Anda di halaman 1dari 9

Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (bahasa Inggris: General Agreement on

Tariffs and Trade atau GATT) adalah suatu perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan
internasional. Berdasarkan mukadimahnya, tujuan perjanjian ini adalah "pengurangan substansial
atas tarif dan hambatan perdagangan lainnya dan penghapusan preferensi, berdasarkan asas
timbal balik dan saling menguntungkan." Perjanjian ini dinegosiasikan selama Konferensi
Perdagangan dan Ketenagakerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan merupakan hasil dari
kegagalan negosiasi antarbangsa untuk menciptakan Organisasi Perdagangan Internasional
(International Trade Organization atau ITO). GATT ditandatangani oleh 23 negara di Jenewa,
Swiss, pada tanggal 30 Oktober 1947 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1948. GATT
berlaku hingga penandatanganan Perjanjian Putaran Uruguay oleh 123 negara di Marrakesh,
Maroko, pada tanggal 14 April 1994, yang menetapkan berdirinya Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization atau WTO) pada tanggal 1 Januari 1995.
Naskah asli GATT (GATT 1947) masih berlaku dalam kerangka kerja WTO, berdasarkan
perubahan GATT 1994.
Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa Inggris: World Trade Organization,
disingkat WTO) adalah sebuah organisasi internasional yang menaungi upaya untuk
meliberalisasi perdagangan. Organisasi ini menyediakan aturan-aturan dasar dalam perdagangan
internasional, menjadi wadah perundingan konsesi dan komitmen dagang bagi para anggotanya,
serta membantu anggota-anggotanya menyelesaikan sengketa dagang melalui mekanisme yang
mengikat secara hukum. Organisasi ini didirikan pada 1 Januari 1995 dengan tujuan untuk
mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya, yang diharapkan akan memajukan
ekonomi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
TRIMs disebut juga dengan perjanjian penanaman modal. Perjanjian ini mengakui bahwa
kebijakan penanaman modal suatunegara tertentu dapat membatasi atau bahkan merusak
perdagangan dunia. Oleh karena itu, ketentuan baru ini mensyaratkan para negara anggota GATT
agar tidak mempraktikkan perdagangan penanaman modal yang tidak sesuai dengan Pasal III
(klausul perlakuan nasional) dan Pasal XI (larangan pembatasan kuantitatif) GATT. Untuk
maksud itu, perjanjian ini akan dilampirkan dalam perjanjian GATT yang baru daftar-daftar yang
berisi tindakan yang digolongkan sebagai TRIMs yang tidak sehat. Perjanjian ini mensyaratkan
pula pemberitahuan wajib semua TRIMs yang tidak sehat tersebut dan pembatasannya. Jangka
waktu yang diberikan untuk itu adalah 2 tahun untuk negara maju, 5 tahun untuk negara sedang
berkembang, dan 7 tahun untuk negara-bnegara miskin. Di samping itu, perjanjian ini
membentuk pula suatu komisi TRIMs yang tugasnya, antara lain mengawasi pelaksanaan
perjanjian dan komitmen-komitmen negara anggota terhadap TRIMs. Indonesia sendiri di bidang
TRIMs perjanjian yang akan disepakati tidak mencakup msalah investasi seperti yang
dikehandaki negara maju, melainkan terbatas pada pada interprestasi lebih lanjut terhadap
ketentuan yang sudah ada dalam GATT. Dalam perjanjian yang akhirnya disetujui dalam
perjanjian Uruguay Round. Hal pokok yang menjadi hasil perjanjian di bidang TRIMs adalah
penekanan kembali tentang ketentuan GATT yang melarang adanya “local content requirement
dan trade balancing”
(TRIPS) Perjanjian ini mengakui adanya praktik-praktik Negara yang berbeda dalam
memberikan standard perlindungan dan pelaksanaan hak milik intelektual, kurangnya prinsip-
prinsip multilateral, ketentuan-ketentual serta aturan-aturan mengenai perdagangan barang
tiruan. Adanya perbedaan praktik ini telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan ekonomi
internasional. Ketentuan perjanjian mengenai bidang ini diperlukan untuk mengantisipasi
timbulnya ketegangan tersebut. Untuk itu perjanjian Uruguay menetapkan penerapan prinsip-
prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian hak milik yang relevan perjanjian mengenai
pelaksanaan atau penegakan hak-hak tersebut, penyelesaian sengketa multilateral dan peraturan
peralihannya. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam tiga bagian. Bagian pertama
menetapkan ketentuan umum dan prinsip dasarnya. Ketentuan dan prinsip tersebut berupa
komitmen perlakuan nasional yang memperlakukan warga negara lain dengan perlakuan yang
sama seperti kepada warga negaranya dalam hal perlindungan hak milik intelektual. Ketentuan
ini mengandung juga suatu klausul perlakuan yang sama terhadap semua warga negara.
Ketentuan demikian merupakan suatu hal yang beru dalam perjanjian hak milik intelektual
internasional. Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa perlakukan tersebut harus diberikan secara
langsung dan tanpa syarat kepada warga negara asing lain. Bagian kedua mengatur bentuk-
bentuk hak milik intelektual. Khusu mengenai hak cipta, para pihak diwajibklan untuk mematuhi
isi ketentuan-ketentuan Konvensi Berne (1971) bagi perlindungan karya-karya literatur seni.
Bagian ketiga mengatur kewajiban-kewajiban anggota pemerintah untuk memberikan prosedur-
prosedur dan upaya penanggulangan menurut hukum nasionalnya masing-masing. Tujuanya
adalah untuk menjamin agar milik intelektualnya dapt dilaksanakan secara efektif, baik
pemegang hak-hak oleh warga asing ataupun juga oleh warga negaranya. Prosedur ini
mengizinkan tindakan efektif terhadap pelanggaran hak milik intelektual. Tindakan efektif
tersebut harus adil dan jujur, dan tidak berkepanjangan yang menyebabkan keterlambatan atau
proses yang bertele-tele. Dalam perjanjian ini membentuk pula suatu Dewan Perdagangan Hak
Milik Intelektual ( Council for Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights ). Badan ini
bertugas memonitor pelaksanaan perjanjian dan penataanya oleh para pemerintah. Apabila
timbul sengketa dalam bidang ini, prosedur penyelesaian sengketanya juga berlangsung menurut
prosedur penyelesaian sengketa yang ada dalam GATT.

