yang isinya sendiri mencakup ketentuan
yang mempermudah dan mempercepat kegiatan perdagangan barang lintas batas, mengoptimalkan
kerja sama dalam negeri, kerja sama internasional di antara lembaga perbatasan dan bea cukai, serta
memberikan kemudahan untuk negara-negara berkembang atau negara-negara terbelakang.10 Setelah
diratifikasinya ketentuan TFA oleh Indonesia, terjadi peningkatan skala ekspor dan penurunan biaya
perdagangan di Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi karena karena TFA adalah suatu perjanjian yang
sifatnya multilateral dan berhubungan dengan negara anggota WTO yang kemudian menyebabkan juga
meningkatnya efisiensi prosedur perdagangan dan kepabeanan. Maka dalam hal ini, implementasi TFA
dapat mewadahi UMKM untuk lebih berkontribusi dalam perdagangan berskala internasional, serta
dapat menekan biaya perdagangan yang dikeluarkan oleh pelaku usaha. Terkait hal ini, Indonesia
meraih surplus sebesar US $20.400.000.000 pada tahun 2017 terhadap ekspor non migas, diikuti dengan
ekspor non migas sebesar Indonesia US $4.000.000.000 pada tahun 2018 dan mencapai US
$48,900.000.000 pada April 2019.11 Adapun macam barang yang diekspor pada kategori non migas ini
sendiri merupakan produk manufaktur. Dengan pengimplementasiannya TFA, terjadi pengurangan
biaya perdagangan hingga 5 persen setiap tahunnya.

Berbicara terkait penerapan tekait hukum perdagangan internasional di kawansan ASEAN,


Secara spesifik, permasalahan dalam bidang perdagangan internasional yang dihadapi oleh negara-
negara anggota ASEAN berfokus pada penciptaan lalu lintas perdagangan antarnegara yang relatif
tanpa hambatan, baik tarif maupun nontarif. Menanggapi permasalahan tersebut, Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat bahwa dibutuhkan suatu pembaharuan dan harmonisasi hukum, baik pada
tingkat nasional maupun internasional maka dalam hal ini dapat dilihat pentingnya ASEAN sebagai
suatu organisasi internasional yang memiliki personalitas hukum untuk mampu membentuk berbagai
aturan sebagai hukum (pedoman) bagi aktivitas perdagangan internasional, khususnya di kawasan Asia
Tenggara.12

10
E., Antonia. (2015). The Trade Facilitation Agreement: A New Hope for the World Trade Organization. World
Trade Review, 4(4). Hlm. 644.
11
1B., Adhiana Denandra. (2017). Analisis Fungsi Dan Manfaat WTO Bagi Negara Berkembang (Khususnya
Indonesia). JIKH, 11(2), Hlm. 209.
12
Endra, A., Ricca, A., Andi Ardillah. (2020). Peran Association Of Southeast Asian Nations Dalam Pembentukan
Hukum Perdagangan Internasional Di Kawasan Asia Tenggara. Mimbar Keadilan, 13 (2). Hlm. 176.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perudang-undangan

• Agreement on Subsidies and Countervailing Measures 1995 (SCM) General


• Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
• Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia

Buku

• Bossche, Peter Van den. (2005). The Law and Policy of The World Trade
Organization. Cambridge University Press.
• Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada
,

Jurnal
• B, A. D. (2017). Analisis Fungsi Dan Manfaat WTO Bagi Negara Berkembang
(Khususnya Indonesia). JIKH, 11(2), 209.
• E, A. (2015). The Trade Facilitation Agreement: A New Hope for the World Trade
Organization. World Trade review, 4(4), 644.
• Erwin, S, A. M., & Fajri, M. (2018). Peran Serta Masyarakat Dalam Tindakan
Pengamanan (Safeguard) Terhadap Industri Dalam Negeri. Perspektif, 3(23), 194.
• F, N. M. (2019). Implementasi Prinsip MFN (Most Favored Nation Treatment) dan
NT (National Treatment) GATT dalam Pelaksanaan Kegiatan Kepariwisataan di
Provinsi Bali. Jurnal Yustitia, 13(1), 2
• K, W. R., S, I. K., D, F., Rampengan, & S, R. (2021). Penerapan Barriers to Trade
Terkait Perlindungan Public Health Perspektif Hukum Perdagangan Internasional.
Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 19(2), 85.
• K., Widya Rainnisa, S., Isna Kartika, D., Febriyanto, Rampengan, S., Rangga. (2021).
Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health Perspektif Hukum
Perdagangan Internasional. Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 19 (1).
Hal.87

Anda mungkin juga menyukai