Anda di halaman 1dari 27

Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa

Aldis Pristi Widari (110120150008)

A. Latar Belakang

Keberadaan World Trade Organization (WTO) sebagai suatu organisasi

internasional, memiliki peran yang penting dalam lalu lintas perdagangan

internasional, khususnya dalam meningkatkan pembangunan ekonomi dan

pengurangan kemiskinan. Lebih khusus keberadaan organisasi ini harus

memastikan bahwa terpenuhinya semua kebutuhan dan keuntungan atas

kesempatan kesejahteraan yang semakin meningkat dalam konteks sistem

perdagangan multilateral khususnya bagi negaranegara berkembang dimana

sebagian besar negara-negara anggota WTO berada dalam kategori ini.

Harapannya, setiap negara akan mendapatkan manfaat dari adanya perdagangan

internasional. Adapun yang menjadi tujuan dari proses interaksi ini pada

umumnya adalah agar masing-masing negara memiliki kesempatan untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri bagi negaranya.

B. Pembentukan WTO

Latar belakang berdirinya World Trade Organization (WTO) tidak terlepas

dari sejarah lahirnya ITO (dan GATT). Seperti telah umum diketahui, masyarakat

internasional seusai Perang Dunia II menyadari perlunya pembentukan suatu


organisasi internasional di bidang perdagangan. Tujuannya antara lain sebagai

forum guna membahas dan mengatur masalah perdagangan dan ketenagakerjaan

internasional.1

Namun upaya atau usulan yang dilontarkan oleh Amerika Serikat, setelah

mengalami beberapa tahun perundingan (1945-1948), ternyata Kongres Amerika

Serikat menolak menandatangani Piagam pendirian ITO. Kebetulan pada waktu

Piagam ITO dirancang di Konverensi Jenewa, pada waktu yang bersamaan

dirancang pula GATT.2

Dasar pemikiran penyusunan GATT ini adalah satu kesepakatan yang

memuat hasil-hasil negosiasi tarif dan klausul-klausul perlindungan (protektif)

guna mengatur komitmen tarif. GATT karenanya dirancang sebagai satu

persetujuan tambahan yang posisinya berada dibawah Piagam ITO. Tetapi pada

waktu itu GATT tidak dirancang menjadi satu organisasi.

Menyadari piagam ITO tidak akan diratifikasi oleh negara pelaku utama

perekonomian dunia, negara-negara mengambil inisiatif untuk memberlakukan

GATT melalui “Protocol of Provisional Application” (PPA) yang ditandatangani

oleh 22 anggota asli GATT pada akhir 1947. Sejak itulah GATT kemudian

diberlakukan.

Pada awalnya GATT mengkonsentrasikan negosiasi pengurangan tariff,

kemudian putaran Kennedy pertengahan tahun 1960an membahas persetujuan anti

dumping (anti dumping agreement), dan putaran Tokyo tahun 1970an merupakan
1
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar, Cetakan ke-5, Bandung :
CV. Keni Media, 2011, hlm. 91.
2
Ibid.
upaya terbesar dalam mengurangi hambatan perdagangan non tariff barriers dan

perbaikan sistem perdagangan. Putaran terakhir terbesar adalah putaran Uruguay

tahun 1986 hingga 1994.

Meskipun disadari bahwa GATT dari segi atau persyaratan satu organisasi

masih lemah, namun para perunding sewaktu mempersiapkan perundingan

Uruguay tidak membayangkan sama sekali untuk mendirikan satu organisasi

internasional yang sifatnya formal. Tidak adanya pemikiran ke arah itu mungkin

karena GATT itu sendiri telah berkembang menjadi semacam (quasi) organisasi.

Juga mungkin ada kekhawatiran bahwa rencana ke arah itu akan mengalami nasib

seperti ITO.3

Adalah pemerintah Kanada yang pertama-tama mengusulkan secara formal

pembentukan satu badan perdagangan dunia (WTO) pada Mei 1990. Usulan ini

disambut positif oleh Uni Eropa. Setelah melakukan beberapa kali perundingan,

maka disahkan pembentukan dari organisasi perdagangan dunia yang kita kenal

sebagai World Trade Organization (WTO).

WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995, oleh Marrakesh Agreement

Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement).4 Tujuan WTO

adalah meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja

yang luas (full-employment), memperluas produksi dan perdagangan serta

mamanfaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia.5

3
Ibid., hlm. 92.
4
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnadi, Pengantar Hukum
WTO (World Trade Organization), Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010, hlm. 3.
5
Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 93.
Sumber utama hukum WTO adalah WTO Agreement dan lampiran-

lampirannya. WTO Agreement berisi hanya 16 pasal dan menjelaskan secara

lengkap fungsi-fungsi WTO, perangkat-perangkatnya, keanggotaannya dan

prosedur pengambilan keputusan. Tetapi, dalam perjanjian singkat ini juga

terlampir sembilan belas perjanjian internasional yang merupakan satu kesatuan

dan menjadi bagian dari WTO Agreement.6

WTO Agreement bukanlah sumber hukum satu-satunya bagi hukum WTO.