Asas-asas WTO
WTO memiliki banyak aturan yang rumit mengenai perdagangan barang dan jasa dan
perlindungan hak kekayaan intelektual.[70] Aspek-aspek dagang yang menjadi cakupan dari
hukum WTO sendiri bermacam-macam, contohnya adalah tarif, kuota, regulasi di tingkatan
nasional, tindakan yang diambil demi keamanan nasional, persyaratan
pabean,[70] subsidi,[71] dan dumping (praktik menurunkan harga barang ekspor di bawah harga
normal di negara pengekspor).[72] Secara umum, terdapat empat jenis aturan dasar yang bersifat
substansif dalam hukum WTO, yaitu aturan yang melarang diskriminasi, aturan mengenai akses
pasar, aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adil, serta aturan mengenai
pengecualian.[70]
Non-diskriminasi[sunting | sunting sumber]
Dalam hukum WTO, terdapat dua aturan utama yang melarang diskriminasi, yaitu "perlakuan
yang sama untuk semua anggota" (MFN) dan "perlakuan nasional". Berdasarkan aturan MFN,
apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk memberikan suatu perlakuan yang
menguntungkan atau mengistimewakan salah satu anggota, keuntungan atau keistimewaan
tersebut juga harus diberikan kepada semua anggota WTO tanpa terkecuali. Maka dari itu,
anggota WTO tidak boleh memilih-milih dalam memberikan konsesi dagang kepada salah satu
anggota lainnya. Sebagai contoh, apabila salah satu anggota WTO memutuskan untuk
memangkas tarif impor beras dari salah satu anggota, pemangkasan tarif beras tersebut juga
harus diberlakukan kepada semua anggota WTO.[73][74] Sementara itu, aturan "perlakuan
nasional" menitahkan bahwa anggota WTO harus memperlakukan produk impor sebagaimana
anggota tersebut memperlakukan produk sejenis di negaranya. Dalam kata lain, anggota WTO
tidak boleh mendiskriminasi produk asing setelah produk tersebut masuk ke dalam pasar
domestik. Sebagai contoh, apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk menghapuskan pajak
rokok buatan dalam negeri, penghapusan pajak tersebut juga harus diberlakukan untuk rokok-
rokok impor yang sudah memasuki pasar dalam negeri. Jika mereka hanya memungut pajak
tersebut untuk rokok impor, mereka telah melanggar aturan perlakuan nasional.[73][75]
Kedua aturan ini terkandung dalam GATT yang menyangkut barang dan GATS yang
menyangkut jasa. Namun, kedua perjanjian ini memiliki perbedaan besar dalam hal cakupan
penerapan. Aturan MFN dalam GATS berlaku untuk semua jasa secara umum, walaupun
anggota-anggota dapat membuat beberapa pengecualian yang terbatas cakupannya. Namun,
aturan mengenai perlakuan nasional hanya berlaku untuk anggota yang telah membuat komitmen
khusus terhadap sektor-sektor jasa tertentu atau terhadap salah satu dari empat cara untuk
memasok jasa (pasokan lintas batas, konsumsi luar negeri, kehadiran komersial, dan kehadiran
manusia alamiah atau natural person). Komitmen-komitmen ini dicantumkan dalam daftar
komitmen jasa setiap anggota. Oleh sebab itu, dalam membaca peraturan dalam GATS, daftar
komitmen jasa dari salah satu anggota yang sedang dikaji juga harus dipertimbangkan, dan
mereka tidak harus menerapkan aturan perlakuan nasional untuk sektor jasa atau cara memasok
yang belum diliberalisasi. Sementara itu, aturan perlakuan nasional dalam GATT berlaku secara
umum.
Aturan mengenai akses pasar
Negara-negara membutuhkan akses pasar agar perdagangan barang dan jasa dapat berjalan
lancar, tetapi akses pasar terhadap suatu negara seringkali dihambat oleh berbagai cara, baik itu
tarif maupun non-tarif.[77] Secara umum, terdapat empat jenis aturan WTO yang terkait dengan
akses pasar, yaitu peraturan tentang bea masuk, peraturan tentang bea dan pungutan-pungutan
keuangan lainnya, peraturan tentang pembatasan secara kuantitatif, serta peraturan
tentang hambatan non-tarif lainnya.
Pada dasarnya, pemungutan bea masuk itu tidak dilarang, tetapi tarif yang dipungut oleh suatu
negara tidak boleh melebihi batas maksimal yang ditetapkan dalam daftar konsesi masing-
masing.[b] Setiap anggota WTO memiliki daftar konsesinya sendiri kecuali untuk anggota yang
menjadi bagian dari suatu serikat pabean (contohnya adalah negara-negara anggota Uni
Eropa yang tidak memiliki daftar konsesi mereka sendiri, tetapi mereka mengikuti daftar konsesi
yang disusun oleh Uni Eropa). Daftar ini memuat "konsesi dagang", yaitu komitmen yang telah
diambil oleh suatu anggota untuk tidak mengangkat tarif mereka di atas angka yang telah
disepakati, atau dalam kata lain, mereka telah "mengikat" tarif mereka pada angka
tersebut.[c] Hukum WTO sendiri mengajak anggotanya untuk terus melakukan perundingan demi
pengurangan tarif yang menguntungkan semua pihak, dan hasil dari perundingan ini juga akan
dimasukkan ke dalam daftar konsesi anggota terkait.[78] Walaupun daftar konsesi menetapkan
tarif maksimal, batas tarif untuk berbagai produk seringkali lebih tinggi daripada bea masuk yang
sesungguhnya ditetapkan; dalam hal ini, Badan Banding dalam perkara Argentina–Textiles and
Apparel (1998) menyatakan bahwa anggota diperbolehkan mengenakan bea yang lebih rendah
daripada tarif maksimalnya.[79]
Sehubungan dengan "bea dan pungutan-pungutan lainnya", Badan Banding dalam perkara India–
Additional Import Duties telah mendefinisikan istilah ini sebagai "bea dan pungutan yang bukan
bea masuk biasa".[80] Misalnya, Panel dalam perkara Dominican Republic–Safeguard
Measures mendapati bahwa "tindakan pengamanan" yang dilakukan oleh petugas
pabean Republik Dominika merupakan "bea dan pungutan lainnya", karena kebijakan ini
bukanlah "bea masuk biasa".[81] "Tindakan pengamanan" (berdasarkan Pasal XIX GATT) adalah
penangguhan konsesi dagang untuk jangka waktu tertentu apabila terjadi lonjakan impor yang
tidak terduga sebelumnya sampai-sampai mengancam akan mengakibatkan kerugian serius
terhadap produsen dalam negeri,[82] dan tindakan pengamanan yang dipertentangkan dalam
perkara tersebut adalah penetapan bea masuk sementara sebesar 38% untuk impor kantong
plastik polipropilena.[83] Contoh lain yang dapat ditemui dalam perkara-perkara di Panel dan
Badan Banding adalah bea tambahan terhadap suatu barang yang sudah dikenakan bea masuk,
pembayaran jaminan keamanan untuk mengimpor barang, atau biaya pabean tanpa batasan
maksimal.[84] Pasal II:1(b) GATT sendiri menitahkan bahwa bea semacam ini tidak boleh
melebihi bea yang telah diberlakukan pada "tanggal perjanjian ini" atau bea yang diberlakukan
dalam undang-undang yang berlaku pada tanggal tersebut. Akibat ketidakjelasan istilah "tanggal
perjanjian ini", para anggota WTO telah bersepakat dalam Kesepahaman mengenai Penafsiran
Pasal II:1(b) GATT 1994 (bahasa Inggris: Understanding on the Interpretation of Article II:1(b)
of the GATT 1994) bahwa setiap anggota dalam hal ini berkewajiban untuk mencatat tarif
mengikat maksimal yang akan dikenakan untuk setiap bea atau pungutan lainnya dalam daftar
konsesi mereka.[85]
Hukum WTO sendiri tidak mengizinkan pembatasan kuantitatif terhadap barang. Oleh sebab itu,
secara umum anggota WTO tidak diperbolehkan melarang pengimporan atau pengeksporan
barang tertentu, dan mereka juga tidak dapat memberlakukan kuota terhadap barang. Untuk
perdagangan jasa, aturan ini hanya berlaku untuk sektor jasa yang telah diliberalisasi oleh
anggota tersebut.[78] Sementara itu, peraturan yang keempat merupakan sebuah kategori dengan
cakupan yang luas, contohnya adalah kurangnya transparansi hukum dagang, praktik
perdagangan yang tidak adil, prosedur pabean, buruknya perlindungan hak kekayaan intelektual,
tindakan sanitari dan fitosanitari, atau keberadaan hambatan teknis.[86] Aturan mengenai
perlindungan hak kekayaan intelektual, tindakan sanitari dan fitosanitari, dan hambatan teknis
diatur oleh perjanjiannya sendiri.[87] Misalnya, regulasi teknis yang diberlakukan oleh suatu
negara harus mematuhi asas MFN, dan anggota yang memberlakukan regulasi ini harus
memastikan agar tidak timbul hambatan perdagangan yang tidak diperlukan.[88]
Aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adil[sunting | sunting sumber]
Hukum WTO memiliki aturan-aturan khusus mengenai praktik-praktik perdagangan tertentu
yang dianggap tidak adil, yaitu subsidi dan dumping. Subsidi diatur oleh Pasal XVI GATT dan
juga Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (bahasa Inggris: Agreement on Subsidies
and Countervailing Measures, disingkat Perjanjian SCM).[89] Menurut Perjanjian SCM, subsidi
adalah kontribusi keuangan dari pemerintah atau badan publik, atau bantuan pendapatan atau
harga dalam bentuk apapun sesuai dengan Pasal XVI GATT, yang memberikan
keuntungan.[90] Hukum WTO melarang beberapa jenis subsidi, yaitu subsidi ekspor
dan substitusi impor.[91] Sebagian besar dari jenis subsidi lainnya tidak dilarang, tetapi subsidi-
subsidi tersebut tergolong sebagai "subsidi yang dapat ditindak" (actionable), yaitu subsidi yang
dapat ditentang oleh anggota WTO apabila subsidi tersebut menimbulkan "dampak-dampak
merugikan" (adverse effects) terhadap kepentingan anggota tersebut. Subsidi-subsidi tersebut
meliputi subsidi yang mengakibatkan kerugian terhadap industri domestik negara lain yang
menghasilkan produk sejenis, subsidi yang menyebabkan penghapusan atau pengurangan
terhadap keuntungan yang diperoleh secara langsung ataupun tidak langsung dari GATT 1994,
serta subsidi yang menyebabkan kerugian serius.[d][92] Jika anggota yang memberikan subsidi
semacam itu menolak mencabutnya atau tidak mau mengambil langkah untuk menghilangkan
dampaknya yang merugikan, anggota lain yang dirugikan dapat mengambil tindakan balasan
yang sebanding dengan dampak dari subsidi tersebut.[89] Di Perjanjian SCM sendiri sebenarnya
masih ada jenis subsidi ketiga, yaitu subsidi yang tidak dapat ditindak. Menurut Pasal 8.2
Perjanjian SCM, subsidi-subsidi tersebut meliputi subsidi lingkungan hidup, subsidi penelitian,
dan subsidi untuk pembangunan daerah tertinggal. Namun, sesuai dengan Pasal 31 Perjanjian
SCM, subsidi ini hanya berlaku lima tahun setelah Perjanjian WTO secara keseluruhan mulai
berlaku. Akibatnya, aturan mengenai subsidi yang tidak dapat ditindak hanya berlaku hingga
tanggal 31 Desember 1999, dan semenjak itu subsidi-subsidi tersebut tergolong sebagai subsidi
yang dapat ditindak.[93]
Sementara itu, dumping adalah praktik penjualan produk di pasar negara lain dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang seharusnya di dalam negeri. Secara umum, dumping tidak
dilarang oleh hukum WTO, tetapi Pasal VI GATT dan Perjanjian Anti-Dumping mengizinkan
anggota WTO untuk memungut bea anti-dumping apabila praktik dumping tersebut
mengakibatkan atau mengancam akan mengakibatkan kerugian material terhadap produk sejenis
yang diproduksi oleh anggota tersebut.[94]
Pengecualian[sunting | sunting sumber]
Upaya untuk meliberalisasi perdagangan dapat bertabrakan dengan kepentingan masyarakat,
contohnya adalah pelestarian lingkungan hidup atau kepentingan ekonomi lainnya. Maka dari
itu, hukum WTO memiliki pasal-pasal "pengecualian" yang membenarkan penyimpangan dari
aturan-aturan dasar WTO dalam keadaan tertentu demi kepentingan masyarakat. Pengecualian
secara umum terkandung dalam Pasal XX GATT dan XIV GATS, contohnya adalah
perlindungan moral masyarakat atau perlindungan kehidupan manusia, hewan, atau tumbuhan.