Sumber hukum lainnya yang penting adalah kasus-kasus yang pernah diputus di

WTO melalui sistem penyelesaian sengketanya yang berkaitan dengan sengketa

perdagangan internasional dan khususnya laporan penyelesaian sengketa WTO

oleh panels dan Apellate Body WTO.7

Hukum dasar WTO dibagi dalam 5 kategori:8

1. Peraturan mengenai non-diskriminasi;

2. Peraturan mengenai akses pasar;

3. Peraturan mengenai perdagangan yang tidak adil;

4. Peraturan mengenai hubungan antara liberalisasi perdagangan nilai-nilai

serta kepentingan sosial lainnya; dan

5. Peraturan mengenai harmonisasi perangkat hukum nasional dalam bidang-

bidang khusus.

C. Prinsip-prinsip yang Berlaku di WTO

6
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnadi, Loc.Cit
7
Ibid., hlm. 5
8
Ibid., hlm. 3.
Sebagaimana diketahui bahwa pada prinsip WTO merupakan sarana untuk

mendorong terjadinya satu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini.

Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas

tersebut, WTO memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar WTO.

Prinsip-prinsip tersebut adalah :

a. Most Favored Nation

Most Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya

perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-

bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota

lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara

anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh

memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa

perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan

dengan tarif ataupun perdagangan.9

b. National Treatment

Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan

produk domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah

masuk ke pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui

9
Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional, Aspek Hukum Dari WTO, cetakan pertama,
Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2004,  hlm. 69
daerah pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus

diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.10

Unsur-unsur terpenting dalam Prinsip National Treatment adalah

sebagai berikut:11

1) Adanya kepentingan lebih dari satu Negara

2) Kepentingan tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu Negara.

3) Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik

terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara lain

yang berada di wilayahnya.

4) Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi

Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan kerugian bagi

Negara lain.

c. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif

Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi keantitatif yang

merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif

terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan

kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor,

pengawasan pembayaran produk – produk impor atau ekspor), pada

umumnya dilarang (Pasal IX) hal ini disebabkan karena praktik

demikian mengganggu praktik perdagangan yang normal.

d. Prinsip Perlindungan melalui Tarif

10
Syahmin, Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan pertama, Bandung:PT. Raja Grafindo
Persada, 2006, hlm. 47
11
Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011, hlm. 44.
Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi

terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea

masuk) dan tidak melalui upaya – upaya perdagangan lainnya (non-tarif

commercial measures). Perlindungan melalui tarif ini menunjukkan

dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih

memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Sebagai kebijakan untuk

mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini

masih dibolehkan dalam GATT. Negara – Negara GATT umumnya

banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industry dalam

negerinya untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan.

e. Prinsip Resiprositas

Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini

tampak pada pembukaan GATT dan berlaku dalam perundingan –

perundingan tarif yang didasarkan ata dasar timbal balik dan saling

menguntungkan kedua belah pihak.

f.  Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang

Sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT adalah negara-negara

sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan

ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965,

suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal (Pasal XXXVI-

XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT. Tiga pasal baru dalam bagian

tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri

membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang.


Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk

menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga

melarang negara-negara maju untuk membuat rintangan- rintangan baru

terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang. Negara-negara

industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan

dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan

rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara sedang

berkembang.

Pada waktu Putaran Tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan

mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih

menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang

berkembang dalam perdagangan dunia (‘enabling clause’). Keputusan

tersebut mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku

yang permanen dalam sistem perdagangan dunia. Pengakuan ini juga

merupakan dasar hukum bagi negara industri untuk memberikan GSP

(Generalized System of Preferences atau sistem preferensi umum)

kepada negara-negara sedang berkembang.