Kepentingan untuk melindungi keamanan nasional juga dapat ditemui dalam Pasal XXI GATT
dan Pasal XIV bis GATS. Sementara itu, Pasal XII dan XIX GATT serta Pasal X dan XII GATS
mencantumkan kepentingan-kepentingan ekonomi, misalnya perlindungan industri dalam negeri
dari kerugian serius yang diakibatkan oleh peningkatan impor secara tajam dan tak terduga.[95]
Sehubungan dengan pengecualian umum yang terkandung dalam GATT dan GATS, anggota
WTO biasanya dapat melewati langkah pertama untuk membenarkan kebijakan tersebut, yaitu
pembuktian bahwa kebijakan tersebut benar-benar dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
terkait. Sebagai contoh, sehubungan dengan Pasal XIV GATS, Panel dalam perkara US–
Gambling menerima argumen dari Amerika Serikat bahwa kebijakan yang membatasi judi dapat
dibenarkan untuk melindungi moral masyarakat, dan "moral masyarakat" sendiri didefinisikan
oleh Panel sebagai "standar tindakan benar dan salah yang dipelihara oleh atau atas perantara
suatu komunitas atau bangsa." Badan Banding sepakat dengan keputusan ini.[96][97] Namun,
upaya untuk memakai Pasal XX GATT dan Pasal XIV GATS acap kali kandas akibat
keberadaan chapeau (mukadimah) dalam kedua pasal tersebut. Chapeau ini menyatakan bahwa
tindakan yang diambil oleh anggota WTO untuk melindungi kepentingan tertentu tidak
diperbolehkan apabila tindakan tersebut tergolong sebagai diskriminasi yang sembarangan atau
tidak dapat dibenarkan, atau jika tindakan tersebut merupakan kedok untuk membatasi
perdagangan internasional. Fungsi dari chapeau ini adalah untuk menghindari penyalahgunaan,
tetapi kenyataannya chapeau ini malah menggagalkan banyak upaya untuk membenarkan
tindakan perlindungan.[98][99] Contohnya, dalam perkara US–Gambling, pada akhirnya Amerika
Serikat dinilai telah melanggar hukum WTO karena mereka mengizinkan jasa taruhan balap
kuda yang disediakan oleh beberapa perusahaan Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat
dianggap telah berlaku diskriminatif. Sementara itu, dalam perkara US–Shrimp, tindakan
perlindungan terhadap penyu sebagai sumber daya alam yang dapat habis (sesuai dengan Pasal
XX(g) GATT)[e] juga ditolak karena dinilai bersifat diskriminatif.[98]
Hukum WTO juga menyediakan pengecualian dalam bentuk perjanjian dagang regional, yaitu
perjanjian yang ditetapkan oleh negara-negara tertentu untuk semakin memperkuat upaya
integrasi ekonomi. Contohnya adalah Kawasan Perdagangan Bebas Perbara, Perjanjian
Perdagangan Bebas Eropa Tengah, dan Mercosur di Amerika Selatan. Dalam ranah WTO,
"perjanjian dagang regional" juga dapat bersifat bilateral, contohnya adalah Perjanjian
Perdagangan Bebas Amerika Serikat-Kolombia atau Perjanjian Perdagangan Bebas Uni Eropa-
Korea Selatan.[100] Pada dasarnya perjanjian-perjanjian semacam ini menjadi pengecualian bagi
asas MFN, karena negara yang tergabung dalam perjanjian perdagangan bebas seperti ini
memberikan keuntungan tertentu kepada mitra dagangnya, tetapi tidak kepada anggota WTO
yang lain.[101] Pasal XXIV GATT dan Pasal V GATS sama-sama mengizinkan penetapan
perjanjian dagang regional yang mendirikan serikat pabean atau kawasan perdagangan
bebas.[102] Selain itu, pada tanggal 28 November 1979, negara anggota GATT mengeluarkan
sebuah keputusan mengenai Enabling Clause yang mengizinkan Perlakuan Khusus dan Berbeda
(Special and Differential Treatment) untuk negara berkembang. Enabling Clause ini kini
menjadi bagian dari GATT 1994.[103] Salah satu contohnya adalah perlakuan yang lebih
menguntungkan bagi negara berkembang walaupun hal ini menyimpang dari asas MFN,
pemberian landasan hukum kepada negara berkembang untuk membentuk "perjanjian dagang
preferensial" sendiri, serta pemberian preferensi dagang tambahan kepada negara
terbelakang.[f][104] Dalam kenyataannya, saat ini terdapat sangat banyak perjanjian dagang di
tingkat regional, sampai-sampai Laporan Sutherland pada tahun 2004 mengatakan:
Walaupun begitu, MFN masih tetap menjadi kewajiban yang harus dijalankan oleh semua
anggota WTO.

Penyelesaian sengketa

WTO memiliki sistem penyelesaian sengketa yang bertindak layaknya pengadilan dagang
internasional.[107] Sistem penyelesaian sengketa ini memiliki yurisdiksi wajib (compulsory
jurisdiction), atau dalam kata lain anggota WTO harus menerima yurisdiksi sistem
tersebut.[108] Yurisdiksinya juga bersifat eksklusif dalam artian anggota yang ingin menuntut
pelanggaran kewajiban hukum WTO yang dilakukan anggota lain harus membawa perkara ini ke
sistem penyelesaian sengketa di WTO.[109] Selain itu, putusan yang dikeluarkan oleh sistem
penyelesaian sengketa ini mengikat secara hukum.[107] Tujuan dari sistem ini sendiri ditetapkan
oleh Pasal 3.2 DSU, yaitu untuk "memberikan kepastian dan prediktabilitas" terhadap sistem
perdagangan multilateral, sehingga badan yang menyelesaikan sengketa akan mengeluarkan
putusan yang sama untuk isu hukum yang sama kecuali jika ada alasan yang kuat.[110] Selain itu,
sistem ini juga didirikan untuk mempertahankan hak dan kewajiban anggota sesuai dengan yang
ditetapkan oleh perjanjian-perjanjian WTO. Maka dari itu, seperti yang tertulis secara gamblang
dalam Pasal 3.2 DSU, badan yang menyelesaikan sengketa tidak boleh mengeluarkan putusan
yang menambah ataupun mengurangi hak dan kewajiban anggota. Salah satu dampaknya adalah
penolakan penggunaan perjanjian di luar WTO sebagai landasan hukum, karena tindakan seperti
itu akan "menambah atau mengurangi" hak dan kewajiban anggota.
Sistem ini sendiri memiliki dua macam lembaga, yaitu lembaga politik berupa Badan
Penyelesaian Sengketa dan lembaga kehakiman seperti Panel dan Badan Banding (bahasa
Inggris: Appellate Body). Badan Penyelesaian Sengketa pada dasarnya adalah sesi khusus di
Dewan Umum WTO. Badan ini terdiri dari para diplomat yang mewakili semua anggota WTO,
dan Pasal 2.1 DSU menyatakan bahwa fungsi dari badan ini adalah untuk menjalankan sistem
penyelesaian sengketa, termasuk dengan mendirikan panel, mengesahkan laporan panel dan
Badan Banding, mengawasi pemberlakuan isi putusan, serta mengizinkan pengambilan tindakan
balasan terhadap anggota yang terbukti melanggar hukum WTO.[112] Badan ini juga dapat
mengangkat anggota Badan Banding dan menetapkan aturan perilaku dalam sistem penyelesaian
sengketa. Dalam mengambil beberapa keputusan penting (seperti pembentukan Panel, penetapan
laporan Panel dan Badan Banding, dan pemberian izin untuk menangguhkan konsesi dagang),
Badan Penyelesaian Sengketa memiliki sistem "konsensus terbalik": keputusan akan diambil
kecuali jika para anggota WTO telah mencapai konsensus untuk tidak mengambil keputusan
tersebut.[113]
Untuk lembaga kehakimannya, Panel berperan seperti pengadilan tingkat pertama. Namun,
lembaga ini bukanlah sebuah pengadilan permanen, tetapi merupakan sebuah lembaga ad
hoc yang dibentuk oleh Badan Penyelesaian Sengketa untuk sengketa tertentu. Panel akan
dibubarkan setelah sengketanya selesai.[114] Untuk memulai perkara di sistem penyelesaian
sengketa WTO, anggota yang menuntut harus meminta konsultasi dengan anggota lain terlebih
dahulu. Anggota terkait harus membalas permintaan ini dalam waktu sepuluh hari dan juga harus
berunding dengan iktikad baik dalam waktu tiga puluh hari setelah permintaan tersebut resmi
dilayangkan. Setelah itu, pihak yang menuntut baru dapat melayangkan permintaan resmi untuk
mendirikan sebuah Panel kepada Badan Penyelesaian Sengketa.[115] Permintaan ini berfungsi
untuk menentukan cakupan sengketa dan yurisdiksi panel, serta untuk memberitahu anggota
yang dipermasalahkan dan anggota lain mengenai perkara tersebut. Permintaan ini harus
disampaikan dalam bentuk tulisan.[114] Panel biasanya terdiri dari tiga orang, tetapi pihak yang
bersengketa dapat memutuskan dalam waktu sepuluh hari setelah pembentukan Panel agar
jumlah anggotanya ditambah menjadi lima.[116] Sekretariat WTO mengajukan nama-nama orang
yang akan menjadi anggota Panel, dan pihak yang bertikai tidak dapat menentang pencalonan
mereka kecuali jika ada "alasan yang mendesak" (sesuai dengan Pasal 8.6 DSU).[117] Pada
praktiknya, proses pengangkatan anggota Panel merupakan proses yang panjang dan sulit, dan
jika tidak tercapai kesepakatan dalam dua puluh hari, salah satu pihak dapat meminta kepada
Direktur Jenderal WTO untuk menentukan anggota Panel. Dalam kenyataanya, Panel yang
anggotanya ditunjuk oleh Direktur Jenderal WTO mencapai 92% dari seluruh Panel pada 2014,
dan 62,5% pada 2015.[118] Berdasarkan Pasal 11 DSU, tugas Panel adalah untuk meninjau
perkara secara objektif.[119] Setelah Panel mengeluarkan putusan, laporannya akan disahkan oleh
Badan Penyelesaian Sengketa dalam waktu 60 hari setelah laporan tersebut dibagikan kepada
semua anggota. Keputusan untuk mengesahkan laporan diambil berdasarkan sistem konsensus
terbalik.[120]
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara merasa tidak puas dengan putusan Panel, mereka
dapat memohon peninjauan dari Badan Banding. Tidak seperti Panel, Badan Banding merupakan
sebuah lembaga yang terus berdiri, dan lembaga ini sendiri dibentuk pada Februari
1995.[121] Lembaga ini terdiri dari tujuh anggota yang merupakan pakar hukum, perdagangan
internasional, dan subjek yang dibahas dalam perjanjian-perjanjian WTO. Mereka bertindak