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di WTO

WTO Agreements mengatur begitu banyak regulasi yang berkaitan dengan

perdagangan internasional di bidang barang, jasa, dan aspek – aspek kekayaan

intelektual. Mengingat pentingnya dampak dari aturan – aturan tersebut baik


dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya, maka tidak mengejutkan apabila

anggota WTO tidak selalu setuju dengan interpretasi aplikasi dari beragam aturan

ini. Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan

perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau

mengambil kebijakan yang kemudian merugikan kepentingan negara lain.12 Selain

negara yang paling dirugikan atas kebijakan tersebut, negara ketiga yang tertarik

pada kasus tersebut dapat mengemukakan keinginannya untuk menjadi pihak

ketiga dan mendapat hak-hak tertentu selama berlangsungnya proses penyelesaian

sengketa.13

Penyelesaian sengketa WTO sendiri diatur dalam Understanding on Rules

and Procedures Governing the Settlement of Disputes atau lebih dikenal dengan

nama Dispute Settlement Understanding (DSU). Pengaturan tentang DSU ini

dipercayakan kepada sebuah badan yang disebut Dispute Settlement Body (DSB),

dimana perwakilan dari seluruh anggota WTO berpartisipasi. Sistem dari DSU

lewat DSB ini sangat bersifat desentralisasi, tidak dapat dilakukan secara ex-

officio atau diluar keanggotaan, karena tidak adanya otoritas yang diberikan

kepada entitas supra-nasional untuk mengajukan komplain kepada anggota WTO,

sehingga sengketa hanya diajukan berdasarkan inisiatif anggota WTO saja.14

Sistem penyelesaian sengketa dalam WTO telah menjadi satu alat yang

dibutuhkan dalam menyelesaikan sengketa perdagangan internasional yang terjadi

12
Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization, New
York : Cambridge University, 2005, hlm. 173
13
Ibid.
14
Petros Mavroidis et.al., The Law of The World Trade Organization (WTO) Documents,
Cases & Analysis, US : West Thomson Reuters, 2010, hlm. 880
diantara sesama anggota WTO. Semenjak timbulnya masalah mengenai proses

pelaksanaan keputusan atas sengketa yang terjadi berdasarkan pada sistem

sebelumnya yaitu GATT15, penyelesaiaan sengketa dalam WTO telah berkembang

menjadi prosedur adjudikasi dan dalam perkembangannya telah mewujudkan

sistem penyelesaian sengketa berdasarkan atas satu sistem struktural yang baku,

termasuk didalamnya prosedur-prosedur formal yang harus dipenuhi dan

pelaksanaan atas tiap keputusan yang diambil. Sistem penyelesaian sengketa

WTO berkembang sebagai wujud untuk mengakomodir kepentingan nasional

asing-masing negara anggota dalam rangka terwujudnya kepentingan masyarakat

internasional.

Sistem penyelesaian sengketa WTO telah berkembang sebagai satu alat

yang baku dalam penyelesaian sengketa dagang internasional yang muncul.

Perkembangan yang cukup dramatik dalam dunia transaksi perdagangan

internasional adalah dengan lebih diterapkan sistem alternatif penyelesaian

sengketa (alternative dispute resolution) dibandingkan sistem peradilan yang

umumnya dikenal masyarakat selama beberapa tahun terakhir. Sistem

penyelesaian sengketa seperti ini lebih dapat diterima dalam mencapai

penyelesaian sengketa yang efektif dan mengurangi biaya yang dikeluarkan

dibandingkan dengan sistem pengadilan pada umumnya dan secara langsung

menolak diterapkannya sistem penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada

umumnya.

15
HS Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di
Bidang Perdagangan, Jakarta : UI Press, 1996, hlm. 93-93.
Perkembangan terakhir dari sistem penyelesaian sengketa dalam GATT

adalah diterimanya WTO sejak 1 Januari 1995 yang melahirkan sistem

penyelesaian sengketa yang lebih komprehensif, legalistis, dan lebih memberikan

perlindungan kepada negara berkembang. Penyelesaian sengketa dalam WTO

lebih berpijak kepada rule-based approach daripada power-based approach

dimana prinsip terakhir lebih terlihat dalam sistem GATT. Sehingga dengan

demikian, tiap negara anggota dapat merasa nyaman dengan keberadaan mereka

dalam keanggotaan WTO itu sendiri.16

Untuk pertama kalinya dalam perkembangan sistem perdagangan

multilateral negara-negara berhasil menciptakan satu kesatuan dalam sistem

penyelesaian sengketa (overall unified dispute settlement) yang mencakup semua

bidang perjanjian WTO. Dengan sistem yang menyatu ini tidak ada lagi sistem

penyelesaian sengketa sendiri-sendiri yang diatur oleh masing-masing bidang

perjanjian. Disamping itu terhadap aturan dan prosedur penyelesaian sengketa

telah dilakukan penyempurnaan sehingga pelaksanaannya lebih efektif

dibandingkan dengan sistem dalam GATT 1947 yaitu dengan disahkannya

Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes

(dan untuk selanjutnya disingkat dengan DSU) yang merupakan prosedur

penyelesaian sengketa WTO sebagai perwujudan tekad negara-negara anggota

untuk menciptakan aturan yang lebih mengikat.17

Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung : PT Refika
16

Aditama, 2006, hlm. 116.