secara independen dari pemerintah negaranya masing-masing, dan Badan Penyelesaian Sengketa
dapat mengangkat anggota Badan Banding untuk masa jabatan selama empat tahun. Masing-
masing boleh diangkat satu kali lagi.[122] Menurut Pasal 17.12 DSU, tugas Badan Banding adalah
untuk mempertimbangkan permasalahan yang dibawakan selama prosedur banding, dan Pasal
17.13 DSU juga menegaskan bahwa Badan Banding berwenang mengubah, menegakkan, atau
membatalkan putusan Panel.[123]
Setelah Badan Banding mengeluarkan putusannya, laporannya juga harus disahkan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa dalam waktu 30 hari setelah laporan tersebut dibagikan kepada anggota
WTO. Pengambilan keputusan ini juga memakai sistem konsensus terbalik.[124] Setelah itu,
sengketa terkait akan memasuki tahap implementasi dan penegakan. Dalam waktu 30 hari
setelah laporan Panel atau Badan Banding disahkan, pihak yang didapati telah melanggar hukum
WTO harus memberitahukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa bagaimana mereka akan
mengimplementasikan putusan badan tersebut.[125] Jika anggota terkait tidak dapat langsung
mematuhi putusan Panel atau Badan Banding, mereka diberi tenggat waktu yang "masuk akal"
untuk mengimplementasikan putusan tersebut. Menurut Pasal 21.3 DSU, "tenggat waktu yang
masuk akal" adalah tenggat waktu yang diusulkan oleh anggota terkait yang disetujui oleh Badan
Penyelesaian Sengketa, atau tenggat waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam
sengketa dalam waktu 45 hari setelah putusan Panel atau Badan Banding disahkan, atau tenggat
waktu yang ditentukan melalui prosedur arbitrase dalam waktu 90 hari setelah penetapan putusan
Panel atau Badan Banding.[126] Sebelum tenggat waktu ini habis, pihak yang bersengketa
mungkin saja akan berselisih pandang mengenai tindakan implementasi yang patut diambil atau
yang sejalan dengan hukum WTO, sehingga Pasal 21.5 DSU menyediakan prosedur khusus
untuk menyelesaikan perselisihan ini dengan meminta peninjauan dari Panel yang dibentuk pada
permulaan sengketa.[127] Jika pihak yang telah melanggar hukum WTO menolak untuk
mengimplementasikan putusan Panel atau Badan Banding atau tidak mengimplementasikannya
dengan benar dalam tenggat waktu yang dianggap masuk akal, pihak yang dirugikan dapat
berunding dengan pihak yang melanggar untuk mendapatkan kompensasi. Jika kompensasi tidak
dapat diperoleh, pihak yang dirugikan dapat meminta izin dari Badan Penyelesaian Sengketa
untuk mengambil tindakan balasan, contohnya dengan menangguhkan konsesi dari pihak yang
dirugikan kepada pihak yang merugikan.

Kritik
Berkat GATT dan WTO, tarif dan hambatan-hambatan perdagangan lainnya telah dikurangi
secara signifikan. Namun, janji bahwa perdagangan bebas akan melejitkan pertumbuhan
ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan rakyat telah
dipertanyakan.[129] Sebagai contoh, El Salvador pada awal dasawarsa 1990-an menghapuskan
semua hambatan kuantitatif terhadap impor dan juga memotong tarifnya. Namun, pertumbuhan
ekonomi negara ini masih tetap lemah. Sementara itu, Vietnam baru mulai mereformasi
ekonominya pada akhir dasawarsa 1980-an dan negara ini tidak terburu-buru untuk bergabung
dengan WTO, tetapi malah memutuskan untuk mengikuti model reformasi ekonomi
Tiongkok dengan melakukan liberalisasi secara perlahan. Walaupun ada faktor lain yang
memengaruhi performa ekonomi kedua negara ini, Vietnam malah berhasil melejitkan
pertumbuhan ekonominya dan menekan angka kemiskinan tanpa langsung menghapuskan
hambatan perdagangan secara substansial.[130][131] Ekonom Ha-Joon Chang sendiri berpendapat
bahwa terdapat sebuah "paradoks" dalam keyakinan neoliberal mengenai perdagangan bebas,
karena pertumbuhan ekonomi negara berkembang lebih tinggi pada periode 1960-1980
dibandingkan dengan periode 1980-2000 meskipun kebijakan dagangnya jauh lebih liberal
daripada sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hasil penelitian yang menunjukkan bahwa negara
baru akan aktif mengurangi hambatan perdagangan setelah menjadi negara kaya. Dari hasil
penelitian ini, para pengkritik WTO berpendapat bahwa liberalisasi perdagangan tidak menjamin
pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.[132]
Para pengkritik WTO juga mengemukakan pandangan bahwa keuntungan yang diperoleh dari
perdagangan bebas tidak terbagi secara merata. Kritik ini biasanya ditopang dengan data yang
menunjukkan bahwa jurang antara yang kaya dan miskin terus melebar, terutama di Republik
Rakyat Tiongkok dan India yang semakin bertambah ketimpangan ekonominya meskipun
pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.[133] Selain itu, pendekatan WTO yang ingin mengurangi
hambatan perdagangan dapat merugikan negara berkembang. Dengan dihapuskannya tarif, suatu
negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya.[134] Liberalisasi perdagangan yang
terlalu dini juga ditakutkan akan memerangkap negara berkembang di sektor primer yang tidak
membutuhkan tenaga kerja yang terampil.[135] Saat negara berkembang ingin memajukan
ekonominya dengan cara industrialisasi, industri yang baru lahir tidak bisa serta merta langsung
meroket begitu saja, sehingga sulit bersaing dengan negara lain yang industrinya lebih maju.