17
Ibid., hlm. 143.
Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa adalah menjaga keputusan

yang positif terhadap sengketa. Keputusan harus diterima oleh para pihak yang

bersengketa dan konsisten dengan ketentuan yang terdapat dalam covered

agreement. Selain itu, penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa harus

didasarkan atas niat baik dan bukan merupakan tindakan balasan terhadap adanya

kerugian yang ditimbulkan dari negara anggota lainnya.

Badan-badan pelaksana dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO

adalah sebagai berikut:

1. Dispute Settlement Body (DSB)

Dispute Settlement Body (DSB) merupakan badan yang dibentuk oleh WTO

Agreement dan berfungsi untuk melaksanakan peraturan-peraturan maupun

prosedur yang terdapat dalam WTO termasuk juga perjanjian terkait dengan

yang lainnya jika diatur khusus. Oleh karena itu, DSB memiliki wewenang

untuk membentuk Panel, menerima laporan Panel, dan juga laporan dari

badan baru yaitu Badan Banding (Appellate Body), mengawasi

implementasi putusan dan rekomendasi, dan menguasakan penangguhan

konsesi serta kewajiban-kewajiban lain dalam perjanjian yang terkait.18

2. Panel

Atas permintaan para pihak akan dibentuk sebuah Panel yang

keanggotannya terdiri dari tiga orang yang merupakan individu-individu

pemerintah dan/atau non-pemerintah yang cakap, pernah bertugas sebagai

18
Pasal 2 (1) DSU
utusan negara di WTO, atau mengajar atau menerbitkan buku tentang

hukum atau kebijakan internasional, juga pernah bertugas sebagai pejabat

perdagangan senior di negara anggota.19 Panelis akan menjalankan tugasnya

dalam kapasitas pribadi, bukan sebagai utusan pemerintah atau organisasi. 20

Fungsi Panel adalah membantu DSB dalam membuat rekomendasi atau

keputusan. Panel harus berkonsultasi secara teratur dengan pihak-pihak

yang bersengketa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk

mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.21

3. Badan Banding (Appellate Body)

Dispute Settlement Body mendirikan Badan Banding (Appellate Body)

permanen yang akan mengadili banding dari tingkat Panel. Badan ini terdiri

dari tujuh orang personil, dan tiga di antaranya akan bertugas dalam setiap

kasus.22 Badan ini terdiri dari orang-orang yang kemampuannya diakui, baik

di bidang hukum perdagangan internasional maupun persoalan- persoalan

yang diatur dalam perjanjian WTO pada umumnya, dan tidak berafilisasi

dengan pemerintah.23 Pengajuan banding terbatas pada persoalan hukum

yang terdapat dalam laporan Panel serta interpretasi yang dilakukan Panel.

Badan Banding berwenang untuk mempertahankan, mengoreksi, dan

mengubah temuan hukum serta kesimpulan Panel.24 Ketika Panel atau

Badan Banding menemukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan

19
Pasal 8 (1) DSU
20
Pasal 8 (9) DSU
21
Pasal 11 (1) DSU
22
Pasal 17 (1) DSU
23
Pasal 17 (3) DSU
24
Pasal 17 (3) DSU
Persetujuan WTO, maka Badan Banding akan merekomendasikan anggota

yang terkait untuk menyesuaikan tindakan tersebut dengan Persetujuan

WTO. Dan apabila DSB telah mensahkan suatu laporan Panel dan/atau

Badan Banding, maka rekomendasi yang dimuat tersebut mengikat secara

hukum.25

Untuk lebih memahami mengenai mekanisme penyelesaian sengketa dalam

WTO, dibawah ini akan dijelaskan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa

berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam DSU.

1. Konsultasi

Sebagai langkah awal, para pihak yang terlibat dalam sengketa dapat

melakukan konsultasi yang secara hukum tidak mengikat, lebih bersifat

negosiasi-diplomatis dalam rangka mencapai kesepakatan bersama. Dalam

hal ini, metode-metode yang bersifat tradisional seperti jasa-jasa baik,

konsiliasi dan mediasi dapat diterapkan. Pada tahap ini para negara anggota

yang terlibat dalam sengketa didorong untuk melaksanakan usaha dalam

mencapai penyelesaian yang memuaskan, yang sifatnya dirahasiakan

dengan tidak merugikan hak negara anggota lainnya dalam

pelaksanaannya.26 Sedangkan, jangka waktu dalam menjawab permintaan

adalah sepuluh hari.

Selanjutnya apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari pihak yang

meminta konsultasi belum memberikan jawaban dan dalam jangka waktu 30

(tiga puluh) hari belum melakukan konsultasi, maka anggota yang


25
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Op.Cit., hlm. 103
26
Pasal 5 DSU
mengajukan permohonan dapat meminta kepada DSB untuk dibentuk panel

agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur panel.

Tetapi ada pula penyelesaian sengketa melalui jasa baik (Good Office),

konsiliasi (consiliation) dan mediasi (mediation).27 Berkaitan dengan hal

tersebut, bahwa mekanisme jasa baik, konsiliasi maupun mediasi dapat

berjalan terus walaupun pihak yang mengajukan keluhan telah meminta

pembentukan panel.28

Apabila jasa baik, konsiliasi, maupun mediasi dilakukan dalam waktu 60

(enam puluh) hari sejak dimintanya konsultasi, pihak yang mengajukan

complaint harus mengijinkan berlalunya jangka waktu 60 (enam puluh) hari

tersebut, terhitung sejak permintaan konsultasi, sebelum dapat meminta

dibentuk panel.

Dalam kasus darurat, termasuk kasus yang menyangkut barang yang tidak

tahan lama, konsultasi dilakukan dalam waktu sepuluh hari sejak

dimintakan konsultasi dan panel dapat diminta 20 (dua puluh) hari

setelahnya.

2. Proses Panel

Panel berfungsi secara operasional apabila satu sengketa tidak dapat

diselesaikan melalui konsultasi setelah ada pengaduan kepada DSB.

Pembentukan panel hanya dapat dimintakan oleh salah satu pihak tanpa

27
Pasal 5 (1) DSU
28
Pasal 5 (5) DSU
persetujuan pihak lain, Dimana hal ini merupakan langkah maju dari praktek

GATT sebelumnya.29

Permintaan pembentukan panel tersebut harus dinyatakan secara tertulis

dengan menyebutkan alasannya, langkah-langkah yang telah diambil

terhadap masalah tersebut dan dasar hukum gugatannya. Bila tidak ada

jawaban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, pihak yang meminta

konsultasi dapat meminta pembentukan panel.30

Fungsi panel dalam penyelesaian sengketa adalah untuk membantu DSB

dalam melakukan kewajiban yang ditentukan oleh DSU dan covered

agreements, yaitu memberikan penilaian yang objektif terhadap masalah

yang diserahkannya untuk ditangani. Panel juga diminta untuk melakukan

konsultasi secara reguler dengan pihak yang bersengketa.31 Dalam DSU

ditekankan bahwa sidang panel bersifat rahasia.32 Hal ini untuk menjamin

kerahasiaan identitas para pihak yang bersengketa.

Laporan akhir Panel biasanya diberikan kepada pihak-pihak yang

bersengketa dalam waktu enam bulan. Pada prinsipnya, proses Panel tidak

boleh lewat dari sembilan bulan, namun pada prakteknya sering mencapai

dua belas bulan. Laporan akhir atau disebut dengan Panel Report berisi hal –

hal sebagai berikut:33

a. aspek prosedural dari sengketa;

b. aspek faktual dari sengketa;

29
Pasal 6 (1) DSU
30
Pasal 6 (2) DSU
31
Pasal 11 DSU
32
Pasal 14 (3) DSU
33
Peter van den Bossche, Op.Cit., hlm. 242
c. klaim dari para pihak (complainant, respondent, dan third parties);

d. rangkuman argumen dari para pihak;

e. tinjauan sementara;

f. temuan Panel; dan

g. kesimpulan Panel.

3. Banding

Pasal 17 (1) DSU memberikan pengaturan tentang pembentukan Appellate

Body untuk mendengar appeal atau bantahan terhadap Panel Report. DSB

membentuk Appellate Body sejak Februari 1995.34 Tidak seperti Panel,

Appellate Body adalah international tribunal yang bersifat permanen yang

beranggotakan tujuh orang sesuai dengan Pasal 17 (3) DSU. Sampai saat ini

anggota Appellate Body WTO adalah Mr. Ujal Singh Bhatia (India, ditunjuk

pada tahun 2011); Professor Peter van den Bossche (Belanda, ditunjuk pada

tahun 2009); Professor Seung Wha Chang (Korea, ditunjuk pada tahun

2012); Mr. Thomas R. Graham (AS, ditunjuk pada tahun 2011); Mr.