Konon ekonom terkemuka Adam Smith pernah memberikan nasihat kepada pemerintah Amerika
Serikat yang baru merdeka saat itu agar mereka fokus pada sektor pertanian daripada mencoba
menyaingi Eropa yang industrinya lebih maju, tetapi Amerika Serikat tidak menggubrisnya dan
malah memasang tarif yang tinggi untuk melindungi produsen Amerika. Setelah itu barulah
Amerika Serikat menjadi salah satu negara dengan industri terkuat di dunia.[136] Hal yang sama
juga berlaku untuk Macan Asia Timur, dan bahkan muncul dugaan bahwa jika Korea
Selatan menghapuskan tarifnya sebelum ekonomi mereka tumbuh pesat, kemungkinan besar saat
ini negara tersebut hanya akan menjadi negara miskin penghasil beras.[137]
WTO turut digempur kritikan bahwa lembaga tersebut tidak demokratis. Pertama-tama, aturan
WTO membatasi kemampuan negara untuk mengatur ekonominya, dan hal ini menyulitkan
upaya negara untuk menegakkan keinginan rakyat. Selain itu, proses pengambilan keputusan di
lembaga WTO dianggap kurang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, padahal keputusan
yang diambil di lembaga tersebut akan berdampak terhadap penghidupan banyak
orang.[138] Ditambah lagi proses perundingan di WTO seringkali dilakukan secara rahasia oleh
kelompok-kelompok dengan kepentingan ekonomi tertentu, dan rakyat sendiri kurang
diinformasikan soal kesepakatan-kesepakatan tersebut.[139] Akibatnya, aturan-aturan WTO pun
didominasi oleh kepentingan dagang, dan kepentingan lainnya (seperti hak asasi manusia, hak
buruh, dan pelestarian lingkungan hidup) cenderung dikesampingkan dan juga tidak terwakilkan
dalam proses pengambilan keputusannya.[140] Selain itu, negara-negara maju memiliki kekuatan
untuk mendominasi proses perundingan di WTO. Walaupun keputusan diambil lewat konsensus,
negara-negara kecil sulit dalam menantang negara-negara maju apabila terdapat ketidaksetujuan.
Oleh sebab itu, negara-negara kecil pun sulit untuk mendapatkan perjanjian yang adil untuk
kepentingan mereka.[141] Hal ini semakin diperparah dengan kebiasaan perundingan di GATT
yang tidak selalu melibatkan semuanya, contohnya keberadaan "ruang hijau" yang hanya
melibatkan anggota-anggota yang diundang,[142] walaupun pakar hukum WTO Peter Van den
Bossche membantah kritikan bahwa WTO adalah "klub orang-orang kaya" karena saat ini
negara-negara berkembang menjadi semakin terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan
persetujuan dari mereka sangat diperlukan demi kemulusan prosesnya.[143] Selain itu, dalam
proses penyelesaian sengketa, negara maju lebih unggul daripada negara miskin dalam memulai
sengketa dan juga dalam menegakkan putusan Panel atau Badan Banding. Sengketa di WTO
memakan biaya yang besar dan membutuhkan tenaga-tenaga ahli. Kalaupun ada negara kecil
yang berhasil memenangkan sengketa, tindakan balasan yang dapat mereka ambil tidak akan
terlalu berdampak terhadap negara maju yang ekonominya jauh lebih besar, dan kadang negara
maju bahkan dapat mengabaikan putusan yang tidak mereka sukai.[144]
Ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang terlihat jelas dalam sektor pertanian.
Hukum WTO menuai kritikan pedas karena Perjanjian tentang Pertanian mengizinkan negara-
negara maju untuk mempertahankan subsidi pertanian yang sangat merugikan negara-negara
berkembang (contohnya adalah Kebijakan Pertanian Bersama di Uni Eropa). Akibat subsidi
tersebut, negara-negara ini dapat menjual hasil yang berlebih ke pasar dunia dengan harga yang
jauh lebih rendah, dan pada saat yang sama mereka menuntut agar negara-negara berkembang
membuka pasar mereka. Alhasil para petani di negara-negara berkembang tidak dapat bersaing
dengan produk pertanian negara-negara maju.[145] Walaupun anggota WTO sudah sepakat untuk
menghapuskan subsidi ekspor pertanian, negara-negara maju masih mempertahankan subsidi dan
melindungi sektor pertanian mereka dengan hambatan-hambatan perdagangan, dan praktik ini
menghalangi perkembangan industri pertanian di negara-negara berkembang. Pada saat yang
sama, jika semua subsidi pertanian langsung dihapuskan, harga pangan bisa melejit, dan hal ini
juga akan merugikan rakyat dan mengancam ketersediaan pangan. Maka dari itu, pakar hukum
yang mengkritik WTO dari sudut pandang hak asasi manusia, Sarah Joseph, menyarankan agar
subsidi ini dihapuskan secara bertahap agar pasar dapat menyesuaikan dengan perubahan yang
terjadi.
Dumping adalah politik dagang yang menetapkan harga jual di luar negeri lebih rendah
dari harga normal. Tujuan dumping adalah untuk meningkatkan pangsa pasar di luar negeri
dengan mematikan persaingan. Istilah ini memiliki konotasi negatif karena pendukung
perdagangan bebas menganggap "dumping" (secara harfiah berarti "pembuangan" dalam bahasa
Indonesia) sebagai salah satu bentuk persaingan yang tidak sehat.
Menurut Pasal VI Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT), tindakan dumping tidak
dilarang kecuali jika tindakan tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri
yang memproduksi barang sejenis, mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam
negeri yang memproduksi barang sejenis, atau menghalangi pengembangan industri barang
sejenis di dalam negeri.[1] Pasal VI GATT juga menjabarkan tiga metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui harga normal suatu produk. Cara yang paling utama adalah dengan melihat
harga di pasar domestik pengekspor. Jika metode ini tidak dapat digunakan, terdapat dua cara
lain, yaitu dengan melihat harga yang dibebankan oleh pengekspor di negara lain atau dengan
menggabungkan biaya produksi negara eksportir, biaya-biaya lain, dan batas keuntungan normal.
Perjanjian tentang Penerapan Pasal VI Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan
1994 (disingkat Perjanjian Anti-Dumping) adalah sebuah perjanjian dagang internasional yang
berada di bawah naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pada dasarnya Pasal
VI Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) memberikan hak kepada anggota WTO
untuk mengambil tindakan anti-dumping apabila tindakan dumping mengakibatkan kerugian
terhadap industri domestik anggota lain; dumping sendiri adalah praktik pengeksporan barang
dengan harga yang lebih rendah daripada nilai seharusnya di pasar domestik. Perundingan
pada Putaran Uruguay dari tahun 1986 hingga 1994 kemudian menghasilkan Perjanjian Anti-
Dumping yang semakin merincikan aturan di dalam Pasal VI GATT. Perjanjian ini khususnya
semakin memperjelas metode untuk menentukan dumping dan berisi prosedur untuk melakukan
penyelidikan anti-dumping.