Ricardo Ramirez – Hernandez (Meksiko, ditunjuk pada tahun 2009);

Professor David Unterhalter (Afrika Selatan, ditunjuk pada tahun 2006); dan

Professor Yuejiao Zhang (Cina, ditunjuk pada tahun 2006).35

34
Dispute Settlement Body, Decision Establishing the Appellate Body, 10 February 1995,
WT/DSB/1, tertanggal 19 Juni 1995, lihat di
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c3s4p1_e.htm, diakses pada 4
November 2016.
35
World Trade Organization, Dispute Settlement : Members, Appellate Body Members,
lihat di http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/ab_members_descrp_e.htm, diakses pada 4
November 2016.
Mandat dari Appellate Body diatur dalam pasal 17 (13) DSU yang

menyatakan bahwa :

“The Appellate Body may uphold, modify or reverse the legal findings

and conclusions of the Panel.”

Kata Uphold mengandung makna bahwa Appellate Body setuju baik dengan

kesimpulan maupun reasoning yang dipakai Panel untuk mengambil

keputusan tersebut. Kata modify mengandung makna bahwa Appellate Body

setuju dengan kesimpulan yang diberikan oleh Panel namun tidak setuju

dengan reasoning yang dipakainya. Kata reverse mengandung makna bahwa

Appellate Body tidak setuju dengan kesimpulan yang diberikan oleh Panel.

Biasanya proses banding atau appeal ini membutuhkan waktu tidak

lebih dari 60 hari, dan batas maksimumnya 90 hari. 36 DSB harus menerima

atau menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari

30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus.

4. Pelaksanaan Putusan dan Rekomendasi

Implementasi putusan dan rekomendasi dapat dianggap sebagai masalah

yang sangat penting di dalam proses penyelesaian sengketa. Isu ini akan

menentukan kredibilitas WTO, termasuk efektivitas dari penyelesaian

sengketa WTO itu sendiri. DSB dalam jangka waktu 30 hari sejak laporan

tersebut dikeluarkan. Apabila jangka waktu ini dianggap tidak mungkin

dipenuhi, maka para pihak diberi jangka waktu yang lebih wajar

(reasonable period of time) untuk melaksanakannya.


36
Pasal 17 (5) DSU
Tindakan kompensasi (ganti rugi) atau penangguhan konsesi atau kewajiban

lainnya tersebut sifatnya adalah sementara. Apabila penangguhan ini

dimintakan, pihak lainnya dapat menegosiasikannya dalam jangka waktu

yang pantas. Namun, apabila dalam jangka waktu yang pantas ini tidak

tercapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat meminta arbitrase untuk

menyelesaikannya.

5. Arbitrase

Peran arbitrase hanyalah utuk menyelesaikan satu aspek atau satu bagian

saja dari sengketa. Arbitrase tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan pokok

sengketa. Arbitrase WTO hanya menyelesaikan masalah apakah putusan

atau rekomendasi panel telah ditaati dan dilaksanakan. Selain itu pula tidak

ada sifat kerahasiaan dalam arbitrase WTO. Para pihak disyaratkan untuk

memberitahu semua anggota mengenai adanya kesepakatan untuk

menyerahkan sengketa mereka ke arbitrase. Salah satu ciri dari arbitrase

internasional yang diakui oleh masyarakat internasional adalah sifat

kerahasiaannnya. Sifat ini tidak ada dalam arbitrase WTO.

E. Penyelesaian Sengketa Indonesia di WTO

Sebagai negara berkembang, Indonesia telah menunjukkan sikap positif

terhadap pengaturan perdagangan multilateral. Hal ini dibuktikan dengan

keanggotaan Indonesia dalam GATT sejak tanggal 24 Februari 1950, dan

kemudian menjadi original member WTO serta meratifikasi perjanjian


perdagangan multilateral tersebut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1994.37

Kasus Indonesia vs. Amerika

Pada tanggal 22 Juni 2009, Amerika Serikat menambahkan Family Smoking

Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCA) kedalam Federal Food, Drug,

and Cosmetic Act (FFDCA). FSPTCA ini adalah undang- undang yang secara

khusus mengatur mengenai produksi dan penjualan tembakau dibawah otoritas

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dengan tujuan untuk

melindungi kesehatan masyarakat, khususnya untuk mengurangi jumlah perokok

di Amerika Serikat. FSPTCA menjadi undang-undang di Amerika Serikat setelah

ditanda-tangani oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009 dan mulai efektif

berlaku 3 bulan setelah penandatanganan tersebut, yakni pada tanggal 22

September.38

Didalam Section 907 (a)(1)(A) FSPTCA ini disebutkan bahwa 3 bulan

setelah penandatanganan FSPTCA ini, maka rokok atau bagian/komponen dari

rokok, tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat menyebabkan kecanduan,

perasa, baik alami ataupun buatan (selain daripada tembakau biasa atau menthol),

herbal maupun rempah-rempah seperti, strawberry, anggur, jeruk, cengkeh/kretek,

kayu manis, nenas, vanilla, kelapa, ceri, cocoa, coklat, ataupun kopi, yang

37
Hata, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum Perdagangan Internasional dalam Sitem
GATT & WTO, Bandung : STHB, 1998, hlm. 241
38
WTO DSB, Indonesian first written submission, United States – Clove Ciggarate DS406,
hlm. 5.
memberikan rasa/aroma khas (characterized flavours) tersendiri terhadap produk

tembakau ataupun rokok tembakau.39

Akibat pemberlakuan Sec. 907 (a)(1)(A) FSPTCA ini, maka rokok yang

mempunyai rasa/aroma khas (characterized flavours) termasuk kedalamnya rokok

kretek (clove ciggarate) dilarang beredar di Amerika Serikat. Namun Undang-

Undang ini mengecualikan tembakau biasa (regular tobacco) dan menthol, yang

masih diperbolehkan beredar bebas di Amerika Serikat.

Indonesia sebagai pengekspor rokok kretek terbesar di Amerika Serikat

adalah pihak yang paling dirugikan terhadap pemberlakuan Sec. 907 (a)(1)(A)

FSPTCA. Indonesia menderita kerugian ekspor lebih dari 15.000.000 US $.40

Indonesia beranggapan bahwa Sec. 907 (a)(1)(A) FSPTCA adalah tindakan

diskriminasi mengingat baik rokok yang memiliki rasa/aroma khas, khususnya

rokok kretek merupakan produk sejenis (like products) dengan produk menthol

yang dikecualikan dalam Sec. 907 (a)(1)(A) FSPTCA. Dan rokok menthol ini

merupakan rokok hasil produksi dalam negerinya sendiri sehingga hal ini

merupakan tindakan menguntungkan negaranya sendiri. Indonesia yang

merupakan eksportir rokok keretek keberatan dengan hukum yang

memperlakukan rokok kretek secara diskriminasi daripada rokok menthol karena

dianggap Amerika Serikat melakukan kegiatan yang menguntungkan diri sendiri.

Selain itu Indonesia juga berpendapat bahwa Amerika Serikat tidak dapat

memberikan bukti ilmiah, bahwa rokok kretek lebih membahayakan kesehatan

dibandingkan dengan rokok menthol. 41 Tidak hanya itu, Indonesia juga menilai
39
United – States, FSPTCA, Sec. 907 (a)(1)(A)
40
Ibid.
41
Ibid.
bahwa dalam hal pemberlakuan Sec. 907 (a)(1)(A) FSPTCA ini, Amerika Serikat

banyak melalaikan kewajiban-kewajibannya, seperti kewajiban menjalankan

prosedur notifikasi, reasonable interval, seperti yang disyaratkan oleh Perjanjian

TBT.

Indonesia berpandangan bahwa Perjanjian TBT mewajibkan Amerika

Serikat untuk memastikan bahwa peraturan teknis yang tidak membatasi

perdagangan secara berlebihan dari yang diperlukan, sehingga menciptakan

hambatan yang tidak perlu untuk perdagangan internasional. Dalam hal ini,

Perjanjian TBT mensyaratkan Amerika Serikat mempertimbangkan informasi

ilmiah dan hal peraturan teknis mengenai produk rokok yang didiskriminasi

tersebut. Kewajiban yang sama ada di bawah Perjanjian WTO tentang Agreement

on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan GATT 1994.

Oleh karena itu, akhirnya Indonesia menggugat tindakan Amerika Serikat

tersebut karena bertentangan dengan aturan sebagai berikut.42

1. Article 2.1, Article 2.2, Article 2.5, Article 2.8, Article 2.9, Article 2.10,

Article 2.12, Article 12.3 dari Perjanjian TBT.

2. Article 2, Article 3, Article 5, Article 7 dari Perjanjian SPS.

3. Article III:4 dan Article XX (b) GATT 1994.

Sekalipun Amerika Serikat menyebutkan bahwa tindakan pelarangan

tersebut adalah tindakan dalam ruang lingkup Perjanjian SPS, maka Indonesia

menilai bahwa tindakan tersebut juga tidak sejalan dengan ketentuan yang

terdapat pada Perjanjian SPS.43


42
WTO DSB, Request for Establishment of a Panel by Indonesia (WT/DS406/5), United
States – Measures Affecting The Production and Sale of Clove Ciggarate DS406.
43
Ibid.
Indonesia yang berkeberatan dengan kebijakan Amerika Serikat yang tidak