IMF merupakan singkatan dari International Monetary Fund kalau dalam bahasa Indonesia
disebut dengan Dana Moneter Internasional (DMI). IMF atu DMI merupakan sebuah organisasi
dunia yang bertugas untuk mengatur sistem keuangan internasional serta juga menyediakan
pinjaman kepada negara-negara yang membutuhkannya. Sejarah IMF dimulai pada saat pertama
kali didirikan pada tanggal 27 September pada tahun 1945 sebagai bagian dari usaha dalam
memperbaiki kerusakan perekonomian internasional akibat Perang Dunia II. Tujuan dari IMF
ialah untuk meningkatkan kerja sama moneter internasional, mengembangkan ekspansi serta
juga pertumbuhan yang seimbang dalam perdagangan internasional, dan juga meningkatkan
stabilitas kurs Negara anggota. IMF sekarang ini bertempatkan di Washington DC, Amerika
Serikat.

IMF ini bertugas untuk membantu Negara-negara anggota yang sedang mengalami
kesulitan ekonomi dengan cara meminjamkan bantuan dana dengan suku bunga pinjaman yang
ditetapkan. Dengan syaratnya, negara penerima bantuan pinjaman tersebut diminta mengikuti
kebijakan IMF serta juga Bank Dunia dalam mengatur perekonomian Negara itu. Contohnya,
dengan melakukan privatisasi badan usaha milik Negara serta juga menerapkan sistem ekonomi
pasar. IniIah yang sering merugikan perekonomian negara penerima bantuan. Oleh sebab itu,
sejak reformasi 1998 Indonesia bertekad untuk mengurangi ketergantungan kepada IMF.
Tujuan dari IMF awalnya untuk dapat menata alat pembayaran (uang) yang nilai
standarnya rusak akibat perang dunia ke-II. Namun, seiring perkembangannya yang semakin
maju serta juga semakin kompleks permasalahan perekonomian dunia, tujuan utama dari
organisasi IMF pun juga bertambah.Tujuan utama berdirinya IMF terdiri dari, diantaranya:

Membantu dalam memperlancar kerja sama dengan melalui perundingan-perundingan dalam


bidang keuangan.
Membantu dalam memperlancar perdagangan intemasional.
Membantu dalam memecahkan permasalahan perekonomian negara anggota sehingga bisa
memperluas kesempatan kerja.
Membantu negara anggota untuk dapat memperbaiki serta juga mengatasi kesulitan pembayaran
luar negeri dengan melalui pemberian pinjaman.
Mengusahakan tercapainya stabilitas nilai mata uang (valuta) serta juga mewujudkan sistem
pembayaran internasional sehingga dapat mengurangi hambatan perdagangan antarnegara.
Membantu dalam mengatasi ketidakseimbangan struktur neraca pembayaran negara-negara
anggota.
Fungsi IMF
Menurut DMI sendiri, organisasi ini berusaha untuk mendorong pertumbuhan serta juga
kestabilan ekonomi global dengan mengeluarkan kebijakan, saran, dan juga dana kepada anggota
dan juga bekerja sama dengan negara berkembang dalam membantu mereka mencapai kestabilan
ekonomi makro serta juga mengurangi tingkat kemiskinan. Alasannya ialah pasar modal swasta
internasional tidak sempurna serta juga banyak negara yang tidak mampu untuk mengakses pasar
keuangan. Ketidaksempurnaan pasar serta juga pendanaan neraca pembayaran menjadi salah satu
alasan pendanaan resmi. Tanpa pendanaan resmi, negara tersebut akan menerapkan suatu
kebijakan ekonomi yang buruk demi menutupi ketidakseimbangan neraca pembayarannya. DMI
tersebut menyediakan berbagai sumber alternatif dalam masalah keuangan.
Setelah IMF didirikan, terdapat tiga fungsi utamanya yakni sebagai berikut

mengawasi kesepakatan nilai tukar tetap antarnegara,


membantu pemerintah dalam mengelola nilai tukarnya sehingga akan memungkinkan
pertumbuhan ekonomi,
serta juga menyediakan modal jangka pendek untuk dapat membantu neraca pembayaran.
Negara anggota IMF
Tidak semua negara anggota dari IMF ini berdaulat, artinya tidak semua “negara
anggota” IMF merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Karena ada pula “negara
anggota” DMI non-PBB yang merupakan daerah istimewa di bawah kedaulatan negara anggota
PBB, yakni Aruba, Curaçao, Hong Kong, dan Makau, serta Kosovo. Para anggota menunjuk ex-
officio anggota berhak suara. Semua anggota IMF meruapakan anggota Bank Rekonstruksi serta
juga Pembangunan Internasional (IBRD). Bekas anggota DMI melingkupi Kuba (keluar tahun
1964) dan Republik Cina yang dikeluarkan dari PBB tahun 1980 setelah Presiden Jimmy Carter
itu mencabut dukungannya serta digantikan oleh Republik Rakyat Cina. Namun demikian,
“Provinsi Taiwan Cina” masih terdaftar di indeks resmi IMF. Selain dari Kuba, negara PBB
lainnya yang bukan anggota DMI yakni Andorra, Liechtenstein, Monako, Nauru, serta juga
Korea Utara. Bekas Cekoslowakia dikeluarkan pada tahun 1954 karena “tidak menyediakan data
yang diperlukan” serta diterima kembali pada tahun 1990 setelah Revolusi Beludru. Polandia
juga keluar tahun 1950 konon karena di bawah tekanan Uni Soviet serta juga diterima kembali
tahun 1986. Nah itulah penjelasan mengenai Pengertian IMF, Tujuan, Anggota dan Fungsinya ,
semoga apa yang dijelaskan dapat bermanfaat untuk anda.

Anda mungkin juga menyukai