sesuai dengan komitmennya sebagai anggota WTO, akhirnya pada 7 April 2010,

sesuai dengan Article 4 Understanding on Rules and Procedures Governing the

Settlement of Disputes WTO,44 meminta untuk dilakukan konsultasi dengan

Amerika Serikat. Kemudian konsultasi berhasil diadakan pada 13 Mei 2010,

namun tidak ada kesepakatan yang tercapai dari kedua belah pihak.45

Oleh karena konsultasi tidak mencapai kesepakatan, akhirnya pada tanggal 9

Juni 2010, Indonesia meminta pembentukan Panel oleh Dispute Settlement Body

(DSB) WTO. DSB WTO kemudian menetapkan susunan Panel yang terdiri tiga

orang yang menduduki anggota panel, yaitu Mr. Ronald Soborio dari Costa Rica

sebagai ketua, serta Mr. Ichiro Araki dari Jepang dan Mr. Hugo Cayrius dari

Uruguay sebagai anggota. Selain itu dipilih juga delapan negara, yaitu Brazil,

Kolombia, Republik Dominika, Uni Eropa, Guatemala, Meksiko, Norwegia, dan

Turki, dimana mereka mempergunakan hak mereka sebagai negara/pihak ketiga

(Third Parties).46 Substantive Meeting pertama dilaksanakan pada 13 dan 14

Desember 2010. Dimana pada hari kedua dihadiri oleh Negara pihak ketiga.

Substantive Meeting kedua dilaksanakan pada 15 Februari 2010.

Akhirnya pada 24 Juni 2011, Panel mengeluarkan laporan rekomendasi

kasus ini yang kemudian disampaikan kepada DSB WTO. Dalam hasil laporannya

yang dituangkan dalam Report of The Panel, maka DSB WTO memenangkan

rokok kretek Indonesia terhadap Amerika Serikat dan pada tanggal 2 September
44
WTO Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute,
Article 4
45
WTO DSB, Panel Report (WT/DS406/R), United States – Measures Affecting the
Production and Sale of Clove Ciggarate (DS406), hlm. 1.
46
WTO DSB, Executive Summary of The Third Party Submission (WT/DS406/R),
Measures Affecting The Production and Sale of Clove Ciggarate no. DS406, Annex B, hlm. B-1.
2011, DSB WTO telah memperkuat keputusan Panel yang memenangkan rokok

kretek Indonesia. Dan pada tanggal 5 Januari 2012, Amerika Serikat mengajukan

banding ke Badan Banding (Appellate Body) WTO. Akhirnya pada tanggal 4

April 2012, Badan Banding (Appellate Body) WTO memutuskan kembali

memperkuat keputusan Panel dan menyatakan Amerika Serikat melanggar

ketentuan yang terdapat di WTO dan kasus sengketa perdagangan rokok kretek

Indonesia kembali dimenangkan oleh WTO.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Hata, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum Perdagangan Internasional dalam

Sitem GATT & WTO, Bandung : STHB, 1998


Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung : PT

Refika Aditama, 2006

HS Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional

di Bidang Perdagangan, Jakarta : UI Press, 1996

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar, Cetakan ke-5,

Bandung : CV. Keni Media, 2011

Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, Jakarta:

Rajawali Pers, 2011

Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional, Aspek Hukum Dari WTO, cetakan

pertama, Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2004

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnadi, Pengantar

Hukum WTO (World Trade Organization), Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia, 2010

Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization,

New York : Cambridge University, 2005

Petros Mavroidis et.al., The Law of The World Trade Organization (WTO)

Documents, Cases & Analysis, US : West Thomson Reuters, 2010

Syahmin, Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan pertama, Bandung:PT. Raja

Grafindo Persada, 2006

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Dispute Settlement Understanding


C. JURNAL

WTO DSB, Executive Summary of The Third Party Submission (WT/DS406/R),

Measures Affecting The Production and Sale of Clove Ciggarate no. DS406,

Annex B

WTO DSB, Indonesian first written submission, United States – Clove Ciggarate

DS406

WTO DSB, Panel Report (WT/DS406/R), United States – Measures Affecting the

Production and Sale of Clove Ciggarate (DS406)

WTO DSB, Request for Establishment of a Panel by Indonesia (WT/DS406/5),

United States – Measures Affecting The Production and Sale of Clove

Ciggarate DS406.

D. INTERNET

Dispute Settlement Body, Decision Establishing the Appellate Body,

http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c3s4p1

_e.htm

World Trade Organization, Dispute Settlement : Members, Appellate Body

http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/ab_members_descrp_e.htm

Anda mungkin juga menyukai